Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariGilang Putra
peningkatan produktifitas lahan dengan sistem agroforestri. berisi mengenai sistem penerapan agroforestri pada budidaya lahan, pilihan sistem agroforestri dan lain lain
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariGilang Putra
peningkatan produktifitas lahan dengan sistem agroforestri. berisi mengenai sistem penerapan agroforestri pada budidaya lahan, pilihan sistem agroforestri dan lain lain
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...Moh Masnur
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa) dan MANGGA (Mangifera indica) di AREAL PERSAWAHAN BALAI BENIH PALUR, DESA SONOBIJO, KEC. MOJOLABAN, KAB. SUKOHARJO, SURAKARTA”
Laporan Hasil Kajian Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu di Lokasi Usulan Hutan Ce...Sani Saragih
Laporan Riset Hasil Hutan Bukan Kayu dilokasi Usulan Hutan Desa Cenaku Bersama, Kec.Kuala Cenaku, Kab.Indragiri Hulu, Riau.
Kegiatan ini merupakan bagian dari inisiatif perlindungan dan akses pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat.
Yayasan Mitra Insani melalui dukungan dari Siemenpuu Foundation, mendorong masyarakat desa sekitar kawasan SM.Kerumutan, untuk bisa mendapatkan manfaat atas hutan. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah melalui Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah mengakomodir keinginan itu dengan mengatur sedemikian rupa dalam Peraturan Menteri LHK Nomor. P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial. Atas dasar peluang ini, YMI bersama dengan masyarkat menyepakati skema usulan bersama 5 desa di kecamatan Kuala Cenaku (Desa Tambak, Pulau Gelang, Sukajadi, Pulau Jumat dan Tanjung sari) dalam bentuk Hutan Desa. Dan usulan tersebut sudah diajukan ke KLHK pada bulan Februari 2017, yang lalu.
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...Moh Masnur
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa) dan MANGGA (Mangifera indica) di AREAL PERSAWAHAN BALAI BENIH PALUR, DESA SONOBIJO, KEC. MOJOLABAN, KAB. SUKOHARJO, SURAKARTA”
Laporan Hasil Kajian Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu di Lokasi Usulan Hutan Ce...Sani Saragih
Laporan Riset Hasil Hutan Bukan Kayu dilokasi Usulan Hutan Desa Cenaku Bersama, Kec.Kuala Cenaku, Kab.Indragiri Hulu, Riau.
Kegiatan ini merupakan bagian dari inisiatif perlindungan dan akses pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat.
Yayasan Mitra Insani melalui dukungan dari Siemenpuu Foundation, mendorong masyarakat desa sekitar kawasan SM.Kerumutan, untuk bisa mendapatkan manfaat atas hutan. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah melalui Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah mengakomodir keinginan itu dengan mengatur sedemikian rupa dalam Peraturan Menteri LHK Nomor. P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial. Atas dasar peluang ini, YMI bersama dengan masyarkat menyepakati skema usulan bersama 5 desa di kecamatan Kuala Cenaku (Desa Tambak, Pulau Gelang, Sukajadi, Pulau Jumat dan Tanjung sari) dalam bentuk Hutan Desa. Dan usulan tersebut sudah diajukan ke KLHK pada bulan Februari 2017, yang lalu.
2. BAB 1 : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AGROFORESTRI
Setiap bentuk pertanian merupakan usaha mengubah ekosistem tertentu untuk menaikkan arus energi
ke manusia (Geertz, 1983).
Pada kebanyakan masyarakat tradisional, komposisi komunitas biotis yang ada dipertahankan dan
hanya mengubah bagian-bagian tertentu saja
Faktor kunci mengenai konsep pengembangan agroforestri.
Pemikiran tentang pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sebenarnya bukan
merupakan hal yang baru.
Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam sistem pertanian sejak pertama kali aktivitas bercocok tanam
dan memelihara ternak dikembangkan.
Fase agroforestri klasik
Sekitar tahun 7000 SM terjadi perubahan dari pola hidup berburu (hunting) dan mengumpulkan
makanan (food gathering) ke cara bercocok tanam dan beternak (plants and animals
domestication).
