Dokumen tersebut merangkum strategi penatalaksanaan infeksi saluran pernapasan akut. Infeksi ini meliputi rinitis, faringitis, laringitis, tonsillitis, bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia. Penatalaksanaannya bervariasi antara pengobatan suportif untuk gejala ringan hingga antibiotik untuk infeksi berat, dengan memilih antibiotik sesuai pola kuman di masing-masing wilayah. Pengendalian penularan penting untuk penyakit menular sepert
2. Sistem Pernapasan
Secara anatomi, saluran pernapasan terdiri dari saluran
pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian
bawah. Saluran pernapasan bagian atas dimulai dari
hidung, faring, laring bagian atas (di atas pita suara).
Infeksi saluran napas akut merupakan penyakit yang perlu mendapatkan perhatian karena
salah satu penyakit yang memiliki risiko kematian apabila tidak diatasi sedini mungkin.
Berdasarkan data tahun 2013, kematian akibat penyakit ini mencapai empat juta di seluruh
dunia. Penyakit infeksi saluran nafas akut meliputi rinitis, faringitis, laringitis, tonsillitis,
bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia.1
Tuberkulosis juga merupakan infeksi saluran napas
tetapi spesifik disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis sehingga tidak dimasukkan ke
dalam pembahasan ini. Menurut Forum of International Respiratory Society, infeksi saluran
napas termasuk 5 besar masalah respirasi selain PPOK, asma, tuberkulosis dan kanker paru.
Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 infeksi saluran napas mencapai
25% di antara penyakit infeksi dan menjadi penyebab rawat inap di RS.1, 2
dr. Rr. Diah Handayani, Sp.P(K)
2
Strategi Penatalaksanaan
Infeksi Saluran
Pernapasan Akut
pernapasan bawah (lower respiratory tract infection/
LRTI). Virus merupakan faktor etiologi pada sebagian
besar kasus-kasus URTI, selain bakteri dan jamur.
Sedangkan LRTI sebagian besar disebabkan oleh bakteri
Virus masuk melalui mukosa saluran pernapasan,
menginvasi jaringan, dan selanjutnya
menyebabkan nekrosis, inflamasi, pembengkakan
KONGESTI
OBSTRUKSI SALURAN UDARA
Aliran udara normal Aliran udara
yang terganggu
Mukosa normal
InflamasiVirus
Sehat
Nekrosis
Penyebaran virus ke TELINGA OTITIS MEDIA
SINUS SINUSITIS
BRONKUS & PARU-PARU PNEUMONIA
Bakteri berpenetrasi ke mukosa yang telah
mengalami kerusakan, mengakibatkan
infeksi bakteri sekunder
Invasi bakteri ke jaringan nekrosis
Jaringan
yang
mengalami
inflamasi
Eksudat purulen
Trakea
Telinga
Rongga
mulut
Rongga
hidung
Sinus frontalis
Paru
Sedangkan saluran pernapasan bagian
bawah terdiri dari laring bagian bawah
(di bawah pita suara), trakea, bronkus,
bronkiolus, duktus alveolaris, sakus
alveolaris, alveolus. Secara fungsional,
sistem pernapasan dibagi menjadi 2 zona
yaitu zona konduksi dan zona respirasi. Zona
konduksi (dari hidung hingga bronkiolus)
memiliki fungsi utama menyediakan suatu
jalur keluar masuk udara dari dan ke saluran
pernapasan. Sedangkan pertukaran gas (O2
dan CO2) berlangsung di zona respirasi yang
meliputi duktus alveolaris hingga alveoli.3
Patogenesis
Infeksi saluran pernapasan dibagi menjadi
dua jenis berdasarkan anatominya: infeksi
saluran pernapasan atas (upper respiratory
tract infection/URTI) dan infeksi saluran Gambar 1. Patogenesis infeksi saluran pernapasan atas dan bawah9
3. 3
