Materi kuliah tentang rancangan acak lengkap. Lihat lebih banyak di: http://muhammadhabibielecture.blogspot.co.id/2015/12/materi-kuliah-semester-5.html
Mengelola air tambak dimulai dari air pertama kali masuk pada kolam budidaya, yaitu treatment pond (tandon), kanal sub inlet, kanal distribusi dan culture pond (tambak budidaya). Oleh karena itu perlu diperhatikan kualitas air yang digunakan untuk budidaya, baik secara fisik, kimia maupun microbiologi. Pengelolaan kualitas air perlu dilakukan karena akan menciptakan lingkungan yang nyaman untuk udang tumbuh dan berkembang. Parameter kualitas air suatu perairan tidaklah tetap sepanjang waktu, namun sangat dinamis dimana selalu terjadi perubahan akibat perubahan lingkungan, cuaca dan proses-proses biologis di dalamnya seperti proses fotosintesis, respirasi dan ekskresi hasil metabolism. Namun parameter kualitas air dapat dikendalikan agar selalu berada pada kisaran yang bisa ditoleransi oleh udang dan memberikan pertumbuhan yang baik. Kondisi yang nyaman (baik) akan meminimalkan proses perubahan pakan menjadi energi, sehingga pakan yang dimakan akan lebih banyak dikonversi menjadi daging. Dalam pengelolaan air perlu dilakukan pengukuran kualitas air kolam dan sumber secara berkala dan rutin karena akan menjadi dasar dalam melakukan pengelolaan air agar tetap berada pada kondisi optimal.
Materi kuliah tentang rancangan acak lengkap. Lihat lebih banyak di: http://muhammadhabibielecture.blogspot.co.id/2015/12/materi-kuliah-semester-5.html
Mengelola air tambak dimulai dari air pertama kali masuk pada kolam budidaya, yaitu treatment pond (tandon), kanal sub inlet, kanal distribusi dan culture pond (tambak budidaya). Oleh karena itu perlu diperhatikan kualitas air yang digunakan untuk budidaya, baik secara fisik, kimia maupun microbiologi. Pengelolaan kualitas air perlu dilakukan karena akan menciptakan lingkungan yang nyaman untuk udang tumbuh dan berkembang. Parameter kualitas air suatu perairan tidaklah tetap sepanjang waktu, namun sangat dinamis dimana selalu terjadi perubahan akibat perubahan lingkungan, cuaca dan proses-proses biologis di dalamnya seperti proses fotosintesis, respirasi dan ekskresi hasil metabolism. Namun parameter kualitas air dapat dikendalikan agar selalu berada pada kisaran yang bisa ditoleransi oleh udang dan memberikan pertumbuhan yang baik. Kondisi yang nyaman (baik) akan meminimalkan proses perubahan pakan menjadi energi, sehingga pakan yang dimakan akan lebih banyak dikonversi menjadi daging. Dalam pengelolaan air perlu dilakukan pengukuran kualitas air kolam dan sumber secara berkala dan rutin karena akan menjadi dasar dalam melakukan pengelolaan air agar tetap berada pada kondisi optimal.
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
Makalah sumber-daya-lahan
1. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
25
Rasio Biofilter dan Sawah untuk Meningkatkan Kualitas Air
Buangan di Lahan Sulfat Masam
The Ratio of a Biofilter And Paddy Field To Improve Water Quality
Discharge In Acid Sulfate Land
Ani Susilawati dan Achmadi Jumberi
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA)
Jl. Kebun Karet, Loktabat Banjarbaru
Kalimantan Selatan
Email : ani.nbl@gmail.com
HP. 081349404884
ABSTRACT
Water management in tidal land acid sulfate can increase the productivity
of land and crops. The reaction of oxidation-reduction (redox) pyrite is the main
cause of problems in acid sulphate soils. Poisons leaching into the drainage
channel that is not a good impact on the environment. Water quality can be
improved with the water flowing past the biofilter "Purun Tikus" (Eleocharis
dulcis) that can absorb or neutralize poison element. This study aims to obtain an
effective ratio between the rice fields with biofilter to improve the quality of
waste water in acid sulfate soil. The experiment was conducted at the
experimental Belandean, Barito Kuala, South Kalimantan on MK 2009. The
treatment arranged in a randomized block design with three replications. The
treatment includes the ratio between the plot of the biofilter with paddy fields,
namely; (1) 10%, (2) 20%, (3) 30%, and (4) 40%. with paddy plot size of 10 m x
10 m. The results showed that mice with a biofilter purun area ratio of 10% can
improve the quality of drainage water is indicated by a decrease in the
concentration of Fe 2+
, Fe-total, and SO42-
.
Keywords: biofilter, waste water quality, acid sulfate soils
ABSTRAK
Pengelolaan/penataan air di lahan pasang surut sulfat masam dapat
meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman. Reaksi reduksi-oksidasi (redoks)
pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di tanah sulfat masam.
Pencucian unsur meracun ke saluran drainase memberikan dampak yang tidak
baik terhadap lingkungan. Kualitas air dapat diperbaiki dengan mengalirkan air
tersebut melewati biofilter berupa purun tikus (Eleocharis dulcis) yang dapat
menyerap atau menetralisir unsur meracun. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan rasio yang efektif antara sawah dengan biofilter untuk
meningkatkan kualitas air buangan di lahan sulfat masam. Penelitian dilaksanakan
di Kebun Percobaan Belandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan
pada MK 2009. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan
2. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
26
tiga ulangan. Perlakuan tersebut meliputi rasio antara petakan biofilter dengan
petak sawah yaitu; (1) 10%, (2) 20%, (3) 30%, dan (4) 40%. dengan ukuran
petakan sawah 10 m x 10 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biofilter purun
tikus dengan rasio luas 10 % dapat memperbaiki kualitas air drainase ditunjukkan
oleh penurunan konsentrasi Fe2+
, Fe-total, dan SO4
2-
.
Kata Kunci : Biofilter, Kualitas Air Buangan, Tanah Sulfat Masam
PENDAHULUAN
Pengembangan pertanian di tanah sulfat masam sering menghadapai
beberapa permasalahan seperti ; rendahnya pH tanah dan posfat tersedia,
tingginya kandungan Fe (Purnomo et al., 2005) keracunan Al, dan H2S serta
kahat hara N, P, K, Si. Salah satu kunci keberhasilan pertanian di tanah sulfat
masam adalah pengelolaan air (Fahmi et al., 2006).
Pengelolaan/penataan air di lahan pasang surut sulfat masam dapat
meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman. Pengaturan air sistem satu arah
dapat mengurangi akumulasi unsur-unsur yang meracun (Anwar et al., 1994;
Sarwani, 2002). Pencucian unsur meracun ke saluran drainase memberikan
dampak yang tidak baik terhadap lingkungan, berkurangnya ikan dan biota air
lainnya. Kualitas air di lahan sulfat masam yang rendah diindikasikan oleh pH <
3,5 dan unsur-unsur yang bersifat meracun yang umumnya didominasi oleh Fe, Al
dan SO4. Salah satu pendekatan yang ditempuh untuk mengatasi dampak air
buangan adalah dengan menyaring atau menyerap unsur meracun yang ada dalam
air buangan tersebut. Gulma purun tikus dapat digunakan sebagai biofilter untuk
meningkatkan kualitas air.
Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan tanaman air yang banyak
ditemui pada tanah sulfat masam, merupakan gulma yang sangat cepat
berkembang dan mempunyai adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan.
Tanaman purun tikus ini bersifat spesifik lahan sulfat masam, karena sifatnya
yang tahan terhadap kemasaman tinggi (pH 2,5-3,5), oleh sebab itu tumbuhan ini
dapat dijadikan vegetasi indikator untuk tanah sulfat masam (Noor, 2004).
Hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada tahun 2003 menunjukkan
bahwa gulma purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat digunakan sebagai biofilter
untuk meningkatkan kualitas air buangan pada musim kemarau, karena mampu
meningkatkan pH 0.14 – 0.25 unit dan menurunkan konsentrasi Fe sebanyak 6-27
ppm dan SO4 30-75 ppm. Kualitas air dapat diperbaiki dengan mengalirkan air
melewati media biofilter berupa tanaman purun tikus yang dapat menyerap atau
menetralisir unsur Fe dan SO4. (Balittra, 2003).
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi rasio yang efektif antara
sawah dengan biofilter untuk meningkatkan kualitas air buangan di lahan sulfat
masam.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Belandean, Kabupaten Barito
Kuala, Kalimantan Selatan pada MK 2009. Perlakuan disusun dalam Rancangan
Acak Kelompok dengan tiga ulangan. Perlakuan tersebut meliputi rasio antara
3. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
27
petakan biofilter dengan petak sawah yaitu; (1) 10%, (2) 20%, (3) 30%, dan (4)
40%. dengan ukuran petakan sawah 10 m x 10 m.
Sistem irigasi pada petak percobaan ditata dengan sistem aliran air satu arah
dengan menggunakan pintu otomatis. Air dari saluran tersier masuk melalui pintu
ke saluran masuk, kemudian dialirkan ke petakan sawah. Dari petakan sawah air
keluar ke saluran biofilter melalui paralon yang dipasang pada kedua sudut
galangan. Gerakan air horizontal antar petakan dihindari dengan memasang
plastik (tegak lurus) ditengah galangan dengan kedalaman 60 cm.
Bibit padi varietas Silugonggo yang berumur 15 hari setelah semai ditanam
pada petakan, masing-masing 3 bibit/rumpun dengan jarak tanam 25 x 25 cm.
Pertanaman dipupuk dengan dosis 100-200-100 kg/ha N-P2O5-K2O yang
bersumber dari urea, SP36, dan KCl. Pemeliharaan (penyiangan gulma dan
pengendalian hama dan penyakit tanaman) dilakukan secara intensif sesuai
dengan kondisi pertanaman di lapangan.
Parameter yang diamati meliputi; (1) Analisis air (pH, Fe, SO4, Ca, Mg, K)
dilakukan secara periodik setiap satu minggu sekali pada saluran tersier, saluran
air masuk, petakan sawah dan saluran bio filter. (2) Data curah hujan dan tinggi
air pada saluran tersier selama penelitian.
HASIL
Purun tikus sebagai biofilter diletakkan setelah lahan sawah. Tujuannya
adalah untuk memperbaiki kualitas air drainase yang berasal dari sawah melewati
purun tikus kemudian dikeluarkan ke saluran drainase. Pengamatan kualitas air
dilakukan pada bulan Juli-September. Data curah hujan menunjukan bahwa pada
saat pengamatan dilakukan (Juli – September) curah hujan berada dibawah
normal < 100 mm (Gambar 1), sehingga ketinggian air pada saluran primer hanya
dipengaruhi oleh arus pasang dan surutnya air. Dari pengamatan di lapangan
diketahui bahwa yang mempengaruhi ketinggian air pada saluran tersier dan
saluran air masuk ke petakan sawah adalah air dari saluran primer.
Gambar 1. Rata-rata curah hujan di Kecamatan Mandastana (Batola),
Kalimantan Selatan. Tahun 2009.
0
50
100
150
200
250
300
Curahhujan(mm)
Bulan
Dekade III
Dekade II
Dekade I
4. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
28
0
1
2
3
4
5
6
7
8
I II III IV V VI VII
me/L
Pengamatan
Fe (me/L)
B 1 B 2 B 3 B 4
Gambar 2. Pengaruh rasio luas purun tikus dengan lahan sawah terhadap
konsentrasi Fe pada air drainase
Tabel 1. Pasang air harian tertinggi pada saluran tersier, KP. Belandean (Batola),
MK 2009.
Tinggi Air (cm) Pada Pengamtan
Pengamatan I II III IV V VI VII
Saluran primer 140 138 135 120 140 143 137
0
1
2
3
4
5
6
I II III IV V VI VII
me/L
Pengamatan
SO4 (me/L)
B 1 B 2 B 3 B 4
Gambar 3. Pengaruh rasio luas purun tikus dengan lahan sawah terhadap
konsentrasi SO4 pada air drainase
5. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
29
0
1
2
3
4
5
6
I II III IV V VI VII
me/L
Pengamatan
K (me/L)
B 1 B 2
B 3 B 4
Gambar 4. Dinamika konsentrasi K pada air drainase selama masa pertanaman
padi
Gambar 5. Dinamika konsentrasi Ca pada air drainase selama masa pertanaman
padi
0
2
4
6
8
10
12
14
16
I II III IV V VI VII
m
e
/L
Pengamatan
Ca (me/L)
B 1 B 2
B 3 B 4
6. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
30
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
I II III IV V VI VII
me/L
Pengamatan
Mg (me/L)
B 1 B 2
B 3 B 4
Gambar 6. Dinamika konsentrasi Mg pada air drainase selama masa pertanaman
padi
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar rasio luas purun tikus
dengan lahan sawah, konsentrasi Fe pada air drainase akan semakin kecil
(Gambar 2). Namun demikian pada minggu II dan seterusnya rasio luas 10 %
( B1) dianggap cukup baik dalam menekan konsentrasi Fe pada air drainase.
Konsentrasi Fe mengalami peningkatan pada minggu III dan IV disebabkan
karena adanya perubahan pola pasang surut air (Tabel 1). Pada minggu III dan IV
terjadi pasang kecil, akibatnya lahan tidak terluapi oleh air pasang sehingga terjadi
oksidasi. Oksidasi pada tanah sulfat masam dapat mengakibatkan peningkatan
konsentrasi Fe. Minggu V hingga VII memasuki musim kemarau, lahan
mengering dan air payau hingga asin (789 µ mhos) masuk, akibatnya konsentrasi
Fe pada air drainase sangat kecil (tak terukur).
