1. “Tugas Al-islam kemuhammadiyaan 4”
MAKALAH
ISLAM DAN EKONOMI
OLEH :
KELOMPOK 5
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALUKU UTARA
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA
TAHUN AJARAN 2013
2. DAFTAR ISI
BAB I
PEMBAHASAN ISLAM DAN EKONOMI
A.PENGERTIAN ISLAM DAN EKONOMI ................................................................... 1
B. JENIS-JENIS AKAD BAGI HASIL............................................................................. 1
1. MUDHARABAH.................................................................................................. 1
2. MUSAQOH........................................................................................................... 3
3. MUSYARAKAH.................................................................................................. 4
4. MUZARA’AH atau MUKHABARAH................................................................. 5
C.TUJUAN ISLAM DAN EKONOMI............................................................................. 6
BAB 11
1.Pandangan Islam Terhadap Harta dan Ekonomi............................................................. 7
2. Nilai-nilai Sistem Perekonomian Islam ......................................................................... 9
A. Perekonomian Masyarakat Luas, Bukan Hanya Masyarakat Muslim Akan Menjadi
Baik Bila Menggunakan kerangka Kerja atau Acuan Norma-Norma
Islami...................................................................................................................... 9
B. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh................................................................ 10
C. Keadilan Distribusi Pendapatan............................................................................. 10
D. Kebebasan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial..................................... 12
BAB III
KESIMPULAN................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 14
3. BAB 1
PEMBAHASAN
Makalah Islam dan Ekonomi " Bagi Hasil"
A. Pengertian
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan
bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya
pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih.
Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada
masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus
ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi
bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi
dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
B. Jenis-jenis Akad Bagi Hasil
Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam Islam secara umum dapat
dilakukan dalam empat akad, yaitu Mudharabah, Musaqah, Musyarakah,,dan Muzara’ah.
1. MUDHARABAH
Salah satu bentuk kerjasama anatara pemilik modal dengan seseorang, yang pakar dalam
berdagang, di dalam fiqh islam disebut dengan mudharobah, yang oleh ulama fiqh Hijaz
menyebutnya dengan qiradh.
Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharobah atau qiradh dengan:
أن يد فع ا لما لك إلى العا مل ما لا يتجر فيه و يكو ن الر بح مشتر كا
Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan,
sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan
bersama.
a. Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya
Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu
antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara
pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara
banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang.
Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan
untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam
mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Firman Allah dalam surat al-Muzzammil 73: 20 yang berbunyi:
...و ا خر و ن يضر بو ن فى ا لأ ر ض يبتغو ن من فضل ا لله
4. …dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah…
surat al-Baqarah, 2: 198 berikut:
ليس عليكم جنا ح أ ن تبتغوا فضلا من ربكم ...
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…
b. Rukun dan Syarat mudharabah
menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :
1. Orang yang berakad ( shahibul maal dan pengelola )
2. Modal, pekerjaan, dan keuntungan
3. Shigat ( ijab qabul)
Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama
di atas adalah:
a. Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum dan
cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal
adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat seorang wakil juga berlaku
bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b. Yang terkait dengan modal, disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas jumlahnya, (3)tunai,
(4)diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal itu
berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan
keuntungannya.
c. Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan
bagian masing-masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga,
atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah,
akad itu fasid (rusak).
2. MUSAQOH
Secara sederhana musaqoh diartikan dengan kerja sama dalam perawatan tanaman dengan
imbalan dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.
Dasar hukum bolehnya adalah hadist nabi yang mempekerjakan penduduk khaibar yang
disebutkan di atas, yang kerjasama pertanian tersebut juga mencakup merawat tanaman.
Sedangkan bagian ulama memandangnya sebagai muamalah upah mengupah, berpendapat
tidak boleh karena upah tidak boleh dari hasil kerja tapi dalam bentuk nilai uang yang sudah
pasti sesuai dengan perjanjian.
Rukun dan syarat Musaqqoh
5. jumhur ulama yang terdiri atas ulama malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah berpendirian
bahwa transaksi al-musaqah harus memenuhi lima rukun, yaitu :
a. Dua orang/pihak yang melakukan transaksi
b. Tanah yang dijadikan obyek al-musaqah
c. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
d. Ketentuan mengenai pembagian hasil al-musaqah
e. shigat (ungkapan) ijab dan qabul
Adapun syarat-syarat yang harus di penuhi oleh masing-masing rukun adalah :
1. dewasa (akil baligh) dan berakal.
