SlideShare a Scribd company logo
KAJIAN SINKRONISASI PUNGUTAN PUSAT DAN DAERAH

Tim Penyusun :
Dr. Robert P. Simanjuntak

(Universitas Indonesia)

Drs. Masrizal, M.Soc.Sc.

(Universitas Andalas)

Drs. Abdul Hamid Paddu

(Universitas Hasanuddin)

Lisbon Sirait, SE., ME.

(Departemen Keuangan)

TIM ASISTENSI MENTERI KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2006
KAJIAN SINKRONISASI PUNGUTAN PUSAT DAN DAERAH

1. Latar Belakang dan Tujuan
Sistem keuangan publik di Indonesia sampai saat ini masih diwarnai oleh ketimpangan
hubungan antara Pusat dengan Daerah. Sebagian besar sumber-sumber keuangan
yang potensial berada dalam kewenangan Pusat, sementara pada umumnya Daerah
hanya menguasai sumber-sumber penerimaan sendiri yang kurang memadai relatif
dibandingkan besar pengeluarannya. Konsekuensinya adalah Daerah menjadi amat
bergantung kepada transfer dari Pusat.
Ketergantungan tersebut terasa ironis ketika negeri ini melakukan penataan ulang
sistem penyelenggaraan pemerintahannya, dari sistem yang tersentralisasi menjadi
sistem dengan otonomi daerah yang luas. Sejak implementasi pelaksanaan otonomi
daerah pada tahun 2001, Daerah (terutama: Kabupaten/Kota) memiliki kewenangan
politik dan administratif yang jauh lebih luas dibandingkan era sebelumnya. Namun,
secara keuangan, tingkat ketergantungannya secara umum menjadi lebih besar.
Upaya penguatan sumber penerimaan daerah sendiri yang telah dicoba selama ini
lebih terfokus kepada identifikasi sumber-sumber penerimaan (pajak-pajak) daerah
yang baru, dan kurang menyentuh sumber-sumber yang potensial (pajak Pusat).
Kemungkinan pengalihan pajak Pusat menjadi pajak Daerah (seperti misalnya PBB),
atau bagi hasil dari pajak-pajak Pusat yang potensial (selain PPh orang pribadi), masih
dianggap terlalu jauh.
Akibatnya, upaya tersebut kurang berhasil karena hanya berkutat pada wilayah yang
memang sudah sempit atau kurang potensinya. Malah yang terjadi banyak daerah
berupaya keras mencari sumber-sumber pajak (pungutan) baru tanpa memikirkan
dampaknya kepada ekonomi biaya tinggi, serta efeknya yang distortif terhadap
perekonomian.
Tulisan ini bertujuan untuk membahas beberapa alternatif penguatan keuangan daerah
yang akan menjadi bahan kajian, yakni:
•

penambahan jenis pajak dan retribusi daerah, yang diantaranya bisa berupa
pengalihan pajak pusat; dan/atau

•

perluasan obyek pajak/retribusi daerah; dan/atau

•

penambahan jenis bagi hasil pajak pusat kepada daerah.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

1
Pada hakekatnya, alternatif-alternatif tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan taxing
autonomy

dan taxing

memerhatikan

power serta akuntabilitas dari

daerah dengan tetap

stabilitas makroekonomi dan keuangan negara, serta berdasarkan

prinsip-prinsip yang lazim diterapkan. Sinkronisasi dari pajak pusat dan daerah adalah
krusial di sini, dimana tidak boleh ada double taxation dan dimungkinkannya
penghapusan pajak-pajak yang dianggap tidak efisien, distortif, atau bahkan
mengganggu efektivitas pelaksanaan berbagai alternatif tersebut di atas.

Dengan demikian rambu-rambu yang ada dalam UU No 34 Tahun 2000 digunakan
secara utuh sebagai acuan dalam kajian ini. Rambu-rambu (kriteria) tersebut adalah:
•

bersifat pajak dan bukan retribusi;

•

obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang

•

bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya

•

melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;

•

obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum;

•

obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan/atau obyek pajak
pusat;

•

potensinya memadai;

•

tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;

•

memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan

•

menjaga kelestarian lingkungan.

