REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
MenguburMalin
1. 22/12/13
KALAM-UPI.ORG: Antara Malin, Ibunya Malin, dan Kapitalisme
ANTARA MALIN, IB UNYA MALIN, DAN
K AP ITALISME
P o sted in sastra
No c o mment y et
Ingat si Malin dalam kisah Malin Kundang? Yap. Sosok yang satu ini memang durhaka.
Sangat durhaka bahkan. Dijamin, orang yang membaca kisahnya di buku buku dongeng,
akan kesal dengan ulah si Malin. T ambah kesal lagi bila menyimak kisahnya dalam bentuk
F ilm. Momen ketika Malin mendorong Ibunya dengan mode slow motion; minimalnya akan
membuat pemirsa ngurut dada dan merekam gambarnya dalam kepala hingga berjam jam
setelah F ilm usai.
Karena kekesalan akan sosok Malin yang durhaka itu, pemirsa bahkan akhirnya malah
mensyukuri
nasib
Malin
yang
dikutuk
menjadi
batu
ditengah
lautan.
“Sukurin..sukurin..sukurin..! ! ” begitu biasanya kalo pemirsanya anak anak kecil yang masih
doyan main ular tangga.
Yaa..tapi bagaimanapun perlu diingat, sebelum Malin menjadi anak durhaka -terlebih ketika
masih anak anak dan remaja- Malin adalah anak yang baik. Didikan Ibunya sebelum
merantau juga disadari atau tidak telah membentuk corak dari kepribadiannya. Dan itupula
yang tentu mempengaruhi kesuksesannya ditanah rantau. Sampai pada akhirnya Malin
memikat hati putri dari keluarga Bangsawan dan hidup kaya raya.
Hanya sayang, ketika merantau Ia benar benar hilang kontak dengan Ibunya. Selama
belasan atau bahkan puluhan tahun, tak ada lagi nasihat, masukan, saran dan buah tangan
sang Ibu yang Malin dapatkan. Barangkali ini yang kemudian menjadi sebab jatuhnya derajat
Malin yang sukses dan kaya raya itu dengan sikap durhaka. Malin lupa sosok Ibunya.
Ya,lupa.
Kalau boleh berandai-andai; Bilamana teknologi di zaman Malin sudah maju; ada handphone,
android, blackberry, atau laptop, mungkin lain lagi ceritanya. Ditanah Rantau, Malin saat itu
tentu bisa tetap berhubungan dengan Ibunya. Lewat F acebook, Line, BBM, Kakao T alk,
Skypee dan yang lainnya. Berkomunikasi untuk saling sapa, meminta nasihat, masukan,
saran dan yang lainnya. Ya, kalau demikian adanya; barangkali tak ada cerita ‘Malin yang
durhaka dan dikutuk jadi batu’. Hal yang ada justru ‘Malin yang berbakti dan mengantar
Ibunya pergi haji’. Subhanallah.
www.kalam-upi.org/2013/12/antara-malin-ibunya-malin-dan.html
1/4
2. 22/12/13
KALAM-UPI.ORG: Antara Malin, Ibunya Malin, dan Kapitalisme
T api apa daya. Itu hanya pengandaian.
senang melabeli Malin sebagai insan terkutuk.
Dunia
sudah
dengan
terlanjur
merasa
M e mb in can g M alin
Puluhan tahun lamanya, tatanan dunia di bentuk diatas asas kebebasan. Kapitalisme yang
mengajarkan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan liberalisme (kebebasan)
telah menciptakan tatanan hidup yang menyuburkan banyaknya Malin Malin yang baru. Malin
sekarang bahkan tak perlu menunggu tibanya waktu merantau untuk menjadi durhaka.
Banyak anak yang tak segan melawan Bapak dan Ibunya hanya karena merasa keinginannya
tak boleh dibatasi. Arahan dan aturan sang Ibu dianggap belenggu yang mengekang nafsu.
Sementara dalam pikirnya, nafsu itu bebas untuk dipuaskan. Ya kebebasanlah biangnya!
“Mun aing teu dipangmeulikan motor mah moal sakola ah. T itik”, “Naon atuh Mah? Pirage
bobogohan mani ulah! ”, “ah, ngaroko jeung mabok saeutik hungkul ieu atuh! ” bagi anak
‘pemberani’ kalimat kalimat diatas mungkin tak segan ditumpahkan dihadapan orang tuanya.