Proses ini mereka menebang pohon, membakar seresah dan kemudian budidaya tanaman. Dari sini
lahirlah sistem pertanian yang merupakan awal dari agroforestri (MacDicken dan Vergara, 1990;
Swaminathan, 1987).
Tidak saja berkembang di daerah tropis, tetapi juga di Eropa.
Selain itu juga ada sistem berkebun (gardening) yang banyak dijumpai di daerah Asia Tropis.
Misalnya sistem kebun hutan dan kebun pekarangan di Kalimantan Timur (Sardjono, 1990).
Pra-agroforestri modern
Pertengahan 1800-an dimulai penanaman jati di Birma oleh Sir Dietrich Brandis (seorang
rimbawan Jerman yang bekerja untuk Kerajaan Inggris).
Penanaman jati dilakukan melalui sistem “Taungya” (Taung = bukit; ya = budidaya),
dikombinasikan dengan tanaman pangan semusim.
Tidak saja ke seluruh Birma (1867), akan tetapi juga ke daerah-daerah jajahan Inggris lainnya, a.l.
Afrika Selatan (1887), India (1890) dan Bangladesh (1896) (King, 1987; Lowe, 1987; MacDicken
dan Vergara, 1990).
Agroforestri modern
Pertengahan tahun 70-an, kebijakan FAO, yaitu dengan penetapan Direktur Jenderal Kehutanan
dalam struktur organisasinya. Program-program "Kehutanan untuk Pembangunan, Masyarakat
Pedesaan" (Forestry for Fural Development) digalakkan melalui sejumlah seminar atau lokakarya.
Puncak nya adalah pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 tahun 1978 di Jakarta, di mana tema
pokok yang dipilih adalah "Forests for People atau "Hutan untuk Kesejahteraan Masyarakat" dan
penetapan kelompok diskusi khusus "Forestry for Rural Communities" (Kehutanan untuk
Masyarakat Pedesaan).
Pada tahun 1977 dibentuk Badan International bernama ICRAF singkatan dari International
Council for Research in Agroforestry (yang pada mulanya berpusat di Royal Tropical Institute,
Amsterdam, sebelum dipindahkan ke Nairobi 1978).
Dan pada tahun 1990 berubah menjadi International Centre for Research in Agroforestri
Agustus tahun 2002, namanya berubah menjadi ‘World Agroforestry Centre, ICRAF’. Kantor pusat
ICRAF ini terletak di Nairobi (Kenya), dan kegiatannya dilakukan di Afrika, Amerika Latin dan
Asia Tenggara.
3. Sasaran dan tujuan agroforestri
1. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan:
o Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi,
pemasaran, dan proses-proses dalam agroindustri.
o Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen.
o Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.
2. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
o Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah (catatan: yang terakhir ini
terutama di daerah pegunungan atau berhawa dingin).
3. Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan
maupun pertanian:
o Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat
menggantikan ketergantungan dari luar (misal: zat pewarna, serat, obat-obatan, zat perekat,
dll.) atau yang mungkin dijual untuk memperoleh pendapatan tunai.
o Diversifikasi produk.
4. Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup
yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai:
o Mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik
o Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga yang tradisional,
pemukiman, pengaturan pemilikan lahan.
o Memelihara nilai-nilai budaya.
5. Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat:
o Mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan.
o Perlindungan keanekaragaman hayati.
o Perbaikan tanah melalui fungsi ‘pompa’ pohon dan perdu, mulsa dan perdu.
o Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence).
o Pengelolaan sumber air secara lebih baik.
Keunggulan Agroforestri
Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem
campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur.
Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem
agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa.
Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari
ketergantungan terhadap produk-produk luar.
Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal
mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin
stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.
Bentuk, fungsi, dan perkembangan agroforest dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologis dan
sosial (FAO dan IIRR, 1995)
Sifat dan ketersediaan sumber daya di hutan,
arah dan besarnya tekanan manusia terhadap sumber daya hutan,
organisasi dan dinamika usaha tani yang dilaksanakan,
sifat dan kekuatan aturan sosial dan adat istiadat setempat,
tekanan penduduk dan ekonomi,
4. sifat hubungan antara masyarakat setempat dengan ‘dunia luar’,
perilaku ekologis dari unsur-unsur pembentuk agroforest,
stabilitas struktur agroforest, dan
cara-cara pelestarian yang dilakukan.
