1. MAKALAH
MUZARA'AH DAN MUSAQAH
DI SUSUN OLEH
KELOMPOK
ANDI NABILA
ALDY GALANG SAMUDRA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMASI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP YAPIS DOMPU
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyesaikan makalah yang berjudul
“Belajar Mengajar ”
Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang Belajar
Mengajar. kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu kami sangat mengharap kritik dan saran dari para pembaca untuk
melengkapi segala kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu selama proses penyusunan makalah.
Dompu, 26 Oktober 2023
Penulis
3. iii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL...................................................................................
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 2
2.1. Muzara’ah .......................................................................................... 2
2.2 Musaqah............................................................................................. 7
BAB III PENUTUP........................................................................................ 13
3.1. Kesimpulan ........................................................................................ 13
3.2. Saran .................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………......14
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling
membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka
bumi ini sebagai sumber ekonomidalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad
mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi
kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas tiga
diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Musaqah,
Mukhabarah, dan Muzara’ah. Karena di dalam pembahasan ini terdapat
suatu hikmah untuk kehidupan sosial.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari
muzara’ah?
2. Apa pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari
musaqah?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta
hikmah dari muzara’ah.
2. Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta
hikmah dari musaqah.
5. 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Muzara’ah
1. Pengertian muzara’ah
Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama dibidang pertanian
antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap. Secara terminologi,
terdapat beberapa definisi muzara’ah yang dikemukakan oleh ulama fiqh,
yakni:
a. Menurut Ulama Malikiyah mendefinisikan: Perserikatan dalam
pertanian.
b. Ulama Hanabilah mendefinisikan: Penyerahan tanah pertanian
kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.
c. Imam syafi’I mendefinisikan: Pengolahan tanah oleh petani dengan
imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan
penggarap tanah.
Dalam mukharabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh
penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzara’ah, bibit yang akan ditanam
boleh dari pemilik.
Jadi, muzara’ah itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan
penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut
kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik
tanah. Bila dalam kerjasama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara
khusus kerja sama ini disebut al-mukharabah.
Antara muzara’ah dan musaqah terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya ialah kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil.
Adapun perbedaannya ialah didalam musaqah tanaman telah ada tetapi
memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Di dalam
musaqah tanaman telah ada tetapi, memerlukan tenaga kerja untuk
memeliharanya. Di dalam muzara’ah, tanaman di tanah belum ada,
tanahnya masih harus digarap dahulu oleh penggarapnya.
6. 3
Kerja sama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama
fiqih hukumnya mubah (boleh). Dasar kebolehannya itu, disamping dapat
dipahami dari keumuman firman Allah yang menyuruh saling menolong,
juga secara khusus hadist Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari
yang mengatakan: “Bahwasanya Rasulullah SAW, memperkerjakan
penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa
yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”. (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i).
2. Dasar hukum muzara’ah
Dasar hukum Mukhabarah ini sama dengan dasar hukum yang
digunakan dalam Muzara’ah karena memang pada dasarnya keduanya tidak
memiliki perbedaan yang mendasar kecuali asal benihnya. Namun terdapat
perbedaan pendapat antar ulama terkait mukhabarah ini. dalam Fiqih Islami
dijelaskan terdapat beberapa ulama yang membolehkan, tapi ada juga yang
melarang. Ulama yang melarang mukhabarah ini beralasan pada hadits
dalam kitab hadits Bukhari dan Muslim, diantaranya: “Rafi’ bin Khadij
berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah
kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian
untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu
berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah
Saw. Melarang paroan dengan cara demikian”. (HR.Riwayat Bukhari).
Sedangkan ulama yang memperbolehkan mukhabarah ini diperkuat
pendapatnya oleh Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khattabi; mereka dikatakan
telah mengambil alasan dari hadis Ibnu Umar sebagai berikut: “Dari Ibnu
Umar, “sesungguhnya Nabi Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka
akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari
hasil pertahunan (palawija).” (HR.Riwayat Muslim)
Dalam Fiqhul Islami dijelaskan bahwa hadis yang melarang ini
dimaksudkan apabila penghasilan dari sebagian tanah diharuskan menjadi
milik salah seorang diantara keduanya (pemilik tanah atau penggarap).
