SlideShare a Scribd company logo
1 of 93
MODUL KULIAH
HUKUM ACARA PERDATA
Disusun Oleh
Raden Adnan, S.H., M.H
NIDN : 0401037104
Program Studi
Ilmu Hukum
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM
DHARMAANDIGHA BOGOR
TAHUN 2022
1
2
Pengertian Menurut Para Ahli
1. Prof. Dr. Sudikno mertokusumo, S,H adalah peraturan
Hukum yang mengatur bagaimana cara ditaatinya Hukum
perdata materiil dengan peraturan hakim. Lebih kongkrit
dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa,
memutuskan, dan pelaksanaan daripada putusannya.
1. Abdul kadir Muhamad adalah peraturan Hukum yang
berfungsi untuk mempertahankan berlakunya Hukum perdata
sebagaimana mestinya. Hukum Acara Perdata dirumuskan
sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata melalui Pengadilan(hakim), sejak diajukan
gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
3
3. Retnowulan adalah Hukum Perdata Formil adalah kesemuanya
kaidah Hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana
melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata
sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perata Materiil.
4. R. Soesilo adalah Hukum Perdata Formal yaitu kumpulan
peraturan-peraturan Hukum yang menetapkan cara memelihara
Hukum perdata material karena pelanggaran hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang timbul dari Hukum perdata material
itu, atau dengan perkataan lain kumpulan peraturan-peraturan
Hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi
pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim perdata,
supaya memperoleh suatu keputusan daripadanya, dan
selanjutnya yang menentukan cara pelaksaan putusan hakim itu.
4
Dari beberapa pengertian di atas
bahwa Hukum Acara Perdata adalah
peraturan Hukum yang memiliki
karakteristik:
1. Menentukan dan mengatur bagaimana cara menjamin
ditaatinya Hukum Perdata Materiil.
2. Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
beracara di muka persidangan pengadilan, mulai dari
pengajuan gugatan, pengambilan keputusan sampai
pelaksanaan putusan pengadilan.
5
Fungsi Hukum Acara Perdata:
Yakni untuk Mempertahankan dan
melaksanakan hukum perdata materiil,
artinya hukum perdata materiil itu
dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum
berdasar hukum acara perdata
Tujuan Hukum Acara Perdata:
Yakni untuk merealisasi pelaksanaan dari
hukum perdata materiil
6
Sejarah Terbentuknya Hukum Acara Perdata.
Pada tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan
Jacob Rochussen memberi tugas ketua MA dan MA
Tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi
golongan Indonesia. Kemudian tanggal 6 Agustus
1847 Jhr. Mr. H.L Wichers/ Ketua MA dan MA
Tentara telah selesai dengan rancangannya serta
peraturan penjelasannya. Lalu pada tanggal 5 April
1848, Stbl. 1848 No. 16 Rancangan Wichers
diterima dan di umumkan oleh Gubernur Jendral
dengan diberi nama “Het Inlands reglement” H.I.R.
dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
7
Azas-asas Hukum Acara Perdata.
Paul Scholten mendefinisikan asas Hukum
sebagai pikiran-pikiran dasar yang dapat
didalam dan dibelakang system Hukum
masing-masing dirumuskan dalam aturan-
aturan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim yang berkenan denganya,
ketentuan-ketentuan dan keputusan-
keputusan individual dapat dipandang sebagai
jabarannya.
8
Harjono memberikan pengertian
azas Hukum yang mempunyai fungsi
sebagai norma pemberi nilai. Jadi
dengan singkat system Hukum dibagi
(secara substantive/ atas dasar nilai-
nilai yang dikandung dalam asas
Hukum.
9
Sudikno Mertokusumo Hukum Acara
Perdata menyebut ada 7 asas yaitu :
1. Hakim Bersifat Menunggu. Pasal 118
HIR dan Pasal 142 RBg. Inisiatif untuk
mengajukan tuntutan hak diserahkan
sepeuhnya kepada yang bersangkutan. Jadi
apakah ada proses atau tidak, apakah suatu
perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan
atau tidak semua diserahkan kepada pihak
yang berkepentingan, sedangkan Hakim
bersifat menunggu datangnya tuntutan hak
diajukan kepadanya.
10
Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya,
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa Hukum
tidak atau kurang jelas (Pasal 16 UU No. 4/2004
Tentang Kekuasan Kehakiman). Larangan untuk
menolak memeriksa perkara disebabkan anggapan
bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius curi novit
), kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan Hukum
tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam
masyarakat (Pasal 28 UU No. 4/2004).
11
2. Hakim Pasif. Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154
RBg. Ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang
diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada dasarnya
ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan
Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan
dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan (Pasal 28
UU No. 4/2004).
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan
jalannya persidangan, membantu kedua belah pihak
dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa
perkara perdata hakim harus bersikap Tut wuri, hakim
terikat pada peritiwa yang diajukan oleh para pihak.
12
Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri
sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan,
sedangkan hakim tidak dapat menghalaginya. Hal ini
dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan
(Pasal 130 HIR, 154 RBg).
Hakim wajib mengadili semua gugatan dan larangan
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di
tuntut, atau mengabulkan lebih dari yang di tuntut
(Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 ayat 2 dan 3
RBg.) apakah yang bersangkutan mengajukan banding
atau tidak itupun bukan kepentingan Hakim (Pasal 6
UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg).
13
3. Sifat Terbuka Persidangan. Pasal 19 (1) dan
Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004.
Bahwa setiap orang dibolehkan hadir, mendengar,
dan menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali
di tuntut lain oleh UU). Tujuannya adalah untuk
memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam
bidang peradilan serta untuk lebih menjamin
obyektifitas peradilan dengan pertanggungjawaban
pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan
yang adil kepada masyarakat, (Pasal 19 ayat 1 UU
No. 4/2004).
14
Namun ada juga persidangan yang
sifatnya tertutup, misalnya perkara
perceraian, akan tetapi sidang
pembacaan putusan harus terbuka, jika
tidak dinyatakan terbuka untuk umum
keputusan itu tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum serta
mengakibatkan batalnya putusan itu
menurut Hukum.
15
4. Mendengan Kedua Belah Pihak. Pasal 5
(1) UU No. 4/2004 dan Pasal 132a,
121 (2) HIR dan Pasal 145 (2), 157
RBg serta Pasal 47 RV.
Bahwa kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama, tidak memihak dan
didengar bersama-sama. Bahwa
Pengadilan mengadili menurut Hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang
(Pasal 5 UU No. 4/2004).
16
Bahwa hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satu pihak sebagai
benar, bila pihak lawan tidak didengar
dan diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapatnya, hal itu
berarti juga bahwa pengajuan alat bukti
harus dilakukan di muka sidang yang
dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal
132a, 121 Yt 2 HIR, Pasal 145 ayat 2, 157
RBg dan Pasal 47 Rv).
17
5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan. Pasal 25 UU
No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR dan Pasal 195, 618
RBg. Semua putusan hakim harus memuat alasan-
alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili
(Pasal 25 ayat 1 UU No.4/2004, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR,
Pasal 195, 618RBg).
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan
dapat kita lihat dari beberapa putusan MA yang
menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau
kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan
untuk kasasi dan harus dibatalkan.
18
6. Beracara dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2)
UU No. 4/2004. Pasal 121 (4), 182, 183 HIR,
Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR,
Pasal 273 RBg. Untuk berperkara pada asasnya
dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU
No. 4/2004).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan
dan biaya untuk pemanggilan pemberitahuan
para pihak serta biaya materai. Disamping itu
apabila diminta bantuan seorang pengacara
maka harus pula dikeluarkan biaya.
19
Bagi mereka yang tidak mampu untuk
membayar biaya perkara, dapat mengajukan
perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan
mendapatkan ijin untuk dibebaskan dari
pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan
surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh
Kepala Polisi (Pasal 237 HIR, 237 RBg). Akan
tetapi dalam praktek surat keterangan tidak
mampu dibuat oleh Camat daerah tempat
tinggal yang berkepentingan.
20
7.Tidak ada keharusan mewakilkan. Pasal
123 HIR, 147 RBg.
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk
mewakili kapada orang lain, sehingga
pemeriksaan dipersidangan terjadi secara
langsung terhadap para pihak yang
langsung berkepentingan. Akan tetapi para
pihak dapat dibantu atau diwakili oleh
kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123
HIR, 147 RBg).
21
Setiawan menyebutkan ada 8 asas yaitu :
1. Asas kesederhanaan. Pasal 4 (2), 5 (2) UU No.
4/2004
2. Pengadilan mengadili menurut Hukum dengan tidak
membedakan orang, Pasal 5 (1) UU No. 4/2004.
3. Hakim aktif memimpin proses. Pasal 132 HIR, Pasal
156 RBg.
4. Memberikan perlakuan yang sama kepada para pihak
yang berperkara.
5. Para pihak memiliki kedudukan yang sama.
6. Suatu putusan Pengadilanharus diberi suatu
pertimbangan yang cukup.
7. Penyelesaian perkara dalam waktu yang pantas.
8. Hukum acara itu sendiri bukan tujuan.
22
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA.
A. Pengertian Sumber Hukum Acara
Perdata.
Sumber Hukum adalah segala sesuatu
yang dapat menimbulkan aturan dan
tepat ditemukannya aturan-aturan
Hukum.
23
B. Macam-macam Sumber Hukum Acara Perdata
1. Peraturan Perundang-undangan
a. HIR : Het Herzein Indonesisch Reglement Stb. 1848 No. 16 Jonto
Stb, 1941 No. 44 berlaku untuk daerah jawa dan Madura.
b. RBg : Rechtsreglement Buitengewesten Stb. 1927 No. 227 Untuk
luar jawa dan Madura.
c. BW Buku ke IV : Burgelijke Wetboek Voor Indonesisch
d. RV : Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52
Jo. Stb. 1849 No. 63 Hukum Acara Perdata untuk golongan eropa.
e. UU No. 20/1947, UU tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan
Madura.
f. UU No. 04/2004, UU tentang Kekuasaan Kehakiman.
g. UU No. 14/1985 Jo, UU No. 5/2004.
h. UU No. 2/1986 Jo, UU No. 8/2004 UU tentang Lingkungan Peradilan
Umum.
i. UU No. 7/1989 UU tentang Peradilan Agama.
j. UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975
k. PERMA dan SEMA.
24
2.Yurisprudensi.
3. Adat kebiasaan yang dianut oleh para
hakim dalam melakukan Pemeriksaan
Perkara Perdata.
4. Doktrin.
5. Perjanjian International.
