SlideShare a Scribd company logo
1 of 76
PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT
DPC PERADI BANDUNG – FAKULTAS
HUKUM UNIKOM
17 Oktober 2021
HUKUM ACARA PERDATA
Start
Dr. Sahat Maruli Tua Situmeang S.H., M.H
Ketua Program Studi Ilmu
Hukum
Fakultas Hukum UNIKOM
 Hukum Acara Perdata adalah Hukum Perdata Formil, yaitu kaidah hukum
yang menentukan dan mengatur tata cara bagaimana hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata seseorang sebagimana yang diatur dalam
hukum perdata materil.
 Hukum Acara Perdata meliputi ketentuan-ketentuan tentang cara
bagaimana orang harus menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya
serta mendapatkan keadilan dari hakim apabila kepentingannya atau hak-
haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagaimana cara
mempertahankan kebenarannya apabila dituntut oleh orang lain.
PENGERTIAN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA
A. DASAR HUKUM
Susunan dan kekuasaan Badan Pengadilan diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 Jo
UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004 Jo UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Sebelum itu sudah ada Undang-Undang yang mengatur
susunan dan kekuasaan Badan-Badan Kehakiman ialah :
UU No. 19 Tahun 1964 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945
yang menjamin adanya “Pengadilan Bebas” di Negara Republik
Indonesia sebagai suatu Negara Hukum, karena UU No. 19 Tahun 1964
mencantumkan suatu lembaga “campur tangan presiden” dalam Urusan
Peradilan. Oleh karenanya Undang-Undang tersebut ditinjau kembali dan
diganti dengan UU No. 14 Tahun 1970.
DASAR HUKUM SUSUNAN DAN KEKUASAAN
BADAN-BADAN PERADILAN
UU No. 1 Tahun 1951 yang semula adalah UU Darurat No. 1 Tahun 1951.
dari situlah Undang-Undang darurat tersebut menunjukkan adanya
tujuan untuk mengadakan tindakan-tindakan sementara dalam rangka
menyelenggarakan kesatuan dalam susunan kekuasaan dan acara
Pengadilan-pengadilan sipil. Pada waktu itu bentuk Negara kita adalah
berbentuk Negara Serikat (RIS) dimana pengaturan tentang susunan
dan kekuasaan pengadilan termasuk hukum acaranya merupakan
wewenang masing-masing Negara bagian.
B.MACAM-MACAM PENGADILAN
Pengadilan Militer
yang hanya berwenang
untuk berwenang
untuk mengadili
perkara yang
terdakwanya berstatus
anggota ABRI
Pengadilan Agama
yang kewenangannya
mengadili perkara-
perkara perdata yang
kedua pihaknya
beragama Islam.
Pengadilan Admisitrasi
(tata usaha negara) adalah
perkara yang tergugatnya
pemerintah dan
penggugatnya subjek hukum
perorangan dan/atau badan
hukum. Pemerintah digugat
dengan alasan adanya
kesalahan dalam
melaksanakan / menjalankan
administrasi.
C. SUSUNAN BADAN-BADAN
PENGADILAN UMUM
Mahkamah Agung yang merupakan Pengadilan tingkat
akhir dan bukan Pengadilan tingkat ketiga. Mahkamah
Agung memeriksa perkara-perkara yang dimintakan
Kasasi. Pada tingkat kasasi yang diperiksa adalah
penerapan hukumnya saja.
Pengadilan Tinggi atau Pengadilan tingkat banding
yang juga disebut Pengadilan tingkat kedua.
dinamakan Pengadilan tingkat kedua karena cara
pemeriksaannya sama seperti pemeriksaan di
Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Tinggi).
Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama
yang berwenang mengadili semua perkara baik perdata
maupun pidana.
SUSUNAN PENGADILAN YANG
TERDAPAT DI INDONESIA :
A.Mengenai kewenangan mengadili dalam Kekuasaan Kehakiman dapat
dibagi menjadi dua, yaitu Kekuasaan Kehakiman atribusi (atributie van
rechtsmacht) dan Kekuasaan Kehakiman distribusi (distributie van
rechtsmacht), bahwa :
KEKUASAAN KEHAKIMAN ATRIBUSI
Disebut juga kewenangan mutlak atau kompetensi absolute.
Kewenangan Mutlak atau Kompetensi absolute adalah kewenangan
badan pengadilan di dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, misalnya
Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa atau mengadili perkara
yang seharusnya diperiksa di Pengadilan Agama. (Pasal 6 UU No. 29
Tahun 1947).
D. KEWENANGAN PENGADILAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN DISTRIBUSI.
Disebut juga kewenangan nisbi atau kompetensi relative.
Kewenangan nisbi atau Kompetensi relative adalah bahwa hanya
Pengadilan Negeri di tempat tinggal (domisili) yang berwenang
memeriksa gugatan atau tuntutan hak.
Kewenangan Relatif Pengadilan Berdasarkan Pasal 118
HIR/Pasal 142 RBg :
1. ACTOR SEQUITUR FORUM REI :
Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal
tergugat.
2. ACTOR SEQUITUR FORUM REI DENGAN HAK OPSI :
Dalam hal ada beberapa orang tergugat, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri
pada tempat tinggal salah satu tergugat atas pilihan penggugat.
3. ACTOR SEQUITUR FORUM REI TANPA HAK OPSI :
Gugatan dapat diajukan berdasarkan tempat tinggal debitur prinsipal (dalam hal Para
Tergugat salah satunya merupakan debitur pokok/debitur prinsipal, sedangkan
selebihnya berkedudukan sebagai penjamin, maka gugatan diajukan ke Pengadilan
Negeri pada tempat tinggal debitur pokok/debitur prinsipal)
4. PENGADILAN NEGERI DI DAERAH HUKUM TEMPAT TINGGAL PENGGGAT :
Gugatan dapat diajukan di Pengadilan Negeri tempat tinggal Penggugat dalam hal
tempat tinggal atau kediaman Tergugat tidak diketahui.
5. FORUM REI SITAE :
Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan patokan tempat
terletaknya benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa.
6. KOMPETENSI RELATIF BERDASARKAN PEMILIHAN DOMISILI :
Para Pihak dapat membuat kesepakatan perihal domisili pilihan yakni
menyepakati untuk memilih Pengadilan Negeri tertentu yang akan
berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari Perjanjian.
7. NEGARA ATAU PEMERINTAH DAPAT DIGUGAT PADA SETIAP PENGADILAN
NEGERI :
Dalam hal pemerintah Indonesia bertindak sebagai Penggugat atau
Tergugat yang mewakili Negara, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan
Negeri dimana departemen yang bersangkutan berada.
Pengadilan Tingkat Banding mempunyai kewenangan mutlak untuk melakukan
pemeriksaan ulang semua perkara perdata dan pidana sepanjang
dimungkinkan untuk dimintakan banding, berdasarkan (Pasal 3 Ayat 1
dan 2 UU Darurat No. 1 Tahun 1951).
 Memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang
mengadili antara Pengadilan Negeri di dalam wilayahnya, berdasarkan (Pasal
3 Ayat 1 dan 2) UU Darurat No. 1 Tahun 1951, Pasal 51 UU Peradilan Umum
No. 2 Tahun 1986.
 Prorogasi mengenai perkara perdata (Pasal 3 Ayat 1 dan 2 UU Darurat No. 1
Tahun 1951, Pasal 128 Ayat 2 RO, Pasal Rbg).
KEWENANGAN PENGADILAN TINGGI
Pengadilan Tingkat terakhir dalam Badan Peradilan di
Indonesia atau disebut Tingkat Kasasi, mempunyai
kewenangan :
 Memutus permohonan kasasi;
 Memutus sengketa tentang kewenangan mengadili;
 Memutus permohonan Peninjuan Kembali (request civil)
terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde)
KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG
Tempat kedudukan Pengadilan Negeri pada prinsipnya berada di tiap
Kabupaten, namun di luar Pulau Jawa masih terdapat banyak Pengadilan
Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lebih dari satu Kabupaten.
Diwilayah Pengadilan Negeri terdapat Kejaksaan Negeri, dan disetiap
Pengadilan Tinggi terdapat Kejaksaan Tinggi. Khusus di Ibukota Jakarta ada
5 instansi Pengadilan Negeri yakni di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara demikan pula dengan Kejaksaan
Negerinya.
E. TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN
Di tiap pengadilan terdapat beberapa hakim. diantaranya menjabat sebagai ketua pengadilan dan
wakil ketua. Para hakim bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara di persidangan.
disamping itu ada panitera yang bertugas memimpin bagian administrasi atau tata usaha dibantu oleh
wakil panitera, beberapa panitera pengganti dan karyawan-karyawan lainnya. tugas dari pada
panitera ialah menyelenggarakan administrasi perkara serta mengikuti semua sidang serta
musyawarah-musyawarah pengadilan dengan mencatat secara teliti semua hal yang dibicarakan
(Pasal 58,59 UU no. 2 Tahun 1986, Pasal 63 RO). ia harus membuat Berita Acara (proses verbal)
sidang pemeriksaan dan menandatanganinya bersama-sama dengan ketua sidang (Pasal 186 HIR,
Pasal 197 Rbg). karena ia tidak mungkin mengikuti semua sidang-sidang pemeriksaan perkara, maka
di dalam praktik, tugas tersebut dilakukan oleh panitera pengganti.
F.Susunan Pejabat Pada Suatu Pengadilan
Di samping hakim dan panitera, ada petugas yang
dinamakan jurusita (deurwaarder) dan jurusita pengganti
(Pasal 38 UU No.21 Tahun 1986). Tugas dari para jurusita
adalah melaksanakan perintah dari Ketua Sidang dan
menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-
teguran, pemberitahuan putusan pengadilan, panggilan-
panggilan resmi para tergugat dan penggugat dalam
perkara perdata dan para saksi, dan juga melakukan
penyitaan-penyitaan atas perintah hakim.
A. ASAS YANG DAPAT MENJADI PIHAK
Pada asasnya setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntut atau
ingin mempertahankan atau membela haknya, berwenang untuk bertindak selaku
pihak baik selaku penggugat maupun selaku Tergugat.
Namun demikian beberapa persyaratan harus dipenuhi yakni :
Mempunyai Hak dan mempunyai rechtbevoegdheid atau kewenangan untuk menjadi
pendukung hak tersebut.
Mempunyai (handelingsbe waamheid) atau kemampuan untuk bertindak/melakukan
perbuatan hukum.
siapa saja yang tidak mampu untuk bertindak dianggap tidak mampu pula untuk
bertindak sebagai pihak di muka pengadilan.
PARA PIHAK YANG DAPAT BERPEKARA
B. YANG DIANGGAP TIDAK MAMPU
 Mereka yang belum cukup umur atau belum dewasa, mereka harus diwakili oleh
walinya, mereka yang diletakkan dibawah pengampuan karena sakit ingatan ( Pasal
466,452 BW, Pasal 248 Ayat 2 Rv).
 Para pemboros dan pemabuk, yang kemampuannya terbatas untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum (harta kekayaan saja).
 Seorang istri yang tunduk pada BW tidak dapat bertindak sebagai pihak tanpa
bantuan dari suaminya (Pasal 110 BW), kecuali dalam hal perceraian atau apabila
ia dituntut dalam perkara pidana (Pasal 111 BW).
 Terhadap orang yang telah meninggal dunia, dapat pula dilakukan gugatan yang
diajukansekaligus. terhadap ahli warisnya (Pasal 7, 248 Ayat 1 Rv, Pasal 1194 BW).
C. BADAN-BADAN HUKUM SEBAGAI PIHAK
Selain orang yang dapat diajukan ke Pengadilan sebagai pihak adalah :
Badan hukum, melalui pengurusnya atau wakilnya (Pasal 1655 BW, Pasal 8 Ayat 2 Rv). Untuk
mewakili badan hukum, pengurus tidak memerlukan kuasa khusus (Pasal 1655 BW). Badan hukum
publik, gugatannya harus dialamatkan kepada pimpinannya (Pasal 6 Ayat3).
kalau yang digugat Negara, maka orang yang mewakilinya tidak perlu disebut namanya dalam
gugatan. Beberapa peraturan perundang-undangan menunjuk dengan tegas siapa-siapa yang
ditugaskan untuk mewakili badan hukum publik ini, misalnya gugatan terhadap Pemerintah RI harus
ditujukan kepada pimpinan departemen yang bersangkutan.(Pasal 6 Ayat 1).
Terhadap badan hukum lainnya (badan hukum keperdataan) gugatan harus ditujukan kepada
pengurus dan apabila badan hukum itu telah dibubarkan, maka gugatan ditujukan kepada
pemberesnya.
Firma walaupun bukan badan hukum dapat juga bertindak sebagai pihak. seluruh gugatan ditujukan
kepada salah seorang pesero (Pasal 6 Ayat5 Rv)
Demikian pula CV dapat bertindak sebagai pihak, disini yang bertindak adalah para persero