Karena orang-orang pada masa dahulu memarokan tanah dengan syarat
7. 4
akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur,
persentase bagian masing-masing pun tidak diketahui. Keadaan inilah yang
dilarang oleh Rasulullah lantaran pekerjaan yang demikian bukanlah
dengan cara adil dan insaf. Dalam Fiqih Islami tersebut pun juga
menegaskan bahwa pendapat tersebut dikuatkan dengan alasan bila
dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak.
Zira’ah merupakan salah satu bentuk kerja (buruh) dan pemiik
tanah. Dalam banyak kasus, pihak buruh memiliki keahlian mengolah tanah
namun tidak memiliki tanah. Dan ada pemilik tanah yang tidak memiliki
keahlian dalam mengelola tanah tersebut. Oleh karena itu, islam
mensyariahkan zira’ah sebagai upaya mempertemukan kepentingan dua
belah pihak.
Praktek muzara’ah model tersebut pernah dilakukan oleh Rasulillah
dan para sahabat setelahnya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah saw. memperkerjakan penduduk Khaibar dengan
upah sebagian dari biji-bijian dan buah-buahan yang bisa dihasilkan tanah
Khaibar.
Muhamad Bakhir bin Ali bin Husain r.a, berkata, “ tidak seorang pun dari
kaum Muhajirin dan Madinah, kecuali mereka menjadi petani dengan
mendapatkan hasil sepertiga atau seperempat. Dan Ali r.a, Said bin Malik,
Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu
Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, semua bekerja dalam
bidang pertanian.” (HR Bukhari)
Dalam kitab al-Mughni disebutkan, “pekerjaan tersebut sangat
popular Rasulullah saw. sendiri mengerjakanya hingga tiba wafatnya,
kemudaian pula dilakukan oleh para khalifahnya sampai mereka meninggal
dunia, kemudian keluarga mereka, dan sesudah mereka”.
Di Madinah, tidak ada seorang penghuni rumah yang tidak
melakukan praktek tersebut, termasuk Istri-Istri Nabi saw. Tradisi tersebut
tidak boleh dihapuskan, karena penghapusan hanya berlaku pada masa
kehidupan Rasulullah saw. Adapun sesuatu yang telah ia kerjakan hingga
berpulang kerahmatullah, kemudaian dilakukan oleh khalifah-khalifah
8. 5
sesudahnya, para sahabat sepakat melakukan, dan tidak seorang pun yang
tidak turut serat melakukanya, tiadak mungkin untuk dihapus.
Apabila muzara’ah telah dihapuskan pada masa hidup Rsulullah,
bagai mana mungkin orang-orang sesudahnya masih tetap
mempraktekanya. Dan bagai mana mungkin penghapusan atas praktek itu
disembunyikan dan para khalifah tidak menyampaikanya di tengah-tengah
populernya kisah Khibar yang merupakan engalaman pribadi mereka.
3. Rukun muzara’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad muzara’ah mengemukakan rukun
dan syarat yang harus dipenuhi, sehinggah akad dianggap sah. Rukun
muzara’ah menurut mereka sebagai berikut:
a. Pemilik tanah
b. Petani penggarap
c. Obejek al–muzarah’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja
petani
d. Ijab dan Kabul
4. Syarat muzara’ah
Adapun syarat- syarat muzara’ah, menurut jumhur ulama sebagai
berikut:
a. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah
balig dan berakal.
b. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas,
sehinggah benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
c. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:
1) Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap
dan menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering
sehinggah tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah
pertania, maka akad muzara’ah tidak sah.
2) Batas – batas tanah itu jelas.
3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk
digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut
mengelolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.
9. 6
d. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai
berikut:
1) Pembagian hasil panen bagi masing – masing pihak harus
jelas.
2) Hasil itu benar – benar milik bersama orang yang berakad
tanpa boleh ada pengkhususan.
3) Pembagian hasil panen itu ditentukan : setengah, sepertiga,
atau seperempat, sejak daria awal akad, sehingga tidak
timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya
tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak,
seperti satu kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena
kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah itu atau
dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
e. Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan
dalam akad sejak semula, karena akad muzara’ah mengandung
makna akad al-ijarah (sewa–menyewa atau upah–mengupah)
dengan imbalan sebagai hasil panen. Oleh sebab itu, jangka
waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya
disesuaikan dengan adat setempat.
Untuk obyek akad, jumhur ulama yang memperbolehkan al
– muzara’ah, masyarakat juga harus jelas, baik berupa jasa petani,
sehinggah benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik
tanah,maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dadri petani.