Perjanjian kerjasama di bidang peradilan
antara RI dan Kerajaan Thailand.
25
BADAN PERADILAN UMUM DAN KHUSUS
A. Susunan Badan Peradilan Umum dan Khusus.
26
Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan :
1. Mahkaman Agung dan Badan Peradilan yang
ada dibawahnya : Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer.
2. Mahkamah Konstitusi
27
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
Menguji UU terhadap UUD
Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara
yang kewenangannya diberikan UUD
Memutus pembubaran Partai Politik
Memutus sengketa hasil Pemilu.
(Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 ; Pasal 10 UU No. 4/2004;
Pasal 12 UU No.4/2004; Pasal 2 UU NO.4/2004).
28
Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4/2004
Pasal 1 Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang
merdeka.
Pasal 4 Peradilan dilakukan “Demi keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pasal 8 “Asas Praduga tak bersalah”.
Pasal
10
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan
badan Peradilan yang ada dibawahnya dan oleh
sebuah MK.
Pasal
12
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
Menguji UU terhadap UUD 1945.
Memutus Sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI 1945.
Memutus pembubaran Parpol dan
Memutus Perselisihan tentang hasil Pemilu.
29
Pasal 16 Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa Hukum tidak atau kurang jela, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pasal 11 MA Berwenang menguji Peraturan Perundang-
undangan di bawah ayat 2.b UU terhadap UU.
Pasal 19 Sidang Pemeriksaan Pengadilanadalah terbuka untuk
umum, kecuali UU menentukan lain.
Pasal 28 Hakim wajib Menggali,mengikuti dan memahami nilai-
nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Pasal 20 Semua peraturan Peradilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan Hukum apabila di ucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
Pasal 37 Setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan Hukum.
30
Kekuasan Peradilan Umum dan Khusus.
1. Kekuasan Peradilan Umum (UU No.2/1986 &
UU No. 8/2004
 Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum
dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi (Pasal 3 UU No.
2/1986).
 Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di
tingkat pertama (Pasal 50 UU No. 2/1986).
 PengadilanTinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara
pidana dan perfata di tingkat banding (Pasal 51 (1) dan
mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antara PN dan daerah hukumannya
(Pasal 51 (2) UU No.2/1986).
31
2. Kekuasaan Pengadilan Agama (UU No.
7/1989 Jo, UU No.3/2006)
Pasal 49 UU No.3/2006 Tentang
Perailan Agama :
 PengadilanAgama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang :
32
A. Perkawinan :
Perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan Undang-undang Perkawinan yang
berlaku dan dilakukan menurut syari’ah
(Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49).
B. Kewarisan :
Waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut, serta penetapan Pengadilanatas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan bagian
masing-masing ahli waris.
33
C. Wasiat:
Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda
atau manfaat kepada orang lain atau lembaga badan Hukum,
yang berlaku setelah yang member tersebut meningal dunia.
D. Hibah:
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang atau badan Hukum kepada orang lain
atas badan Hukum untuk dimiliki.
E. Wakaf:
Wakaf adalah perbuatan seorang atau sekelompok orang (wakif)
untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
34
F. Zakat:
Zakat adalahharta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau
badan Hukum yang memiliki oleh orang islam sesuai dengan
ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada orang yang berhak
menerimanya.
G. Infaq:
Infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan,
minuman, mendermakan, memberikan risky (karuania) atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas,
dank arena Allah S.W.T.
H. Shodagoh dan
I. Ekonomi Syari’ah.
PengadilanTinggi Agama Kewenangannya diatur dalam Pasal 51 ayat
1 dan 2 UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama.
35
Kekuasaan PengadilanTUN (UU No.
5/1986 & UU No. 9/2004) Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
1. Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 47
UU no. 5/1986 Sengketa TUN.
2. Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 51
UU no. 5/1986
Kekuasaan Peradilan Militer.
-UU No. 31 Tahun 1997Tentang Peradilan Militer
36
Kekuasaan MA (UU No. 14/1985 Jo. UU No.5/2004)
MA Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan:
1. Permohonan Kasasi.
2. Sengketa tetang kewenangan mengadili.
3. Permohonan meninjauh kembali putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan Hukum tetap (Pasal 28 UU No.14/1985)
Tentang Mahkamah Agung.
MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan datau
penetapa Pengadilandari semua lingkungan peradilan
karena:
1. Tidak berwenang dan melampaui batas wewenang.
2. Salah menerapkan atau melanggar Hukum yang berlaku.
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan
Perundang Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan (Pasal 30 ayat 1 UU No.
5/2004 tentang).
37
Kompetensi/ Kewenangan Mengadili.
Hukum Acara Perdata mengenal dua macam
kewenangan yaitu :
1. Kewenangan Mutlak/ Absolut.
2. Kewenangan Relative/ NISBI Pasal 133 HIR, Pasal
159 RBg, Pasasl 136 HIR atau 162 RBg, menyangkut
pembagian kekuasaan mengadili antar Pengadilan
yang serupa tergantung dari tempat tinggal tergugat,
azasnya adalah yang berwenang adalah Pengadilan
Negeri tempat tinggal tergugat, azas ini dengan
bahasa latin dikenal “Actor Sequitoir Forum Rei”.
38
Terhadap azas diatas terdapat beberapa
pengecualian, misalnya yang terdapat dalam
Pasal 118 HIR dan 142 RBg.
1. P.N. tempat kediaman Tergugat, bila tempat tingal
tergugat tidak diketahui.
2. Jika tergugat 2 orang atau lebih, gugat diajukan
pada tempat tinggal salah satu tergugat, terserah
pilih Penggugat.
3. Akan tetapi dalam ad. 2 diatas, bila pihak tergugat
ada 2 orang, yang seorang berhutang, dan yang
lainnya penjaminnya, maka gugatan harus di P.N
tempat tinggal yang berhutang.
39
4. Bila tempat tingal dan tempat kediaman, tergugat tidak
dikenal, gugatan diajukan kepada P.N tempat tinggal
penggugat atau dari salah seorang dari Penggugat.
5. Dalam ad.4 gugatan mengenai barang tetap, dapat juga
diajukan melalui P.N dimana barang tetap itu terletak,
hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 99 (8) RV dan
Pasal 142 (5) RBg. Dalam hal gugat menyangkut barang
tetap gugat diajukan di P.N di mana barang tersebut
terletak.
6. Bila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta,
gugatan diajukan sesuai dengan akta, bila penggugat
mau, ia dapat mengajukan gugat di tempat tinggal
tergugat.
40
Pengecualian lain misalnya yang terdapat:
1. Pasal 21 BW, jika Tergugat tidak cakap, maka
gugatan diajukan di P.N tempat tinggal orang tua,
wali atau Pengampu, Pasal 20 BW, Jika tergugat PNS
gugatan diajukan di P.N dimana ia bekerja atau
dinas. Pasal 22 BW, gugatan terhadap buruh yang
tinggal di rumah majikan, maka gugatan di ajukan di
mana majikannya tinggal.
2. Pasal 99 ayat 15 RV, Gugatan kepailitan diajukan di
P.N yang menyatakan tergugat pailit.
41
3. Pasal 99 ayat 14 RV, Gugatan Vrijwaring/
Penjaminan (Gugatan Interfensi) di ajukan di P.N
yang sedang memeriksa gugatan asal.
4. Pasal 38 ayat 1 dan 2 PP No. 9/1975:Gugatan
pembatalan perkawinan dapat diajukan di
Pengadilantempat berlangsungnya perkawinan itu.
5. Pasal 20 ayat 2 dan 3 Pp No. 9/1975:Gugatan
perceraian diajukan di P.N tempat tinggal
penggugat, bila tergugat diam di liar negeri.
42
Pasal 17 BW :
1. Setiap orang dianggap punya tempat tinggalnya
dimana ia menempatkan pusat kediamannya.
2. Dalam hal tak ada tempat, maka tempat
kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat
tinggal.
Pasal 118 ayat 1 HIR :
Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama, masuk
kekuasaan P.N, harus dimasukkan dengan surat
permintaan yang di tandatangani oleh Penguggat
atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada Ketua
P.N didaerah Hukum siapa yang tergugat bertempat
tinggal atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya,
tempat tinggalnya sebetulnya.
43
Pasal 66 (2) UU No.7/1989:
Pengajuan cerai talaq diajukan ke
Pengadilan tempat kediaman termohon,
Pasal 73 (1) UU No.7/1989.
Pasal 73 (1) UU No.7/1989:
Gugatan Perceraian/ cerai gugat diajukan
kepada Pengadilan tempat kediaman
tempat penggugat, kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan
kediamannya bersama tanpa ijin tergugat.
44
SURAT KUASA KHUSUS
A. Kuasa Pada Umumnya
1. Pengertian Kuasa Secara Umum.
Pasal 1792 KUH Perdata sebagai berikut :
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana
seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang
menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan
suatu urusan.
Dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak, yaitu :
1. Pemberi Kuasa/ Latsgever/ instrucilon/ mandate
2. Penerima Kuasa/ Kuasa/ yang diberi perintah atau
mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama
pemberi kuasa.
45
2. Sifat Perjanjian Kuasa.
Pasal 1792 dan 1793 (1) BW terdapat beberapa
sifat pokok, yaitu :
a. Penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai
wakil pemberi kuasa.
b. Pemberi kuasa bersifay konsensual.
c. Berkarakter garansi – kontrak Pasal 1806 BW.
3. Berakhirnya Kuasa – Pasal 1813 BW.
a.Pemberi kuasa mnarik kembali secara sepihak
(diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 BW dan 1819
BW).
b.Salah satu pihak meninggal dunia Pasal 1813 BW.
c. Penerima kuasa terlepas kuasa.
46
Pasal 1817 BW memberikan hak secara
sepihak kepada kuasa untuk melepaskan
kuasa yang diterimanya dengan syarat:
-Harus memberitahu kehendak pelepasan itu
kapada pemberi kuasa.
-Pelepasan hak tidak boleh dilakukan pada
saat yang tidak layak
47
4. Dapat Disepakati Kuasa Mutlak.
Dalam lalu lintas pergaulan Hukum telah
memperkenalkan dan membenarkan pemberian
kuasa mutlak, perjanjian kuasa seperti ini diberi
judul “Kuasa Multak” yang memuat klausul:
- Pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali
kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa.
- Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri
perjanjian pemberi kuasa.
Diperbolehkannya membuat persetujuan Kuasa
mutlak bertitik tolak dari prinsip kebebasan
berkontrak ( Pasal 1338, sepanjang tidak
bertentangan dengan Pasal 1337 BW).
48
Macam-macam Surat Kuasa
1. Kuasa umum
Diatur Pasal 1795 BW, menurut Pasal ini, kuasa umum
bertujuan memberikan kuasa kepada seorang untuk
mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu :
-Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan
mandate.
- Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan pemberi kuasa atas harta
kekayaannya.
- Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya
meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan
