MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Menegur kembali pentingnya pembangunan budaya ilmiah
1. Menegur Kembali Pentingnya
Pembangunan Budaya Ilmiah
Iwan Pranoto 1
Abstrak. Pendidikan matematika dan sains di sekolah ditujukan untuk membangun pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap anak didik. Kecuali hal ini dibutuhkan dalam karir serta pendidikan
selanjutnya, tiga hal ini akan melekat pada diri anak didik dalam kehidupannya. Bagaimana
seseorang mengolah pikir dan tindakan dalam kehidupannya akan dipengaruhi pendidikan yang
diperolehnya, khususnya pendidikan matematika dan sains akan menyisipkan budaya ilmiah
pada jati dirinya. Jika pendidikan matematika dan sains yang dialami siswa baik, maka hal ini akan
berdampak pada pembangunan bangsa yang berdasarkan intelektualitas. Harmoni sosial yang
berkembangpun akan berdasarkan intelektualitas. Dalam pembangunan budaya ilmiah ini, AIPI
bersama organisasi keilmuan di Indonesia perlu memimpin dalam penularan kenikmatan
bermatematika dan bersains.
The man of science has learned to believe in justification, not by faith, but by verification.
Thomas H. Huxley (1825-95)
Citra sains dan matematika di Indonesia
Pada beberapa pekan lalu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan
Pengembangan Khairil Anwar Notodiputro mengatakan akan menyatukan mata pelajaran (matpel) IPA
dan IPS ke dalam matpel-matpel lain di kurikulum SD mulai tahun ajaran 2012/2013 2. Artinya memang
matpel khusus IPA dan IPS bakal tak ada lagi. Di satu sisi, tentunya langkah perampingan kurikulum SD
memang sudah sangat tepat. Memang itu yang kebanyakan pendidik rasakan. Pertanyaan yang muncul
di benak kemudian adalah: “Apakah IPA dan IPS yang paling pantas disatukan dengan matpel lain?”
Tulisan ini tidak akan menjawab pertanyaan tersebut. Kecuali pertanyaan itu belum perlu, jawaban itu
tidak akan banyak memberi manfaat.
Yang justru perlu ditanyakan adalah apa kah alasan atau analisis yang menyimpulkan bahwa IPA dan IPS
yang perlu disatukan dengan pelajaran lain. Dari sisi akademik, kebijakan apa pun tidak masalah, asalkan
melalui rangkaian pernalaran dan dapat ditelusuri kesahihannya. Yang justru mengusik adalah
pertanyaan yang lebih mendasar dan tepat sasaran. Mengapa tak sekalian matematika juga disatukan
1
Kebijakan Pendidikan MIPA, FMIPA, Institut Teknologi Bandung. Email: pranoto@math.itb.ac.id
2
Mata Pelajaran IPA dan IPS akan Digabung Pelajaran Lain,
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/28/079432460/Mata-Pelajaran-IPA-dan-IPS-Akan-Digabung-Pelajaran-
Lain
1
2. saja dengan matpel lain? Sudah barang tentu, hampir semua matpel itu menggunakan dan terkait
dengan matematika. Artinya, sangat masuk akal lah kalau matematika dipelajari lewat pendidikan
jasmani, misalnya mengumpulkan data kecepatan setiap anak di kelas. Atau, pertanyaan yang lebih di
luar kotak adalah, “Memangnya, apa yang telah dipelajari siswa dalam pelajaran matematika, sampai
matematika harus dipertahankan dalam kurikulum?” Atau, “Kalau tidak belajar matematika di sekolah,
memangnya mengganggu kehidupan seseorang?”
