SlideShare a Scribd company logo
1 of 16
1
NAMA KELOMPOK
1. SamrotulFitria (932211009)
2. AinunZahro (932208509)
3. Khotib (932202911)
4. Eriza Devi M. (923303111)
MUZARA’AH, MUKHOBAROH DAN MUSAQOH
1. MUZARA’AH ( )
A. Pengertian Muzara’ah
Secara etimologis, muzara’ah( ) adalah wazan dari
kata yang sama artinya dengan yang mempunyai makna
menumbuhkan. Muzara’ah dinamai pula dengan al-mukhabarah dan
muhaqalah.1
Akan tetapi, ulama‟ Syafi‟iyah membedakan antara muzara’ah
dan mukhabarah.
Artinya:
“Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang
dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah,
sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik
tanah.”
Secara terminologis, muzara’ah adalah akad transaksi
pengolahan tanah atas apa yang dihasilkan olehnya. Maksudnya,
pemberian hasil pengolahan lahan tanah untuk orang yang
mengerjakannya, seperti mendapat bagian hasil setengah, sepertiga atau
lebih tinggi dan rendah, sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah
pihak (petani dan pemilik tanah).2
1. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 205.
2. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid IV (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), 193.
2
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa muzara’ah adalah
suatu kerja sama dalam bidang bercocok tanam yang mempertemukan
kepentingan kedua belah pihak (penggarap dan pemilik tanah),
sedangkan benih berasal dari pemilik tanah. Adapun keuntungan yang
didapatkan dari kerja sama tersebut dibagi dua sesuai dengan
kesepakatan yang dilakukan ketika akad transaksi.
Hal yang membedakan antara muzara’ah dan mukhabarah
terletak pada benih. Pada muzara’ah benih berasal dari pihak pemilik
tanah, sedangkan pada mukhabarah benih berasal dari penggarap.
B. Landasan Hukum Muzara’ah
Muzara’ah merupakan salah satu bentuk kerja sama antara
pekerja dan pemilik tanah. Dalam banyak kasus, pihak pekerja memiliki
keahlian mengolah tanah, namun ia tak memiliki tanah. Dan di segi lain
ada pemilik tanah yang tidak memiliki kecakapan dalam mengolah tanah
tersebut. Oleh karena itu, Islam mensyariatkan muzara’ah sebagai suatu
upaya untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak.
Praktek muzara’ah tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah
dan para sahabat setelahnya. Bukhari meriwayatkan dalam sebuah
hadits3
:
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Ubaidullah berkata, telah
menceritakan kepada saya Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma
berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan orang untuk
3.Kitab 9 Imam (offline / online: www.lidwa.com) Shahih Bukhari no. 2161.
3
memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya
berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.”
C. Bantahan Atas Larangan Muzara’ah
Pada sebuah hadits yang diriwayatkan Rafi‟ bin Khadij
disebutkan bahwa Rasulullah telah melarangnya. Hal tersebut dibantah
oleh Zaid bin Tsabit, “Pelarangan tersebut dilakukan untuk
menyelesaikan suatu kasus perselisihan.” Lalu ia melanjutkan, “Semoga
Allah mengampuni Rafi‟ bin Khadij. Demi Allah, aku ini lebih
mengetahui tentang hadits dari dirinya.”
46
.
Berdasarkan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa pelarangan
tersebut sebenarnya merupakan bentuk penyelesaian kasus dua orang
kaum Anshar mendatangi Rasulullah yang nyaris saling membunuh.
Lalu Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka:
“Jika begini keadaan kalian, maka janganlah kalian ulangi lagi
melakukan muzara’ah.”
Sedangkan Rafi‟ hanya mendengar kalimat,
“Maka jangan kalian ulangi lagi melakukan muzara’ah.”
4.Kitab 9 Imam (offline / online: www.lidwa.com) Sunan Abu Dawud no. 3392.
4
Ibnu Abbas pula membantah atas apa yang disebutkan oleh Rafi‟.
Ia menjelaskan, “Sesungguhnya larangan tersebut bertujuan agar berbuat
yang lebih baik untuk mereka.” Ia lalu menceritakan sesungguhnya
Rasul tidak mengharamkan muzara’ah, akan tetapi beliau
memerintahkan agar sesama manusia saling tolong menolong, dengan
sabdanya:
“Barang siapa yang memiliki tanah, hendaknya ia menanaminya
atau ia berikan (penggarapannya) kepada saudaranya. Jika enggan,
maka ia sendiri harus menggarap tanahnya sendiri.”5
D. Syarat-Syarat dan Rukun Muzara’ah
1. Syarat-Syarat Muzara’ah
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah),
berpendapat bahwa muzara’ah memiliki beberapa syarat 6
:
a. Syarat Aqid
1) Mumayyiz, tetapi tidak disyari‟atkan baligh.
2) Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi
ulama‟ Hanafiyah tidak mensyaratkannya.
b. Syarat tanaman
Di antara para ulama‟ terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan
menganggap lebih baik jika diserahkan kepada penggarap.
c. Syarat dengan garapan
1) Memungkinkan untuk digarap, yakni apabila ditanami, tanah
tersebut akan menghasilkan.
2) Jelas.
3) Ada penyerahan tanah.
5.Kitab 9 Imam (offline / online: www.lidwa.com) Shahih Bukhari, no. 2216.
6. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, 208.
5
d. Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan
1) Jelas ketika akad.
2) Diharuskan atas kerja sama dua orang yang akad.
3) Ditetapkan ukuran di antara keduanya, seperti sepertiga, setengah,
dan lain-lain.
4) Hasil dari tanaman harus menyeluruh di antara dua belah pihak
yang akan melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi
salah satunya mendapatkan sekadar pengganti benih.
e. Tujuan akad
Akad dalam muzara‟ah harus didasarkan pada tujuan syara‟ yaitu untuk
memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.
f. Syarat muzara‟ah
Dalam muzara‟ah diharuskan menetapkan jangka waktu. Jika waktu
tidak ditetapkan, muzara‟ah dipandang tidah sah.
Selain syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, hendaknya
dalam akad perjanjian muzara’ah dibuat kesepakatan hitam di atas putih
agar suatu saat nanti tidak ada perselisihan atau problem yang membuat
akad tersebut fasid. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah:
282 yang berbunyi:7
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu
menuliskannya, dan hendaklah penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar”.
7. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Aneka Ilmu, 2008), 59.
6
2. Rukun Muzara’ah
Ulama‟ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun muzara’ah adalah
ijab dan qabul yang menunjukkan keridhaan di antara keduanya.
Sedangkan ulama‟ Hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah dan
musaqah tidak memerlukan qabul secara lafadz, akan tetapi dengan
mengerjakan tanah. Hal itu sudah dianggap qabul.
E. Penghabisan Muzara’ah
Beberapa hal yang menyebabkan akad muzara’ah putus adalah:
1. Habis masa perjanjian muzara’ah.
2. Salah satu pihak meninggal.
3. Adanya uzur. Menurut ulama‟ Hanafiyah, di antara uzur tersebut
yaitu:
a. Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar
utang.
b. Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di
jalan Allah, dan lain-lain.
F. Muzara’ah Fasid
Di atas telah dijelaskan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah
memberikan tanah (untuk digarap) kepada orang yang akan
menanaminya dengan catatan bahwa ia akan mendapatkan bagian dari
hasilnya seperdua, sepertiga, atau seberapa sesuai dengan kesepakatan
ketika akad.
Jika bagiannya ditentukan dalam jumlah tertentu dari hasil tanah
atau ditentukan berdasarkan hasil luas tententu yang hasilnya menjadi