kepentingan pemberi kuasa.
49
2. Kuasa Istimewa
Pasal 1796 BH mengatur perihal pemberi kuasa
istimewa, selanjutnya ketentuan pemberian kuasa
istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal
157 HIR dan Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-
pasal ini dirangkai diperlukan beberapa syarat yang
harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut
Hukum sebagai kuasa Hukum istimewa.
a. Bersifat limitative.
b. Harus berbentuk akta otentik.
3. Kuasa Perantara.
Pasal 1792 BW dan Pasal 62 KUHD yang dikenal
dengan agen perdagangan atau makelar, disebut
juga broker atau perwakilan dagang.
50
Kuasa Khusus
(Pasal 123 HIR & Pasal 147 RBg serta SEMA No.01/1971). Pasal
123 HIR atau Pasal 147 RBg dan SEMA No.01/1971, mengatur
berbagai hal yang terkait dengan Surat Kuasa Khusus tersebut
misalnya :
1. Surat kuasa khusus dapat dibuat secara dibawah tangan atau
secara otentik.
2. Surat kuasa khusus harus menyebutkan identitas pemberi dan
penerima kuasa.
3. Harus menyebutkan nomer perkara, bila sudah ada.
4. Pengadilan mana dan dimana.
5. Perihal apa dan untuk apa surat kuasa diberikan.
6. Bila ada rekonvensi dalam surat kuasa harus sudah menyebut
dengan tegas.
7. Harus menyebut subyek dan obyek.
8. Harus bermaterai secukupnya.
9. Dll.
51
GUGATAN DAN PERMOHONAN
A. Gugatan Kontentiosa/ Gugatan Perdata/ Gugatan/ Gugat.
1. Pengertian
Gugatan Kontentiosa adalah gugatan perdata yang
mengandung sengketa diantara pihak yang berperkara
pemeriksaan penyelesaiannya diberikan kepada pengadilan
dengan posisi para pihak :
 Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan
bertindak sebagai penggugat.
 Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam
penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat.
 Permasalahan Hukum yang diajukan ke Pengadilan
mengandung sengketa.
 Sengketa terjadi diantara para pihak.
 Berarti gugatan perdata bersifat partai.
52
2. Bentuk Gugatan.
a. Bentuk lisan (Pasal 120 HIR/ Pasal RBg).
Syarat formil gugatan lisan : bila penggugat tidak bisa
membaca dan menulis.
Cara pengajuan gugatan lisan :
 Diajukan dengan lisan
 Kepada Ketua PN dan
 Menjelaskan dan menerangkan isi dan maksud gugatan.
Fungsi Ketua PN
Ketua PN wajib memberikan layanan.
Pelayanan yang harus diberikan Ketua PN.
Mencatat dan menyuruh catatan gugatan yang
disampaikan penggugat.
Merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk
tertulis sesuai dengan yang diterangkan oleh penggugat.
53
Sehubungan dengan ini Ketua PN perlu
diperhatikan putusan MA tentang ini yang
menegaskan “adalah tugas Hakim Pengadilan
Negeri untuk menyempurnakan gugatan
tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya
dengan petitum, sehingga dapat mencapai
apa sebetulnya yang dimaksud dengan oleh
Penggugat.
54
B. Bentuk Tulisan.
Gugatan yang paling diutamakan
adalah gugatan dalan bentuk tertulis.
(Pasal 118 ayat 1 HIR, Pasal 142
RBg) yang berhak dan berwenang
membuat dan mengajukan gugatan
perdata adalah:
Penggugat sendiri (Pasal 118 ayat 1 HIR)
Kuasa/ wakil (Pasal 123 ayat 1 HIR
55
3. Formulasi Surat Gugatan.
a. Ditujukan kepada Ketua PN sesuai dengan
kopetensi relative.
b.Diberi tanggal
c. Ditandatangani oleh penggugat atau
kuasa.
d.Identitas para pihak.
 Nama lengkap
 Alamat/ tempat tinggal
 Penyebutan identitas lain tidak
imperative.
e. Alamat/ tempat tinggal.
56
Mengenai perumusan Posita gugatan muncul 2 teori
yaitu :
1) Substcntierings Theorie : dalil gagatan tidak cukup
hanya merumuskan peristiwa Hukum yang menjadi
dasar tuntutan, tetapi juga harus dijelaskan fakta-fakta
yang mendahului peristiwa Hukum yang menjadi
penyebab timbulnya peristiwa Hukum tersebut.
2) Teori Individualisasi (individualisering theorie) :
peristiwa atau kejadian Hukum yang dikemukakan
dalam gugatan, harus dengan jelas memperlihatkan
hubungan Hukum yang menjadi dasar tuntutan, namun
tidak perlu di kemukakan dasar dan sejarah terjadinya
hubungan Hukum, karena hal itu dapat diajukan
berikutnya dalam proses permeriksaan sidang
pengadilan.
57
Unsur Fundamentum Petendi/ Posita Gugatan :
1) Posita berdasarkan fakta.
2) Posita berdasarkan Hukum.
Petitum Gugatan: hal-hal yang diminta agar diputuskan
oleh hakim.
Bentuk Petitum sebagai berikut :
1) Bentuk tunggal
Petitum yang hanya menyantumkan mohon keadilan
atau ex-acquo (mohon keadilan)
 Tidak memenuhi syarat formil dan meteriil Petitum.
 Akibat hukumnya, gugatan dianggap mengandtng
cacat formil, sehingga gugatan harus dinyatakan
tidak diterima.
(2) Bentuk Alternatif
58
Tata Cara Pemeriksaan Gugatan Kontentiosa.
A. Sistem Pemeriksaan Secara Contradictoir.
1. Dihadiri oleh kedua belah pihak secara in
person atau kuasa.
2. Proses pemeriksaan berlangsung
secara optegnspraak proses pemeriksaan
perkara berlangsung dengan saling sanggah
menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik
maupun konklusi.
59
B. Asas Pemeriksaan.
1. Mempertahankan tata Hukum perdata. Hakim berperan
dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan.
2. Menyerahkan sepenuhnya kewajiban mengemukakan
fakta dan kebenaran kepada para pihak.
3. Tugas hakim menemukan kebenaran formil.
4. Persidangan terbuka untuk umum.
5. Aiudi Alterem Partem ( Pemeriksaan persidangan
harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang).
6. Asas Imparsialitas
Mengandung pengertian luas yaitu :
- Tidak memihak.
- Bersikap jujur dan adil.
- Tidak bersikap diskriminatif.]
60
Pengecualian Terhadap Acara pemeriksaan
Contradictoir
a. Dalam proses Verstek.
b. Gugatan gugur.
Pencabutan Gugatan (Pasal 271-272 RV)
a. HIR dan RBg. Tidak mengatur pencabutan
gugatan.
b. Pencabutan gugatan merupakan hak penggugat
1.Pencabutan mutlak hak penggugat selama
pemeriksaan belum berlangsung.
2.Atas persetujuan tergugat apabila pemeriksaan
telah berlangsung.
61
Cara pencabutan :
1. Yang berhak melakukan pencabutan adalah
penggugat sendiri secara pribadi atau kuasanya.
2. Pencabutan gugatan yang belum diperiksa dilakukan
dengan surat.
3. Pencabutan gugatan yang sudah diperiksa dilakukan
dalam sidang.
Komulasi Gugatan/ Penggabungan Gugatan.
1. Pengertian
Kumulasi gugatan adalah penggabungan lebih dari
satu tuntutan hukum kedalam satu gugatan.
2. Tujuan penggabungan Gugatan.
a.Mewujudkan peradilan sederhana.
b.Menghindari putusan yang saling bertentangan.
62
3. Syarat Penggabungan.
a. Terdapat hubungan erat.
b. Terdapat hubungan Hukum.
4. Bentuk Penggabungan.
a. Kumulasi subyektif
b. Kumulasi Obyektif
5. Pengabungan yang tidak dibenarkan:
a. Pemilik obyek gugatan berbeda.
b. Gugatan yang digabungkan tunduk pada Hukum acara yang
berbeda.
c. Gugatan tunduk pada kompetensi absolute yang berbeda.
d. Gugatan rekonvensi tidak ada hubungan dengan gugatan
kovensi.
63
6. Penggabungan gugatan cerai dengan pembagian
harta bersama diataur dalam Pasal 86 (1) UU
No.7/1989, dalam hal ini diperkenankan.
A, B, dan C menggugat DEF dalam hal warisan juga
ternyata DEF punya hutang bersama pada A, B, dan
C dalam hal ini, komulasi gugat diperkenankan.
Penggugat (A) bertindak sebagai wali dan anaknya
yang belum dewasa menggugat (B), kemudian
digabungkan dengan gugatan mengenai utang
pribadi (B) kepada (A), dalam hal ini komulasi gugat
tidak diperkenankan.
64
Perubahan Gugatan.
a. HIR tidak mengatur, sehingga Hakim leluasa
menentukan. Sebagai patokan dapat dipergunakan
ketentuan bahwa perubahan atau penambahan
gugat diperkenankan asalkan kepentingan
penggugat terutama tergugat jangan sampai
dirugikan.
b. MA dalam putusannya tanggal 6 Maret 1971 No.
209 K/SIP/1970 menentukan bahwa suatu
perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan
asas-asas Hukum secara perdata, asalkan tidak
merubah atau menyimpang dari kejadian meteriil
walaupun tidak ada tuntutan subsidair untuk
peradilan yang adil, terutama dalam yurisprudensi
Indonesia, penerbit I, II, III, IV.1972 hal. 470 MA
RI.
65
C. Perubahan gugatan dilarang apabila berdasar atas keadaan
Hukum yang sama dimohon pelaksanaan suatu hak yang lain.
Misalnya :
1.Semula dimohon ganti rugi berdasar ingkar janji gugat
dirubah, berdasar ingkar janji agar tergugat dipaksa untuk
memenuhi janjinya.
2.Semula dasar gugatan perceraian adalah perzinahan,
kemudian dirubah dasar gugatan menjadi keretakan yang
tidak dapat diperbaiki.
3.Penggugat berhak merubah atau mengurangi tuntutannya
sampai saat perkara diputus, tanpa boleh merubah atau
menambah pokok gugatannya (pasal 127 RV).
E. Yurisprudensi No. 1043 K/SIP/1971, Perubahan surat gugatan
diperbolehkan asal tidak mengakibatkan perubahan Posita dan
tergugat tidak dirugikan haknya membela diri.
66
Gugatan Rekonvensi
1. Pengertian Gugatan Rekonvensi.
Pasal 132 ayat (1) HIR hanya memberikan pengertian singkat.
Maknanya menurut pasal ini adalah sebagai berikut :
 Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat
sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan
penggugat kepadanya, dan
 Gugagatan Rekonvensi itu, diajukan tergugat kepada PN,
pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang
diajukan penggugat;
Contoh :
A menggugat B untuk menyerahkan tanah yang telah dibelinya
dari B sesuai dengan transaksi jual beli yang dibuat di PPAT.
Terhadap gugatan itu Pasal 032 ayat (1) HIR member hak
kepada B mengajukan gugatan rekonvensi terhadap A untuk
melunasi pembayaran yang masih tersisa ditambah ganti rugi
bunga atas perbuatan Wanprestasi yang dilakukannya.
67
Komposisi Para Pihak Dihubungkan Dengan
Gugatan Rekonvensi.
Dalam keadaan normal, komposisi para pihak dalam
gugatan biasa terdiri dari:
1. Pengugat sebagai pihak yang berinisiatif
mengajukan gugatan.
2. Tergugat sebagai pihak yang ditarik dan di
dudukan sebagai orang digugat.
3. Gugatan hanya tunggal derdiri dari gugatan yang
diajukan penggugat saja.
4. Oleh karena itu dasar dan landasan pemeriksaan
perkara, di sidang pengadilan sepenuhnya bertitik
tolak dari gugatan penggugat tersebut.
68
Komposisi Gugatan.
Dengan adanya gugatan rekonvensi,
komposisi gugatan menjadi:
1. Gugatan penggugat disebut gugatan
rekonvensi yang bermakna sebagai
gugatan asal yang ditunjukan penggugat
kepada tergugat.
2. Gugatan tergugat disebut gugatan
rekonvensi yang bermakna gugatan balik
yang ditujukan tergugat kepada tergugat.
69
Komposisi Para Pihak.
Selain muncul dan saling berhadapan gugatan
konvensi dan rekonvensi, serta merta hal itu
menimbulkan komposisi yang menempatkan
para pihak dalam kedudukan:
1. Penggugat asal sebagai penggugat Konvensi
pada saat yang bersamaan berkedudukan
menjadi Tergugat Rekonvensi terhadap
gugatan Rekonvensi.
2. Penggugat asal sebagai Tergugat
Rekonvensi pada saat yang bersamaan
berkedudukan sebagai Tergugat Konvensi.
70
Gugatan Rekonvensi Bersifat Eksepsional.
1. Prinsip Umum gugatan adalah : setiap gugatan
yang diajukan seseorang kepada orang lain,
memiliki sifat individual yang terpisah dan berdiri
sendiri dari gugatan yang lain.
Pasal 121 (1) HIR atau Pasal 1 Rv:
 Setiap gugatan di register dan diberi nomer terdiri oleh
Panitera dalam buku yang disediakan untuk itu;
 Pendaftaran perkara dalam buku register dilakukan
dengan tertib dan cermat dengan mencantumkan seluruh
data gugatan yang bersangkutan.