Pertanyaan-pertanyaan di atas memusat ke pertanyaan yang lebih prinsip, “Apa yang sudah dibelajarkan
guru sains dan matematika di sekolah?” Jawaban pertanyaan ini tampaknya yang merupakan sumber
utama kegelisahan matematikawan dan saintis. Citra sains dan matematika di masyarakat adalah
sesuatu yang menyulitkan. Ucapan “matematika membosankan, konyol, dan tidak masuk akal” sudah
terbiasa muncul di masyarakat. Bahkan, jika orang akan sangat malu untuk mengatakan tak dapat
membaca, tetapi sudah biasa diamati banyak orang bangga mengatakan bahwa dirinya tak bisa
matematika. Matematika dan sains bukan penyelesai, tetapi pembuat masalah. Matematika dan sains
dipelajari hanya sekedar untuk ujian, ini lah kenyataannya sekarang. Kecuali itu, matematika dan sains
dicitrakan sebagai suatu kumpulan pakem yang diturunkan dari langit dengan penuh kesempurnaannya.
Rumus-rumus yang sudah teruji ratusan tahun, maka seyogyanya kita terima saja sebagai kumpulan
kebenaran, tak perlu dipertanyakan lagi. Rumus dan teorema telah menjadi mantra sakti dan sakral.
Sungguh tabu diskeptisi. Ini lah citra matematika dan sains.
Siklus pengajaran matematika dan sains di sekolah nyaris mengikuti pakem yang identik: Guru masuk
kelas, menyapa (itupun jika ingat), lalu menuliskan rumus pada papan tulis, kemudian memberikan
contoh pengerjaannya, dan akhirnya meminta siswa mengerjakan kumpulan soal-soal latihan.
Demikianlah ritual di pengajaran matematika dan sains kita, pada umumnya. Dengan pengelolaan tradisi
melalui ritual: mendengar – menjiplak tulisan guru di papan tulis – menghafalkan – memuntahkan
kembali saat ujian, praktik pendidikan matematika dan sains kita telah benar-benar menjadi juru bicara
atau bahkan pramuniaga sekte pseudo-math 3 (matematika semu) dan pseudo-science 4 (sains semu.)
Jika pengajaran matematika dan sains sangat dogmatis seperti itu, tampaknya tak salah citra yang
berkembang di masyarakat dan bahkan di kalangan siswa, bahwa matematika membosankan dan payah.
Jadi, jika keadaan seperti ini berkelanjutan, sangat masuk akal jika diusulkan kurikulum SD mendatang
menghapuskan matematika atau menyatukan saja mata pelajaran matematika ke dalam pendidikan
jasmani. Toh, yang diajarkan sekarang bukan matematika, tetapi matematika semu. Namun, perlu hati-
hati juga, harus ditanya sebelumnya, apakah mata pelajaran pendidikan jasmani masih benar-benar
pendidikan jasmani. Apakah dia sudah menjadi pendidikan jasmani semu pula? Jangan-jangan, siswa dan
3
Istilah matematika semu dalam artikel ini sesuai dengan yang digunakan Paul Lockhart dalam artikel A
Mathematician’s Lament, www.maa.org/devlin/lockhartslament.pdf hal. 6, yakni: “… the perpetuation of this
`pseudo-mathematics,’ this emphasis on the accurate yet mindless manipulation of symbols, creates its own culture
and its own set of values.” Matematika semu adalah pengerjaan matematika yang sekedar memanipulasi lambang
tanpa makna dan fokus pada perhitungan yang akurat. Tradisi ini telah menyebar ke persekolahan formal dan
merasuki tidak saja siswa, tetapi juga para guru matematika.
4
Istilah pseudo-science dalam artikel ini lebih sejalan dengan pseudo-math di atas. Sains semu di sini diartikan
sebagai kegiatan yang mempelajari fakta-fakta sains, namun tanpa melalui proses verifikasi serta penafsiran atau
pemaknaan. Ringkasnya, bersains semu di sini menunjukkan keadaan siswa yang sekedar menghafal rumus-rumus
Fisika atau Kimia, tanpa melalui metode pengkajian yang mendalam, jadi hanya sekedar mempercayainya.
2
3. sekolah sekarang lebih banyak memusatkan perhatian pada upaya pengingatan ukuran lapangan sepak
bola, dibanding mengolah jasmaninya dan menyehatkan dirinya. Jangan-jangan, pendidikan jasmani
juga sudah menjadi sekedar kumpulan pengetahuan tentang olah raga semata.