miliknya, sedangkan sisanya untuk penggarap atau dipotong
secukupnya, maka dalam keadaan seperti ini muzara’ah dianggap fasid
karena mengandung unsur gharar (penipuan) dan dapat memicu
perselisihan.
7
2. MUKHOBARAH ( )
A. Pengertian Mukhabarah
Menurut ulama Syafi‟iyah pengertian dari mukhabarah ialah
mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang
mengerjakan.8
Dalam hal ini definisi antara mukhobarah dengan
muzaro‟ah hampir sama. Yaitu pemilik tanah sama-sama menyerahkan
tanahnya kepadaorang lain untuk dikelola. Hanya saja kalau biaya
pengerjaanya dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan tanah
disebut mukhobaroh. Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung oleh si pemilik tanah disebut muzaro‟ah.
B. Dasar Hukum Mukhabarah
Terkait dengan hukum mukhobarah, ada sebagian ulama‟ yang
membolehkan dan ada sebagian ulama‟ yang tidak membolehkan.Adapun
dalil dasar yang membahas tentang hukum muzaroah dan mukhobaroh
yaitu9
:
Artinya:
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak
mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah
untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang
sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh
karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara
demikian.(HR.Bukhari)
8. Imam assayid al bakri, I’anatutholibin jus 3, surabaya, al hidayah,126.
9. http://warungekonomiislam.blogspot.com/2012/11/musaqah-muzaroah-mukhabarah.html.
8
(
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun
kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian
mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan
maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Dua Hadits di atas adalah hadits yang dijadikan pijakan ulama untuk
menghukumi kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara‟ah dan
mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang
beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari. Sedangkan ulama
yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara‟ah
ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir,
imam assubki dan Khatabbi, mereka mengambil alasan Hadits Ibnu Umar
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas.
Sedangkan pendapat dari Jumhurul Ulama‟ adalah membolehkan
aqad musaqah, muzara‟ah, dan mukhabarah, karena selain berdasarkan
praktek nabi dan juga praktek sahabat nabi yang biasa melakukan aqad bagi
hasil tanaman, juga karena aqad ini menguntungkan kedua belah pihak.
Menguntungkan karena bagi pemilik tanah/tanaman terkadang tidak
mempunyai waktu dalam mengolah tanah atau menanam tanaman.
Sedangkan orang yang mempunyai keahlian dalam hal mengolah tanah
terkadang tidak punya modal berupa uang atau tanah, maka dengan aqad
bagi hasil tersebut menguntungkan kedua belah pihak, dan tidak ada yang
dirugikan. 10
10. http://muhsinf4.blogspot.com/2012/05/muzaroah-mukhobaroh-dan-musaqoh.html.
9
C. Syarat Dan Rukun Mukhobaroh
 Rukun Mukhabarah Menurut jumhur ulama ada empat11,
yaitu:
1. Pemilik Tanah
2. Petani penggarap
3. Obyek mukhabarah
4. Ijab dan qobul, keduanya secara lisan.
 Ada beberapa syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
1. Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
2. Benih yang ditanam harus jelas dan menghasilkan.
3. Lahan merupakan lahan yang menghasilkan jelas batas-batasnya
dan diserahkan sepenuhnya kepada pengelola.
4. Pembagian untuk masing-masing haarus jelas penentuanya.
5. Jangka waktu harus jelas.
 Akhir penghabisan mukhobarah, yaitu:
a. Habis masanya
b. Salah seorang yang aqad meninggal
c. Adanya udzur. Menurut ulama hanafiyah, diantara udzur
yang menyebabkan batalnya muzaro‟ah atau mukhobaroh antara
lain:
- Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar
hutang.
- Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad
dijalan Allah SWT, dll.
D. Hikmah Mukhobarah
 Adapun hikmah dari adanya mukhobarah antara lain:
1. Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara
pemilik tanah dengan petani penggarap.
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
11. http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2140642-mukhabarah/#ixzz2RBPVfiml.
10
3. Tertanggulanginyakemiskinan.
4. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutamabagi petani yang
memiliki kemampuan bertani akan tetapi mereka tidak memiliki tanah
garapan.
3. MUSAQAH (Paron kebun)
A. Pengertian musaqah
Musaqah adalah penyerahan tanaman oleh seseorang kepada
orang lain, supaya dia menyiraminya dan hal-hal lain yang dibutuhkan
seperti menjaganya, dimana ia nanti harus memberinya bagian tertentu
dari apa yang keluar dari tanaman tersebut.12
Adapun pengertian lain
dari musaqah adalah penyerahan pohon yang telah tertanam atau yang
belum tertanam dengan lahannya kepada orang yang sanggup
menanamnya dilahan itu dan menyiraminya serta memenuhi kebutuhan
tanaman yang lainnya hingga berbuah kemudian orang yang bekerja itu
mendapatkan bagian tertentu dari buah pohon itu dan sisanya untuk
pemilik pohon.13
Musaqah ini merupakan suatu bentuk tolong menolong dimana
seseorang tidak bisa mengurus tanahnya sendiri karena lemah, area
tanah yang cukup luas, atau banyaknya tanaman. Namun, untuk
melakukan musaqah ini kedua orang tersebut harus saling
menguntungan, tidak hanya menguntungkan satu pihak lain. Pekerja
wajib mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan untuk kebaikan buah dan
peningkatan produksi setiap tahun. Sedangkan kewajiban pemilik tanah
mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan untuk kebaikan pohon, misalnya
membuat pagar, menggali sumur, membuat saluran pengairan dari
sungai dan lain lain.
12. Muhammad Rawwas Qal-ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khathab ra(Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1999), 384.
13. Rasyid Abdu Bawazier, Ringkasan fikih Lengkap(Jakarta: Darul Falah, 2005), 625.
11
B. Hukum diperbolehkannya musaqah
Dalil yang menunjukkan bahwa diperbolehkan musaqah dan
muzaraah adalah hadits sahih ibnu umar r.a. yang berbunyi
Artinya:
“Rasulullah Saw. Menyerahkan kepada orang-orang Yahudi
Khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengan syarat mereka
menggarapnya dari harta mereka, dan bagi Rasulullah adalah separuh
dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Musaqah menurut para ulama mempunyai kesimpulan yang
berbeda, pertama, musaqah bersifat mengikat, tujuannya adalah untuk
menghindari kesulitan dan kerugian dari kedua belah pihak. Sementara itu,
ulama yang berpendapat boleh (tidak mengikat) juga membolehkan
pembatasan waktu tertentu. Oleh karena itu, pendapat pertama lebih baik
karena dapat merealisasikan tujuan dan kerelaan kedua belah pihak.14
Para ahli fikih telah menyebutkan bahwa untuk sahnya musaqah
dipersyaratkan agar pohon yang disirami bisa menghasilkan buah yang
bisa dimakan. Tidak sah jika pada pohon yang tidak berbuah, atau berbuah
tetapi tidak bisa dimakan karena yang demikian itu tidak masuk dalam
teks dalil.
C. Rukun musaqah
1. Baik pemilik kebun maupun tukang kebun (yang mengerjakan),
keduanya hendaklah orang yang sama-sama berhak ber-tasarruf
(membelanjakan) harta keduanya.
14.Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4
Madzab(Yogyakarta:Maktabah Al-Hanif,2009), 305.
12
2. Kebun, yaitu semua pohon yang berbuah, boleh diparokan,
demikian juga hasil pertahun (palawija) boleh pula diparokan. Yang