Pengaruh rasio luas purun tikus dengan lahan sawah terhadap konsentrasi SO4
pada air drainase menunjukkan bahwa rasio luas 10 % (B1) cukup baik dalam
menekan konsentrasi SO4 (Gambar 3).
Pengaruh rasio luas purun tikus dengan sawah terhadap konsentrasi basa-basa
seperti K, Ca, dan Mg memperlihatkan bahwa konsentrasi basa-basa menurun dari
minggu I hingga II (Gambar 4, 5, 6). Ini disebabkan karena pengambilan unsur-
unsur tersebut oleh tanaman purun tikus untuk pertumbuhannya. Memasuki
minggu III dan IV konsentrasi basa-basa mengalami peningkatan karena
masuknya air payau yang mengandung basa-basa. Selanjutnya dari minggu IV
hingga VII konsentrasi basa-basa meningkat tajam, ini disebabkan karena
masuknya air laut akibat musim kemarau. Hasil penelitian ini memberikan
informasi yang sangat berharga untuk penelitian selanjutnya karena pada
pertanaman padi menjelang musim kemarau jumlah pupuk KCl dan kapur
sebaiknya dikurangi bahkan tidak diberikan. Sedangkan pupuk SP-36 jumlahnya
ditambah, karena adanya pengikatan fosfat oleh Ca dan Mg.
7. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
31
KESIMPULAN
Biofilter purun tikus (Eleocharis dulcis) dengan rasio luas 10 % dapat
memperbaiki kualitas air drainase ditunjukkan oleh penurunan konsentrasi Fe2+
,
Fe-total, dan SO4
2-
.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar K, M Sarwani dan R Itjin. 1994. Pengembangan Pengelolaan Air Di
Lahan Pasang Surut Pengalaman Dari Kalimantan Selatan Dan Tengah,
Dalam M Sarwani. M Noor dan MY Maamun. Pengelolaan Air dan
Produktivitas Lahan Pasang Surut : Pengalaman dari Kalimantan Selatan
dan Tengah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Banjarbaru.
Balittra. 2003. Laporan Hasil Penelitian TA. 2002/2003. Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Fahmi A, A Susilawati dan A Jumberi. 2006. Dinamika Unsur Besi, Sulfat dan
Fospor serta Hasil Padi Akibat Pengolahan Tanah, saluran Kemalir dan
Pupuk Organik di Lahan Sulfat Masam. Jurnal Tanah Tropika. Vol. 12
No. I.
Noor M. 2004. Lahan Rawa. Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat
Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Purnomo E, A Mursyid, M Syarwani, A Jumberi, Y Hashidoko, T Hasegawa,
S Honma and M Osaki. 2005. Phosphorus Solubilizing Microorganisms
In The Rhyzosphere Of Local Rice Varities Grown Without Fertilizer On
Acid Sulphate Soils. Soil Sci. Plant Nutr. 51 (5). 2005.
Sarwani M. 2002. Penegelolaan Air Di Lahan Pasang Surut. Dalam Ar-Riza,
M. Sarwani dan T. Alihamsyah (eds). Monograf pengelolaan Air dan
Tanah di Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan
Rawa, Banjarbaru.
8. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
32
Peningkatan Produksi Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada
Tanah Lebak dengan Pemberian Jenis Pupuk
Increased Production of Rice (Oryza sativa L.) by Giving Types of
Fertilizer on Lowland Swamp Area
Neni Marlina1)
, Fitri Yetty Zairani1)
, Nuni Gofar2)
, Ahmad Yani3)
1)
Staf Pengajar FP UNPAL
Email: marlina002@yahoo.com
2)
Staf Pengajar FP UNSRI
3)
Alumni FP UNPAL
*)
Penulis untuk korespondensi: 082306516545
email: marlina002@yahoo.com
ABSTRACT
The research objective was deterimne the proper types of fertilizer to
increase rice yield at lowland swamp area. This research was conducted in the
green house at Jalan Darmapala of the month January 2014 to May 2014. The
design used in this research was completely randomized design with five
treatments and five replications for each treatment. Treatments are inorganic
fertilizers (based on the recommended dose), rice straw compost (3 tons ha-1
),
composted cow manure (3 tons ha-1
), biofertilizer to 300 kg ha-1, biofertilizer to
300 kg ha-1
+ 75% inorganic fertilizers). The results showed that the biofertilizer
treatment with dose of 300 kg ha-1
+ 75% inorganic fertilizers had increased of
productive tillers numbers, filled grains number per panicle, decreased empty
grains percentage, increased 100 grains weight and dry milled grain weight of
40.32 g pot-1
.
Keywords: Type of Fertilizers, lowland swamp area, Production of Rice
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis pupuk yang tepat dalam
meningkatkan produksi tanaman padi di tanah lebak. Penelitian ini telah
dilaksanakan di Rumah Plastik di Jalan Darmapala dari bulan Januari 2014
sampai Mei 2014. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
dengan lima perlakuan yang diulang lima kali. Perlakuannya adalah pupuk
anorganik (berdasarkan dosis anjuran), kompos jerami padi (3 ton ha-1
) , kompos
kotoran sapi (3 ton ha-1
) , pupuk organik hayati 300 kg ha-1
, pupuk organik hayati
300 kg ha-1
+ 75 % pupuk anorganik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan pupuk organik hayati 300 kg ha-1
+ 75 % pupuk anorganik dapat
meningkatkan anakan produktif, jumlah gabah isi per malai, menurunkan
persentase gabah hampa, meningkatkan berat 100 butir dan berat gabah kering
giling sebesar 40,32 g pot-1
.
Kata Kunci: Jenis Pupuk, Tanah Lebak, Produksi Tanaman Padi
9. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
33
PENDAHULUAN
Lahan rawa lebak merupakan lahan suboptimal yang memiliki potensi yang
besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian terutama untuk tanaman padi.
Lahan rawa lebak yang ada di Sumatera Selatan seluas 650.000 ha dan telah
dikembangkan untuk pertanian seluas 190.000 ha (Thamrin, 2010). Namun
produksi padi di lahan rawa lebak tergolong rendah yaitu 3,7 ton ha-1
(BPS, 2010).
Rendahnya produktivitas lahan rawa lebak diakibatkan karena kendala fisik
berupa genangan air, kendala kimia sepertinya tingginya kemasaman tanah,
keberadaan kation Al dan Fe yang mengikat fosfor dan miskin unsur hara.
Menurut Alihamsyah dan Ar-Riza (2004), tingkat kesuburan tanah di lahan rawa
lebak dapat dikatakan kurang sampai sedang, sehingga untuk meningkatkan
produktivitasnya perlu dilakukan pemupukan.
Pupuk yang dapat diberikan dapat berupa pupuk anorganik dan pupuk
organik serta pupuk organik hayati atau pemupukan berimbang (pupuk organik +
pupuk anorganik). Pemberian pupuk anorganik, pupuk organik, pupuk organik
hayati atau pupuk yang berimbang merupakan salah satu usaha yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan produksi padi di lahan rawa lebak, hal ini
dikarenakan semua jenis pupuk tersebut dapat menyumbangkan unsur hara N,P,K
bagi tanaman padi agar dapat berproduksi baik. Ketiga unsur hara tersebut
mempunyai peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman, dimana ketiga unsur hara tersebut dapat berinteraksi satu sama lain
dalam menunjang pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Selain itu
penggunaan pupuk organik merupakan pilihan dalam mendukung produktivitas
padi rawa lebak karena pupuk organik dapat membantu dalam meningkatkan
kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah
memegang air, meningkatkan pori-pori tanah, dan dalam jangka panjang
pemberian pupuk organik dapat meningkatkan pH tanah, hara NPK, KTK tanah
dan hasil tanaman dan dapat menurunkan kadar Al dan Fe.
Beberapa hasil-hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk anorganik
NPK 700 ppm dapat meningkatkan hasil gabah padi dibandingkan kontrol (0
ppm) yaitu dari 19,94 g menjadi 33,13 g gabah pot-1
(Londong, 2009). Kompos
jerami padi 2,5 ton ha-1
dapat meningkatkan hasil gabah kering giling sebesar
47,90 g rumpun-1
(Rosiana et al., 2013). Pupuk organik hayati 300 - 400 kg ha-1
+
pupuk anorganik 75% dari dosis anjuran dapat meningkatkan hasil gabah sebesar
93,67 g pot-1
(Marlina et al., 2014).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis pupuk yang tepat dalam
meningkatkan produksi tanaman padi di tanah lebak.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Plastik di Jalan Darmapala dari
bulan Januari 2014 sampai Mei 2014. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan yang diulang lima kali.
Perlakuannya adalah pupuk anorganik (berdasarkan dosis anjuran), kompos
jerami padi (3 ton ha-1
) , kompos kotoran sapi (3 ton ha-1
) , pupuk organik hayati
300 kg ha-1
, pupuk organik hayati 300 kg ha-1
+ 75 % pupuk anorganik).
10. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
34
Pengisian tanah ke dalam pot yaitu tanah di timbang sebanyak 10 kg
kemudian imasukkan ke dalam pot.
Pembuatan pupuk organik hayati yaitu kompos jerami padi sebanyak
100 kg yang telah dicacah halus dicampur dengan bakteri Azotobacter 100 ml,
Azospirillum 100 ml, bakteri pemacu tumbuh 100 ml, dan bakteri pelarut fospat
100 ml. Bakteri tersebut disentrifuse untuk diambil panen biomassanya. Setelah
disentrifuse biomassa bakteri tersebut disemprotkan secara zig-zag di atas kompos
yang telah dihamparkan, kemudian diaduk-aduk dan dibiarkan selama satu jam.
Kemudian pupuk organik hayati tersebut telah siap digunakan.
Pemupukan yaitu dilakukan satu hari sebelum dilakukan penanaman,
dengan banyak pupuk yang diberikan sesuai dengan perlakuan .
Penanaman yaitu dilakukan sebanyak lima benih untuk setiap pot dengan
kedalaman dua cm, setelah satu minggu dipilih dua tanaman yaitu yang
menunjukkan pertumbuhan yang seragam.
Pemeliharaan meliputi penyiraman benih yang di tanam dalam pot yang
dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari, sesuai dengan keadaan
kelembaban tanah. Apabila terlihat gulma langsung dilakukan pembersihan
dengan cara mencabutnya langsung dengan tangan.
Pemanenan dilakukan setelah lebi dari 75 % bulir masak pada setiap
rumpun yang dicirikan dengan daun bendera yang menguning. Bagian tanaman
yang dipanen adalah bulir padi.
HASIL
Karakteristik Tanah Awal. Berdasarkan kriteria penelitian menurut PPT
(1983) dan Balai Penelitian Tanah (2005) menunjukkan bahwa tanah yang
digunakan pada penelitian ini tergolong masam (pH H2O=5,50) dengan kapasitas
tukar kation tergolong sedang (17,52 cmol(+) kg-1
), kandungan C-organik 12,7
g kg-1
tergolong rendah, C/N ratio 9,77 tergolong rendah, kandungan N-total dan
P tersedia tergolong rendah (1,30 g kg-1
dan 4,50 mg kg-1
), basa tertukar
seperti Ca-dd 10,58 cmol(+) kg-1
tergolong sedang, Mg-dd 3,45 cmol(+) kg-1
tergolong tinggi, K-dd 0,77 cmol(+) kg-1
tergolong tinggi, Na-dd 0,68 cmol(+) kg-1
tergolong sedang, dengan Kejenuhan Basa 84,47 % tergolong tinggi, Al-dd 0,2
cmol(+) kg-1
, H-dd 0,19 cmol(+) kg-11
, Kejenuhan Al 1,14 % tergolong sangat
rendah, Fe 174,38 mg kg-1
, Cu 5,02 mg kg-1
, Zn 8,80 mg kg-1
, Mn 228,56 mg kg-1
tergolong sangat tinggi (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah awal sebelum tanam
No. Jenis Analisa Hasil analisis Penilaian*
1. pH H2O (1:1) 5,50 Masam
2. pH KCl (1:1) 4,80
3.
4.
C/N ratio
C-organik (g kg-1
)
9,77
12,7
Rendah
Rendah
5. N-total (g kg-1
) 1,3 Rendah
6. P Bray I (µg g-1
) 4,50 Rendah
7. P CHCl 25 %` 43,90
8. Ca-dd (mcmol(+) kg-1
) 10,58 Sedang
9. Mg-dd (mcmol(+) kg-1
) 3,45 Tinggi
11. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
35
No. Jenis Analisa Hasil analisis Penilaian*
10. K-dd (mcmol(+) kg-1
) 0,77 Tinggi
11. Na-dd (mcmol(+) kg-1
) 0,68 Sedang
12. KTK (mcmol(+) kg-1
) 17,52 Sedang
13. KB (%) 84,47 Sangat tinggi
14.
15.
Al-dd (mcmol(+) kg-1
)
Kejenuhan Al
0,20
1,14 Sangat rendah
16. H-dd (mcmol(+) kg-1
) 0,19
17
18.
19.
20.
Fe (µg g-1
)
Cu (µg g-1
)
Zn (µg g-1
)
Mn (µg g-1
)
174,38
5,02
8,80
228,56
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB (2012)
*Pusat Penelitian Tanah (1983) dan Balai Penelitian Tanah (2005)
PEMBAHASAN
Secara umum dapat disimpulkan bahwa tanah yang digunakan sebagai
media tumbuh dalam penelitian ini termasuk kategori dengan kesuburan tanah
rendah dengan pH H2O tergolong masam dengan kandungan C-organik, N-total
dan P tersedia rendah serta tingginya kandungan logam didalam tanah (Fe, Mn,
Cu dan Zn), oleh karena itu tanah pada penelitian ini perlu diberi berbagai jenis
pupuk baik pupuk anorganik maupun pupuk organik dan pupuk organik hayati
yang mengandung bakteri Azospirillum sp., Azotobacter sp., Pseudomonas
pseudomallei, Bacillus firmus agar kandungan unsur hara N, P dan K meningkat
sehingga tanaman padi dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik.