Secara ringkas, matematika dan sains dalam persekolahan formal kita telah disepelekan menjadi kata
benda semata. Matematika dan sains jadi sekedar bagian dari celengan pengetahuan yang harus
diawetkan dan dipuja. Sudah nyaris tak terbersit lagi makna kata kerja atau proses yang dikandung di
dalam matematika dan sains. Sudah hampir terhapus bersih nuansa journey (perjalanan) atau adventure
(petualangan) di dalam pendidikan matematika dan sains di sekolah.
Budaya Ilmiah
Pendidikan matematika dan sains sejatinya memberikan pengalaman bagi siswa dalam bermatematika
dan bersains. Pengalaman siswa yang secara utuh menghayati setiap langkah dalam bermatematika jauh
lebih berharga dibanding banyaknya rumus yang dihafal. Pada pengajaran matematika dan sains di
sekolah sekarang, tampaknya siswa masih diarahkan fokus pada learning to solve problems in math and
science (belajar menyelesaikan masalah matematika dan sains.) Para siswa dan guru belum
mengangkatnya ke tataran yang lebih tinggi, yakni solving problems in math and science to learn
(menyelesaikan masalah matematika dan sains untuk belajar.) Menyelesaikan masalah matematika dan
sains seharusnya merupakan suatu kendaraan untuk mempelajari sesuatu yang lebih substansial atau
tangible. Apa itu? Apa yang dapat dipelajari melalui proses bersains dan bermatematika? Jawaban
pertanyaan ini lah yang merupakan salah satu jantung visi pendidikan matematika dan sains RI.
Ketakhadiran matematikawan dan saintis untuk membantu menjawab pertanyaan ini lah yang sangat
mungkin mengakibatkan ketakjelasan arah pendidikan matematika dan sains di sekolah di RI.
Seseorang belajar matematika dan sains bahkan juga disiplin lain, senantiasa akan mengembangkan tiga
hal sekaligus, yakni pengetahuan, ketrampilan, dan sikap. Pertama, sangat jelas bahwa seseorang yang
belajar akan bertransformasi dari keadaan tak tahu menjadi tahu. Artinya, tentu saja seseorang yang
belajar matematika dan sains akan menyerap pengetahuan seperti rumus, dalil, hukum, sifat, dsb.
Namun, ini hanya satu bagian kecil dari apa yang dapat dipelajari melalui matematika dan sains. Namun
disayangkan, kenyataannya sekarang, penyerapan pengetahuan ini semata yang kerap menjadi tujuan
utama praktik pendidikan matematika dan sains. Belajar matematika dan sains telah disepelekan
menjadi sekedar menyerap rumus-rumus dan hukum-hukum semata.
Kedua, seseorang yang belajar matematika dan sains akan meningkatkan skill (ketrampilan) yang ada di
dirinya. Dari ketrampilan yang sifatnya rutin sampai tak-rutin, sama-sama dikembangkan. Misalnya,
dalam matematika, tentu saja seorang siswa yang belajar matematika akan meningkatkan ketrampilan
rutin, seperti membilang, menghitung, mengukur, membuat sketsa, menggambar diagram statistika,
dsb. Ketrampilan rutin ini masih sangat perlu sampai hari ini, walaupun menurun karena pada beberapa
hal, mesin atau komputer telah berhasil menggantikan manusia dalam lingkup kegiatan ini. Misalnya,
tentu kalkulator jauh lebih cepat dan akurat menggambar grafik dan menghitung komputasi yang rumit.
