Laporan Riset Hasil Hutan Bukan Kayu dilokasi Usulan Hutan Desa Cenaku Bersama, Kec.Kuala Cenaku, Kab.Indragiri Hulu, Riau.
Kegiatan ini merupakan bagian dari inisiatif perlindungan dan akses pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat.
Yayasan Mitra Insani melalui dukungan dari Siemenpuu Foundation, mendorong masyarakat desa sekitar kawasan SM.Kerumutan, untuk bisa mendapatkan manfaat atas hutan. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah melalui Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah mengakomodir keinginan itu dengan mengatur sedemikian rupa dalam Peraturan Menteri LHK Nomor. P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial. Atas dasar peluang ini, YMI bersama dengan masyarkat menyepakati skema usulan bersama 5 desa di kecamatan Kuala Cenaku (Desa Tambak, Pulau Gelang, Sukajadi, Pulau Jumat dan Tanjung sari) dalam bentuk Hutan Desa. Dan usulan tersebut sudah diajukan ke KLHK pada bulan Februari 2017, yang lalu.
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariGilang Putra
peningkatan produktifitas lahan dengan sistem agroforestri. berisi mengenai sistem penerapan agroforestri pada budidaya lahan, pilihan sistem agroforestri dan lain lain
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariGilang Putra
peningkatan produktifitas lahan dengan sistem agroforestri. berisi mengenai sistem penerapan agroforestri pada budidaya lahan, pilihan sistem agroforestri dan lain lain
Perubahan iklim akan menyebabkan kekeringan, penurunan air tanah, peningkatan suhu (pemanansan global), banjir (cuaca ekstrem), kekurangan kesuburan tanah, perubahan cuaca, dan lain-lain yang berisiko gagal panen dan kelaparan.
Perubahan iklim akan menyebabkan kekeringan, penurunan air tanah, peningkatan suhu (pemanansan global), banjir (cuaca ekstrem), kekurangan kesuburan tanah, perubahan cuaca, dan lain-lain yang berisiko gagal panen dan kelaparan.
Kita baru melakukan pembangunan pertanian. Ribut soal komoditas, ... padi, jagung, sapi. Belum perduli PETANI nya. Tentang Hak-Hak Petani, adakah yang perduli?
Pemanfaatan limbah jerami padi dan kotoran sapi sebagai pakan ternak dan pupu...Hazar Noah
bagi teman-teman semuanya inilah hasil PKMM tahun 2014 saya .semoga para pembaca memberikan kritik dan saranya terhadap hasil saya, E-mail : hazar.basir@gmail.com
semoga bermanfaat .
Dokumen persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan usulan hutan desa. Merunut Permen KLHK N0.83/2016 ttg Perhutanan Sosial dan Perdirjen No.11/2016 ttg pedoman verifikasi hutan desa, pengajuan ini sedikit unik. Kami melakukan sedikit penyesuaian karena inisiatif ini kami ajukan kolaboratif bersama 5 desa di kecamatan Kuala Cenaku, kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Adapun luasan areal yang kami usulkan adalah seluas 37.228,28 Ha, dan ini juga diminati perusahaan swasta dan diusulkan juga dengan skema restorasi ekosistem.
Dokumen persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan usulan hutan desa. Merunut Permen KLHK N0.83/2016 ttg Perhutanan Sosial dan Perdirjen No.11/2016 ttg pedoman verifikasi hutan desa, pengajuan ini sedikit unik. Kami melakukan sedikit penyesuaian karena inisiatif ini kami ajukan kolaboratif bersama 5 desa di kecamatan Kuala Cenaku, kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Adapun luasan areal yang kami usulkan adalah seluas 37.228,28 Ha, dan ini juga diminati perusahaan swasta dan diusulkan juga dengan skema restorasi ekosistem.
Dokumen persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan usulan hutan desa. Merunut Permen KLHK N0.83/2016 ttg Perhutanan Sosial dan Perdirjen No.11/2016 ttg pedoman verifikasi hutan desa, pengajuan ini sedikit unik. Kami melakukan sedikit penyesuaian karena inisiatif ini kami ajukan kolaboratif bersama 5 desa di kecamatan Kuala Cenaku, kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Adapun luasan areal yang kami usulkan adalah seluas 37.228,28 Ha, dan ini juga diminati perusahaan swasta dan diusulkan juga dengan skema restorasi ekosistem.
Dokumen persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan usulan hutan desa. Merunut Permen KLHK N0.83/2016 ttg Perhutanan Sosial dan Perdirjen No.11/2016 ttg pedoman verifikasi hutan desa, pengajuan ini sedikit unik. Kami melakukan sedikit penyesuaian karena inisiatif ini kami ajukan kolaboratif bersama 5 desa di kecamatan Kuala Cenaku, kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Adapun luasan areal yang kami usulkan adalah seluas 37.228,28 Ha, dan ini juga diminati perusahaan swasta dan diusulkan juga dengan skema restorasi ekosistem.
Dokumen persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan usulan hutan desa. Merunut Permen KLHK N0.83/2016 ttg Perhutanan Sosial dan Perdirjen No.11/2016 ttg pedoman verifikasi hutan desa, pengajuan ini sedikit unik. Kami melakukan sedikit penyesuaian karena inisiatif ini kami ajukan kolaboratif bersama 5 desa di kecamatan Kuala Cenaku, kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Adapun luasan areal yang kami usulkan adalah seluas 37.228,28 Ha, dan ini juga diminati perusahaan swasta dan diusulkan juga dengan skema restorasi ekosistem.
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...muhammadnoorhasby04
Gas rumah kaca memainkan peran penting dalam mempengaruhi iklim Bumi melalui mekanisme efek rumah kaca. Fenomena ini alami dan esensial untuk menjaga suhu Bumi tetap hangat dan layak huni. Namun, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik pertanian intensif, telah memperkuat efek ini, menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim yang signifikan.Pemanasan global membawa dampak luas pada berbagai aspek lingkungan, termasuk suhu rata-rata global, pola cuaca, kenaikan permukaan laut, serta frekuensi dan intensitas fenomena cuaca ekstrem seperti badai dan kekeringan. Dampak ini juga meluas ke ekosistem alami, menyebabkan gangguan pada habitat, distribusi spesies, dan interaksi ekologi, yang berdampak pada keanekaragaman hayati.
Untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh peningkatan gas rumah kaca dan perubahan iklim, upaya mitigasi dan adaptasi menjadi sangat penting. Langkah-langkah mitigasi meliputi transisi ke sumber energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Di sisi lain, langkah-langkah adaptasi mencakup pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap cuaca ekstrem, pengelolaan sumber daya air yang lebih baik, dan perlindungan terhadap wilayah pesisir.Selain itu, mengurangi konsumsi daging, memanfaatkan metode kompos, dan pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim adalah beberapa tindakan konkret yang dapat diambil untuk mengurangi dampak gas rumah kaca.Dengan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme dan dampak dari efek rumah kaca, serta melalui kolaborasi global yang kuat dan langkah-langkah konkret yang efektif, kita dapat melindungi planet kita dan memastikan kesejahteraan bagi generasi mendatang.
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistemd1051231041
Pirit merupakan zat di dalam tanah yang terbawa karena adanya arus pasang surut. Zat ini dapat membahayakan ekosistem sekitar apabila mengalami reaksi oksidasi dan penyebab utama mengapa tanah menjadi masam, karena mengandung senyawa besi dan belerang. Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan, dampak, peran, pengaruh, hingga upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan guna mengatasi masalah ekosistem yang terjadi.
Hasil dari #INC4 #TraktatPlastik, #plastictreaty masih saja banyak reaksi ketidak puasan, tetapi seluruh negara anggota PBB bertekad melanjutkan putaran negosiasi
berikutnya: #INC5 di bulan November 2024 di Busan Korea Selatan
Cerita sukses desa-desa di Pasuruan kelola sampah dan hasilkan PAD ratusan juta adalah info inspiratif bagi khalayak yang berdiam di perdesaan
.
#PartisipasiASN dalam #bebersihsampah nyata biarpun tidak banyak informasinya
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfBrigittaBelva
Berada dalam kerangka Mata Kuliah Riset Periklanan, tim peneliti menganalisis penggunaan pendekatan "fear appeal" atau memicu rasa takut dalam kampanye #TogetherPossible yang dilakukan oleh World Wide Fund (WWF) untuk mengedukasi masyarakat tentang isu lingkungan.
Analisis dilakukan dengan metode kualitatif, meliputi analisis konten media sosial WWF, observasi, dan analisis naratif. Tidak hanya itu, penelitian ini juga memberikan strategi nyata untuk meningkatkan keterlibatan dan dampak kampanye serupa di masa depan.
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...d1051231072
Lahan gambut adalah salah satu ekosistem penting di dunia yang berfungsi sebagai penyimpan karbon yang sangat efisien. Di Asia Tenggara, lahan gambut memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap lahan untuk aktivitas pertanian, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur, degradasi lahan gambut telah menjadi masalah lingkungan yang signifikan. Degradasi lahan gambut terjadi ketika lahan tersebut mengalami penurunan kualitas, baik secara fisik, kimia, maupun biologis, yang pada akhirnya mengakibatkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Lahan gambut di Asia Tenggara, khususnya di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, menyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Diperkirakan bahwa lahan gambut di wilayah ini menyimpan sekitar 68,5 miliar ton karbon, yang jika terlepas, akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global.
Laporan Hasil Kajian Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu di Lokasi Usulan Hutan Cenaku Bersama
1. LAPORAN KAJIAN POTENSI DAN PEMANFAATAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
DI HUTAN DESA KUALA CENAKU
KABUPATEN INDRAGIRI HULU RIAU
Disusun oleh :
Defri Yoza S.Hut, MSi
Rahmad Fadilah S.Hut
Sugi Ari Wardana S.Hut
Zul Afandi S.Hut
Sofan Sofianto
Dibantu oleh
Sani Saragih
Abizar Al Ghifari
Masyarakat
YAYASAN MITRA INSANI
KUALA CENAKU, 2017
Pengembangan
Pemanfaatan
Potensi
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya tim
peneliti dapat menyelesaikan laporan kegiatan Pemetaan Potensi dan
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu di Desa-Desa sekitar Hutan Desa Kuala
Cenaku
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu haruslah menjadi inti dari
pemanfaatan hasil hutan. Disamping dapat melestarikan hutan secara
umum, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu lebih diartikan sebagai
pemanfaatan secara berkelanjutan dari hutan tanpa merusak tegakannya
atau memanfaatkan hasil sampingan dari pohon atau hasil hutan lainnya.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dapat menjadi kegiatan pokok dari
pemanfaatan hasil hutan pada mekanisme pengelolaan hutan oleh
masyarakat seperti hutan desa. Mekanisme pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu telah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun.
Akhirnya, laporan kegiatan ini jauh dari kesempuranaan dan perlu
mendapatkan masukan, kritik dan saran yang membangun menjadi sebuah
harapan tim, agar kedepan dapat menjadi perbaikan.
Pekanbaru, September 2017
Tim Peneliti
3. i
Susunan Tim Peneliti
Defri Yoza S.Hut, Msi (Koordinator Tim Peneliti)
Rahmad Fadilah S.Hut
Asisten Peneliti
Sugi Ari Wardana S.Hut
Zul Afandi S.Hut
Sofan Sofianto
Dibantu Oleh
Sani Saragih
Abizar Al Ghifari
Masyarakat Desa
4. ii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN EKSEKUTIF
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kajian I-1
1.2. Maksud dan Tujuan Kajian I-4
1.3. Output Kajian I-5
BAB II. DASAR TEORITIS
2.1. Manfaat Sumberdaya Hutan II-1
2.2. Pemanfaatan dan Pelestarian Hutan II-4
2.3. Azas Kelestarian Sumberdaya Hutan II-5
2.4. Praktek-Praktek Pemanfaatan Sumberdaya Hutan II-6
2.5.
2.5.1
2.5.2
2.5.3
Hasil Hutan Bukan Kayu
Definisi Hasil Hutan Bukan Kayu
Klasifikasi Hasil Hutan Bukan Kayu
Peranan HHBK
II-7
II-7
II-8
II-11
2.6.
2.6.1
2.6.2
2.6.3
Pemasaran Hasil Hutan Bukan Kayu
Pengertian Pemasaran
Saluran Pemasaran
Biaya Pemasaran
II-12
II-12
II-13
II-14
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pendekatan, Lokasi dan Waktu III-1
3.2. Metode Penelitian III-1
5. iii
Halaman
3.3.
3.3.1
3.3.2
Teknik Pengumpulan Data
Wawancara
Pengamatan Langsung
III-2
III-2
III-4
3.4.
3.4.1
3.4.2
3.4.3
Jenis Data
Data Primer
Data Skunder
Variabel Penelitian
III-5
III-5
III-6
III-6
3.5.
3.5.1
3.5.2
3.5.3
3.5.4
3.5.5
Analisis Data
Analisis Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu
Analisa Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
Analisa Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Analisis Mekanisme Pemasaran Hasil Hutan Bukan
Kayu
Analisis Biaya Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu
III-7
III-7
III-7
III-8
III-8
III-8
BAB IV. DESKRIPSI UMUM KAWASAN HUTAN DESA
4.1. Letak dan Luas Usulan Hutan Desa Kuala Cenaku IV-1
4.2. Kondisi Biofisik Hutan Desa Kuala Cenaku IV-4
4.3. Struktur Hutan Desa Kuala Cenaku IV-6
4.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat (Demografi
Kependudukan)
IV-8
BAB V. POTENSI DAN PEMANFAATAN HHBK
5.1.
5.1.1
5.1.2
5.1.3
5.1.4
5.1.5
Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu
Kerapatan Relatif
Frekuensi Relatif
Dominansi Relatif
Indeks Nilai Penting (INP)
Keragaman Jenis
V-1
V-1
V-4
V-8
V-12
V-16
6. iv
Halaman
5.2. Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) V-18
5.3.
5.3.1
5.3.2
5.3.3
5.3.4
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Tahapan Pengambilan dan Persiapan Bahan HHBK
Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu Hutan Desa (Jenis
Produk)
Tahapan Pembuatan Produk Hasil Hutan Bukan Kayu
Model Pemanfaatan Hasil hutan Non Kayu
V-24
V-24
V-28
V-31
V-39
BAB VI. PEMASARAN DAN PENGEMBANGAN HHBK
6.1.
6.1.1
6.1.2
Karakteristik Responden
Jenis Kelamin Responden
Usia Responden
VI-1
VI-1
VI-2
6.2.
6.2.1
6.2.2
6.2.3
Persepsi Masyarakat Mengenai Pengembangan HHBK
Persepsi Masyarakat Mengenai Hutan Desa Kuala
Cenaku
Persepsi Masyarakat Terhadap Pemanfaatan
Sumberdaya Hutan
Persepsi Masyarakat Terhadap Potensi Sumberdaya
Hutan
VI-3
VI-3
VI-5
VI-8
6.3.
6.3.1
6.3.2
6.3.3
6.3.4
6.3.5
6.3.6
Pemasaran Hasil Hutan Bukan Kayu
Lebah Hutan (Apis dorsata)
Pandan Duri (Pandanus tectorius)
Rotan (Calamus sp)
Bambu (Bambousa sp)
Bonsai
Lebah Trigona
VI-11
VI-11
VI-14
VI-17
VI-19
VI-21
VI-25
6.4. Permasalahan Pengembangan HHBK dan Upaya
Pengembangan
VI-33
7. v
Halaman
BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Simpulan VII-1
7.2. Rekomendasi VII-2
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
8. vi
DAFTAR TABEL
No Uraian Halaman
4.1. Suhu Udara, Kelembaban Udara dan pH Tanah IV-5
5.1. Kerapatan Relatif Tertinggi Vegetasi pada Jalur 1 V-1
5.2. Kerapatan Relatif Tertinggi Vegetasi pada Jalur 2 V-2
5.3. Kerapatan Relatif Tertinggi Vegetasi pada Jalur 3 V-2
5.4. Kerapatan Relatif Tertinggi Vegetasi pada Jalur 4 V-3
5.5. Kerapatan Relatif Tertinggi Vegetasi pada Jalur 5 V-4
5.6. Frekuensi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 1 V-5
5.7. Frekuensi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 2 V-5
5.8. Frekuensi Relatif Tertinggi Vegetasi Jalur 3 V-6
5.9. Frekuensi Relatif Tertinggi Vegetasi Jalur 4 V-7
5.10.