 Selanjutnya Ketua PN atau Ketua Majelis menentukan hari
sidang pemeriksaan perkara dengan jalan memanggil para
pihak.
71
2. Gugatan Rekonvensi mengenyampingkan
ketentuan Pasal 121 (1) tersebut diatas, hal
ini bisa dilihat dati ketentuan Pasal 132a HIR
memberikan hak kepada tergugat melakukan
komulasi gugatan Rekonvensi dengan
gugatan konvensi dalam proses pemeriksaan
gugatan perkara yang sedang berjalan :
 Mengajukan gugatan Rekonvensi sebagai
gugatan balik atas gugatan penggugat,
dan
 Gugatan Rekonvensi itu dikomulasi
Tergugat dengan gugatan konvensi
penggugat.
72
Tujuan Gugatan Rekonvensi.
Menegakkan Asas Peradilan Kesederhanaan.
Menghemat biaya dan waktu.
Syarat Materiil Gugatan Rekonvensi.
1. Undang-undang Tidak Mengatur Syarat Materiil.
Tidak ada ketentuan syarat materiil, Pasal 132a
HIR hanya berisi penegasan, bahwa :
 Tergugat dalam setiap perkara berhak
mengajukan gugatan Rekonvensi;
 Tidak disyaratkan antara keduanya mesti
mempunyai hubungan yang erat atau
koneksitas yang substansial.
73
2. Praktek Peradilan cenderung masyarakat
koneksitas.
Gugatan Rekonvensi baru dianggap sah dan
dapat diterima untuk diakumulasi dengan
Konvensi apabila terpenuhi syarat :
 Terdapat factor pertautan hubungan
mengenai dasar Hukum dan kejadian
yang relevan antara gugatan konvensi
dan Rekonvensi.
 Hubungan pertautan itu harus sangat
erat sehingga penyelesaiannya dapat
dilakukan secara efektif da;a, satu proses
dan putusan.
74
Syarat Formil Gugatan Rekonvensi
1. Gugatan Rekonvensi di formulasi secara
tegas ;
2. Yang dianggap ditarik sebagai tergugat
Rekonvensi hanya terbatas Penggugat
Konvensi :
 Yang dapat ditarik senbagai tergugat.
 Tidak mesti menarik semua penggugat
Konvensi.
 Dilarang menarik sesame tergugat
Konvensi menjadi tergugat Rekonvensi.
75
3. Gugatan Rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban.
Pasal 132b (1) HIR Berbunyi : “Tergugat wajib mengajukan
gugatan melawan bersama-sama dengan menjawabnya baik
dengan surat maupun dengan lisan” Terhadap makna “jawaban”
telah terjadi perbedaan pendapat yaitu :
a. Rekonvensi wajib diajukan besama-sama dengan jawaban
pertama.
 Membolehkan atau member kebabasan bagi tergugat
mengajukan gugatan Rekonvensi diluar jawaban pertama
dapat menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam mebela
hak dan kepentingannya.
 Selain itu membolehkan tergugat mengajukan gugtan
Rekonvensi melampaui jawaban pertama dapar
menimbulkan ketidak lancaran pemeriksaan dan
penyelesaian perkara.
 Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti
pada jawaban pertama agar tergugat tidak sewenang-
wenang dalam mempergunakan haknya mengajukan
gugatan Rekonvensi.
76
b. Batas pengajuan Gugatan Rekonvensi sampai tahab
pembuktian.
Hal ini sejalan dengan putusan MA No. 239 K/SIP/1968,
menurut putusan tersebut gugatan Rekonvensi dapat diajukan
selama proses jawab menjawab berlangsung. Karena Pasal
132b (1) dan Pasal 158 RBg, hanya menyebut jawaban,
sendangkan replik, duplik juga merupakan jawaban meskipun
bukan jawaban pertama, demikian pula putusan MA No.642
K/SIP/1972, bahwa atas pengajuan gugatan rekonvensi masih
terbuka sampai dimasukinya tahap proses pemeriksaan saksi,
pembahasan yang demikian disepakati oleh Prof. Soedikno
Martokusumo. Yaitu apabila proses pemeriksaan telah
memasuki tahap pembuktian tergugat tidak dibenarkan
mengajukan gugatan rekonvensi.
77
Larangan Mengajukan Gugatan Intervensi.
1. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi kepada
diri orang yang bertindak berdasarkan suatu
kualitas ( Pasal 132a (1) HIR.
2. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi diluar
Yuridiksi PN yang memeriksa perkara. Pasal 118 (1)
dan (3) HIR.
3. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi
terhadap exsekusi pasal 132a (1) ke-3 HIR dan
pasal 379Rv.
4. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi pada
tingkat banding Pasal 132a (2) HIR dan putusan MA
No.1250 K/Pdt/1986.
5. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi pada
tingkat kasasi Putusan MA No. 209 K/SIP/1970.
78
Gugatan Intervensi
Proses dengan tiga pihak/ ikut sertanya pihak ketiga
dalam suatu proses (Pasal 279-282 Rv)
1. Voeging.
Jika pihak ketiga itu mau membela atau
mengabungkan diri ke salah satu pihak yang sedang
berperkara.
2. Tussenkomst
Jika pihak ketiga itu tidak memihak salah satu pihak,
melainkan membela kepentingannya sendiri
terhadap penggugat dan tergugat.
3. Vrijwaring.
Penarikan pihak ketiga dalam suatu proses untuk
menanggung, supaya tergugat dapat bebas dari
penuntutan yang merugikan.
79
Cara Mengajukan Gugatan Intervensi :
1. Mengajukan permohonan kepada majelis agar
diperkenankan mencampuri proses tersebut dan
dinyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah
satu pihak (voging) (Retno Wulan, SH. Hal.48).
2. Pihak pemohon intervensi datang dipersidangan lalu
dengan lisan atau tulisan mengemukakan kehendaknya
untuk mencampuri perkara tersebut sebagai pihak
ketiga. (Subekti, SH. Hal. 71)
3. Gugatan intervensi diajukan kepada pihak ketiga
kepada Ketua Pengadilan dengan melawan pihak yang
sendang bersengketa/ ikut salah satu pihak dengan
menunjuk no, tanggal perkara yang dilawan seperti
gugatan biasa tanpa membayar biaya perkara dan tidak
diberi nomer baru (Mukti Arti. Hal. 109)
80
Gugatan Class Action/ Gugatan Perwakilan
Kelompok.
Perma No.1/2002 Tanggal 26 april 2006.
1. Pengertian Class Action
 Suatu tata cara pengajuan gugatan yang dilakukan
satu orang atau lebih.
 Orang itu bertindak mewakili kelompok (CR) untuk
diri sendiri dan sekaligus mewakili anggota
kelompok (class members).
 Antara yang mewakili kelompok dengan kelompok
yang diwakili memiliki kesamaan fakta dan dasar
Hukum. Pasal 1 huruf a PERMA No.1/2002.
81
2. Tujuan GPK/ CA/ RA.
 Mengembangkan penyederhanaan akses
masyarakat memperoleh keadilan.
 Mengefektifkan efisiensi penyelesaian
pelanggaran Hukum yang merugikan orang
banyak.
3. Syarat Formil CA/ RA
a. Ada kelompom (Class)
 Perwakilan kelompok.(Class Action).
 Anggota kelompok (class members)
b. Kesamaan fakta atau dasar Hukum.
c. Kesamaan jenis tuntutan.
82
4. Konsep Hak Gugatan LSM berbeda dengan Class
Action
a. Konsep CA Berdasarkan commanality.
Landasan utama konsep CA adalah asas atau
syarat commonality yaitu prinsip kesamaan yang
berkenaan dengan fakta dan dasar hokum dan
kesamaan tuntutan hokum. Atau lazim juga
disebut kesamaan kepentingan (same interest)
kesamaan penderitaan (same grievence) dan
kesamaan tujuan sam purpose).
Agar dasar kesamaan (mononality) dapat
ditegakkan, diperlukan factor-faktor yang
menjadi landasannya yang disebut unsure CA.
83
5. Formulasi gugatan CA
a. Persyaratan umum berdasarkan
Ketentuan HIR dan RBG.
 Mencantumkan dan mengalamatkan
gugatan berdasarkan kopetensi
relative (yudiksi relative) sesuai
dengan system dan patokan yang
digariskan pasal 118 HIR.
Mencantumkan tanggal pada
gugatan.
84
ISTILAH-ISTILAH DALAM HUKUM ACARA
PERDATA
1. Kekuasaan Relatif
Diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu
jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya
dengan kekuasaan Pengadilan yang sama jenis
dan sama tingkatan lainnya
Contoh: Pengadilan Negeri Jakara Selatan dengan
Pengadilan Negeri Padang satu jenis, sama-sama
lingkungan Pengadilan Umum dan sama-sama
Pengadilan tingkat pertama
85
2. Kekuasaan Absolut
Kekuasaan Pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan
atau tingkatan Pengadilan, dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau
jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan
lainnya.
Contoh: Pengadilan Agama berkuasa atas
perkara perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam, sedangkan bagi yang
bukan Islam menjadi kekuasaan Pengadilan
Umum.
86
3. Exceptie atau Eksepsi
Artinya tangkisan, maksudnya adalah bantahan atau tangkisan
dari tergugat yang diajukannya ke Pengadilan karena tergugat
digugat oleh penggugat yang tujuannya supaya Pengadilan
tidak menerima perkara yang diajukan oleh penggugat karena
adanya alasan tertentu.
4. Banding yang di sebut juga appel
Permohonan pemeriksaan kembali terhadap putusan atau
penetapan Pengadilan tingkat pertama karena merasa tidak
puas atas putusan atau penetapan tersebut, ke Pengadilan
tingkat banding yang mewilayahi Pengadilan tingkat pertama
yang bersangkutan melalui Pengadilan tingkat pertama yang
memutus tersebut, dalam tenggang waktu tertentu dan
dengan syarat-syarat tertentu.
87
5. Kasasi
Permohonan pembatalan terhadap putusan/
penetapan Pengadilan tingkat pertama atau
terhadap putusan Pengadilan tingkat banding ke
Mahkamah Agung di Jakarta, melalui Pengadilan
tingkat pertama yang dahulu memutus, karena
adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu dan
dengan syarat-syarat tertentu.
6. Petitum
Yakni hal-hal apa yang diinginkan atau di minta
oleh penggugat agar diputuskan, ditetapkan dan
atau diperintahkan oleh hakim.
88
7. Posita atau Fundamenteum Petendi
Suatu gugatan harus memuat gambaran yang jelas
mengenai duduknya persoalan, dengan lain
perkataan dasar gugatan harus dikemukakan
dengan jelas.
8. Perstek atau Verstek
Artinya pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir,
meskipun ia menurut hukum acara harus datang.
Perstek hanya dapat dinyatakan, apabila pihak
tergugat kesemuanya tidak datang menghadap
pada sidang yang pertama, dan apabila perkara
diundurkan sesuai dengan pasal 126 H.I.R., juga
pihak tergugat kesemuanya tidak datang
menghadap lagi.
89
9. Verzet
Perlawanan terhadap putusan verstek yang telah
dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama, yang
diajukan oleh tergugat yang diputus verstek tersebut,
dalam waktu tertentu, yang diajukan ke Pengadilan
tingkat pertama yang memutus itu juga.
10.Nebis in idem
Proses selesai sama sekali dan seandainya suatu
waktu diajukan kembali persoalan yang sama oleh
salah satu pihak tersebut atau oleh ahliwaris dan
mereka yang mendapatkan hak daripadanya, maka
gugatan terakhir ini akan dinyatakan nebis in idem
dan karenanya dinyatakan tidak dapat diterima.
90
11.Akta Otentik
Menurut Pasal 165 H.I.R. adalah surat yang dibuat
oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa
akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup
bagi kedua belah pihak dan ahliwarisnya serta sekalian
orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang
segala hal, yang tersebut dalam surat itu dan juga
tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai
pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu
hanya sekedar yang di beritahukan itu langsung
berhubung dengan pokok dalam akta itu.
12.Replik
Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis dari
tergugat.
91
13.Duplik
Jawaban penggugat atas jawaban itu (tergugat).
14.Prodeo
Perkara-perkara yang diperiksa secara prodeo
berdasarkan ketentuan pasal 237 H.I.R. artinya
tanpa bayaran.
15.Asas legitima persona standi in judicio
Setiap orang yang merasa memiliki dan ingin
menuntut, mempertahankan atau membela hak
tersebut berwenang untuk bertindak selaku para
pihak, baik sebagai tergugat atau penggugat.
92
Penyusun:
Raden Adnan, S.H., M.H
Dosen Hukum Acara Perdata
STIH Dharma Andigha Bogor.
93