Seolah olah, Ia sedang berujar “Aing yeuh! Baladna Malin Kundang! Ayeyy! ”
T api bagi anak yang pemalu, Ia tak berani mengakui secara langsung bahwa dirinya adalah
Malin. Ia adalah Malin pengecut. Mirip kaleng biscuit Khong guan di hari lebaran. Dari luar
tampak mewah dan menggugah, eh pas dibuka isinya? ZONK; rangginang atau keripik
singkong. Malin model begini kalo didepan orangtuanya kepalanya selalu manggut manggut,
tapi hatinya tak pernah menjanjikan diri untuk nurut.
Miris memang. Ya, miris. Anak anak semacam ini banyak. Harus diketahui, menjadi Malin
Pengecut lebih sulit daripada menjadi Malin kundang yang terang terangan menyatakan
keburukannya. Ya, apa yang dirasakan Malin Pengecut bisa jadi sama dengan yang
dirasakan Ratu Atut, Gubernur Banten saat ini. Melelahkan. Berlari lari mengelilingi bumi
untuk menyembunyikan sebuah kenyataan. Padahal semua sudah tau, Bumi itu tempat yang
terlalu sempit untuk menyembunyikan sesuatu.
T api beda zaman, beda juga persoalan. Malin di zaman sekarang justru tak sedikit yang
bermunculan karena ‘restu’ dan ‘dorongan’ Ibundanya sendiri. Label ‘Ibu rumah tangga’ yang
oleh Peradaban Kapitalisme dianggap terkutuk membuat banyak Ibu yang menelantarkan
anaknya. Anak seolah beban yang mengganggu pekerjaan dan kesenangannya. T ak sedikit
Ibu yang membiarkan anaknya hidup keluyuran tanpa pengawasan. Sang Ibu tak tau pasti,
kemana anaknya pergi? baginya yang penting tugas pak bos selesai dan ia bisa pergi ke
salon untuk manny paddy (maaf kalau EYD-nya salah).
www.kalam-upi.org/2013/12/antara-malin-ibunya-malin-dan.html
2/4
3. 22/12/13
KALAM-UPI.ORG: Antara Malin, Ibunya Malin, dan Kapitalisme
Industri industri mengiming imingi para Ibu untuk hidup dijalan yang lain. Hingga sang Ibu
terlena, dan memilih untuk memberikan ruang tersendiri bagi anak anaknya untuk hidup
bebas. “Silahkan nak, Ibu percaya dengan apa yang kamu lakukan! Ibu pergi dulu! ” begitu
kata sang Ibu, sambil meninggalkan anaknya sendirian. Membiarkan anaknya ditelan ide
kebebasan yang diajarkan oleh lingkungan. Entahlah, apakah Ia tak tau, atau pura pura
lupa, bahwa sang anak tak cukup kuat untuk menghadapi medan kehidupan yang teramat liar
itu. Bisa dipastikan, ide ide yang diajarkan lingkungan itu dengan sangat mudah mengambil
tempat dihati anak anaknya.
“Ah, media, tempat tempat hiburan, lingkungan, tidakkah sang Ibu merisaukannya? Bukankah
alat alat itu sudah dipakai oleh para Kapitalis yang tak bertanggung jawab? Bukankah Para
Kapitalis yang hanya memikirkan keuntungan itu ada makhluk serakah yang tak segan
mengorbankan nilai nilai luhur dengan memproduksi alat alat bermuatan setan untuk
ditukarkan dengan segepok dolar? Apakah anda tak terusik, Ibu?
Yah, Para Ibu tak boleh merasa jumawa dengan lagu lagu sendu yang mengagungagungkannya. Bagaimanapun anak anak adalah tanggungjawabnya hingga Ia benar benar
dirasa kuat untuk mengarungi hidupnya. Bagaimanapun rumah tangga adalah medan utama
tempat para Ibu menunjukan eksistensinya. Rumah tangga akan memperlihatkan betapa
hebatnya sang Ibu. Mencetak anak anak dengan karakter mulia, yang bahkan turut berjuang
mewujudkan sebuah peradaban mulia yang dirundukkan seisi penduduk bumi. Seperti empat
anak al Khansa yang syahid di Qadissyiah, seperti Abdullah dan Urwah bin Zubair putra
Asma, atau Anas bin Malik anak dari Ummu Sulaim yang dikenang menjadi Ulama besar.
M e n g u b u r M alin
“Kita terlahir bagai selembar kertas putih, tinggal kulukis dengan tinta pesan damai, dan
terwujud harmoni’, begitu senandung F adli, vokalis Padi dalam sebuah lagunya. Dalam
konteks ini, manusia memang Ibarat kertas putih. Ia tak hanya terbentuk karena dirinya
sendiri. Ada lingkungan yang berebut tempat untuk melukiskan tintanya pada manusia.