2. Tax Assignment di Indonesia Dewasa Ini
Seperti disebutkan sebelumnya, selama ini upaya yang dilakukan untuk memperbaiki
pendapatan Daerah lebih fokus kepada menambah jenis-jenis pajak yang boleh
dipungut. Persoalannya adalah berbagai jenis pajak yang potensial sudah menjadi
pajak Pusat. Sehingga penambahan jenis pajak Daerah untuk peningkatan kapasitas
fiskal Pemerintah Daerah tersebut malah bisa mendistorsi keuangan negara dan
perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemikiran yang cermat mesti
dilakukan untuk mencari jenis-jenis pajak yang dapat diterapkan untuk memperkuat
kapasitas fiskal Daerah. Selain itu,

mesti ditekankan pula pentingnya sinkronisasi

perpajakan Pemerintah Pusat dengan Daerah.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

2
Sebagai langkah awal sebelum melakukan kajian untuk mencari alternatif penguatan
keuangan daerah yang sinkron dengan keuangan negara, adalah perlu untuk
mengetahui kondisi tax assignment pada setiap tingkat pemerintahan di Indonesia saat
ini. Ini digambarkan secara ringkas pada tabel 1.

3. Prinsip-prinsip Tax Assignment

Dalam rangka mencari tahu dan menyusun sumber-sumber penerimaan yang layak,
cocok dan sinkron untuk setiap tingkatan pemerintahan di Indonesia, perlu dipahami
dulu teori dan berbagai konsep yang lazim dikenal serta digunakan dalam tax
assignment. Pengalaman negara-negara lain juga bisa dijadikan acuan.

Musgrave (1983) menggunakan kriteria equity (konsistensi antara sumber-sumber
penerimaan dengan kebutuhan pengeluaran) dan efficiency (biaya yang sekecil
mungkin) sebagai landasan untuk mengembangkan prinsip-prinsip tax assignment
sebagai berikut:
•

pajak-pajak yang sifatnya progresif dan redistributif seyogyanya menjadi pajak
nasional/pusat;

•

pajak-pajak yang cocok dan dapat digunakan untuk stabilisasi ekonomi
seyogyanya menjadi pajak nasional/pusat;

•

pajak-pajak yang basisnya tidak merata antar daerah seyogyanya menjadi
pajak nasional/pusat;

•

pajak atas faktor-faktor produksi atau obyek yang mobil seyogyanya menjadi
pajak nasional/pusat;

•

pajak-pajak yang basisnya “menetap” (residence-based) seyogyanya menjadi
pajak daerah (utamanya: provinsi)

•

pajak atas faktor-faktor atau obyek yang tidak mobil sama sekali seyogyanya
menjadi pajak daerah (utamanya: kota/kabupaten)

•

pajak atas manfaat yang diberikan (benefit taxes) dan retribusi (user charges)
dapat dikenakan oleh setiap tingkatan pemerintah.

Landasan lain yang dapat digunakan untuk tax assignment dan sejalan atau tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Musgrave di atas, adalah dua kriteria berikut:

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

3
•

Efisiensi dalam Administrasi Perpajakan. Tingkat pemerintahan yang memiliki
informasi

terbaik/terlengkap

atas

suatu

obyek

pajak

adalah

yang

berwenang/bertanggung jawab atas pajak tersebut. Sebagai misal, untuk PPh
perusahaan, pusat lah yang paling mungkin memiliki informasi akurat
menyangkut pendapatan perusahaan dari berbagai sumber dalam dan luar
negeri. Di lain pihak, untuk pajak properti, pemerintah daerah relatif memiliki
keunggulan dibanding pusat untuk melakukan penilaian maupun evaluasi
properti di daerahnya.
•