5.11.
5.12.
5.13.
5.14.
5.15.
5.16.
5.17.
5.18.
5.19.
5.20.
5.21.
5.22.
Frekuensi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 5
Dominansi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 1
Dominansi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 2
Dominansi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 3
Dominansi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 4
Dominansi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 5
Indeks Nilai Penting Vegetasi di Jalur 1
Indeks Nilai Penting Vegetasi di Jalur 2
Indeks Nilai Penting Vegetasi di Jalur 3
Indeks Nilai Penting Vegetasi di Jalur 4
Indeks Nilai Penting Vegetasi di Jalur 5
Potensi HHBK di hutan desa Kecamatan Kuala Cenaku
Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu Hutan Desa
V-7
V-8
V-9
V-10
V-10
V-11
V-12
V-13
V-14
V-14
V-15
V-18
V-20
6.1. Jenis Kelamin Responden VI-2
6.2. Usia Responden VI-2
6.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Kawasan Hutan Desa VI-3
6.4. Persepsi Masyarakat Terhadap Pemanfaatan
Sumberdaya Hutan
VI-6
9. vii
No Uraian Halaman
6.5. Persepsi Masyarakat Terhadap Potensi Sumberdaya
Hutan
VI-8
6.6. Harga Jual Madu Hutan VI-13
6.7. Biaya variabel pemanenan madu VI-13
6.8. Jenis-jenis dan harga jual produk anyaman pandan VI-16
6.9. Biaya variabel produksi anyaman pandan VI-16
6.10. Jenis-Jenis Dan Harga Jual Produk Olahan Rotan VI-18
6.11. Biaya Variabel Produksi Olahan Rotan VI-19
6.12. Jenis-Jenis Dan Harga Jual Produk Olahan Bambu VI-20
6.13. Biaya Variabel Produksi Olahan Bambu VI-20
6.14. Jenis-jenis bonsai yang ada di Pulau Gelang Kecamatan
Kuala Cenaku
VI-23
6.15. Biaya variabel budidaya bonsai VI-24
6.16. Jenis Pakan Kelulut yang ada di 5 Desa Kecamatan
Kuala Cenaku
VI-27
6.17. Komponen Biaya Pengembangan Budidaya Lebah
Kelulut
VI-30
6.18. Biaya Peralatan dan Perlengkapan VI-31
6.19. Daya Dukung budidaya lebah Kelulut (Trigona sp.) VI-32
10. viii
DAFTAR GAMBAR
No Uraian Halaman
4.1. Usulan Hutan Desa Kuala Cenaku IV-2
4.2. Sketsa Lokasi Penanaman IV-3
5.1. Hasil Hutan Bukan Kayu di Hutan Desa Kuala Cenaku V-19
6.1. Jalur Pemasaran Madu di Desa Tambak VI-14
6.2. Jalur Pemasaran Anyaman Pandan di Desa-Desa
Kecamatan Kuala Cenaku
VI-15
6.3. Jalur Pemasaran Kerajinan Rotan VI-18
6.4. Jalur Pemasaran Olahan Bambu VI-20
6.5. Jalur Pemasaran Bonsai VI-22
6.6. Kebun Karet (Havea braziliensis) sebagai
Habitat Lebah Kelulut
VI-26
6.7. Pakan Lebah Kelulut Desa Tambak pada pohon Kuini
(Mangifera farvifolia) dari Famili Anacardiaceae (rasa
madu sedikit asam)
VI-29
11. ix
DAFTAR LAMPIRAN
No Uraian Halaman
1. Dokumentasi pengamatan dan inventarisasi jenis kayu
pada areal kawasan Hutan Desa Kecamatan Kuala
Cenaku
1-4
2. Dokumentasi potensi pemanfaatan Hasil Hutan Bukan
Kayu dan Sumber Daya Hutan oleh Masyarakat Desa
5-7
13. I-1
1.1. Latar Belakang
Pengelolaan hutan yang hanya menekankan pada eksploitasi hutan
dan berbasiskan perusahaan kehutanan tidak akan memberikan manfaat
yang besar bagi masyarakat lokal, baik terhadap kebutuhan masyarakat
maupun terhadap kelestarian hasil hutan serta kesempatan dan peluang
kerja bagi masyarakat tempatan. Semenjak ditetapkannya undang-undang
bahwa setiap sumberdaya alam merupakan hak dari setiap warga negara dan
bukan merupakan milik perorangan sesuai amanat UUD 1945 pasal 33,
setiap orang yang merupakan bagian dari sumberdaya alam memiliki sebuah
pemikiran tentang upaya pengelolaan dari sumberdaya alam tersebut yang
berbasiskan masyarakat.
Pemikiran ini juga dipicu dengan keberhasilan mahasiswa bersama
rakyat menumbangkan aristokrasi yang diciptakan oleh pemerintah di segala
bidang termasuk bidang kehutanan. Sehingga kebebasan untuk
menyuarakan kepemilikan dan pengelolaan sumber daya hutan serta
mengupayakan prinsip-prinsip keadilan yang selama ini terenggut mencuat
ke permukaan. Terjadi pergeseran paradigma pengelolaan sumberdaya alam
dalam hal ini sumberdaya hutan dari yang selama ini terpusat pada
pemerintah dan beberapa gelintir orang saja menjadi hutan untuk rakyat.
Keterlibatan masyarakat, baik secara individu maupun kolektif, dan
Pemerintah Daerah dari berbagai tingkatan, akan lebih menjamin
diperolehnya pengelolaan hutan yang lestari. Dengan demikian, pengelolaan
partisipatif sinergistik menjadi kata kunci dalam menunjang keberhasilan
14. I-2
pengoperasian kewenangan yang dimiliki sektor ini. Fungsi hutan dapat
berjalan dengan baik kalau keberadaan hutan tetap dijaga lestari.
Sektor kehutanan merupakan sektor yang memiliki kewenangan
untuk mengelola sumberdaya hutan yang meliputi kawasan, lahan hutan,
tegakan, dan pendistribusian manfaatnya. Namun demikian, dalam
pengimplementasian kewenangan tersebut tidak harus dilakukan oleh Dinas
Kehutanan atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja, tetapi
seluruh instansi pemerintah serta masyarakat diharuskan ikut menjaga
kelestarian hutan. Hal ini perlu dilakukan mengingat fungsi hutan tidak
hanya dapat dinilai secara ekonomi langsung saja namun harus dilihat secara
komprehensif termasuk nilai tidak langsungnya.
Pemanfaatan hasil hutan oleh manusia telah berlangsung lama, seiring
dengan dimulainya interaksi manusia dengan alam sekitarnya. Salah satu
peradaban awal manusia dimulai dari praktek berburu dan meramu yang
berlokasi di hutan. Pada tahap kebudayaan ini, manusia bergantung pada
hutan, dimana hutan menyediakan segala kebutuhan primernya seperti
makanan, pakaian dan tempat tinggal. Ketergantungan ini menjadikan
manusia terus menerus memanfaatkan hutan dan mempelajari fenomena
sumberdaya hutan. Salah satu fungsi hutan yang sering diabaikan oleh
masyarakat pada umumnya adalah fungsi hasil hutan bukan kayu (HHBK)
dan fungsi jasa lingkungan (environmental service).
HHBK akhir-akhir ini dianggap semakin penting setelah produktivitas
kayu dari hutan alam semakin menurun. Perubahan paradigma dalam
pengelolaan hutan semakin cenderung kepada pengelolaan kawasan
(ekosistem hutan secara utuh), juga telah menuntut diversifikasi hasil hutan
selain kayu. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berasal dari bagian pohon atau
tumbuh-tumbuhan yang memiliki sifat khusus yang dapat menjadi suatu
barang yang diperlukan oleh masyarakat, dijual sebagai komoditi ekspor atau
sebagai bahan baku untuk suatu industri. Mengingat pemungutannya tidak
memerlukan perizinan yang rumit sebagaimana dalam pemungutan hasil
hutan kayu (timber), masyarakat hutan (masyarakat yang tinggal di sekitar
15. I-3
hutan) umumnya bebas memungut dan memanfaatkan HHBK dari dalam
hutan. Masyarakat tidak dilarang memungut dan memanfaatkan HHBK baik
di dalam hutan produksi maupun hutan lindung, kecuali di dalam kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam (Departemen Kehutanan 1990).
Oleh karena itu, selain menjadi sumber devisa bagi negara, HHBK seperti
rotan, daging binatang, madu, damar, gaharu, getah, berbagai macam minyak
tumbuhan, bahan obat-obatan, dan lain sebagainya merupakan sumber
penghidupan bagi jutaan masyarakat hutan. Masyarakat hutan
memanfaatkan HHBK baik secara konsumtif (dikonsumsi langsung) seperti
binatang buruan, sagu, umbi-umbian, buah-buahan, sayuran, obat-obatan,
kayu bakar dan lainnya, maupun secara produktif (dipasarkan untuk
memperoleh uang) seperti rotan, damar, gaharu, madu, minyak astiri, dan
lainnya
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu haruslah menjadi inti dari
pemanfaatan hasil hutan. Disamping dapat melestarikan hutan secara
umum, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu lebih diartikan sebagai
pemanfaatan secara berkelanjutan dari hutan tanpa merusak tegakannya
atau memanfaatkan hasil sampingan dari pohon atau hasil hutan lainnya.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dapat menjadi kegiatan pokok dari
pemanfaatan hasil hutan pada mekanisme pengelolaan hutan oleh
masyarakat seperti hutan desa. Mekanisme pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu telah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun.
Upaya-upaya pengusulan sebuah kawasan hutan menjadi hutan desa
tentunya memerlukan berbagai tahapan mengingat bahwa kelestarian hutan
dan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama pengelolaan hutan
desa. Sebagai tahap awal dalam pengusulan hutan desa adalah
mempersiapkan informasi-informasi terkait dengan kondisi hutan desa yang
akan diusulkan dalam hal ini usulan hutan desa di lima desa. Desa-desa
tersebut sebagai desa di pinggir hutan memerlukan hutan dalam
pembangunannya baik fisik maupun non fisik sehingga untuk memulai
pengusulan hutan desa terkait dengan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
16. I-4
diperlukan informasi tipe-tipe hasil hutan bukan kayu yang ada dan yang
sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan, potensi hasil hutan
bukan kayu, mekanisme pengolahan dan tahapan pemasaran dan analisis
biaya pengusahaan hasil hutan bukan kayu tersebut. Informasi-informasi
tersebut dapat diperoleh melalui kajian terhadap hutan desa yang akan
diusulkan.
1.2. Maksud dan Tujuan Kajian
Adapun maksud kajian hasil hutan bukan kayu pada kawasan usulan
hutan desa Kuala Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu adalah untuk
menyediakan data dan informasi mengenai hasil hutan bukan kayu pada
kawasan usulan hutan desa Kuala Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu. Tujuan
kajian sebagai berikut:
1. mengidentifikasi potensi hasil hutan bukan kayu pada kawasan usulan
hutan desa Kuala Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu
2. mengidentifikasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat
sekitar kawasan usulan hutan desa Kuala Cenaku Kabupaten Indragiri
Hulu.
3. menganalisis mekanisme pemasaran hasil hutan bukan kayu sesuai
dengan potensi yang ada di kawasan usulan hutan desa Kuala Cenaku
Kabupaten Indragiri Hulu
4. menganalisis tahapan pengembangan hasil hutan bukan kayu sesuai
dengan potensi yang ada di kawasan usulan hutan desa Kuala Cenaku
Kabupaten Indragiri Hulu
5. menganalisis perhitungan biaya kebutuhan pengembangan hasil hutan
bukan kayu sesuai dengan potensi yang ada di kawasan usulan hutan
desa Kuala Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu
17. I-5
1.3. Keluaran Kajian
Keluaran kajian hasil hutan bukan kayu pada kawasan usulan hutan
desa Kuala Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu sebagai berikut:
1. Diperolehnya informasi-informasi mengenai potensi hasil hutan bukan
kayu pada kawasan hutan desa Kuala Cenaku Kecamatan Kuala Cenaku
Kabupaten Indragiri Hulu
2. Diperoleh informasi mengenai pemanfaatan hasil hutan bukan kayu oleh
masyarakat sekitar kawasan usulan hutan desa Kuala Cenaku Kabupaten
Indragiri Hulu
3. Terdapatnya analisis mekanisme pemasaran hasil hutan bukan kayu
sesuai dengan potensi yang ada di kawasan usulan hutan desa Kuala
Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu
4. Terdapatnya analisis mengenai tahapan pengembangan hasil hutan
bukan kayu sesuai dengan potensi yang ada di kawasan hutan desa Kuala
Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu
5. Terdapatnya analisis perhitungan biaya kebutuhan pengembangan hasil
hutan bukan kayu sesuai dengan potensi yang ada di kawasan hutan desa
Kuala Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu
19. II-1
2.1. Manfaat Sumberdaya Hutan
Hutan secara terminologis diartikan sebagai masyarakat tumbuh-
tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan
yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Hubungan antara masyarakat
tumbuh-tumbuhan hutan, margasatwa dan alam lingkungannya begitu erat
sehingga hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau
ekosistem. Sedangkan ekosistem sendiri terdiri atas makhluk hidup dan
makhluk tak hidup yang saling berpengaruh dan mempertukarkan zat untuk
kelangsungan hidupnya (Odum dalam Soerianegara & Indrawan, 1998).
Hutan khususnya hutan tropis memiliki fungsi dan peranan yang
sangat besar dalam memelihara keseimbangan kehidupan makhluk hidup
dan lingkungan. Hutan merupakan salah satu bentuk tata guna lahan yang
lazim dijumpai di daerah tropis, subtropis, di dataran rendah maupun
dataran tinggi. Hutan juga merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan
dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak
pada suatu kawasan dan membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada
dalam keseimbangan dinamis (Arief, 1994).
Hutan selama ini diartikan hanya memiliki empat komponen utama
yaitu : tanah, iklim, flora dan fauna. Pengertian komponen hutan seperti ini,
terutama dalam hubungannya dengan kasus-kasus di Indonesia sudah tidak
relevan lagi. Pengelolaan hutan pada masa sekarang dan yang akan datang di
Indonesia tidak lagi dapat mengabaikan peran serta rakyat yang berada di
sekitar hutan. Oleh karena itu komponen utama penyusun hutan adalah
tanah, iklim, flora, fauna, regim-regim pertanian, rakyat/masyarakat, serta
20. II-2
komponen ekosistem lainnya. Manfaat hutan menurut Kusmiran (2003)
adalah :
a) Manfaat ekonomi
Hutan menghasilkan beberapa produk. Kayu gelondongan dapat
diolah menjadi kayu, kayu lapis, bantalan kereta api, papan, kertas.