Mengapa agroforest perlu mendapat perhatian?
Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi perhatian dalam
rangka pembangunan pertanian dan kehutanan,
khususnya untuk daerah-daerah rawan secara ekologis. Lahan tersebut tidak cocok untuk pertanian
dan seharusnya tertutup rapat seperti hutan.
Di daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan
Manfaat penerapan sistem agroforest ditinjau dari beberapa pihak atau sudut pandang:
pertanian,
petani,
peladang,
kehutanan.
Sudut pandang pertanian
Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat guna, sesuai dengan
keadaan petani.
Peran utama agroforest bukan sebagai penghasil bahan pangan, melainkan sebagai sumber
penghasil pemasukan uang dan modal.
Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal di
Sumatera.
Agroforest mampu menyumbang 50% hingga 80% pemasukan dari pertanian di pedesaan.
Sudut pandang petani
Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada
keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan kelenturan
pendapatan petani.
Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan sehari-hari petani.
Agroforest juga berperan sebagai "kebun dapur”.
Sudut pandang peladang
Kebutuhan tenaga kerja rendah
Tidak memerlukan teknik canggih
Sudut pandang kehutanan
Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman
Pengembangan hasil hutan non-kayu
Model alternatif produksi kayu
Kelemahan Agroforest
Kesulitan visual
Kesulitan mengukur produktivitas
Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian
5. Ancaman Keberlanjutan (dikutip dari de Foresta et al., 2000)
Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan
Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)
Kepadatan penduduk
Penguasaan lahan
Ketiadaan data akurat
6. BAB 2 : KLASIFIKASI DAN POLA KOMBINASI KOMPONEN AGROFORESTRI
Klasifikasi Agroforestri
Didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya.
Membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan
secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para
pemilik lahan.
Klasifikasi berdasarkan komponen penyusunnya
Agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems), contoh : Agrisilvikultur, pohon mahoni ditanam
berbaris di antara ubikayu di Lampung Utara.
Silvopastura (Silvopastural systems), contoh : Silvopastura, Legume cover crop Callopogonium di
bawah tegakan pohon Gmelina arborea sebagai lahan penggembalaan sapi di Filipina.
Agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems), contoh : Agrosilvopastura: Parak di Maninjau
dengan berbagai macam pohon seperti kayu manis, pala, durian sebagai tumbuhan bawah
kapulaga dan beberapa paku-pakuan liar dari hutan.
Klasifikasi berdasarkan istilah teknis yang digunakan
Sistem agroforestri: didasarkan pada komposisi biologis serta pengaturannya, tingkat pengelolaan
teknis atau ciri-ciri sosial-ekonominya.
Sub-sistem agroforestri: memiliki ciri-ciri yang lebih rinci dan lingkup yang lebih mendalam.
Praktek agroforestri: operasional pengelolaan lahan yang khas dari agroforestri yang murni
didasarkan pada kebutuhan ataupun juga pengalaman dari petani lokal, yang di dalamnya terdapat
komponen-komponen agroforestri.
Teknologi agroforestri: inovasi atau penyempurnaan melalui intervensi ilmiah terhadap sistem-
sistem atau praktek-praktek agroforestri yang sudah ada untuk memperoleh keuntungan yang lebih
besar.
Klasifikasi berdasarkan masa perkembangannya
Agroforestri tradisional/klasik (traditional/classical agroforestry): bentuk praktek
pengkombinasian tanaman berkayu dengan tanaman pertanian dan atau peternakan
Agroforestri modern (modern atau introduced agroforestry): dikembangkan pada akhir tahun 70-
an, dikategorikan sebagai agroforestri modern.
