Dokumen tersebut membahas tentang berbagai jenis kelembagaan yang terkait dengan sistem agribisnis, meliputi kelembagaan sarana produksi, pasca panen, pemasaran, jasa pendukung, serta permasalahan dan upaya penguatan kelembagaan petani.
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...Moh Masnur
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa) dan MANGGA (Mangifera indica) di AREAL PERSAWAHAN BALAI BENIH PALUR, DESA SONOBIJO, KEC. MOJOLABAN, KAB. SUKOHARJO, SURAKARTA”
bersama pak wisnu gtg
pas ini aku tidur di kelas haha --" tp pas menit terakhir aja kok dan tetep nyatet tapi ya gitu catetannya ga kebaca haha
ngerjainnya pas studio haha ~
Contoh Review Jurnal Ilmiah (PENGARUH KEPEMIMPINAN, BUDAYA ORGANISASI DAN LIN...Wulandari Rima Kumari
The purpose of this study is to determine the significance of the influence of the leadership, organizational culture and work environment to employee performance and job satisfaction as an intervening variable. The research population is all employees in the District of the City of Tarakan, with a sample of 128 employees. Data analysis method used in this research is path analysis.The research findings show that leadership, organizational culture and work environment had positive and significant impact on employee performance. The second discovery revealed that the leadership, work environment and job satisfaction held significant positive effect on employee performance, whereas the organizational culture had significant negative effect on employee performance. Results of path analysis showed that:(1) Job satisfaction is proven as an intervening variable between leadership a direct influence on employee performance is more dominant than the indirect effect. (2) Job satisfaction is proven as an intervening variable indirect influence of organizational culture on employee performance is more dominant than the direct effect. (3) Job satisfaction is proven as an intervening variable indirect influence among the working environment is more dominant than the direct effect.
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...Moh Masnur
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa) dan MANGGA (Mangifera indica) di AREAL PERSAWAHAN BALAI BENIH PALUR, DESA SONOBIJO, KEC. MOJOLABAN, KAB. SUKOHARJO, SURAKARTA”
bersama pak wisnu gtg
pas ini aku tidur di kelas haha --" tp pas menit terakhir aja kok dan tetep nyatet tapi ya gitu catetannya ga kebaca haha
ngerjainnya pas studio haha ~
Contoh Review Jurnal Ilmiah (PENGARUH KEPEMIMPINAN, BUDAYA ORGANISASI DAN LIN...Wulandari Rima Kumari
The purpose of this study is to determine the significance of the influence of the leadership, organizational culture and work environment to employee performance and job satisfaction as an intervening variable. The research population is all employees in the District of the City of Tarakan, with a sample of 128 employees. Data analysis method used in this research is path analysis.The research findings show that leadership, organizational culture and work environment had positive and significant impact on employee performance. The second discovery revealed that the leadership, work environment and job satisfaction held significant positive effect on employee performance, whereas the organizational culture had significant negative effect on employee performance. Results of path analysis showed that:(1) Job satisfaction is proven as an intervening variable between leadership a direct influence on employee performance is more dominant than the indirect effect. (2) Job satisfaction is proven as an intervening variable indirect influence of organizational culture on employee performance is more dominant than the direct effect. (3) Job satisfaction is proven as an intervening variable indirect influence among the working environment is more dominant than the direct effect.
Presentasi FGD bersama senior di PSEKP dan para profesor FKPR Litbang Pertanian, point untuk Kementan mencapai swasembada padi, jagung, dan kedelai tahun 2017.
Ini presentasi disertasi S3 saya waktu kuliah sosiologi di Universitas Indonesia. Disini, saya menggunakan pendekatan kelembagaan (yang benar), hehe, sehingga hasilnya sangat-sangat berbeda dengan studi-studi kebanyakan. Sorry, narsis dikit.