pengurus (Pasal 6 Ayat 5 Fv).
KUASA PARA PIHAK
A. Tidak Ada Keharusan Untuk Mewakilkan
Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur bahwa para pihak dalam suatu perkara harus
mewakilkan kepada orang lain. Orang yang berkepentingan dapat langsung bertindak sendiri
sebagai Penggugat maupun sebagai Tergugat. Mereka merupakan pihak materiil karena
mempunyai kepentingan langsung dalam perkara yang bersangkutan, tetapi mereka sekaligus
menjadi pihak formil, karena mereka sendirilah yang beracara di muka pengadilan. Mereka itu
bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dalam keadaan tertentu orang lain dapat juga
bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat di muka Pengadilan tanpa mempunyai kepentingan
secara langsung dalam perkara yang bersangkutan, misalnya seorang wali atau pengampu (Pasal
383, 446, 452, 403, 405 BW).
Disamping itu juga sering terjadi dalam hukum materiil suatu pihak memerlukan suatu wakil
untuk beracara di muka pengadilan karena memang tidak mungkin beracara tanpa diwakili,
misalnya badan hukum (Pasal 8 No. 2 Rv.)
Harus dibedakan dengan seorang Advokat yang meskipun mewakili kliennya karena seorang
Advokat bukan merupakan pihak, baik formil maupun materiil.
Jadi untuk dapat bertindak sebagai kuasa atau wakil dari penggugat,
seseorang harus memenuhi salah satu syarat berikut ini :
• Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi (Pasal
123 Ayat 1 HIR, 147 Ayat 1 Rbg).
• Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugatan (Pasal 123
Ayat 1 HIR, 147 Ayat 1 Rbg).
• Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil apabila gugatan diajukan secara
lisan (Pasal 123 Ayat 1 HIR, Pasal 147 Ayat 1 Rbg).
• Ditunjuk oleh Penggugat sebagai kuasa atau wakil di persidangan
(Pasal 123 Ayat 1 HIR, Pasal 147 Ayat 1 Rbg).
• Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965
tanggal 28 Mei 1965 jo Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P.
14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang prokol.
• Telah terdaftar sebagai advocate.
Untuk dapat bertindak sebagai kuasa khusus atau wakil dari
Tergugat, seseorang harus memenuhi salah satu syarat dibawah in :
• Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi pasal 123 Ayat
1 HIR (Pasal 147 ayat 1 Rbg) yang ditunjuk oleh tergugat sebagai kuasa
atau wakil dalam persidangan (Pasal 123 Ayat 1 HIR, 147 ayat 1 Rbg)
• Telah terdaftar sebagai Advokat.
Sedangkan yang bertindak sebagai kuasa atau wakil dari Negara atau
pemerintah berdasarkan S 1922 No.522 dan Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147
Ayat 2 Rbg adalah :
• Pengacara Negara yang diangkat oleh pemerintah.
• Jaksa
• Orang-orang tertentu atau pejabat-pejabat yang diangkat atau ditunjuk
Selanjutnya berdasarkan kepentingannya maka terdapat macam-
macam Surat Kuasa yakni :
Surat Kuasa Khusus.
Surat Kuasa Referte/Penunjukkan.
Surat Kuasa Limpahan/Pengganti.
Surat Kuasa Banding.
Surat Kuasa Permohonan Memori Banding.
Surat Kuasa Kontra Memori Banding.
Surat Kuasa Kasasi.
Surat Kuasa Permohonan Memori Kasasi.
Surat Kuasa Kontra Memori Kasasi.
Surat Kuasa Peninjauan Kembali.
Surat Kuasa Permohonan Peninjauan Kembali.
MENYUSUN GUGATAN
A. Pendahaluan
Dalam menyusun Surat gugatan sebagai dasar tuntutan hak atau kepentingan dalam pemeriksaan
acara perdata, apa-apa saja yang harus diperhatikan, yaitu :
Setiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang dianggap
merugikan lewat pengadilan.
Gugatan dapat diajukan secara lisan (Pasal 118 Ayat 1 HIR, Pasal 142 Ayat 1 Rbg) atau tertulis (Pasal
120 HIR Pasal 144 Ayat 1 Rbg) dan bila perlu dapat minta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Gugatan itu harus diajukan oleh yang berkepentingan. Tuntutan hak di dalam gugatan merupakan
tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya, yang dapat dikabulkan apabila kebenarannya dapat
dibuktikan dalam sidang pemeriksaan.
Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan tidak ada ketentuannya tetapi kita dapat melihat
dalam Pasal 8 Ayat 3 Rv yang mengharuskan adanya pokok gugatan yang meliputi :
• Identitas para pihak
• Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan
daripada tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah Fundamentum Petendi.
• Tuntutan atau petittum ini harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai
cara mengajukan gugatan.
B. Identitas Para Pihak
Identitas merupakan ciri-ciri daripada penggugat dan
tergugat ialah nama, pekerjaan, tempat tinggal.
Fundamentum Petendi atau Posita adalah dalil-dalil konkret tentang
adanya hubungan sebahai dasar serta ulasan daripada tuntutan.
Fundamentum Petendi ini terdiri dari dua bagian :
Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwanya
(fetelijkegronden)
Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtsgronden)
Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara
tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar
yuridis daripada tuntutan.
Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus menyebutkan
peraturan -peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan,
melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam
persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan, yang memberi
gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan
itu.
Mengenai seberapa jauh harus dicantumkannya perincian tentang
peristiwa yang dijadikan dasar tuntutan ada beberapa pendapat :
C. Fundamentum Petendi
Menurut substantieringstheori, tidak cukup disebutkan hukum yang menjadi dasar tuntutan
saja, tetapi harus disebutkan pula kejadian itu kejadian yang nyata yang mendahului
peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan itu, dan menjadi sebab timbulnya peristiwa
hukum tersebut misalnya : Penggugat yang menuntut hak miliknya selain menyebutkan
bahwa sebagai pemilik ia juga harus menyebutkan asal-usul pemilikan tersebut.
Menurut indvidualiseringstheorie, sudah cukup dengan disebutkannya kejadian-kejadiannya
yang dicantumkan dalam gugatan yang sudah dapat menunjukkan adanya hubungan hukum
yang menjadi dasar tuntutan. Dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut tidak perlu
dijelaskan, karena hal tersebut tidak perlu dikemukakan dalam sidang yang akan datang
pada acara pembuktian.
PETITUM atau TUNTUTAN
Petitum atau tuntutan adalah apa yang diminta atau diharapkan Penggugat agar
diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan itu akan terjawab didalam amar atau dictum
putusan. Oleh karenanya petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas (ps 8
Rv).
Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya
tuntutan tersebut, demikian juga gugatan yang berisi pernyataan-penyataan yang
bertentangan satu sama lain atau disebut obscuur libel (gugatan yang tidak jelas
dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak Tergugat, sehingga
menyebabkan ditolaknya gugatan) berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut.
Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung
berhubungan dengan pokok perkara.
Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok yang langsung
berhubungan dengan pokok perkara.
Tuntutan subsideir atau pengganti.
Sebuah tuntutan dapat dibagi 3
(tiga) ialah :
Meskipun tidak selalu, tapi seringkali di samping tuntutan pokok
masih diajukan tuntutan tambahan yang merupakan pelengkap dari
pada tuntutan pokok.
• Ada atau tidak adanya penundaan masalah.
• Jumlah Tergugat supaya lengkap.
• Pengajuan tuntutan atau petitum yang jelas dan tegas yang
dapat terdiri dari petitum primer, petitum tambahan dan petitum
subsidier.
Biasanya tuntutan tambahan dapat berupa :
• Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
• Tuntutan “uitvoebaar bij voorraad” yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih
dulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi. di dalam praktik permohonan
uitvoebaar bij voorraad sering dikabulkan. namun demikian Mahkamah Agung
menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah memberi putusan uitvoerbaar bij
voorraad (Intruksi MA tanggal 13 Februari 1958).
• Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratair) apabila tuntutan yang
dimintakan oleh Penggugat berupa sejumlah uang tertentu.
• Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom), apabila
hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi
putusan.
• Dalam hal gugat cerai sering disebut juga dengan tuntutan nafkah bagi istri (Pasal 59 Ayat
2, 62, 65 HOCI, Pasal 213, 229 BW) atau pembagian harta (Pasal 66 HOCI, Pasal 232 BW).
Terkait tuntutan subsideir selalu diajukan sebagai pengganti apabila hakim
berpendapat lain. biasanya tuntutan subsiddeir itu berbunyi “Apabila hakim
berependapat lain, dimohon agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar”
atau “mohon putusan yang seadil-adilnya” (aequo et bono).
Sebuah gugatan dapat dicabut selama putusan Pengadilan belum dijatuhkan
dengan catatan :
• Apabila gugatan belum sampai dijawab oleh Tergugat, maka Penggugat dapat
langsung mengajukan pencabutan gugatan.
• Apabila pihak Tergugat sudah memberikan jawaban maka pencabutan gugatan
dapat dilaksanakan apabila ada persetujuan dari Tergugat.
KESIMPULAN
Dari yang telah diururaikan di atas, untuk mengantisipasi agar gugatan tidak ditolak atau
dinyatakan tidak diterima ialah, maka ada beberapa hal yang wajib diperhatikan dengan
sungguh-sungguh :
• Gugatan supaya diajukan kepada Pengadilan yang berwenang.
• Identitas seperti nama, pekerjaan, alamat dan sebagainya dari Penggugat dan Tergugat
harus jelas.
• Pihak Penggugat maupun Tergugat harus ada hubungan hukum dengan pokok
permasalahan.
• Pihak Penggugat maupun Tergugat mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum (handelingsbekwaamheid).
• Dalil-dalil atau posita gugatan harus mempunyai dasar peristiwa dan dasar hukum
(fundamentum petendi) yang cukup kuat
• Peristiwa atau permasalahan dalam gugatan belum lampau waktu.
• Peristiwa belum pernah diajukan dan diputuskan oleh pengadilan.
SIDANG PEMERIKSAAN PERKARA
MEMASUKKAN GUGATAN
Agar gugatan dapat disidangkan, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang. Dalam mengajukan gugatan, pihak Penggugat harus mendaftarkannya. dan
gugatan itu baru dapat didaftar apabila biaya perkara sudah dilunasi. Setelah terdaftar, gugatan
diberi nomor perkara dan kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan.
PERSIAPAN SIDANG
Setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan, maka ia menunjuk hakim yang
ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. pada prinsipsinya pemeriksaan dalam
persidangan dilakukan oleh majelis hakim. untuk ini Ketua Pengadilan menunjuk
seorang hakim sebagai Ketua Majelis dan dua hakim anggota. Hakim yang
bersangkutan dengan surat penetapan menetukan hari sidang dan memanggil para
pihak agar menghadap pada sidang Pengadilan Negeri pada hari sidang yang telah
ditetapkan. Pemanggilan dilakukan oleh jurusita. surat panggilan tersebut dinamakan
exploit. Exploit itu berupa salinan surat gugatan yang harus diserahkan kepada
Tergugat pribadi di tempat tinggalnya. Apabila Tergugat tidak diketemukan, surat
panggilan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa yang bersangkutan untuk
diteruskan kepada Tergugat ( Pasal 390)
PERSIAPAN SIDANG
Kalau Tergugat sudah meninggal maka surat panggilan disampaikan kepada