More Related Content

Similar to HUKUM ACARA PERDATA

Hukum Acara Perdata
Hukum Acara PerdataHukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdatazahraayu24
 
Hk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaHk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaAlalan Tanala
 
Hk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaHk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaAlalan Tanala
 
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang Memengaruhinya
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang MemengaruhinyaHakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang Memengaruhinya
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang MemengaruhinyaFRANKLYN_SS
 
Materi PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptx
Materi PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptxMateri PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptx
Materi PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptxkamdina35
 
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikanGradeAlfonso
 
Hukum Acara Pidana 2.ppt
Hukum Acara Pidana 2.pptHukum Acara Pidana 2.ppt
Hukum Acara Pidana 2.pptahmadreynld23
 
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptxHAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptxDirgaGunk
 
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptx
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptxPERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptx
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptxArmanSyah89
 
Ketentuanketentuan pokok kekuasaan_kehakiman_(uu_19
Ketentuanketentuan pokok kekuasaan_kehakiman_(uu_19Ketentuanketentuan pokok kekuasaan_kehakiman_(uu_19
Ketentuanketentuan pokok kekuasaan_kehakiman_(uu_19Ilham Mustafa
 

Similar to HUKUM ACARA PERDATA (20)

Hukum Acara Perdata
Hukum Acara PerdataHukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata
 
Kumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Kumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas BumiKumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Kumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
 
Putusan002 puui2003
Putusan002 puui2003Putusan002 puui2003
Putusan002 puui2003
 
Hk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaHk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agama
 
Hk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaHk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agama
 
Acaraperdata
AcaraperdataAcaraperdata
Acaraperdata
 
Hukum Acara Perdata
Hukum Acara PerdataHukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata
 
Ppt power point.1
Ppt power point.1Ppt power point.1
Ppt power point.1
 
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang Memengaruhinya
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang MemengaruhinyaHakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang Memengaruhinya
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang Memengaruhinya
 
Materi PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptx
Materi PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptxMateri PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptx
Materi PKPA Hukum Acara Perdata Redesign.pptx
 
A
AA
A
 
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
 
Hukum Acara Pidana 2.ppt
Hukum Acara Pidana 2.pptHukum Acara Pidana 2.ppt
Hukum Acara Pidana 2.ppt
 
Hukum acara konstitusai
Hukum acara konstitusaiHukum acara konstitusai
Hukum acara konstitusai
 
Hukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptxHukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptx
 
Uu 18 2003+Pjls
Uu 18 2003+PjlsUu 18 2003+Pjls
Uu 18 2003+Pjls
 
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptxHAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
 
1. Azas-azas.pptx
1. Azas-azas.pptx1. Azas-azas.pptx
1. Azas-azas.pptx
 
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptx
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptxPERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptx
PERBEDAAN HUKUM ACARA FORMIL.pptx
 
Ketentuanketentuan pokok kekuasaan_kehakiman_(uu_19
Ketentuanketentuan pokok kekuasaan_kehakiman_(uu_19Ketentuanketentuan pokok kekuasaan_kehakiman_(uu_19
Ketentuanketentuan pokok kekuasaan_kehakiman_(uu_19
 

Recently uploaded

Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxFeniannisa
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxbinsar17
 
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxSlaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxkhairunnizamRahman1
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptxahmadrievzqy
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptJhonatanMuram
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxFucekBoy5
 

Recently uploaded (6)

Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
 
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxSlaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
 