Rotan dapat digunakan sebagai furniture. Hutan dapat juga
menghasilkan minyak dan berbagai produk lainnya, latex dapat
digunakan untuk membuat karet, terpentin, berbagai jenis lemak,
getah, minyak, dan lilin. Bagi masyarakat pedalaman binatang dan
tanaman hutan menjadi sumber makanan pokok mereka. Tidak
seperti sumber alam lainnya misal batubara, minyak, dan tambang
mineral, sumber alam yang berasal dari hutan dapat tumbuh kembali,
sejauh manusia dapat memperhitungkan pengelolaannya.
b) Manfaat lingkungan
Hutan membantu konservasi dan memperbaiki lingkungan hidup
dalam berbagai bentuk. Misalnya hutan membantu menahan air
hujan, sehingga mencegah tanah longsor dan banjir, air hujan diserap
menjadi air tanah yang muncul menjadi mata air bersih yang mengalir
membentuk sungai, danau dan air sumur. Tumbuhan hijau membantu
memperbaiki lapisan atmosfer, menghasilkan oksigen yang sangat
diperlukan oleh makhluk hidup dan mengambil karbondioksida dari
udara. Jika tumbuhan hijau tidak menghasilkan oksigen lagi, maka
hampir semua kehidupan akan berhenti. Jika karbondioksida
bertambah banyak di atmosfer hal ini dapat merubah iklim di bumi
secara drastis. Hutan menjadi tempat tinggal beberapa jenis tanaman
dan binatang tertentu yang tidak bisa hidup di tempat lainnya. Tanpa
hutan berbagai tumbuhan dan hewan langka akan musnah
21. II-3
c) Manfaat hiburan
Keindahan alam dan kedamaian di dalam hutan dapat menjadi
hiburan yang sangat luar biasa dan langka. Mengamati burung atau
hewan langka menjadi kegiatan yang sangat menarik.
Menurut Muntasib (1999) manfaat hutan dapat dibedakan menjadi beberapa
macam yaitu :
a) Hutan sebagai sumber kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman
hayati. Hutan terutama hutan tropis mempunyai keanekaragaman
hayati (biodiversity) yang sangat tinggi, karena di daerah tropik yang
penyinaran mataharinya penuh sepanjang tahun sehingga
memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis kehidupan.
b) Hutan sebagai pelindung tanah dan erosi serta pengatur tata air
Hutan yang rapat tumbuhnya sangat besar manfaatnya, baik sebagai
pelindung tanah dari erosi maupun sebagai pengatur tata air. Dengan
adanya hutan, air hujan tidak akan langsung menyentuh permukaan
tanah, tetapi mengenai tajuk dan daun serta serasah yang ada di
bawah tegakan, sehingga tanah aman dari erosi serta tata air dapat
teratur.
c) Hutan menyerap karbondioksida dan memproduksi oksigen
d) Hutan sebagai sumber hasil hutan
Dari hutan banyak sekali sumber alam yang dapat dimanfaatkan
untuk kelangsungan hidup manusia
e) Hutan sebagai sumber mata pencaharian dan tempat hidup sebagian
masyarakat seperti di Nagari Koto Malintang
f) Hutan sebagai tempat pendidikan, pelatihan dan rekreasi
22. II-4
2.2. Pemanfaatan dan Pelestarian Hutan
Pemanfaatan hutan adalah kegiatan manusia secara keseluruhan yang
bertujuan untuk mengarahkan sistem ekologi hutan atau memelihara sistem
tersebut dalam keadaan yang memungkinkan sistem ini untuk memenuhi
kebutuhan manusia akan produksi dan atau jasa pelayanan dalam jangka
panjang (Steinlin, 1988). Sedangkan pengertian menurut Dephut (1997)
adalah suatu upaya atau serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk
mempertahankan agar hutan dapat memberikan manfaat dan pengaruh yang
positif secara berkelangsungan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam kaitan untuk memperoleh manfaatnya hutan harus dikelola
dan dimanfaatkan dengan baik. Maka dari itu perlu pengelolaan dan
pengusahaan hutan. Pengusahaan hutan bertujuan untuk memperoleh
manfaat sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran
rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengusahaan hutan
diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian dan asas perusahaan (UU No.
41 tahun 1999).
Kegiatan utama pelestarian hutan adalah : 1) pendidikan, penerangan
dan penyuluhan tentang hutan dan kehutanan bagi masyarakat luas; 2)
pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan secara baik dan tepat; 3)
pemanfaatan dan penggunaan hasil hutan dengan tepat; 4) pemulihan lahan
dan hutan kosong atau hutan yang tidak atau kurang produktif; 5)
perlindungan hutan secara preventif dan represif; 6) pelestarian dan
pengawetan alam, antara lain terhadap flora dan fauna yang dilindungi
dengan tepat (Muntasib, 1999).
Pelestarian hutan juga merupakan berbagai praktek dan perbuatan
yang dilakukan pada setiap kegiatan kehutanan, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau sudah disepakati secara
umum. Dalam kegiatan pelestarian hutan, seluruh jajaran baik pemerintah
maupun masyarakat bersama-sama melestarikan hutan. Dalam upaya
menggali potensi hutan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
23. II-5
lingkungan kepemilikan hutan ada beberapat alternatif sistem pengelolaan
hutan yang dilakukan, antara lain :
a. Pengelolaan hutan berprinsip pada pelestarian hutan dengan melibatkan
komponen pemangku adat masyarakat setempat
b. Hak pengusahaan hutan dapat diberikan kepada masyarakat, dengan
batasan areal tertentu
c. Pemanfaatan hutan rakyat terutama diperuntukan untuk masyarakat
yang berada di sekitar hutan.
d. Potensi hutan yang dimiliki selain kayu dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat dengan tidak mengabaikan pelestariannya.
e. Peremajaan terhadap tumbuhan unggulan setempat dapat diprioritaskan
pada kawasan tertentu (Anonim, 2003).
2.3. Azas Kelestarian Sumberdaya Hutan
Prinsip kelestarian adalah memaksimalkan pemanfaatan hutan agar
generasi mendatang dapat mewarisinya paling tidak sama dengan yang
dituntut generasi saat ini (Turner dkk, 1993 dalam Sardjono, 2004).
Kelestarian tergantung dari keseimbangan antara pemanfaatan (utilization)
dan kemampuan memperbaiki diri (replenishment) (Ostrom, 1990 dalam
Sardjono, 2004).
Pengelolaan hutan lestari adalah suatu rangkaian sasaran, kegiatan
dan hasil yang selalu memelihara dan meningkatkan integritas ekologis
hutan dan memberi andil bagi kesejahteraan masyarakat baik di masa
sekarang maupun di masa depan. Pengelolaan hutan lestari berkaitan
dengan unit pengelolaan hutan yang berarti kawasan hutan yang batas-
batasnya jelas, sebagian besar lahannya tertutup oleh hutan, dan dikelola
untuk berbagai tujuan yang dinyatakan secara jelas dan didasarkan pada
rencana pengelolaan jangka panjang (Cifor, 1999).
24. II-6
Prinsip-prinsip umum kelestarian menurut Upton dan Bass (1995)
dalam Sardjono (2004):
Kelestarian Lingkungan (Environmental Sustainability): menunjukkan
bahwa ekosistem mampu mendukung kehidupan organisme secara sehat, di
samping pada waktu yang bersamaan mampu memelihara produktivitas,
adaptabilitas, serta kapabilitas untuk memperbaharui diri (renewal); hal ini
mensyaratkan pegelolaan hutan yang menghormati, dan dibangun atas dasar
proses-proses alami;
Kelestarian sosial (Social Sustainability): merefleksikan hubungan
antara pembangunan dan norma-norma sosial; suatu kegiatan secara sosial
lestari bilamana memiliki kesesuaian dengan norma-norma sosial, atau tidak
melebihi kapasitas masyarakat untuk suatu perubahan; dan
Kelestarian Ekonomi (Economic Sustainability): menuntut bahwa
keuntungan bagi suatu (beberapa) kelompok tidak melebihi biaya yang
diperlukan, dan kapital yang setara dapat diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
2.4. Praktek-Praktek Pemanfaatan Sumberdaya Hutan
Adapun pemanfaatan sumberdaya hutan berdasarkan jenis
sumberdaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat Amarasi Kabupaten
Kupang berupa sumberdaya tumbuhan obat dengan menggunakan
tumbuhan sebanyak 22 jenis dari 13 famili, untuk kebutuhan sehari-hari
sebagai kayu bakar sebanyak 21 jenis dan material bangunan sebanyak 54
jenis. Sedangkan untuk makanan ternak sebanyak 27 jenis (Pulunggono,
1999).
Penggunaan oleh masyarakat Loita Masai yang diteliti oleh Maundu et
al (2001) mengidentifikasi manfaat sumberdaya hutan yang mencakup untuk
acara ritual, bangunan, bahan makanan dan kayu bakar. Selanjutnya
sumberdaya hutan digunakan untuk pengobatan, hasil kayu, makanan ternak
dan penggunaan lainnya.
25. II-7
Sedangkan masyarakat Kinabalu menggunakan 9.000 jenis tumbuhan
dalam memenuhi kebutuhannya. Pemanfaatan sumberdaya hutan ini
menetapkan daerah tersebut menjadi Dusun Ethnoflora (Martin et al., 2002).
2.5. Hasil Hutan Bukan Kayu
2.5.1. Definisi Hasil Hutan Bukan Kayu
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Hasil Hutan Bukan Kayu mencakup
semua keanekaragaman biologi selain kayu yang digali dari hutan untuk
keperluan manusia. Hasil-hasil hutan ini termasuk makanan, obat-obatan,
bumbu-bumbu, damar, karet, tanaman hias, hewan dan produk-produk yang
dihasilkan oleh hewan (misalnya sarang burung walet, madu, dan lainnya),
rotan, bambu dan serat-serat (mis: pandan yang dapat dianyam menjadi
tikar). Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan HHBK
sebagai produk selain kayu yang berasal dari bahan biologis, diperoleh dari
hutan dan pepohonan yang tumbuh di sekitar hutan.
Semua HHBK mempunyai karakteristik yang sama yaitu digali oleh
masyarakat di dalam dan sekitar hutan dengan menggunakan teknologi yang
sederhana. Secara ekologis HHBK tidak memiliki perbedaan fungsi dengan
hasil hutan kayu, karena sebagian besar HHBK merupakan bagian dari
pohon. Menurut UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, disebutkan bahwa
HHBK adalah hasil hutan hayati maupun non hayati. Hasil hutan bukan kayu
(HHBK) merupakan salah satu hasil hutan selain kayu dan jasa lingkungan.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 35 tahun 2007, HHBK adalah
hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan
budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Beragam manfaat sosial,
ekonomi dan lingkungan dapat diperoleh dari keberadaan HHBK ini.
Sementara ini ada 558 komoditas HHBK yang menjadi urusan Departemen
Kehutanan.
26. II-8
2.5.2. Klasifikasi Hasil Hutan Bukan Kayu
Klasifikasi HHBK Klasifikasi yang dipergunakan disini sederhana saja,
yaitu pemanfaatan hutan oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan dengan
menggunakan teknologi yang sederhana. Beberapa produk yang
diklasifikasikan sebagai HHBK adalah: Produk-produk yang dapat dimakan
1). Makanan Biasanya hampir semua bentuk-bentuk tanaman di hutan
dapat dimakan, baik yang dapat dimakan langsung begitu diambil (seperti
pisang, jeruk, durian, dll), atau melalui beberapa proses (seperti sagu).
Tepung sagu ketika diproses dapat dibuat menjadi makanan pokok dan
makanan sampingan, misalnya bihun, bakso dan biskuit. Selain sebagai bahan
makanan sagu juga bisa menjadi bahan baku lem untuk industri kayu lapis,
dan produk-produk kayu atau kertas lainnya.
2). Minyak-Minyakan yang Dapat di Makan Kacang-kacangan dan biji-
bijian adalah sumber-sumber utama minyak-minyakan yang dapat dimakan.
Tengkawang dan kemiri adalah contoh kacang-kacangan yang dapat
dimakan. Di daerah terpencil, tengkawang diolah menjadi minyak goreng.
Sedangkan di beberapa daerah yang lebih maju, tengkawang dapat diolah
dan menjadi bahan baku untuk produk kosmetik, margarine dan pengganti
bubuk coklat. Selain itu juga sebagai makanan ternak yang kaya karbohidrat
dan protein. Kemiri bisa ditemukan di seluruh Indonesia, dan berlimpah di
Sulawesi Selatan, Jawa, Maluku dan Sumatera Utara. Kemiri biasanya
ditanami orang, tetapi juga bisa diperoleh di hutan.
3). Rempah-Rempah Indonesia dikenal sebagai negara penghasil
rempah, dimana rempah ini selain digunakan sebagai bumbu penyedap
masakan, minuman ringan juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan.
Beberapa contoh rempah-rempah adalah kayu manis, pala, kapulaga dan
sebagainya.
Produk-produk hewan yang dapat dimakan
1). Hewan buruan Binatang yang biasa diburu untuk diambil
dagingnya seperti babi hutan, rusa, buaya dan jenis binatang lainnya. Bagian
27. II-9
kulit, tulang dan gigi binatang buruan bisa dijadikan kerajinan tangan seperti
tas dan kalung. Perburuan harus memperhatikan keseimbangannya agar
dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan sehingga perlu aturan yang
tegas, terutama hukum adat yang sangsinya lebih ditakuti dari sangsi hukum
negara (pemerintah).
2). Produk-produk yang berasal dari binatang Salah satu produk
eksotis yang dihasilkan dan dapat dimakan adalah sarang burung walet.
Meskipun tidak dikonsumsi oleh penduduk lokal, sarang burung tersebut
merupakan salah satu komoditas berharga yang dijual kebanyakan kepada
orang Cina, baik di pasar lokal maupun ekspor. Produk lainnya adalah madu
berkualitas tinggi yang diambil langsung dari hutan. Kita dapat menjumpai
madu tersebut di Kalimantan dan Sumatera. Selain diambil madunya, sarang
dan larva lebah juga biasanya diambil untuk obat, meningkatkan stamina dan
bahan baku lilin. Produk Obat-Obatan Untuk produk obat-obatan agak sedikit
susah untuk mengidentifikasi produk yang benar-benar hanya untuk obat,
karena biasanya produk-produk yang sudah disebutkan diatas selain
dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari juga dipergunakan untuk bahan
pembuat obat, misalnya rempah-rempah, damar, sarang burung walet, dan
sebagainya.
Tanaman yang tidak dapat dimakan
1). Rotan Rotan adalah salah satu komoditi HHBK yang tumbuh
merambat dengan bentuk batangnya yang bulat dengan panjang kira-kira 10
sampai 60 meter. Karena sifat-sifatnya yang kuat, panjang, lentur dan tahan
lama membuat rotan menjadi bahan baku yang serbaguna. Rotan utuh
biasanya dijadikan perabot, peralatan rumah tangga dan aksesori lainnya.
Sedang kulit rotan bisa dijadikan produk kerajinan tangan seperti keranjang,
tas, tikar, dll.
2). Bambu Sebelas jenis bambu (mis: Bambusa, Debdrocalamus,
Gigantochloa, Schizostachyum) yang terdiri dari 35 spesies ditemukan di
Indonesia. Kesebelas spesies tersebut merupakan tanaman endemik di
Indonesia dan tigabelas spesies lainnya bisa ditanam di desa-desa. Meskipun
28. II-10
sifat-sifatnya tidak seperti rotan, namun bambu banyak juga dimanfaatkan
untuk membuat perabot, barang-barang kerajinan tangan, rumah di
pedesaan, jembatan, peralatan rumah tangga, dan lain-lain.
3). Tanaman Hias Tanaman Hias biasanya digunakan untuk hiasan
rumah, bunga dipakai juga untuk bahan baku parfum, juga untuk pewarna
(untuk mencelup kain). Bunga yang paling banyak kita jumpai dan bernilai
tinggi diantaraya adalah berbagai jenis anggrek, yang dikagumi karena
keindahannya. Juga berbagai jenis tanaman pakis. Namun banyak juga jenis
anggrek yang sudah terancam punah, diantaranya anggrek hitam yang
berasal dari Papua. Untuk itu harus diperhatikan betul-betul tanaman yang
hendak di ambil, jangan sampai tanaman tersebut punah. Setelah diambil
dari hutan, tanaman anggrek biasanya dapat dibudidayakan di halaman
rumah atau kebun anggrek.