Klasifikasi berdasarkan zona agroekologi
Zona Monsoon (khususnya di Jawa dan Bali)
o Zona ini dicirikan oleh batas yang jelas antara musim kemarau dan musim hujan (separo tahun).
o Pemanfaatan lahan secara optimal seperti agroforestri merupakan alternatif tepat yang telah
pula dipraktekkan sejak lama, baik pada lahan-lahan milik dan lahan negara
o secara umum lebih subur dibandingkan wilayah tropis lembab.
Zona Tropis Lembab (di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi)
o Tingginya curah hujan dan kelembaban udara.
o Topografi berbukit-bukit dengan dominasi jenis tanah podsolik merah kuning yang memiliki
kesuburan yang rendah.
o Pohon-pohon tinggi berdiameter besar dan tingginya keanekaragaman hayati.
o Bentuk agroforestri berasal dari pola perladangan
7. o Strukturnya meniru hutan alam: tanaman berkayu (dominan), juga jenis-jenis flora dan fauna
endemik yang belum dibudidayakan secara luas.
Zona Kering atau Semi Arid
o Mencakup NTT, NTB, sebagian Bali dan Jatim sebagian SulSel/Tenggara dan sebagian Papua
bagian selatan.
o Perbedaan musim hujan dan kemarau yang sangat menyolok.
o Evapotranspirasi jauh lebih besar daripada presipitasi (Roshetko, et al., 2000).
o Petani menanam hanya pada musim hujan, musim kemarau beternak
o Intensitas hujan sangat tinggi pada musim hujan.
o Perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau ini menyebabkan erosi yang sangat besar.
o Pemilihan tanaman dan pohon menjadi perhatian utama untuk mengatasi masalah ekonomi dan
lingkungan di daerah setempat.
o Pengembangan agroforestri diarahkan kepada:
Penanganan masalah ketersedian air yang terbatas,
Erosi,
Pencegahan kebakaran dan berkeliarannya ternak liar,
Kurangnya ketersediaan pakan ternak pada musim kemarau
Upaya memperbaiki tingkat pendapatan petani berbasis pertanian lahan kering skala kecil.
Agroforestri pada zona pesisir dan kepulauan
Lahan terbatas dengan kemiringan yang tinggi, berbatu atau berpasir.
Sangat rentan terhadap erosi dan longsoran atau pergerakan tanah jika terjadi hujan lebat.
Ciri utama: Konservasi tanah, pemeliharaan ternak dan pengembangan tanaman kelapa.
Mulai dikombinasikan dengan tanaman perkebunan, seperti coklat, cengkeh dan vanili tergantung
pada tingkat curah hujan.
Tergantung pada ada tidaknya kawasan alluvial di dataran rendahnya.
Kawasan alluvial ini umumnya mempunyai potensi untuk pengembangan ternak ikan air tawar
maupun campuran (silvofisheri).
Tanaman bakau (Rhizopora sp.), biasanya menjadi andalan penguatan tambak atau tempat kepiting
dan ikan bertelur.
Agroforestri pada zona pegunungan
Iklim yang lebih dingin dan basah.
Ideal untuk tanaman buah-buahan dan sayuran.
Perpaduan antara tanaman buah-buahan dengan sayuran atau dengan tanaman pangan.
Misalnya di Papua banyak dijumpai jenis cemara gunung (Casuarina sp.)
Klasifikasi berdasarkan orientasi ekonomi
Agroforestri skala subsisten (Subsistence agroforestry)
Agroforestri skala semi-komersial (Semi-commercial agroforestry)
Agroforestri skala komersial (Commercial agroforestry)
Agroforestri skala subsisten (Subsistence agroforestry)
o Seringkali diistilahkan ‘asal-hidup’
o Diusahakan oleh pemilik lahan sebagai upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
o Ciri-ciri penting yang bisa dijumpai :
8. o (a) Lahan yang diusahakan terbatas; (b) Jenis yang diusahakan beragam (c) Pengaturan
penanaman tidak beraturan (acak); (d) Pemeliharaan/perawatan serta aspek pengelolaan
lainnya tidak intensif.
o Dijumpai pada wilayah-wilayah pedalaman.
o Beberapa contohnya adalah: Pola perladangan tradisional (traditional shifting cultivation),
kebun hutan dan kebun pekarangan tradisional (traditional forest- and home-gardens) pada
masyarakat adat di Kalimantan (lihat budidaya Lembo – Sardjono, 1990).