3. Lembaga Sosial (social institution) adalah kompleks
norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk
mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat
penting dalam masyarakat (Rahardjo, 199; 157)
Lembaga Kemasyarakatan adalah merupakan himpunan
daripada norma-norma dari segala tingkatan yang
berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan
masyarakat (Kontjaraningrat, 1964, 113)
Kelembagaan Pertanian adalah himpunan norma-norma
segala tindakan yang berkisar pada satu kebutuhan pokok
manusia akan bidang pertanian dan memiliki peran yang
sangat penting
4. Memberi pedoman pada msyarakat
bagaimana harus berbuat dalam menghadapi
permasalahan di masyarakat terutama yang
menyangkut kebutuhan pokok manusia
Menjaga keutuhan masyarakat
Memberikan pegangan pada masyarakat
untuk mengadakan sistem pengendalian
sosial (sosial control) yang merupakan
pengawasan masyarakat terhadap perilaku
anggotanya
5. Proses Pelebagaan adalah urutan pelaksanaan
atau kejadian yang terjadi pada sistem lembaga
atau terjadi secara alami atau didesain, mungkin
menggunakan waktu, ruang, keahlian atau
sumber daya lainnya, yang menghasilkan suatu
hasil.
Untuk lebih mengenal kelembagaan dan
prosesnya, berikut ini akan disajikan berbagai
bentuk kelembagaan yang terkait dalam sistem
agribisnis.
6. Secara lebih ringkas Simanjuntak menyebutkan beberapa langkah
yang dilakukan dalam proses institusionalisasi atau pelembagaan,
yaitu:[24]
(a) norma dan perilaku baru dikembangkan dan disepakati bersama;
(b) norma dan perilaku baru tersebut diperkenalkan dan diujicobakan;
(c) jika norma dan perilaku baru tersebut dirasakan bermanfaat, akan
memperoleh pengakuan (legitimasi) dari warga;
(d) pengakuan atas manfaat norma dan perilaku itu akan mengundang
penghargaan dari warga. Penghargaan dalam hal ini dipahami sebagai
adanya upaya warga untuk melindungi dari perilaku menyimpang dan
tindakan pelanggaran, sehingga selalu ditaati secara swakarsa; dan
(e) norma dan perilaku tersebut dihayati, mendarah-daging oleh
warga.
7. Sementara menurut Johnson[25] proses
pelembagaan atau institusionalisasi suatu
nilai atau norma dalam suatu sistem sosial
paling tidak harus memenuhi tiga syarat,
yakni:
1. Bagian terbesar warga sistem sosial menerima
norma tersebut
2. Norma-norma tersebut telah menjiwai bagian
terbesar dari warga-warga sistem sosial tersebut.
3. Norma tersebut bersanksi.
8. Kelembagaan sarana produksi
Kelembagaan Pasca Panen Dan
Pengolahan Hasil
Kelembagaan Pemasaran Hasil
Kelembagaan Jasa Layanan Pendukung
9. Kelembagaan sarana produksi merupakan
kelembagaan ekonomi yang bergerak di
bidang produksi, penyediaan dan penyaluran
sarana produksi
Adapun kelembagaan dalam sarana produksi
:
Produsen Saprodi
Asosiasi
Distributor / penyalur saprodi
10. Kelembagaan agribisnis yang bergerak di
bidang usaha tani/produksi meliputi : 1)
RumahTangga petani sebagai unit usaha
terkecil di bidang tanaman pangan dan
hortikultura;2) kelembagaan tani dalam
bentuk kelompok tani, dan 3) kelembagaan
usaha dalam bentuk perusahaan budidaya
tanaman pangan dan holtikultura.
11. Kelembagaan yang terkait dengan pasca
panen dan pengolahan hasil ini dapat
dibedakan antara lain :
1) kelembagaan yang melakukan usaha di
bidang pasca panen
2) kelembagaan usaha di bidang pengolahan
(agroindustri)
3) kelembagaan lumbung desa yang berperan
untuk mengatasi masalah pangan
12. Kelembagaan pemasaran dalam sistem
agribisnis menempati posisi yang sangat
penting, karena melalui kelembagaan ini arus
komoditi atau barang berupa hasil pertanian
dari produsen disampaikan kepada
konsumen.
13. Kelembagaan ini sangat menentukan
keberhasilan kelembagaan agribisnis dalam
mencapai tujuannya. Di antara banyak
kelembagaan jasa layanan pendukun ada
beberapa yang dianggap penting, antara lain
:
1) Kelembagaan di Bidang Permodalan
2) Kelembagaan di Bidang PenyediaanAlsintan
3) KelembagaanAparatur
14. Macam-macam kelembagaan masyarakat
pertanian sebagai berikut:
1.kelembagaan penyediaan input usahatani,
2.kelembagaan penyediaan permodalan,
3.kelembagaan pemenuhan tenaga kerja,
4.kelembagaan penyediaan lahan dan air irigasi,
5.kelembagaan aktivitas usahatani/usahaternak,
6.kelembagaan pengolahan hasil pertanian,
7.kelembagaan pemasaran hasil pertanian, dan
8.kelembagaan penyediaan informasi
(teknologi, pasar, dll).