4). Komponen-komponen Kimia Untuk menghasilkan bahan-bahan
yang dapat dijadikan sebagai bahan-bahan kimia, ada beberapa cara, namun
yang lebih umum ada dua, yaitu dengan Cara menyadap langsung dari pohon
dan kemudian diambil cairan yang keluar (biasanya berupa getah). Cara
lainnya adalah dengan menyuling atau mencampur dengan bahan pelarut.
Contoh produk ini adalah damar, kamper, gaharu, dan lain-lain.
5). Serat dan Lainnya Tanaman yang biasanya dijadikan serat adalah
pandan. Kegunaannya banyak sekali, diantaranya untuk membuat tikar,
keranjang, tempat beras, dan lain-lain. Selain serat dari pandan, kulit kayu
yang telah diolah sedemikian rupa sehingga seperti kain juga banyak
dijadikan sebagai bahan pembuat tas, keranjang, topi dan lain-lain.
Secara Umum, HHBK yang dimanfaatkan dan memiliki potensi untuk
dimanfaatkan oleh masyarakat, dapat dibedakan menjadi beberapa bagian
sebagai berikut : 1. Getah-getahan : Getah jelutung, getah merah, getah balam,
getah karet alam dll. 2. Tanin : Pinang, Gambir, Rhizophora, Bruguiera, dll 3.
Resin : Gaharu, Kemedangan, Jernang, Damar mata kucing, Damar batu,
Damar rasak, Kemenyan dll. 4. Minyak atsiri : Minyak gaharu, Minyak kayu
putih, Minyak Keruing, Minyak lawang, Minyak kayu manis 5. Madu : Apis
29. II-11
dorsata, Apis melliafera 6. Rotan dan Bambu : Segala jenis rotan, Bambu dan
Nibung 7. Penghasil Karbohidrat : Sagu, Aren, Nipah, Sukun dll 8. Hasil
Hewan : Sutra alam, Lilin lebah, Aneka hewan yang tidak dilindungi 9.
Tumbuhan Obat dan Tanaman Hias : Aneka tumbuhan obat dari hutan,
anggrek hutan, palmae, pakis dll
2.5.3. Peranan HHBK
Peranan HHBK dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan
pelestarian lingkungan (termasuk mencegah bencana banjir dan tanah
longsor di musim penghujan serta kekeringan dan kebakaran hutan/lahan di
musim kemarau) adalah: HHBK dapat menyediakan berbagai kebutuhan
untuk menunjang kehidupan masyarakat lokal. Pengusahaan HHBK
menimbulkan dampak terhadap lingkungan hutan yang jauh lebih kecil
dibandingkan dengan pembalakan hutan (pemanenan kayu), sehingga
memberikan model pengelolaan hutan yang lebih menunjang upaya
pelestarian. Peningkatan nilai komersial HHBK akan berdampak pada
peningkatan nilai hutan baik pada masyarakat lokal maupun skala nasional.
Secara umum peranan HHBK dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Peranan HHBK terhadap aspek ekologis Dalam ekosistem hutan,
HHBK merupakan bagian dari ekosistem hutan. Beberapa hasil HHBK
diperoleh dari hasil pohon, misalnya getah-getahan, tanin resin dan minyak
atsiri. Sedangkan selebihnya dari palm, hasil satwa ataupun anggrek. Untuk
pohon seperti gaharu (Aquilaria malaccensis), dalam ekosistem memiliki
peranan sebagai pohon dominan dengan ketinggian mencapai 30 – 40 m.
Palm berupa sagu, nipah, dll merupakan bagian dari ekosistem yang
berfungsi menjaga abrasi oleh sungai atau laut.
2. Peranan HHBK terhadap ekonomi rumah tangga HHBK dapat
menjaga adanya kestabilan pendapatan dan resiliensi (kekenyalan) terhadap
perubahan yang terjadi di luar sistem hutan rakyat. Resiliensi adalah suatu
tingkat kelenturan dari sumber pendapatan terhadap adanya perubahan
30. II-12
pasar. Contohnya adanya perubahan nilai tukar mata uang. Pada saat terjadi
krisis moneter, HHBK memiliki peran yang besar terhadap pendapatan
rumah tangga dan devisa negara, karena HHBK tidak menggunakan
komponen import dalam memproduksi hasil.
3. Peranan HHBK terhadap pembangunan wilayah Dengan pengaturan
terhadap HHBK baik dari proses produksi, pengolahan dan pemasaran,
semua dapat dilakukan oleh masyarakat, sehingga income (pendapatan) dari
kegiatan tersebut masuk dalam wilayah produsen. HHBK seperti getah
damar, telah dapat menjadi sektor basis. Dengan adanya kegiatan produksi
dan pengolahan maka terjadi penyerapan tenaga kerja yang besar.
2.6. Pemasaran Hasil Hutan Bukan Kayu
2.6.1. Pengertian Pemasaran
Menurut Kotler dan Amstrong (1990), pemasaran merupakan suatu
usaha dengan menggunakan pasar untuk melakukan pertukaran yang
bertujuan untuk memenuhi aktifitas keinginan manusia. Pemasaran
merupakan usaha terpadu untuk menggabungkan rencana-rencana strategis
yang diarahkan kepada usaha pemuas kebutuhan dan keinginan konsumen
untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan melalui proses pertukaran
atau transaksi. Kegiatan pemasaran perusahaan harus dapat memberikan
kepuasan kepada konsumen bila ingin mendapatkan tanggapan yang baik
dari konsumen. Perusahaan harus secara penuh tanggung jawab tentang
kepuasan produk yang ditawarkan tersebut. Dengan demikian, maka segala
aktivitas perusahaan, harusnya diarahkan untuk dapat memuaskan
konsumen yang pada akhirnya bertujuan untuk memperoleh laba.
Lembaga pemasaran adalah bahan usaha yang melakukan atau
menyelenggarakan pemasaran. Menyalurkan jasa dan komoditi dari
produsen ke konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan
usaha atau individu lain. Lembaga–lembaga pemasaran yang terlibat dalam
pemasaran produk-produk kehutanan adalah (1) pedagang atau lembaga
pemasaran yang secara langsung berhubungan dengan petani, pedagang ini
31. II-13
melakukan transaksi dengan petani baik secara tunai, maupun kontrak
pembelian, (2) pedagang besar melakukan proses pengumpulan produksi
dari pedagang kecil, pengangkutan pengolahan, penyimpanan, menanggung
resiko produksi (asuransi) dan jika melakukan proses distribusi ke pedagang
penjualan ataupun pengecer, (3) pedagang penjual biasanya membeli produk
atau komoditi yang dimiliki pedagang dalam jumlah yang banyak dengan
harga yang relatif murah dibandingkan dengan pengecer; (4) pengecer,
merupakan lembaga pemasaran yang berhadapan langsung dengan
konsumen atau menjual langsung kepada konsumen.
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
pemasaran pada prinsipnya terbagi tiga yaitu, (1) fungsi pertukaran meliputi
penjualan dan pembelian, (2) fungsi fisik meliputi pengangkutan dan
penyimpanan, (3) fungsi fisik meliputi standarisasi, penanggungan resiko,
informasi harga dan penyediaan dana (Sudiyono, 2001). Tahap selanjutnya
Lembaga pemasaran akan melakukan fungsi pemasaran yang berbeda sesuai
dengan kemampuan pembiayaan yang dimiliki. Karena adanya perbedaan
kegiatan yang dilakukan, maka tidak semua kegiatan dalam fungsi
pemasaran dilakukan oleh sebuah lembaga pemasaran saja dan selanjutnya
biaya dan keuntungan pemasaran menjadi berbeda tiap tingkat lembaga
pemasaran (Soekartawi, 1993).
2.6.2. Saluran Pemasaran
Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyatakan bahwa saluran pemasaran
adalah berbagai badan atau lembaga yang menyelenggarakan penyaluran
barang dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran sebagai aspek
penting dalam pemasaran yang disebut juga sebagai jalan atau jalur.
Saluran distribusi pemasaran yang digunakan harus merupakan alat
yang efisien untuk mencapai sasaran. Dalam mencapai sasaran maka salah
satu faktor penting adalah memilih saluran pemasaran yang efisien dan
efektif. Saluran pemasaran yang berbelit dan panjang akan menyebabkan
peningkatan penggunaan biaya-biaya pemasaran. Hal ini akan merugikan dan
32. II-14
tidak efisien. Pada umumnya saluran pemasaran yang langsung akan lebih
efisien dibanding dengan saluran pemasaran yang panjang atau
menggunakan perantara, dalam memasarkan barang (Nittisemito, 1986).
Menurut Soekartawi (2002), panjangnya rantai pemasaran sering
merugikan petani dimana pasar tidak bekerja sempurna, lemahnya informasi
pasar, lemahnya petani dalam mengisi peluang untuk mendapatkan harga
permintaan pasar. Pasar yang baik adalah ketika petani sebagai produsen
dapat memiliki peluang dalam penentuan harga pasar.
2.6.3. Biaya Pemasaran
Menurut Soekartawi (1989), biaya pemasaran adalah seluruh biaya
yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran. Besarnya biaya pemasaran
berbeda satu sama lainnya, yang disebabkan perbedaan macam komoditi,
lokasi pemasaran, lembaga pemasaran serta efektifitas pemasaran yang
dilakukan.
Menurut Soekartawi (1993), pelaku pemasaran merupakan sarana
untuk menyalurkan barang dari produsen sampai kepada konsumen. Pelaku-
pelaku pemasaran tersebut meliputi pedagan pengumpul, pedagang besar,
pedagang pengecer/pedagang keliling. Para pelaku pemasaran ikut
menentukan pengembangan produk dan pasar dari suatu hasil produksi, baik
itu produk industri maupun produk kehutanan.
34. III-1
3.1. Kerangka Pendekatan, Lokasi dan Waktu
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
pendekatan kolaboratif dengan menekankan partisipasi masyarakat dalam
menentukan letak dan lokasi potensi hasil hutan bukan kayu yang dapat
dimanfaatkan dengan tetap menekankan aspek keberlanjutan ekosistem dan
keberlanjutan status kawasan yang diusulkan sebagai hutan desa.
Pendekatan juga dilakukan dengan mengadakan cek silang terhadap
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang dilakukan oleh masyarakat
dengan potensi hasil hutan bukan kayu yang terdapat di kawasan hutan desa
Kuala Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu. Penelitian dilaksanakan di kawasan
hutan desa Kuala Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu dan masyarakat desa
sekitar kawasan hutan desa Kuala Cenaku. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Juni-Agustus 2017.
3.2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei yang
bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu
kelompok masyarakat melalui wawancara langsung dengan menggunakan
pedoman wawancara yang telah disediakan sebelumnya (Singarimbun,
1995). Selain metode survei juga digunakan metode pengamatan secara
langsung terhadap praktek-praktek pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
oleh masyarakat.
Penentuan sampel responden yang diwawancarai dengan
menggunakan purposive sampling untuk informasi yang berkaitan dengan
35. III-2
peran dari kelembagaan adat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan.
Sedangkan untuk responden yang berkaitan dengan pemanfaatan
sumberdaya hutan menggunakan stratified random sampling dengan sampel
sebanyak 15% (Dephut, 1997). Pengambilan sampel sebanyak 15%
dilakukan untuk populasi yang besar (n > 30) sedangkan populasi kecil (n <
30) sebanyak 20% dan semakin kecil atau dibawah 10 orang diambil
seluruhnya. Sampel responden diambil pada lima desa yang menjadi
pengusul hutan desa sekitar SM Kerumutan Kabupaten Indragiri Hulu.
Adapun aspek yang ingin dikumpulkan dalam pemetaan potensi
kawasan ini adalah potensi sumberdaya hutan yang ada di kawasan usulan
hutan desa yang meliputi jumlah sumberdaya hutan, pemanfaatan oleh
masyarakat, lokasi dan penyebaran sumberdaya hutan. Alat yang diperlukan
dalam pemetaan ini meliputi:
1. GPS untuk memetakan penyebaran sumberdaya hutan
2. Clinometer untuk membuat jalur dan mengukur tinggi pohon
3. Phiband untuk mengukur diameter pohon
4. Meteran untuk mengukur panjang ruas bambu atau rotan
5. Kamera untuk dokumentasi
6. Alkohol dan kertas koran untuk pembuatan herbarium
7. Kertas warna merah untuk latar belakang dokumentasi
3.3. Teknik Pengumpulan Data
3.3.1. Wawancara
Wawancara dilakukan dalam bentuk komunikasi langsung dengan
narasumber dan melakukan tanya jawab berhubungan dengan masalah
penelitian. Dalam pelaksanaannya narasumber diberikan kebebasan untuk
memberikan informasi sebatas tidak menyimpang dari disain lapangan, yang
sebelumnya telah dipersiapkan dalam bentuk pedoman wawancara. Dengan
36. III-3
kata lain pada sistem ini narasumber menguraikan hal-hal yang berkaitan
dengan pemanfaatan sumberdaya hutan.
Penentuan narasumber dilakukan secara sengaja (purposive) pada
dusun-dusun yang terdapat di kawasan hutan adat untuk pengumpulan data
peran kelembagaan adat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Adapun
responden yang akan diwawancarai terdiri dari dua jenis yaitu :
1. Tokoh adat sebanyak 2 orang per desa
2. Tokoh masyarakat diambil kepala desa atau sekretaris desa per desa
Selanjutnya penentuan jumlah narasumber yang terkait dengan
pemanfaatan sumberdaya hutan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh
Dephut (1997) sebanyak 15% dengan rincian praktek pemanfaatan sebagai
berikut
1. Masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai bahan obat-
obatan
2. Masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai bahan
makanan
3. Masyarakat yang memanfaatkan hutan sebagai bahan bangunan dan
kerajinan tangan
4. Masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan untuk kayu bakar
5. Masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan untuk keperluan
makanan ternak
6. Masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan untuk sumber
kehidupan lainnya
Kondisi pasar aktual dan biaya pengembangan dilakukan dengan
survei usaha kecil dan menengah di Riau dalam hal ini di daerah Pekanbaru
dan sekitar. Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap
sampel 5 responden dari masing-masing komoditas hasil hutan bukan kayu.
Kondisi pasar potensial dan aspek pasokan-permintaan dilakukan dengan
survei tur beberapa operator melalui wawancara dan studi literatur.
37. III-4
3.3.2. Pengamatan Langsung
Pengamatan langsung dilakukan terhadap tipe-tipe pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu yang dilakukan oleh masyarakat. Pengamatan ini
dilakukan pada saat pengambilan sumberdaya hutan dan dilakukan
pendokumentasian terhadap pemanfaatan tersebut. Adapun pengamatan
dilakukan pada kegiatan sebagai berikut:
1. Potensi hasil hutan bukan kayu dengan menggunakan metode
jalur yang digunakan dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
masing-masing per desa
2. Potensi hasil hutan bukan kayu yang berada di sekitar desa dengan
melakukan pengamatan di lokasi potensi hasil hutan bukan kayu
3. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan bukan kayu oleh
masyarakat yang melakukan pemanfaatannya
Untuk menghitung potensi sumberdaya hutan dilakukan dengan
menggunakan metode eksplorasi botani. Metode eksplorasi ini
menggunakan jalur-jalur yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat dalam
memungut sumberdaya hutan. Jalur ini memiliki lebar 20 m (10 m kiri dan
10 meter kanan) sepanjang 500-1000 m untuk kawasan usulan hutan desa.