dimaksud dengan “hasil pertahun” atau palwija ialah semua tanaman yang
hanya berbuah satu kali; jagung dan sebagainya. Tanaman ini kita bedakan
dengan buah-buahan yang lain karena hukumnya sering berbeda.
3. Pekerjaan. Hendaklah ditentukan masanya, misalnya satu tahun
dua tahun atau lebih, sekurang-kurangnya kira-kira menurut kebiasaan
dalam masa itu kebun sudah mungkin berbuah. Pekerjaan yang wajib
dikerjakan tukang kebun ialah semua pekerjaan yang bersangkutan dengan
penjagaan dengan kerusakan dan pekerjaan (perawatan yang berfaedah)
untuk buah, seperti menyiram, merumput dan mengawinkannya.
4. Buah. Hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya
kebun dan tukang kebun), misalnya seperdua, spertiga, atau beberapa saja
asal berdasarkan kesepakatan keduanya pada waktu akad.
5. Tempat Bagi Hasil
Beberapa fuqaha berselisih mengenai tempat bagi hasil.Menurut Dawud,
bagi hasil hanya untuk pohon kurma saja.Menurut syafi‟i hanya untuk
pohon kurma dan anggur saja, dasar imam syafi‟i membolehkan bagi hasil
pada anggur dan kurma adalah karena penentuan bagi hasil itu melalui
taksiran atas tangkai. Dalam hadist Utab bin Usaid r.a disebutkan, tentang
penentuan melalui taksiran atas tangkai pada pohon kurma dan anggur,
meskipun hal ituberkenan dengan zakat. Maka seolah-olah syafi‟i
mengqiyaskan bagi hasil itu pada pohon-pohon tersebut dengan zakat.
Hadist riwayat Utab bin Usaid r.a. tersebut adalah:
------
“Rasulullah Saw. Mengutus Utab dan menyuruhnya untuk menaksir
anggur di tangkainya, kemudian zakatnya dikeluarkan berupa
zabib(anggur kering), zakat kurma juga dikeluarkan berupa kurma kering
(tamar).” (HR. Abu Dawud)
13
Jumhur ulama memperbolehkannya, karena dengan alasan, meski pihak
penggarap tidak berkewajiban menyirami, tetapi ia masih mempunyai
tugas-tugas lainnya, seperti memelihara, menyirami dan lain-lain.
6. Pekerjaan
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai siapa yang harus menanggung
pemotongan atau pemetikan, menutup pagar, dan membersihkan saluran
air serta saniya(alat untuk menaikkan air). Menurut imam syafi‟i, menutup
pagar tidakk menjadi kewajiban pihak penggarap. Karena tanggung jawab
tersebut tidak termasuk dalam jenis perbuatan yang menambahkan hasil
buah, seperti pada pembuahan dan penyiraman. Sedangkan menurut
muhammad bin al-Hasan, pihak penggarap tidak berkewajiban
membersihkan saniyah dan parit-parit.
7. Pembagian
Fuqaha sependapat dalam akad bagi hasil dapat dilakukan dengan setiap
bagian buah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sebagian besar
ulama berpendapat bahwa pembagian hasil buah antara penggarap dengan
pemilik kebun harus menggunakan takaran. Demikian pula dalam
perseroan, dan tidak boleh hanya berpedoman taksiran angka semata,
tetapi sebagian fuqaha membolehkan pembagian melalui taksiran.15
8. Waktu dalam Akad Bagi Hasil.
Terdapat dua macam mengenai persyaratan waktu dalam akad bagi hasil,
yakni waktu yang diisyaratkan begi kebolehan akad bagi kebolehan akad
bagi hasil dan waktu yang menjadi syarat sahnya akad, yakni yang
menentukan masa akad bagi hasil.
Jumhur fuqaha beralasan bahwa penyiraman buah yang sudah
terlihat matang itu tidak diperlukan lagi, sehingga tidak ada keharusan
15. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, terj: Bidayatul Mujtahid wa Nihyatul Muqtasid,
(Jakarta: Pustaka Akmani, 2007), 136.
14
untuk mengadakan akad bagi hasil, karena buah tersebut sudah bisa dijual
pada waktu itu. Karena itu mereka berpendapat jika akad bagi hasil
berlangsung, berarti itu sewa jasa buruh. Tentang waktu yang menjadi
syarat dalam masa akad bagi hasil, jumhur fuqaha berpendapat bahwa
waktu tersebut harus jelas, yakni waktu tertentu dan bukan waktu
sementara.
D. Syarat –syarat Musaqah
1. Objek musaqah harus dapat diketahui/dilihat dengan mata atau
menjelaskan sifat-sifat yang sebenarnya karena tidak sah transaksi tentang
sesuatu yang tidak diketahui.
2. Pekerja mendapatkan bagian dari hasilnya (buah atau lainnya) yang
berlaku dari hasilnya (buah atau lainnya ) yang berlaku dan diketahui.
3. Masa bekerja si pekerja sudah ditentukan oleh pemilk kebun.
4. Pekerja kebun memelihara perkebunan tanpa dibantu oleh
pemiliknya
E. Objek Musaqah
Musaqah boleh pada semua pohon yang berbuah. Demikian
pendapat Khulafa‟ Rasyidin Radliyatullahu „anhum, Said Ibnu al-
Mussayab, Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad, dan lain lain. Hal ini
karena objeknya pada pohon yang berbuah setiap tahun, maka identik
dengan pohon kurma dan anggur.16
Adapun pohon yang tidak berbuah,
menurut imam Malik dan asy-Syafi‟, tidak boleh menjadi objek Musaqah
karena musaqah itu pembayarannya dengan sebagian buah, sedangkan
pohon yang dikerjakan adalah jenis pohon yang tidak berbuah. Berbeda
dengan pohon yang dimanfaatkan daun atau bunganya, seperti pohon teh
dan bunga mawar. Ibnu Qudamah menyatakan bahwa berdasarkan qiyas,
musaqah dibolehkan padanya karena daun dan bunga itu semakna dengan
16. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4
Madzab. 306.
15
buah, dalam arti dapat berkembang berulang ulang setiap tahun yang dapat
diambil dan dikelola dengan cara musaqah.17
Hal ini berdasarkan riwayat,”Sesungguhnya Nabi Shallallahu
„alaihi wasallam mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separo
hasil yang keluar dari pohon kurma dan pohon (pohon yang berbuah dan
tidak). Di samping itu, pohon yang tidak berbuah sangat dibutuhkan untuk
memproduksi kertas, perkakas rumah tangga dan lain lain. Dengan
demikian diperbolehkan musaqah pada pohon yang tidak berbuah dapat
dimanfaatkan karena menjadia lapangan pekerjaan bagi orang lain.18
Dalam musaqah juga tidak lepas dari permasalahan, jika pekerja
mengklaim bahwa garapannya rusak, klaimnya itu dapat diterima karena
ia orang yang dipercaya. Namun jika dia mengklaim dan dia bersumpah
tapi terbukti berhianat, maka pemilik tanah harus mengganti pekerja
karena sudah tidak dapat dipercaya. Demikian ini pendapat Imam Syafi‟i.
Sementara itu, para sahabat Malik berpendapat bahwa orang lain tidak
boleh menggantikan pekerjaannya, tetapi menjaganya.
REFERENSI
Syafei,Rachmat,Fiqih Muamalah.(Bandung: Pustaka Setia, 2001).
Sabiq,Sayyid,Fiqih Sunnah jilid IV.(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007).
Kitab 9 Imam (offline / online: www.lidwa.com) Shahih Bukhari.
Kitab 9 Imam (offline / online: www.lidwa.com) Sunan Abu Dawud.
17.Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4
Madzab, 306-307.
18. Ibid, 307.
16
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. (Semarang: Aneka Ilmu, 2008).
al Bakri,ImamAssayid, I’anatutholibin jus 3.Surabaya, Al Hidayah.
http://warungekonomiislam.blogspot.com/2012/11/musaqah-
muzaroahmukhabarah.html
http://muhsinf4.blogspot.com/2012/05/muzaroah-mukhobaroh-dan-musaqoh.html
http://id.shvoong.com/humanities/religion-
studies/2140642mukhabarah/#ixzz2RBPVfiml
Qal-ahji,MuhammadRawwas,Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khathab ra. (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 1999).
Bawazier,RasyidAbdu,Ringkasan fikih Lengkap. (Jakarta: Darul Falah, 2005).
Ath-Thayyar,Abdullah bin Muhammad, dkk,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam
Pandangan 4 Madzab. (Yogyakarta:Maktabah Al-Hanif,2009).
Said,Imam Ghazali dan Achmad Zaidun, terj: Bidayatul Mujtahid wa Nihyatul
Muqtasid, (Jakarta: Pustaka Akmani, 2007).