patogen.4-7
Transmisi mikroorganisme patogen terjadi
melalui inhalasi droplet (yang dikeluarkan individu
terinfeksi melalui batuk, bersin, atau berbicara), atau
kontak langsung dengan sekret (melalui sentuhan
atau berjabatan tangan atau penggunaan bersama
peralatan pribadi/makan) individu terinfeksi atau benda
yang terkontaminasi. Selanjutnya mikroorganisme
patogen tersebut melakukan invasi melalui mukosa
saluran pernapasan dan mengakibatkan destruksi
disertai nekrosis dan inflamasi pada lapisan mukosa,
memudahkan terjadinya penetrasi bakteri yang
mengakibatkan infeksi (bakteri) sekunder.4
Selain
mikroorganisme, polutan atau iritan seperti asap rokok
juga dapat menyebabkan penurunan fungsi silia saluran
pernapasan dan produksi sekret saluran pernapasan
yang lebih kental. Mikroorganisme dapat mencapai
saluran pernapasan bawah melalui inhalasi, aspirasi,
atau pembuluh darah (hematogen) dan selanjutnya
bermultiplikasi pada epitel saluran pernapasan dan
menyebabkan inflamasi, nekrosis, peningkatan sekresi
mukus, sekresi eksudat purulen, dan gangguan fungsi
mukosiliaris dan fungsi paru, bahkan obstruksi saluran
pernapasan.4, 8, 9
Etiologi
Etiologi infeksi saluran pernapasan berbeda-beda
sesuai dengan jenis penyakitnya, untuk common cold,
influenza, rinitis dan faringitis etiologi tersering adalah
virus rhinovirus dan adenovirus diikuti bakteri gram
positif dan negatif, sedangkan pada bronkitis dan CAP
adalah bakteri gram positif. Setiap populasi memiliki
peta yang berbeda, tetapi berdasarkan beberapa
panduan didapatkan kekerapan etiologi seperti
dijabarkan dalam tabel berikut ini:
Jenis Penyakit Etiologi Rujukan
Common cold
Virus : rhinovirus, coronavirus,
respiratory syncytial virus (RSV)
10-12
Influenza
Virus : influenza a, influenza b,
parainfluenza
8
Faringitis
Virus (mayoritas) : rhinovirus,
coronavirus, adenovirus, virus
influenza /parainfluenza, RSV
Bakteri : S. pyogenes
13, 14
Rinitis
Virus, alergi, iritan, dan bakteri
(minoritas)
5, 6
Laringitis
Virus (mayoritas) : parainfluenza,
rhinovirus, influenza
Bakteri : streptococcus hemolitik
grup A & B
15, 16
Tonsilitis
Virus (mayoritas) : adenovirus,
influenza A-B, parainfluenza
Bakteri : streptococcus pyogenes
17, 18
Bronkitis
Virus (mayoritas) : rhinovirus,
enterovirus, influenza A dan B,
parainfluenza
Bakteri (1-10% kasus) :
Mycoplasma Pneumonia,
Chlamydophila pneumoniae
17, 19
Bronkiolitis
Virus : human metapneumovirus
(hMPV), respiratory syncytial virus
(RSV), rhinovirus
8
Pneumonia Virus, bakteri, jamur 20, 21
Difteri
Bakteri : Corynebacterium
diphtheriae
22
Avian
influenza
Virus influenza A subtipe H5N1 23
MERS COV Coronavirus varian MERS-COV 24-26
SARS Coronavirus varian SARS-COV 27
Gejala dan tanda
Gejala dan tanda infeksi saluran pernapasan akut
memiliki kesamaan satu sama lain yaitu kongesti
nasal, rinore (hidung berair), bersin-bersin, nyeri
tenggorokan, dan batuk. Adakalanya juga disertai nyeri
otot (mialgia), sakit kepala, dan demam. Common
cold dapat mengalami komplikasi lebih lanjut menjadi
sinusitis (rinosinusitis) dan otitis media.6, 10, 14, 17, 23, 24
Diagnosis
Diagnosis ISPA ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis gejala dan tanda penyakit ISPA, untuk
sinusitis sering didapati keluhan nyeri di wajah, dan
pada pneumonia dapat disertai demam dan takikardi.