15. lembaga dan kelembagaan dapat melakukan peranannya
dengan baik dibidang pengolahan hasil pertanian yaitu apabila
performance atau keragaan dari lembaga maupun kelembagaan
tersebut juga baik. Kurniati (2007) dalam penelitiannya tentang
peranan dari suatu kelembagaan pemuda, ternyata dipengaruhi
oleh keragaan atau performance dari kelembagaan tersebut.
Keragaan kelembagaan dapat mempengaruhi seperti:
(1) akses masyarakat terhadap kelembagaan
(2) jenis kegiatan ekonomi yang dilakukan
(3) pengembangan kelembagaan
(4) kepemimpinan
(5) keanggotaan
(6) masalah yang dihadapi
(7) prestasi yang pernah diraih kelembagaan tersebut.
16. Menurut Dimyati (2007), permasalahan yang masih
melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di
Indonesia adalah:
1. Masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani
terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan
pemasaran.
2. Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan
agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan
produksi (on farm).
3. Peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah
organisasi petani belum berjalan secara optimal.
17. Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu
melakukan upaya pengembangan,
pemberdayaan, dan penguatan kelembagaan
petani (seperti: kelompok tani, lembaga tenaga
kerja, kelembagaan penyedia input,
kelembagaan output, kelembagaan penyuluh,
dan kelembagaan permodalan) dan diharapkan
dapat melindungi petani.
18. Problem mendasar bagi mayoritas petani Indonesia adalah
ketidakberdayaan dalam melakukan negosiasi harga
hasil produksinya. Posisi tawar petani pada saat ini
umumnya lemah, hal ini merupakan salah satu kendala
dalam usaha meningkatkan pendapatan petani. Menurut
Branson dan Douglas (1983), lemahnya posisi tawar petani
umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki
akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang kurang
memadai. Petani kesulitan menjual hasil panennya karena
tidak punya jalur pemasaran sendiri, akibatnya petani
menggunakan sistim tebang jual. Dengan sistim ini
sebanyak 40 % dari hasil penjualan panenan menjadi milik
tengkulak.
19. Menurut Akhmad (2007), upaya yang harus
dilakukan petani untuk menaikkan posisi tawar
petani adalah dengan:
a. Konsolidasi petani dalam satu wadah untuk
menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai
pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran.
b. Kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi
secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas
dan siklus produksi secara kolektif.
c. Kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian.
20. Petani jika berusahatani secara individu terus
berada di pihak yang lemah karena petani
secara individu akan mengelola usaha tani
dengan luas garapan kecil dan terpencar
serta kepemilikan modal yang rendah.
Sehingga, pemerintah perlu memperhatikan
penguatan kelembagaan lewat kelompoktani
karena dengan berkelompok maka petani
tersebut akan lebih kuat, baik dari segi
kelembagaannya maupun permodalannya.
21. Kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan dengan
baik ini disebabkan (Zuraida dan Rizal, 1993; Agustian, dkk ,
2003; Syahyuti, 2003; Purwanto, dkk , 2007):
1. Kelompoktani pada umumnya dibentuk berdasarkan
kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian
apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih
bersifat orientasi program, dan kurang menjamin kemandirian
kelompok dan keberlanjutan kelompok.
2. Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam
kegiatan kelompok masih relatif rendah, ini tercermin dari
tingkat kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok rendah
(hanya mencapai 50%)
3. Pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat
individu.
22. 4. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan
konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam.
Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan
struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta
kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.
5. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan
menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat.
6. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya
untuk memperkuat ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal.
7. Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun
pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya
kepada pengurus
23. Permasalahan yang dihadapi petani pada umumnya adalah
lemah dalam hal permodalan. Akibatnya tingkat penggunaan
saprodi rendah, inefisien skala usaha karena umumnya
berlahan sempit, dan karena terdesak masalah keuangan posisi
tawar ketika panen lemah. Selain itu produk yang dihasilkan
petani relatif berkualitas rendah, karena umumnya budaya
petani di pedesaan dalam melakukan praktek pertanian masih
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten),
dan belum berorientasi pasar. Selain masalah internal petani
tersebut, ketersediaan faktor pendukung seperti infrastruktur,
lembaga ekonomi pedesaan, intensitas penyuluhan, dan
kebijakan pemerintah sangat diperlukan, guna mendorong
usahatani dan meningkatkan akses petani terhadap pasar
(Saragih, 2002).
