LK 1.1 Identifikasi Masalah IBU DEBORA AYAROP.docx
1. LK 1.1 Identifikasi Masalah
Nama Guru : DEBORA AYAROP
Asal Institusi: SD YPPK YETETKUN
Petunjuk: Silakan identifikasi masalah-masalah pembelajaran yang
mungkin terkait dengan penanganan siswa bermasalah dan berkebutuhan
khusus, membangun relasi dengan siswa, melakukan disiplin positif,
pemberian feedback, metode pembelajaran, masalah motivasi, materi HOTS
(High Order Thinking Skills), literasi numerasi, miskonsepsi, pemanfaatan
teknologi dalam pembelajaran, asesmen, interaksi dengan orang tua siswa,
menggunakan model-model pembelajaran inovatif, dan masalah terkait
lainnya yang menjadi tugas keseharian guru berdasarkan pengalaman Anda
saat menjadi guru.
No Jenis
permasalahan
Masalah yang
diidentifikasi
Analisis identifikasi
masalah
1
Model – Model
Pembelajaran
Inovatif
Siswa masih kurang
percaya diri presentasikan
hasil kerja kelompok di
depan kelas
Guru tidak mencoba
menggunakan beberapa strategi
pembelajaran pada pembelajaran
-pembelajaran sebelumnya spt
memberikan dukungan
2
Pemanfaatan
Teknologi dalam
Pembelajaran
Proyektor sudah menyala
sebelum siswa masuk
kelas
Guru belum mampu
mengoperasikan Proyektor.
3
Literasi Numersi Peserta Didik belum
memahami Materi
Pembelajaran
Guru belum menguasai meteri
pelajaran dengan baik
4
Materi HOST Peserta Didik belum
Mampu mengerjakan soal
HOST
Guru Lebih banyak membuat
soal LOST dari pada Membuat
soal HOST
Catatan: Identifikasi masalah pembelajaran yang tercantum di atas bersifat
umum dan dapat berbeda-beda dalam setiap konteks kelas. Disarankan
untuk mengadakan diskusi lanjutan dengan rekan guru dan
mempertimbangkan pengalaman pribadi serta kebutuhan spesifik di
lingkungan pembelajaran Anda.
2. Kolom 3
Kesulitan belajar yang mungkin dialami siswa dapat dikategorikan menjadi: Learning
Disorder, Learning Disfunction, Underachiever, Slow Learner dan Learning
Disability. Siswa yang mengalami learning disorder biasanya terganggu belajarnya
karena hilangnya respons yang bertentangan dengan karakteristik siswa. Hal ini
dapat berakibat capaian belajar siswa menjadi lebih rendah dari potensi yang
dimiliki. Learning Disfunction adalah gejala dimana proses belajar yang dilakukan
siswa tidak berfungsi dengan baik meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak
menunjukkan adanya subnormalitas mental ataupun gangguan psikologis lainnya.
Sedangkan UnderAchiever mengacu pada siswa yang sesungguhnya memiliki
tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal. Tetapi, sayangnya prestasi
belajar yang didapatkan tergolong rendah. Sebagai contoh, anak yang telah dites
kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ-
nya 130). Namun, anehnya prestasi belajar yang didapatkannya biasa-biasa saja
atau malahan sangat rendah. Dan kesulitan belajar yang selanjutnya adalah Slow
Learner. Siswa yang termasuk dalam kategori ini biasanya adalah siswa yang dalam
belajarnya lambat menerima atau menangkap pelajaran sehingga membutuhkan
waktu yang lebih lama.
Untuk membuat siswa dengan kategori-kategori di atas mudah dalam belajar dan
memahami pelajaran, Guru Pintar harus benar-benar memahami karakteristik siswa
tersebut dan apa yang mereka butuhkan. Hal ini berguna sebagai acuan dalam
merancang pembelajaran yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan siswa. Dan
juga diharapkan mampu menjadi jawaban dari masalah yang dihadapi siswa. Jika
sudah demikian, maka siswa dapat belajar lebih baik lagi, mampu memahami materi
yang diajarkan, dan pada akhirnya dapat mencapai tujuan atau target pembelajaran
yang ditetapkan.