Produksi Tanaman Padi. Hasil analisis keragaman diketahui bahwa
perlakuan jenis pupuk berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap jumlah
anakan produktif, persentase gabah hampa dan berat gabah kering giling, tetapi
berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah gabah per malai dan berat 100 butir.
Ringkasan hasik analisis ragam terhadap peubah yang diamati dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis keragaman jenis pupuk terhadap peubah yang diamati
Peubah yang diamati F hitung
Jumlah anakan produktif (malai) Nyata
Jumlah gabah per malai (malai) Tidak nyata
Persentase gabah hampa (%) Sangat nyata
Berat 100 butir (g) Tidak nyata
Berat gabah kering giling (g) Sangat nyata
Berdasarkan Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa jenis pupuk organik
hayati + 75 % pupuk anorganik dari dosis anjuran berkontribusi nyata sampai
sangat nyata meningkatkan jumlah anakan produktif (19,40 malai), jumlah gabah
per malai (134,41 malai), menurunkan persentase gabah hampa (23,92 %),
12. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
36
meningkatkan berat 100 butir (1,92 g) dan berat gabah kering giling (40,32 g).
Hal ini disebabkan perlakuan pupuk organik hayati 300 kg ha-1
+ 75 % pupuk
anorganik yang diberikan pada tanaman padi ini merupakan jenis pupuk yang
cukup dan berimbang sehingga tanaman padi dapat memanfaatkan unsur hara dari
pupuk anorganik yang lebih dulu tersedia dan disusul oleh sumbangan unsur hara
dari pupuk organik hayati yang mengandung bakteri Azospirillum sp. dan
Azotobacter sp. yang dapat menambat N2 dari udara, bakteri Pseudomonas
pseudomallei yang dapat memacu pertumbuhan tanaman dan bakteri Bacillus
firmus yang dapat melariutkan fosfat dan kalium, sehingga kedua pupuk diatas
saling mendukung satu sama lain dalam menyumbangkan unsur hara N, P dan K
yang sangat dibutuhkan oleh tanaman padi untuk tumbuh dan berproduksi dengan
baik. Sumbangan unsur hara N, P dan K oleh bakteri yang terdapat dalam pupuk
organik hayati dan pupuk anorganik ini pada tanaman padi bersama-sama ikut
terlibat dalam proses reaksi fotosintesis sehingga hasil fotosintat berupa senyawa
organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan mengisi gabah dengan penuh dan
berat GKG tertinggi dapat dicapai. Hal ini dapat dibuktikan persentase
peningkatan berat GKG yang diperoleh dari pupuk organik hayati 300 kg ha-1
+
75 % pupuk anorganik yaitu sebesar 21,45 %, 238,29 %, 283,54 % dan 197,07 %
bila dibandingkan dengan pupuk anorganik, kompos jerami padi, kompos kotoran
sapi dan pupuk organik hayati 300 kg ha-1
.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan jenis pupuk terhadap peubah yang diamati
Perlakuan Jumlah anakan
produktif (malai)
Jumlah gabah
per malai (malai)
Persentase gabah
hampa (%)
Pupuk anorganik 17,60 bc
AB
125,07 24,26 a
A
Kompos jerami padi 12,40 a
A
124,74 68,10 b
B
Kompos kotoran
sapi
13,40 ab
A
128,94 55,70 b
B
Pupuk organik
hayati
16,00 abc
AB
132,32 47,26 b
AB
Pupuk organik
hayati + 75 %
pupuk anorganik
19,40 c
B
134,41 23,92 a
A
BNT 0,05=
0,01=
4,22
5,76
tn 22,86
31,86
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
berarti berbeda tidak nyata.
13. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
37
Tabel 4. Pengaruh perlakuan jenis pupuk terhadap peubah yang diamati
Perlakuan Berat 100 butir (g) Berat GKG (g) Persentase
peningkatan (%)
Pupuk anorganik 1,90 23,20 bc
AB
21,45
Kompos jerami padi 1,76 16,92 a
A
238,29
Kompos kotoran
sapi
1,70 14,22 a
A
283,54
Pupuk organik
hayati
1,80 20,46 ab
AB
197,07
Pupuk organik
hayati + 75 %
pupuk anorganik
1,92 40,32 c
B
-
BNT 0,05=
0,01=
tn Isi ya
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
berarti berbeda tidak nyata
Tanaman padi lebih banyak memerlukan nitrogen (N) dalam jumlah
banyak pada awal pertumbuhan sampai pembungaan untuk memaksimalkan
jumlah malai produktif serta pada tahap pengisian biji. Banyaknya jumlah gabah
yang terisi memberikan kontribusi penting dalam menurunkan rata-rata jumlah
gabah yang hampa. Distribusi asimilat yang lebih banyak diarahkan ke fase
generatif seperti pengisian biji yang menyebabkan lebih banyak jumlah gabah
berisi dibandingkan dengan gabah hampa, menyebabkan rasio jumlah bagian yang
bernilai ekonomis terhadap biomassa tanaman menjadi meningkat (Yoshida,
1981; Doberman and Fairhust, 2000).
Pupuk organik hayati yang diberian merupakan kompos jerami padi yang
diperkaya oleh bakteri Azospirillum sp., Azotobacter sp., Pseudomonas
pseudomallei dan Bacillus firmus.
Bakteri Azospirillum sp., Azotobacter sp. sangat membantu dalam
mekanisme penambatan N2 dari udara. Mekanisme penambatan N2 yaitu konversi
N2 dari udara menjadi amonia oleh enzim nitrogenase. Enzim ini mengandung
dua molekul protein yaitu protein besi dan satu mol protein Mo. Reaksi ini
berlangsung ketika mol N2 terikat pada kompleks enzim nitrogenase. Protein Fe
mula-mula direduksi oleh elektron yang diberikan oleh ferredoksin. Kemudian
protein Fe reduksi mengikat ATP dan mereduksi protein Mo-Fe, yang
memberikan elektron kepada N2 sehingga menghasilkan NH=NH. Pada daur
berikutnya protein ini (masing-masing membutuhkan elektron yang disumbangan
oleh ferredoksin), NH=NH direduksi menjadi H2N-NH2 dan selanjutnya direduksi
menjadi NH3 (Saika dan Jain, 2007; Danapriatna, 2010).
Bakteri pelarut fosfat seperti Bacillus firmus dapat melarutkan fosfor yang
selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan fosfor dalam tanah. Ketersediaan
fosfor dalam tanah dibutuhkan tanaman pada fase generatif (saat pengisian dan
pemasakan biji).
Bakteri Pseudomonas pseudomallei merupakan bakteri yang berperan
dalam menghasilk an hormon tumbuh yang sangat mempengaruhi interaksi antar
14. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
38
mikroba tanah dan tanaman. Keberadaan hormon disekitar perakaran tanaman
akan myang tinggi embantu pembelahan dan pembesaran sel sehingga akar
tanaman menjadi lebih aktif dalam proses metabolisme termasuk dalam hal
penyerapan air dan hara. Penyerapan hara yang meningkat berpengaruh terhadap
pembentukan jumlah anakan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi perolehan
biomasaa. Bakteri ini berkemampuan memproduksi IAA (Goenarto, 2000),
produksi IAA sebesar 6-10 mg kg-1
(Gofar et al., 2012), produksi IAA sebanyak
5,13 – 14,58 mg kg-1
(Dungpaeng et al., 2012).
Perlakuan kompos jerami padi dan kompos kotoran sapi memberikan
produksi yang rendah pada produksi tanaman padi, hal ini disebabkan kompos
jerami padi dan kompos kotoram sapi belum terlapuk sempurna dan bersifat slow
release sehingga sumbangan unsur hara yang diberikan sedikit demi sedikit dan
tidak ada sumbangan unsur hara dari pupuk anorganik, sehingga produksi yang
dicapai rendah.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat bahwa jenis pupuk organik hayati 300 kg ha-1
dengan 75 % pupuk anorganik dapat meningkatkan berat gabah kering sebesar
21,45 %, 238,29 %, 283,54 % dan 197,07 % bila dibandingkan dengan pupuk
anorganik, kompos jerami padi, kompos kotoran sapi dan pupuk organik hayati
300 kg ha-1
dengan berat GKG 40,32 g.
DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah, T. dan Ar-Riza. 2004. Potensi dan Teknologi Pemanfaatan Lahan
Rawa Lebak untuk Pertanian. Makalah Utama Workshop Nasional
Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian
Lahan Rawa Pemda Kabupaten Hulu Sungai, Dinas Pertanian Propinsi
Kalimantan Selatan, Kandangan
Balai Penelitian Tanah. 2008. Pupuk organik untuk tingkatkan produksi
pertanian. Balittanah. Bogor. Soil-fertility@indo.net.id
BPS. 2010. Sumsel dalam Angka 2009. BPS, Palembang
Danapriatna, N. 2010. Biokimia Pembentukan Nitrogen oleh Bakteri Non
Simbiotik. J. Agribisnis dan Pengembangan Wilayah 1(2):1-10
Doberman, A and Fairhust T. 2000. Rice Nutrient Disorders and Nutrient
Management. Potash and Phosphate Institute of Canada and International
Rice Research Institute. Oxford Geographic Printers Pte Ltd. Canada,
Philippines. 192p.
Dungpaeng, A, P. Phetcharat, S. Chanthapho, N. Boonkantong and N. Okuda.
2012. The Study and Development of Endophytic Bacteria for Enhancing
Organic Rice Growth. Procedia Engineering 32(2012):172-176
Goenarto, L. 2000. Mikroba Rhizosfer Potensi dan Manfaatnya. Jurnal Litbang
Pertanian 19(2): 40-48
Gofar, N., H. Widjajanti dan N.L.P. Sriratmini. 2012. Uji Kemampuan Isolat
Bakteri Endofitik Penghasil IAA dalam Memacu Pertumbuhan Tanaman
Padi pada Tanah Asal Rawa Lebak. Prosiding InSINAs. 0423:293-297
15. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
39
Londong, P. 2009. Hubungan Pupuk NPK dengan Pertumbuhan dan Hasil Padi
Mira 1 pada Lahan Pasang Surut. J. Agroscientise 16(2): 112-115
Marlina, N., N. Gofar, A.H.P.K. Subakti, A. Rahim. 2014. Improvement of Rice
Growth dan Productivity Through Balance Application of Inorganic
Fertilizer dan Biofertilizer ini Inceptisol Soil of Lowland Swamp Area.
J. Of Agricultural Science Agrivita 36(1):48-56
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Terms of Reference Type. As. P3TT Bogor
Rosiana, F., T. Turmuktini, Y. Yuwariah, M. Arifin dan T. Simarmata. 2013.
Aplikasi Kombinasi Kompos Jerami, Kompos Azolla dan Pupuk Hayati
untuk Meningkatkan Jumlah Populasi Bakteri Penambat Nitrogen dan
Produktivitas Tanaman Padi Berbasis IPAT-BO. J. Agrovigor 6(1): 16-
22
Saika, S.P. and V. Jain. 2007. Biological nitrogen fixation with non-legumes : An
achievable target or dogma ?. Current Sci. 92 (3) : 317 – 322.
Yoshida, S. 1981. Fundamental of rice crop science. IRRI, Philippines.
16. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
40
Kajian Kesuburan Tanah Lahan Rawa di Provinsi Bengkulu
Study of Soil Fertility Land Swamp in Bengkulu Province
Wahyu Wibawa, Nurmegawati, Dedi Suganti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Jl Irian km 6,5 Kota Bengkulu, telp (0736) 23030
E-mail : nurmegawati_s@yahoo.co.id
ABSTRACT
Wetlands is a potential land resources that can support the sustainability of
rice self-sufficiency , especially uncertainties associated with climate (climate
change ) . One of the factors that determine the success of lowland farming is soil
fertility . This study aims to assess the fertility of the soil wetlands in the province
of Bengkulu . The results showed that ( 1 ) In the swampy wetlands including
acidic pH , organic C content is very high - level decomposition rate of organic
matter yet further , the availability of P is classified, K -dd classified as very low ,
relatively low cation exchange capacity , toxicity of iron ( Fe ) is very high with a
base saturation ( KB ) is classified, ( 2 ) In tidal wetlands including acidic acid
levels , C - organic content with a very high degree of decomposition of organic
materials classified as being : the availability of P is classified, the exchange
capacity cation is high , very high Fe content ; base saturation is high , ( 3 )
Judging from the cation exchange capacity ( CEC ) and base saturation ( KB ) ,
the level of soil fertility in lowland swamp land is relatively lower than the tidal
marsh.
Keywords: soil fertility, swampy marsh, tidal marsh
ABSTRAK
Lahan rawa merupakan potensi sumberdaya lahan yang dapat mendukung
kelestarian swasembada beras, apalagi dikaitkan dengan ketidakpastian iklim
(climate change). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani
lebak adalah kesuburan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kesuburan
tanah lahan rawa di Provinsi Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)
Pada lahan rawa lebak pH-nya termasuk masam, kandungan C-organik sangat
tinggi dengan tingkat laju dekomposisi bahan organik belum lanjut, ketersedian P
tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah, kapasitas tukar kation tergolong
rendah, keracunan besi (Fe) sangat tinggi dengan kejenuhan basa (KB) tergolong
sedang, (2) Pada lahan rawa pasang surut tingkat keasamannya termasuk masam,
kandungan C-organik sangat tinggi dengan tingkat dekomposisi bahan organik
tergolong sedang: ketersedian P tergolong sedang, kapasitas tukar kation termasuk
tinggi, kandungan Fe sangat tinggi; kejenuhan basa termasuk tinggi, (3) Dilihat
dari kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) maka tingkat
kesuburan tanah pada lahan rawa lebak relatif lebih rendah daripada rawa pasang
surut.