24. petani harus sadar berkomunitas/ kelompok
sebagai dasar kebutuhan, bukan paksaan dan
dorongan proyek- proyek tertentu. Tujuannya
(1) untuk mengorganisasikan kekuatan para petani
dalam memperjuangkan hak-haknya,
(2) memperoleh posisi tawar dan informasi pasar yang
akurat terutama berkaitan dengan harga produk
pertanian
(3) berperan dalam negosiasi dan menentukan harga
produk pertanian yang diproduksi anggotanya
(Masmulyadi, 2007).
25. Ada empat kriteria agar asosiasi petani itu
kuat dan mampu berperan aktif dalam
memperjuangkan hak-haknya, yaitu:
(1) asosiasi harus tumbuh dari petani sendiri
(2) pengurusnya berasal dari para petani dan dipilih
secara berkala
(3) memiliki kekuatan kelembagaan formal
(4) bersifat partisipatif.
26. Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh suatu kelembagaan
petani agar tetap eksis dan berkelanjutan adalah:
1. Prinsip otonomi (spesifik lokal). / Pengertian prinsip
otonomi disini dapat dibagi kedalam dua bentuk yaitu :
▪ a. Otonomi individu. Pada tingkat rendah, makna dari
prinsip otonomi adalah mengacu pada individu sebagai
perwujudan dari hasrat untuk bebas yang melekat pada
diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga
dari sang pencipta (Basri, 2005).
▪ b. Otonomi desa (spesifik lokal). Pengembangan
kelembagaan di pedesaan disesuaikan dengan potensi
desa itu sendiri (spesifik lokal).
27. Prinsip pemberdayaan.
Pemberdayaan mengupayakan
bagaiamana individu, kelompok, atau
komunitas berusaha mengontrol kehidupan
mereka sendiri dan mengusahakan untuk
membentuk masa depan sesuai dengan
keinginan mereka. Inti utama pemberdayaan
adalah tercapainya kemandirian (Payne,
1997).
28. Pada proses pemberdayaan, ada dua prinsip
dasar yang harus dipedomani (Saptana, dkk ,
2003) yaitu : a. Menciptakan ruang atau
peluang bagi masyarakat untuk
mengembangkan dirinya secara mandiri dan
menurut cara yang dipilihnya sendiri. b.
Mengupayakan agar masyarakat memiliki
kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau
peluang yang tercipta tersebut.
29. Pemberdayaan dan pengembangan
kelembagaan di pedesaan , meliputi : a. Pola
pengembangan pertanian berdasarkan luas dan
intensifikasi lahan, perluasan kesempatan kerja
dan berusaha yang dapat memperluas
penghasilan. b. Perbaikan dan penyempurnaan
keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan, gizi,
kesehatan, dan lain-lain). c. Program
memperkuat prasarana kelembagaan dan
keterampilan mengelola kebutuhan pedesaan.
30. Untuk keberhasilannya diperlukan kerjasama antara :
administrasi lokal, pemerintah lokal,
kelembagaan/organisasi yang beranggotakan masyarakat
lokal, kerjasama usaha, pelayanan dan bisnis swasta (tiga
pilar kelembagaan) yang dapat diintegrasikan ke dalam
pasar baik lokal, regional dan global (Uphoff, 1992).
Pemberdayaan kelembagaan menuntut perubahan
operasional tiga pilar kelembagaan (Elizabeth, 2007a): a.
Kelembagaan lokal tradisional yang hidup dan eksisi
dalam komunitas (voluntary sector). b. Kelembagaan
pasar (private sector) yang dijiwai ideologi ekonomi
terbuka. c. Kelembagaan sistem politik atau pengambilan
keputusan di tingkat publik (public sector).
31. 3. Prinsip kemandirian lokal. Pendekatan
pembangunan melalui cara pandang
kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa
semua tahapan dalam proses pemberdayaan
harus dilakukan secara desentralisasi. Upaya
pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan
desentralisasi akan menumbuhkan kondisi
otonom, dimana setiap komponen akan tetap
eksis dengan berbagai keragaman (diversity)
yang dikandungnya (Amien, 2005).