.Kesulitan terakhir adalah siswa yang memiliki Learning Disabilities atau
ketidakmampuan dalam belajar seperti siswa lainnya. Pada kategori ini, siswa
mengalami ketidakmampuan belajar yang mengacu pada gejala dimana siswa tidak
dapat belajar sama sekali atau menghindari belajar. Sehingga, tidak pernah
menemui hasil pembelajarannya secara intelektual. Kondisi ini terkadang tidak dapat
diselesaikan oleh guru seorang diri. Guru Pintar dapat merekomendasikan kepada
orang tua untuk meminta bantuan kepada pihak lain seperti psikolog pendidikan atau
psikolog klinis jika diperlukan.
2. Metode Belajar tidak sesuai dengan karakter siswa
Kesalahan guru dalam mengajar diantaranya adalah menyamaratakan semua siswa.
Hal ini menyebabkan guru akan menerapkan satu metode untuk semua. Misalnya
guru menerangkan pelajaran terus menerus. Padahal di kelas ada siswa yang
memiliki gaya belajar visual dan kinestetik. Tentu saja hal ini dapat membuat siswa
mengalami kesulitan memahami pelajaran.
Solusinya adalah Guru Pintar harus memahami karakteristik siswa termasuk juga
gaya belajarnya. Setelah itu Guru Pintar dapat merancang metide pembelajaran
yang kreatif, yang dapat mengcover semua gaya belajar siswa di kelas.
3. 3. Media pembelajaran yang digunakan tidak sesuai
Media belajar penting sebagai alat untuk membantu siswa memahami materi yang
diajarkan. Masalahnya adalah apakah Guru Pintar pernah mengases apakah media
yang dirancang dan dibuat sebagai penunjang belajar efektif dan dapat membantu
siswa memahami pelajaran? Jika media yang digunakan tidak sesuai dengan materi
dan juga karakteristik siswa tentu saja akan berpengaruh pada tingkat pemahaman
siswa. Apalagi jika media justru menjadi distraksi saat belajar.
Supaya media belajar yang digunakan tepat sasaran, Guru Pintar harus mendesain
media pembelajaran dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Caranya dengan
membuat peta empati, mengidentifikasi permasalahan, membuat purwarupa,
melakukan ujicoba, dan jangan segan-segan untuk melakukan perbaikan.
4. Siswa tidak menyukai gurunya
Kondisi emosional siswa sangat berpengaruh pada kesuksesan pembelajaran.
Bagaimana perasaan siswa terhadap guru dapat menjadi salah satu sebabnya.
Siswa yang menyukai gurunya, secara otomatis akan bersemangat dalam belajar
dan tidak sungkan jika ingin bertanya. Sebaliknya jika siswa tidak menyukai gurunya,
maka mereka tidak akan menyukai pelajaran yang diajarkannya.
Nah, Guru Pintar harus dapat bersikap yang membuat siswa merasa aman dan
nyaman. Coba terapkan 4 kompetensi guru terutama kompetensi kepribadian. Buat
siswa merasa dekat dan termotivasi dalam belajar.
5. Siswa memiliki permasalahan pribadi atau keluarga
Fokus sangat penting supaya siswa dapat memahami pelajaran yang diajarkan oleh
guru. Tetapi ada banyak hal yang dapat menjadi distraksi dan membuat siswa tidak
fokus saat belajar. Permasalahan pribadi antar teman atau permasalahan dengan
keluarga dapat menjadi salah satu penyebabnya.
Guru Pintar harus mampu menempatkan diri sebagai mediator. Setelah mengetahui
permasalahan yang dihadapi siswa, ada baiknya berusaha memediasi
permasalahan yang dihadapi sehingga segera mendapatkan solusi. Jika tidak dapat
menyelesaikan masalah siswa sendiri, ada baiknya Guru Pintar bekerjasama
dengan guru BK dan juga orang tua.
Nah, Guru Pintar mari tingkatkan empati dan simpati pada siswa. Mari bantu siswa
untuk benar-benar belajar di saat belajar.
Bagaimana cara mengatasi anak yang susah memahami pelajaran?