Namun, selain ketrampilan rutin di atas, ada ketrampilan lain yang justru semakin dibutuhkan dalam
kehidupan era sekarang, yakni ketrampilan tak-rutin. Ketrampilan tak-rutin ini merupakan kecakapan
3
4. yang dibutuhkan manusia menghadapi permasalahan masa sekarang yang sangat kompleks dan belum
pernah ada sebelumnya. Ketrampilan yang masuk di kelompok ini, adalah berpikir pakar dan
berkomunikasi kompleks. Istilah dua ketrampilan ini diambil dari hasil riset bersama Richard Murnane
dan Frank Levy yang hendak menjawab ketrampilan apa yang dibutuhkan di abad ke-21 5. Berpikir pakar
yang dimaksud mereka adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah tak-rutin. Sedangkan, untuk
mampu menyelesaikan masalah tak-rutin itu, dibutuhkan beberapa ketrampilan prasyarat yang lebih
mendasar, seperti bernalar, berpikir kreatif, menyederhanakan masalah, dsb. Matematikawan dan
saintis tahu betul bahwa ketrampilan-ketrampilan dasar itu memang merupakan bagian alami dari
bermatematika dan bersains. Lalu, apakah pendidikan matematika dan sains kita sudah membelajarkan
ketrampilan-ketrampilan prasyarat mendasar tadi? Apakah kebijakan pendidikan matematika dan sains
nasional kita sudah sejalan dengan pemekaran kemampuan bernalar? Apakah kebijakan nasional justru
ada yang menghambat penumbuhan ketrampilan menyelesaikan masalah tak-rutin itu pada siswa-siswa
kita?
Ketrampilan kedua yang disebutkan oleh Murnane-Levy adalah berkomunikasi kompleks. Di sini,
ketrampilan yang dimaksud tidak sekedar berkomunikasi, menyampaikan informasi semata, tetapi lebih
pada dampak berkomunikasi yang diharapkan. Misalnya, ketrampilan menyampaikan pendapat untuk
meyakinkan orang lain. Termasuk pula, ketrampilan untuk memotivasi orang lain untuk sesuatu hal. Ini
misalnya dibutuhkan oleh seorang manajer yang perlu memotivasi stafnya. Juga yang terkait dan sangat
relevan dalam kehidupan masa kini adalah berkomunikasi untuk bekerjasama. Kemampuan berbahasa
untuk menciptakan sebuah kolaborasi guna mencapai hasil bersama semakin dibutuhkan di abad ke-21
ini.
Khusus pada ketrampilan menyampaikan argumen guna meyakinkan orang lain tentunya bukan hal yang
asing dalam bermatematika dan bersains. Membuktikan yang merupakan kegiatan sangat penting atau
bahkan kunci dalam bermatematika, sejatinya membelajarkan seseorang bagaimana menyusun
pernalaran guna berargumen dan meyakinkan diri sendiri serta orang lain. Dengan pengalaman
membuktikan dalam geometri misalnya, seseorang akan meningkatkan ketrampilannya dalam
menyampaikan argumennya. Lalu, kalau demikian, apakah pendidikan matematika kita sudah
membelajarkan ketrampilan berkomunikasi kompleks itu? Apakah kebijakan pendidikan matematika
dan sains nasional kita sudah sejalan dengan pemekaran kemampuan membuktikan? Apakah kebijakan
nasional justru ada yang menghambat pelaksanaan pembelajaran matematika yang melibatkan kegiatan
membuktikan? Apakah kebijakan nasional sudah cukup memberikan pengakuan dan insentif pada
pendidikan matematika dan sains yang sudah membelajarkan kecakapan membuktikan di dalamnya?
Ketiga, seseorang yang belajar matematika dan sains akan mengembangkan attitude (sikap.) Baik,
tetapi sikap apa? Jika ini dikaitkan secara spesifik dengan ketrampilan menyelesaikan masalah tak-rutin,
maka dibutuhkan sikap-sikap seperti gigih, tak mudah menyerah, percaya diri, ingin tahu, tak langsung
percaya dan tak langsung menolak (skeptis), berpikiran luwes, terbuka, menghargai hak berpendapat
orang lain (tak perlu menyetujuinya), berpikir analogis (termasuk menemukan humor), rasa takjub dan
menggumuni (wonder and awe), dsb. Maka, sekali lagi, muncul rangkaian pertanyaan yang sama dan
5
Trilling, B. dan Fadel, C. 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times, Jossey-Bass, 2009, Hal. 8.