Kata kunci: kesuburan tanah, rawa lebak, rawa pasang surut
17. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
41
PENDAHULUAN
Lahan rawa merupakan potensi sumberdaya lahan yang dapat mendukung
kelestarian swasembada beras, apalagi dikaitkan dengan ketidakpastian iklim
(climate change). Lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi peralihan
antara daratan dan sistem perairan (Subagyo, 1997). Berdasarkan sifat-sifat dan
karakteristik tanah yang berpengaruh langsung terhadap pertanian, seperti
kedalaman pirit, kemasaman tanah, pengaruh garam, pengaruh pasang surut dan
ketebalan gambut maka lahan rawa terbagi dalam 5 tipologi, yaitu (1)lahan
alluvial bersulfida, (2) lahan alluvial bersulfat, (3) lahan gambut, (4) lahan salin,
dan (5) lahan lebak (Suriadikarta dan Sutriadi (2007).
Luas lahan rawa di Provinsi Bengkulu cukup luas (12.411 ha) yang terdiri
dari rawa lebak mencapai 11.609 ha dan rawa pasang surutnya sekitar 802 ha,
yang mencakup Kabupaten Seluma, Mukomuko, Bengkulu Utara dan Bengkulu
Tengah (BPS Provinsi Bengkulu, 2010). Disamping rawa lebak, di Provinsi
Bengkulu juga terdapat rawa pasang surut air asin. Menurut Subagyo (2006)
wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa
pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas.
Lahan tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan khususnya untuk
tanaman padi dan diharapkan mampu menjadi penyumbang produksi beras yang
cukup signifikan. Namun budidaya padi di lahan rawa mempunyai resiko yang
cukup tinggi karena mempunyai masalah dalam hal kesuburannya. Tanah pada
lahan rawa bersifat masam, miskin unsur hara, dan mengandung besi (Fe) yang
tinggi. Keracunan besi dan ketidakseimbangan kandungan unsur hara merupakan
permasalahan utama yang menyebabkan produktivitas padi rendah (1-2 t/ha) atau
bahkan tidak menghasilkan. Menurut Waluyo dan Djamhari (2011) melaporkan
bahwa faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani lebak salah satunya
kesuburan tanah.
Kesuburan tanah berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman,
maka penilaian status hara tanah mutlak diperlukan. Menurut Nyakpa et al.,
(1988) salah satu cara untuk menilai status hara dalam menilai kesuburan hara
yaitu dengan analisis tanah, yang mempunyai konsep bahwa tanaman akan respon
terhadap pemupukan bila kadar hara tersebut kurang atau jumlah yang tersedia
tidak cukup untuk pertumbuhan yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji kesuburan tanah lahan rawa di Provinsi Bengkulu.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang
surut, untuk rawa lebak dilakukan di Desa Dusun baru kecamatan Pondok
Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah sedangkan rawa pasang surut dilakukan di
Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Muara Bangkahulu Kota Bengkulu.
Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode purposive random sampling,
pada kedalaman 0 – 20 cm.
Sampel tanah tidak utuh atau contoh tanah terganggu diambil secara
komposit dengan pemboran yang digunakan untuk penetapan pH tanah,
kandungan C-organik, KTK serta unsur hara makro yaitu N,P,K, Mg. Sampel
tanah yang diperoleh selanjutnya dibawa ke laboratorium tanah BPTP Bengkulu
18. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
42
untuk analisis kimia tanah sebagai berikut : penetapan pH tanah metode pH metri,
penetapan C-Organik metode spektrofotometri, penetapan N metode kjeldahl,
penetapan P metode spektrofotometri, penetapan kation K metode
flamephotometer , kation Mg dengan metode titrasi dan KTK metode destilasi.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan tingkat
kesuburan tanah pada lahan rawa lebak dan pasang surut.
HASIL
Tabel 1. Status hara rawa lebak
No Sifat Kimia dan Fisika Nilai Keterangan *
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Kadar Air (%)
Tekstur
pH (H2O)
pH (KCl)
C-organik (%)
N-total (%)
C/N
P tersedia
K-dd (me/100g)
Ca-dd (me/100g)
Mg-dd (me/100g)
Na-dd (me/100g)
KTK (me/100g)
Al (me/100g)
Fe (%)
KB (%)
4
lempung
4,78
4,18
6,91
0,32
21,59
8,04
0,02
0,20
4,95
0,10
11,07
0,09
0,85
47,61
-
-
Masam
-
Sangat tinggi
Sedang
Tinggi
Sedang
Sangat rendah
Rendah
Sangat tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Sangat tinggi
Sedang
Keterangan : Hasil analisa laboratorium tanah BPTP Bengkulu
Sumber : * Balai Penelitian Tanah (2009)
Tabel 2. Status hara rawa pasang surut
No Sifat Kimia dan Fisika Nilai Keterangan *
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Kadar air (%)
Tekstur
pH (H2O)
pH (KCl)
C-organik (%)
N-total (%)
C/N
P-Bray.I (ppm)
K-dd (me/100g)
Ca-dd (me/100g)
Mg-dd (me/100g)
Na-dd (me/100g)
KTK (me/100g)
Al (me/100g)
Fe (%)
KB (%)
12
Lempung liat berdebu
4,88
3,96
7,32
0,35
20,91
8,04
0,04
1,88
15,43
0,52
25,97
0,10
2,20
68,81
-
Masam
Sangat tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
Sangat rendah
Sangat rendah
Sangat tinggi
Sedang
Tinggi
Sangat rendah
Sangat tinggi
Tinggi
Keterangan : Hasil analisa laboratorium tanah BPTP Bengkulu
Sumber : * Balai Penelitian Tanah (2009)
19. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
43
Tabel 3. Pedoman umum kebutuhan kapur mencapai pH 5,5.
No pH Kebutuhan
kapur
(Ton/Ha)
No pH Kebutuhan kapur
(Ton/Ha)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
4,0
4,1
4,2
4,3
4,4
4,5
4,6
4,7
4,8
4,9
5
6,38
5,99
5,59
5,32
4,92
4,52
4,12
3,86
3,46
3,06
2,39
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
-
5,1
5,2
5,3
5,4
5,5
5,6
5,7
5,8
5,9
6,0
-
2,0
1,73
1,33
0,93
0,53
0,27
0,00
0,00
0,00
0,00.
-
Sumber: pH TSK, Dept, Tanah, Faperta IPB Bogor,1985 di dalam Iqro5
PEMBAHASAN
Rawa lebak. Secara umum kelas tekstur tanah pada rawa lebak
termasuk lempung; pH H2O tergolong masam; Kandungan C-organik tergolong
sangat tinggi; kandungan N tergolong sedang; kandungan P tergolong sedang, K-
dd tergolong sangat rendah; kandungan Ca tergolong sangat rendah; Mg-dd
tergolong tinggi; Na-dd tergolong rendah; Al3+
tergolong sangat rendah; dan KTK
tergolong rendah; kandungan Fe tergolong tinggi sedangkan kejenuhan basa
tergolong sedang (Tabel 1).
Kemasaman (pH) tanah merupakan penciri utama lahan rawa. Kemasaman
tanah juga mengambarkan kondisi reaksi tanah, kandungan kation-kation masam.
Tingkat kemasaman tanah di lahan rawa dipengaruhi oleh lingkungan pembentuk
pirit, sebaran bahan organik dan perbedaan tingkat oksidasi. pH pada lokasi
pengkajian termasuk masam yaitu 4,78. Untuk meningkat kan pH yang ideal yang
dibutuhkan tanaman agar unsur hara dapat di serap secara baik dibutuhkan pH
masam Ph 5,5. Di bawah menunjukkan besarnya pemberian kapur pada tiap-tiap
tanah masam (pH).
Tabel di atas menunjukkan kebutuhan kapur dalam meningkatkan dari
masam ke optimum basa, meningkatkan pH berarti akan mengurangi Al
(Aluminium) yang beracun bagi tanaman, serta meningkatkan ketersediaan unsur
hara tanaman,terutama unsur P (phospor) sehingga sesuai dengan pertumbuhan
tanaman yang optimal. Selanjutnya dikatakan oleh Widodo (2000) dalam bahwa
kapur yang ideal adalah mempunyai sifat kejenuhan basa tinggi, dapat
meningkatkan pH tanah serta memiliki kandungan unsur hara yang lengkap,
sehingga juga berfungsi sebagai dan mempunyai kemampuan memperbaiki
struktur tanah rawa.
Kandungan C-orgnik yang tergolong sangat tinggi dan kandungan N
tergolong sedang. Tingkat kematangan bahan organik ditunjukkan oleh nisbah
C/N yang tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pelapukannya
20. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
44
belum lanjut dengan bahan organik masih kasar. Kandungan fosfor ekstrak Bray I
tergolong sedang, ini menunjukkan P tersedia untuk tanaman tergolong sedang.
Rachim (1995) dalam Hartatik dan Idris (2008) melaporkan bahwa lamanya
pengusahan dapat meningkatkan P terekstrak dengan Bray I, peningkatan ini
berkaitan dengan dekomposisi dan mineralisasi bahan organik, sehingga unsur P
menjadi terlepas.
Basa-basa dapat dipertukarkan ditentukan dengan melepaskan basa-basa
tersebut dari koloid tanah, K-dd tergolong sangat rendah, Ca-dd tergolong rendah,
Mg-dd tergolong sangat tinggi sedangkan Na-dd tergolong sedang. Kapasitas
tukar kation tanah didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk menyerap dan
mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam milliekivalen per 100
gram. Kation-kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk
menukar kation yang dijerap . Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang
sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. KTK pada lokasi penelitian
tergolong rendah, ini menunjukkan bahwa tanahnya belum mampu menyerap dan
menyediakan unsur hara, karena unsur-unsur hara tersebut mudah hilang tercuci
oleh air.
Kandungan Fe tergolong sangat tinggi yang berpengaruh pada tingkat
keasaman tanah. Kandungan basa-basa tergolong rendah akan mempengaruhi
serapan Fe. Menurut Tan (2007) tingginya kadar Fe salah satu penyebab
terjadinya keasaman tanah. Basa-basa tukar (Ca, Mg, Na, K) yang berfungsi
untuk menetralisir keasaman tanah ketersediaannya pada tanah yang digunakan
sangat rendah akibatnya Fe dan Mn akan mudah terserap oleh tanaman dan pada
kosentrasi tertentu berpotensi terjadi keracunan. Menurut Yoshida (1981) batas
kritis keracunan Fe pada tanaman padi sawah adalah 300 ppm. Besi yang
berlebihan dapat membentuk lapisan oksida ferri pada permukaan akar, sehingga
akan memperlambat penyerapan hara lainnya oleh tanaman. Pengelolaan lahan
ini dalam jangka panjang kalau tidak dikelola dengan baik akan selalu berpotensi
menjadi lahan yang masam dan miskin terhadap unsur hara tertentu
Kejenuhan basa merupakan perbandingan antara jumlah me kation basa
dengan me kapasitas tukar kation. Kejenuhan basa pada lokasi penelitian
tergolong sedang dan termasuk tidak subur. Untuk mengatasi hal tersebut maka
perlu dilakukan pemupukan dan pemberian kapur (dolomit) yang cukup, sehingga
pertumbuhan tanaman normal. Wakhid ( 2011) melaporkan bahwa nilai kejenuhan
basah tanah > 80%, 50-80% dan < 50% untuk tanah gambut berturut-turut
termasuk kategori sangat subur, sedang dan tidak subur. Nilai KB menentukan
kemasaman tanah dan ketersediam unsur hara, khususnya kalium, kalsium dan
magnesium.
Pasang surut. Secara umum kelas tekstur tanah pada daerah pengkajian
rawa pasang surut termasuk lempung liat berdebu; pH H2O tergolong masam;
Kandungan C-organik tergolong sangat tinggi; kandungan N tergolong sedang;
kandungan P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah; kandungan Ca
tergolong rendah; Mg-dd tergolong sangat tinggi; Na-dd tergolong sedang; Al3+
tergolong sangat rendah; dan KTK tergolong tinggi; Fe tergolong tinggi dengan
kejenuhan basa tergolong tinggi (Tabel 2).
Dilihat dari analisis tanah maka terlihat bahwa lahan penelitian tersebut
memiliki beberapa kendala dalam kesuburannya seperti miskin unsur hara (unsur
K sangat rendah), pH tanah termasuk masam, kandungan Fe sangat tinggi serta
21. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
45
kandungan Na yang termasuk sedang.Kandungan C-organik yang sangat tinggi
dengan nisbah C/N yang sedang menunjukkan bahwa laju dekomposisi bahan
organik belum lanjut. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju perombakan bahan
organik diantaranya suhu, curah hujan, aerasi tanah akan sangat menentukan
jumlah bahan organik dalam tanah. Vangnai dan Chantadisai (1984) dalam
Mawardi dan Kertonegoro (2011) menyatakan bahwa laju perombakan pada
kondisi tergenang sepuluh kali lebih rendah dibanding tidak tergenang. Subowo et
al,. (2013) menambahkan bahwa pada kondisi tergenang laju dekomposisi bahan
organik untuk melepas hara yang terkandung di dalamnya berlangsung lambat.