Cara Menghadapi Anak yang Sulit Belajar
1. Cari tahu penyebab kesulitan belajar anak.
2. Buat lingkungan belajar yang nyaman.
3. Bagi tugas belajar ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil.
4. 4. Gunakan metode pengajaran yang berbeda.
5. Berikan bantuan tambahan
SUMEDANG, KOMPAS — Pembelajaran berbasis High Order Thinking Skills (HOTS) atau
ketrampilan berpikir tingkat tinggi belum konsisten diterapkan oleh para guru di kelas.
Sebagian guru masih mengajar dengan paradigma lama antara lain menekankan siswa untuk
menghafal rumus-rumus atau teori, bukan melatih kemampuan bernalar pada siswa.
Padahal, sikap guru yang demikian berdampak kurang baik bagi siswa karena dalam soal-soal
ujian nasional (UN) mulai tahun 2018 sebagian bobotnya mengacu pada HOTS. Maka tak
heran banyak siswa terkejut dengan model soal pada UN 2018, dan mereka juga kesulitan
mengerjakan soal tersebut karena guru belum mengajarkan model pembelajaran berbasis
HOTS.
Hambatan ini terjadi ditengarai karena sejumlah hal, di antaranya sebagian guru enggan
belajar guna meningkatkan kemampuannya. Dalam kaitan pembelajaran berbasis HOTS,
guru tak saja dituntut kreatif, melainkan juga harus luas wawasannya sehingga guru
diharapkan tak berpuas diri dengan apa yang sudah dicapainya, melainkan tetap harus terus
belajar menghadapi perubahan zaman
guru tak saja dituntut kreatif, melainkan juga harus luas wawasannya.
Pembelajaran Berbasis HOTS Belum Konsisten Diterapkan
Pembelajaran berbasis “High Order Thinking Skills” atau ketrampilan berpikir tingkat
tinggi hingga saat ini belum konsisten diterapkan oleh para guru di kelas. Sebagian
guru masih mengajar dengan paradigma lama antara lain menekankan siswa untuk
menghafal rumus-rumus atau teori, bukan melatih kemampuan bernalar pada siswa.
Oleh
Samuel Oktora
2 Mei 2019 04:55 WIB·4 menit baca
TEKS
KOMPAS/ SAMUEL OKTORA
Revaldi Kurnia (kanan) dan Dadang Hawari Subhan, siswa kelas XII SMAN 1
Sumedang, Jawa Barat, Senin (29/4/2019), memperoleh medali emas peringkat
terbaik (penghargaan Best of The Best) dan peraih merit dalam Kompetisi
Matematika Nalaria Realistik (KMNR) ke-14 di Jakarta, Minggu (28/4). Kompetisi ini
menyajikan soal-soal daya nalar atau keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher
Order Thinking Skills/ HOTS).
SUMEDANG, KOMPAS — Pembelajaran berbasis High Order Thinking Skills (HOTS) atau
ketrampilan berpikir tingkat tinggi belum konsisten diterapkan oleh para guru di kelas.
Sebagian guru masih mengajar dengan paradigma lama antara lain menekankan siswa untuk
menghafal rumus-rumus atau teori, bukan melatih kemampuan bernalar pada siswa.
5. Padahal, sikap guru yang demikian berdampak kurang baik bagi siswa karena dalam soal-soal
ujian nasional (UN) mulai tahun 2018 sebagian bobotnya mengacu pada HOTS. Maka tak
heran banyak siswa terkejut dengan model soal pada UN 2018, dan mereka juga kesulitan
mengerjakan soal tersebut karena guru belum mengajarkan model pembelajaran berbasis
HOTS.
Hambatan ini terjadi ditengarai karena sejumlah hal, di antaranya sebagian guru enggan
belajar guna meningkatkan kemampuannya. Dalam kaitan pembelajaran berbasis HOTS,
guru tak saja dituntut kreatif, melainkan juga harus luas wawasannya sehingga guru
diharapkan tak berpuas diri dengan apa yang sudah dicapainya, melainkan tetap harus terus
belajar menghadapi perubahan zaman.