ahliwarisnya dan apabila
Ahli warisnya tidak diketahui maka disampaikan kepada Kepala Desa ditempat tinggal
terakhir (Ayat 1HIR , Pasal 789 ayat 1Rbg).
Apabila tempat tinggal tidak diketahui maka surat panggilan diserahkan kepada
Bupati dan untuk selanjutnya surat panggilan tersebut ditempelkan pada papan
pangumuman di Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Pasal 126 HIR, Rbg Pasal 150 memberi kemungkinan untuk memanggil sekali lagi
tergugat sebelum perkaranya diputus hakim. Setelah melakukan panggilan, jurusita
harus menyerahkan relaas (risalah) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa
perkara yang bersangkutan. Relaas itu merupakan bukti bahwa Tergugat telah
dipanggil secara patut. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang pemeriksaan
perkara dimulai.
JALANNYA PERSIDANGAN
SUSUNAN PERSIDANGAN
Hakim tunggal atau Hakim Majelis terdiri dari satu ketua dan dua hakim anggota, yang
dilengkapi oleh Panitera sebagai pencatat jalannya persidangan.
Pihak Penggugat dan Tergugat duduk berhadapan dengan hakim dan posisi Tergugat
disebelah kanan dan Penggugat disebelah kiri Hakim. Apabila persidangan berjalan
lancar maka jumlah persidangan lebih kurang 8 kali yang terdiri dari sidang pertama
sampai dengan putusan hakim.
SIDANG PERTAMA
Setelah hakim ketua membuka sidang dengan menyatakan “sidang dibuka untuk
umum” dengan mengetuk palu. Hakim memulai dengan mengajukan pertanyaan –
pertanyaan kepada Penggugat dan Tergugat terkait :
Identitas Penggugat
Identitas Tergugat
Apa sudah mengerti maksud
didatangkannya para pihak, di muka
sidang pengadilan.
Hakim memerintahkan untukmelakukan
mediasi dalam upaya tercapainya
perdamaian.
MEDIASI
PERMA No.1 Tahun 2016
Untuk menjalankan proses mediasi, para pihak diberi kesempatan untuk memilih
mediator yang ditunjuk oleh para pihak, dan apabila para pihak tidak menunjuk hakim
mediator, maka para pihak harus menyerahkan kepada ketua majelis (hakim ketua)
sesuai dengan kewenangannya untuk menunjuk hakim mediasi sesuai dengan
keahliannya yang telah memiliki sertifikat mediator.
Paling Lama 30 hari.
Sesuai kesepakatan para pihak dapat diperpanjang lagi selama 30 hari.
SIDANG KEDUA (Jawaban Tergugat)
Apabila para pihak dapat berdamai maka ada dua kemungkinan.
a. Gugatan dicabut
b. Mereka mengadakan perdamaian di luar atau di muka sidang.
Apabila perdamaian dilakukan di luar sidang, maka hakim tidak ikut campur karena kedua
belah pihak berdamai sendiri.
Perdamaian diluar pengadilan :
• Dilakukan para pihaknya sendiri tanpa ikut campurnya hakim.
• Apabila salah satu pihak ingkar janji permasalahannya dapat diajukan lagi kepada
Pengadilan Negeri.
Perdamaian dilakukan di muka hakim :
• Kekuatan perdamaian sama dengan putusan pengadilan.
• Apabila salah satu pihak melakukan ingkar janji, perkara tak dapat diajukan kembali.
Apabila tidak tercapai suatu perdamaian, maka sidang dilanjutkan dengan penyerahan
jawaban dari pihak tergugat.
JAWABAN TERGUGAT
Pada sidang pemeriksaan kedua apabila tidak tercapai suatu perdamaian antara
penggugat dengan tergugat, maka tergugat memberikan jawaban lewat hakim.
Jawaban tergugat dapat berbentuk bantahan terhadap gugatan, membenarkan
gugatan atau membenarkan diri tergugat sendiri berdasarkan peristiwa dan
hubungan hukumnya. Biasanya dalam praktek peradilan jawaban itu sendiri
terbagi 3 bentuk, yaitu :
Eksepsi
Dalam pokok
Perkara
Permohonan
1. Eksepsi
Bentuk jawaban dalam eksepsi ialah suatu tangkisan bahwa syarat-syarat prosessuil
gugatan tidak benar atau eksepsi berdasarkan ketentuan materiil (eksepsi
dilatoir/bahwa gugatan penggugat belum dapat diterima karena masih premature,
dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampau dini.
 Misalnya masa PKPU masih berjalan, Harta Warisan padahal pewaris masih hidup dan
eksepsi paremptoir/eksepsi yang berisi sangkalaan yang dapat menggugurkan
gugatan karena masalah yang di gugat tidak dapat diperkarakan.
 Misalnya permasalahan yang di gugat telah dibayar, dikonsinyasi, dikompensasi dll,
Pasal 1381 KUHPerdata atau Pasal 224 HIR), sehingga gugatan harus dinyatakan
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Dasar-dasar daripada eksepsi antara lain sebagai berikut :
a. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang tidak berwenang
Misalnya: Tergugat bertempat tinggal di Jakarta Selatan tetapi gugatannya
diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
b. Gugatan salah alamat (tergugat tak ada hubungan hukum)
Misalnya: A (Pemilik Rumah) mengadakan perjanjian sewa menyewa rumah
dengan B. Tetapi yang menghuni rumah tersebut adalah C bapaknya B. Karena
pembayaran sewa rumah tidak terpenuhi, maka A menggugat C (salah alamat),
seharusnya yang digugat adalah B.
c. Penggugat tak berkualitas (penggugat tidak mempunyai hubungan hukum)
Misalnya: Dalam kasus sewa menyewa rumah tersebut yang mengajukan
gugatan bukan A tetapi D (anak A). Meskipun gugatannya sudah benar, artinya
gugatan ditujukan kepada B, tetapi karena D tidak mendapat surat kuasa
khusus dari A (pemilik rumah) walaupun itu orang tua dari D, maka D tidak
berhak untuk menggugat B (tidak memiliki kualitas sebagai penggugat)
d. Tergugat tidak lengkap
Misalnya: Dalam kasus jual beli. A membeli tanah dari B. Kemudian C
menggugat A karena C merasa memiliki hak atas tanah tersebut dan A telah
membeli tanah secara tidak sah, karena A membeli tanah tersebut dari B, maka
ia menganggap tidak lengkap apabila B Tidak digugat juga.
E. Penggugat telah memberi penundaan pembayaran (eksepsi)
Misalnya: A digugat B karena utangnya tidak dibayar, A menangkisnya dengan
mengatakan bahwa B telah memberikan penundaan waktu pembayaran.
d. Tergugat tidak lengkap
Misalnya: Dalam kasus jual beli. A membeli tanah dari B. Kemudian C
menggugat A karena C merasa memiliki hak atas tanah tersebut dan A telah
membeli tanah secara tidak sah, karena A membeli tanah tersebut dari B, maka
ia menganggap tidak lengkap apabila B Tidak digugat juga.
E. Penggugat telah memberi penundaan pembayaran (eksepsi)
Misalnya: A digugat B karena utangnya tidak dibayar, A menangkisnya dengan
mengatakan bahwa B telah memberikan penundaan waktu pembayaran.
Dalam Pokok Perkara
Jawaban dalam pokok perkara ini merupakan bantahan terhadap dalil-dalil atau
fundamentum petendi yang diajukan penggugat.
Misalnya: A (Penggugat) menuntut B (Tergugat) agar meninggalkan tanah yang dikerjakan
B dengan dalih :
• Tanah tersebut adalah milik A sebagai ahli waris bapaknya C pemilik tanah asal yang
sudah meninggal dunia.
• Adanya petok D dan letter C yang masih atas nama C.
• A tidak pernah melihat atau mengetahui adanya transaksi antara B dan C atas tanah
tersebut.
Dalam contoh tersebut, B dapat membantah dalih A dengan alasan :
• A diragukan sebagai ahli waris karena tidak adanya fatwa waris.
• Petok D dan letter C bukan bukti kepemilikan.
• B mempunyai akte jual beli.
Berdasarkan bantahan atau tangkisan tersebut B dapat meminta kepada hakim agar
Permohonan atau Petitum
1. Sifat permohonan sudah tentu harus menguntungkan tergugat sendiri.
Misalnya :
Primair :
• Agar gugatan ditolak secara keseluruhan
• Agar hakim menerima seluruh jawaban tergugat
Subsidair :
Apabila hakim berpendapat lain, maka tergugat mohon agar hakim memberikan putusan seadil-
adilnya
2. Jawaban tergugat pada prinsipnya menolak gugatan penggugat dengan jalan menangkis dan
membantah apa yang didalihkan oleh penggugat. Untuk itu tergugat harus jeli, menguasai
permasalahan serta hukum-hukum yang terkait. semua jawaban juga cukup beralasan artinya
berdasarkan peristiwa yang didukung oleh hukum.
SIDANG KETIGA (Replik)
Pada sidang ini penggugat atau kuasa hukumnya menyerahkan replik, satu untuk
hakim, satu untuk tergugat dan satunya untuk penggugat sendiri. replik sendiri
merupakan tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat.
SIDANG KEEMPAT (Duplik)
Dalam sidang, tergugat menyerahkan duplik yaitu tanggapan tergugat terhadap
replik penggugat.
SIDANG KELIMA (Pembuktian dari Penggugat)
Sidang kelima dapat disebut sidang pembuktian oleh penggugat. di sini penggugat
mengajukan bukti-bukti yang memperkuat dalil-dalil penggugat sendiri dan yang
melemahkan dalil-dalil tergugat. Alat pembuktian melalui surat (fotocopy) harus di
nazagelen terlebih dahulu dan pada waktu sidang dicocokkan dengan aslinya oleh hakim
maupun pihak tergugat. hakim mempuyai kewenagan untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang dilanjutkan oleh tergugat sedangkan pihak penggugat memberi jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. teradap saksi-saksi hakim mempersilahkan
penggugat mengajukan pertanyaan terlebih dahulu, kemudian hakim sendiri juga
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam rangka memperoleh keyakinan.
Saksi sebelum didengar keterangannya dan menerangkan kesaksiannya, terlebih dahulu
harus disumpah sesuai dengan kepercayaannya, dan sebelum dipanggil tidak boleh masuk
dalam ruang sidang.
SIDANG KEENAM (Pembuktian dari Tergugat)
Sidang keenam merupakan sidang pembuktian dari pihak tergugat. jalannya sidang sama
dengan sidang kelima dengan catatan bahwa yang mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi
adalah tergugat, sedang Tanya jawabnya kebalikan daripada sidang kelima.
SIDANG KETUJUH
Sidang ketujuh adalah sidang penyerahan kesimpulan. Para pihak membuat kesimpulan
dari hasil-hasil sidang yang telah berlangsung. Isi pokok kesimpulan harus menguntungkan
para pihak
SIDANG KEDELAPAN
Sidang kedelapan dinamakan sidang putusan hakim. Dalam sidang kedelapan ini hakim
membaca putusan dan harus dihadiri oleh para pihak. Setelah selesai membaca putusan
maka hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan banding apabila
tidak puas atas putusan hakim tsb. Pernyataan banding ini harus dilakukan dalam jangka
waktu 14 hari terhitung ketika putusan dijatuhkan.
PUTUSAN HAKIM
Setelah melakukan segala pemeriksaan terhadap berkas-berkas dari penggugat
dan tergugat serta alat pembuktian yang dihadirkan dalam persidangan acara
perdata, maka hakim akan mengambil suatu putusan terhadap perkara yang ia
periksa. putusan itu di harapkan menghasilkan suatu keadilan bagi para pihak
yang diminta untuk diperiksa dan diputus oleh hakim. Jadi bagi hakim dalam
mengadili suatu perkara yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan
bukan hukumnya. Peraturan hukumnya adalah suatu alat semata. Sedangkan yang
menentukan adalah tetap peristiwanya.
PUTUSAN HAKIM
Dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan dalam pertimbangan hukumnya,
sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup
mempunyai alasan yang obyektif atau tidak. Disamping itu pertimbangan hakim
adalah penting dalam pembuatan memori banding dan memori kasasi.
Adapun susunan dan isi putusan hakim adalah berdasarkan Pasal 183,184,187
HIR, Pasal 194,195,198 Rbg, Pasal 4 Ayat 1, 23 UU No. 14 Tahun 1970 Jo UU No.
35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 27
R.O dan 61 Rv, yang terdiri dari :
A. KEPALA PUTUSAN
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala pada bagian atas yang
berbunyi “Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 435 Rv).
Kepala putusan ini penting sekali karena memberikan kekuatan eksekutorial
pada putusan. tanpa adanya kepala putusan tersebut, maka hakim tidak dapat
melaksanakan putusan tersebut (Pasal 224 HIR, 258 Rbg.