HUKUM ACARA PERDATA

  • 1. MODUL KULIAH HUKUM ACARA PERDATA Disusun Oleh Raden Adnan, S.H., M.H NIDN : 0401037104 Program Studi Ilmu Hukum SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM DHARMAANDIGHA BOGOR TAHUN 2022 1
  • 2. 2
  • 3. Pengertian Menurut Para Ahli 1. Prof. Dr. Sudikno mertokusumo, S,H adalah peraturan Hukum yang mengatur bagaimana cara ditaatinya Hukum perdata materiil dengan peraturan hakim. Lebih kongkrit dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan, dan pelaksanaan daripada putusannya. 1. Abdul kadir Muhamad adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya Hukum perdata sebagaimana mestinya. Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan(hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim. 3
  • 4. 3. Retnowulan adalah Hukum Perdata Formil adalah kesemuanya kaidah Hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perata Materiil. 4. R. Soesilo adalah Hukum Perdata Formal yaitu kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menetapkan cara memelihara Hukum perdata material karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari Hukum perdata material itu, atau dengan perkataan lain kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim perdata, supaya memperoleh suatu keputusan daripadanya, dan selanjutnya yang menentukan cara pelaksaan putusan hakim itu. 4
  • 5. Dari beberapa pengertian di atas bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang memiliki karakteristik: 1. Menentukan dan mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil. 2. Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beracara di muka persidangan pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan, pengambilan keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan. 5
  • 6. Fungsi Hukum Acara Perdata: Yakni untuk Mempertahankan dan melaksanakan hukum perdata materiil, artinya hukum perdata materiil itu dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasar hukum acara perdata Tujuan Hukum Acara Perdata: Yakni untuk merealisasi pelaksanaan dari hukum perdata materiil 6
  • 7. Sejarah Terbentuknya Hukum Acara Perdata. Pada tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan Jacob Rochussen memberi tugas ketua MA dan MA Tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi golongan Indonesia. Kemudian tanggal 6 Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers/ Ketua MA dan MA Tentara telah selesai dengan rancangannya serta peraturan penjelasannya. Lalu pada tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No. 16 Rancangan Wichers diterima dan di umumkan oleh Gubernur Jendral dengan diberi nama “Het Inlands reglement” H.I.R. dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848. 7
  • 8. Azas-asas Hukum Acara Perdata. Paul Scholten mendefinisikan asas Hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang dapat didalam dan dibelakang system Hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan- aturan perundang-undangan dan putusan- putusan hakim yang berkenan denganya, ketentuan-ketentuan dan keputusan- keputusan individual dapat dipandang sebagai jabarannya. 8
  • 9. Harjono memberikan pengertian azas Hukum yang mempunyai fungsi sebagai norma pemberi nilai. Jadi dengan singkat system Hukum dibagi (secara substantive/ atas dasar nilai- nilai yang dikandung dalam asas Hukum. 9
  • 10. Sudikno Mertokusumo Hukum Acara Perdata menyebut ada 7 asas yaitu : 1. Hakim Bersifat Menunggu. Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg. Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepeuhnya kepada yang bersangkutan. Jadi apakah ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak semua diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, sedangkan Hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya. 10
  • 11. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 UU No. 4/2004 Tentang Kekuasan Kehakiman). Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius curi novit ), kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan Hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4/2004). 11
  • 12. 2. Hakim Pasif. Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154 RBg. Ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan (Pasal 28 UU No. 4/2004). Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap Tut wuri, hakim terikat pada peritiwa yang diajukan oleh para pihak. 12
  • 13. Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan, sedangkan hakim tidak dapat menghalaginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR, 154 RBg). Hakim wajib mengadili semua gugatan dan larangan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di tuntut, atau mengabulkan lebih dari yang di tuntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg.) apakah yang bersangkutan mengajukan banding atau tidak itupun bukan kepentingan Hakim (Pasal 6 UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg). 13
  • 14. 3. Sifat Terbuka Persidangan. Pasal 19 (1) dan Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004. Bahwa setiap orang dibolehkan hadir, mendengar, dan menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali di tuntut lain oleh UU). Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat, (Pasal 19 ayat 1 UU No. 4/2004). 14
  • 15. Namun ada juga persidangan yang sifatnya tertutup, misalnya perkara perceraian, akan tetapi sidang pembacaan putusan harus terbuka, jika tidak dinyatakan terbuka untuk umum keputusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut Hukum. 15
  • 16. 4. Mendengan Kedua Belah Pihak. Pasal 5 (1) UU No. 4/2004 dan Pasal 132a, 121 (2) HIR dan Pasal 145 (2), 157 RBg serta Pasal 47 RV. Bahwa kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa Pengadilan mengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 UU No. 4/2004). 16
  • 17. Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar dan diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, hal itu berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 Yt 2 HIR, Pasal 145 ayat 2, 157 RBg dan Pasal 47 Rv). 17
  • 18. 5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan. Pasal 25 UU No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR dan Pasal 195, 618 RBg. Semua putusan hakim harus memuat alasan- alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU No.4/2004, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg). Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan. 18
  • 19. 6. Beracara dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004. Pasal 121 (4), 182, 183 HIR, Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR, Pasal 273 RBg. Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU No. 4/2004). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk pemanggilan pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dikeluarkan biaya. 19
  • 20. Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan mendapatkan ijin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi (Pasal 237 HIR, 237 RBg). Akan tetapi dalam praktek surat keterangan tidak mampu dibuat oleh Camat daerah tempat tinggal yang berkepentingan. 20
  • 21. 7.Tidak ada keharusan mewakilkan. Pasal 123 HIR, 147 RBg. HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili kapada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 RBg). 21
  • 22. Setiawan menyebutkan ada 8 asas yaitu : 1. Asas kesederhanaan. Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004 2. Pengadilan mengadili menurut Hukum dengan tidak membedakan orang, Pasal 5 (1) UU No. 4/2004. 3. Hakim aktif memimpin proses. Pasal 132 HIR, Pasal 156 RBg. 4. Memberikan perlakuan yang sama kepada para pihak yang berperkara. 5. Para pihak memiliki kedudukan yang sama. 6. Suatu putusan Pengadilanharus diberi suatu pertimbangan yang cukup. 7. Penyelesaian perkara dalam waktu yang pantas. 8. Hukum acara itu sendiri bukan tujuan. 22
  • 23. SUMBER HUKUM ACARA PERDATA. A. Pengertian Sumber Hukum Acara Perdata. Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan dan tepat ditemukannya aturan-aturan Hukum. 23
  • 24. B. Macam-macam Sumber Hukum Acara Perdata 1. Peraturan Perundang-undangan a. HIR : Het Herzein Indonesisch Reglement Stb. 1848 No. 16 Jonto Stb, 1941 No. 44 berlaku untuk daerah jawa dan Madura. b. RBg : Rechtsreglement Buitengewesten Stb. 1927 No. 227 Untuk luar jawa dan Madura. c. BW Buku ke IV : Burgelijke Wetboek Voor Indonesisch d. RV : Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63 Hukum Acara Perdata untuk golongan eropa. e. UU No. 20/1947, UU tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura. f. UU No. 04/2004, UU tentang Kekuasaan Kehakiman. g. UU No. 14/1985 Jo, UU No. 5/2004. h. UU No. 2/1986 Jo, UU No. 8/2004 UU tentang Lingkungan Peradilan Umum. i. UU No. 7/1989 UU tentang Peradilan Agama. j. UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975 k. PERMA dan SEMA. 24
  • 25. 2.Yurisprudensi. 3. Adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan Pemeriksaan Perkara Perdata. 4. Doktrin. 5. Perjanjian International. Perjanjian kerjasama di bidang peradilan antara RI dan Kerajaan Thailand. 25
  • 26. BADAN PERADILAN UMUM DAN KHUSUS A. Susunan Badan Peradilan Umum dan Khusus. 26
  • 27. Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan : 1. Mahkaman Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer. 2. Mahkamah Konstitusi 27
  • 28. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: Menguji UU terhadap UUD Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD Memutus pembubaran Partai Politik Memutus sengketa hasil Pemilu. (Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 ; Pasal 10 UU No. 4/2004; Pasal 12 UU No.4/2004; Pasal 2 UU NO.4/2004). 28
  • 29. Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4/2004 Pasal 1 Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka. Pasal 4 Peradilan dilakukan “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Pasal 8 “Asas Praduga tak bersalah”. Pasal 10 Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan Peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah MK. Pasal 12 MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: Menguji UU terhadap UUD 1945. Memutus Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI 1945. Memutus pembubaran Parpol dan Memutus Perselisihan tentang hasil Pemilu. 29
  • 30. Pasal 16 Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jela, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pasal 11 MA Berwenang menguji Peraturan Perundang- undangan di bawah ayat 2.b UU terhadap UU. Pasal 19 Sidang Pemeriksaan Pengadilanadalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain. Pasal 28 Hakim wajib Menggali,mengikuti dan memahami nilai- nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 20 Semua peraturan Peradilan hanya sah dan mempunyai kekuatan Hukum apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Pasal 37 Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan Hukum. 30
  • 31. Kekuasan Peradilan Umum dan Khusus. 1. Kekuasan Peradilan Umum (UU No.2/1986 & UU No. 8/2004  Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi (Pasal 3 UU No. 2/1986).  Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No. 2/1986).  PengadilanTinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perfata di tingkat banding (Pasal 51 (1) dan mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara PN dan daerah hukumannya (Pasal 51 (2) UU No.2/1986). 31
  • 32. 2. Kekuasaan Pengadilan Agama (UU No. 7/1989 Jo, UU No.3/2006) Pasal 49 UU No.3/2006 Tentang Perailan Agama :  PengadilanAgama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang : 32
  • 33. A. Perkawinan : Perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang Perkawinan yang berlaku dan dilakukan menurut syari’ah (Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49). B. Kewarisan : Waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan Pengadilanatas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. 33
  • 34. C. Wasiat: Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga badan Hukum, yang berlaku setelah yang member tersebut meningal dunia. D. Hibah: Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan Hukum kepada orang lain atas badan Hukum untuk dimiliki. E. Wakaf: Wakaf adalah perbuatan seorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. 34
  • 35. F. Zakat: Zakat adalahharta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan Hukum yang memiliki oleh orang islam sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. G. Infaq: Infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan risky (karuania) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dank arena Allah S.W.T. H. Shodagoh dan I. Ekonomi Syari’ah. PengadilanTinggi Agama Kewenangannya diatur dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama. 35
  • 36. Kekuasaan PengadilanTUN (UU No. 5/1986 & UU No. 9/2004) Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 1. Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 47 UU no. 5/1986 Sengketa TUN. 2. Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 51 UU no. 5/1986 Kekuasaan Peradilan Militer. -UU No. 31 Tahun 1997Tentang Peradilan Militer 36
  • 37. Kekuasaan MA (UU No. 14/1985 Jo. UU No.5/2004) MA Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan: 1. Permohonan Kasasi. 2. Sengketa tetang kewenangan mengadili. 3. Permohonan meninjauh kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan Hukum tetap (Pasal 28 UU No.14/1985) Tentang Mahkamah Agung. MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan datau penetapa Pengadilandari semua lingkungan peradilan karena: 1. Tidak berwenang dan melampaui batas wewenang. 2. Salah menerapkan atau melanggar Hukum yang berlaku. 3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (Pasal 30 ayat 1 UU No. 5/2004 tentang). 37