Dalam kaitan pembelajaran berbasis HOTS, guru tak saja dituntut kreatif, melainkan juga
harus luas wawasannya.
“Sampai saat ini masih ditemukan sebagian guru yang tidak menerapkan HOTS dalam
mengajar, mungkin karena ada yang merasa sudah mempunyai pengalaman sekian lama
sehingga yang bersangkutan merasa tak perlu belajar dan menerapkan HOTS. Padahal dalam
Kurikulum 2013 menekankan aspek bernalar tinggi pada siswa dengan berbasis HOTS,” kata
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika SMA Kabupaten Sumedang,
Titin Suryati Sumadewi kepada Kompas di Sumedang, Jawa Barat, Senin (29/4/2019).
Menurut Titin yang pernah meraih medali emas bidang matematika SMA/ SMK Olimpiade
Sains Guru 2014, guru juga dituntut mampu merumuskan soal yang memuat masalah yang
kontekstual. Artinya, ada permasalahan dalam kehidupan atau lingkungan sehari-hari yang
dikaitkan dengan konsep matematika. HOTS juga diterapkan pada semua mata pelajaran baik
jenjang pendidikan dasar, maupun pendidikan menengah.
“Kemampuan seorang guru dalam menyajikan soal itu berbanding lurus dengan kemampuan
guru dalam mengerjakan soal. Jadi jangan harap guru dapat melatih siswa untuk mengerjakan
soal HOTS, jika guru itu tak dapat menyajikan soal-soal berbobot HOTS karena yang
bersangkutan kurang pengalamannya dalam mengerjakan soal HOTS. Itulah pentingnya guru
terus belajar. Guru yang sekadar pintar dalam mengerjakan soal-soal belum tentu menguasai
HOTS dengan baik,” ujarnya.
Titin yang juga Wakil Kepala SMA Negeri 1 Kabupaten Sumedang Bidang Kurikulum ini
mengarahkan kepada para guru mata pelajaran agar dalam setiap memberikan pekerjaan
rumah minimal 20 persen merupakan soal dengan konsep HOTS.
Hal itu dimaksudkan agar siswa yang menghadapi UN tidak kaget sebab dalam soal UN,
bobot soal 20 persen itu mengacu pada HOTS. Begitu pula dalam model soal pada seleksi
bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN), persentase HOTS sangat besar.
Dalam soal UN, bobot soal 20 persen itu mengacu pada HOTS. Begitu pula dalam model soal
pada seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN), persentase HOTS sangat
besar.
KOMPAS/ SAMUEL OKTORA
6. Seorang guru di SMA Negeri 1 Sumedang, Jawa Barat memanfaatkan waktu luang
sesudah mengajar untuk menyiapkan bahan ajar selanjutnya di kelas terkait
pembelajaran berbasis “High Order Thinking Skills” atau ketrampilan berpikir tingkat
tinggi, Senin (29/4/2019).
Titin berpendapat, bagi para guru yang masih kesulitan dalam menguasai pembelajaran
berbasis HOTS, salah satu forum yang dapat membantu adalah MGMP tingkat sekolah,
maupun kabupaten/ kota.
Dalam kegiatan MGMP, para guru mata pelajaran dapat berkumpul untuk berdiskusi, apa
yang menjadi kendala dalam pengajaran dapat dibahas, dan mereka dapat saling berbagi
pengalaman.
Titin mencontohkan, di lingkungan SMAN 1 Sumedang, MGMP Matematika dijadwalkan
setiap hari Rabu pagi karena pada saat itu sebagian besar guru setelah jam kedua longgar
waktunya sehingga mereka bisa berkumpul.
“Untuk MGMP Matematika SMA Kabupaten Sumedang biasa menggelar pertemuan sebulan
sekali, di antaranya membahas soal UN atau pun soal-soal berbasis HOTS,” ucap Titin.
Menemukan ide utama
Dua siswa itu kelas XII SMAN 1 Sumedang, Revaldi Kurnia (18) dan Dadang Hawari
Subhan (17) merasakan manfaat pembelajaran HOTS. Mereka berhasil meraih medali emas
dan perak dalam Thailand International Mathematical Olympiad (TIMO) 2019, yang digelar
di Phuket, Thailand, tanggal 5-8 April lalu.