Adapun data yang dikumpulkan baik di hutan dan di masyarakat meliputi:
1. Nama lokal dan nama latin
2. Habitus (cara hidup)
3. Potensi yang terdiri dari jumlah dan kerapatan baik hasil hutan kayu
maupun hasil hutan bukan kayu
4. Ciri-ciri lokasi ditemukannya sumberdaya hutan yang terdiri dari jenis
tanah, jarak dari sumber air, vegetasi yang berdekatan, koordinat lokasi
5. Manfaat/kegunaan oleh masyarakat
6. Cara pengolahan atau pemanfaatan lebih lanjut
38. III-5
3.4. Jenis Data
3.4.1. Data Primer
Data primer yang dikumpulkan berupa :
1. Potensi hasil hutan bukan kayu. data yang dikumpulkan meliputi : jenis
tumbuhan atau hewan yang dimanfaatkan (nama ilmiah dan nama lokal),
manfaat/kegunaan, jumlah yang dimanfaatkan, frekuensi pengambilan,
dan lokasi ditemukannya sumberdaya hutan tersebut.
2. Sejarah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan norma hukum atau
aturan adat yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak dalam
pemanfaatan sumber daya hutan, sanksi-sanksi yang diberikan terhadap
pelanggaran yang dilakukan serta kelembagaan adat masyarakat desa,
jenis-jenis interaksi masyarakat dengan hasil hutan bukan kayu untuk
kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial budaya serta pemanfaatan
sumberdaya hutan sebagai bahan obat-obatan, bahan makanan, bahan
bangunan dan kerajinan tangan, kayu bakar, makanan ternak dan sumber
kehidupan lainnya.
3. Mekanisme pemasaran hasil hutan bukan kayu, yang meliputi data
mengenai permintaan dan penawaran dari hasil hutan bukan kayu, data
ekspor dan impor hasil hutan bukan kayu. Produk-produk turunan dari
hasil hutan bukan kayu yang masuk dalam mekanisme produksi dan
pasar.
4. Pengembangan hasil hutan bukan kayu yang meliputi data mengenai
cara-cara pengembangan hasil hutan bukan kayu dan tahapan-tahapan
dalam pengembangan produk-produk yang berasal dari hasil hutan
bukan kayu
5. Analisis biaya pengembangan hasil hutan bukan kayu yang meliputi data
pendapatan, faktor-faktor produksi dan data biaya yang dibutuhkan
dalam pengembangan hasil hutan bukan kayu menjadi produk-produk
39. III-6
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi literatur
terhadap hutan desa, keadaan geografis, kondisi sosial budaya dan ekonomi
masyarakat desa serta kondisi alam sekitar hutan desa yang terdapat di SM
Kerumutan Kabupaten Indragiri Hulu.
3.4.3. Variabel Penelitian
Adapun variabel dalam penelitian ini adalah :
a. Potensi hasil hutan bukan kayu
1. Jumlah jenis hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan
2. Jumlah atau kuantitas hasil hutan bukan kayu
b. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
1. Praktek-praktek pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
2. Jumlah orang yang memanfaatkan hasil hutan bukan kayu
3. Frekuensi pemanfaatan sumberdaya hutan
4. Cara/teknik pemanfaatan sumberdaya hutan
c. Mekanisme pemasaran untuk masing-masing hasil hutan bukan kayu
1. Pemasaran lokal
2. Pemasaran luar kota
3. Pemasaran ekspor
d. Tahapan pengembangan
1. Tahapan pengembangan produk
2. Tahapan diversifikasi produk
e. Analisis biaya pengembangan
1. analisis biaya skala kecil
40. III-7
2. analisis biaya skala besar
3.5. Analisis Data
3.5.1. Analisis Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu
Potensi sumber daya hutan yang terdapat di kawasan usulan hutan
desa dianalisa dengan menggunakan indeks nilai penting (INP) untuk melihat
frekuensi, kerapatan dan dominansi masing-masing vegetasi. Analisa potensi
juga menggunakan indeks Shannon untuk melihat tingkat keanekaragaman
kawasan usulan hutan desa. Potensi sumber daya hutan ini dapat dibagi
menjadi potensi hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan
sumberdaya hutan juga dilihat per lokasi untuk menentukan potensi masing-
masing lokasi.
3.5.2. Analisa Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
Data pemanfaatan sumberdaya hutan dianalisis secara tabulasi untuk
mengelompokkan masing-masing tumbuhan berdasarkan jenis, manfaat dan
jumlahnya. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa dan dibahas
secara deskriptif. Data yang dianalisis secara deskriptif berkaitan dengan
sejarah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, kelembagaan adat dan
norma/aturan adat yang terkait dengan pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu. Data yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
dilakukan analisis dengan menggunakan tabel, berdasarkan :
1. Tipe-tipe pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berdasarkan kegunaan
atau manfaat hasil hutan bukan kayu.
2. Nama daerah dan nama ilmiah hasil hutan bukan kayu yang
dimanfaatkan.
3. Cara pemanfaatan yang meliputi cara pengambilan, frekuensi
pengambilan, dan jumlah yang diambil dalam sekali pengambilan.
41. III-8
4. Tujuan penggunaan dan cara penggunaan hasil hutan bukan kayu.
5. Karakteristik lokasi dimana ditemukan hasil hutan bukan kayu tersebut.
3.5.3. Analisa Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan disederhanakan
ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasi. Masing-masing
jenis tumbuhan yang terdapat di kawasan usulan hutan desa juga dilakukan
cross check dengan masyarakat untuk mendapatkan hasil yang lebih valid
mengenai potensi sumberdaya hutan yang terdapat di kawasan hutan desa
tersebut.
3.5.4. Analisis Mekanisme Pemasaran Hasil Hutan Bukan Kayu
Analisis data mekanisme pemasaran hasil hutan bukan kayu
menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Menurut Sugiyono
(2002) dalam Selamat (2008), analisis deskriptif adalah analisis yang
digunakan untuk data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan
data yang telah terkumpul sebagaimana adanya. Mekanisme pemasaran
menggambarkan permintaan pasar akan hasil hutan bukan kayu, pola
pemasaran dan mekanisme apabila melakukan produksi pemasaran.
3.5.5 Analisis Biaya Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu
Jenis-jenis produk hasil hutan bukan kayu dan sumber bahan baku
dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif. Sedangkan untuk analisis
biaya produksi menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis
kuantitatif yaitu analisis yang menggunakan data kuantitatif dalam
pengolahannya (Kuncoro, 2003). Analisis data yang dilakukan pada
penelitian ini adalah analisis biaya produksi dan pendapatan.
43. IV-1
4.1. Letak dan Luas Usulan Hutan Desa Kuala Cenaku
Usulan hutan Desa Kuala Cenaku terletak pada lokasi 5 desa yaitu
Desa Pulau Jumat, Pulau Gelang, Tanjung Sari, Tambak dan Sukajadi. Status
kawasan pada awalnya adalah hutan produksi. Usulan hutan desa ini
memiliki luas 38.172 ha dengan batas-batas sebagai berikut :
a. Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Meranti
b. Bagian Barat berbatasan dengan SM.Kerumutan
c. Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuala Cenaku,
PT.Surya Buana Bersama.
d. Bagian Timur berbatasan dengan Konsesi PT.Satria Perkasa
Agung, PT.Mutiara Sabuk Khatulistiwa, dan PT.Sumatera Riang
Lestari
Secara administrasi usulan hutan Desa Kuala Cenaku ini masuk dalam
Kecamatan Kuala Cinaku Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau. Usulan
hutan desa Kuala Cenaku termasuk dalam kelompok hutan Rantau Besai.
Hutan Desa dapat menjadi kawasan cadangan kayu untuk perahu bagi
masyarakat dan menghasilkan hasil hutan bukan kayu bagi masyarakat.
Lebih jelasnya mengenai lokasi dan batas-batas usulan hutan Desa
Kuala Cenaku dapat dilihat pada gambar berikut ini:
46. IV-4
4.2. Kondisi Biofisik Hutan Desa Kuala Cenaku
a. Tutupan Hutan : Batas Kawasan Penyangga Kerumutan—yang
merupakan bagian dari Lanscape SM.Kerumutan--adalah Sungai
Indragiri, Sungai Kampar, Pantai Timur Pulau Sumatera dan Jalan
Lintas Timur Pulau Sumatera. Disekitar kawasan usulan terdapat
pemanfaatan kawasan hutan dan lahan oleh berbagai pihak seperti
HPH, HTI, Perkebunan Kelapa Sawit, perladangan masyarakat,
nelayan, pengambilan kayu mangrove dan berbagai aktivitas
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Kawasan Penyangga Kerumutan terletak di 102 ̊ 36’ – 102 ̊ 41’ BT
dan 0 ̊ 6’ LU – 0 ̊ 18’ LS. Kondisi tutupan hutan diperkirakan masih
berisi tegakan pohon sebesar 80-90%.
b. Ketinggian : 20 – 30 mdpl
c. Kelerengan : Kisaran 5 – 15 %
d. Topografi : Bergelombang
e. Jenis tanaman yang diusahakan masyarakat:
Jelutung
Meranti
Rotan
Gaharu
Dll...
f. Potensi usaha dalam kawasan: Pemungutan hasil hutan bukan kayu
berupa getah jelutung, rotan, madu, dll.
g. Aksebilitas dari desa menuju lokasi: Via darat, sungai, dan kanal.
Kondisi suhu udara dapat dilihat pada Tabel 4.1
47. IV-5
Tabel 4.1. Suhu Udara, Kelembaban Udara dan pH Tanah
Parameter Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5
Suhu (˚C) 29 28 28 27 27
Kelembaban (%) 79 82 80 89 82
Ph tanah 4,8 4,8 4,8 4,7 4,7
Suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara. Alat untuk
mengukur suhu udara atau derajad panas disebut termometer. Pengukuran
biasa dinyatakan dalam skala Celsius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F).
Suhu udara tertinggi di permukaan bumi adalah di daerah tropis (sekitar
ekuator) dan makin ke kutub makin dingin. Dari hasil pengamatan yang
dilakukan yang dilakukan di hutan desa kecamatan kuala cenaku di ketahui
suhu paling tinggi berada pada jalur 1, sebesar 29 ˚C dan suhu terendah
berada pada jalur 4 dan 5 sebesar 27 ˚C.
Kelembaban nisbi pada suatu tempat tergantung pada suhu yang
menentukan kapasitas udara untuk menampung uap air serta kandungan
uap air aktual di tempat tersebut. Kandungan uap air yang aktual ini
ditentukan oleh ketersediaan air tempat tersebut serta energi untuk
menguapkannya. Jika daerah tersebut basah dan panas seperti daerah-
daerah di kalimantan, maka penguap akan tinggi yang berakibat pada
kelembaban mutlak serta kelembaban nisbi yang tinngi. Sedangkan daerah
pegunungan di Indonesia umumnya mempunyai kelembaban nisbi yang
tinggi karena suhunya rendah sehingga kapasitas udara untuk menampung
uap air relatif kecil (Handoko, 1986). Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan di Hutan Desa Kecamatan Kuala Cenaku diketahui Kelembaban
yang paling tinggi berada pada jalur 4 sebesar 89% sedangkan kelembaban
terendah berada pada jalur 1 yaitu sebesar 79%.
pH tanah merupakan faktor yang mempengaruhi kesuburan tanah,
terutama mengenai ketersedian unsur hara tanah. Nilai pH mempengaruhi
reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam tanah. pH tanah yang netral
48. IV-6
memungkinkan tanah memungkinkan tanah dalam kondisi terbaik untuk
digunakan bercocok tanam. Hal ini berkaitan dengan kondisi reduksi-
oksidasi tanah, daya penyangga (Buffer) dan salinitas tanah. Selain itu, pH
tanah merupakan salah satu sifat kimia tanah yang secara tidak langsung
berinteraksi sifat fisika dan biologi tanah dalam mempegaruhi kesuburan
tanah. Tanah yang terlalu masam dapat meracuni tanaman. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan di hutan desa kecamatan kuala cenaku
diketahui pH tanah tertinggi terdapat pada jalur 1, 2 dan 3 sebesar 4,8 dan
pH tanah terendah terdapat pada jalur 4 dan 5 yaitu sebesar 4,7
Suhu pada jalur 1 diukur sekitar pukul 10.00 sedangkan suhu pada
jalur 2 diukur sekitar pukul 12.00, untuk jalur 3 diukur sekitar pukul 14.00,
jalur 4 diukur sekitar pukul 16.00 dan jalur 5 diukur sekitar pukul 09.00.
Tinggi rendahnya suhu pada setiap jalur diperkirakan karena :
Keadaan cuaca saat pengukuran
Tutupan tajuk yang berbeda beda setiap jalurnya
Kelembaban udara yang berbeda beda
4.3. Struktur Hutan Desa Kuala Cenaku
Secara umum kondisi kawasan usulan hutan desa Kuala Cenaku
masuk dalam kategori baik walaupun pernah dibuka atau diusahakan oleh
HPH. Hal ini terlihat dengan masih banyak ditemukan pohon-pohon dengan
diameter >30 cm. Kawasan usulan hutan desa masuk dalam kategori hutan
rawa gambut berdasarkan edafiknya (tempat tumbuhnya).
Ciri-ciri hutan rawa gambut yang terdapat di hutan Desa Kuala
Cenaku yakni kondisi tanah yang merupakan tanah gambut (Organosol) yang
banyak mengandung organik dimana pembentukan tanah ini berasal dari
organisme seperti pohon yang sudah mati ribuan bahkan jutaan tahun lalu.
Disamping itu hutan ini tumbuh dalam kondisi tanah masam dengan pH 3,5-
4,0. Menurut Indriyanto (2005), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan
yang terdapat pada daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar
49. IV-7
dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan-bahan
tanaman yang telah mati.
Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang
tumbuh tempat tumbuh atau tanah organic karena memiliki bahan organik
yang tinggi pada kandungan tanahnya. Hutan gambut pada awalnya
terbentuk karena adanya genangan lahannya sehingga pohon-pohon atau
vegetasi yang sudah mati tidak dapat terdekomposisi dengan baik sehingga
masih memiliki bagian yang lengkap tergandung waktu atau lama
dekomposisinya.
Berdasarkan tahapan tumbuhnya, hutan Desa Kuala Cenaku dapat
dikategorikan sebagai hutan sekunder dimana suksesinya merupakan
suksesi sekunder karena telah mengalami gangguan terhadap vegetasi
hutannya. Secara ekologi hutan yang masih dalam kondisi yang baik fungsi
dan kualitas serta kuantitasnya dan belum mengalami gangguan dapat
disebut sebagai hutan primer. Sedangkan hutan sekunder adalah hutan yang
mengalami gangguan dalam proses suksesi klimaksnya. Hutan sekunder
adalah hutan tumbuhan yang terbentuk setelah adanya perusakan total
(lebih dari 90%) dari hutan primer akibat pengaruh manusia, yang tumbuh
di atas lahan yang luas, sehingga karena terjadinya perubahan iklim mikro
dan kondisi permudaan yang berbeda menunjukkan struktur, komposisi
jenis pohon dan dinamika yang berbeda dari tegakan aslinya, dan juga belum
berkembang mencapai keadaan (tegakan) awalnya (masih dapat dibedakan
dengan tegakan aslinya) (Cornelia et al, 2000).
Hutan sekunder terjadi sebagai akibat gangguan manusia dalam
bentuk pembalakan dan perladangan. Hal ini merupakan bukti atas
mundurnya nilai hutan. Hutan sekunder tumbuh di areal dimana hutan asli
tumbuh kembali setelah ditebang atau dibersihkan untuk pertanian. Hutan-
hutan sekunder tersebar di seluruh Afrika, Asia dan Amerika Latin, terutama
di negara-negara dimana hutan tropis primer masih terus ditebangi. Sekitar
sepertiga areal hutan Asia kini merupakan hutan-hutan sekunder (Manan,
1997).
50. IV-8
Ada beberapa jenis hutan sekunder. Diantaranya yang paling
menonjol adalah areal yang diciptakan oleh penebangan komersial. Hutan-
hutan sekunder yang tumbuh di lahan yang pernah digunakan oleh para
peladang berpindah dapat mencakup areal yang luas terutama di Indonesia
dan Thailand. Pada peladang berpindah seringkali menciptakan kebun hutan
sekunder dengan menanami areal kosong dengan pepohonan yang
menghasilkan buah, kacang dan getah dan produk-produk lain (Cornelia et al,
2000).