Lingkungan itulah para Ibu, Bapak, Dunia Pendidikan, Media Massa, Benda benda
bermuatan, serta berbagai kebijakan dan aturan Negara.
T ak ada anak manusia yang hidup tanpa lukisan tinta dari lingkungannya. Bila anak manusia
berkata “Biarkan aku hidup sesuai dengan keinginanku saja. Aku tak mau dipengaruhi
olehmu, oleh siapapun, dan oleh apapun”, apa yang ia nyatakanpun sesungguhnya buah
dari lukisan berbagai hal berpengaruh yang mempengaruhi pernyataannya. Ya, kehidupan
ini adalah panggungnya tinta untuk saling memengaruhi dan melukis anak anak manusia.
Sayangnya, kini para bos bos tinta adalah mereka yang berhaluan Kapitalis. Yang menafikan
berbagai nilai agama dalam proses memproduksi tintanya. Ketika para Kapitalis berkuasa,
Keluarga diarahkan untuk melukis kehidupan anak anak yang berantakan. Ibu ibunya
disibukkan berbagai impian dan kesenangan semu, sehingga lupa untuk melukis anaknya
dengan tinta terbaik. Pendidikan diarahkan untuk melukis anak anak dengan tinta yang
www.kalam-upi.org/2013/12/antara-malin-ibunya-malin-dan.html
3/4
4. 22/12/13
KALAM-UPI.ORG: Antara Malin, Ibunya Malin, dan Kapitalisme
mengajarkan bahwa hidup hanya untuk mencari uang dan uang. Media massa melukis anak
anak dengan tinta yang mengajarkan bahwa hidup haruslah dijalani dengan landasan nilai
kebebasan dan bermental pelawan aturan. Negara bagaimana? Kurang lebih sama saja.
Diam saja, bahkan memfasilitasi para Kapitalis itu melukis anak anak dengan tintanya. Pada
akhirnya, keberadaan Malin Malinpun tak bisa dielakkan.
Kalau sudah begini bagaimana? Memang tak ada jalan lain kecuali melakukan perubahan
yang memang mendasar dan menyeluruh. Membangun paradigma baru tentang tinta seperti
apa yang mestinya digunakan untuk melukis? T inta seperti apa yang dapat digunakan setiap
elemen umat untuk membentuk corak anak anak yang mulia? Jawabnya tentu saja tinta Islam.
Dunia dan seisinya sudah pernah merasakan bagaimana rasanya dilukis dengan tinta Islam.
Belasan abad lamanya, sejak Nabi Muhammad mendirikan Negara Islam pertama di Madinah,
beranjak pada masa Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi T halib,
menggantikan beliau menjadi seorang Khalifah yang memimpin sebuah peradaban bernama
Khilafah, hingga pada akhirnya Khilafah itu jatuhkan lewat makar keji Mustafa Kemal yang
dibantu oleh Inggris.
Dimasa masa itulah lahir anak anak yang tak hanya pandai matematika, fisika, atau kimia,
tapi juga baik akhlaqnya dan mengetahui bagaimana caranya memanfaatkan berbagai ilmu
itu dengan benar. Sains dan T eknologi yang maju dapat diimbangi dengan nilai nilai yang
mengikat dan mengarahkan pemakainya untuk mewujdukan peradaban besar yang diakui
banyak sejarawan dunia.
Bahkan, seorang yang dikenal memusuhi Islam sendiri mengakui hal ini, yakni Barrack
Obama, dalam pidatonya saat berkunjung ke Mesir berujar,”Peradaban berhutang besar
pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung
lentera ilmu selama berabad-abad, dan membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan
era Pencerahan di Eropa. Inovasi dalam masyarakat Muslimlah yang mengembangkan urutan
aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan pena dan
percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya. Budaya
Islam telah memberi kita gerbang-gerbang yang megah dan puncak-puncak menara yang
menjunjung tinggi; puisi-puisi yang tak lekang oleh waktu dan musik yang dihargai; kaligrafi
yang anggun dan tempat-tempat untuk melakukan kontemplasi secara damai. Sepanjang
sejarah, Islam telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan bahwa toleransi
beragama dan persamaan ras adalah hal-hal yang mungkin.” Wallohualam.
https://www.facebook.com/notes/farhan-akbar-muttaqi/antara-malin-ibunya-malin-dankapitalisme/10201286499550197
www.kalam-upi.org/2013/12/antara-malin-ibunya-malin-dan.html
4/4