More Related Content

What's hot

Buletin jumat al furqon tahun 01 volume 10 nomor 04 safar menurut tuntunan ro...
Buletin jumat al furqon tahun 01 volume 10 nomor 04 safar menurut tuntunan ro...Buletin jumat al furqon tahun 01 volume 10 nomor 04 safar menurut tuntunan ro...
Buletin jumat al furqon tahun 01 volume 10 nomor 04 safar menurut tuntunan ro...muslimdocuments
 
Polemik tentang (malam) nishfu sya'ban
Polemik tentang (malam) nishfu sya'banPolemik tentang (malam) nishfu sya'ban
Polemik tentang (malam) nishfu sya'banMuhsin Hariyanto
 
Lingkungan
LingkunganLingkungan
LingkunganNely Mus
 
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 09 nomor 03 fiqih jenazah bagian 2
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 09 nomor 03 fiqih jenazah bagian 2Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 09 nomor 03 fiqih jenazah bagian 2
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 09 nomor 03 fiqih jenazah bagian 2muslimdocuments
 
Terjemah 40 Hadits Qudsi
Terjemah 40 Hadits QudsiTerjemah 40 Hadits Qudsi
Terjemah 40 Hadits QudsiWisnu W
 
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 05 nomor 01 dahsyatnya neraka
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 05 nomor 01  dahsyatnya nerakaBuletin jumat al furqon tahun 05 volume 05 nomor 01  dahsyatnya neraka
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 05 nomor 01 dahsyatnya nerakamuslimdocuments
 
Peringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'banPeringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'banMuhsin Hariyanto
 

What's hot (7)

Buletin jumat al furqon tahun 01 volume 10 nomor 04 safar menurut tuntunan ro...
Buletin jumat al furqon tahun 01 volume 10 nomor 04 safar menurut tuntunan ro...Buletin jumat al furqon tahun 01 volume 10 nomor 04 safar menurut tuntunan ro...
Buletin jumat al furqon tahun 01 volume 10 nomor 04 safar menurut tuntunan ro...
 