4
5. sebangun dengan bagian ketrampilan di atas. Apakah kebijakan pendidikan matematika dan sains
nasional kita memang bertujuan untuk pemekaran sikap-sikap di atas? Apakah kebijakan nasional justru
ada yang menghambat pelaksanaan pembelajaran matematika yang memekarkan sikap gigih dan
percaya diri pada diri siswa?
Sikap lain yang semestinya tumbuh melalui proses bermatematika dan bersains adalah kecintaan
terhadap matematika dan sains itu sendiri. Sikap menghargai dan mencintai matematika dan sains ini
teramat penting. Sangat absurd jika setelah belajar matematika dan sains, seseorang cakap dan
berpengetahuan sampai memperoleh nilai ujian yang baik dalam matematika dan sains, tetapi justru tak
menyukainya, bahkan sampai menghindarinya.
Dari penelaahan tujuan belajar matematika dan sains di atas, jelas lah bahwa kesatuan pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap yang diperoleh merupakan fondasi budaya ilmiah yang akan tumbuh pada setiap
insan. Salah satu tugas luhur persekolahan adalah menjamin bahwa melalui pendidikan matematika dan
sains, ketiga unsur: pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dapat berkembang secara seimbang dan
optimum pada komunitas di dalam dan sekitarnya.
Relevansi dengan Kondisi Sosial
Dari pengamatan di segala lini keilmuan, tampak bahwa tantangan yang dihadapi ilmu pengetahuan dan
teknologi di masa sekarang untuk mengatasi permasalahan teramat kompleks. Satu masalah terkait
dengan masalah lain. Satu masalah membutuhkan tidak satu atau dua disiplin ilmu, tetapi banyak.
Kecuali itu, yang lebih menyulitkan, permasalahan yang dihadapi hari ini tampak sekali seuatu yang
benar-benar baru. Sebagai ilustrasi, jenis-jenis penyakit yang dihadapi dunia kedokteran hari ini sangat
baru. Jenis-jenis penyakit ini banyak yang belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Akibatnya,
para dokter di abad ke-21 ini harus benar-benar menggunakan kecakapan menyelesaikan masalah tak-
rutin yang dikembangkan dirinya melalui pengalaman, pendidikannya, dan proses belajar
berkelanjutannya. Masalah teknologi dan desain juga semakin kompleks dan teramat terkait dengan
keilmuan sosial serta kemanusiaan. Produk teknologi masa sekarang seperti telpon cerdas semakin sulit
didefinisikan sebagai produk teknologi semata atau sosial. Inovasi menggantungkan tidak saja pada
rekayasa, tetapi terkait dengan keilmuan sosial seperti psikologi dan perilaku masyarakat.
Pada keilmuan sosial juga menghadapi permasalahan-permasalahan yang benar-benar baru. Cara
pandang dan penyelesaiannya tak dapat menggunakan cara-cara lama. Disiplin yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan permasalahan sosial juga semakin butuh teropong dari keilmuan lain. Ini menunjukkan
bahwa ketrampilan menyelesaikan masalah tak-rutin memang semakin relevan.
Sedang dari sisi ketrampilan berkomunikasi kompleks, sangat jelas tampak dibutuhkannya ketrampilan
ini dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia khususnya. Namun, ketrampilan berkomunikasi yang
tak memadai justru teramati pada saat orang tak mampu lagi meyakinkan orang lain tentang
pernalarannya. Dalam kondisi seperti itu, orang akan menggunakan cara yang kurang intelek. Yang unik,
kejadian-kejadian belakangan yang menunjukkan rendahnya ketrampilan berkomunikasi kompleks ini
justru terjadi pada kalangan elit dan terdidik. Berita tawuran ironisnya justru banyak melibatkan sekolah
dan malah di jenjang pendidikan tinggi. Terlebih lagi, berita yang sangat mengagetkan adalah banyaknya
5
6. mahasiswa yang berhasil terbujuk untuk turut dalam kelompok-kelompok yang memperalatnya dan
memanfaatkannya. Dan, anehnya lagi – walau nanti di bagian bawah tulisan ini akan ditunjukkan bahwa
hal itu wajar – yang justru paling banyak terbujuk adalah mahasiswa dari kampus-kampus ternama 6.