Perlu juga diketahui faktor risiko spesifik, seperti alergen
atau pemicu pada rinitis alergi, atau riwayat untuk
terjadinya hospital-acquired pneumonia maupun health
care - associated pneumonia pada pneumonia. Risiko
pajanan bahan-bahan tertentu perlu diketahui untuk
menentukan etiologi. Pada influenza yang termasuk
emerging disease, seperti avian influenza, perlu
diketahui riwayat kontak dengan unggas atau penderita
avian influenza yang terkonfirmasi. Begitu juga pada
SARS, riwayat bepergian dan kejadian wabah penyakit
tersebut perlu diketahui. Pada MERSCOV dan influenza
yang disebut flu Australia yang disebabkan oleh virus
influenza A subtipe H3N2, perlu diketahui riwayat
bepergian ke daerah endemik. Pada kejadian ISPA yang
merupakan emerging disease, hal ini penting karena
disamping untuk penegakan diagnosis pasti juga untuk
pengendalian dan pencegahan penularan.6, 10, 14, 17, 23, 24
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan mukosa hidung
kemerahan dan bengkak, rinore pada nasofaringitis,
4. rinore persisten lebih dari 10 hari dan berat yang sering
dijumpai pada rinosinusitis bakteri, eksudat, bengkak
dan kemerahan di tonsil atau faring pada faringits
akibat bakteri, bengkak dan kemerahan di laring yang
disertai suara serak dan sakit menelan pada laringitis,
suara napas normal hingga suara napas bronkovesikuler
disertai ronki pada pneumonia, ataupun ronki kering
dan mengi pada bronkitis. Pada pneumonia berat dapat
dijumpai tanda-tanda kegawatan respirasi seperti
sianosis, takipneu, hingga penurunan kesadaran.6, 10, 14,
17, 23, 24
Pemeriksaan penunjang tidak diperlukan secara
rutin pada kasus infeksi ringan, tetapi pada kasus-
kasus tertentu dapat dilakukan, seperti pemeriksaan
foto toraks pada bronkitis dan pneumonia untuk
menegakkan diagnosis sekaligus untuk menyingkirkan
kemungkinan lain, atau pemeriksaan radiologi sinus
pada kasus yang diduga sinusitis. Pemeriksaan darah
perifer dapat dilakukan pada keadaan sedang seperti
pneumonia dengan hasil leukositosis. Pemeriksaan
etiologi berupa biakan mikroorganisme dilakukan bila
kondisi sedang dan tidak rutin. Pada kasus spesifik
yang berisiko seperti avian influenza dan emerging
disease diperlukan pemeriksaan swab tenggorok untuk
pemeriksaan virus H5N1 dan virus lain, atau corona
virus pada MERSCOV. Pemeriksaan ini dilakukan sesuai
denganpanduanpengendalianwabahdimasingmasing
wilayah. Begitu juga laringitis yang diduga disebabkan
oleh difteri, dapat diperiksa dengan pewarnaan gram
dari swab dasar membran. 18, 22-24
Pada pneumonia,
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan umumnya
dilakukan pada pneumonia sedang yang dirawat
dan bila kondisi berat dapat dilakukan pengambilan
contoh uji dari saluran napas bawah melalui beberapa
prosedur invasif seperti bronkoskopi dan lain-lain.20, 21
Tatalaksana
Tata laksana ISPA secara umum diberikan sesuai jenis
dan etiologi. Pada ISPA ringan dan yang disebabkan
oleh virus tidak ada terapi spesifik. Di beberapa
panduan, pengobatan simtomatis diberikan apabila
mengganggu kegiatan sehari hari dan tidak diberikan
secara rutin, berupa antitusif, dekongestan, mukolitik.
Pada emerging disease avian influenza, dilanjutkan
diberikan antivirus seperti Tamiflu dengan dosis 75
mg dua kali sehari, sedangkan pada MERSCVOV dan
corona virus tidak ada antivirus, hanya pengobatan
simtomatis. Pada penyakit berat diberikan antibiotik
spektrum luas karena sering disertai dengan infeksi
bakteri. Untuk pneumonia komunitas, pada paduan
IDSA diketahui penyebab tersering adalah bakteri
atipikal dan bakteri gram positif sehingga terapi utama
adalah makrolid generasi baru, dan atau sefalosporin
diikuti fluorokuinolon respirasi, sedangkan pada
derajat sedang dianjurkan fluorokuinolon respirasi,
sefalosporin generasi 2 atau 3 dengan atau tanpa
kombinasi dan derajat ditentukan dengan CURB 65
ataupun PSI. Panduan terapi pneumonia di Indonesia
yang disusun oleh PDPI merekomendasikan pemberian
fluorokuinolon respirasi oral di awal dibandingkan
makrolid karena peta kuman dari beberapa RS
menunjukkan etiologi CAP adalah bakteri gram negatif.