Polemik tentang (malam) nishfu sya'ban
Polemik tentang (malam) nishfu sya'banPolemik tentang (malam) nishfu sya'ban
Polemik tentang (malam) nishfu sya'ban
 
Lingkungan
LingkunganLingkungan
Lingkungan
 
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 09 nomor 03 fiqih jenazah bagian 2
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 09 nomor 03 fiqih jenazah bagian 2Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 09 nomor 03 fiqih jenazah bagian 2
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 09 nomor 03 fiqih jenazah bagian 2
 
Terjemah 40 Hadits Qudsi
Terjemah 40 Hadits QudsiTerjemah 40 Hadits Qudsi
Terjemah 40 Hadits Qudsi
 
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 05 nomor 01 dahsyatnya neraka
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 05 nomor 01  dahsyatnya nerakaBuletin jumat al furqon tahun 05 volume 05 nomor 01  dahsyatnya neraka
Buletin jumat al furqon tahun 05 volume 05 nomor 01 dahsyatnya neraka
 
Peringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'banPeringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'ban
 

Similar to Fiqh fix2

Similar to Fiqh fix2 (9)

Musaqah & muzara'ah.pptx
Musaqah & muzara'ah.pptxMusaqah & muzara'ah.pptx
Musaqah & muzara'ah.pptx
 
MAKALAH MUZARA'AH DAN MUSAQAH.docxpdf123
MAKALAH MUZARA'AH DAN MUSAQAH.docxpdf123MAKALAH MUZARA'AH DAN MUSAQAH.docxpdf123
MAKALAH MUZARA'AH DAN MUSAQAH.docxpdf123
 
ppt fiqh muamalah (siti nuraini)
ppt fiqh muamalah (siti nuraini)ppt fiqh muamalah (siti nuraini)
ppt fiqh muamalah (siti nuraini)
 
7. prinsip dan landasan dasar produk bank syariah
7. prinsip dan landasan dasar produk bank syariah7. prinsip dan landasan dasar produk bank syariah
7. prinsip dan landasan dasar produk bank syariah
 
Hukum tanah asri
Hukum tanah asriHukum tanah asri
Hukum tanah asri
 
hukum sewa tanah.pptx
hukum sewa tanah.pptxhukum sewa tanah.pptx
hukum sewa tanah.pptx
 
BAGI HASIL (PROFIL SHARING)
BAGI HASIL (PROFIL SHARING)BAGI HASIL (PROFIL SHARING)
BAGI HASIL (PROFIL SHARING)
 