  • 38. Kompetensi/ Kewenangan Mengadili. Hukum Acara Perdata mengenal dua macam kewenangan yaitu : 1. Kewenangan Mutlak/ Absolut. 2. Kewenangan Relative/ NISBI Pasal 133 HIR, Pasal 159 RBg, Pasasl 136 HIR atau 162 RBg, menyangkut pembagian kekuasaan mengadili antar Pengadilan yang serupa tergantung dari tempat tinggal tergugat, azasnya adalah yang berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat, azas ini dengan bahasa latin dikenal “Actor Sequitoir Forum Rei”. 38
  • 39. Terhadap azas diatas terdapat beberapa pengecualian, misalnya yang terdapat dalam Pasal 118 HIR dan 142 RBg. 1. P.N. tempat kediaman Tergugat, bila tempat tingal tergugat tidak diketahui. 2. Jika tergugat 2 orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah satu tergugat, terserah pilih Penggugat. 3. Akan tetapi dalam ad. 2 diatas, bila pihak tergugat ada 2 orang, yang seorang berhutang, dan yang lainnya penjaminnya, maka gugatan harus di P.N tempat tinggal yang berhutang. 39
  • 40. 4. Bila tempat tingal dan tempat kediaman, tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada P.N tempat tinggal penggugat atau dari salah seorang dari Penggugat. 5. Dalam ad.4 gugatan mengenai barang tetap, dapat juga diajukan melalui P.N dimana barang tetap itu terletak, hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 99 (8) RV dan Pasal 142 (5) RBg. Dalam hal gugat menyangkut barang tetap gugat diajukan di P.N di mana barang tersebut terletak. 6. Bila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, gugatan diajukan sesuai dengan akta, bila penggugat mau, ia dapat mengajukan gugat di tempat tinggal tergugat. 40
  • 41. Pengecualian lain misalnya yang terdapat: 1. Pasal 21 BW, jika Tergugat tidak cakap, maka gugatan diajukan di P.N tempat tinggal orang tua, wali atau Pengampu, Pasal 20 BW, Jika tergugat PNS gugatan diajukan di P.N dimana ia bekerja atau dinas. Pasal 22 BW, gugatan terhadap buruh yang tinggal di rumah majikan, maka gugatan di ajukan di mana majikannya tinggal. 2. Pasal 99 ayat 15 RV, Gugatan kepailitan diajukan di P.N yang menyatakan tergugat pailit. 41
  • 42. 3. Pasal 99 ayat 14 RV, Gugatan Vrijwaring/ Penjaminan (Gugatan Interfensi) di ajukan di P.N yang sedang memeriksa gugatan asal. 4. Pasal 38 ayat 1 dan 2 PP No. 9/1975:Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan di Pengadilantempat berlangsungnya perkawinan itu. 5. Pasal 20 ayat 2 dan 3 Pp No. 9/1975:Gugatan perceraian diajukan di P.N tempat tinggal penggugat, bila tergugat diam di liar negeri. 42
  • 43. Pasal 17 BW : 1. Setiap orang dianggap punya tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya. 2. Dalam hal tak ada tempat, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal. Pasal 118 ayat 1 HIR : Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama, masuk kekuasaan P.N, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang di tandatangani oleh Penguggat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada Ketua P.N didaerah Hukum siapa yang tergugat bertempat tinggal atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat tinggalnya sebetulnya. 43
  • 44. Pasal 66 (2) UU No.7/1989: Pengajuan cerai talaq diajukan ke Pengadilan tempat kediaman termohon, Pasal 73 (1) UU No.7/1989. Pasal 73 (1) UU No.7/1989: Gugatan Perceraian/ cerai gugat diajukan kepada Pengadilan tempat kediaman tempat penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan kediamannya bersama tanpa ijin tergugat. 44
  • 45. SURAT KUASA KHUSUS A. Kuasa Pada Umumnya 1. Pengertian Kuasa Secara Umum. Pasal 1792 KUH Perdata sebagai berikut : Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak, yaitu : 1. Pemberi Kuasa/ Latsgever/ instrucilon/ mandate 2. Penerima Kuasa/ Kuasa/ yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa. 45
  • 46. 2. Sifat Perjanjian Kuasa. Pasal 1792 dan 1793 (1) BW terdapat beberapa sifat pokok, yaitu : a. Penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa. b. Pemberi kuasa bersifay konsensual. c. Berkarakter garansi – kontrak Pasal 1806 BW. 3. Berakhirnya Kuasa – Pasal 1813 BW. a.Pemberi kuasa mnarik kembali secara sepihak (diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 BW dan 1819 BW). b.Salah satu pihak meninggal dunia Pasal 1813 BW. c. Penerima kuasa terlepas kuasa. 46
  • 47. Pasal 1817 BW memberikan hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan kuasa yang diterimanya dengan syarat: -Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kapada pemberi kuasa. -Pelepasan hak tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak 47
  • 48. 4. Dapat Disepakati Kuasa Mutlak. Dalam lalu lintas pergaulan Hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak, perjanjian kuasa seperti ini diberi judul “Kuasa Multak” yang memuat klausul: - Pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa. - Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberi kuasa. Diperbolehkannya membuat persetujuan Kuasa mutlak bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak ( Pasal 1338, sepanjang tidak bertentangan dengan Pasal 1337 BW). 48
  • 49. Macam-macam Surat Kuasa 1. Kuasa umum Diatur Pasal 1795 BW, menurut Pasal ini, kuasa umum bertujuan memberikan kuasa kepada seorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu : -Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan mandate. - Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberi kuasa atas harta kekayaannya. - Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa. 49
  • 50. 2. Kuasa Istimewa Pasal 1796 BH mengatur perihal pemberi kuasa istimewa, selanjutnya ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR dan Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal- pasal ini dirangkai diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut Hukum sebagai kuasa Hukum istimewa. a. Bersifat limitative. b. Harus berbentuk akta otentik. 3. Kuasa Perantara. Pasal 1792 BW dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan atau makelar, disebut juga broker atau perwakilan dagang. 50
  • 51. Kuasa Khusus (Pasal 123 HIR & Pasal 147 RBg serta SEMA No.01/1971). Pasal 123 HIR atau Pasal 147 RBg dan SEMA No.01/1971, mengatur berbagai hal yang terkait dengan Surat Kuasa Khusus tersebut misalnya : 1. Surat kuasa khusus dapat dibuat secara dibawah tangan atau secara otentik. 2. Surat kuasa khusus harus menyebutkan identitas pemberi dan penerima kuasa. 3. Harus menyebutkan nomer perkara, bila sudah ada. 4. Pengadilan mana dan dimana. 5. Perihal apa dan untuk apa surat kuasa diberikan. 6. Bila ada rekonvensi dalam surat kuasa harus sudah menyebut dengan tegas. 7. Harus menyebut subyek dan obyek. 8. Harus bermaterai secukupnya. 9. Dll. 51
  • 52. GUGATAN DAN PERMOHONAN A. Gugatan Kontentiosa/ Gugatan Perdata/ Gugatan/ Gugat. 1. Pengertian Gugatan Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung sengketa diantara pihak yang berperkara pemeriksaan penyelesaiannya diberikan kepada pengadilan dengan posisi para pihak :  Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat.  Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat.  Permasalahan Hukum yang diajukan ke Pengadilan mengandung sengketa.  Sengketa terjadi diantara para pihak.  Berarti gugatan perdata bersifat partai. 52
  • 53. 2. Bentuk Gugatan. a. Bentuk lisan (Pasal 120 HIR/ Pasal RBg). Syarat formil gugatan lisan : bila penggugat tidak bisa membaca dan menulis. Cara pengajuan gugatan lisan :  Diajukan dengan lisan  Kepada Ketua PN dan  Menjelaskan dan menerangkan isi dan maksud gugatan. Fungsi Ketua PN Ketua PN wajib memberikan layanan. Pelayanan yang harus diberikan Ketua PN. Mencatat dan menyuruh catatan gugatan yang disampaikan penggugat. Merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai dengan yang diterangkan oleh penggugat. 53
  • 54. Sehubungan dengan ini Ketua PN perlu diperhatikan putusan MA tentang ini yang menegaskan “adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud dengan oleh Penggugat. 54
  • 55. B. Bentuk Tulisan. Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalan bentuk tertulis. (Pasal 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 RBg) yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah: Penggugat sendiri (Pasal 118 ayat 1 HIR) Kuasa/ wakil (Pasal 123 ayat 1 HIR 55
  • 56. 3. Formulasi Surat Gugatan. a. Ditujukan kepada Ketua PN sesuai dengan kopetensi relative. b.Diberi tanggal c. Ditandatangani oleh penggugat atau kuasa. d.Identitas para pihak.  Nama lengkap  Alamat/ tempat tinggal  Penyebutan identitas lain tidak imperative. e. Alamat/ tempat tinggal. 56
  • 57. Mengenai perumusan Posita gugatan muncul 2 teori yaitu : 1) Substcntierings Theorie : dalil gagatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa Hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus dijelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa Hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa Hukum tersebut. 2) Teori Individualisasi (individualisering theorie) : peristiwa atau kejadian Hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas memperlihatkan hubungan Hukum yang menjadi dasar tuntutan, namun tidak perlu di kemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan Hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya dalam proses permeriksaan sidang pengadilan. 57
  • 58. Unsur Fundamentum Petendi/ Posita Gugatan : 1) Posita berdasarkan fakta. 2) Posita berdasarkan Hukum. Petitum Gugatan: hal-hal yang diminta agar diputuskan oleh hakim. Bentuk Petitum sebagai berikut : 1) Bentuk tunggal Petitum yang hanya menyantumkan mohon keadilan atau ex-acquo (mohon keadilan)  Tidak memenuhi syarat formil dan meteriil Petitum.  Akibat hukumnya, gugatan dianggap mengandtng cacat formil, sehingga gugatan harus dinyatakan tidak diterima. (2) Bentuk Alternatif 58
  • 59. Tata Cara Pemeriksaan Gugatan Kontentiosa. A. Sistem Pemeriksaan Secara Contradictoir. 1. Dihadiri oleh kedua belah pihak secara in person atau kuasa. 2. Proses pemeriksaan berlangsung secara optegnspraak proses pemeriksaan perkara berlangsung dengan saling sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun konklusi. 59
  • 60. B. Asas Pemeriksaan. 1. Mempertahankan tata Hukum perdata. Hakim berperan dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. 2. Menyerahkan sepenuhnya kewajiban mengemukakan fakta dan kebenaran kepada para pihak. 3. Tugas hakim menemukan kebenaran formil. 4. Persidangan terbuka untuk umum. 5. Aiudi Alterem Partem ( Pemeriksaan persidangan harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang). 6. Asas Imparsialitas Mengandung pengertian luas yaitu : - Tidak memihak. - Bersikap jujur dan adil. - Tidak bersikap diskriminatif.] 60
  • 61. Pengecualian Terhadap Acara pemeriksaan Contradictoir a. Dalam proses Verstek. b. Gugatan gugur. Pencabutan Gugatan (Pasal 271-272 RV) a. HIR dan RBg. Tidak mengatur pencabutan gugatan. b. Pencabutan gugatan merupakan hak penggugat 1.Pencabutan mutlak hak penggugat selama pemeriksaan belum berlangsung. 2.Atas persetujuan tergugat apabila pemeriksaan telah berlangsung. 61
  • 62. Cara pencabutan : 1. Yang berhak melakukan pencabutan adalah penggugat sendiri secara pribadi atau kuasanya. 2. Pencabutan gugatan yang belum diperiksa dilakukan dengan surat. 3. Pencabutan gugatan yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang. Komulasi Gugatan/ Penggabungan Gugatan. 1. Pengertian Kumulasi gugatan adalah penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum kedalam satu gugatan. 2. Tujuan penggabungan Gugatan. a.Mewujudkan peradilan sederhana. b.Menghindari putusan yang saling bertentangan. 62
  • 63. 3. Syarat Penggabungan. a. Terdapat hubungan erat. b. Terdapat hubungan Hukum. 4. Bentuk Penggabungan. a. Kumulasi subyektif b. Kumulasi Obyektif 5. Pengabungan yang tidak dibenarkan: a. Pemilik obyek gugatan berbeda. b. Gugatan yang digabungkan tunduk pada Hukum acara yang berbeda. c. Gugatan tunduk pada kompetensi absolute yang berbeda. d. Gugatan rekonvensi tidak ada hubungan dengan gugatan kovensi. 63
  • 64. 6. Penggabungan gugatan cerai dengan pembagian harta bersama diataur dalam Pasal 86 (1) UU No.7/1989, dalam hal ini diperkenankan. A, B, dan C menggugat DEF dalam hal warisan juga ternyata DEF punya hutang bersama pada A, B, dan C dalam hal ini, komulasi gugat diperkenankan. Penggugat (A) bertindak sebagai wali dan anaknya yang belum dewasa menggugat (B), kemudian digabungkan dengan gugatan mengenai utang pribadi (B) kepada (A), dalam hal ini komulasi gugat tidak diperkenankan. 64
  • 65. Perubahan Gugatan. a. HIR tidak mengatur, sehingga Hakim leluasa menentukan. Sebagai patokan dapat dipergunakan ketentuan bahwa perubahan atau penambahan gugat diperkenankan asalkan kepentingan penggugat terutama tergugat jangan sampai dirugikan. b. MA dalam putusannya tanggal 6 Maret 1971 No. 209 K/SIP/1970 menentukan bahwa suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan asas-asas Hukum secara perdata, asalkan tidak merubah atau menyimpang dari kejadian meteriil walaupun tidak ada tuntutan subsidair untuk peradilan yang adil, terutama dalam yurisprudensi Indonesia, penerbit I, II, III, IV.1972 hal. 470 MA RI. 65