B. IDENTITAS PARA PIHAK
Suatu perkara atau gugatan tentu mempunyai dua pihak atau lebih, maka di
dalam putusan harus memuat identitas para pihak seperti nama, alamat, umur
dan nama kuasa hukumnya kalau ada.
C. PERTIMBANGAN ATAU CONSIDERANS
PERTIMBANGAN ATAU CONSIDERANS ADALAH dasar daripada putusan. pertimbangan
dalam putusan dibagi dua yakni pertimbangan duduk perkara atau peristiwanya harus
dikemukakan oleh pihak sedangkan pertimbangan hukumnya adalah urusan hakim.
Pertimbangan dari isi putusan sampai diambilnya putusan tesebut. Alasan dan dasar
daripada putusan harus dimuat dalam suatu putusan.
(Pasal 184 HIR, 195 Rbg, Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo
UU No. 4 Tahun 2004), dari pasal tersebut putusan memuat ringkasan yang jelas dari
tuntutan dan jawaban, alasan dasar daripada putusan pasal-pasal serta hukum tidak
tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya para pihak pada waktu
putusan diucapkan oleh hakim. (Pasal 184 HIR dan Pasal 195 Rbg).
D. AMAR ATAU DICTUM
Pada hakikatnya amar atau dictum merupakan jawaban terhadap petitum daripada
gugatan. Dalam mengadili suatu perkara hakim wajib mengadili semua bagian daripada
tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau
mengabulkan lebih daripada yang dituntut. (Pasal 178 Ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 Ayat 2
dan 3 Rbg). Amar atau dictum itu dapat bersifat deklaratif dan dispositif. dikatakan
deklaratif apabila amar itu merupakan penerapan daripada hubungan hukum yang menjadi
sengketa atau hukumnya mengabulkan atau menolak gugatan.
F. PENANDATANGANAN
Setiap putusan harus ditandatangani oleh Majelis Hakim Ketua, Hakim Anggota
dan Panitera (Pasal 184 Ayat 3 HIR, 195 Rbg, Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970 Jo
UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004). Apabila ketua sidang tidak dapat
menandatangani putusan, maka penandatangan dilakukan oleh hakim anggota
yang ikut serta memeriksa, yang pangkatnya setingkat dibawah pangkat ketua
(Pasal 137 Ayat 1 HIR, Pasal 198 Ayat 1 Rbg) dan apabila ternyata panitera
berhalangan untuk menandatangani putusan, maka hal tersebut harus dinyatakan
dengan tegas dalam Berita Acara (Pasal 187 Ayat 2 HIR, Pasal 198 Ayat 2 Rbg).
UPAYA HUKUM
Mengenai salah satu pihak maupun pihak lainnya merasa tidak puas
atas putusan yang dijatuhkan oleh hakim tersebut, maka untuk itu
bagi para pihak yang tidak puas akan putusan yang dijatuhkan,
diberikan suatu hak untuk mengajukan upaya hukum atas putusan
tersebut.
UPAYA HUKUM
Upaya hukum dalam
hukum acara
perdata terdiri dari :
Banding
Kasasi
Peninjauan
Kembali
Perlawanan
Pihak Ketiga
(Derdenverzet)
A. BANDING
Upaya Banding merupakan suatu Upaya Hukum yang diajukan oleh para pihak yang tidak
puas atas putusan yang dijatuhkan oleh hakim atas perkara yang diperiksa di Pengadilan
tingkat pertama. Lazimnya yang mengajukan banding adalah pihak yang kalah. Dalam
perkara banding ini timbul istilah pembanding bagi yang mengajukan banding sedang
lawannya dinamakan terbanding. pernyataan banding ini harus dilakukan dalam
waktu 14 hari terhitung sehari setelah dibacakannya tanggal putusan hakim. (Pasal 7 UU
No. 20/1947, 199 Rbg) atau diberitahukan putusan kepada pihak yang bersangkutan. Pihak
yang mengajukan banding (pembanding) harus mengajukan memori banding yang
kemudian ditanggapi oleh pihak lawan (terbanding) dengan mengirimkan kontra memori
banding.
Pengiriman memori banding dan kontra memori banding yang ditunjukan kepada
Ketua Pengadilan Tinggi dikirimkan lewat Pengadilan Negeri yang dulu
memutuskan perkara yang bersangkutan. Perlu diketahui pula, bahwa dalam
memori dan kontra memori banding misalnya pihak penggugat yang mengajukan
banding, maka ia menyebut dirinya sebagai “pembanding semula penggugat” dan
lawannya disebut “terbanding semula tergugat”, bila yang mengajukan banding
pihak tergugat, maka ia menyebut dirinya sebagai “pembanding semula tergugat”
dan lawannya disebut “terbanding semula penggugat”.
Dengan adanya banding, Pengadilan Tinggi mengadakan sidang yang dilakukan
oleh majelis hakim.
Sidang tingkat banding juga disebut sidang tingkat kedua, karena cara
pemeriksaannya sama dengan pada sidang pemeriksaan tingkat pertama di
Pengadilan Negeri. Di sini yang diperiksa adalah pokok perkaranya. Hasil sidang
banding tersebut merupakan putusan Pengadilan Tinggi.
Putusan Pengadilan
Tinggi dapat berupa :
• Menguatkan Putusan Pengadilan
Negeri;
• Membatalkan Putusan Pengadilan
Negeri, atau
• Menjatuhkan putusannya sendiri.
B. KASASI
Kasasi adalah upaya hukum yang diajukan kepada Mahkamah Agung atas
Putusan Pengadilan Negeri dan Putusan Pengadilan Tinggi (Judex Factie) yang
dianggap bertentangan dengan hukum yang berlaku atau dianggap salah dalam
menerapkan hukum. Pemeriksaan kasasi meliputi seluruh putusan hakim yang
mengenai hukum, baik yang meliputi bagian daripada putusan yang merugikan
maupun yang menguntungkan pemohon kasasi. Jadi pada tingkat kasasi tidak
dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkara.
Oleh karena itu pemeriksaan tingkat kasasi tidak dianggap disebut sebagai
pemeriksaan tingkat ke 3.
Prof. Subekti dalam Buku Hukum Acara Perdata, BPHN 1977,
mengatakan bahwa tugas Pengadilan Kasasi adalah menguji atau
meneliti Putusan Pengadilan di bawahnya (Judex Factie).
Dasar dari pada pembatalan suatu putusan adalah “kesalahan
penerapan hukum” yang dilakukan oleh Pengadilan di bawahnya
(judex Factie).
Putusan dan Penetapan Pengadilan yang lebih rendah dapat
dibatalkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung, dikarenakan :
 Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan
Perundang-Undangan, sehingga akibat dari kelalaiannya, maka
putusan tersebut harus dibatalkan.
 Melampaui batas wewenangnya apabila yang dilanggar wewenang
pengadilan secara absolute.
 Salah menerapkan atau melanggar peraturan-peraturan hukum
yang berlaku. Hal ini yang sering terjadi dalam praktek.
Sebagai gambaran yang jelas mengenai putusan yang bertentangan
dengan hukum apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau
ada kesalahan pada pelaksanaannya dan pemeriksaan pekara tidak
dilaksanakan menurut hukum acara yang berlaku.
Selanjutnya menurut UU No. 13 Tahun 1965 menyebutkan bahwa
permohonan kasasi oleh pihak yang bersangkutan atau oleh pihak
ketiga yang dirugikan hanya dapat diterima apabila upaya-upaya
hukum biasa telah dipergunakan sebagaimana mestinya.
Tenggang waktu pengajuan permohonan kasasi adalah 14 hari setelah putusan
pengadilan. Mengenai permohonan pencabutan kembali dalam kasasi beda dengan
tata cara pencabutan dalam tingkat banding. Dalam pemeriksaan banding dapat
sewaktu-waktu dicabut kembali selama perkara belum diputus oleh Pengadilan
Tinggi, sedangkan pencabutan dalam kasasi hanya diperkenankan untuk dicabut
apabila berkas tersebut masih ada pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Berbeda dengan alasan dalam tingkat pemeriksaan banding, maka permohonan
kasasi mutlak disertai memori kasasi, ini merupakan syarat formal sedangkan
pihak lawan dapat mengajukan kontra memori kasasi. Tenggang waktu diajukan
memori kasasi adalah 14 hari terhitung mulai hari diterimanya permohonan
kasasi.
C. PENINJAUAN KEMBALI
Peninjauan Kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, merupakan upaya hukum
terhadap putusan tingkat terakhir dan putusan yang dijatuhkan diluar ketidakhadiran
tergugat (verstek) dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan
perlawanan. Istilah peninjuan kembali ini dapat dijumpai dalam UU No. 14 Tahun 1970 Jo
UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam
Rv yang disebut Request Civil (Pasal 385-401). Dalam UU Mahkamah Agung sendiri
mengatur tentang peninjauan kembali diatur dalam Pasal 66 s/d 77.
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan secara lisan maupun tertulis (Pasal 71)
oleh para pihak sendiri (Pasal 68 Ayat 1) kepada Mahkamah Agung melalui Ketua
Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. Yang berhak mengajukan
peninjauan kembali adalah pihak yang berperkara, pihak yang berkepentingan misalnya
pihak yang kalah perkaranya atau ahli warisnya atau seseorang wakilnya yang dikuasakan
secara khusus. (PERMA No. 1 Tahun 1980) yang disempurnakan.
Berdasarkan Pasal 67 alasan-alasan peninjauan kembali adalah
:
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau
tipu daya muslihat pihak lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti bukti yang
kemudian oleh hakim-hakim pidana dianggap palsu
2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara
diperiksa tidak dapat diketemukan.
Berdasarkan Pasal 67 alasan-alasan peninjauan kembali adalah
:
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau
tipu daya muslihat pihak lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti bukti yang
kemudian oleh hakim-hakim pidana dianggap palsu
2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara
diperiksa tidak dapat diketemukan.
Berdasarkan Pasal 67 alasan-alasan peninjuan kembali adalah :
 Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dianggap palsu;
 Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
 Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut;
 Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab–sebabnya;
 Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar
yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan
putusan yang bertentangan satu dengan yang lainnya;
 Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
Bahwa ternyata alasan-alasan tersebut diatas sama dengan yang tersebut dalam
PERMA I Tahun 1982. Mahkamah Agung dengan putusannya tanggal 2 Oktober 1984
telah mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali berdasarkan adanya novum
(surat bukti baru) dan membatalkan putusan MA yang dimohonkan Peninjauan
Kembali.
D. Perlawanan Pihak Ketiga (Derdenverzet)
Derdenverzet atau perlawanan pihak ketiga dapat diajukan
apabila putusan tersebut telah merugikan pihak ketiga (Pasal
378 Rv). Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang
memutuskan perkara dengan menggugat para pihak yang
bersangkutan (Pasal 379 Rv). Apabila perlawanan dikabulkan
maka putusan yang dilawan harus diperbaiki sehingga tidak
merugikan lagi pihak ketiga.
HIR
HIR adalah singkatan dari Herzieninlandsch
Reglement yang sering diterjemahkan menjadi
Reglement Indonesia yang diperbaharui, yaitu
hukum acara dalam persidangan perkara perdata
maupun pidana yang berlaku di pulau Jawa dan
Madura. Reglement ini berlaku di jaman Hindia
Belanda tercantum di berita negara
(staatblad) No 16 tahun 1848.
RBG
Sedangkan RBG (Singkatan dari Rechtreglement
voor de Buitengewesten yang sering
diterjemahkan Reglement hukum daerah seberang
(di luar jawa Madura). Yaitu hukum acara yang
berlaku di persidangan perkara perdata maupun
pidana di pengadilan di luar Jawa dan Madura.
Tercantum dalam Staatblad 1927 No. 227.
RV
Rv adalah singkatan dari Wetboek op de
Burgerlijke Rechtvordering yaitu hukum acara
perdata dan pidana yang berlaku untuk
golongan Eropa di jaman penjajahan.
Di jaman Penjajahan Belanda, HIR dan RBG
adalah undang-undang yang mengatur hukum
acara di Pengadilan bagi penduduk pribumi,
baik perdata maupun pidana.
Dr. Sahat Maruli Tua Situmeang
S.H., M.H
Dosen – Advokat – Corporate Lawyer – Legal
Consultant
Terimakasih
sahat@email.unikom.ac.id