4.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat (Demografi
Kependudukan)
Adapun kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terdapat di sekitar
Hutan Desa Kuala Cenaku sebagai berikut:
Jumlah Penduduk @5 Desa : 7110 Jiwa, terdiri dari;
Jumlah Kepala Keluarga @Desa : 2005 KK.
Mata pencaharian utama : Bertani dan berkebun
Tingkat kesejahtraan umum : Menegah – kebawah.
Kearifan lokal (dalam melestarikan hutan):
Rutin melakukan penghijauan dilahan tidur masing-masing desa.
52. V-1
5.1. Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu
5.1.1. Kerapatan Relatif
1. Jalur 1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh 5 jenis vegetasi yang
memiliki kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Kerapatan Relatif Tertinggi Vegetasi pada Jalur 1
No Nama Jenis Nama Ilmiah KR (%)
1 Meranti Bunga Shorea parvifolia 11,1
2 Rengas Gluta elegans 7,41
3 Medang Phoebe hunanensis 7,41
4 Kayu Hitam Dyospiros sp. 7,41
5 Ramin Gonystylus bancanus 7,41
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.1. diperoleh kerapatan relatif tertinggi vegetasi
pada hutan desa Kecamatan Kuala Cenaku yaitu meranti bunga (Shorea
parvifolia) sebesar 11,1%, Rengas (Gluta elegans), medang (Phoebe
hunanensis), kayu hitam dan ramin (Gonystylus bancanus) sebesar 7.41 %.
2. Jalur 2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh 5 jenis vegetasi yang
memiliki kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.2.
53. V-2
Tabel 5.2. Kerapatan Relatif Tertinggi Vegetasi pada Jalur 2
No Nama Jenis Nama Ilmiah KR (%)
1 Meranti Shorea sp 22,2
2 Mempening Lithocarpus cycloporus 11,1
3 Rengas Gluta elegans Bl 16,6
4 Bengku Ganua motleyana 8,3
5 Pelawan Tristaniopis merguensis Griff 5,5
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.2. diperoleh kerapatan relatif tertinggi vegetasi
pada jalur 2 yaitu meranti (Shorea sp) sebesar 22,2%, rengas (Gluta elegans
Bl) sebesar 16,6%, mempening (Lithocarpus cycloporus) sebesar 11,1%,
bengku sebesar 8,3% dan pelawan (Tristaniopis merguensis Griff) sebesar
5,5%.
3. Jalur 3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh 5 jenis vegetasi yang
memiliki kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Kerapatan Relatif Tertinggi Vegetasi pada Jalur 3
No Nama Jenis Nama Ilmiah KR (%)
1 Kayu Hitam Dyospiros sp. 8,33
2 Medang Phoebe hunanensis 18,70
3 Meranti Shorea sp 12,50
4 Mempening Lithocarpus cycloporus 12,50
5 Rengas Gluta elegans Bl 12,50
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.3. diperoleh kerapatan relatif tertinggi vegetasi
pada jalur 3 pada plot yang telah ditentukan di Kawasan Hutan Desa
Kecamatan Kuala Cenaku yaitu Medang (Phoebe hunanensis) sebesar 18,70%,
54. V-3
mempening (Lithocarpus cycloporus), Meranti (Shorea sp.) dan Rengas (Gluta
elegans Bl) sebesar 12,50%.
4. Jalur 4
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh 5 jenis vegetasi yang
memiliki kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Kerapatan Relatif Tertinggi Vegetasi pada Jalur 4
No Nama Jenis Nama Ilmiah KR (%)
1 Meranti Shorea sp 7,93
2 Medang Phoebe hunanensis 27,00
3 Arang-arang Diospyros punctclulosa 11,10
4 Mepening Lithocarpus cycloporus 11,10
5 Jangkung Xylopia malayana Hook.f. 7,93
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.4. diperoleh kerapatan relatif tertinggi vegetasi
pada jalur empat pada plot yang telah ditentukan dikawasan hutan desa yaitu
Medang (Phoebe hunanensis) sebesar 27,0%, mempening (Lithocarpus
cycloporus) dan Arang-Arang (Diospyros punctclulosa) sebesar 11,1%,
Meranti (Shorea sp) dan Jangkung (Xylopia malayana Hook.f.) sebesar 7,93%.
5. Jalur 5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh 5 jenis vegetasi yang
memiliki kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.5.
55. V-4
Tabel 5.5. Kerapatan Relatif Tertinggi Vegetasi pada Jalur 5
No Nama Jenis Nama Ilmiah KR (%)
1 Medang Phoebe hunanensis 5,81
2 Inay 4,65
3 Medang Udang Actinodapne sp. 5,81
4 Kayu Hitam Dyospiros sp. 9,30
5 Arang-Arang Diospyros punctclulosa 4,65
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.5. diperoleh kerapatan relatif tertinggi vegetasi
pada jalur 5 yaitu kayu hitam sebesar 9,30%, medang sebesar 5,81%,
medang udang sebesar 5,81%, inay sebesar 4,65% dan arang-arang
(Diospyros punctclulosa) sebesar 4,65%.
Menurut Arief (1994) dalam Abdullah (2002), tingginya kerapatan
relatif dari suatu jenis menandakan jenis tersebut mempunyai kemampuan
untuk menyesuaikan diri yang lebih baik dengan lingkungannya
dibandingkan jenis yang lain. Sedangkan rendahnya nilai kerapatan relatif
menunjukkan bahwa jumlah individu dari jenis yang ada tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga jumlah individunya sedikit.
5.1.2. Frekuensi Relatif
1. Jalur 1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di hutan desa Kuala Cenaku
diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur analisis vegetasi yang memiliki
frekuensi relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.6.
56. V-5
Tabel 5.6. Frekuensi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 1
No Nama Jenis Nama Ilmiah FR (%)
1 Meranti Bunga Shorea parvifolia 11,1
2 Rengas Gluta elegans 7,41
3 Medang Phoebe hunanensis 7,41
4 Kayu Hitam Dyospiros sp. 7,41
5 Ramin Gonystylus bancanus 7,41
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.6. diperoleh frekuensi relatif tertinggi vegetasi
yaitu meranti bunga (Shorea parvifolia) sebesar 11,1%, Rengas (Gluta
elegans), medang (Phoebe hunanensis), kayu hitam dan ramin (Gonystylus
bancanus) sebesar 7.41 %.
2. Jalur 2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Hutan Desa Kecamatan
Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur 2 yang memiliki frekuensi
relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7. Frekuensi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 2
No Nama Jenis Nama Ilmiah FR (%)
1 Meranti Shorea sp 20
2 Mempening Lithocarpus cycloporus 10
3 Rengas Gluta elegans Bl 10
4 Bengku Ganua motleyana 10
5 Pelawan Tristaniopis merguensis Griff 6,6
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.7. diperoleh frekuensi relatif tertinggi vegetasi
pada jalur 5 yaitu meranti (Shorea sp) sebesar 20%, mempening (Lithocarpus
cycloporus ) sebesar 10%, rengas (Gluta elegans Bl) sebesar 10%, bengku
57. V-6
sebesar 5,26% dan pelawan (Tristaniopis merguensis Griff) sebesar 6,6%.
Frekuensi memberikan gambaran bagaimana pola penyebaran suatu jenis,
apakah menyebar keseluruh kawasan atau kelompok.
3. Jalur 3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kawasan Hutan Desa
Kecamatan Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur 3 yang telah di
buat yang memiliki frekuensi relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8. Frekuensi Relatif Tertinggi Vegetasi Jalur 3
No Nama Jenis Nama Ilmiah FR (%)
1 Kayu Hitam Dyospiros sp. 10,80
2 Medang Phoebe hunanensis 16,20
3 Meranti Shorea sp 8,10
4 Mempening Lithocarpus cycloporus 10,80
5 Rengas Gluta elegans Bl 10,80
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.8. diperoleh frekuensi relatif tertinggi vegetasi
pada jalur yang dibuat pada Kawasan Hutan Desa Kecamatan Kuala Cenaku
yaitu Medang (Phoebe hunanensis) sebesar 16,20%, Mempening (Lithocarpus
cycloporus), Rengas (Gluta elegans Bl), dan Kayu Hitam sebesar 10,80%,
Meranti (Shorea sp) sebesar 8,10%.
4. Jalur 4
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kawasan Hutan Desa
Kecamatan Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur plot yang telah
di buat yang memiliki frekuensi relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.9.
58. V-7
Tabel 5.9. Frekuensi Relatif Tertinggi Vegetasi Jalur 4
No Nama Jenis Nama Ilmiah FR (%)
1 Meranti Shorea sp 8,16
2 Medang Phoebe hunanensis 24,40
3 Rengas Gluta elegans Bl 8,16
4 Mempening Lithocarpus cycloporus 6,12
5 Jangkung Xylopia malayana Hook.f. 8,16
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.9. diperoleh frekuensi relatif tertinggi vegetasi
pada jalur plot yang dibuat pada Kawasan Hutan Desa Kecamatan Kuala
Cenaku yaitu Medang (Phoebe hunanensis) sebesar 24,4%, Meranti (Shorea
sp), Rengas (Gluta elegans Bl), dan Jangkung (Xylopia malayana Hook.f.),
sebesar 8,16%, mempening (Lithocarpus cycloporus) sebesar 6,12%.
Frekuensi memberikan gambaran bagaimana pola penyebaran suatu jenis,
apakah menyebar keseluruh kawasan atau kelompok.
5. Jalur 5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Hutan Desa Kecamatan
Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur 5 yang memiliki frekuensi
relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10. Frekuensi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 5
No Nama Jenis Nama Ilmiah FR (%)
1 Meranti Bunga Shorea parvifolia 5, 26
2 Rengas Gluta elegans Bl 6,31
3 Medang Udang Actinodapne sp. 5,26
4 Mempening Lithocarpus cycloporus 8,42
5 Arang-Arang Diospyros punctclulosa 4,65
Sumber: Hasil olahan data (2017)
59. V-8
Berdasarkan Tabel 5.10. diperoleh frekuensi relatif tertinggi vegetasi
pada jalur 5 yaitu mempening (Lithocarpus cycloporus.) sebesar 8,42%,
rengas (Gluta elegans Bl) sebesar 6,31%, meranti bunga (Shorea parvifolia)
sebesar 5,26%, medang udang sebesar 5,26% dan arang-arang (Diospyros
punctclulosa) sebesar 4,65%. Frekuensi memberikan gambaran bagaimana
pola penyebaran suatu jenis, apakah menyebar keseluruh kawasan atau
kelompok.
Frekuensi memberikan gambaran bagaimana pola penyebaran suatu
jenis, apakah menyebar keseluruh kawasan atau kelompok. Menurut
Soerianegara dan Indrawan (1978), frekuensi suatu jenis menunjukkan
penyebaran jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata
mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang
mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kecil.
Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya faktor yang dapat membantu
penyebarannya, sehingga daya penyebarannya menjadi berkurang.
5.1.3. Dominansi Relatif
1. Jalur 1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di hutan desa Kuala Cenaku
diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur analisis vegetasi yang memiliki
dominansi relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.11.
Tabel 5.11. Dominansi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 1
No Nama Jenis Nama Ilmiah DR (%)
1 Ramin Gonystylus bancanus 17,4
2 Pelawan Tristaniopis merguensis Griff 12,7
3 Mersawa Anisoptera marginata 10,0
4 Mempening Lithocarpus cycloporus 6,21
5 Kayu Hitam Dyospiros sp. 6,90
Sumber: Hasil olahan data (2017)
60. V-9
Berdasarkan Tabel 5.11. diperoleh dominansi relatif tertinggi vegetasi
pada Jalur 1 Hutan Desa Kecamatan Koala Cenaku yaitu ramin (Gonystylus
bancanus ) sebesar 17,4%, pelawan (Tristaniopis merguensis Griff) sebesar
12,7 %, mersawa (Anisoptera marginata) sebesar 10,0%, mempening
(Lithocarpus cycloporus) sebesar 6,21, dan kayu hitam sebesar 6,90.
2. Jalur 2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Hutan Desa Kecamatan
Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur 2 yang memiliki
dominansi relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12. Dominansi Relatif Tertinggi Vegetasi Di Jalur 2
No Nama Jenis Nama Ilmiah DR (%)
1 Bebukan 6,16
2 Pelawan Tristaniopis merguensis Griff 13,0
3 Kayu Hitam Dyospiros sp. 8,87
4 Bongkal Litsea noronhae 8,05
5 Mersawa Anisoptera marginata 21,9
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.12. diperoleh dominansi relatif tertinggi vegetasi
pada jalur 2 yaitu mersawa (Anisoptera marginata) sebesar 21,9%, pelawan
(Tristaniopis merguensis Griff.) sebesar 13,0%, kayu hitam sebesar 8,87%,
bongkal sebesar 8,05% dan bebukan sebesar 6,16%.
3. Jalur 3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kawasan Hutan Desa
Kecamatan Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur 3 yang dibuat
yang memiliki dominansi relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.13.
61. V-10
Tabel 5.13. Dominansi Relatif Tertinggi Vegetasi di Jalur 3
No Nama Jenis Nama Ilmiah DR (%)
1 Rengas Gluta elegans Bl 11,40
2 Kayu Keras 9,96
3 Arang-arang Diospyros punctclulosa 6,91
4 Ramin Gonystylus bancanus 14,60
5 Jangkung Xylopia malayana Hook.f. 6,91
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.13 diperoleh dominansi relatif tertinggi vegetasi
pada jalur 3 yaitu Ramin (Gonystylus bancanus) sebesar 14,60%, Rengas
(Gluta elegans Bl.) sebesar 11,40%, Kayu Keras sebesar 9,96%, Arang-arang
(Diospyros punctclulosa) dan jangkung (Xylopia malayana Hook.f.) sebesar
6,91%.
4. Jalur 4
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kawasan Hutan Desa
Kecamatan Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur plot yang
dibuat yang memiliki dominansi relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.14.
Tabel 5.14. Dominansi Relatif Tertinggi Vegetasi di Jalur 4
No Nama Jenis Nama Ilmiah DR (%)
1 Mersawa Anisoptera marginata 24,00
2 Rengas Gluta elegans Bl 9,10
3 Bengku Ganua motleyana 5,82
4 Kuning Dare 5,11
5 Pelawan Tristaniopis merguensis Griff 16,50
Sumber: Hasil olahan data (2017)
62. V-11
Berdasarkan Tabel 5.14. diperoleh dominansi relatif tertinggi vegetasi
pada jalur yaitu Mersawa (Anisoptera marginata) sebesar 24,00%, Pelawan
(Tristaniopis merguensis Griff sebesar 16,50%, Rengas (Gluta elegans Bl)
sebesar 9,10%, Bengku sebesar 5,82% dan Kuning Dare sebesar 5,11%.
Dominansi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-
jenis dominan.
5. Jalur 5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Hutan Desa Kecamatan
Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur 5 yang memiliki
dominansi relatif tertinggi terdapat pada Tabel 5.15.
Tabel 5.15. Dominansi Relatif Tertinggi Vegetasi di Jalur 5
No Nama Jenis Nama Ilmiah DR (%)
1 Pelawan Tristaniopis merguensis Griff 12,6
2 Rengas Gluta elegans Bl 4,15
3 Punak Tetrameristra glabra 10,6
4 Durian Burung 4,31
5 Kayu Ara Ficus sp. 5,63
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.15. diperoleh dominansi relatif tertinggi vegetasi
pada jalur 5 yaitu pelawan (Tristaniopis merguensis Griff) sebesar 12,6%,
punak sebesar 10,6%, kayu ara sebesar 5,63%, durian burung sebesar 4,31%
dan rengas (Gluta elegans Bl) sebesar 4,15%.