Bagaimana mungkin pendidikan matematika dan sains kita gagal menyiapkan anak didiknya untuk
melindungi dirinya dari pengaruh-pengaruh luar yang sebenarnya lemah? Bagaimana mungkin anak-
anak kita mengabaikan menggunakan kemampuan bernalar, berpikir kritis serta sikap skeptisnya dalam
menghadapi pengaruh dari pihak-pihak luar tersebut? Pengaruh dari kelompok-kelompok yang menipu
dan memperalat serta menanfaatkan kesalehan anak-anak kita tentu akan ada terus. Hampir mustahil
rasanya meniadakannya. Yang justru perlu dipikirkan bersama secara seksama adalah bagaimana siswa-
siswa kita dapat membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruh tersebut dengan menguatkan budaya
ilmiahnya. Sangat mungkin atau bahkan sudah terjadi niat-niat jahat dari luar negeri yang akan
menyerang anak-anak kita.
Kendala Pemekaran Budaya Ilmiah
Jika pengajaran matematika dan sains yang dogmatis ini dilanjutkan terus, lalu di mana anak akan
belajar berpikir skeptis? Dari sisi pengembangan sains dan teknologi bangsa, mustahil akan terjadi
pengembangan sains, teknologi, dan seni, tanpa kemampuan berpikir kritis dan skeptis. Dan, jika bangsa
ini gagal mengembangkan sains, teknologi, dan seni, tentunya peluang bangsa ini membangun
republiknya berbasiskan intelektualitas sangat kecil. Namun, sayangnya sistem pendidikan yang
dogmatis itu secara umum menguntungkan siswa yang bertipe patuh dan penurut. Pendidikan
matematika dan sains yang dogmatis seperti sekarang menguntungkan siswa-siswa yang langsung
percaya dalil Pitagoras, tanpa perlu mempertanyakan kesahihannya. Asalkan menghafalnya dan trampil
menggunakannya untuk menyelesaikan soal-soal, maka hasilnya bagus. Keadaan seperti ini, ditambah
dengan UN yang memang fokus pada jenjang berpikir tingkat rendah, menjadi makanan empuk bagi
siswa-siswa penurut dan penghafal ini. Mereka akan mendapatkan nilai yang baik. Sementara itu, siswa-
siswa yang pada saat gurunya mengajarkan dalil Pitagoras, tak mau langsung percaya dan menuruti
untuk mengerjakan soal latihan, karena masih ingin tahu alasan dalil Pitagoras harus berbentuk kuadrat
(pangkat 2), terpaksa akan mendapat nilai buruk.
Maka jadi sangat tidak aneh, bahwa pada umumnya siswa-siswa tipe penghafal dan penurutlah yang
akan memperoleh nilai baik dan yang akan kemudian melanjutkan di perguruan tinggi ternama.
Sebaliknya, para putra-putri kita yang sebenarnya sangat cerdas dan cakap berpikir kritis serta kreatif
malah mungkin tersisihkan. Sistem pendidikan kita sekarang tidak menghargai anak-anak cerdas ini.
Sistem seleksi masuk perguruan tinggi kita apakah mampu mengenali anak-anak berbakat ini? Sistem
seleksi yang baik layaknya sebuah instrumen yang harus mampu mengenali berlian yang masih terbalut
lumpur. Pada saat yang sama, instrumen ini tak boleh tertipu dengan beling yang dipoles mengkilap oleh
lembaga-lembaga komersial penyiapan tes.
6
“... Mahasiswa ITB menjadi yang terbanyak direkrut sebagai anggota NII oleh aktivis NII gadungan,” kata Ketua
Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) KH Athian Ali M Da`i ....” dikutip dari berita Mahasiswa ITB Paling Banyak
Direkrut NII, Antara Sumut, 26 April 2011, http://www.antarasumut.com/52884, Diunduh terakhir pada 26 Okt
2012.