Kandungan Fe yang sangat tinggi yang mencapai 0.22 % (22.000 ppm)
merupakan kendala untuk lahan rawa. Jika digunakan varietas padi sawah maka
pertumbuhan tanaman akan terganggu serta hasil yang rendah, sehingga
diperlukan varietas yang toleran. Menurut Yoshida (1981) batas kritis keracunan
Fe pada tanaman padi sawah adalah 300 ppm. Khairullah et al., (2011)
menambahkan bahwa konsentrasi Fe2+
sebesar 300-400 ppm saja akan meracuni
tanaman padi dan mengakibatkan meracuni tanaman padi dan meningkatkan
ketersedian hara tanaman rendah.
Keracunan besi akan menghambat pertumbuhan tanaman dan kematian pada
tanaman padi, menunjukkan gejala bronzing dan akan menurunkan hasil hingga
75 % pada varietas peka dan 30 % pada varietas toleran keracunan besi
(Khairullah et al., 2011). Suprihatno et al. (2010) menambahkan bahwa
keracunan besi menyebabkan produktivitas padi dilahan rawa relatif rendah (1-2
t/ha) atau bahkan tidak menghasilkan.
Ada beberapa cara untuk mengatasi keracunan besi, diantaranya adalah
penanaman varietas yang toleran dan pemupukan untuk meningkatkan
keseimbangan unsur hara.Khairullah et al., (2011) menyatakan bahwa perlakuan
tata air intermitten (digenangi dan dikeringkan berselang 1 minggu) dan waktu
tanam 14 sampai 21 hari setelah aplikasi tata air merupakan kombinasi yang
terbaik untuk mengendalikan keracunan besi.
KESIMPULAN
1. Pada lahan rawa lebak pH-nya termasuk masam, kandungan C-organik sangat
tinggi dengan tingkat laju dekomposisi bahan organik belum lanjut,
ketersedian P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah, kapasitas
tukar kation tergolong rendah, keracunan besi (Fe) sangat tinggi dengan
kejenuhan basa (KB) tergolong sedang
2. Pada lahan rawa pasang surut tingkat keasamannya termasuk masam,
kandungan C-organik sangat tinggi dengan tingkat dekomposisi bahan
organik tergolong sedang: ketersedian P tergolong sedang, kapasitas tukar
kation termasuk tinggi, kandungan Fe sangat tinggi; kejenuhan basa termasuk
tinggi
3. Dilihat dari kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) maka
tingkat kesuburan tanah pada lahan rawa lebak relatif lebih rendah daripada
rawa pasang surut.
22. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
46
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Hendri Suyanto yang
telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. Balai
Penelitian Tanah. Bogor
BPS Provinsi Bengkulu. 2010. Bengkulu dalam Angka.
Hartatik. W. Idris,K. 2008. Kelarutan fosfat alam dan SP-36 dalam gambut yang
diberikan bahan amelioran tanah mineral. Jurnal Tanah dan Iklim 27: 45-56
Khairullah,I.L.Indrawati,A.Hairani,A.susilowati.2011. Pengaruh waktu tanam dan
tata air untuk mengendalikan keracunan besi pada tanaman padi di lahan
rawa pasang surut sulfat masam potensi tipe b. Jurnal Tanah dan Iklim.
Edisi khusus rawa: 13-24.
Mawardi dan B.D.Kertonegoro. 2011. Deskripsi beberapa unsur hara pada lapisan
olah di tanah sulfat masam balandean dengan durasi penggunaan lahan yang
berbeda. Jurnal Tanah dan Iklim edisi khusus rawa.79:87
Nyakpa, M.Y. A.M.Lubis, M.A. Pulung, A.G.Amrah, A.Munawar, G.B.Hong,
N.Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung
Subagyo H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk
pertanian. Prosiding simposium Nasional dan Konggres PERAGI. Jakarta
25- 27 Juni 1996.
Subagyo H. 2006. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa dalam Karakteristik
dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Suprihatno, B., A. A. Daradjat, Satoto, Baehaki, Suprihanto, A. Setyono, S.D.
Indrasari, I.P. Wardana, dan H. Sembiring. 2010. Deskripsi varietas padi.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian
Suriadikarta,D.A dan Sutriadi,M.T.2007. Analisis potensi lahan rawa untuk
pengembangan agribisnis. Jurnal Sumberdaya Lahan vol 1.No. 3 Agustus
2007. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Bogor.
Tan, K. H. 2007. Tanah-tanah daerah bermusim dan tropis basah dari Indonesia.
Pembentukan sifat-sifat dan pengolahan. Dept of Crops and Soil Science.
University of Georgia, Athens, GA, USA.
Wakhid, N. 2011. Teknologi pemberian bahan amelioran di lahan gambut.
Prosiding seminar nasional sumberdaya lahan pertanian Banjarbaru, 13-14
Juli 2011. Hal 165-180
Waluyo dan Djamhari,S.2011. Sifat kimia tanah dan kesesuaian lahan pada
masing-masing tipologi lahan rawa lebak untuk budidaya tanaman padi,
kasus di Desa Tanjung Elai, Ogan Komering Ilir. Jurnal Sains dan
Teknologi Indonesia. 13(3): 204-209.
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crops science. International Rice
Research Institut. Philipinnes;269p.
23. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
47
Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian
Di Kabupaten Bengkulu Tengah, Indonesia
Zoning Maps of Agricultural Commodities
in Central Bengkulu District, Indonesia
Hamdan dan Irma Calista Siagian
BPTP Bengkulu
Jalan Irian Km. 6.5 Bengkulu 38119
e-mail : irmaca_lista@yahoo.com
ABSTRACT
Bengkulu Province has limited natural resources, so it is necessary efforts
optimal land use. Problems faced in agricultural development with regard to the
utilization of land resources which have not been mapped based comparative and
competitive advantages. Preparation of zoning maps of agricultural commodities
is done in Central Bengkulu District with several stages of the methodology are
inventory of land resources and land resource evaluation. Preparation of zoning
maps of agricultural commodities by agro-ecological zone scale 1: 50,000 is
intended as an effort to provide information about the potential biophysical (soil,
climate, vegetation), socio-economic, and land suitability superior agricultural
commodities. Inventory of land resources is done with several phases of activities,
namely: the preparation of base maps, land units of analysis and field verification
of land resources while evaluation is done by the analysis of soil samples and
preparation of the database. Based on the interpretation of the results and
observations in the field, the study area were grouped into 6 groups, namely
alluvial landform, marin, marin fluvio, tectonic, volcanic and various shapes.
Land characteristics used in assessing land cover annual average temperature,
precipitation, humidity, drainage, texture, coarse material, the effective depth,
maturity and thickness of peat, CEC, KB, pH, organic C, total N, P2O5 , K2O,
salinity, alkalinity, sulfidic depth, slope, surface rock, rock outcrop, the danger of
landslides, erosion and inundation of high and long. Central Bengkulu District
area of 74649.90 ha (71.40%) consisted of crop development zone wetlands and
dry land, the development zone of crops and food crops and agroforestry systems
development zone of annual crops / plantation.
Keywords: agro-ecological zones, zoning commodity, applied technology
ABSTRAK
Provinsi Bengkulu memiliki potensi sumberdaya alam yang terbatas,
sehingga sangat diperlukan upaya pemanfaatan lahan secara optimal.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya lahan yang belum dipetakan berdasarkan keunggulan
komparatif dan kompetitif. Penyusunan peta pewilayahan komoditas pertanian ini
dilakukan di Kabupaten Bengkulu Tengah dengan beberapa tahapan metodologi
24. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
48
yaitu inventarisasi sumberdaya lahan dan evaluasi sumberdaya lahan. Penyusunan
peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi skala
1:50.000 ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menyajikan informasi
mengenai potensi biofisik (tanah, iklim, vegetasi), sosial ekonomi, dan kesesuaian
lahan berbagai komoditas pertanian unggulan. Inventarisasi sumberdaya lahan
dilakukan dengan beberapa tahapan kegiatan, yaitu: penyusunan peta dasar,
analisis satuan lahan dan verifikasi lapangan sedangkan evaluasi sumberdaya
lahan dilakukan dengan analisis contoh tanah dan penyusunan database.
Berdasarkan hasil interpretasi dan pengamatan di lapangan, daerah penelitian
dikelompokkan ke dalam 6 grup landform yaitu aluvial, marin, fluvio marin,
tektonik, volkanik dan aneka bentuk. Karakteristik lahan yang digunakan dalam
menilai lahan meliputi temperatur rata-rata tahunan, curah hujan, kelembaban
udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif, kematangan dan
ketebalan gambut, KTK, KB, pH, C-Organik, N-Total, P2O5, K2O, salinitas,
alkalinitas, kedalaman sulfidik, lereng, batuan di permukaan, singkapan batuan,
bahaya longsor, bahaya erosi serta tinggi dan lama genangan. Kabupaten
Bengkulu Tengah seluas 74.649,90 ha (71,40%) terdiri dari zona pengembangan
tanaman pangan lahan basah dan lahan kering, zona pengembangan tanaman
tahunan dan tanaman pangan dengan sistem wana tani dan zona pengembangan
tanaman tahunan/perkebunan.
Kata Kunci: zona agroekologi, pewilayahn komoditas, teknologi aplikatif
PENDAHULUAN
Kebutuhan lahan yang semakin meningkat dan persaingan penggunaan
lahan antara sektor pertanian dan non pertanian, memerlukan teknologi tepat guna
dalam upaya mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan.
Permasalahan utama yang dihadapi berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya
lahan untuk sector pertanian, yaitu belum dipetakannya tingkat kesesuaian lahan
yang menunjukkan keunggulan komparatif. Pengembangan komoditas pertanian
unggulan harus didukung oleh daya dukung agroekologi, artinya bahwa
komoditas tersebut untuk dapat tumbuh dan berproduksi tinggi harus didukung
oleh kondisi biofisiknya (tanah dan iklim), teknologi, dan sosial budaya petani.
Selain itu komoditas pertanian tersebut harus mempunyai permintaan yang tinggi
baik di pasar dalam maupun di luar daerah tersebut yang merupakan keunggulan
kompetitif.
Provinsi Bengkulu memiliki potensi sumberdaya alam yang terbatas,
sehingga sangat diperlukan upaya pemanfaatan lahan secara optimal. Dari luas
wilayah provinsi 1.978.870 ha, hanya 1.000.913 ha (51,58%) yang dapat
digolongkan sebagai kawasan budidaya. Selebihnya merupakan kawasan hutan
dengan topografi bergelombang hingga berbukit/bergunung. Oleh sebab itu dalam
pengembangan usaha pertanian, kebijakan yang diperlukan adalah mewujudkan
optimalisasi penggunaan lahan, melakukan usaha intensifikasi teknologi pertanian
dan penggunaan komoditas unggulan/spesifik lokasi pada lahan-lahan yang telah
dimanfaatkan.
Data dan informasi sumberdaya lahan yang dikemas dalam produk AEZ
merupakan data dasar yang penting dalam perencanaan pengembangan sistem
25. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
49
usaha pertanian spesifik lokasi. Penyusunan peta pewilayahan komoditas skala
1:50.000 Kabupaten Bengkulu Tengah berdasarkan AEZ dilakukan dengan
identifikasi dan karakterisasi sumberdaya lahannya melalui pendekatan analisis
terrain, dengan mempertimbangkan karakteristik lahan yaitu relief, lereng, proses
geomorfologi, litologi/bahan induk, dan hidrologi sebagai parameter dalam
analisis terrain (Van Zuidam, 1986).
Unsur-unsur terrain seperti lereng dan tingkat torehan mempunyai kaitan
erat dengan tingkat kesesuaian lahan, sehingga delineasi yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai satuan dasar dalam evaluasi lahan. Secara hirarki, terrain dapat
dibedakan berdasarkan skala peta (1:250.000-1:10.000) kedalam empat kategori
yaitu: terrain province, terrain system, terrain unit, dan terrain component.
Kategori terrain unit yang setara dengan land catena dapat digunakan untuk
mendelineasi satuan lahan pada skala 1:50.000 (Kips et al., 1981; Van Zuidam,
1986; Meijerink,1988).
Kabupaten Bengkulu Tengah memiliki luas wilayah 112.394 ha yang
terdiri dari 10 kecamatan, 112 desa definitif dan 1 kelurahan yang secara
geografis berbatasan; Sebelah Utara dengan Kabupaten Bengkulu Utara, sebelah
Selatan dengan Kabupaten Seluma, sebelah Timur dengan Kabupaten Kepahiang,
dan sebelah Barat dengan Kota Bengkulu. Sebagai kabupaten baru, tentunya
memerlukan data dukung yang memadai dalam upaya mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya alam yang ada khusunya sumberdaya pertanian.
Tujuan dari kegiatan ini untuk mengidentifikasi, mengkarakterisasi
sumberdaya lahan di Kabupaten Bengkulu Tengah dan menyusun peta kesesuaian
lahan dan peta pewilayahan komoditas berdasarkan zona agroekologi skala
1:50.000 serta memberikan data dan informasi yang dibutuhkan dalam
pengembangan komoditas pertanian unggulan dengan melakukan evaluasi
kesesuaian lahan sehingga dapat meningkatkan keunggulan komparatifnya dan
melakukan analisis ekonomi untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya.
Dengan meningkatnya keunggulan komparatif dan kompetitif tersebut, diharapkan
dapat meningkatkan daya saing produk baik secara regional, nasional dan bahkan
internasional.