Dominansi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran
jenis-jenis dominan. Hal ini dapat dilihat pada jenis-jenis vegetasi tertinggi
diduga hal ini diakibatkan oleh faktor lokasi tumbuh dan jenis tanah yang
mendukung.
63. V-12
Menurut Sari (2008) jenis tanah yang mendominasi kawasan tersebut
adalah Tropohemist (sekarang Haplohemist) dan Paleudults. Kawasan ini
berada pada kisaran hutan yang bergambut tebal, berawa sampai kawasan
kering dengan ketinggian 25-100 m dari permukaan laut yang dilapisi oleh
gambut memiliki ketebalan bervariasi di atas pasir dan liat berpasir.
5.1.4. Indeks Nilai Penting (INP)
1. Jalur 1
Haryanto (1995) dalam Sari (2008) menyatakan indeks nilai penting
merupakan hasil penjumlahan dua atau lebih nilai-nilai nisbi (kerapatan
relatif, frkuensi relatif dan dominansi relatif) dengan nilai maksimum 300%
sehingga akan didapatkan nilai yang lebih representatif dan akurat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Hutan Desa Kecamatan Kuala
Cenaku Desa diperoleh 5 jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting tertinggi
terdapat pada Tabel 5.16.
Tabel 5.16. Indeks Nilai Penting Vegetasi di Jalur 1
No Nama Jenis Nama Ilmiah INP (%)
1 Ramin Gonystylus bancanus 32,2
2 Meranti Shorea sp 24,2
3 Kayu Hitam 21,7
4 Pelawan Tristaniopis merguensis Griff 20,1
5 Rengas Gluta elegans Bl 17,2
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.16. diperoleh indeks nilai penting tertinggi
vegetasi pada yaitu ramin (Gonystylus bancanus) sebesar 32,2%, sedangkan
indeks nilai penting terendah terdapat pada kelat yaitu sebesar 9,60%.
64. V-13
2. Jalur 2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Hutan Desa Kecamatan
Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur 2 yang memiliki Indeks
Nilai Penting tertinggi terdapat pada Tabel 5.17.
Tabel 5.17. Indeks Nilai Penting Vegetasi Di Jalur 2
No Nama Jenis Nama Ilmiah INP (%)
1 Meranti Shorea sp 44,6
2 Mempening Lithocarpus cycloporus 24,2
3 Rengas Gluta elegans Bl 29,8
4 Pelawan Tristaniopis merguensis Griff 25,3
5 Mersawa Anisoptera marginata 28,0
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.17. diperoleh indeks nilai penting tertinggi
vegetasi pada jalur 2 yaitu meranti (Shorea sp )sebesar 44,6%, rengas (Gluta
elegans Bl) sebesar 29,8%, mersawa (Anisoptera marginata) sebesar 28,0%,
pelawan (Tristaniopis merguensis Griff) sebesar 25,3% dan mempening
(Lithocarpus cycloporus) sebesar 24,2% sedangkan indeks nilai penting
terendah terdapat pada kelat dengan INP 8,33%.
3. Jalur 3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kawasan Hutan Desa
Kecamatan Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur 3 yang
memiliki Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada Tabel 5.18.
65. V-14
Tabel 5.18. Indeks Nilai Penting Vegetasi di Jalur 3
No Nama Jenis Nama Ilmiah INP (%)
1 Medang Phoebe hunanensis 39,00
2 Meranti Shorea sp 24,40
3 Rengas Gluta elegans Bl 34,70
4 Kayu Keras 19,50
5 Ramin Gonystylus bancanus 24,20
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.18. diperoleh indeks nilai penting tertinggi
vegetasi pada jalur 3 yang dibuat yaitu Medang (Phoebe hunanensis.) sebesar
39,00%, Kayu Keras sebesar 19,50%, Ramin (Gonystylus bancanus.) sebesar
24,20%, Meranti (Shorea sp.) sebesar 24,40% dan Rengas (Gluta elegans Bl.)
Sebesar 34,70%, sedangkan indeks nilai penting terendah terdapat pada
jelutung (Dyera costulata) yaitu sebesar 7,51%
4. Jalur 4
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kawasan Hutan Desa
Kecamatan Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur 4 yang
memiliki Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada Tabel 5.19.
Tabel 5.19. Indeks Nilai Penting Vegetasi di Jalur 4
No Nama Jenis Nama Ilmiah INP (%)
1 Medang Phoebe hunanensis 55,00
2 Arang-arang Diospyros punctclulosa 27,80
3 Mersawa Anisoptera marginata 27,60
4 Rengas Gluta elegans Bl 25,20
5 Kayu Hitam Dyospiros sp. 20,20
Sumber: Hasil olahan data (2017)
66. V-15
Berdasarkan Tabel 5.19. diperoleh indeks nilai penting tertinggi
vegetasi pada jalur 4 yang dibuat yaitu Medang (Phoebe hunanensis) sebesar
55,00%, Kayu Hitam sebesar 20,20%, Arang-arang (Diospyros punctclulosa.)
sebesar 27,80%, Mersawa (Anisoptera marginata.) sebesar 27,60% dan
Rengas (Gluta elegans Bl.) Sebesar 25,20%, sedangkan indeks nilai penting
terendah terdapat pada bongkal yaitu sebesar 6,10%
5. Jalur 5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Hutan Desa Kecamatan
Kuala Cenaku diperoleh 5 jenis vegetasi pada jalur 5 yang memiliki Indeks
Nilai Penting tertinggi terdapat pada Tabel 5.20.
Tabel 5.20. Indeks Nilai Penting Vegetasi di Jalur 5
No Nama Jenis Nama Ilmiah INP (%)
1 Mempening Lithocarpus cycloporus 20,1
2 Pelawan Tristaniopis merguensis Griff 17,1
3 Rengas Gluta elegans Bl 15,0
4 Medang Udang 14,4
5 Punak Tetrameristra glabra 19,5
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.20. diperoleh indeks nilai penting tertinggi
vegetasi pada jalur 5 yaitu mempening (Lithocarpus cycloporus.) sebesar
20,1%, punak dengan INP 19,5% pelawan (Tristaniopis merguensis Griff )
dengan INP 17,1%, rengas (Gluta elegans Bl.) dengan INP 15,0% dan medang
udang dengan INP 14,4%. sedangkan indeks nilai penting terendah terdapat
pada bacang hutan yaitu 4,78%
Dijelaskan oleh Soerianegara dan Indrawan (1978) dalam Andriyani
(2006), bahwa suatu jenis tumbuhan dengan indeks nilai penting tertinggi
pada suatu vegetasi, berarti jenis ramin (Gonystylus bancanus) merupakan
67. V-16
jenis yang dominan. Dimana jenis memiliki keunggulan dibandingkan jenis
lain dalam berkompetisi dan beradaptasi dengan lingkungan yang ada.
5.1.5. Keragaman Jenis
Menurut Ludwig dan Reynold (1998) dalam Abdullah (2002), bahwa
keragaman terdiri dari 2 komponen berbeda yaitu jumlah total
jenis/kelimpahan jenis dan kebersamaan/keserasian (bagaimana
kelimpahan individu tersebar merata diantara jenis yang ada). Keragaman
jenis dapat ditunjukkan secara kuantitatif dengan perhitungan nilai Indeks
Keragaman Shannon-Wiener.
1. Keragaman Jenis Jalur 1
Berdasarkan hasil perhitungan indeks keragaman jenis shannon-
wiener diketahui bahwa keragaman jenis vegetasi pada jalur jelajah gajah
sumatera berkisar antara 0,12 – 0,24. Nilai indeks keragaman shanon
tertinggi yaitu meranti (Shorea sp) sebesar 0,24. Sedangkan indeks
keragaman terendah dengan angka 0,12 diantaranya yaitu pelawan, kelat,
ketapa, dan tenggayun.
2. Keragaman Jenis Jalur 2
Berdasarkan hasil perhitungan indeks keragaman jenis shannon-
wiener diketahui bahwa keragaman jenis vegetasi pada jalur jelajah gajah
sumatera berkisar antara 0,09 – 0,33. Nilai indeks keragaman shanon
tertinggi yaitu meranti (Shorea sp) sebesar 0,29. Sedangkan nilai indeks
keragaman shanon terendah diantaranya yaitu jenis jelutung, mengkuang,
bebukan, kasai, kayu hitam, tepis, mendarahan dan meranti kunyit masing-
masing sebesar 0,09.
3. Keragaman Jenis Jalur 3
Berdasarkan hasil perhitungan indeks keragaman jenis shannon-
wiener diketahui bahwa keragaman jenis vegetasi pada jalur jelajah gajah
sumatera berkisar antara 0,08 – 0,25. Nilai indeks keragaman shanon
68. V-17
tertinggi yaitu rengas (Gluta elegans Bl) sebesar 0,25. Sedangkan nilai indeks
keragaman shanon terendah yaitu jenis jangkung, ramin, meranti, arang
arang, medang, pelawan, terentang dan kelat masing-masing sebesar 0,08.
4. Keragaman Jenis Jalur 4
Berdasarkan hasil perhitungan indeks keragaman jenis shannon-
wiener diketahui bahwa keragaman jenis vegetasi pada jalur jelajah gajah
sumatera berkisar antara 0,06 – 0,24. Nilai indeks keragaman shanon
tertinggi yaitu kayu hitam dan mempening (Lithocarpus cycloporus) sebesar
0,24. Sedangkan nilai indeks keragaman shanon terendah yaitu bacang hutan
kayu teras, bongkal, pelawan, bengku dan mersawa jenis masing-masing
sebesar 0,06.
5. Keragaman Jenis Jalur 5
Berdasarkan hasil perhitungan indeks keragaman jenis shannon-
wiener diketahui bahwa keragaman jenis vegetasi pada jalur jelajah gajah
sumatera berkisar antara 0,04 – 0,22. Nilai indeks keragaman shanon
tertinggi yaitu inay sebesar 0,22. Sedangkan nilai indeks keragaman shanon
terendah yaitu jenis bacang hutan, tetapah, meranti golek, ramin, bongkal,
kayu ara, ketapah, rengas kelakok, gelugur babi, kayubedara, kuning dara,
dan terentang masing-masing sebesar 0,04.
Tinggi atau rendahnya nilai indeks keragaman Shanon sangat
dipengaruhi oleh jenis dan jumlah individu. Semakin banyak jenis dan jumlah
individu maka semakin tinggi nilai indeks Shanon, dan sebaliknya semakin
sedikit jenis dan jumlah individu maka semakin rendah pula nilai indeks
Shanonnya.
69. V-18
5.2. Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Potensi HHBK yang terdapat di hutan desa Kecamatan Kuala Cenaku
dapat dilihat dari hasil penelitian sebagai berikut :
Tabel 5.21. Potensi HHBK di hutan desa Kecamatan Kuala Cenaku
Jenis HHBK Nama latin
Jumlah (Rumpun)
Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5
Pandan
duri
Pandanus
tectorius
29 72 41 53 72
Kantong
semar
Nepenthes sp. 2 15 7 13
Anggrek 2 2 1
Rotan
manau
Calamus manan 2 4 2
Rotan
udang
4
Total 31 85 47 62 86
Kelimpahan per Ha 6,2/ha 17/ha
Sumber: Hasil olahan data (2017)
Berdasarkan Tabel 5.21 potensi terbanyak yaitu pandan duri, dimana
setiap jalur ditumbuhi pandan duri dengan rumpun terbanyak yaitu pada
jalur 2 dan jalur 5 sebanyak 72 rumpun. Pandan duri dapat dimanfaatkan
sebagai kerajinan tangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dengan berbagai
proses pengolahan. Pandan duri, pandan tikar, pandan samak, atau pandan
pudak (Pandanus tectorius) adalah sejenis tumbuhan serupa pohon,
anggota suku Pandanaceae. Sangat berubah-ubah dalam bentuk dan sifat,
penduduk lokal umumnya mengenali banyak varietas dari pandan ini,
memberinya nama yang berbeda-beda, dan bahkan membudidayakan
beberapa banyak dari mereka untuk tujuan-tujuan yang berlainan. Varietas-
varietas tertentu disukai karena daunnya yang lembut dan kuat untuk
dianyam sebagai tikar.
70. V-19
Keberadaan kantong semar (nepenthes) juga ditemukan pada hutan
desa dimana rumpun terbanyak yaitu jalur 2, sebanyak 15 rumpun. Kantung
semar merupakan tanaman daerah tropika dan tumbuh sebagai tanaman
perambat. Kantung yang bergantungan sering terlihat di antara pepohonan
yang dirambatinya. Dengan bantuan sulurnya, ia dapat menjalar ke batang
pohon atau dahan yang paling dekat. Sulur ini kebanyakan bulat dan
panjangnya 1 – 1½ kali panjang daunnya. Dari daun yang langsing dan pipih,
sulur ini tumbuh ke bawah dan terpilin 2 – 3 kali pada pertengahannya, baru
kemudian bersambung ke kantung. Putaran seperti pemintalan tali ini
berguna untuk memperkuat sulur itu, karena ia merupakan tempat
bergantungnya kantung.
Pada jalur 2,3 dan 5 ditemukan jenis anggrek, namun jumlahnya
sangat sedikit, selain itu rotan juga ditemukan pada beberapa jalur dan
jumlahnya pun sedikit
Gambar 5.1. Hasil Hutan Bukan Kayu di Hutan Desa Kuala Cenaku
Pandan Anggrek
Kantong semar Rotan
71. V-20
Tabel 5.22. Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu Hutan Desa
No Jenis Produk
HHBK
Manfaat Sumber Lokasi Jumlah
1. Damar Penambal
perahu
Shorea sp. Hutan Banyak
2. Asam kandis Bumbu dapur Gracinia
parvifolia
Hutan Sedikit
3. Buah-Buahan Konsumsi Mangifera
caesia
Mangifera
kuweni
Hutan Sedikit
4. Tumbuhan obat Obat-obatan Medang Hutan Sedang
5. Pandan duri Kerajinan
tangan
Pandanus
tectorius
Tepi sungai Banyak
6. Tanaman Hias Kantong
semar
Anggrek
Bonsai
Nepenthes sp.
Ficus sp.
Hutan Sedang
7. Rotan manau
Rotan elendang
Kerajinan
tangan
Calamus
manan
Tepi sungai Sedang
8. Enceng gondok Kerajinan
tangan
Tepi sungai Banyak
9. Bambu Kerajinan
tangan
Bambousa sp Tepi sungai Sedang
10 Madu Lebah
Hutan
Konsumsi Pohon sialang Desa Sedang
11 Madu dan
Propolis Kelulut
Konsumsi Pohon
rambutan
(Trigona
laeviceps)
Desa Pulau
Jumat
Sedikit
72. V-21
Adapun jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang terdapat di sekitar hutan desa sebagai berikut:
No Nama Lokal Nama Ilmiah Pemanfaatan/Pengolahan
Frekuensi
Pengambilan
(Waktu)
Jumlah Pemanfaatan
(Rumpun/Batang/Kg)
Keterangan
(Habitus/Habitat)
Masyarakat
Yang
Memanfaatkan
(Desa)
1
Umbai
(Rumbai)
Scirpodendron
ghaeri
Tikar, Bakul,
Sumpit/Tempat Rempah
dapur)
Saat
dibutuhkan
2-3 ikat
Teresterial/Akuati
k
Tambak, Pulau
Jum'at, Pulau
Gelang
2 Pandan Duri
Pandanus
tectorius
Tikar, Bakul,
Sumpit/Tempat Rempah
dapur)
- - Teresterial
Tambak, Pulau
Jum'at, Pulau
Gelang
3 Bomban
Donax
canniformis
Benang Jalin Atap Rumah,
bahan anyaman
- - Akuatik
Tambak dan
Pulau Jum'at
4 Buluh Bambousa sp
Kurung Ikan, Sempirai,
Gogo, Luka
Saat
dibutuhkan
1-5 batang Teresterial
Tambak, Pulau
Jum'at,
Sukajadi,
Tanjung Sari
dan Pulau
Gelang
5 Beringin
Ficus
benjamina
Tanaman Hias/Bonsai
3-6 bulan
sekali
1-4 batang Teresterial Pulau Gelang
6 Anggrek Orchideae Tanaman Hias - - Arboreal -
73. V-22
No Nama Lokal Nama Ilmiah Pemanfaatan/Pengolahan
Frekuensi
Pengambilan
(Waktu)
Jumlah Pemanfaatan
(Rumpun/Batang/Kg)
Keterangan
(Habitus/Habitat)
Masyarakat
Yang
Memanfaatkan
(Desa)
7
Pinang
Merah/Linur
cyrtostachys
lakka Becc.