Agroforestri skala semi-komersial (Semi-commercial agroforestry)
o Pada wilayah-wilayah yang mulai terbuka aksesibilitasnya.
o Keterbatasan investasi yang dimiliki, jangkauan pemasaran produk, serta ditambah dengan
pola hidup yang masih subsisten, maka jaminan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tetap
menjadi dasar pertimbangan terpenting.
o Contoh: pola-pola pengusahaan kebun pekarangan pada masyarakat transmigran di luar Jawa
o Masyarakat transmigran membudidayakan tanaman yang semi-komersial (produknya
dapat dimanfaatkan sendiri dan sekaligus dapat dijual), seperti kelapa (Cocos nucifera)
dan kopi (Coffea spp.),
Agroforestri skala komersial (Commercial agroforestry)
o Ditekankan untuk memaksimalkan produk utama.
o Ciri-ciri yang dimiliki:
o Komposisi hanya terdiri dari 2-3 kombinasi jenis tanaman, di mana salah satunya
merupakan komoditi utama
o Areal yang cukup luas (investasi besar) dan menggunakan input teknologi yang memadai
o Memiliki rantai usaha tingkat lanjut
o Manajemen yang profesional.
o Contoh-contohnya:
o Perkebunan karet modern dengan pola tumpangsari palawija pada awal
pembangunannya, dan perkebunan kakao serta kopi yang dikombinasikan dengan
tanaman peneduh
o Pola tumpangsari (taungya system) pada hutan jati di Perum Perhutani di Jawa dan Nusa
Tenggara Barat atau Hutan Tanaman Industri di luar Jawa.
Pola Pengkombinasian Komponen
Pengkombinasian menurut dimensi waktu
Pengkombinasian secara tata ruang
Pengkombinasian menurut dimensi waktu
Huxley (1977) dan Nair (1993) mengkategorikan kombinasi secara waktu menjadi 4 (empat),
1. Co-incident, yaitu kombinasi selama jangka waktu budidaya jenis/komponen agroforestri;
2. Concomitant, kombinasi pada awal atau akhir waktu budidaya suatu jenis/komponen
agroforestri;
3. Overlapping, kombinasi bergantian yang tumpang tindih antara akhir dan awal dari dua (atau
lebih) jenis/komponen agroforestri;
4. Interpolated, yaitu kombinasi tersisip pada jangka waktu budidaya jenis/komponen
agroforestri.
9. Pengkombinasian secara tata ruang
1. Penyebaran berbagai komponen, khususnya komponen kehutanan dan pertanian, dalam suatu
sistem agroforestri dapat secara horizontal (bidang datar) ataupun vertikal.
Penyebaran secara horizontal
Ditinjau dari bidang datar pada lahan yang diusahakan untuk agroforesti
Dilihat dari atas, sebagaimana suatu potret udara. Contoh:
Suatu kombinasi antara agrisilvikutur dan silvopastura, di mana pohonpohonan atau
perdu-perduan berkayu ditanam di sekeliling lahan pertanian agar berfungsi sebagai
pagar hidup (border tree planting)
Tegakan pohon atau perdu tumbuh tersebar secara tidak merata pada lahan pertanian.
Dalam hal ini, tidak ada model distribusi yang sistematis (model acak atau random).
Contoh konkrit untuk ini adalah permudaan alam pada hutan sekunder selama masa
bera dalam kegiatan perladangan berpindah.
Pohon atau perdu berkayu ditempatkan di sekeliling petak atau ditempatkan pada sisi-
sisi petak yang disebut sebagai trees along border atau sistem kotak (box system).
Contoh percobaan pada perkebunan kakao di Kalimantan Timur.