More Related Content

Similar to Materi PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptx

LEMBAGA PERADILAN INDONESIA
LEMBAGA PERADILAN INDONESIALEMBAGA PERADILAN INDONESIA
LEMBAGA PERADILAN INDONESIAShauqina Saraya
 
Sistem_Hukum_dan_Peradilan_Indonesia_kls.pptx
Sistem_Hukum_dan_Peradilan_Indonesia_kls.pptxSistem_Hukum_dan_Peradilan_Indonesia_kls.pptx
Sistem_Hukum_dan_Peradilan_Indonesia_kls.pptxBrannessIrnando1
 
Bab ii-sis-hukum-perad-nas
Bab ii-sis-hukum-perad-nasBab ii-sis-hukum-perad-nas
Bab ii-sis-hukum-perad-nasAprizal Gauul
 
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas APraktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas ARianSugandi
 
Dasar Hukum Tata Usaha Negara (TUN)
Dasar Hukum Tata Usaha Negara (TUN)Dasar Hukum Tata Usaha Negara (TUN)
Dasar Hukum Tata Usaha Negara (TUN)arjunowidya
 
AZAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENANGANAN PERKARA PERDATA.ppt
AZAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENANGANAN PERKARA PERDATA.pptAZAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENANGANAN PERKARA PERDATA.ppt
AZAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENANGANAN PERKARA PERDATA.pptMuhAsyriZR
 
Peran Hakim Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Peran Hakim Sebagai Pelaksana Kekuasaan KehakimanPeran Hakim Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Peran Hakim Sebagai Pelaksana Kekuasaan KehakimanVina Widya Putri
 
Sistem hukum dan peradilan indonesia
Sistem hukum dan peradilan indonesiaSistem hukum dan peradilan indonesia
Sistem hukum dan peradilan indonesiaAisyahFatimah1
 
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptx
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptxsistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptx
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptxRoyyanFirdausAlpha
 
HUKUM ACARA PERDATA 2022.pptx
HUKUM ACARA PERDATA 2022.pptxHUKUM ACARA PERDATA 2022.pptx
HUKUM ACARA PERDATA 2022.pptxAFDAL20
 
PPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.ppt
PPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.pptPPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.ppt
PPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.pptasifsardari
 
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptx
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptxPERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptx
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptxArmanSyah89
 
Hukum acara perdata
Hukum acara perdataHukum acara perdata
Hukum acara perdatasesukakita
 

Similar to Materi PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptx (20)

hukum bisnis
hukum bisnishukum bisnis
hukum bisnis
 
LEMBAGA PERADILAN INDONESIA
LEMBAGA PERADILAN INDONESIALEMBAGA PERADILAN INDONESIA
LEMBAGA PERADILAN INDONESIA
 
Sistem_Hukum_dan_Peradilan_Indonesia_kls.pptx
Sistem_Hukum_dan_Peradilan_Indonesia_kls.pptxSistem_Hukum_dan_Peradilan_Indonesia_kls.pptx
Sistem_Hukum_dan_Peradilan_Indonesia_kls.pptx
 
Bab ii-sis-hukum-perad-nas
Bab ii-sis-hukum-perad-nasBab ii-sis-hukum-perad-nas
Bab ii-sis-hukum-perad-nas
 
PKN XI Kekuasaan Kehakiman
PKN XI Kekuasaan KehakimanPKN XI Kekuasaan Kehakiman
PKN XI Kekuasaan Kehakiman
 
Kwn kelompk
Kwn kelompkKwn kelompk
Kwn kelompk
 
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas APraktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
 
A
AA
A
 
Dasar Hukum Tata Usaha Negara (TUN)
Dasar Hukum Tata Usaha Negara (TUN)Dasar Hukum Tata Usaha Negara (TUN)
Dasar Hukum Tata Usaha Negara (TUN)
 
AZAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENANGANAN PERKARA PERDATA.ppt
AZAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENANGANAN PERKARA PERDATA.pptAZAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENANGANAN PERKARA PERDATA.ppt
AZAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENANGANAN PERKARA PERDATA.ppt
 
Hukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptxHukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptx
 
Peran Hakim Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Peran Hakim Sebagai Pelaksana Kekuasaan KehakimanPeran Hakim Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Peran Hakim Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
 
Sistem hukum dan peradilan indonesia
Sistem hukum dan peradilan indonesiaSistem hukum dan peradilan indonesia
Sistem hukum dan peradilan indonesia
 
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptx
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptxsistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptx
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptx
 
HUKUM ACARA PERDATA 2022.pptx
HUKUM ACARA PERDATA 2022.pptxHUKUM ACARA PERDATA 2022.pptx
HUKUM ACARA PERDATA 2022.pptx
 
PPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.ppt
PPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.pptPPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.ppt
PPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.ppt
 
PPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.ppt
PPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.pptPPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.ppt
PPT-HUKUM-ACARA-PERDATA.ppt
 
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptx
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptxPERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptx
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptx
 
Hukum acara perdata
Hukum acara perdataHukum acara perdata
Hukum acara perdata
 
Acaraperdata
AcaraperdataAcaraperdata
Acaraperdata
 

Recently uploaded

pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptJhonatanMuram
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxFeniannisa
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxFucekBoy5
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptxahmadrievzqy
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxbinsar17
 
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxSlaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxkhairunnizamRahman1
 

Recently uploaded (6)

pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
 
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxSlaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
 