5. Hikmah muzara’ah
Ada beberapa hikmah muzara’ah diantaranya adalah
a. Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik
tanah dengan penggarap.
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki
kemampuan bertani, tetapi tidak memiliki tanah garapan.
10. 7
2.2 Musaqah
1. Pengertian musaqah
Secara etimologi, musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang
oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara terminologi,
musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqih sebagai berikut:
a. Menurut Abdurrahman al-jaziri,musaqah ialah: Akad untuk
pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang lainnya
dengan syarat-syarat tertentu.
b. Menurut Ibn ‘Abidin yang dikutip Nasrun Haroen, musaqah ialah:
Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat
dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil
kebun itu.
c. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan,musaqah ialah: Memperkerjakan
petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja
dengan cara mengairi dan merawatnya, dan hasilkurma atau anggur
itu dibagi bersama antara pemilik dan petani yang menggarap.
Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama
antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itiu
dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
Kemudian, sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan
hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang
mereka buat.
Kerja sama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan mengupah
tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya
adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum
tentu.
Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqah yaitu boleh atau
mubah, berdasarkan sabda Rasullullah saw yang artinya: “Dari Ibnu Umar,
sesungguhnya Nabi saw. telah memberikan kebun beliau kepada penduduk
Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan
memperoleh dari pengahasilannya, baik dari buah–buahan maupun hasil
tanamannya”. ( HR. Muslim ).
11. 8
Al-musaqah berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena
pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari
sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
Menurut Istilah Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada
orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon
masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.
Menurut ahli fiqih adalah menyerahkan pohon yang telah atau belum
ditanam dengan sebidang tanah, kepada seseorang yag menanam dan
merawatnya di tanah tersebut (seperti menyiram dan sebagainya hingga
berbuah). Lalu pekerja mendapatkan bagian yang telah disepakati dari buah
yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk pemiliknya.
2. Dasar hukum musaqah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum
musaqah adalah:
a. Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan
kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka
dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan,
baik dari buah–buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)”
(H.R Muslim).
b. Dari Ibnu Umar: “Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon
kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar
mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW
mendapatkan setengah dari buahnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah sahih adalah:
a. Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon
diserahkan kepada penggarap, sedang biaya yang diperlukan dalam
pemeliharaan dibagi dua.
b. Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak
mendapatkan apa-apa.
d. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak.
e. Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur.
12. 9
f. Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati.
g. Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain
kecuali jika di izinkan oleh pemilik.
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang
telah ditetapkan syara’. Menurut ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a. Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad.
b. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
c. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
d. Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan pada penggarap.
e. Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian.
f. Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis
waktu akad.
g. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
h. Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi
lagi kepada penggarap lainnya.
3. Rukun musaqah
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam
akad musaqah adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan, Kabul dari petani
penggarap, dan pekerjaan dari pihak penggarap.Adapun Jumhur ulama fiqh
yang terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendirian
bahwa rukun musaqah ada lima, yaitu:
a. Dua orang atau pihak yang melakukan transaksi.
b. Tanah yang dijadika obyek musaqah.
c. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.
d. Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah.
e. Shighat (ungkapan) ijab dan Kabul
4. Syarat musaqah
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing
rukun sebagai berikut:
a. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus orang
yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baliq) dan berakal.
13. 10
b. Obyek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai
buah.
Dalam penentuan obyek musaqah ini terdapat perbedaan pendapat
ulama fiqh. Menurut ulama Hanafiyah, yang boleh menjadi obyek musaqah
adalah pepohonan yang berbuah ( boleh berbuah ), seperti kurma, anggur,
dan terong. Akan tetapi, ulama Hanafiyah mutaakhkhirin menyatakan,
musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika
hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah, menyatakan bahwa yang
menjadi obyek musaqah itu adalah tanaman keras dan palawija, seperti
kurma, terong, apel, dan anggur dengan syarat bahwa:
1) Akad musaqah itu dilaksanakan sebelum buah itu layak dipanen.
2) Tenggang waktu yang ditentukan jelas.
3) Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.
4) Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara
tanaman itu.
Menurut ulama Hanabilah, yang boleh dijadikan obyek musaqah
adalah terhadap tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab
itu,musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memiliki buah.