Pada hal ini, terapi empirik yang terbaik disesuaikan
dengan pola kuman di tiap-tiap tempat ataupun RS.10,
14, 17, 20- 24
Pada kasus emerging disease dan atau sangat menular
seperti difteri perlu dilakukan perawatan isolasi. Pada
avian influenza penderita harus dirawat di RS untuk
pemantauan sedangkan pada MERSCOV dan SARS
ringan observasi dan isolasi dilakukan di rumah untuk
mencegah perluasan penularan, tetapi pada kondisi
sedang dan berat perawatan dilakukan di RS yang telah
ditetapkan untuk perawatan isolasi khusus. 10, 14, 17, 20, 21-24
Tatalaksana non farmakologi yang perlu dilakukan
terutama adalah istirahat, tirah baring. Pasien bisa
dibantu tetap merasa nyaman dengan kompres air
hangat bila demam. Nutrisi seimbang harus dijaga.10, 14,
17, 20-24
Jenis Penyakit Tatalaksana Rujukan
Common cold Suportif; dekongestan atau kombinasi
dengan antihistamin untuk kurangi gejala;
antipiretik bila demam, mengurangi rasa
kurang nyaman.
10, 11
Influensa Suportif; dekongestan atau kombinasi
dengan antihistamin untuk kurangi gejala;
antipiretik bila demam, mengurangi rasa
kurang nyaman.
8
Faringitis Bakteri :
Amoksisilin per oral 2 x 500 mg selama 10
hari, atau cefadroxil per oral 2x 500 mg
selama 10 hari
13, 14
Rinitis Alergi :
Antihistamin, terutama generasi 2, steroid
topikal, hindari pajanan.
Bakteri :
Amoksisilin per oral 3 x 500 mg selama 5-7
hari, atau amoksiklav per oral 2-3 x 500
mg selama 5-7 hari.
5, 6, 28
Laringitis Suportif; analgesik, istirahatkan suara.
Antibiotik tidak bermanfaat.
15, 16
Tonsillitis Virus :
Suportif; analgesik atau parasetamol.
Bakteri :
Eritromisin 3 x 500 mg selama 5 hari
atau cefadroxil per oral 2x 1.000 mg
selama 10 hari.
17, 18
4
5. Bronkitis Suportif; antitusif untuk kurangi batuk
atau mukolitik agar ekspektorasi lebih
baik. Bronkodilator tidak rutin, bisa untuk
kurangi gejala obstruksi saluran nafas.
Antipiretik bila demam.
Pada kasus kronik dengan eksaserbasi
akut dapat diberikan antibiotik makrolid
generasikedua(klaritromisin,azitromisin),
sefalosporin generasi kedua atau ketiga
(cefixime, cefuroxime), cefditoren, atau
amoksisilin.
17, 19, 29, 30
Bronkiolitis Suportif; dapat diberikan bronkodilator
untuk kurangi gejala obstruksi saluran
nafas.
8
Pneumonia Rawat jalan
• Pasien yang sebelumnya sehat atau
tanpa riwayat pemakaian antibiotik 3
bulan sebelumnya
- Golongan β laktam (amoksisilin)
atau β laktam ditambah anti β
laktamase (amoksisilin – klavulanat)
ATAU
- Makrolid baru (klaritromisin,
azitromisin).
• Pasien dengan komorbid atau mem-
punyai riwayat pemakaian antibiotik 3
bulan sebelumnya.
- Fluorokuinolon respirasi
(levofloksasin 750 mg,
moksifloksasin)
ATAU
- Golongan β laktam ditambah anti β
laktamase (amoksisilin dosis tinggi
atau amoksisilin-klavulanat)
ATAU
- β laktam ditambah makrolid,
alternatifnya dapat menggunakan
ceftriaxone, cefpodoxime atau
cefuroxime (500 mg dua kali sehari),
doksisiklin dapat digunakan sebagai
alternatif dari makrolid
- Cefditoren oral dapat
dipertimbangkan bila resistensi
antibiotik lainnya diketahui tinggi.
Rawat inap non ICU
• Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin
750 mg, moksifloksasin)
ATAU
• β laktam ditambah makrolid.
20, 21, 30
Difteri Anti Diptheri Serum (ADS) 20.000 –
100.000 unit tergantung lokasi dan berat
infeksi.
Antibiotik penicillin procaine IM 25.000-
50.000 U/kg BB maks 1,5 juta selama 14
hari, atau eritromisin oral atau injeksi
diberikan 40 mg/kg BB/hari maks 2 g/hari
interval 6 jam selama 14 hari.