Materi PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptx

  • 1. PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT DPC PERADI BANDUNG – FAKULTAS HUKUM UNIKOM 17 Oktober 2021 HUKUM ACARA PERDATA Start Dr. Sahat Maruli Tua Situmeang S.H., M.H Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNIKOM
  • 2.  Hukum Acara Perdata adalah Hukum Perdata Formil, yaitu kaidah hukum yang menentukan dan mengatur tata cara bagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata seseorang sebagimana yang diatur dalam hukum perdata materil.  Hukum Acara Perdata meliputi ketentuan-ketentuan tentang cara bagaimana orang harus menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya serta mendapatkan keadilan dari hakim apabila kepentingannya atau hak- haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila dituntut oleh orang lain. PENGERTIAN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA
  • 3. A. DASAR HUKUM Susunan dan kekuasaan Badan Pengadilan diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004 Jo UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebelum itu sudah ada Undang-Undang yang mengatur susunan dan kekuasaan Badan-Badan Kehakiman ialah : UU No. 19 Tahun 1964 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin adanya “Pengadilan Bebas” di Negara Republik Indonesia sebagai suatu Negara Hukum, karena UU No. 19 Tahun 1964 mencantumkan suatu lembaga “campur tangan presiden” dalam Urusan Peradilan. Oleh karenanya Undang-Undang tersebut ditinjau kembali dan diganti dengan UU No. 14 Tahun 1970. DASAR HUKUM SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN PERADILAN
  • 4. UU No. 1 Tahun 1951 yang semula adalah UU Darurat No. 1 Tahun 1951. dari situlah Undang-Undang darurat tersebut menunjukkan adanya tujuan untuk mengadakan tindakan-tindakan sementara dalam rangka menyelenggarakan kesatuan dalam susunan kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan sipil. Pada waktu itu bentuk Negara kita adalah berbentuk Negara Serikat (RIS) dimana pengaturan tentang susunan dan kekuasaan pengadilan termasuk hukum acaranya merupakan wewenang masing-masing Negara bagian.
  • 5. B.MACAM-MACAM PENGADILAN Pengadilan Militer yang hanya berwenang untuk berwenang untuk mengadili perkara yang terdakwanya berstatus anggota ABRI Pengadilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara- perkara perdata yang kedua pihaknya beragama Islam. Pengadilan Admisitrasi (tata usaha negara) adalah perkara yang tergugatnya pemerintah dan penggugatnya subjek hukum perorangan dan/atau badan hukum. Pemerintah digugat dengan alasan adanya kesalahan dalam melaksanakan / menjalankan administrasi.
  • 6. C. SUSUNAN BADAN-BADAN PENGADILAN UMUM Mahkamah Agung yang merupakan Pengadilan tingkat akhir dan bukan Pengadilan tingkat ketiga. Mahkamah Agung memeriksa perkara-perkara yang dimintakan Kasasi. Pada tingkat kasasi yang diperiksa adalah penerapan hukumnya saja. Pengadilan Tinggi atau Pengadilan tingkat banding yang juga disebut Pengadilan tingkat kedua. dinamakan Pengadilan tingkat kedua karena cara pemeriksaannya sama seperti pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Tinggi). Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili semua perkara baik perdata maupun pidana. SUSUNAN PENGADILAN YANG TERDAPAT DI INDONESIA :
  • 7. A.Mengenai kewenangan mengadili dalam Kekuasaan Kehakiman dapat dibagi menjadi dua, yaitu Kekuasaan Kehakiman atribusi (atributie van rechtsmacht) dan Kekuasaan Kehakiman distribusi (distributie van rechtsmacht), bahwa : KEKUASAAN KEHAKIMAN ATRIBUSI Disebut juga kewenangan mutlak atau kompetensi absolute. Kewenangan Mutlak atau Kompetensi absolute adalah kewenangan badan pengadilan di dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, misalnya Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa atau mengadili perkara yang seharusnya diperiksa di Pengadilan Agama. (Pasal 6 UU No. 29 Tahun 1947). D. KEWENANGAN PENGADILAN
  • 8. KEKUASAAN KEHAKIMAN DISTRIBUSI. Disebut juga kewenangan nisbi atau kompetensi relative. Kewenangan nisbi atau Kompetensi relative adalah bahwa hanya Pengadilan Negeri di tempat tinggal (domisili) yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak. Kewenangan Relatif Pengadilan Berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg : 1. ACTOR SEQUITUR FORUM REI : Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal tergugat.
  • 9. 2. ACTOR SEQUITUR FORUM REI DENGAN HAK OPSI : Dalam hal ada beberapa orang tergugat, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal salah satu tergugat atas pilihan penggugat. 3. ACTOR SEQUITUR FORUM REI TANPA HAK OPSI : Gugatan dapat diajukan berdasarkan tempat tinggal debitur prinsipal (dalam hal Para Tergugat salah satunya merupakan debitur pokok/debitur prinsipal, sedangkan selebihnya berkedudukan sebagai penjamin, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal debitur pokok/debitur prinsipal) 4. PENGADILAN NEGERI DI DAERAH HUKUM TEMPAT TINGGAL PENGGGAT : Gugatan dapat diajukan di Pengadilan Negeri tempat tinggal Penggugat dalam hal tempat tinggal atau kediaman Tergugat tidak diketahui.
  • 10. 5. FORUM REI SITAE : Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan patokan tempat terletaknya benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa. 6. KOMPETENSI RELATIF BERDASARKAN PEMILIHAN DOMISILI : Para Pihak dapat membuat kesepakatan perihal domisili pilihan yakni menyepakati untuk memilih Pengadilan Negeri tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari Perjanjian. 7. NEGARA ATAU PEMERINTAH DAPAT DIGUGAT PADA SETIAP PENGADILAN NEGERI : Dalam hal pemerintah Indonesia bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat yang mewakili Negara, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri dimana departemen yang bersangkutan berada.
  • 11. Pengadilan Tingkat Banding mempunyai kewenangan mutlak untuk melakukan pemeriksaan ulang semua perkara perdata dan pidana sepanjang dimungkinkan untuk dimintakan banding, berdasarkan (Pasal 3 Ayat 1 dan 2 UU Darurat No. 1 Tahun 1951).  Memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Negeri di dalam wilayahnya, berdasarkan (Pasal 3 Ayat 1 dan 2) UU Darurat No. 1 Tahun 1951, Pasal 51 UU Peradilan Umum No. 2 Tahun 1986.  Prorogasi mengenai perkara perdata (Pasal 3 Ayat 1 dan 2 UU Darurat No. 1 Tahun 1951, Pasal 128 Ayat 2 RO, Pasal Rbg). KEWENANGAN PENGADILAN TINGGI
  • 12. Pengadilan Tingkat terakhir dalam Badan Peradilan di Indonesia atau disebut Tingkat Kasasi, mempunyai kewenangan :  Memutus permohonan kasasi;  Memutus sengketa tentang kewenangan mengadili;  Memutus permohonan Peninjuan Kembali (request civil) terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG
  • 13. Tempat kedudukan Pengadilan Negeri pada prinsipnya berada di tiap Kabupaten, namun di luar Pulau Jawa masih terdapat banyak Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lebih dari satu Kabupaten. Diwilayah Pengadilan Negeri terdapat Kejaksaan Negeri, dan disetiap Pengadilan Tinggi terdapat Kejaksaan Tinggi. Khusus di Ibukota Jakarta ada 5 instansi Pengadilan Negeri yakni di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara demikan pula dengan Kejaksaan Negerinya. E. TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN
  • 14. Di tiap pengadilan terdapat beberapa hakim. diantaranya menjabat sebagai ketua pengadilan dan wakil ketua. Para hakim bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara di persidangan. disamping itu ada panitera yang bertugas memimpin bagian administrasi atau tata usaha dibantu oleh wakil panitera, beberapa panitera pengganti dan karyawan-karyawan lainnya. tugas dari pada panitera ialah menyelenggarakan administrasi perkara serta mengikuti semua sidang serta musyawarah-musyawarah pengadilan dengan mencatat secara teliti semua hal yang dibicarakan (Pasal 58,59 UU no. 2 Tahun 1986, Pasal 63 RO). ia harus membuat Berita Acara (proses verbal) sidang pemeriksaan dan menandatanganinya bersama-sama dengan ketua sidang (Pasal 186 HIR, Pasal 197 Rbg). karena ia tidak mungkin mengikuti semua sidang-sidang pemeriksaan perkara, maka di dalam praktik, tugas tersebut dilakukan oleh panitera pengganti. F.Susunan Pejabat Pada Suatu Pengadilan
  • 15. Di samping hakim dan panitera, ada petugas yang dinamakan jurusita (deurwaarder) dan jurusita pengganti (Pasal 38 UU No.21 Tahun 1986). Tugas dari para jurusita adalah melaksanakan perintah dari Ketua Sidang dan menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran- teguran, pemberitahuan putusan pengadilan, panggilan- panggilan resmi para tergugat dan penggugat dalam perkara perdata dan para saksi, dan juga melakukan penyitaan-penyitaan atas perintah hakim.
  • 16. A. ASAS YANG DAPAT MENJADI PIHAK Pada asasnya setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntut atau ingin mempertahankan atau membela haknya, berwenang untuk bertindak selaku pihak baik selaku penggugat maupun selaku Tergugat. Namun demikian beberapa persyaratan harus dipenuhi yakni : Mempunyai Hak dan mempunyai rechtbevoegdheid atau kewenangan untuk menjadi pendukung hak tersebut. Mempunyai (handelingsbe waamheid) atau kemampuan untuk bertindak/melakukan perbuatan hukum. siapa saja yang tidak mampu untuk bertindak dianggap tidak mampu pula untuk bertindak sebagai pihak di muka pengadilan. PARA PIHAK YANG DAPAT BERPEKARA
  • 17. B. YANG DIANGGAP TIDAK MAMPU  Mereka yang belum cukup umur atau belum dewasa, mereka harus diwakili oleh walinya, mereka yang diletakkan dibawah pengampuan karena sakit ingatan ( Pasal 466,452 BW, Pasal 248 Ayat 2 Rv).  Para pemboros dan pemabuk, yang kemampuannya terbatas untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum (harta kekayaan saja).  Seorang istri yang tunduk pada BW tidak dapat bertindak sebagai pihak tanpa bantuan dari suaminya (Pasal 110 BW), kecuali dalam hal perceraian atau apabila ia dituntut dalam perkara pidana (Pasal 111 BW).  Terhadap orang yang telah meninggal dunia, dapat pula dilakukan gugatan yang diajukansekaligus. terhadap ahli warisnya (Pasal 7, 248 Ayat 1 Rv, Pasal 1194 BW).
  • 18. C. BADAN-BADAN HUKUM SEBAGAI PIHAK Selain orang yang dapat diajukan ke Pengadilan sebagai pihak adalah : Badan hukum, melalui pengurusnya atau wakilnya (Pasal 1655 BW, Pasal 8 Ayat 2 Rv). Untuk mewakili badan hukum, pengurus tidak memerlukan kuasa khusus (Pasal 1655 BW). Badan hukum publik, gugatannya harus dialamatkan kepada pimpinannya (Pasal 6 Ayat3). kalau yang digugat Negara, maka orang yang mewakilinya tidak perlu disebut namanya dalam gugatan. Beberapa peraturan perundang-undangan menunjuk dengan tegas siapa-siapa yang ditugaskan untuk mewakili badan hukum publik ini, misalnya gugatan terhadap Pemerintah RI harus ditujukan kepada pimpinan departemen yang bersangkutan.(Pasal 6 Ayat 1). Terhadap badan hukum lainnya (badan hukum keperdataan) gugatan harus ditujukan kepada pengurus dan apabila badan hukum itu telah dibubarkan, maka gugatan ditujukan kepada pemberesnya. Firma walaupun bukan badan hukum dapat juga bertindak sebagai pihak. seluruh gugatan ditujukan kepada salah seorang pesero (Pasal 6 Ayat5 Rv) Demikian pula CV dapat bertindak sebagai pihak, disini yang bertindak adalah para persero pengurus (Pasal 6 Ayat 5 Fv).
  • 19. KUASA PARA PIHAK A. Tidak Ada Keharusan Untuk Mewakilkan Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur bahwa para pihak dalam suatu perkara harus mewakilkan kepada orang lain. Orang yang berkepentingan dapat langsung bertindak sendiri sebagai Penggugat maupun sebagai Tergugat. Mereka merupakan pihak materiil karena mempunyai kepentingan langsung dalam perkara yang bersangkutan, tetapi mereka sekaligus menjadi pihak formil, karena mereka sendirilah yang beracara di muka pengadilan. Mereka itu bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dalam keadaan tertentu orang lain dapat juga bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat di muka Pengadilan tanpa mempunyai kepentingan secara langsung dalam perkara yang bersangkutan, misalnya seorang wali atau pengampu (Pasal 383, 446, 452, 403, 405 BW). Disamping itu juga sering terjadi dalam hukum materiil suatu pihak memerlukan suatu wakil untuk beracara di muka pengadilan karena memang tidak mungkin beracara tanpa diwakili, misalnya badan hukum (Pasal 8 No. 2 Rv.) Harus dibedakan dengan seorang Advokat yang meskipun mewakili kliennya karena seorang Advokat bukan merupakan pihak, baik formil maupun materiil.
  • 20. Jadi untuk dapat bertindak sebagai kuasa atau wakil dari penggugat, seseorang harus memenuhi salah satu syarat berikut ini : • Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi (Pasal 123 Ayat 1 HIR, 147 Ayat 1 Rbg). • Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugatan (Pasal 123 Ayat 1 HIR, 147 Ayat 1 Rbg). • Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil apabila gugatan diajukan secara lisan (Pasal 123 Ayat 1 HIR, Pasal 147 Ayat 1 Rbg). • Ditunjuk oleh Penggugat sebagai kuasa atau wakil di persidangan (Pasal 123 Ayat 1 HIR, Pasal 147 Ayat 1 Rbg). • Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 tanggal 28 Mei 1965 jo Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang prokol. • Telah terdaftar sebagai advocate.
  • 21. Untuk dapat bertindak sebagai kuasa khusus atau wakil dari Tergugat, seseorang harus memenuhi salah satu syarat dibawah in : • Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi pasal 123 Ayat 1 HIR (Pasal 147 ayat 1 Rbg) yang ditunjuk oleh tergugat sebagai kuasa atau wakil dalam persidangan (Pasal 123 Ayat 1 HIR, 147 ayat 1 Rbg) • Telah terdaftar sebagai Advokat. Sedangkan yang bertindak sebagai kuasa atau wakil dari Negara atau pemerintah berdasarkan S 1922 No.522 dan Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 Ayat 2 Rbg adalah : • Pengacara Negara yang diangkat oleh pemerintah. • Jaksa • Orang-orang tertentu atau pejabat-pejabat yang diangkat atau ditunjuk
  • 22. Selanjutnya berdasarkan kepentingannya maka terdapat macam- macam Surat Kuasa yakni : Surat Kuasa Khusus. Surat Kuasa Referte/Penunjukkan. Surat Kuasa Limpahan/Pengganti. Surat Kuasa Banding. Surat Kuasa Permohonan Memori Banding. Surat Kuasa Kontra Memori Banding. Surat Kuasa Kasasi. Surat Kuasa Permohonan Memori Kasasi. Surat Kuasa Kontra Memori Kasasi. Surat Kuasa Peninjauan Kembali. Surat Kuasa Permohonan Peninjauan Kembali.