  • 66. C. Perubahan gugatan dilarang apabila berdasar atas keadaan Hukum yang sama dimohon pelaksanaan suatu hak yang lain. Misalnya : 1.Semula dimohon ganti rugi berdasar ingkar janji gugat dirubah, berdasar ingkar janji agar tergugat dipaksa untuk memenuhi janjinya. 2.Semula dasar gugatan perceraian adalah perzinahan, kemudian dirubah dasar gugatan menjadi keretakan yang tidak dapat diperbaiki. 3.Penggugat berhak merubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh merubah atau menambah pokok gugatannya (pasal 127 RV). E. Yurisprudensi No. 1043 K/SIP/1971, Perubahan surat gugatan diperbolehkan asal tidak mengakibatkan perubahan Posita dan tergugat tidak dirugikan haknya membela diri. 66
  • 67. Gugatan Rekonvensi 1. Pengertian Gugatan Rekonvensi. Pasal 132 ayat (1) HIR hanya memberikan pengertian singkat. Maknanya menurut pasal ini adalah sebagai berikut :  Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya, dan  Gugagatan Rekonvensi itu, diajukan tergugat kepada PN, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat; Contoh : A menggugat B untuk menyerahkan tanah yang telah dibelinya dari B sesuai dengan transaksi jual beli yang dibuat di PPAT. Terhadap gugatan itu Pasal 032 ayat (1) HIR member hak kepada B mengajukan gugatan rekonvensi terhadap A untuk melunasi pembayaran yang masih tersisa ditambah ganti rugi bunga atas perbuatan Wanprestasi yang dilakukannya. 67
  • 68. Komposisi Para Pihak Dihubungkan Dengan Gugatan Rekonvensi. Dalam keadaan normal, komposisi para pihak dalam gugatan biasa terdiri dari: 1. Pengugat sebagai pihak yang berinisiatif mengajukan gugatan. 2. Tergugat sebagai pihak yang ditarik dan di dudukan sebagai orang digugat. 3. Gugatan hanya tunggal derdiri dari gugatan yang diajukan penggugat saja. 4. Oleh karena itu dasar dan landasan pemeriksaan perkara, di sidang pengadilan sepenuhnya bertitik tolak dari gugatan penggugat tersebut. 68
  • 69. Komposisi Gugatan. Dengan adanya gugatan rekonvensi, komposisi gugatan menjadi: 1. Gugatan penggugat disebut gugatan rekonvensi yang bermakna sebagai gugatan asal yang ditunjukan penggugat kepada tergugat. 2. Gugatan tergugat disebut gugatan rekonvensi yang bermakna gugatan balik yang ditujukan tergugat kepada tergugat. 69
  • 70. Komposisi Para Pihak. Selain muncul dan saling berhadapan gugatan konvensi dan rekonvensi, serta merta hal itu menimbulkan komposisi yang menempatkan para pihak dalam kedudukan: 1. Penggugat asal sebagai penggugat Konvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan menjadi Tergugat Rekonvensi terhadap gugatan Rekonvensi. 2. Penggugat asal sebagai Tergugat Rekonvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan sebagai Tergugat Konvensi. 70
  • 71. Gugatan Rekonvensi Bersifat Eksepsional. 1. Prinsip Umum gugatan adalah : setiap gugatan yang diajukan seseorang kepada orang lain, memiliki sifat individual yang terpisah dan berdiri sendiri dari gugatan yang lain. Pasal 121 (1) HIR atau Pasal 1 Rv:  Setiap gugatan di register dan diberi nomer terdiri oleh Panitera dalam buku yang disediakan untuk itu;  Pendaftaran perkara dalam buku register dilakukan dengan tertib dan cermat dengan mencantumkan seluruh data gugatan yang bersangkutan.  Selanjutnya Ketua PN atau Ketua Majelis menentukan hari sidang pemeriksaan perkara dengan jalan memanggil para pihak. 71
  • 72. 2. Gugatan Rekonvensi mengenyampingkan ketentuan Pasal 121 (1) tersebut diatas, hal ini bisa dilihat dati ketentuan Pasal 132a HIR memberikan hak kepada tergugat melakukan komulasi gugatan Rekonvensi dengan gugatan konvensi dalam proses pemeriksaan gugatan perkara yang sedang berjalan :  Mengajukan gugatan Rekonvensi sebagai gugatan balik atas gugatan penggugat, dan  Gugatan Rekonvensi itu dikomulasi Tergugat dengan gugatan konvensi penggugat. 72
  • 73. Tujuan Gugatan Rekonvensi. Menegakkan Asas Peradilan Kesederhanaan. Menghemat biaya dan waktu. Syarat Materiil Gugatan Rekonvensi. 1. Undang-undang Tidak Mengatur Syarat Materiil. Tidak ada ketentuan syarat materiil, Pasal 132a HIR hanya berisi penegasan, bahwa :  Tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan Rekonvensi;  Tidak disyaratkan antara keduanya mesti mempunyai hubungan yang erat atau koneksitas yang substansial. 73
  • 74. 2. Praktek Peradilan cenderung masyarakat koneksitas. Gugatan Rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima untuk diakumulasi dengan Konvensi apabila terpenuhi syarat :  Terdapat factor pertautan hubungan mengenai dasar Hukum dan kejadian yang relevan antara gugatan konvensi dan Rekonvensi.  Hubungan pertautan itu harus sangat erat sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif da;a, satu proses dan putusan. 74
  • 75. Syarat Formil Gugatan Rekonvensi 1. Gugatan Rekonvensi di formulasi secara tegas ; 2. Yang dianggap ditarik sebagai tergugat Rekonvensi hanya terbatas Penggugat Konvensi :  Yang dapat ditarik senbagai tergugat.  Tidak mesti menarik semua penggugat Konvensi.  Dilarang menarik sesame tergugat Konvensi menjadi tergugat Rekonvensi. 75
  • 76. 3. Gugatan Rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban. Pasal 132b (1) HIR Berbunyi : “Tergugat wajib mengajukan gugatan melawan bersama-sama dengan menjawabnya baik dengan surat maupun dengan lisan” Terhadap makna “jawaban” telah terjadi perbedaan pendapat yaitu : a. Rekonvensi wajib diajukan besama-sama dengan jawaban pertama.  Membolehkan atau member kebabasan bagi tergugat mengajukan gugatan Rekonvensi diluar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam mebela hak dan kepentingannya.  Selain itu membolehkan tergugat mengajukan gugtan Rekonvensi melampaui jawaban pertama dapar menimbulkan ketidak lancaran pemeriksaan dan penyelesaian perkara.  Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban pertama agar tergugat tidak sewenang- wenang dalam mempergunakan haknya mengajukan gugatan Rekonvensi. 76
  • 77. b. Batas pengajuan Gugatan Rekonvensi sampai tahab pembuktian. Hal ini sejalan dengan putusan MA No. 239 K/SIP/1968, menurut putusan tersebut gugatan Rekonvensi dapat diajukan selama proses jawab menjawab berlangsung. Karena Pasal 132b (1) dan Pasal 158 RBg, hanya menyebut jawaban, sendangkan replik, duplik juga merupakan jawaban meskipun bukan jawaban pertama, demikian pula putusan MA No.642 K/SIP/1972, bahwa atas pengajuan gugatan rekonvensi masih terbuka sampai dimasukinya tahap proses pemeriksaan saksi, pembahasan yang demikian disepakati oleh Prof. Soedikno Martokusumo. Yaitu apabila proses pemeriksaan telah memasuki tahap pembuktian tergugat tidak dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi. 77
  • 78. Larangan Mengajukan Gugatan Intervensi. 1. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan suatu kualitas ( Pasal 132a (1) HIR. 2. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi diluar Yuridiksi PN yang memeriksa perkara. Pasal 118 (1) dan (3) HIR. 3. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi terhadap exsekusi pasal 132a (1) ke-3 HIR dan pasal 379Rv. 4. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi pada tingkat banding Pasal 132a (2) HIR dan putusan MA No.1250 K/Pdt/1986. 5. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi pada tingkat kasasi Putusan MA No. 209 K/SIP/1970. 78
  • 79. Gugatan Intervensi Proses dengan tiga pihak/ ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu proses (Pasal 279-282 Rv) 1. Voeging. Jika pihak ketiga itu mau membela atau mengabungkan diri ke salah satu pihak yang sedang berperkara. 2. Tussenkomst Jika pihak ketiga itu tidak memihak salah satu pihak, melainkan membela kepentingannya sendiri terhadap penggugat dan tergugat. 3. Vrijwaring. Penarikan pihak ketiga dalam suatu proses untuk menanggung, supaya tergugat dapat bebas dari penuntutan yang merugikan. 79
  • 80. Cara Mengajukan Gugatan Intervensi : 1. Mengajukan permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan dinyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah satu pihak (voging) (Retno Wulan, SH. Hal.48). 2. Pihak pemohon intervensi datang dipersidangan lalu dengan lisan atau tulisan mengemukakan kehendaknya untuk mencampuri perkara tersebut sebagai pihak ketiga. (Subekti, SH. Hal. 71) 3. Gugatan intervensi diajukan kepada pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan dengan melawan pihak yang sendang bersengketa/ ikut salah satu pihak dengan menunjuk no, tanggal perkara yang dilawan seperti gugatan biasa tanpa membayar biaya perkara dan tidak diberi nomer baru (Mukti Arti. Hal. 109) 80
  • 81. Gugatan Class Action/ Gugatan Perwakilan Kelompok. Perma No.1/2002 Tanggal 26 april 2006. 1. Pengertian Class Action  Suatu tata cara pengajuan gugatan yang dilakukan satu orang atau lebih.  Orang itu bertindak mewakili kelompok (CR) untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili anggota kelompok (class members).  Antara yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili memiliki kesamaan fakta dan dasar Hukum. Pasal 1 huruf a PERMA No.1/2002. 81
  • 82. 2. Tujuan GPK/ CA/ RA.  Mengembangkan penyederhanaan akses masyarakat memperoleh keadilan.  Mengefektifkan efisiensi penyelesaian pelanggaran Hukum yang merugikan orang banyak. 3. Syarat Formil CA/ RA a. Ada kelompom (Class)  Perwakilan kelompok.(Class Action).  Anggota kelompok (class members) b. Kesamaan fakta atau dasar Hukum. c. Kesamaan jenis tuntutan. 82
  • 83. 4. Konsep Hak Gugatan LSM berbeda dengan Class Action a. Konsep CA Berdasarkan commanality. Landasan utama konsep CA adalah asas atau syarat commonality yaitu prinsip kesamaan yang berkenaan dengan fakta dan dasar hokum dan kesamaan tuntutan hokum. Atau lazim juga disebut kesamaan kepentingan (same interest) kesamaan penderitaan (same grievence) dan kesamaan tujuan sam purpose). Agar dasar kesamaan (mononality) dapat ditegakkan, diperlukan factor-faktor yang menjadi landasannya yang disebut unsure CA. 83
  • 84. 5. Formulasi gugatan CA a. Persyaratan umum berdasarkan Ketentuan HIR dan RBG.  Mencantumkan dan mengalamatkan gugatan berdasarkan kopetensi relative (yudiksi relative) sesuai dengan system dan patokan yang digariskan pasal 118 HIR. Mencantumkan tanggal pada gugatan. 84
  • 85. ISTILAH-ISTILAH DALAM HUKUM ACARA PERDATA 1. Kekuasaan Relatif Diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya Contoh: Pengadilan Negeri Jakara Selatan dengan Pengadilan Negeri Padang satu jenis, sama-sama lingkungan Pengadilan Umum dan sama-sama Pengadilan tingkat pertama 85
  • 86. 2. Kekuasaan Absolut Kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya. Contoh: Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang bukan Islam menjadi kekuasaan Pengadilan Umum. 86
  • 87. 3. Exceptie atau Eksepsi Artinya tangkisan, maksudnya adalah bantahan atau tangkisan dari tergugat yang diajukannya ke Pengadilan karena tergugat digugat oleh penggugat yang tujuannya supaya Pengadilan tidak menerima perkara yang diajukan oleh penggugat karena adanya alasan tertentu. 4. Banding yang di sebut juga appel Permohonan pemeriksaan kembali terhadap putusan atau penetapan Pengadilan tingkat pertama karena merasa tidak puas atas putusan atau penetapan tersebut, ke Pengadilan tingkat banding yang mewilayahi Pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan melalui Pengadilan tingkat pertama yang memutus tersebut, dalam tenggang waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. 87
  • 88. 5. Kasasi Permohonan pembatalan terhadap putusan/ penetapan Pengadilan tingkat pertama atau terhadap putusan Pengadilan tingkat banding ke Mahkamah Agung di Jakarta, melalui Pengadilan tingkat pertama yang dahulu memutus, karena adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. 6. Petitum Yakni hal-hal apa yang diinginkan atau di minta oleh penggugat agar diputuskan, ditetapkan dan atau diperintahkan oleh hakim. 88
  • 89. 7. Posita atau Fundamenteum Petendi Suatu gugatan harus memuat gambaran yang jelas mengenai duduknya persoalan, dengan lain perkataan dasar gugatan harus dikemukakan dengan jelas. 8. Perstek atau Verstek Artinya pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum acara harus datang. Perstek hanya dapat dinyatakan, apabila pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap pada sidang yang pertama, dan apabila perkara diundurkan sesuai dengan pasal 126 H.I.R., juga pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi. 89
  • 90. 9. Verzet Perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama, yang diajukan oleh tergugat yang diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke Pengadilan tingkat pertama yang memutus itu juga. 10.Nebis in idem Proses selesai sama sekali dan seandainya suatu waktu diajukan kembali persoalan yang sama oleh salah satu pihak tersebut atau oleh ahliwaris dan mereka yang mendapatkan hak daripadanya, maka gugatan terakhir ini akan dinyatakan nebis in idem dan karenanya dinyatakan tidak dapat diterima. 90
  • 91. 11.Akta Otentik Menurut Pasal 165 H.I.R. adalah surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahliwarisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang di beritahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu. 12.Replik Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis dari tergugat. 91
  • 92. 13.Duplik Jawaban penggugat atas jawaban itu (tergugat). 14.Prodeo Perkara-perkara yang diperiksa secara prodeo berdasarkan ketentuan pasal 237 H.I.R. artinya tanpa bayaran. 15.Asas legitima persona standi in judicio Setiap orang yang merasa memiliki dan ingin menuntut, mempertahankan atau membela hak tersebut berwenang untuk bertindak selaku para pihak, baik sebagai tergugat atau penggugat. 92
  • 93. Penyusun: Raden Adnan, S.H., M.H Dosen Hukum Acara Perdata STIH Dharma Andigha Bogor. 93