Penyebaran secara vertical
Penyebaran vertical dilihat dari struktur kombinasi komponen penyusun agroforestri
berdasarkan bidang samping atau penampang melintang (cross-section).
o Merata dengan beberapa strata, di mana komponen kehutanan dan pertanian
tersebar pada sebidang lahan dengan strata yang sistematis. Kondisi ini umumnya
dijumpai pada bentuk-bentuk agroforestri yang modern dan berskala komersial.
o Tidak merata, di mana komponen kehutanan dan pertanian tersusun dalam strata
yang tidak beraturan (acak/random) pada sebidang lahan. Struktur tidak merata
lebih banyak dijumpai pada agroforestri tradisional yang lebih polikultur.
2. Penyebaran terrsebut juga dapat bersifat merata atau tidak merata (Combe dan Budowski,
1979).
Penyebaran merata, apabila komponen berkayu (kehutanan) secara teratur bersebelahan
dengan komponen pertanian, baik dikarenakan permudaan alam ataupun penanaman
Penyebaran tidak merata, apabila komponen berkayu (kehutanan) ditempatkan secara jalur
di pinggir atau mengelilingi lahan pertanian.
10. BAB 3 : FUNGSI DAN PERAN AGROFORESTRI
Alih-guna lahan dan fungsi agroforestri
Hampir semua lahan di Indonesia pada awalnya merupakan ‘hutan alam’ yang secara berangsur
dialih-fungsikan.
Luas lahan hutan di Indonesia semakin berkurang (deforestrasi).
Mengapa terjadi alih-guna lahan?
1. Perluasan lahan pertanian dan/atau penggembalaan ternak.
2. Permintaan pasar dan nilai ekonomi kayu.
3. Pemukiman.
4. Tempat penampungan air.
5. Penggalian bahan tambang.
6. Bencana alam.
7. Kerusakan hutan yang terjadi akhir-akhir ini tidak mungkin kembali pulih lagi karena besarnya
tekanan kepentingan manusia.
8. Hutan yang telah rusak itu seringkali segera diikuti dengan penggunaan untuk keperluan lain (non-
hutan).
9. Alih-guna lahan merupakan proses yang sangat menentukan perkembangan agroforestri.
Kecepatan alih-guna lahan
Alih-guna lahan sudah terjadi sejak manusia sudah mulai mengenal ‘pertanian menetap’.
Tahun 1950-an, kecepatan alih-guna lahan sebanding dengan perkembangan penduduk yang hidup
dan tinggal di sekitarnya.
Perubahan pola hidup dari subsisten menjadi komersial mengakibatkan kebutuhan semakin
beragam dan makin banyak jumlahnya.
FAO menaksir bahwa selama tahun 1980-an terjadi alih-guna lahan hutan seluas 15,4 juta ha/tahun
di seluruh dunia (FAO 1993), dan yang paling cepat terjadi di Amerika Selatan yakni 6,2 juta
ha/tahun.
Kecepatan alih-guna lahan hutan di Brasil rata-rata 1,8 juta ha/tahun dan Asia Tenggara (termasuk
Indonesia) sebesar 1,4 juta ha/tahun antara tahun 1970-1980an.
FUNGSI DAN MANFAAT HUTAN
Penghasil kayu bangunan (timber)
Sumber Hasil Hutan Non-kayu (Non Timber Forest Product = NTFP)
Cadangan karbon (C)
Habitat bagi fauna
Cadangan air
Sumber tambang dan mineral berharga lainnya
Hiburan
Agroforestri sebagai alternatif bentuk penggunaan lahan
Agroforestri terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan
ternak dalam satu bidang lahan.
Memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan, baik dalam aspek biofisik, sosial
maupun ekonomi.
11. Dapat mempertahankan hasil pertanian secara Berkelanjutan dan memberikan kontribusi yang
sangat penting terhadap jasa lingkungan
Agroforestri sering dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Hairiah dan
Utami, 2002).
Fungsi agroforestri ditinjau dari aspek biofisik dan lingkungan pada
skala bentang lahan
Alih-guna lahan dari hutan menjadi pertanian mengakibatkan timbulnya aneka dampak negatif.
Penerapan agroforestri memberikan manfaat yang sebesar-besarnya baik bagi pendapatan petani
maupun jasa lingkungan.