  • 23. MENYUSUN GUGATAN A. Pendahaluan Dalam menyusun Surat gugatan sebagai dasar tuntutan hak atau kepentingan dalam pemeriksaan acara perdata, apa-apa saja yang harus diperhatikan, yaitu : Setiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang dianggap merugikan lewat pengadilan. Gugatan dapat diajukan secara lisan (Pasal 118 Ayat 1 HIR, Pasal 142 Ayat 1 Rbg) atau tertulis (Pasal 120 HIR Pasal 144 Ayat 1 Rbg) dan bila perlu dapat minta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Gugatan itu harus diajukan oleh yang berkepentingan. Tuntutan hak di dalam gugatan merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya, yang dapat dikabulkan apabila kebenarannya dapat dibuktikan dalam sidang pemeriksaan. Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan tidak ada ketentuannya tetapi kita dapat melihat dalam Pasal 8 Ayat 3 Rv yang mengharuskan adanya pokok gugatan yang meliputi : • Identitas para pihak • Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah Fundamentum Petendi. • Tuntutan atau petittum ini harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan.
  • 24. B. Identitas Para Pihak Identitas merupakan ciri-ciri daripada penggugat dan tergugat ialah nama, pekerjaan, tempat tinggal. Fundamentum Petendi atau Posita adalah dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan sebahai dasar serta ulasan daripada tuntutan. Fundamentum Petendi ini terdiri dari dua bagian : Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwanya (fetelijkegronden) Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtsgronden) Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan. Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus menyebutkan peraturan -peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan, melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan, yang memberi gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu. Mengenai seberapa jauh harus dicantumkannya perincian tentang peristiwa yang dijadikan dasar tuntutan ada beberapa pendapat : C. Fundamentum Petendi
  • 25. Menurut substantieringstheori, tidak cukup disebutkan hukum yang menjadi dasar tuntutan saja, tetapi harus disebutkan pula kejadian itu kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan itu, dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut misalnya : Penggugat yang menuntut hak miliknya selain menyebutkan bahwa sebagai pemilik ia juga harus menyebutkan asal-usul pemilikan tersebut. Menurut indvidualiseringstheorie, sudah cukup dengan disebutkannya kejadian-kejadiannya yang dicantumkan dalam gugatan yang sudah dapat menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan. Dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut tidak perlu dijelaskan, karena hal tersebut tidak perlu dikemukakan dalam sidang yang akan datang pada acara pembuktian.
  • 26. PETITUM atau TUNTUTAN Petitum atau tuntutan adalah apa yang diminta atau diharapkan Penggugat agar diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan itu akan terjawab didalam amar atau dictum putusan. Oleh karenanya petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas (ps 8 Rv). Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut, demikian juga gugatan yang berisi pernyataan-penyataan yang bertentangan satu sama lain atau disebut obscuur libel (gugatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak Tergugat, sehingga menyebabkan ditolaknya gugatan) berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut.
  • 27. Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara. Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara. Tuntutan subsideir atau pengganti. Sebuah tuntutan dapat dibagi 3 (tiga) ialah :
  • 28. Meskipun tidak selalu, tapi seringkali di samping tuntutan pokok masih diajukan tuntutan tambahan yang merupakan pelengkap dari pada tuntutan pokok. • Ada atau tidak adanya penundaan masalah. • Jumlah Tergugat supaya lengkap. • Pengajuan tuntutan atau petitum yang jelas dan tegas yang dapat terdiri dari petitum primer, petitum tambahan dan petitum subsidier.
  • 29. Biasanya tuntutan tambahan dapat berupa : • Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara. • Tuntutan “uitvoebaar bij voorraad” yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi. di dalam praktik permohonan uitvoebaar bij voorraad sering dikabulkan. namun demikian Mahkamah Agung menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah memberi putusan uitvoerbaar bij voorraad (Intruksi MA tanggal 13 Februari 1958). • Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratair) apabila tuntutan yang dimintakan oleh Penggugat berupa sejumlah uang tertentu. • Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan. • Dalam hal gugat cerai sering disebut juga dengan tuntutan nafkah bagi istri (Pasal 59 Ayat 2, 62, 65 HOCI, Pasal 213, 229 BW) atau pembagian harta (Pasal 66 HOCI, Pasal 232 BW).
  • 30. Terkait tuntutan subsideir selalu diajukan sebagai pengganti apabila hakim berpendapat lain. biasanya tuntutan subsiddeir itu berbunyi “Apabila hakim berependapat lain, dimohon agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar” atau “mohon putusan yang seadil-adilnya” (aequo et bono). Sebuah gugatan dapat dicabut selama putusan Pengadilan belum dijatuhkan dengan catatan : • Apabila gugatan belum sampai dijawab oleh Tergugat, maka Penggugat dapat langsung mengajukan pencabutan gugatan. • Apabila pihak Tergugat sudah memberikan jawaban maka pencabutan gugatan dapat dilaksanakan apabila ada persetujuan dari Tergugat.
  • 31. KESIMPULAN Dari yang telah diururaikan di atas, untuk mengantisipasi agar gugatan tidak ditolak atau dinyatakan tidak diterima ialah, maka ada beberapa hal yang wajib diperhatikan dengan sungguh-sungguh : • Gugatan supaya diajukan kepada Pengadilan yang berwenang. • Identitas seperti nama, pekerjaan, alamat dan sebagainya dari Penggugat dan Tergugat harus jelas. • Pihak Penggugat maupun Tergugat harus ada hubungan hukum dengan pokok permasalahan. • Pihak Penggugat maupun Tergugat mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum (handelingsbekwaamheid). • Dalil-dalil atau posita gugatan harus mempunyai dasar peristiwa dan dasar hukum (fundamentum petendi) yang cukup kuat • Peristiwa atau permasalahan dalam gugatan belum lampau waktu. • Peristiwa belum pernah diajukan dan diputuskan oleh pengadilan.
  • 32. SIDANG PEMERIKSAAN PERKARA MEMASUKKAN GUGATAN Agar gugatan dapat disidangkan, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan yang berwenang. Dalam mengajukan gugatan, pihak Penggugat harus mendaftarkannya. dan gugatan itu baru dapat didaftar apabila biaya perkara sudah dilunasi. Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara dan kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan.
  • 33. PERSIAPAN SIDANG Setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan, maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. pada prinsipsinya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh majelis hakim. untuk ini Ketua Pengadilan menunjuk seorang hakim sebagai Ketua Majelis dan dua hakim anggota. Hakim yang bersangkutan dengan surat penetapan menetukan hari sidang dan memanggil para pihak agar menghadap pada sidang Pengadilan Negeri pada hari sidang yang telah ditetapkan. Pemanggilan dilakukan oleh jurusita. surat panggilan tersebut dinamakan exploit. Exploit itu berupa salinan surat gugatan yang harus diserahkan kepada Tergugat pribadi di tempat tinggalnya. Apabila Tergugat tidak diketemukan, surat panggilan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa yang bersangkutan untuk diteruskan kepada Tergugat ( Pasal 390)
  • 34. PERSIAPAN SIDANG Kalau Tergugat sudah meninggal maka surat panggilan disampaikan kepada ahliwarisnya dan apabila Ahli warisnya tidak diketahui maka disampaikan kepada Kepala Desa ditempat tinggal terakhir (Ayat 1HIR , Pasal 789 ayat 1Rbg). Apabila tempat tinggal tidak diketahui maka surat panggilan diserahkan kepada Bupati dan untuk selanjutnya surat panggilan tersebut ditempelkan pada papan pangumuman di Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
  • 35. Pasal 126 HIR, Rbg Pasal 150 memberi kemungkinan untuk memanggil sekali lagi tergugat sebelum perkaranya diputus hakim. Setelah melakukan panggilan, jurusita harus menyerahkan relaas (risalah) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan. Relaas itu merupakan bukti bahwa Tergugat telah dipanggil secara patut. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang pemeriksaan perkara dimulai.
  • 36. JALANNYA PERSIDANGAN SUSUNAN PERSIDANGAN Hakim tunggal atau Hakim Majelis terdiri dari satu ketua dan dua hakim anggota, yang dilengkapi oleh Panitera sebagai pencatat jalannya persidangan. Pihak Penggugat dan Tergugat duduk berhadapan dengan hakim dan posisi Tergugat disebelah kanan dan Penggugat disebelah kiri Hakim. Apabila persidangan berjalan lancar maka jumlah persidangan lebih kurang 8 kali yang terdiri dari sidang pertama sampai dengan putusan hakim.
  • 37. SIDANG PERTAMA Setelah hakim ketua membuka sidang dengan menyatakan “sidang dibuka untuk umum” dengan mengetuk palu. Hakim memulai dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan kepada Penggugat dan Tergugat terkait : Identitas Penggugat Identitas Tergugat Apa sudah mengerti maksud didatangkannya para pihak, di muka sidang pengadilan. Hakim memerintahkan untukmelakukan mediasi dalam upaya tercapainya perdamaian.
  • 38. MEDIASI PERMA No.1 Tahun 2016 Untuk menjalankan proses mediasi, para pihak diberi kesempatan untuk memilih mediator yang ditunjuk oleh para pihak, dan apabila para pihak tidak menunjuk hakim mediator, maka para pihak harus menyerahkan kepada ketua majelis (hakim ketua) sesuai dengan kewenangannya untuk menunjuk hakim mediasi sesuai dengan keahliannya yang telah memiliki sertifikat mediator. Paling Lama 30 hari. Sesuai kesepakatan para pihak dapat diperpanjang lagi selama 30 hari.
  • 39. SIDANG KEDUA (Jawaban Tergugat) Apabila para pihak dapat berdamai maka ada dua kemungkinan. a. Gugatan dicabut b. Mereka mengadakan perdamaian di luar atau di muka sidang. Apabila perdamaian dilakukan di luar sidang, maka hakim tidak ikut campur karena kedua belah pihak berdamai sendiri. Perdamaian diluar pengadilan : • Dilakukan para pihaknya sendiri tanpa ikut campurnya hakim. • Apabila salah satu pihak ingkar janji permasalahannya dapat diajukan lagi kepada Pengadilan Negeri. Perdamaian dilakukan di muka hakim : • Kekuatan perdamaian sama dengan putusan pengadilan. • Apabila salah satu pihak melakukan ingkar janji, perkara tak dapat diajukan kembali. Apabila tidak tercapai suatu perdamaian, maka sidang dilanjutkan dengan penyerahan jawaban dari pihak tergugat.
  • 40. JAWABAN TERGUGAT Pada sidang pemeriksaan kedua apabila tidak tercapai suatu perdamaian antara penggugat dengan tergugat, maka tergugat memberikan jawaban lewat hakim. Jawaban tergugat dapat berbentuk bantahan terhadap gugatan, membenarkan gugatan atau membenarkan diri tergugat sendiri berdasarkan peristiwa dan hubungan hukumnya. Biasanya dalam praktek peradilan jawaban itu sendiri terbagi 3 bentuk, yaitu : Eksepsi Dalam pokok Perkara Permohonan
  • 41. 1. Eksepsi Bentuk jawaban dalam eksepsi ialah suatu tangkisan bahwa syarat-syarat prosessuil gugatan tidak benar atau eksepsi berdasarkan ketentuan materiil (eksepsi dilatoir/bahwa gugatan penggugat belum dapat diterima karena masih premature, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampau dini.  Misalnya masa PKPU masih berjalan, Harta Warisan padahal pewaris masih hidup dan eksepsi paremptoir/eksepsi yang berisi sangkalaan yang dapat menggugurkan gugatan karena masalah yang di gugat tidak dapat diperkarakan.  Misalnya permasalahan yang di gugat telah dibayar, dikonsinyasi, dikompensasi dll, Pasal 1381 KUHPerdata atau Pasal 224 HIR), sehingga gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
  • 42. Dasar-dasar daripada eksepsi antara lain sebagai berikut : a. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang tidak berwenang Misalnya: Tergugat bertempat tinggal di Jakarta Selatan tetapi gugatannya diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara. b. Gugatan salah alamat (tergugat tak ada hubungan hukum) Misalnya: A (Pemilik Rumah) mengadakan perjanjian sewa menyewa rumah dengan B. Tetapi yang menghuni rumah tersebut adalah C bapaknya B. Karena pembayaran sewa rumah tidak terpenuhi, maka A menggugat C (salah alamat), seharusnya yang digugat adalah B.
  • 43. c. Penggugat tak berkualitas (penggugat tidak mempunyai hubungan hukum) Misalnya: Dalam kasus sewa menyewa rumah tersebut yang mengajukan gugatan bukan A tetapi D (anak A). Meskipun gugatannya sudah benar, artinya gugatan ditujukan kepada B, tetapi karena D tidak mendapat surat kuasa khusus dari A (pemilik rumah) walaupun itu orang tua dari D, maka D tidak berhak untuk menggugat B (tidak memiliki kualitas sebagai penggugat)
  • 44. d. Tergugat tidak lengkap Misalnya: Dalam kasus jual beli. A membeli tanah dari B. Kemudian C menggugat A karena C merasa memiliki hak atas tanah tersebut dan A telah membeli tanah secara tidak sah, karena A membeli tanah tersebut dari B, maka ia menganggap tidak lengkap apabila B Tidak digugat juga. E. Penggugat telah memberi penundaan pembayaran (eksepsi) Misalnya: A digugat B karena utangnya tidak dibayar, A menangkisnya dengan mengatakan bahwa B telah memberikan penundaan waktu pembayaran.
  • 45. d. Tergugat tidak lengkap Misalnya: Dalam kasus jual beli. A membeli tanah dari B. Kemudian C menggugat A karena C merasa memiliki hak atas tanah tersebut dan A telah membeli tanah secara tidak sah, karena A membeli tanah tersebut dari B, maka ia menganggap tidak lengkap apabila B Tidak digugat juga. E. Penggugat telah memberi penundaan pembayaran (eksepsi) Misalnya: A digugat B karena utangnya tidak dibayar, A menangkisnya dengan mengatakan bahwa B telah memberikan penundaan waktu pembayaran.
  • 46. Dalam Pokok Perkara Jawaban dalam pokok perkara ini merupakan bantahan terhadap dalil-dalil atau fundamentum petendi yang diajukan penggugat. Misalnya: A (Penggugat) menuntut B (Tergugat) agar meninggalkan tanah yang dikerjakan B dengan dalih : • Tanah tersebut adalah milik A sebagai ahli waris bapaknya C pemilik tanah asal yang sudah meninggal dunia. • Adanya petok D dan letter C yang masih atas nama C. • A tidak pernah melihat atau mengetahui adanya transaksi antara B dan C atas tanah tersebut. Dalam contoh tersebut, B dapat membantah dalih A dengan alasan : • A diragukan sebagai ahli waris karena tidak adanya fatwa waris. • Petok D dan letter C bukan bukti kepemilikan. • B mempunyai akte jual beli. Berdasarkan bantahan atau tangkisan tersebut B dapat meminta kepada hakim agar
  • 47. Permohonan atau Petitum 1. Sifat permohonan sudah tentu harus menguntungkan tergugat sendiri. Misalnya : Primair : • Agar gugatan ditolak secara keseluruhan • Agar hakim menerima seluruh jawaban tergugat Subsidair : Apabila hakim berpendapat lain, maka tergugat mohon agar hakim memberikan putusan seadil- adilnya 2. Jawaban tergugat pada prinsipnya menolak gugatan penggugat dengan jalan menangkis dan membantah apa yang didalihkan oleh penggugat. Untuk itu tergugat harus jeli, menguasai permasalahan serta hukum-hukum yang terkait. semua jawaban juga cukup beralasan artinya berdasarkan peristiwa yang didukung oleh hukum.