6
7. Keadaan seperti sekarang yang tak menghargai proses bernalar membuat gurunya pun enggan
membelajarkan pembuktian dalil Pitagoras. Mengapa perlu membelajarkannya, tidak ada insentif sedikit
menuntut kemampuan membuktikan. Mengapa perlu mempertanyakan mengapa −1 × −1 = +1, toh
pun untuk kemampuan ini. Mengapa perlu meningkatkan kemampuan membuktikan, UN tak pernah
tidak akan pernah muncul di UN. Diimani saja. Padahal, kegiatan pembuktian jelas disebutkan di
mereka dapat membuktikan jumlah sudut segitiga 180° secara deduktif. Apakah siswa pernah
dokumen Standar Isi buatan BSNP. Tetapi coba tanyakan ke para siswa dan guru sekarang apakah
menjelaskan bagaimana argumennya untuk tiap langkah dalam menggambar sudut istimewa
menggunakan jangka dan mistar? Tentu tak perlu, karena memang ujian penentu kelulusan kenyataanya
tak pernah menguji kecakapan itu. Terlebih lagi, buku teks yang direstui Pemerintah juga nyaris tak ada
pembuktian lagi. Budaya ilmiah apa yang dibangun tanpa proses pembuktian?
Menguji berpikir analitis dan khususnya kemampuan membuktikan sering dianggap tak mungkin
diujikan dengan ujian yang sifatnya pilihan ganda. Ini tidak benar, karena banyak assessment
internasional seperti TIMSS dan PISA walau berbentuk pilihan ganda tetap menguji jenjang berpikir
tingkat tinggi seperti berpikir analitis itu. Setelah UN tidak menguji kecakapan atau hal yang kita hargai,
secara alami siswa akan menghargai apa yang diujikan semata. Setelah Ujian Nasional yang bersifat
taruhan besar atau high-stakes exam hanya menguji kecakapan berpikir tingkat rendah, seperti
menghafal, maka secara alami siswa dan guru akan menghargai kecakapan berpikir tingkat rendah itu.
Setelah Ujian Nasional hanya menguji kemampuan anak berhitung ruwet dengan angka-angka yang
besar, maka para siswa dan guru akan menghargai kecakapan itu 7. Sebaliknya, karena Ujian Nasional tak
pernah menguji kemampuan membuktikan, para siswa dan guru akan tak menghargai kemampuan
membuktikan lagi. Mereka tak akan berupaya mengembangkannya. Ini lah hukumnya. Pendidikan
matematika dan sains semestinya menguji apa yang kita semua hargai. Setelah itu terjadi, barulah
budaya ilmiah ada harapan untuk bermekaran di republik ini.
Penyebaran Pembelajaran Matematika dan Sains
Tentunya ada guru dan sekolah di Nusantara ini yang tetap membelajarkan matematika dan sains secara
sungguh-sungguh membangun budaya ilmiah, bukan pseudomath atau pun pseudoscience. Masalahnya,
guru dan sekolah-sekolah seperti ini tidak dapat sorotan. Media dan juga pemerintahan daerah maupun
pusat tak begitu peduli dengan hal-hal seperti ini. Birokrasi kependidikan, birokrasi pemerintahan,
sampai masyarakat pun enggan melirik prestasi pendidikan yang tak terkait pengukuran angka seperti
UN atau lomba-lomba sejenis olimpiade sains. Untuk itu, perlu sebuah forum tempat para pendidik-
pendidik yang sungguh-sungguh berupaya memekarkan budaya ilmiah dapat saling berbagi. Forum perlu
dibuat dengan memanfaatkan jejaring sosial yang ada. Penyebaran ini harus massif dan sistematis.
Kemudian, best practices yang telah dilakukan para pendidik ini perlu direkam ke dalam klip video yang
dapat dibagikan serta mempengaruhi banyak pendidik lain.