2. Obyek al-musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.
3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk
digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
4. Hasil yang dihasilkan oleh kebun itu adalah hak mereka bersama sesuai dengan kesepakatan
yang telah dibuat.
5. Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi sewa
menyewa, agar terhindar dari ketidakpastian.
3.MUSYARAKAH
Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu
dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan . Asy-syirkah termasuk salah satu bentuk kerja
sama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan
perserikatan dagang.
Secara terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh para ulama
fiqh.
Menurut para ulama fiqh, asy-syirkah adalah
ثبو ت الحق فى شيئ لإ ثنين فأ كثر على جهة الشيوع
Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
Dasar hukum asy-syirkah
Akad asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah
dalam surat an-Nisa’, 4: 12 yang berbunyi :
...فهم شر كا ء فى الثلث...
...maka mereka berserikat dalam sepertiga harta...
Dalam ayat lain Allah berfirman :
و إن كثيرا من الخلطاء ليبغى بعضهم على بعض إلا الذ ين امنوا وعملوا لصا لحا ت وقليل ما هم...
...sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat
zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan amal-amal
saleh; dan amat sedikit mereka ini...
Rukun-rukun Musyarakah
a. Para pihak yang bersyirkah.
b. Porsi kerjasama.
c. Proyek/usaha ( masyru’ )
d. Ijab qabul ( sighat ).
e. Nisbah bagi hasil.
6. 4.MUZARA’AH atau MUKHABARAH
Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik
tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminology fiqh terdapat beberapa definisi
al-muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikan dengan:
الشر كة فى الزرع
Perserikatan dalam pertanian.
Imam asy-Syafi’iyah mendefinisikan al-mukhabarah dengan:
عمل الأرض ببعض ما يخرج منها والبن ر من العا مل
Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah.
Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedang
dalam al-muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Hukum Akad al-muzara’ah
Dalam membahas hukum al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu
Hanifah ( 80-150 H/699-767 M ) dan Zufar ibn Huzail ( 728-774 M ), pakar fiqh Hanafi,
berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah
dengan bagi hasil, seperti seperempat dan setengah, hukumnya batal.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:
أن رسو ل الله عليه وسلم نهى عن المخا برة.
﴿رواه مسلم عن جا بر بن عبد الله﴾
Rasulallah saw yang melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn
Abdillah ).
Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulallah itu adalah al-muzara’ah, sekalipun dalam al-mukhabarah
bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Dalam riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak dikatakan:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن المزرعة.
﴿رواه مسلم عن ثا بت بن الضحا ك﴾
Rasulallah melarang al-muzara’ah ( HR Muslim ).
7. Rukun al-Muzara’ah
Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan
syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut
mereka adalah:
a. Pemilik tanah.
b. Petani penggarap.
c. Obyek al-muzara’ah.
d. Ijab dan qabul.
AKIBAT AKAD AL-MUZARA’AH
Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah
memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:
a. Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian itu.
b. Biaya pertanian seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung
oleh petani dan pemilik tanh sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.
c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
C.Tujuan Islam Dan Ekonomi
Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan di
dunia. Nilai Islam bukan semata-semata hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh
mahluk hidup di muka bumi. Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan
manusia yang berlandaskan nilai- nilai Islam guna mencapai pada tujuan agama (falah).
Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang tidak terbatas oleh ekonomi, sosial,
budaya dan politik dari bangsa. Ekonomi Islam mampu menangkap nilai fenomena
masyarakat sehingga dalam perjalanannya tanpa meninggalkan sumber hukum teori ekonomi
Islam, bisa berubah.
8. BAB II
1.Pandangan Islam Terhadap Harta dan Ekonomi
Secara umum, tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan (Al-An’aam : 165) serta tugas pengabdian atau
ibadah dalam arti luas (adz-Dzaariyaat : 56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah SWT
memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat “ sistem kehidupan “
dan wasilah al-hayat “ sarana kehidupan “.