Adapun ulama Syafi’iya berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek
akad musaqah adalah kurma dan anggur saja, sebagaimana sabda
Rasullullah saw: “Rasulullah saw. menyerahkan perkebunan kurma di
Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketentuan sebagian dari hasilnya,
baik buah–buahan mmaupun dari biji – bijian menjadi milik orang Yahudi
itu”.
c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah
akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
d. Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka
bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua,
tiga, dan sebagainya. Menurut Imam Syafi’I yang terkuat, sah melakukan
perjanjian musaqah pada kebun yang telah mulai berbuah, tetapi buahnya
belum dapat dipastikan akan baik (belum matang).
14. 11
e. Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan
transaksi sewa -menyewa agar terhindar dari ketidakpastian.
Menurut para ulama fiqh, akad musaqah berakhir apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b. Salah satu pihak meninggal dunia.
c. Ada unzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan
akad.
Unzur yang mereka maksudkan dalam hal ini diantaranya adalah
petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan
petani penggarap itu sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.
Jika petani yang wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad
itu jiaka tanaman itu boleh dipanen. Adapun jika penilik perkebunan yang
wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak
yang berakad meninggal duniia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih
antara meneruskan atau menghentikannya.
Akan tetapi, ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad musaqah
ialah akad yang boleh diwarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan
tidak boleh dibatalkan karena adanya uzur. Jika petani penggarap
mempunyai uzur, maka harus ditunjuk salah seorang yang bertanggung
jawab untuk melanjutkan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad
musaqah sama dengan akad muzara’ah, akad yang tidak mengikat bagi
kedua belah pihak. Oleh sebab itu, masing-masing pihak boleh saja
membatalkan akad itu. Jika pembatalan akad itu dilakukan setelah pohon
berbuah, maka buah itu dibagi dua antara pemilik kebun dan petani
penggarap, sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.
5. Hikmah musaqah
Ada orang kaya yang memiliki tanah yang ditanami pohon kurma
dan pohon–pohon yang lain, tetapi di tidak mampu menyirami (memelihara)
pohon ini karena ada suatu halangan yang menghalanginya. Maka Allah
Yang Maha Bijaksana meperbolehkan orang itu untuk mengadakan suatu
perjanjian dengan orang yang dapat menyiraminya, yang masing-masing
15. 12
mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada dua
hikmah:
1. Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang – orang miskin
sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.
2. Saling tukar manfaat antar manusia.
Disamping itu, ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu karena
pemelihara telah berjasa merawat hingga pohon menjadi besar. Kalau
seandainya pohon itu dibiarkan begitu saja tanpa disirami, tentu dapat mati
dalam waktu singkat. Belum lagi faedah dari adanya ikatan cinta, kasih
saying, antara sesama manusia, maka jadilah umat ini umat yang bersatu
dan bekerja untuk kemaslahatan, sehingga apa yang diperoleh mengandung
faedah yang besar.
16. 13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Muzara’ah adalah kerja sama dibidang pertanian antara pihak
pemilik tanah dan petani penggarap. Dasar hukum muzara’ah yaitu
berdasarkan hadits riwayat bukhari dan muslim. Rukun muzara’ah
ada empat, yakni: pemilik tanah, Petani penggarap, Objek al–
muzarah’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani serta
yang terakhir ijab dan Kabul. Syarat muzaraa’ah menyangkut empat
aspek yakni syarat orang, syarat benih, syarat tanah, syarat hasil, dan
syarat waktu.
2. Musaqah adalah transaksi dan pengairan. Dasar hukum musaqah
berbeda-beda oleh beberapa ulama. Rukun musaqah ada lima,
yaitu: dua orang atau pihak yang melakukan transaksi, tanah yang
dijadika obyek musaqah, jenis usaha yang akan dilakukan petani
penggarap, ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah, shighat
(ungkapan) ijab dan kabul. Syarat musaqah ada lima aspek yakni:
syarat orang, syarat objek, syarat tanah, syarat hasil, syarat waktu.
3.2 Saran
Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam II ini,
diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah
Agama Islam II. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami menerima
kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas
selanjutnya lebih baik lagi.
17. 14
DAFTAR PUSTAKA
Sabbiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet.ke-1, hal 93
http//120214/muslim-education/muamalah-fiqih/pengertian.Muzara’ah.co.id (diunduh pada
selasa,24 maret 2015, 12:36 WIB).
http//120214/muslim-education/muamalah-fiqih/pengertian.Muzara’ah.co.id (diunduh pada
selasa,24 maret 2015, 12:36 WIB).
Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1, hal 190.
Sabbiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet.ke-1, hal 96
http://ifuddream.blogspot.com/2016/01/makalah-muzaraah-dan-musaqah.html