  • 48. SIDANG KETIGA (Replik) Pada sidang ini penggugat atau kuasa hukumnya menyerahkan replik, satu untuk hakim, satu untuk tergugat dan satunya untuk penggugat sendiri. replik sendiri merupakan tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat. SIDANG KEEMPAT (Duplik) Dalam sidang, tergugat menyerahkan duplik yaitu tanggapan tergugat terhadap replik penggugat.
  • 49. SIDANG KELIMA (Pembuktian dari Penggugat) Sidang kelima dapat disebut sidang pembuktian oleh penggugat. di sini penggugat mengajukan bukti-bukti yang memperkuat dalil-dalil penggugat sendiri dan yang melemahkan dalil-dalil tergugat. Alat pembuktian melalui surat (fotocopy) harus di nazagelen terlebih dahulu dan pada waktu sidang dicocokkan dengan aslinya oleh hakim maupun pihak tergugat. hakim mempuyai kewenagan untuk mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang dilanjutkan oleh tergugat sedangkan pihak penggugat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. teradap saksi-saksi hakim mempersilahkan penggugat mengajukan pertanyaan terlebih dahulu, kemudian hakim sendiri juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam rangka memperoleh keyakinan. Saksi sebelum didengar keterangannya dan menerangkan kesaksiannya, terlebih dahulu harus disumpah sesuai dengan kepercayaannya, dan sebelum dipanggil tidak boleh masuk dalam ruang sidang.
  • 50. SIDANG KEENAM (Pembuktian dari Tergugat) Sidang keenam merupakan sidang pembuktian dari pihak tergugat. jalannya sidang sama dengan sidang kelima dengan catatan bahwa yang mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi adalah tergugat, sedang Tanya jawabnya kebalikan daripada sidang kelima. SIDANG KETUJUH Sidang ketujuh adalah sidang penyerahan kesimpulan. Para pihak membuat kesimpulan dari hasil-hasil sidang yang telah berlangsung. Isi pokok kesimpulan harus menguntungkan para pihak SIDANG KEDELAPAN Sidang kedelapan dinamakan sidang putusan hakim. Dalam sidang kedelapan ini hakim membaca putusan dan harus dihadiri oleh para pihak. Setelah selesai membaca putusan maka hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan banding apabila tidak puas atas putusan hakim tsb. Pernyataan banding ini harus dilakukan dalam jangka waktu 14 hari terhitung ketika putusan dijatuhkan.
  • 51. PUTUSAN HAKIM Setelah melakukan segala pemeriksaan terhadap berkas-berkas dari penggugat dan tergugat serta alat pembuktian yang dihadirkan dalam persidangan acara perdata, maka hakim akan mengambil suatu putusan terhadap perkara yang ia periksa. putusan itu di harapkan menghasilkan suatu keadilan bagi para pihak yang diminta untuk diperiksa dan diputus oleh hakim. Jadi bagi hakim dalam mengadili suatu perkara yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya adalah suatu alat semata. Sedangkan yang menentukan adalah tetap peristiwanya.
  • 52. PUTUSAN HAKIM Dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan dalam pertimbangan hukumnya, sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup mempunyai alasan yang obyektif atau tidak. Disamping itu pertimbangan hakim adalah penting dalam pembuatan memori banding dan memori kasasi. Adapun susunan dan isi putusan hakim adalah berdasarkan Pasal 183,184,187 HIR, Pasal 194,195,198 Rbg, Pasal 4 Ayat 1, 23 UU No. 14 Tahun 1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 27 R.O dan 61 Rv, yang terdiri dari :
  • 53. A. KEPALA PUTUSAN Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala pada bagian atas yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 435 Rv). Kepala putusan ini penting sekali karena memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan. tanpa adanya kepala putusan tersebut, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut (Pasal 224 HIR, 258 Rbg. B. IDENTITAS PARA PIHAK Suatu perkara atau gugatan tentu mempunyai dua pihak atau lebih, maka di dalam putusan harus memuat identitas para pihak seperti nama, alamat, umur dan nama kuasa hukumnya kalau ada.
  • 54. C. PERTIMBANGAN ATAU CONSIDERANS PERTIMBANGAN ATAU CONSIDERANS ADALAH dasar daripada putusan. pertimbangan dalam putusan dibagi dua yakni pertimbangan duduk perkara atau peristiwanya harus dikemukakan oleh pihak sedangkan pertimbangan hukumnya adalah urusan hakim. Pertimbangan dari isi putusan sampai diambilnya putusan tesebut. Alasan dan dasar daripada putusan harus dimuat dalam suatu putusan. (Pasal 184 HIR, 195 Rbg, Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004), dari pasal tersebut putusan memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban, alasan dasar daripada putusan pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya para pihak pada waktu putusan diucapkan oleh hakim. (Pasal 184 HIR dan Pasal 195 Rbg).
  • 55. D. AMAR ATAU DICTUM Pada hakikatnya amar atau dictum merupakan jawaban terhadap petitum daripada gugatan. Dalam mengadili suatu perkara hakim wajib mengadili semua bagian daripada tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut. (Pasal 178 Ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 Ayat 2 dan 3 Rbg). Amar atau dictum itu dapat bersifat deklaratif dan dispositif. dikatakan deklaratif apabila amar itu merupakan penerapan daripada hubungan hukum yang menjadi sengketa atau hukumnya mengabulkan atau menolak gugatan.
  • 56. F. PENANDATANGANAN Setiap putusan harus ditandatangani oleh Majelis Hakim Ketua, Hakim Anggota dan Panitera (Pasal 184 Ayat 3 HIR, 195 Rbg, Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004). Apabila ketua sidang tidak dapat menandatangani putusan, maka penandatangan dilakukan oleh hakim anggota yang ikut serta memeriksa, yang pangkatnya setingkat dibawah pangkat ketua (Pasal 137 Ayat 1 HIR, Pasal 198 Ayat 1 Rbg) dan apabila ternyata panitera berhalangan untuk menandatangani putusan, maka hal tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam Berita Acara (Pasal 187 Ayat 2 HIR, Pasal 198 Ayat 2 Rbg).
  • 57. UPAYA HUKUM Mengenai salah satu pihak maupun pihak lainnya merasa tidak puas atas putusan yang dijatuhkan oleh hakim tersebut, maka untuk itu bagi para pihak yang tidak puas akan putusan yang dijatuhkan, diberikan suatu hak untuk mengajukan upaya hukum atas putusan tersebut.
  • 58. UPAYA HUKUM Upaya hukum dalam hukum acara perdata terdiri dari : Banding Kasasi Peninjauan Kembali Perlawanan Pihak Ketiga (Derdenverzet)
  • 59. A. BANDING Upaya Banding merupakan suatu Upaya Hukum yang diajukan oleh para pihak yang tidak puas atas putusan yang dijatuhkan oleh hakim atas perkara yang diperiksa di Pengadilan tingkat pertama. Lazimnya yang mengajukan banding adalah pihak yang kalah. Dalam perkara banding ini timbul istilah pembanding bagi yang mengajukan banding sedang lawannya dinamakan terbanding. pernyataan banding ini harus dilakukan dalam waktu 14 hari terhitung sehari setelah dibacakannya tanggal putusan hakim. (Pasal 7 UU No. 20/1947, 199 Rbg) atau diberitahukan putusan kepada pihak yang bersangkutan. Pihak yang mengajukan banding (pembanding) harus mengajukan memori banding yang kemudian ditanggapi oleh pihak lawan (terbanding) dengan mengirimkan kontra memori banding.
  • 60. Pengiriman memori banding dan kontra memori banding yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dikirimkan lewat Pengadilan Negeri yang dulu memutuskan perkara yang bersangkutan. Perlu diketahui pula, bahwa dalam memori dan kontra memori banding misalnya pihak penggugat yang mengajukan banding, maka ia menyebut dirinya sebagai “pembanding semula penggugat” dan lawannya disebut “terbanding semula tergugat”, bila yang mengajukan banding pihak tergugat, maka ia menyebut dirinya sebagai “pembanding semula tergugat” dan lawannya disebut “terbanding semula penggugat”.
  • 61. Dengan adanya banding, Pengadilan Tinggi mengadakan sidang yang dilakukan oleh majelis hakim. Sidang tingkat banding juga disebut sidang tingkat kedua, karena cara pemeriksaannya sama dengan pada sidang pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri. Di sini yang diperiksa adalah pokok perkaranya. Hasil sidang banding tersebut merupakan putusan Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Tinggi dapat berupa : • Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri; • Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri, atau • Menjatuhkan putusannya sendiri.
  • 62. B. KASASI Kasasi adalah upaya hukum yang diajukan kepada Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan Negeri dan Putusan Pengadilan Tinggi (Judex Factie) yang dianggap bertentangan dengan hukum yang berlaku atau dianggap salah dalam menerapkan hukum. Pemeriksaan kasasi meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, baik yang meliputi bagian daripada putusan yang merugikan maupun yang menguntungkan pemohon kasasi. Jadi pada tingkat kasasi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkara. Oleh karena itu pemeriksaan tingkat kasasi tidak dianggap disebut sebagai pemeriksaan tingkat ke 3.
  • 63. Prof. Subekti dalam Buku Hukum Acara Perdata, BPHN 1977, mengatakan bahwa tugas Pengadilan Kasasi adalah menguji atau meneliti Putusan Pengadilan di bawahnya (Judex Factie). Dasar dari pada pembatalan suatu putusan adalah “kesalahan penerapan hukum” yang dilakukan oleh Pengadilan di bawahnya (judex Factie).
  • 64. Putusan dan Penetapan Pengadilan yang lebih rendah dapat dibatalkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung, dikarenakan :  Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-Undangan, sehingga akibat dari kelalaiannya, maka putusan tersebut harus dibatalkan.  Melampaui batas wewenangnya apabila yang dilanggar wewenang pengadilan secara absolute.  Salah menerapkan atau melanggar peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Hal ini yang sering terjadi dalam praktek.
  • 65. Sebagai gambaran yang jelas mengenai putusan yang bertentangan dengan hukum apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya dan pemeriksaan pekara tidak dilaksanakan menurut hukum acara yang berlaku. Selanjutnya menurut UU No. 13 Tahun 1965 menyebutkan bahwa permohonan kasasi oleh pihak yang bersangkutan atau oleh pihak ketiga yang dirugikan hanya dapat diterima apabila upaya-upaya hukum biasa telah dipergunakan sebagaimana mestinya.
  • 66. Tenggang waktu pengajuan permohonan kasasi adalah 14 hari setelah putusan pengadilan. Mengenai permohonan pencabutan kembali dalam kasasi beda dengan tata cara pencabutan dalam tingkat banding. Dalam pemeriksaan banding dapat sewaktu-waktu dicabut kembali selama perkara belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, sedangkan pencabutan dalam kasasi hanya diperkenankan untuk dicabut apabila berkas tersebut masih ada pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Berbeda dengan alasan dalam tingkat pemeriksaan banding, maka permohonan kasasi mutlak disertai memori kasasi, ini merupakan syarat formal sedangkan pihak lawan dapat mengajukan kontra memori kasasi. Tenggang waktu diajukan memori kasasi adalah 14 hari terhitung mulai hari diterimanya permohonan kasasi.
  • 67. C. PENINJAUAN KEMBALI Peninjauan Kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat terakhir dan putusan yang dijatuhkan diluar ketidakhadiran tergugat (verstek) dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan. Istilah peninjuan kembali ini dapat dijumpai dalam UU No. 14 Tahun 1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam Rv yang disebut Request Civil (Pasal 385-401). Dalam UU Mahkamah Agung sendiri mengatur tentang peninjauan kembali diatur dalam Pasal 66 s/d 77. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan secara lisan maupun tertulis (Pasal 71) oleh para pihak sendiri (Pasal 68 Ayat 1) kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. Yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah pihak yang berperkara, pihak yang berkepentingan misalnya pihak yang kalah perkaranya atau ahli warisnya atau seseorang wakilnya yang dikuasakan secara khusus. (PERMA No. 1 Tahun 1980) yang disempurnakan.
  • 68. Berdasarkan Pasal 67 alasan-alasan peninjauan kembali adalah : 1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu daya muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti bukti yang kemudian oleh hakim-hakim pidana dianggap palsu 2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat diketemukan.
  • 69. Berdasarkan Pasal 67 alasan-alasan peninjauan kembali adalah : 1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu daya muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti bukti yang kemudian oleh hakim-hakim pidana dianggap palsu 2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat diketemukan.
  • 70. Berdasarkan Pasal 67 alasan-alasan peninjuan kembali adalah :  Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dianggap palsu;  Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;  Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;  Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab–sebabnya;  Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lainnya;  Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
  • 71. Bahwa ternyata alasan-alasan tersebut diatas sama dengan yang tersebut dalam PERMA I Tahun 1982. Mahkamah Agung dengan putusannya tanggal 2 Oktober 1984 telah mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali berdasarkan adanya novum (surat bukti baru) dan membatalkan putusan MA yang dimohonkan Peninjauan Kembali.
  • 72. D. Perlawanan Pihak Ketiga (Derdenverzet) Derdenverzet atau perlawanan pihak ketiga dapat diajukan apabila putusan tersebut telah merugikan pihak ketiga (Pasal 378 Rv). Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang memutuskan perkara dengan menggugat para pihak yang bersangkutan (Pasal 379 Rv). Apabila perlawanan dikabulkan maka putusan yang dilawan harus diperbaiki sehingga tidak merugikan lagi pihak ketiga.
  • 73. HIR HIR adalah singkatan dari Herzieninlandsch Reglement yang sering diterjemahkan menjadi Reglement Indonesia yang diperbaharui, yaitu hukum acara dalam persidangan perkara perdata maupun pidana yang berlaku di pulau Jawa dan Madura. Reglement ini berlaku di jaman Hindia Belanda tercantum di berita negara (staatblad) No 16 tahun 1848.
  • 74. RBG Sedangkan RBG (Singkatan dari Rechtreglement voor de Buitengewesten yang sering diterjemahkan Reglement hukum daerah seberang (di luar jawa Madura). Yaitu hukum acara yang berlaku di persidangan perkara perdata maupun pidana di pengadilan di luar Jawa dan Madura. Tercantum dalam Staatblad 1927 No. 227.
  • 75. RV Rv adalah singkatan dari Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering yaitu hukum acara perdata dan pidana yang berlaku untuk golongan Eropa di jaman penjajahan. Di jaman Penjajahan Belanda, HIR dan RBG adalah undang-undang yang mengatur hukum acara di Pengadilan bagi penduduk pribumi, baik perdata maupun pidana.
  • 76. Dr. Sahat Maruli Tua Situmeang S.H., M.H Dosen – Advokat – Corporate Lawyer – Legal Consultant Terimakasih sahat@email.unikom.ac.id