Sistem penggunaan lahan agroforestri memberikan tawaran yang cukup menjanjikan bagi
pemulihan fungsi hutan:
o Memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah
o Mempertahankan fungsi hidrologi kawasan
o Mengurangi emisi gas rumah kaca
o Mempertahankan keanekaragaman hayati.
Peranan agroforestri terhadap sifat fisik tanah
Proses alih-guna lahan mempengaruhi kondisi permukaan tanah.
Berbagai macam gangguan langsung menimpa permukaan tanah, seperti: terkena sinar matahari
dan pukulan air hujan.
Dampak langsung adalah menurunnya porositas tanah sehingga mengakibatkan penurunan
infiltrasi.
Sistem agroforestri mampu mempertahankan sifat-sifat fisik tanah melalui:
o Menghasilkan seresah sehingga bisa menambahkan bahan organik tanah
o Meningkatkan kegiatan biologi tanah dan perakaran
o Mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam lapisan perakaran
Untuk menunjang berlangsungnya proses-proses kimia, fisik dan biologi diperlukan air dan udara
yang tersedia dan dalam jumlah yang memadai.
Oleh karena itu tanah harus memiliki sifat fisik yang bisa mendukung terjadinya sirkulasi udara
dan air yang baik.
Sistem agroforestri dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah atas:
o Adanya tajuk tanaman menyebabkan sebagian besar air hujan yang jatuh tidak langsung ke
permukaan tanah.
o Mempertahankan kandungan bahan organik tanah di lapisan atas melalui pelapukan seresah.
o Adanya seresah yang menutupi permukaan tanah dan penutupan tajuk pepohonan
menyebabkan kondisi di permukaan tanah dan lapisan tanah lebih lembab, temperatur dan
intensitas cahaya lebih rendah.
Peranan agroforestri terhadap kondisi hidrologi kawasan
Alih-guna lahan hutan menimbulkankan masalah-masalah yang berkaitan dengan degradasi
lingkungan dan terutama fungsi hidrologi kawasan atau DAS.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi hidrologi:
o Memelihara dan mempertahankan kualitas air
o Mengatur jumlah air dalam kawasan
o Menyeimbangkan jumlah air dan sedimentasi dalam kawasan DAS
12. Penebangan hutan mengakibatkan :
1. Hasil air dari DAS: adalah jumlah air yang keluar dari suatu kawasan tangkapan air (DAS) melalui
sungai selama satu tahun. Menurut Bruijnzeel (1997) peningkatan hasil air akibat penebangan hutan
sebanding dengan jumlah biomas yang ditebang.
2. Volume aliran dan debit banjir meningkat
3. Hasil sedimen: Sumber sedimen yang keluar dari daerah aliran sungai (DAS) adalah erosi dari
lahan pertanian, tanah longsor dan erosi tebing sungai.
Peran agroforestri terhadap fungsi hidrologi kawasan
Susunan vegetasi: susunan tajuk dari sistem agroforestri yang berlapis-lapis, jenis pohon dan
tanaman bawah. Berfungsi terhadap evaporasi dan transpirasi, intersepsi hujan, dan iklim mikro.
Kondisi tanah.
Bentang lahan: menjaga kekasaran permukaan sehingga adanya cekungan dan saluran yang dapat
menahan air sementara.
Peranan agroforestri dalam mengurangi gas rumah kaca dan mempertahankan cadangan
karbon
Memperbanyak penanaman pepohonan dapat meningkatkan cadangan C di alam secara vegetatif.
Keberadaan tanaman dapat mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, dan hasilnya berupa
karbohidrat diakumulasi dalam biomasa tanaman.
Apa yang dimaksud dengan gas rumah kaca?, siklus C dalam skala global? dan cadangan C yang
ada di alam?
Gas rumah kaca
Gas-gas di atmosfer yang dapat menimbulkan perubahan dalam kesetimbangan radiasi sehingga
mempengaruhi suhu atmosfer bumi.
Sehingga menimbulkan efek pemanasan yang disebut efek rumah kaca.
Gas rumah kaca (GRK): CO2, CH4, N2O.