BAHAN DAN METODE
Lokasi penelitian mencakup seluruh batas administrative Kabupaten
Bengkulu Tengah, di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, di
sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Utara, di sebelah Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Seluma, dan di sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Kepahiang.
Penyusunan Peta Pewilayahan komoditas Kabupaten Bengkulu Tengah Skala
1:50.000 dilakukan dengan dua tahapan metodologi: 1. Inventarisasi Sumberdaya
Lahan meliputi: penyusunan peta dasar, analisis satuan lahan dan verifikasi
lapangan (pengamatan tanah, pengambilan contoh tanah, penyusunan satuan
evaluasi lahan), 2. Penyusunan Peta Satuan Lahan, terdiri dari pendetilan peta
satuan lahan skala 1:250.000 dilakukan dengan overlay peta kontur, peta lereng
interval 12.5 dari Digital Elevation Model (DEM) dengan bantuan program
SAGA serta interpretasi citra landsat 7 ETM+. Pengelompokkan landform
mengacu pada Klasifikasi Landform LREP II (Marsoedi et.al, 1997).
Pengambilan contoh tanah
26. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
50
Contoh tanah diambil dari profil tanah atau minipit. Contoh tanah profil
diambil di seluruh lapisan/horison tanah kemudian dianalisis di laboratorium
untuk mendukung klasifikasi tanah, sedangkan contoh minipit diambil sampai
kedalaman + 60 cm (mengikuti horisonisasi, dapat terdiri dari 2-3 contoh) untuk
mendukung sifat kesuburan tanah yang mewakili satu jenis tanah di dalam satuan
lahan. Apabila satuan lahan mempunyai penyebaran yang luas, pengambilan
contoh tanah dilakukan pada beberapa lokasi pengematan dan distribusinya
merata dan mewakili seluruh satuan lahan. Data hasil analisis tanah digunakan
untuk reklasifikasi tanah, evaluasi tingkat kesuburan, dan evaluasi lahan.
27. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
51
HASIL
Peta Satuan Lahan Kabupaten Bengkulu Tengah
Tabel 1. Legenda satuan lahan Kabupaten Bengkulu Tengah
28. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
52
Simbol Litologi
Relief
(% lereng)
Elevasi
(m dpl)
Karakteristik dan Klasifikasi Tanah
L u a s
Ha %
Af.1121-
n
Endapan liat Agak datar (1-3) 0-400
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sangat terhambat; pH sangat masam; KTK
61,09 ( Tropaquepts) 1.599,02 1,53
Af.1122-
f
Endapan liat Datar (0-1) 0-400
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sangat terhambat; pH masam; KTK 61,09 (
Tropaquepts) 654,14 0,63
Af.12-n Endapan liat Agak datar (1-3) 0-400
Sangat dalam; tekstur lempung liat berdebu; drainase sangat terhambat; pH masam; KTK
61,09 ( Tropaquepts) 1.845,30 1,77
Mf.32-f Endapan liat Datar (0-1) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 32,77 (Hapludults) 2.647,57 2,53
Mf.32-n Endapan liat Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 32,77 (Hapludults) 7.394,78 7,07
Mf.32-u Endapan liat Berombak (3-8) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 24,25 (Hapludults) 6.037,37 5,77
Mfq.111
-n
Endapan liat, pasir Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat; drainase cepat; pH masam; KTK 24,25 (Tropopsamments)
1.193,14 1,14
Mfq.112
-n
Endapan liat, pasir Agak datar (1-3) 0-400 Dalam; tekstur liat berdebu; drainase baik; pH masam; KTK 59,18 (Hapludults)
1.182,23 1,13
Bu.03-f Endapan liat, gambut Datar (0-1) 0-400
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase terhambat; pH masam; KTK 11,82
(Hydraquents) 1.383,32 1,32
Va.32-h Tuff andesit Berbukit (25-40) 400-700
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 36,26
(Dystropepts) 3.233,72 3,09
Va.33-c Tuff andesit
Berbukit kecil
(15-25)
0-400
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 36,26
(Dystropepts) 2.559,12 2,45
Va.33-m Tuff andesit Bergunung (>40)
700-
1.200
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01
(Dystropepts) 3.523,69 3,37
Vab.31-n Tuff andesit, basal Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts) 351,74 0,34
Vab.31-r Tuff andesit, basal
Bergelombang (8-
15)
0-400 Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts)
1.766,91 1,69
Vab.31-u Tuff andesit, basal Berombak (3-8) 0-400 Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts) 57,34 0,05
Vab.32-c Tuff andesit, basal
Berbukit kecil
(15-25)
0-400 Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts)
2.242,92 2,15
Vab.32-h Tuff andesit, basal Berbukit (25-40) 400-700 Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts) 1.472,15 1,41
Vab.33-h Tuff andesit Berbukit (25-40) 400-700
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 29,74
(Dystropepts) 915,62 0,88
Vab.33-
m
Tuff andesit Bergunung (>40)
700-
1.200
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 29,74
(Dystropepts) 11.630,56 11,12
Tq.101-n
Endapan batuan felsik
kasar
Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat; drainase baik; pH masam; KTK 16,74 (Haplohumults)
2.176,06 2,08
Tq.102-u Endapan batuan felsik Berombak (3-8) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 33,25 3.895,37 3,73
29. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
53
kasar (Dystropepts)
Tq.103-r
Endapan batuan felsik
kasar
Berbukit kecil
(15-25)
0-400
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 33,25
(Dystropepts) 3.138,36 3,00
Tq.111-n Batu pasir Agak datar (1-3) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat; drainase sedang; pH masam; KTK 22,37 (Dystropepts) 98,15 0,09
Tq.112-u Batu pasir Berombak (3-8) 0-400 Sangat dalam; tekstur liat; drainase sedang; pH masam; KTK 22,37 (Dystropepts) 7.730,57 7,39
Tq.113-r Batu pasir Berbukit (25-40) 0-400
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01
(Dystropepts) 11.724,69 1,21
Tq.121-c Batu pasir
Berbukit kecil
(15-25)
0-400 Sangat dalam; tekstur liat; drainase sedang; pH masam; KTK 22,37 (Dystropepts)
8.056,03 7,71
Tq.121-h Batu pasir Berbukit (25-40)
700-
1200
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01
(Dystropepts) 10.544,32 10,09
Tq.122-c Batu pasir
Berbukit kecil
(15-25)
0-400
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01
(Dystropepts) 780,51 0,75
Tq.122-
m
Batu pasir Bergunung (>40) 400-700
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01
(Dystropepts) 2.528,29 2,42
X.1 Bukit Terjal 1.132,68 1,08
X.2 Pemukiman 851,43 0,81
X.3 Tubuh air 32,30 0,03
X.5 Areal Tambang
169,98 0,16
Jumlah
104.549,3
6 100,00
Sumber:Dataprimer(diolah)2013
30. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
54
Dari kegiatan pemetaan satuan lahan di Kabupaten Bengkulu Tengah dengan
skala 1:50.000 dihasilkan 28 satuan peta tanah dan setiap satuan peta lahan/tanah
yang dihasilkan dari kegiatan survei dan pemetaan sumberdaya lahan mempunyai
karakteristik-karakteristik yag dapat dirinci dan diuraikan sebagai karakteristik lahan,
baik berupa karakteristik tanah maupun fisikk lingkungannya. Karakteristik lahan
yang digunakan dalam evaluasi dapat bersifat tunggal maupun bersifat lebih dari satu
karena mempunyai interaksi satu sama lain. Karenanya dalam interpretasi perlu
mempertimbangkan atau membandingkan lahan dengan penggunaannya dalam
pengertian kualitas lahan. Dari karakteristik lahan pada tabel 1 diketahui bahwa
drainase pada 28 satuan peta tanah cenderung sedang hingga terhambat. Pada kondisi
drainase sedang, air meresap ke dalam massa tanah agak lambat. Air tanah bebas
berada di dalam tanah cukup dalam. Tanah basah terjadi hanya dalam wajtu yang
singkat selama masa pertumbuhan, tetapi cukup panjang bagio pertumbuhan
berbagai tanaman. Ciri yang dapat diketahui di lapangan yaitu tanah berwarna
homogen, tanpa bercak atau karatan besi dan mangan serta warna gley (reduksi) pada
lapisan sampau ≥ 50 cm. Sedangkan pada kondisi drainase lambat, air meresap ke
dalam tanah secara sangat lambat, sehingga tanah menjadi basah pada lapisan teratas
secara periodik selama masa pertumbuhan tanaman, atau selalu basah pada masa
yang panjang. Air bebas biasanya berada di permukaan tanah dalam waktu yang
cukup lama. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman
lainnya. Ciri yang dapat ditemui di lapangan yaitu tanah berwarna gley (reduksi) dan
bercak atau karatan besi dan mangan sedikit pada lapisan sampai permukaan.
1. Rincian Relief Kabupaten Bengkulu Tengah
Berdasarkan bentukan relief, Kabupaten Bengkulu Tengah mempunyai ketinggian
dari 0-1.225m dpl. Lahan umumnya mempunyai relief dari datar sampai bergunung.
Rincian relief lahan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rincian relief Kabupaten Bengkulu Tengah
Simbol Relief
Lereng
(%)
Beda Tinggi
(m)
Luas
Ha %
F
n
u
r
c
h
m
X1
X2
X3
X5
Datar
Agak Datar
Berombak
Bergelombang
Berbukit Kecil
Berbukit
Bergunung
Lereng terjal
Pemukiman
Badan air/sungai
Areal tambang
<1
1-3
3-8
8-15
15-25
25-40
>40
-
-
<5
<5
5-10
10-50
10-50
50-300
>300
-
-
4.685,03
15.462,34
17.720,65
16.633,47
13.638,58
12.932,08
20.916,25
1.132,68
1.226,00
32,30
169,98
4,48
14,79
16,95
15,91
13,05
12,37
20,01
1,08
1,17
0,03
0,16
J u m l a h 104.549,36 100,00
Sumber: Data primer (diolah) 2013
PEMBAHASAN
Penilaian kualitas/karakteristik lahan terhadap persyaratan tumbuh tanaman
yang dinilai dipisahkan dalam tiga kelompok yaitu: (1) persyaratan tumbuh tanaman
(crop requirements) yang merupakan karakteristik zone agroekologi; (2) persyaratan
pengelolaan [management pengelolaan (management requirements)] yang
31. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
55
merupakan grup manajemen atau grup perbaikan lahan; (3) persyaratan pengawetan
(conservation requirements) yang merupakan grup konservasi dan lingkungan.
Khusus bagi peruntukan pengembangan peternakan terdapat satu kriteria lainnya,
yakni (4) persyaratan faktor kenyamanan (freshness) bagi kehidupan ternak.
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi.
karakteristik lahan yang digunakan dalam menilai lahan adalah temperatur rata-rata
tahunan, curah hujan (tahunan atau pada masa pertumbuhan), kelembaban udara,
drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif, kematangan dan ketebalan gambut,
KTK, KB, pH, C organik, total N, P2O5, K2O, salinitas, alkalinitas, kedalaman
sulfidik, lereng, batuan di permukaan, singkapan batuan, bahaya longsor, bahaya
erosi serta tinggi dan lama genangan.
Evaluasi lahan. Penilaian kualitas/karakteristik lahan terhadap persyaratan
tumbuh tanaman yang dinilai dipisahkan dalam tiga kelompok yaitu: (1) persyaratan
tumbuh tanaman (crop requirements) yang merupakan karakteristik zone
agroekologi; (2) persyaratan pengelolaan [management pengelolaan (management
requirements)] yang merupakan grup manajemen atau grup perbaikan lahan; (3)
persyaratan pengawetan (conservation requirements) yang merupakan grup
konservasi dan lingkungan. Khusus bagi peruntukan pengembangan peternakan
terdapat satu kriteria lainnya, yakni (4) persyaratan faktor kenyamanan (freshness)
bagi kehidupan ternak.
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi.
karakteristik lahan yang digunakan dalam menilai lahan adalah temperatur rata-rata
tahunan, curah hujan (tahunan atau pada masa pertumbuhan), kelembaban udara,
drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif, kematangan dan ketebalan gambut,
KTK, KB, pH, C organik, total N, P2O5, K2O, salinitas, alkalinitas, kedalaman
sulfidik, lereng, batuan di permukaan, singkapan batuan, bahaya longsor, bahaya
erosi serta tinggi dan lama genangan.
Dalam penilaian kesesuaian lahan perlu ditentukan komoditas apa yang akan
dinilai disesuaikan dengan tujuan penelitian. Penentuan komoditas tersebut
mempertimbangkan kondisi biofisik dan kimia lahan, iklim dan sosial ekonomi pada
suatu sistem usahatani (Tabel 3). Kondisi biofisik tersebut dipakai sebagai dasar
penentuan kualitas dan karakteristik lahan dalam evaluasi lahan. Komoditas yang
dinilai adalah usahatani tanaman pangan, hortikultura, tanaman tahunan. Tanaman
pangan terdiri dari: padi sawah, padi gogo, ubi jalar, dan jagung. Tanaman
tahunan/perkebunan dan hortikultura terdiri dari: kelapa sawit, karet, jeruk
kalamansi, durian, pisang, nenas, buah naga dan sayuran.
33. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
57
Pewilayahan Komoditas Pertanian Pewilayahan komoditas pertanian
merupakan kegiatan yang menghasilkan arahan penggunaan lahan untuk pertanian
dengan mempertimbangkan daya dukung lahan (kesesuaian lahan), penggunaan
lahan saat ini (existing landuse), kondisi sosial ekonomi (kompetitif dan
komperatif), tabel prioritas tanaman unggulan daerah, dan peta status kawasan
hutan. Perhitungan luas wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah berdasarkan data
Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu tahun 2010, sebesar 104.549 ha.