Kortikosteroid dapat diberikan kepada
penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas, dan bila terdapat
penyulit miokarditis diberikan prednison
2 mg/kg BB selama 2 minggu kemudian
diturunkan bertahap.
22
Avian influenza Isolasi di RS, pemberian antivirus. Tamiflu
dengan dosis 75 mg dua kali sehari.
Perawatansuportifdengancairan,oksigen
dan nutrisi parenteral bila dibutuhkan.
23
MERS COV Belum ada terapi definitif, lakukan isolasi
dan perawatan di RS dengan terapi
suportif.
24
SARS Suportif; pada kasus berat atau kondisi
yang terus menurun dapat diberikan
antiviral untuk mencegah replikasi
lanjutan, antibiotik untuk mengatasi
pneumonia, dan beberapa kasus dapat
diberikan steroid untuk mencegah
kerusakan paru lebih lanjut.
27
Pencegahan
Langkah-langkah pencegahan umum yang dapat
dilakukan terhadap infeksi saluran pernapasan
mencakup konsumsi makanan bergizi seimbang,
berolahraga secara teratur, berhenti merokok,
menghindari alergen, menghindari kontak langsung
dengan penderita infeksi, mencuci tangan setelah
melakukan aktivitas, menjaga kebersihan diri dan
barang-barang di sekitar, selalu menutup mulut dan
hidung setiap bersin atau batuk, vaksinasi. Pemberian
vaksinasi perlu dilakukan untuk kasus-kasus tertentu
seperti influenza, difteri, dan pneumonia komunitas.
Berhenti merokok juga merupakan pencegahan karena
merokok meningkatkan risiko infeksi saluran napas.8, 10,
11, 13, 21-23
Prognosis
Infeksi saluran pernapasan atas biasanya memiliki
gejala lebih ringan dan bersifat self-limiting kendati
beberapa diantaranya dapat menimbulkan dampak
serius, seperti difteri. Infeksi saluran pernapasan
bawah cenderung menimbulkan gejala lebih berat
dan berpotensi mengakibatkan komplikasi lebih serius
bahkan kematian. Namun dengan perawatan yang
tepat dan intensif, infeksi saluran pernapasan bawah
umumnya memiliki prognosis yang baik.8, 10, 11, 13, 21-23
5
Kesimpulan
1. Infeksi saluran pernapasan atas pada
umumnya disebabkan oleh virus dan diatasi
dengan terapi simtomatis.
2. Antibiotik diberikan untuk infeksi saluran
pernapasan atas maupun bawah yang
disebabkan atau mengalami komplikasi oleh
bakteri seperti Streptococcus spp., dll.
3. Penanganan difteri memperoleh hasil yang
lebih baik dengan diagnosis dini dan terapi
yang tepat.
4. Beberapajenisinfeksisaluranpernapasandan
komplikasinya, seperti difteri dan pneumonia,
dapat dicegah melalui pemberian vaksinasi.
6. Referensi
1. Ferkol T and Schraufnagel D. The global burden of respiratory dis-
ease. Ann Am Thorac Soc. 2014; 11: 404-6.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Dasar Kese-
hatan. In: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (ed.). Jakar-
ta2013.
3. Hall JE. Guyton and Hall textbook of medical physiology. Thirteenth
edition. ed. Philadelphia, PA: Elsevier, 2016, p.xix, 1145 pages.
4. Kuchar E, Miskiewicz K, Nitsch-Osuch A and Szenborn L. Pathophys-
iology of Clinical Symptoms in Acute Viral Respiratory Tract Infec-
tions. Adv Exp Med Biol. 2015; 857: 25-38.
5. Brożek JL, Bousquet J, Agache I, et al. Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma (ARIA) guidelines—2016 revision. Journal of Allergy and
Clinical Immunology. 2017; 140: 950-8.
6. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, et al. EPOS 2012: European position
paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for oto-
rhinolaryngologists. Rhinology. 2012; 50: 1-12.
7. Khan S, Priti S and Ankit S. Bacteria Etiological Agents Causing Low-
er Respiratory Tract Infections and Their Resistance Patterns. Iran
Biomed J. 2015; 19: 240-6.
8. Bennett JE, Dolin R and Blaser MJ. Mandell, Douglas, and Bennett’s
principles and practice of infectious diseases. Eighth edition. ed.
Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders, 2015.
9. Hubert RJ and VanMeter K. Gould’s pathophysiology for the health
professions. Sixth edition. ed. St. Louis, Missouri: Elsevier, 2018,
p.xviii, 681 pages.
10. Allan GM and Arroll B. Prevention and treatment of the common
cold: making sense of the evidence. Canadian Medical Association
Journal. 2014; 186: 190-9.
11. Fashner J, Ericson K and Werner S. Treatment of the common cold in
children and adults. Am Fam Physician. 2012; 86: 153-9.
12. Atan Şahin ÖN and Gülen F. Approach to Common Cold in Children.
The Journal of Pediatric Research. 2015; 2: 1-6.
13. Shulman ST, Bisno AL, Clegg HW, et al. Executive Summary: Clinical
Practice Guideline for the Diagnosis and Management of Group A
Streptococcal Pharyngitis: 2012 Update by the Infectious Diseases
Society of America. Clinical Infectious Diseases. 2012; 55: 1279-82.
14. Zeng L, Zhang L, Hu Z, et al. Systematic review of evidence-based
guidelines on medication therapy for upper respiratory tract infec-
tion in children with AGREE instrument. PLoS One. 2014; 9: e87711.
15. Dominguez LM and Simpson CB. Viral laryngitis: a mimic and a
monster - range, presentation, management. Curr Opin Otolaryngol
Head Neck Surg. 2015; 23: 454-8.
16. Reveiz L and Cardona AF. Antibiotics for acute laryngitis in adults.
Cochrane Database of Systematic Reviews. 2015.
17. Harris AM, Hicks LA, Qaseem A, High Value Care Task Force of the
American College of P, for the Centers for Disease C and Prevention.
Appropriate Antibiotic Use for Acute Respiratory Tract Infection in
Adults: Advice for High-Value Care From the American College of
Physicians and the Centers for Disease Control and Prevention. Ann
Intern Med. 2016; 164: 425-34.
18. Windfuhr JP, Toepfner N, Steffen G, Waldfahrer F and Berner R.
Clinical practice guideline: tonsillitis I. Diagnostics and nonsurgical
management. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2016; 273: 973-87.
19. Kinkade S and Long NA. Acute Bronchitis. Am Fam Physician. 2016;
94: 560-5.
20. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases
Society of America/American Thoracic Society consensus guidelines
on the management of community-acquired pneumonia in adults.
Clin Infect Dis. 2007; 44 Suppl 2: S27-72.
21. Pletz MW, Rohde GG, Welte T, Kolditz M and Ott S. Advances in the
prevention, management, and treatment of community-acquired
pneumonia. F1000Res. 2016; 5.
22. Anggraeni ND, Yosephine P, Umar AN, Mazanova D and Handini S.
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri. Jakarta: Kemente-
rian Kesehatan RI, 2017.
23. Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku Flu Burung. Jakarta: Kemen-
trian Kesehatan RI, 2013.
24. Gerber SI and Alexander Kallen. Middle East Respiratory Syndrome
Coronavirus (MERS-CoV): Information and Guidance for Clinicians.
Clinician Outreach and Communication Activity (COCA). 2013.
25. Memish ZA, Assiri A, Alhakeem R, et al. Middle East Respiratory Syn-
drome Corona virus, MERS-CoV. Conclusions from the 2nd Scientific
Advisory Board Meeting of the WHO Collaborating Center for Mass
Gathering Medicine, Riyadh. International Journal of Infectious Dis-
eases. 2014; 24: 51-3.
26. Perlman S and Vijay R. Middle East respiratory syndrome vaccines.
International Journal of Infectious Diseases. 2016; 47: 23-8.
27. Tai DY. Pharmacologic treatment of SARS: current knowledge and
recommendations. Ann Acad Med Singapore. 2007; 36: 438-43.
28. Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, et al. Clinical practice guideline: Al-
lergic rhinitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2015; 152: S1-43.
29. Balter MS, La Forge J, Low DE, et al. Canadian guidelines for the
management of acute exacerbations of chronic bronchitis. Can Re-
spir J. 2003; 10 Suppl B: 3B-32B.
30. Barberan J and Mensa J. [Cefditoren and community-acquired lower
respiratory tract infections (corrected)]. Rev Esp Quimioter. 2009;
22: 144-50.
6