Syariah 2
Syariah 2Syariah 2
Syariah 2
 
Makalah al islam
Makalah al islamMakalah al islam
Makalah al islam
 

Fiqh fix2

  • 1. 1 NAMA KELOMPOK 1. SamrotulFitria (932211009) 2. AinunZahro (932208509) 3. Khotib (932202911) 4. Eriza Devi M. (923303111) MUZARA’AH, MUKHOBAROH DAN MUSAQOH 1. MUZARA’AH ( ) A. Pengertian Muzara’ah Secara etimologis, muzara’ah( ) adalah wazan dari kata yang sama artinya dengan yang mempunyai makna menumbuhkan. Muzara’ah dinamai pula dengan al-mukhabarah dan muhaqalah.1 Akan tetapi, ulama‟ Syafi‟iyah membedakan antara muzara’ah dan mukhabarah. Artinya: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.” Secara terminologis, muzara’ah adalah akad transaksi pengolahan tanah atas apa yang dihasilkan olehnya. Maksudnya, pemberian hasil pengolahan lahan tanah untuk orang yang mengerjakannya, seperti mendapat bagian hasil setengah, sepertiga atau lebih tinggi dan rendah, sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak (petani dan pemilik tanah).2 1. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 205. 2. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid IV (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), 193.
  • 2. 2 Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa muzara’ah adalah suatu kerja sama dalam bidang bercocok tanam yang mempertemukan kepentingan kedua belah pihak (penggarap dan pemilik tanah), sedangkan benih berasal dari pemilik tanah. Adapun keuntungan yang didapatkan dari kerja sama tersebut dibagi dua sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan ketika akad transaksi. Hal yang membedakan antara muzara’ah dan mukhabarah terletak pada benih. Pada muzara’ah benih berasal dari pihak pemilik tanah, sedangkan pada mukhabarah benih berasal dari penggarap. B. Landasan Hukum Muzara’ah Muzara’ah merupakan salah satu bentuk kerja sama antara pekerja dan pemilik tanah. Dalam banyak kasus, pihak pekerja memiliki keahlian mengolah tanah, namun ia tak memiliki tanah. Dan di segi lain ada pemilik tanah yang tidak memiliki kecakapan dalam mengolah tanah tersebut. Oleh karena itu, Islam mensyariatkan muzara’ah sebagai suatu upaya untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak. Praktek muzara’ah tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat setelahnya. Bukhari meriwayatkan dalam sebuah hadits3 : Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Ubaidullah berkata, telah menceritakan kepada saya Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan orang untuk 3.Kitab 9 Imam (offline / online: www.lidwa.com) Shahih Bukhari no. 2161.
  • 3. 3 memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” C. Bantahan Atas Larangan Muzara’ah Pada sebuah hadits yang diriwayatkan Rafi‟ bin Khadij disebutkan bahwa Rasulullah telah melarangnya. Hal tersebut dibantah oleh Zaid bin Tsabit, “Pelarangan tersebut dilakukan untuk menyelesaikan suatu kasus perselisihan.” Lalu ia melanjutkan, “Semoga Allah mengampuni Rafi‟ bin Khadij. Demi Allah, aku ini lebih mengetahui tentang hadits dari dirinya.” 46 . Berdasarkan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa pelarangan tersebut sebenarnya merupakan bentuk penyelesaian kasus dua orang kaum Anshar mendatangi Rasulullah yang nyaris saling membunuh. Lalu Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka: “Jika begini keadaan kalian, maka janganlah kalian ulangi lagi melakukan muzara’ah.” Sedangkan Rafi‟ hanya mendengar kalimat, “Maka jangan kalian ulangi lagi melakukan muzara’ah.” 4.Kitab 9 Imam (offline / online: www.lidwa.com) Sunan Abu Dawud no. 3392.
  • 4. 4 Ibnu Abbas pula membantah atas apa yang disebutkan oleh Rafi‟. Ia menjelaskan, “Sesungguhnya larangan tersebut bertujuan agar berbuat yang lebih baik untuk mereka.” Ia lalu menceritakan sesungguhnya Rasul tidak mengharamkan muzara’ah, akan tetapi beliau memerintahkan agar sesama manusia saling tolong menolong, dengan sabdanya: “Barang siapa yang memiliki tanah, hendaknya ia menanaminya atau ia berikan (penggarapannya) kepada saudaranya. Jika enggan, maka ia sendiri harus menggarap tanahnya sendiri.”5 D. Syarat-Syarat dan Rukun Muzara’ah 1. Syarat-Syarat Muzara’ah Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah), berpendapat bahwa muzara’ah memiliki beberapa syarat 6 : a. Syarat Aqid 1) Mumayyiz, tetapi tidak disyari‟atkan baligh. 2) Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama‟ Hanafiyah tidak mensyaratkannya. b. Syarat tanaman Di antara para ulama‟ terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada penggarap. c. Syarat dengan garapan 1) Memungkinkan untuk digarap, yakni apabila ditanami, tanah tersebut akan menghasilkan. 2) Jelas. 3) Ada penyerahan tanah. 5.Kitab 9 Imam (offline / online: www.lidwa.com) Shahih Bukhari, no. 2216. 6. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, 208.
  • 5. 5 d. Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan 1) Jelas ketika akad. 2) Diharuskan atas kerja sama dua orang yang akad. 3) Ditetapkan ukuran di antara keduanya, seperti sepertiga, setengah, dan lain-lain. 4) Hasil dari tanaman harus menyeluruh di antara dua belah pihak yang akan melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satunya mendapatkan sekadar pengganti benih. e. Tujuan akad Akad dalam muzara‟ah harus didasarkan pada tujuan syara‟ yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah. f. Syarat muzara‟ah Dalam muzara‟ah diharuskan menetapkan jangka waktu. Jika waktu tidak ditetapkan, muzara‟ah dipandang tidah sah. Selain syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, hendaknya dalam akad perjanjian muzara’ah dibuat kesepakatan hitam di atas putih agar suatu saat nanti tidak ada perselisihan atau problem yang membuat akad tersebut fasid. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 282 yang berbunyi:7 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. 7. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Aneka Ilmu, 2008), 59.
  • 6. 6 2. Rukun Muzara’ah Ulama‟ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun muzara’ah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan keridhaan di antara keduanya. Sedangkan ulama‟ Hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah dan musaqah tidak memerlukan qabul secara lafadz, akan tetapi dengan mengerjakan tanah. Hal itu sudah dianggap qabul. E. Penghabisan Muzara’ah Beberapa hal yang menyebabkan akad muzara’ah putus adalah: 1. Habis masa perjanjian muzara’ah. 2. Salah satu pihak meninggal. 3. Adanya uzur. Menurut ulama‟ Hanafiyah, di antara uzur tersebut yaitu: a. Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar utang. b. Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah, dan lain-lain. F. Muzara’ah Fasid Di atas telah dijelaskan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah memberikan tanah (untuk digarap) kepada orang yang akan menanaminya dengan catatan bahwa ia akan mendapatkan bagian dari hasilnya seperdua, sepertiga, atau seberapa sesuai dengan kesepakatan ketika akad. Jika bagiannya ditentukan dalam jumlah tertentu dari hasil tanah atau ditentukan berdasarkan hasil luas tententu yang hasilnya menjadi miliknya, sedangkan sisanya untuk penggarap atau dipotong secukupnya, maka dalam keadaan seperti ini muzara’ah dianggap fasid karena mengandung unsur gharar (penipuan) dan dapat memicu perselisihan.