Manhaj al-hayat adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya
melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaliknya meninggalkan
sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh,
atau haram.
Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang
hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga),
keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal
tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer.
Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan,
akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebagai
hayatan thayyibah (An-Nahl : 97).
Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan
mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehdupan
sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan diakhirat nanti
(Thaahaa : 124 – 126).
Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana
dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia
secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan
ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.
Sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat 29 yang artinya :
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan, dia Maha Mengetahui segala
sesuatu “
Dari keterangan diatas, islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan
ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta
benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relativf, sebatas
9. untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-
Nya.
2. Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut.
1. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang
amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam
bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi ; yang mampu
manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi
lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.
2. Harta sebagi perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih- lebihan. Manusia memiliki
kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta.
Firman-Nya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak
dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah
lading. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga).” (Ali Imran : 14). Sebagai perhiasan hidup, harta sering
menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggan diri (Al-‘Alaq : 6 –
7).
3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam
ataukah tidak. (Al-Anfaal : 28)
4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan
melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat,
infak dan sedekah. (At-Taubah : 41, 60 ; Ali Imran : 133-134).
1. Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha (a’mal) atau mata
pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Banyak ayat Al-
Qur’an dan hadits Nabi yang mendorong umat manusia bekerja mencari nafkah secara
halal.
2. Dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (At-
Takaatsur : 1 – 2), melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala
ketentuan-Nya ) (Al-Munaafiquun ; 9 ), melupakan shalat dan zakat (an-Nuur ; 37),
dan memutuskan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr : 7).
3. Dilarang menempuh usaha yang haram seperti melalui kegiatan riba (al-
Baqarah : 273 – 281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (al-
Maa’idah : 90-91), mencuri, merampok, penggasaban (al-Maa’idah : 38 ), curang
dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifiin : 1 – 6) melalui cara-cara yang batil dan
merugikan (al-Baqarah : 188 ), dan melalui suap-menyuap (HR Imam Ahmad ).
2. Nilai-nilai Sistem Perekonomian Islam
A. Perekonomian Masyarakat Luas, Bukan Hanya Masyarakat Muslim
Akan Menjadi Baik Bila Menggunakan kerangka Kerja atau Acuan
Norma-Norma Islami.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyerukan penggunaan kerangka kerja perekonomian Islam,
diantaranya Aurah Al-Baqarah ayat 60 dan Al-Maa’idah ayat 87 – 88 yang semua ayatnya
merupakan penentuan dasar pikiran dari pesan Al-Qur’an dalam bidang ekonomi. Dari ayat-ayat
tersebut dapat dipahami bahwa Islam mendorong penganutnya untuk menikmati karunia
10. yang telah diberikan oleh Allah. Karunia tersebut harus didayagunakan untuk meningkatkan
pertumbuhan, baik materi maupun non materi.
Islam juga mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan materi atau harta dengan
berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.
B. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam
tatanan itu, setiap individu diikat oleh persudaraan dan kasih saying bagai satu keluarga.
Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat batas geografis.
Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut :
— a. Keadilan Sosial
Islam menganggap umat manusia sebagai suatu keluarga. Karenanya, semua anggota
keluarga ini mempunyai derajat yang sama di hadapan Allah. Hukum Allah tidak
membedakan yang kaya dan yang miskin, demikian juga tidak membedakan yang hitam dan
yang putih. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan,
ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada manusia.
— b.Keadilan Ekonomi
Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi setiap individu dalam masyarakat dan
dihadapan hukum harus diimbangi oleh keadilan ekonomi. Tanpa pengimbangan tersebut,
sosial kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan
haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada masyarakat. Setiap individu pun
harus terbebaskan dari eksploiasi individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang
muslim merugikan orang lain.
Peringatan akan ketidakadilan dan eksploitasi ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak
individu dalam masyarakat, juga untuk meningkatkan kiesejahteraan umum sebagai tujuan
utama Islam.
C. Keadilan Distribusi Pendapatan
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat, berlawanan dengan
semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi.
Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam. Diantaranya
adalah dengan cara-cara berikut ini.
Pertama :
- Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah, untuk bidang-bidang tertentu.
11. - Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik
produksi, distribusi, sirkulasi maupun konsumsi.
- Menjamin basic needs fulfillment ( pemenuhan kebutuhan dasar hidup ) setiap anggota
masyarakat.
- Melaksanakan amanah at-takaaful al-ijtima’I social economic security insurance
dimana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu.
Dengan cara itu, standar kehidupan setiap individu akan lebih terjamin. Sisi manusiawi dan
kehormatan setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan martabatnya yang yang telah
melekat pada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Kedua :
Islam membenarkan seorang memilih kekayaan lebih dari yang lain sepanjang kekayaan
tersebut diperoleh secara benar dan yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya bagi
kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat maupun amal kebajikan lain seperti infak
dan sedekah. Meskipun demikian, Islam sangat menganjurkan golongan yang kaya untuk
tetap tawadhu dan tidak pamer.
Jika seluruh ajaran Islam (termasuk pelaksanaan syariah serta norma keadilan) diterapkan,
kesenjangan kekayaan serta pendapatan yang mencolok tidak akan terjadi di dalam
masyarakat.
D. Kebebasan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial
Pilar terpenting dalam keyakinan seorang muslim adalah kepercayaan bahwa manusia
diciptakan oleh Allah. Ia tidak tunduk kepada siapa pun kecuali kepada Allah (ar-Ra’d : 36
dan Luqman : 32). Ini merupakan dasar bagi Piagam Kebebasan Islam dari segala bentuk
perbudakan. Menyangkut hal ini Al Qur’an tegas menyatakan bahwa tujuan utama dari misi
kenabian Muhammad adalah melepaskan manusia dari beban dan rantai yang
membelenggunya (Al-A’raaf : 157).
Konsep Islam amat jelas. Manusia dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada seorang pun
bahkan Negara manapun yang berhak mencabut kemerdekaan tersebut dan membuat hidup
manusia terikat. Dalam konsep ini, setiap individu berhak menggunakan kemerdekaannya
tersebut sepanjang tetap berada dalam kerangka norma-norma islami. Dengan kata lain,
sepanjang kebebasan tersebut dapat dipertanggungjawabkan, baik secara sosial maupun
dihadapan Allah.
Kebebasan individu dalam kerangka etika Islam diakui selama tidak bertentangan dengan
kepentingan sosial yang lebih besar atau sepanjang individu itu tidak melangkahi hak-hak
orang lain.
12. BAB III
KESIMPULAN
Islam membenarkan seorang memilih kekayaan lebih dari yang lain sepanjang
kekayaan tersebut diperoleh secara benar dan yang bersangkutan telah menunaikan
kewajibannya bagi kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat maupun amal
kebajikan lain seperti infak dan sedekah. Meskipun demikian, Islam sangat menganjurkan
golongan yang kaya untuk tetap tawadhu dan tidak pamer.
Islam juga mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan materi atau harta
dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan. Dilarang
mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (At-Takaatsur : 1 –
2), melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya ) (Al-
Munaafiquun ; 9), melupakan shalat dan zakat (an-Nuur ; 37), dan memutuskan kekayaan
hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr : 7).
Konsep Islam amat jelas. Manusia dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada seorang
pun bahkan Negara manapun yang berhak mencabut kemerdekaan tersebut dan membuat
hidup manusia terikat. Dalam konsep ini, setiap individu berhak menggunakan
kemerdekaannya tersebut sepanjang tetap berada dalam kerangka norma-norma islami.
Dengan kata lain, sepanjang kebebasan tersebut dapat dipertanggungjawabkan, baik secara
sosial maupun dihadapan Allah.
Kebebasan individu dalam kerangka etika Islam diakui selama tidak bertentangan
dengan kepentingan sosial yang lebih besar atau sepanjang individu itu tidak melangkahi hak-hak
orang lain
13. DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Ghayarni. 2004. Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer.
Pustaka Progressif: Surabaya.
Ahmad M Saepudin. 1987. Ekonomi dan Masyarakat Dalam Perspektif IslamI. Rajawali
Pers: Jakarta.
Ali Sakti. 2007. Ekonomi Islam. Aqsa Publishing: Jakarta.
Haroen Nasrun . 2000. Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama: Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_syariah