Sistem budidaya pertanian di Kabupaten Bengkulu Tengah adalah
budidaya lahan basah dan budidaya lahan kering, mencakup areal seluas seluas
76.942 ha (73,59%) termasuk dalam zona IV, III, dan II, sedangkan sisanya seluas
27.607 ha (26,41%) tidak dapat dikembangkan untuk pertanian dikarenakan
kondisi biofisik lahan tidak memungkinkan. Komoditas pertanian yang disarankan
berupa komoditas tanaman pangan, tanaman tahunan/perkebunan, kehutanan dan
hortikultura. Pembudidayaan komoditas dapat secara tumpangsari atau
monokultur. Pengembangan sistem budidaya pertanian dirinci menjadi: Pertanian
bebasis tanaman pangan, pertanian berbasis tanaman perkebunan dan kehutanan.
Legenda pewilayahan komoditas pertanian Kabupaten Bengkulu Tengah
Zona Sistem Pertanian/Alternatif Komoditas Pertanian
Luas
Ha %
Pertanian lahan basah, tanaman pangan
IV/Wfs Padi sawah, umbi-umbian, sayuran 3.940 3,77
Pertanian lahan kering, tanaman tahunan/perkebunan, tanaman pangan
IV/Dfsei Kelapa sawit, karet, padi gogo, jagung, umbi-umbian 31.598 30,22
III/Dfsei Kelapa sawit, karet, padi gogo, jagung, umbi-umbian 15.879 15,19
Pertanian lahan kering, tanaman pangan, tanaman hortikultura
IV/Dfuf Ubi jalar, pisang 1.193 1,14
Pertanian lahan kering, tanaman tahunan/perkebunan
II/Dei Karet, kelapa sawit, kopi robusta, durian 8.932 8,54
Pertanian lahan kering, tanaman kehutanan
II/Dej Durian, sengon, kayu bawang 10.823 10,35
I/Dej Durian, sengon, kayu bawang 2.063 1,97
Status kawasan
HL Hutan lindung 27.607 26,41
Lain-lain
X.1 Bukit terjal 1.133 1,08
X.2 Pemukiman 851 0,81
X.3 Badan air/danau 360 0,34
X.5 Areal tambang 170 0,16
J u m l a h 104.549 100,00
Sumber: Data Primer (diolah) 2013
Pertanian lahan basah adalah budidaya pertanian yang dilakukan pada
lahan-lahan yang secara alami mempunyai drainase sangat terhambat. Tanaman
pangan yang dapat dibudidayakan adalah padi sawah. Lahan ini dapat juga
dimanfaatkan untuk budidaya palawija dan sayuran terutama pada musim
kemarau apabila dilakukan pengelolaan air. Pengelolaan air dapat dilakukan
dengan membuat saluran drainase dan atau guludan sebagai media tumbuh
34. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
58
palawija dan sayuran. Berdasarkan kondisi drainasenya, lahan basah yang dapat
dimanfaatkan untuk tanaman pangan lahan adalah subzona IV/Wfs yaitu lahan
basah yang mempunyai kondisi drainase sangat terhambat dapat dimanfaatkan
untuk budidaya tanaman pangan padi sawah, umbi-umbian, dan sayuran dengan
luas areal 3.940 ha (3,77%). Faktor pembatas pemanfaatan lahan adalah media
perakatan (rc) yang dipengaruhi oleh kondisi drainase yang sangat terhambat dan
tekstur tanah.
Pertanian lahan kering adalah budidaya pertanian yang dilakukan pada
lahan-lahan yang mempunyai drainase tanah baik. Pertanian lahan kering secara
zonasinya termasuk dalam zona IV, III, dan II. Komoditas pertanian yang
disarankan berupa komoditas tanaman pangan, tanaman tahunan/perkebunan, dan
hortikultura. Pembudidayaan komoditas dapat secara tumpangsari atau
monokultur. Berdasarkan pola pengembangannya pertanian lahan kering di
Kabupaten Bengkulu Tengah dapat dibedakan menjadi 2 pola, yaitu pertanian
lahan kering berbasis tanaman pangan (tanaman pangan dan hortikultura, dan
perkebunan; tanaman pangan dan tanaman perkebunan) dan pertanian lahan
kering berbasis tanaman perkebunan (wanatani dan monokultur).
Sistem pertanian lahan kering, tanaman pangan dan perkebunan seluas
31.598 ha (30,22%), termasuk dalam zona IV dengan kelerengan <8% dan
menurunkan subzona IV Dfsei dan zona III dengan kelerengan 8-15%
menurunkan subzona III/Dfsei seluas 15.879 ha (15,19%). Komoditas yang
dianjurkan adalah kelapa sawit, karet, padi gogo, jagung, umbi-umbian seluas
31.598 ha (30,22%) dan 15.879 ha (15,19%). Lahan yang saat ini berupa lahan
sawah termasuk kelas cukup sesuai untuk padi dan sesuai marjinal untuk tanaman
semusim atau tanaman lainnya, dengan faktor pembatas utama retensi hara
(nutrient retention, nr), yang dicirikan oleh pH tanah masam (pH 4,7-5,1),
kandungan C organik dan kapasitas tukar kation rendah. Oleh karena itu, untuk
usahatani tanaman semusim diperlukan masukan unsur hara dengan pemupukan
yang berimbang baik dengan pupuk organik maupun an-organik.
Pertanian lahan kering, tanaman pangan, tanaman hortikultura (IV/Dfuf)
komoditas ubi jalar, pisang seluas 1.193 ha (1,14%). Pertanian lahan kering,
tanaman tahunan/perkebunan (II/Dei) dengan komoditas anjuran karet, kelapa
sawit, kopi robusta, durian seluas 8.932 ha (8,54%). Faktor pembatas pemanfaatan
lahan adalah bahaya erosi (eh) dan ketersediaan air (wa) disebabkan kelerengan
lahan yang berada pada 25-40%. Pemanfaatan lahan harus mempertimbangkan
konsep konservasi dengan pembuatan teras dan pengolahan tanah minimum.
Pertanian lahan kering, tanaman kehutanan (II/Dej dan I/Dej ) komoditas
anjuran durian, sengon, kayu bawang seluas 10.823 ha (10,35%) dan 2.063 ha
(1,97%). Faktor pembatas pemanfaatan lahan adalah bahaya erosi (eh) karena
kelerangan lahan 25-40% dan diatas 40%.
35. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
59
Gambar 4 Peta pewilayahan komoditas pertanian Kabupaten Bengkulu Tengah
36. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
60
KESIMPULAN
1. Dari kegiatan pemetaan satuan lahan di Kabupaten Bengkulu Tengah dengan
skala 1:50.000 dihasilkan 28 satuan peta tanah
2. Sistem budidaya pertanian di Kabupaten Bengkulu Tengah adalah budidaya lahan
basah dan budidaya lahan kering, mencakup areal seluas seluas 76.942 ha
(73,59%) termasuk dalam zona IV, III, dan II, sedangkan sisanya seluas 27.607
ha (26,41%) tidak dapat dikembangkan untuk pertanian dikarenakan kondisi
biofisik lahan tidak memungkinkan.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanah. 2002. Petunjuk Teknis Penyusunan Pewilayahan
Komditas Pertanian Berdasakan Zona Agroekologi (ZAE) Skala 1:50.000
(Model 1).
Balai Penelitian Tanah. 2002. Penyusunan Peta Satuan Evaluasi Lahan Untuk
Pewilayahan Komoditas Pertanian Skala 1:50.000 Melalui Analisis
Terrain (Model 2).
Djaenudin, D., Marwan H., H. Subagyo, Anny Mulyani, dan N. Suharta. 2000.
Kriteria kesesuaian lahan versi 3.0. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
FAO. 1977. Guidelines for soil profile description. FAO Soil Bulletin 73. Rome.
Goosen, D. 1967. Aerial photo interpretation in soil survey. FAO Soil Bulletin
No.6. Rome.
Hartomi, H. D. dan H. Suhardjo. 2001. Kebijakan Pewilayahan Komoditas.
Makalah Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Puslitbangtanak, Bogor.
FAO. 1996. Agro-ecological zoning guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome.
Kassam, A.H., H.T. van Velthuizen, G.W. Fischer and M.M. Shah. 1991.
Agroecological land resources assessment for agricultural development
planning. A case study of Kenya. Resource data base and land
productivity. Technical Annex 1. Land Resources. Land and Water
Development Division, FAO, Rome.
Kips, A.. Djaenudin, and Nata Suharta. 1981. The land unit approach to land
resources surveys for land use planning with particular reference to the
Sekampung watershed, Lampung Province, Sumatra., Indonesia.
AGOF/INS/78/006. Technical Note No. 11. Centre for Soil Research,
Bogor.
Marsoedi, Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno, J. Hof
dan ER. Jordens. 1997. Pedoman klasifikasi landform LT 5 Versi 3.0.
Proyek LREP II, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Muljadi, D., and F.J. Dent. 1979. Evaluation of Indonesian soil and land
resources. Indonesian Agricultural Research and Development Journal.
No. 1-2: 21-23.
Mulyani, A. 2001. proposal Penelitian Pembinaan Penyusunan Peta Pewilayahan
Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi (ZAE) Skala 1 :
50.000. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
37. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
61
Soil Survey Staff, 1998. Keys to Soil Taxonomy. United States Department of
Agriculture. Natural Resources Conservation Service. Eighth Edition,
1998.
Van Zuidam, R. 1986. Air photo-interpretation for terrain analysis and
geomorphologic mapping. Smits Publ. The Hague, The Netherlands.
38. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
62
Faktor Predominan Anasir Iklim Terhadap Kondisi Rizozfer
Perakaran Tanaman Jeruk
Predominant Factors of Climate Element at Rhizozfer Citrus Plant
Oka Ardiana Banaty1*)
, B. Al Fanshuri1
, O. Endarto1
, Joni Karman2
1
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika,Tlekung
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
*)
Telp. (0341) 592683 Fax. (0341) 593047
Email: ocha_banaty@yahoo.com
ABSTRACT
Climate is one of barrier factors in agricultural production, and one of
climate elements which are very influential to agricultural production is rainfall.
Rainfall may directly or indirectly affect the condition of plant rhizozfer, and lead
to the impact in water availability and nutrients in the soil. The objective of this
research was to determine the predominant factors of climate to rhizozfer
condition of citrus plant. Research was conducted in Dau Sub district of Malang
Regency, East Java, and Sambas Regency, West Kalimantan on January to
December 2012. Observation was for soil water content, soil physical
characteristics, and soil chemicals. Data collection of climate was taken from the
nearest climatology station. Plants used as observation unit were selected in
Systematically Purposive Sampling among 5-10% of total citrus plant population
of 0,5-1 ha citrus area. Citrus varieties for this research comprised of Batu 55,
Manis Pacitan, Mandarin Terigas and Tangerine Pontianak. The result indicated
that rainfall fluctuation in 2012 affected the pattern difference of water
availability in citrus rhizozfer. Water availability in the soil may take effect on
plant fenology and finally affect the production of citrus plants.
Keywords: rainfall, rhizozfer, citrus plant
ABSTRAK
Iklim merupakan salah satu faktor pembatas produksi pertanian. Salah satu
anasir iklim yang sangat berpengaruh terhadap produksi pertanian adalah curah
hujan. Curah hujan secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi
kondisi rizosfer perakaran tanaman, sehingga berdampak terhadap ketersediaan
air dan unsur hara dalam tanah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor
predominan iklim terhadap kondisi rizozfer tanaman jeruk. Penelitian ini
dilaksanakan di kecamatan Dau kabupaten Malang, Jawa Timur dan Kabupaten
Sambas, Kalimantan Barat pada bulan Januari – Desember 2012. Pengamatan
dilakukan terhadap kadar lengas tanah, sifat fisik tanah, kimia tanah dan
pengambilan data iklim dari stasiun klimatologi terdekat. Tanaman yang
digunakan sebagai unit pengamatan dipilih secara Purposive Sistematik Sampling
antara 5-10% total populasi tanaman dari luasan tanaman 0,5-1 ha tanaman jeruk.
Varietas jeruk yang digunakan dalam penelitian adalah keprok Batu 55, Manis
Pacitan, Keprok Terigas dan Siam Pontianak. Hasil penelitian diketahui bahwa
39. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
63
fluktuasi curah hujan pada tahun 2012 berpengaruh terhadap perbedaan pola
ketersediaan air pada rizozfer tanaman jeruk. Ketersediaan air atau kadar lengas
tanah ini akan berpengaruh terhadap fenologi tanaman yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap produksi tanaman jeruk.
Kata Kunci: curah hujan, rhizozfer, tanaman jeruk
PENDAHULUAN
Iklim adalah unsur utama yang berpengaruh dalam sistem metabolisme dan
fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan berdampak buruk terhadap
keberlanjutan ketahanan pangan. Perubahan iklim global akan mempengaruhi
setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya
dengan pertanian, yaitu: (a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap
unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) berubahnya
pola curah hujan, (c) makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim
(anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan (d) naiknya permukaan air laut
akibat pencairan gunung es di kutub utara (Anonim, 2009).