7
Dalam artikelnya berjudul Assessing Assessment, di situs MAA (Mathematical association of America)
http://www.maa.org/saum/maanotes49/1.html, Lynn Arthur Steen mengutip G. Wiggins, mengatakan “What we
assess defines what we value“ yang senada dengan pernyataan di tulisan ini. Beliau juga melanjutkan, “... faculty
who assess only calculation do not really value understanding.”
7
8. Kalangan matematikawan dan saintis juga rekayasawan serta seniman perlu mencerahkan masyarakat
tentang budaya ilmiah itu. Secara khusus, matematikawan dan saintis perlu menggagas forum-forum
kecil di daerah masing-masing yang melibatkan guru sekolah dan orang tua siswa. Pengalaman
bermatematika dan bersains harus dirasakan para pendidik. Tak mungkin mereka mengatakan
matematika dan sains itu asyik atau keren, jika mereka sendiri belum pernah menghayati indahnya
matematika dan sains. Tidak mungkin para guru matematika dan sains dapat menularkan hasrat belajar,
jika mereka sendiri belum pernah merasakan AHA! Moment. Kenikmatan klimaks sesaat setelah
memahami atau menemukan dalam bermatematika dan bersains harus pernah dirasakan para pendidik.
Memang tampaknya saat sekarang kebanyakan guru matematika dan sains belum pernah
merasakannya. Padahal pengalaman seperti ini sangat mutlak. Pembelajaran matematika dan sains tidak
akan pernah menyentuh pribadi dan bersifat emosional, jika pendidiknya belum merasakan matematika
dan sains sebagai bagian dari jati dirinya. Dalam hal ini, mau tak mau badan keilmuan di Indonesia harus
turun ke masyarakat menularkan kenikmatan bermatematika dan bersains itu. Jika matematika
digambarkan 8 seperti seni yang menyentuh kegeniusan dan “kesintingan”, tampaknya di Indonesia hal
kedua itu yang masih absen. Ciri melibatkan diri dalam bermatematika dan bersains secara total
merupakan salah satu ciri “kesintingan” itu. Sisi estetika dari matematika dan sains sangat esensial.
Jika pengajar fisika mampu mengajarkan hukum 𝐹𝐹 = 𝑚𝑚𝑚𝑚, tetapi tidak mampu menyadarkan anak didik
Tanpanya, matematika dan sains menjadi terlalu kaku atau formal, menjadi kehilangan sisi humanisnya.
betapa dahsyat dan indahnya rumus itu, mungkin video pengajaran fisika yang ada di YouTube lebih baik
dibanding pengajar itu. Jika ada guru matematika dan sains hari ini dapat digantikan oleh komputer,
seharusnya dia memang pantas digantikan oleh komputer. Peran guru matematika dan sains abad ke-21
bukan membuat siswa pandai matematika dan sains, tetapi justru mengajak dan menyadarkan siswanya
atas kenikmatan serta menakjubkannya petualangan bermatematika dan bersains.
Badan-badan keilmuan nasional yang secara formal bertanggung jawab pada pengembangan
matematika dan sains, perlu membangun pendidikan nirdinding atau wall-less education. Yang juga
perlu dikembangkan adalah pengembangan profesi bagi guru yang bukan berbasiskan komputer atau
TV. Perlu dipikirkan memanfaatkan telpon dan telpon cerdas untuk mencapai guru-guru di pelosok. Saat
ini masih tak realistis berharap tiap guru memiliki komputer yang tersambung ke Internet. Namun,
dengan populernya telpon selular, dapat diharapkan program pengembangan profesi guru dapat lebih
realistis. Dengan pendekatan pengembangan pendidikan yang murah, luas, dan terbuka ini, penyebaran
gagasan pendidikan matematika dan sains yang baik dapat disebar ke seluruh pelosok. Penyepelean
atau pereduksian makna pendidikan matematika dan sains yang sekedar menjadi penyerapan informasi,
harus dilawan dengan gagasan bermatematika dan bersains yang sengaja menumbuhkan pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan era sekarang.
8
Morse, H.M. mengatakan, “But mathematics is the sister, as well as the servant, of the arts and it is touched with
the same madness and genius.”
8