  • 7. 7 2. MUKHOBARAH ( ) A. Pengertian Mukhabarah Menurut ulama Syafi‟iyah pengertian dari mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.8 Dalam hal ini definisi antara mukhobarah dengan muzaro‟ah hampir sama. Yaitu pemilik tanah sama-sama menyerahkan tanahnya kepadaorang lain untuk dikelola. Hanya saja kalau biaya pengerjaanya dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan tanah disebut mukhobaroh. Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung oleh si pemilik tanah disebut muzaro‟ah. B. Dasar Hukum Mukhabarah Terkait dengan hukum mukhobarah, ada sebagian ulama‟ yang membolehkan dan ada sebagian ulama‟ yang tidak membolehkan.Adapun dalil dasar yang membahas tentang hukum muzaroah dan mukhobaroh yaitu9 : Artinya: Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian.(HR.Bukhari) 8. Imam assayid al bakri, I’anatutholibin jus 3, surabaya, al hidayah,126. 9. http://warungekonomiislam.blogspot.com/2012/11/musaqah-muzaroah-mukhabarah.html.
  • 8. 8 ( Artinya: Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim) Dua Hadits di atas adalah hadits yang dijadikan pijakan ulama untuk menghukumi kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara‟ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari. Sedangkan ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara‟ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, imam assubki dan Khatabbi, mereka mengambil alasan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas. Sedangkan pendapat dari Jumhurul Ulama‟ adalah membolehkan aqad musaqah, muzara‟ah, dan mukhabarah, karena selain berdasarkan praktek nabi dan juga praktek sahabat nabi yang biasa melakukan aqad bagi hasil tanaman, juga karena aqad ini menguntungkan kedua belah pihak. Menguntungkan karena bagi pemilik tanah/tanaman terkadang tidak mempunyai waktu dalam mengolah tanah atau menanam tanaman. Sedangkan orang yang mempunyai keahlian dalam hal mengolah tanah terkadang tidak punya modal berupa uang atau tanah, maka dengan aqad bagi hasil tersebut menguntungkan kedua belah pihak, dan tidak ada yang dirugikan. 10 10. http://muhsinf4.blogspot.com/2012/05/muzaroah-mukhobaroh-dan-musaqoh.html.
  • 9. 9 C. Syarat Dan Rukun Mukhobaroh  Rukun Mukhabarah Menurut jumhur ulama ada empat11, yaitu: 1. Pemilik Tanah 2. Petani penggarap 3. Obyek mukhabarah 4. Ijab dan qobul, keduanya secara lisan.  Ada beberapa syarat dalam mukhabarah, diantaranya : 1. Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal. 2. Benih yang ditanam harus jelas dan menghasilkan. 3. Lahan merupakan lahan yang menghasilkan jelas batas-batasnya dan diserahkan sepenuhnya kepada pengelola. 4. Pembagian untuk masing-masing haarus jelas penentuanya. 5. Jangka waktu harus jelas.  Akhir penghabisan mukhobarah, yaitu: a. Habis masanya b. Salah seorang yang aqad meninggal c. Adanya udzur. Menurut ulama hanafiyah, diantara udzur yang menyebabkan batalnya muzaro‟ah atau mukhobaroh antara lain: - Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang. - Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad dijalan Allah SWT, dll. D. Hikmah Mukhobarah  Adapun hikmah dari adanya mukhobarah antara lain: 1. Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap. 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 11. http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2140642-mukhabarah/#ixzz2RBPVfiml.
  • 10. 10 3. Tertanggulanginyakemiskinan. 4. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutamabagi petani yang memiliki kemampuan bertani akan tetapi mereka tidak memiliki tanah garapan. 3. MUSAQAH (Paron kebun) A. Pengertian musaqah Musaqah adalah penyerahan tanaman oleh seseorang kepada orang lain, supaya dia menyiraminya dan hal-hal lain yang dibutuhkan seperti menjaganya, dimana ia nanti harus memberinya bagian tertentu dari apa yang keluar dari tanaman tersebut.12 Adapun pengertian lain dari musaqah adalah penyerahan pohon yang telah tertanam atau yang belum tertanam dengan lahannya kepada orang yang sanggup menanamnya dilahan itu dan menyiraminya serta memenuhi kebutuhan tanaman yang lainnya hingga berbuah kemudian orang yang bekerja itu mendapatkan bagian tertentu dari buah pohon itu dan sisanya untuk pemilik pohon.13 Musaqah ini merupakan suatu bentuk tolong menolong dimana seseorang tidak bisa mengurus tanahnya sendiri karena lemah, area tanah yang cukup luas, atau banyaknya tanaman. Namun, untuk melakukan musaqah ini kedua orang tersebut harus saling menguntungan, tidak hanya menguntungkan satu pihak lain. Pekerja wajib mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan untuk kebaikan buah dan peningkatan produksi setiap tahun. Sedangkan kewajiban pemilik tanah mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan untuk kebaikan pohon, misalnya membuat pagar, menggali sumur, membuat saluran pengairan dari sungai dan lain lain. 12. Muhammad Rawwas Qal-ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khathab ra(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), 384. 13. Rasyid Abdu Bawazier, Ringkasan fikih Lengkap(Jakarta: Darul Falah, 2005), 625.
  • 11. 11 B. Hukum diperbolehkannya musaqah Dalil yang menunjukkan bahwa diperbolehkan musaqah dan muzaraah adalah hadits sahih ibnu umar r.a. yang berbunyi Artinya: “Rasulullah Saw. Menyerahkan kepada orang-orang Yahudi Khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengan syarat mereka menggarapnya dari harta mereka, dan bagi Rasulullah adalah separuh dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Musaqah menurut para ulama mempunyai kesimpulan yang berbeda, pertama, musaqah bersifat mengikat, tujuannya adalah untuk menghindari kesulitan dan kerugian dari kedua belah pihak. Sementara itu, ulama yang berpendapat boleh (tidak mengikat) juga membolehkan pembatasan waktu tertentu. Oleh karena itu, pendapat pertama lebih baik karena dapat merealisasikan tujuan dan kerelaan kedua belah pihak.14 Para ahli fikih telah menyebutkan bahwa untuk sahnya musaqah dipersyaratkan agar pohon yang disirami bisa menghasilkan buah yang bisa dimakan. Tidak sah jika pada pohon yang tidak berbuah, atau berbuah tetapi tidak bisa dimakan karena yang demikian itu tidak masuk dalam teks dalil. C. Rukun musaqah 1. Baik pemilik kebun maupun tukang kebun (yang mengerjakan), keduanya hendaklah orang yang sama-sama berhak ber-tasarruf (membelanjakan) harta keduanya. 14.Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzab(Yogyakarta:Maktabah Al-Hanif,2009), 305.