Tanaman Hias - - Teresterial -
8
Kulit Kayu
(Bungur,
Punak,
Meranti)
- Bahan Gogo - - -
Tambak, Pulau
Jum'at, Sukajadi
dan Pulau
Gelang
9 Kayu Belanti - Kayu Bakar, Pagar
Saat
dibutuhkan
(Saat ada
acara
pernikahan
dan pesta)
Sesuai kebutuhan - Tambak
10 Kayu Bungur
Lagerstroemia
speciosa Pers.
Dayung Sampan
Saat
dibutuhkan
(Saat ada yang
pesan dan
dayung
sampan
rusak)
Sesuai kebutuhan - Tambak
11 Madu Lebah - Konsumsi
1/2 - 1 Tahun
Sekali
Tergantung banyak
sarang yang ditemukan
-
Tambak,Pulau
Jum'at dan
Pulau Gelang
12 Tetonam - Tanaman Hias - - Teresterial -
13
Peghiok
Kere
Nephentes spp Tanaman Hias - -
Teresterial/Arbore
al
-
74. V-23
No Nama Lokal Nama Ilmiah Pemanfaatan/Pengolahan
Frekuensi
Pengambilan
(Waktu)
Jumlah Pemanfaatan
(Rumpun/Batang/Kg)
Keterangan
(Habitus/Habitat)
Masyarakat
Yang
Memanfaatkan
(Desa)
14
Rotan (Soge
beras,
udang, batu,
dahan,
getah)
Callamus sp
Luka, Kursi, Meja, Kerajinan
Anyaman
- -
Teresterial/Arbore
al
Tambak, Pulau
Jum'at,
Sukajadi,
Tanjung Sari
dan Pulau
Gelang
75. V-24
5. 3. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
5.3.1. Tahapan Pengambilan dan Persiapan Bahan HHBK
1. Pandan Duri, Umbai/Rumbai dan Bomban
Daun pandan berduri yang cukup dewasa dengan lebar sekitar 5-7 cm
di potong. Kemudian dengan sisir khusus, duri-duri pada daun tersebut
disisir sehingga rontok. Daun yang sudah bebas duri kemudian dijemur 3-5
hari sesuai kondisi matahari hingga cukup mengering. Kemudian daun
tersebut dipress agar menjadi tipis dan lemas dan dilanjutkan dengan
dijemur beberapa jam. Daun pun siap dianyam.
Untuk pemanenan bahan Rumbai cukup meramban rumpun daun yang
sudah cukup tua dan bisa dijadikan bahan anyaman. Setelah itu ikat daun
umbai dalam beberapa ikatan, biasanya satu ikatan dengan diameter 15-30
cm cukup untuk membuat satu anyaman tikar. Karena saat proses
penjemuran daun-daun yang sudah diramban pada rumpun rumbai dipilih
lagi untuk mengambil daun rumbai yang bisa digunakan sebagai bahan
anyaman. Saat pemanenan juga daun rumbai dapat diraut menjadi bilah
helaian-helaian bahan anyaman daun rumbai.
Untuk pemanenan kulit bomban, cukup memilih batang bomban yang
sudah cukup tua. Batang bomban, dibuang bagian bukunya, disayat
memanjang bagian kulitnya yang berwarna hijau untuk dijadikan bahan
anyaman. Bagian tengahnya (empulur) biasanya dibuang. Setelah diolah dan
dijemur, warnanya berubah menjadi coklat mengkilap, indah dan kuat
sebagai bahan anyaman keranjang atau tikar.
2. Bambu
Bambu adalah tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan
ruas di batangnya. Bambu memiliki banyak tipe, nama lain dari bambu
adalah buluh. Bambu yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat
luka harus dipanen ketika batang mencapai kekuatan tertingginya dan ketika
76. V-25
batang sudah di anggap cukup tua untuk dipanen, bambu yang muda
biasanya mengandung kadar gula yang tinggi sehingga bambu tidak bisa
dipanen, karena keberadaan gula mempermudah bambu untuk diserang
hama perusak. Bambu yang digunakan untuk membuat luka setelah dipanen
akan langsung diraut/dihaluskan menjadi bilah-bilah bambu sebagai bahan
membuat luka. Setelah bambu di raut dengan rapi maka tahap selanjutnya
bilah bambu di kering anginkan untuk mengurangi kadar air sehingga bilah
bambu mudah untuk dilengkungkan dan dibentuk sesuai pola luka yang akan
dibuat.
3. Rotan
Pemilihan rotan sebagai bahan pembuatan furnitur merupakan solusi
dari kekurangan yang dimiliki oleh bahan kayu maupun besi. Sifat rotan
yang kuat dan tahan lama menjadikannya banyak digemari oleh masyarakat.
Kekerasan/elastisitas rotan membuatnya mudah untuk dibentuk sehingga
produk rotan memiliki banyak perkembangan bentuk. Rotan dapat menyerap
pewarna dengan baik namun tetap memunculkan karakternya dan cocok
digunakan pada negara yang beriklim tropis.
Bagaimana rotan diolah, tahapan apa saja yang harus dilakukan hingga
rotan bisa diolah menjadi produk jadi seperti furniture dan lain sebagainya.
Berikut tahap pengolahan bahan mentah rotan menjadi bahan setengah jadi
untuk digunakan sebagai bahan produk furniture dan lainnya :
Tahap 1 : rotan yang dibawa dari hutan sudah dipotong-potong berukuran
4-5 meter, masih basah, berwarna hijau dan bergetah dan ruas-ruasnya
masih terbungkus dengan kulit ari seperti pembungkus ruas pada bambu.
Biasanya rotan dalam satu ikatan dengan jumlah 10 batang yang berdiameter
se-pergelangan tangan anak kecil, atau setengah diameter pergelangan orang
dewasa atau lebih kecil lagi, dibawa dari hutan ke tempat pengolahan.
Tahap 2 : Rotan yang masih hijau dan bergetah digoreng dalam sebuah kuali
tempat penggorengan yang dapat memuat ukuran panjang rotan 4 meter.
77. V-26
Tempat penggorengan terbuat dari plat baja dengan kedalaman lebih kurang
1,5 meter dan berbentuk segi empat memanjang. Rotan digoreng seperti
layaknya menggoreng makanan dengan menggunakan minyak goreng.
Kapasitas kuali gorengan dapat menampung hingga 500 batang rotan
berukuran panjang 4 meter (ukuran standar). Alat pembakarnya adalah
kayu-kayu bakar seperti kayu bakar pada tungku pembakaran batu bata.
Rotan digoreng selama 1 jam, dengan asumsi bahwa durasi 1 jam tersebut
dapat dipastikan getah rotan sama sekali sudah hilang dan rotan sudah
masak.
Tahap 3 : Setelah melalui proses penggorengan, kemudian rotan tersebut di
jemur di bawah terik matahari untuk dikeringkan. Cara menjemurnya dalam
posisi berdiri ditumpuk dengan rotan-rotan lainnya hingga membentuk
tumpukan rotan berdiri seperti sapu lidi. Proses penjemuran ini dilakukan
selama 3 hari jika kondisi terik matahari dengan panas yang cukup. Tetapi
jika matahari tidak terik, penjemuran bisa berlangsung selama seminggu
atau lebih. Tandanya bahwa rotan sudah kering, warnanya akan memerah
dan bobotnya menjadi sangat ringan, sedangkan saat basah sebelum
digoreng, bobot rotan terasa berat karena dalam daging rotan masih
mengandung air dan getah.
Tahap 4 : Setelah rotan tersebut kering, proses selanjutnya adalah
pembersihan pada ruas-ruas rotan dengan cara mengeroknya menggunakan
pisau agar permukaannya datar dan terlihat rapi dan bersih. Di tempat
pengolahan rotan pak Daud ini, pekerja bagian kerok ruas rotan ini sudah
terbiasa menggunaan pisau yang berukuran setengah, posisi punggung pisau
dilekatkan pada telapak tangan dengan bagian tajamnya menghadap ke luar,
lalu tangan kiri yang memegang rotan memutar rotan sehingga ruas-ruas
tersebut terkelupas oleh pisau yang tajam yang dipegang tangan sebelah
kanan. Cara manual ini tentu saja beresiko karena tidak menggunakan
pengaman, hanya sarung tangan yang digunakan untuk melindungan dari
gesekan kulit rotan yang masih kasar.
78. V-27
Tahap 5 : Selesai proses pengerokan, seluruh rotan yang sudah bersih
tersebut dirapikan dengan cara meluruskan rotan yang bengkok dengan cara
sama seperti meluruskan/membengkokkan besi bangunan, dimasukkan ke
sela-sela kayu yang sudah dilobangi sebesar diameter rotan, kemudian
diungkit dengan tangan sesuai kebutuhan. Rotan-rotan yang sudah melalui
proses penggorengan dan pengeringan dapaat dibengkokkan dan diluruskan
dengan mudah.
Tahap 6 : Selanjutnya rotan diikat menjadi satu, setiap ikatan berjumlah 45 –
50 batang dan disusun ke tempat gudang finishing yang masih dalam satu
lokasi tersebut dan ruang terbuka. Kondisi rotan yang sudah melalui proses
ini sejak awal, berarti sudah siap kirim. Biasanya, dari ikatan rotan yang
berjumlah 54-50 rotan tersebut, rata-rata akan afkir sejumlah 5-6 batang
atau 10%.
Tahap 7 : Rotan yang sudah di ikat disimpan dan kemudian di asapi dengan
blerang dalam naungan. Proses perlakuan kimia atau fisis terhadap rotan
yang bertujuan meningkatkan masa pakai rotan merupakan hal yang terjadi
saat pengawetan rotan. Selain berfugsi untuk mencegah atau memperkecil
kerusakan rotan akibat oganisme perusak, juga memperpanjang umur pakai
rotan. Bahan pengawet yang digunakan harus bersifat racun terhadap
organisme perusak (pada rotan basah maupun rotan kering), permanen
dalam rotan, aman dalam pengangkutan dan penggunaannya, tidak bersifat
korosif, tersedia dalam jumlah banyak dan murah. Serangan bubuk rotan
dapat dikenal karena adanya tepung halus bekas gerekan bubuk tersebut.
Serangga ini paling banyak ditemukan menyerang rotan. Setelah proses
pengawetan selesai maka bahan baku rotan siap dijadikan dalam berbagai
bentuk, mulai dari kursi, meja, bakul dan keranjang.
4. Bonsai (Tanaman Hias)
Pengambilan calon tanaman bonsai diawali dengan pemilihan tanaman
dengan batang utama yang cukup kuat untuk dipindahkan ke pot.
79. V-28
Selanjutnya pilih bentuk alur tanaman sesuai dengan yang anda suka. Periksa
ranting dan cabang yang tumbuh untuk membentuk bonsai sesuai dengan
apa yang kita mau. Hal lain yang tak kalah penting adalah melihat jenis tanah,
karena disanalah pembentukan batang, ranting dan dahan ditentukan.
Pilihlah tanah dengan kadar humus sedikit dan jagalah kelembaban tanah
tersebut namun jangan biarkan terlalu banyak air atau sampai menyebabkan
tanah menggumpal, karena dapat mengancam hidup tanaman.
Tidak semua jenis tanaman dapat dikerdilkan. Tanaman yang dapat
memenuhi persyaratan untuk dikerdilkan adalah tanaman yang mempunyai
daun berukuran kecil, misalnya Beringin, jeruk kingki (Triphasi aurantium),
jenis-jenis konifer (cemara, pinus), delima (Punika granatum) dan
sebagainya. Penyempurnaan bonsai kini letaknya untuk menyusun ranting-
ranting dengan daunnya yang cukup lebat, namun seimbang dengan bentuk
dan ukuran bonsai keseluruhannya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan
dengan salah seorang masyarakat yang hobby membudiayakan bonsai di
desa Pulau Gelang. Beliau mengatakan bahwa kawasan hutan di Kecamatan
Kuala Cenaku cukup berpotensi menyimpan beberapa koleksi tanaman yang
bisa dibuat tanaman bonsai, salah satunya adalah tanaman Beringin.
5.3.2. Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu Hutan Desa (Jenis Produk)
1. Anyaman (Tikar, Sumpit, Sangkek dan Bakul)
Daun Pandan Duri, Rumbai, dan Bemban banyak sekali manfaatnya dan
sudah lama dikenal oleh masyarakat sekitar kawasan Hutan Desa Kecamatan
Kuala Cenaku sebagai komoditas hasil hutan bukan kayu. Hasil kreatif dan
inovatif saat ini, daun pandan bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan
tikar, sumpit (wadah rempah), sangkek (tas), bakul, sandal dan berbagai
suvenir lainnya.Tentu saja, nilai ekonomis dari kerajinan pandan ini juga
sangat tinggi. Dari ketiga bahan tersebut baik Pandan Duri, Rumbai dan
Bemban jika akan dijadikan bahan anyaman akan melewati perlakuan yang
hampir sama mulai dari pemanenan bahan sampai pembentukan bahan
80. V-29
(seperti perautan/menghaluskan bahan, penjemuran/ pengeringan bahan,
dan proses pewarnaan jika dikehendaki). Setelah melewati beberapa proses
pengolahan barulah bahan-bahan tersebut bisa dijadikan bahan anyaman.
2. Luka dan Gogo
Para nelayan di berbagai daerah di Nusantara memakai luka untuk
menangkap ikan salah satunya adalah masyarakat Sekitar Kawasan Hutan
Desa daerah Kecamatan Kuala Cenaku. Luka merupakan sebutan masyarakat
sekitar kawasan hutan desa untuk menyebutkan alat perangkap ikan. Para
nelayan di sana memang sudah biasa membuat luka dan gogo sendiri. Luka
merupakan suatu alat untuk menangkap ikan yang di lakukan oleh
masyarakat di desa Tambak, Pulau Jum’at, Pulau Gelang, Sukajadi dan
Tanjung Sari dari dahulu sampai sekarang. Luka biasanya di pasang di sungai
ataupun aliran sungai
Para nelayan di Desa Pulau Jum’at, Tambak, Pulau Gelang, dan Sukajadi
membuat luka dari bambu dan rotan sebagai bahan. Untuk membuat 1 luka,
mereka membutuhkan 50 batang bambu dan beberapa batang rotan sesuai
dengan kebutuhan dan ukuran luka yang akan dibuat. Batang-batang itu lalu
di jadikan lidi bambu dan tali rotan sehingga bahan-bahan tersebut mudah
untuk dibentuk.
Gogo adalah sebuah alat yang di gunakan untuk menangkap udang oleh
masyarakat di desa Tambak, Pulau Jum’at, Pulau Gelang, Sukajadi dan
Tanjung Sari. Gogo ini di pasang di sungai-sungai di rawa-rawa yang ada
udangnya. Biasanya pemasangan Gogo tempatnya adalah di pulau-pulau kecil
yang ada di tengah-tengah sungai atau di tempat tempat yang bagus tempat
lubuk udang biasanya ada. Gogo biasanya di tancapkan di dasar sungai maka
Gogo di lengkapi tempat ikat di kayu yang di siapkan untuk di pasang,
biasanya Gogo diberi umpan isi kelapa yang sudah disiapkan, bukan hanya
udang saja yang biasanya masuk di Gogo ini tapi ikan juga bisa masuk di Gogo
ini.