Perkembangan profil tanah sangat dipengaruhi oleh iklim, terutama curah
hujan dan temperatur. Kedua faktor ini menentukan reaksi-reaksi kimia dan sifat
fisis di dalam tanah. Faktor iklim mempengaruhi jumlah bahan organik di dalam
tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika temperatur rata-rata tahunan
meningkat, sedangkan kelembaban tanah dan lain-lain tetap konstan maka jumlah
bahan organik di dalam tanah akan menurun. Sebaliknya, peningkatan supplay air
dengan temperatur tetap konstan menunjukkan peningkatan kandungan bahan
organik di dalam tanah. Curah hujan yang tinggi terutama di daerah tropis dapat
mencuci kation-kation dari lapisan permukaan tanah (top soil) ke lapisan tanah
yang lebih dalam maka nilai tukar kation (KTK) juga akan meningkat (Hakim et
al., 1986).
Selain sifat tanah, faktor tumbuhan dan iklim sangat mempengaruhi jumlah
air yang dapat diabsorsikan tumbuhan dari tanah. Faktor tumbuhan antara lain
bentuk perakaran, daya tahan terhadap kekeringan, tingkat dan stadia
pertumbuhan. Selama periode tertentu, akar sering memanjang begitu cepat
sehingga kontak baru dengan partikel tanah selalu tercipta, walaupun suplai air
cepat menurun dan tanpa bantuan air kapiler. Perpanjangan akar yang begitu cepat
dapat memenuhi kebutuhan air bagi tumbuhan yang tumbuh pada keadaan
optimum (Hakim, et al., 1986). Tanaman akan kecukupan air sesuai yang
diperlukan tergantung pada ketersediaan air di mintakat perakaran/rhizozfer dan
permeabilitas tanah. Ketersediaan air total pada tanah adalah kandungan lengas
pada kapasitas lapangan (KL) dikurangi kandungan lengas pada titik layu (TL)
dikalikan tebal perakaran tanaman (Sutanto, 1995). Tujuan pengkajian ini adalah
untuk mengetahui faktor predominan iklim terhadap kondisi rizozfer tanaman
jeruk yang kedepannya dapat digunakan untuk mengantisipasi terjadinya
kegagalan panen akibat adanya perubahan iklim.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari s/d November 2012, di lokasi
sentra pertanaman jeruk di Malang, Jawa Timur dan Sambas, Kalimantan Barat.
40. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
64
Kebun yang dipilih merupakan kebun jeruk milik petani berumur 5-7 tahun.
Sebagai tanaman contoh dipilih dengan kondisi tanaman dan ukuran tajuk hampir
sama. Tanaman yang akan digunakan sebagai unit pengamatan dipilih secara
Purposive Sistematik Sampling sekitar 5-10% dari total populasi tanaman dari
luasan tanaman 0,5-1 ha tanaman jeruk. Pengamatan terhadap kesuburan tanah
dilakukan dengan mengambil sampel tanah di 4 titik didaerah rhizozfer dengan
kedalaman antara 0-20 dan 20-40 kemudian dikomposit tiap sampel selanjutnya
dibawa ke laboratorium tanah terakreditasi untuk dianalisa kandungan hara N, P,
K, C- Organik, KPK tanah dan sifat fisika tanahnya. Pengukuran kadar lengas
dilakukan setiap dua minggu sekali pada masing-masing daerah perakaran
tanaman jeruk yang terpilih sebagai sampel pengamatan.
HASIL
Tabel 1. Karakteristik sifat kimia dan Fisika tanah awal di Selokerto, Jatim dan
Sambas, Kalbar
Parameter
Sifat Kimia Tanah
Selokerto, Jatim Sambas, Kalbar
K.Batu 55 Manis Pacitan K.Trigas Siam Ponti
pH H2O 5.40 6.10 4.80 4.60
pH KCL 3.90 3.50 4.40 3.40
C- Organik (%) 0.88 0.69 1.63 1.38
N- Total (%) 0.14 0.10 0.17 0.16
C/N 6 7 10 9
P Bray 1 (mg/kg) 51.89 6.88 7.64 4.61
K-dapat ditukar 0.82 0.02 0.07 0.01
Na (%) 0.46 0.40 0.37 0.36
Ca (%) 6.50 9.02 2.95 3.08
Mg (%) 0.33 1.45 2.64 1.23
KTK (%) 31.07 26.67 19.8 17.66
jml Basa (%0 8.11 10.89 6.04 4.68
Kejenuhan Basa (%) 26 41 30 27
Pasir (%) 17 31 1 1
Debu (%) 55 52 44 53
Liat (%) 28 17 55 46
Tekstur (%)
Lempung
berdebu
Lempung
berdebu
Liat
berdebu
Liat
Berdebu
Tabel 2. Kadar air tanah dan air tersedia di Selokerto, Jatim dan Sambas, Kalbar
Parameter
Pengamatan
Sifat Fisika Tanah
Selokerto, Jatim Sambas, Kalbar
K.Batu 55 Manis Pacitan K.Trigas Siam Ponti
pF 0 (%) 55,00 47,00 57,00 49,00
pF 2 (%) 40,00 38,00 46,00 39,00
pF 2,54 (%) 38,00 37,00 42,00 37,00
pF 4,2 (%) 20,00 21,00 20,00 20,00
Air tersedia 18,00 16,00 22,00 17,00
41. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
65
Gambar 1. Curah hujan rata-rata tahunan di Kabupaten sambas, Kalbar dan
Malang, Jatim pada tahun 2002-2012
Gambar 2. Jumlah hari hujan tahunan di Kabupaten sambas, Kalbar dan Malang,
Jatim pada tahun 2002-2012
Gambar 3. Pola ketersediaan air pada rizozfer perakaran tanaman jeruk tahun
2012
42. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
66
Gambar 4. Curah Hujan, jumlah hujan, temperatur dan evaporasi rata-rata bulanan
tahun 2012 pada dua lokasi penelitian
43. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
67
PEMBAHASAN
Karakteristik Tanah Dari hasil analisa tekstur tanah (Tabel 1) di atas
diketahui bahwa tekstur tanah di kedua lokasi penelitian berbeda. Tanah di lokasi
Selokerto, Jawa Timur memiliki tekstur lempung berdebu dengan dominasi debu,
sedangkan tekstur tanah di lokasi Sambas, Kalbar memiliki tekstur liat berdebu
dengan dominasi liat. Jenis tanah dengan tekstur yang berbeda ini akan
mempunyai kapasitas menahan dan menyediakan air untuk tanaman yang
berbeda. Tanah di Selokerto, Jawa Timur memiliki kandungan kimia tanah (pH,
P, K, Mg, KTK dan Kejenuhan basa) yang berbeda di daerah rhizozfer tanaman
jeruk. Kandungan kimia tanah di daerah perakaran jeruk keprok Batu 55
cenderung lebih tinggi dibandingkan di daerah perakaran jeruk Manis Pacitan.
Hal tersebut disebabkan penggunaan pupuk untuk tanaman jeruk keprok Batu 55
lebih banyak dibanding manis pacitan sehingga residu pupuk yang tertinggal di
tanah lebih besar pada lokasi keprok batu 55. Penggunaan pupuk yang berlebih
dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan pH tanah semakin masam, seperti
terlihat pada pH keprok batu 55 yang lebih rendah dibanding manis pacitan.
Sedangkan di Sambas, Kalimantan Barat, budidaya tanaman jeruk keprok Terigas
dan Siam Pontianak tidak berbeda jauh sehingga sifat kimia dan fisika tanah tidak
ada perbedaan yang signifikan.
Karakteristik Iklim yang Dominan. Berdasarkan data klimatologi yang
diperoleh dari Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG) stasiun
Meteorologi Karang Ploso, Malang, Jawa Timur dan stasiun Meteorologi
Supadio, Kalimantan Barat pada 10 tahun terakhir (2002-2011) menunjukkan
bahwa di dua lokasi tersebut mempunyai pola iklim yang berbeda, terutama untuk
parameter curah hujan. Curah hujan di Sambas, Kalimatan Barat rata-rata lebih
tinggi tiap tahunnya dibandingkan curah hujan di Malang, Jawa Timur. Curah
hujan di kabupaten Sambas, rata-rata antara 300-400 mm/tahun sedangkan di
Malang rata-rata sekitar 100 mm/tahun. Namun pada tahun 2010 terlihat bahwa
terjadi peningkatan curah hujan yang cukup tinggi di Malang hingga dua kali
lipatnya yaitu 250 mm/tahun.
Peningkatan curah hujan dipengaruhi oleh jumlah hari hujan yang terjadi
pada suatu daerah tersebut. Dari Gambar 2 terlihat bahwa jumlah hari hujan di
Sambas juga lebih tinggi dibandingkan di Malang. Namun pada tahun 2010 juga
terlihat adanya perubahan intensitas atau jumlah hujan di wilayah Malang, Jawa
Timur menjadi lebih tinggi dibandingkan di wilayah Sambas, Kalimantan Barat.
Apabila kita lihat kembali data produksi buah jeruk pada tahun tersebut
mengalami kegagalan panen, hal tersebut terjadi salah satunya karena adanya
dampak perubahan iklim terutama untuk anasir curah hujan.
Hubungan Ketersediaan Air pada rhizozfer Tanaman Jeruk dengan
Anasir Perubahan Iklim yang Dominan. Salah satu cekaman yang sering
dialami tanaman adalah defisit air. Defisit air untuk jangka waktu yang pendek
ataupun lama pada umumnya menjadi penyebab utama menurunnya produksi
pertanian karena akan mempengaruhi fisiologi tanaman tersebut. Manajemen air
untuk pertanian dan penggunaan air oleh tanaman selayaknya dioptimalkan. Hal
ini memerlukan pemahaman bagaimana defisit air mempengaruhi pertumbuhan
dan hasil tanaman serta mekanisme yang terjadi di balik itu. Menurunnya
ketersediaan air tanaman akibat pengeringan tanah menyebabkan menurunnya
44. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
68
penyerapan air oleh akar tanaman, dan pada gilirannya akan menurunkan
kandungan air tanaman, potensial air tanaman (status air daun), tekanan turgor
dan konduktivitas stomata, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat dan
tanaman menjadi stress (Kramer, 1988).
Beberapa anasir iklim yang diduga sebagai faktor predominan yang
berpengaruh terhadap kondisi rhizozfer tanaman jeruk antara lain: curah hujan,
jumlah hujan, evaporasi dan temperatur rata-rata. Namun faktor iklim yang
berpengaruh secara langsung terhadap kondisi rizozfer pada tanaman jeruk adalah
curah hujan dan jumlah hujan karena kondisi air dalam tanah akan mempengaruhi
fenologi pembungaan dan pembuahan sehingga kedepannya akan berpengaruh
terhadap jumlah produksi buah tersebut.
Dari gambar 4 diatas terlihat bahwa di Malang, Jawa Timur pada
bulan July hingga September 2012 curah hujan dan jumlah hujan sudah sangat
sedikit atau hampir tidak ada, namun di daerah Sambas justru masih terdapat
hujan yang cukup tinggi diatas 200 mm/bulan. Sedangkan untuk anasir suhu udara
rata-rata tiap bulannya di Sambas lebih tinggi (26,1 -28,1 0
C) namun evaporasinya
terlihat lebih rendah pada bulan Juli – November. Perbedaan pola anasir-anasir
iklim tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi ketersediaan air dalam tanah
dan fenologi pembungaan pada tanaman jeruk.
Selisih antara pF 2,54 dengan pF 4,2 dapat digunakan untuk menentukan
kadar air tersedia bagi tanaman. Perbedaan nilai pF 2,54 dengan pF 4,2 pada
kedua lokasi tersebut diatas adalah (16-18 % volume) untuk lokasi Selokerto,
Jawa Timur dan (17-22 % volume) untuk daerah Sambas, Kalbar. Nilai ini
merupakan kriteria nilai pori air tersedia yang sedang (Table 2).
Dari gambar 3 terlihat pola ketersediaan air berbeda pada daerah rhizozfer
dari keempat varietas jeruk yang diamati. Kadar air aktual tanah di daerah
rhizozfer yang ditunjukkan dengan kadar lengas tanah pada jeruk varietas keprok
Trigas dan Siam Pontianak untuk wilayah Kalimantan Barat menunjukkan kadar
lengas tanah yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lengas di
daerah rizozfer pada tanaman jeruk varietas keprok Batu 55 dan manis Pacitan
untuk wilayah Malang, Jawa Timur. Hal ini dikarenakan di wilayah Kalimantan
Barat hujan lebih sering terjadi karena pengaruh iklim di garis khatulistiwa
menyebabkan pola hujan menjadi tidak menentu. Selain itu, kondisi lengas tanah
juga karena dipengaruhi oleh pasang surut sehingga tanaman jeruk lebih sering
terendam air (kondisi jenuh air). Sedangkan untuk wilayah Malang, Jawa Timur
hujan baru turun pada akhir bulan Oktober sehingga pola ketersediaan air
meningkat mulai bulan Oktober. Kondisi lengas tanah pada daerah rizozfer
tanaman jeruk keprok batu 55 cenderung lebih rendah daripada di daerah rizozfer
tanaman jeruk Manis Pacitan. Hal ini menjelaskan bahwa varietas tanaman jeruk
juga berpengaruh terhadap kondisi kelengasan tanah disekitarnya. Jeruk keprok
Batu 55 cenderung menyerap air yang lebih banyak dibandingkan dengan jeruk
Manis Pacitan pada bulan Juli.
Tanah-tanah dengan kandungan air yang sama belum tentu memiliki
kemampuan menyediakan air untuk tanaman dalam jumlah yang sama. Hal ini
karena penyerapan air oleh tanaman lebih dipengaruhi oleh potensial air tanah
daripada kandungan air tanah (Ali et al., 1999). Baik potensial maupun
kandungan air pada suatu profil tanah tidak akan seragam sehingga diduga hal ini
akan mempengaruhi adaptasi tanaman terhadap kekeringan. Dari hasil