  • 12. 12 2. Kebun, yaitu semua pohon yang berbuah, boleh diparokan, demikian juga hasil pertahun (palawija) boleh pula diparokan. Yang dimaksud dengan “hasil pertahun” atau palwija ialah semua tanaman yang hanya berbuah satu kali; jagung dan sebagainya. Tanaman ini kita bedakan dengan buah-buahan yang lain karena hukumnya sering berbeda. 3. Pekerjaan. Hendaklah ditentukan masanya, misalnya satu tahun dua tahun atau lebih, sekurang-kurangnya kira-kira menurut kebiasaan dalam masa itu kebun sudah mungkin berbuah. Pekerjaan yang wajib dikerjakan tukang kebun ialah semua pekerjaan yang bersangkutan dengan penjagaan dengan kerusakan dan pekerjaan (perawatan yang berfaedah) untuk buah, seperti menyiram, merumput dan mengawinkannya. 4. Buah. Hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan tukang kebun), misalnya seperdua, spertiga, atau beberapa saja asal berdasarkan kesepakatan keduanya pada waktu akad. 5. Tempat Bagi Hasil Beberapa fuqaha berselisih mengenai tempat bagi hasil.Menurut Dawud, bagi hasil hanya untuk pohon kurma saja.Menurut syafi‟i hanya untuk pohon kurma dan anggur saja, dasar imam syafi‟i membolehkan bagi hasil pada anggur dan kurma adalah karena penentuan bagi hasil itu melalui taksiran atas tangkai. Dalam hadist Utab bin Usaid r.a disebutkan, tentang penentuan melalui taksiran atas tangkai pada pohon kurma dan anggur, meskipun hal ituberkenan dengan zakat. Maka seolah-olah syafi‟i mengqiyaskan bagi hasil itu pada pohon-pohon tersebut dengan zakat. Hadist riwayat Utab bin Usaid r.a. tersebut adalah: ------ “Rasulullah Saw. Mengutus Utab dan menyuruhnya untuk menaksir anggur di tangkainya, kemudian zakatnya dikeluarkan berupa zabib(anggur kering), zakat kurma juga dikeluarkan berupa kurma kering (tamar).” (HR. Abu Dawud)
  • 13. 13 Jumhur ulama memperbolehkannya, karena dengan alasan, meski pihak penggarap tidak berkewajiban menyirami, tetapi ia masih mempunyai tugas-tugas lainnya, seperti memelihara, menyirami dan lain-lain. 6. Pekerjaan Para fuqaha berselisih pendapat mengenai siapa yang harus menanggung pemotongan atau pemetikan, menutup pagar, dan membersihkan saluran air serta saniya(alat untuk menaikkan air). Menurut imam syafi‟i, menutup pagar tidakk menjadi kewajiban pihak penggarap. Karena tanggung jawab tersebut tidak termasuk dalam jenis perbuatan yang menambahkan hasil buah, seperti pada pembuahan dan penyiraman. Sedangkan menurut muhammad bin al-Hasan, pihak penggarap tidak berkewajiban membersihkan saniyah dan parit-parit. 7. Pembagian Fuqaha sependapat dalam akad bagi hasil dapat dilakukan dengan setiap bagian buah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pembagian hasil buah antara penggarap dengan pemilik kebun harus menggunakan takaran. Demikian pula dalam perseroan, dan tidak boleh hanya berpedoman taksiran angka semata, tetapi sebagian fuqaha membolehkan pembagian melalui taksiran.15 8. Waktu dalam Akad Bagi Hasil. Terdapat dua macam mengenai persyaratan waktu dalam akad bagi hasil, yakni waktu yang diisyaratkan begi kebolehan akad bagi kebolehan akad bagi hasil dan waktu yang menjadi syarat sahnya akad, yakni yang menentukan masa akad bagi hasil. Jumhur fuqaha beralasan bahwa penyiraman buah yang sudah terlihat matang itu tidak diperlukan lagi, sehingga tidak ada keharusan 15. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, terj: Bidayatul Mujtahid wa Nihyatul Muqtasid, (Jakarta: Pustaka Akmani, 2007), 136.
  • 14. 14 untuk mengadakan akad bagi hasil, karena buah tersebut sudah bisa dijual pada waktu itu. Karena itu mereka berpendapat jika akad bagi hasil berlangsung, berarti itu sewa jasa buruh. Tentang waktu yang menjadi syarat dalam masa akad bagi hasil, jumhur fuqaha berpendapat bahwa waktu tersebut harus jelas, yakni waktu tertentu dan bukan waktu sementara. D. Syarat –syarat Musaqah 1. Objek musaqah harus dapat diketahui/dilihat dengan mata atau menjelaskan sifat-sifat yang sebenarnya karena tidak sah transaksi tentang sesuatu yang tidak diketahui. 2. Pekerja mendapatkan bagian dari hasilnya (buah atau lainnya) yang berlaku dari hasilnya (buah atau lainnya ) yang berlaku dan diketahui. 3. Masa bekerja si pekerja sudah ditentukan oleh pemilk kebun. 4. Pekerja kebun memelihara perkebunan tanpa dibantu oleh pemiliknya E. Objek Musaqah Musaqah boleh pada semua pohon yang berbuah. Demikian pendapat Khulafa‟ Rasyidin Radliyatullahu „anhum, Said Ibnu al- Mussayab, Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad, dan lain lain. Hal ini karena objeknya pada pohon yang berbuah setiap tahun, maka identik dengan pohon kurma dan anggur.16 Adapun pohon yang tidak berbuah, menurut imam Malik dan asy-Syafi‟, tidak boleh menjadi objek Musaqah karena musaqah itu pembayarannya dengan sebagian buah, sedangkan pohon yang dikerjakan adalah jenis pohon yang tidak berbuah. Berbeda dengan pohon yang dimanfaatkan daun atau bunganya, seperti pohon teh dan bunga mawar. Ibnu Qudamah menyatakan bahwa berdasarkan qiyas, musaqah dibolehkan padanya karena daun dan bunga itu semakna dengan 16. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzab. 306.
  • 15. 15 buah, dalam arti dapat berkembang berulang ulang setiap tahun yang dapat diambil dan dikelola dengan cara musaqah.17 Hal ini berdasarkan riwayat,”Sesungguhnya Nabi Shallallahu „alaihi wasallam mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separo hasil yang keluar dari pohon kurma dan pohon (pohon yang berbuah dan tidak). Di samping itu, pohon yang tidak berbuah sangat dibutuhkan untuk memproduksi kertas, perkakas rumah tangga dan lain lain. Dengan demikian diperbolehkan musaqah pada pohon yang tidak berbuah dapat dimanfaatkan karena menjadia lapangan pekerjaan bagi orang lain.18 Dalam musaqah juga tidak lepas dari permasalahan, jika pekerja mengklaim bahwa garapannya rusak, klaimnya itu dapat diterima karena ia orang yang dipercaya. Namun jika dia mengklaim dan dia bersumpah tapi terbukti berhianat, maka pemilik tanah harus mengganti pekerja karena sudah tidak dapat dipercaya. Demikian ini pendapat Imam Syafi‟i. Sementara itu, para sahabat Malik berpendapat bahwa orang lain tidak boleh menggantikan pekerjaannya, tetapi menjaganya. REFERENSI Syafei,Rachmat,Fiqih Muamalah.(Bandung: Pustaka Setia, 2001). Sabiq,Sayyid,Fiqih Sunnah jilid IV.(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007). Kitab 9 Imam (offline / online: www.lidwa.com) Shahih Bukhari. Kitab 9 Imam (offline / online: www.lidwa.com) Sunan Abu Dawud. 17.Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzab, 306-307. 18. Ibid, 307.
  • 16. 16 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. (Semarang: Aneka Ilmu, 2008). al Bakri,ImamAssayid, I’anatutholibin jus 3.Surabaya, Al Hidayah. http://warungekonomiislam.blogspot.com/2012/11/musaqah- muzaroahmukhabarah.html http://muhsinf4.blogspot.com/2012/05/muzaroah-mukhobaroh-dan-musaqoh.html http://id.shvoong.com/humanities/religion- studies/2140642mukhabarah/#ixzz2RBPVfiml Qal-ahji,MuhammadRawwas,Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khathab ra. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999). Bawazier,RasyidAbdu,Ringkasan fikih Lengkap. (Jakarta: Darul Falah, 2005). Ath-Thayyar,Abdullah bin Muhammad, dkk,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzab. (Yogyakarta:Maktabah Al-Hanif,2009). Said,Imam Ghazali dan Achmad Zaidun, terj: Bidayatul Mujtahid wa Nihyatul Muqtasid, (Jakarta: Pustaka Akmani, 2007).