Revaldi dan Dadang juga memperoleh medali emas peringkat terbaik (penghargaan Best of
The Best) dan peraih merit dalam Kompetisi Matematika Nalaria Realistik (KMNR) ke-14,
Minggu (28/4) di Jakarta.
KOMPAS/ SAMUEL OKTORA
Guru Bahasa Inggris SMP Negeri 6 Kabupaten Sumedang di Jawa Barat, Ade
Sugiana (kiri) mempersilakan sejumlah siswa untuk mempraktekkan percakapan
Bahasa Inggris di depan kelas, Senin (29/4/2019). Sekolah ini dalam pembelajaran
berbasis ketrampilan berpikir tingkat tinggi ( “High Order Thinking Skills”/ HOTS).
Sejak tahun 2018, kata Revaldi, gurunya mengajarkan model soal HOTS yang memakai
logika, bukan menghafal rumus-rumus. Jadi dalam menyelesaikan soal, yang utama adalah
bagaimana menemukan ide utamanya terlebih dahulu, baru menentukan cara atau rumus
mana yang akan digunakan. Meski dalam materi yang sama dengan tipe soal diubah-ubah tak
masalah, yang penting paham konsepnya.
Dalam menyelesaikan soal, yang utama adalah bagaimana menemukan ide utamanya terlebih
dahulu, baru menentukan cara atau rumus mana yang akan digunakan.
“Saya tak kesulitan menghadapi UN, dari 2 jam waktu yang disedaiakan, seperti Matematika
dalam satu jam saya sudah selesai,” kata Revaldi.
7. Sementara itu Dadang berpendapat, sampai saat ini masih ada guru yang mengajarkan siswa
untuk menghafal rumus-rumus saja. “Guru seperti ini memaksakan rumus yang diajarkan
untuk diterapkan siswa. Kalau ada siswa mempunyai cara yang lain dianggap salah,” ucap
Dadang.
alam proses belajar mengajar penggunaan media sangat berpengaruh besar
dalam pencapaian hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang telah direncanakan. Untuk itu seorang guru tidak hanya
dituntut menguasai bahan pelajaran tetapi juga terampil menggunakan media
dalam proses belajar mengajar tersebut. Salah satu alasan penggunaan media
pembelajaran adalah terkait dengan manfaat media pembelajaran bagi
keberhasilan belajar mengajar di kelas. Media yang dipergunakan tentunya
disesuaikan dengan materi dan tujuan pembelajaran itu sendiri, sebab tidak
semua media cocok untuk setiap jenis materi pelajaran.
Dalam kesempatan ini Seylla Arifeni mengatakan “pakai proyektor tentu saja
lebih mudah, selain itu anak anak jadi bersemangat belajar karena belajar sambil
nonton video”. Oleh karena itu penggunaan media LCD proyektor dinilai sangat
tepat untuk dipakai dalam proses mengajar khususnya mata pelajaran Bahasa
Indonesia, imbuhnya.
Manfaat lain dari penggunaan LCD proyektor adalah :
1. Lebih Efektif dan Efisien
Dengan menggunakan LCD Proyektor, waktu yang digunakan untuk mengajar
tidak terbuang sia-sia hanya untuk menulis di papan tulis, dan membuat catatan.
Selain itu kualitas visual akan lebih nyaman dengan materi yang dapat terlihat
dengan jelas di banding dengan menulis di papan tulis.
1. Ramah Lingkungan
Karena LCD Proyektor hanya menggunakan tenaga listrik, maka dapat dikatakan
sangat ramah lingkungan dari pada menulis di whiteboard dengan spidol, atau
menulis di papan tulis dengan kapur. Selain tidak mencemari lingkungan yang
akibatnya dapat mengganggu kesehatan.
1. Membiasakan peserta didik dengan teknologi
Secara tidak langsung, penggunaan LCD Proyektor dapat mendidik siswa agar
lebih mengeluarkan ide-ide kreatifnya dalam penggunaan teknologi. Yang dapat
brguna bagi perkembangan dirinya di era modernisasi yang semakin
berkembang. (MAM)