Karbon dioksida (CO2) adalah GRK utama yang paling besar jumlahnya yang dihasilkan oleh
kegiatan manusia.
Siklus Karbon di tingkat global
Pertukaran C terjadi secara alami antara atmosfer, lautan dan daratan.
Pola pertukaran itu telah dirubah karena adanya aktivitas manusia dan alihguna lahan.
Aktivitas manusia meningkatkan konsentrasi CO2.
Cadangan C tertinggi adalah di lautan sekitar 39 Tt, kemudian yang kedua adalah fosil,
mengandung C sekitar 6 Tt. Selanjutnya, cadangan C di hutan yang meliputi biomasa pohon dan
tanah hanya sekitar 2,5 Tt, sedang di atmosfer mengandung C sekitar 0,8 Tt.
Cadangan Carbon (C-stock)
Jumlah C yang disimpan dalam komponen biomasa dan nekromasa baik di atas permukaan tanah
dan di dalam tanah per satuan luasan lahan.
Biomasa: bagian vegetasi yang masih hidup
Nekromasa: masa dari bagian pohon yang telah mati yang belum terdekomposisi atau
terdekomposisi sebagian.
Bahan Organik tanah (BOT) adalah sisa makhluk hidup yang telah terdekomposisi sebagian atau
keseluruhan dan telah menyatu dengan tanah.
13. Penurunan Cadangan C disebabkan oleh
Hilangnya atau berkurangnya jumlah tegakan pohon per luasan.
Perbedaan komponen penyusun sistem penggunaan lahan.
Pengelolaan residu panen
Agroforestri dapat meningkatkan cadangan C
Sistem pertanian berbasis pepohonan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan
mempertahankan kelestarian alam.
Adanya pepohonan yang memiliki biomasa tinggi dan masukan seresah yang bermacam-macam
kualitasnya dan terjadi secara terus menerus.
Fungsi dan peran agroforestri dalam aspek sosial-budaya
Implementasi agroforestri selama ini memiliki peranan penting dalam aspek sosial-budaya
masyarakat setempat.
Aspek sosial-budaya tersebut akan lebih erat dijumpai pada praktek-praktek agroforestri yang
telah lama ada di tengah masyarakat (local traditional agroforestry) dibandingkan pada sistem-
sistem agroforestri yang baru diperkenalkan dari luar (introduced agroforestry).
Beberapa aspek sosial-budaya dari agroforestri
Fungsi agroforestri dalam kaitannya dengan aspek tenurial: merupakan faktor penting dalam
perkembangan tata dan pola penggunaan serta penguasaan lahan, terutama dalam komunitas
tradisional.
Fungsi agroforestri dalam upaya melestarikan identitas kultural masyarakat: Hutan dan terutama
pohon-pohonan memiliki keterkaitan erat dengan identitas kultural masyarakat.
Fungsi agroforestri dalam kaitannya dengan kelembagaan lokal: terdapatnya kelembagaan lokal
yang mengatur kehidupan sehari-hari anggota komunitas di samping peraturan perundangan resmi
yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Fungsi agroforestri dalam pelestarian pengetahuan tradisional: mengenai pengobatan.
Fungsi dan peran agroforestri terhadap aspek sosial-ekonomi
Jenis produk yang dihasilkan sistem agroforestri sangat beragam:
(a) produk untuk komersial misalnya bahan pangan, buah-buahan, hijauan makanan ternak, kayu
bangunan, kayu bakar daun, kulit, getah, dan lain-lain, dan
(b) pelayanan jasa lingkungan, misalnya konservasi sumber daya alam (tanah, air, dan
keanekaragaman hayati).
Keragaman jenis produk dan waktu panen memungkinkan penggunaan produk yang sangat
beragam pula.
Tidak semua produk yang dihasilkan oleh sistem agroforestri digunakan untuk satu tujuan saja.
Ada sebagian produk yang digunakan untuk kepentingan subsisten, sosial atau komunal dan
komersial maupun untuk jasa lingkungan.
14. BAB 4 – SETERUSNYA : AKAN DILANJUTKAN/ DIBAHAS DI BAGIAN 2.
SELAMAT BELAJAR!