Kebutuhan Fiskal. Berdasarkan kriteria ini, sumber dan instrumen penerimaan
seyogyanya sepadan dan sedekat mungkin dengan kebutuhan penerimaan.
Jadi, instrumen penerimaan perpajakan yang digunakan untuk mendorong
pencapaian

suatu

kebijakan

seyogyanya

diserahkan

kepada

tingkat

pemerintahan yang bertanggungjawab melaksanakan kebijakan tersebut.
Pajak-pajak yang bersifat progresif redistributif, yang bisa sebagai alat
stabilisasi, dan yang terkait sumber daya alam, lebih cocok di tangan
pemerintah pusat. Sementara tol antar kota seyogyanya menjadi kewenangan
provinsi.
Berdasarkan kriteria-kriteria ini, assignments dari berbagai jenis pajak yang lazim di
dunia kepada setiap tingkat pemerintahan ditunjukkan dalam tabel 2 berikut.
Sementara praktik dan pengalaman di beberapa negara berkembang (termasuk
Indonesia) menyangkut tax assignment dapat diringkas dalam tabel 3.

4. Beberapa Pemikiran ke Depan
Berdasarkan berbagai prinsip yang dikemukakan di bagian depan dan dalam rangka
menyinkronkan pungutan Pusat dan Daerah lewat penguatan keuangan Daerah, maka
beberapa alternatif berikut diajukan.
•

Pengalihan PBB (dan BPHTB) menjadi Pajak Daerah

•

Pengalihan beberapa pungutan Pusat (PNBP) ke Daerah

•

Penambahan dua jenis Pajak Daerah baru

•

Perluasan basis Pajak Daerah; dan

•

Penerapan bagi hasil PPN disertai penghapusan beberapa Pajak Daerah yang
mendistorsi penerimaan PPN (menggerus basis PPN).

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

4
4.1. Pengalihan PBB & BPHTB ke Daerah

Dalam kajian ini, berbagai argumen menyangkut pengalihan PBB dan BPHTB menjadi
pajak daerah tidak akan dibahas secara rinci, mengingat sudah ada tulisan mengenai
hal itu yang dibuat oleh para penulis. Apa yang dikemukakan di sini hanyalah uraian
secara ringkas saja.

Secara praktis, sesungguhnya pajak-pajak ini sudah merupakan pajak daerah, paling
tidak dilihat dari sisi kepada siapa sebagian besar penerimaannya diserahkan. Namun
kewenangan dalam hal penentuan basis pajak dan pentarifan masih berada pada
Pusat. Seyogyanya ini diserahkan kepada daerah kabupaten/kota, meskipun dapat
dilakukan secara bertahap dimulai dari, misalnya, kewenangan menentukan tarif. Jika
ini bisa dilakukan maka buat sebagian daerah akan menjadi sumber PAD yang amat
signifikan dibandingkan keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah selama ini.

Disamping itu, sifat lokalitas, visibilitas dan immobilitas dari obyek PBB dan BPHTB
menjadi alasan sangat penting mengapa ini seyogianya jadi pajak daerah. Apalagi
kalau dikaitkan dengan pelayanan masyarakat, dimana prinsip akuntabilitas dan
transparansi menjadi isu yang amat disoroti di era otonomi daerah. Pengalaman di
banyak negara menunjukkan bahwa beban pajak properti sering dikaitkan langsung
dengan pelayanan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah daerah, misalnya
dalam menyediakan dan memelihara sarana-prasarana publik. Untuk konteks
Indonesia, mungkin yang paling feasibel adalah pengalihan PBB sektor perkotaan,
perdesaan dan perkebunan. Dua sektor lain, pertambangan dan kehutanan, memiliki
kompleksitas yang lebih tinggi, sehingga barangkali masih lebih baik dipertahankan
sebagai pajak Pusat.

Persoalan yang mungkin timbul adalah dari segi kemampuan aparat daerah terutama
dalam penentuan basis pajak. Ini menyangkut kemampuan teknis karena penilaian
juga mesti mengikuti perkembangan harga pasar. Selain itu, terbuka kemungkinan
kecilnya kemauan politik daerah untuk mengenakan tarif yang memadai dan/atau
menerapkan sanksi yang keras berhubung ini terkait langsung dengan kepentingan
politik penguasa yang bersangkutan di daerah. Hal lain yang juga kemungkinan dapat
menjadi

masalah

adalah

masih

terbatasnya

pengalaman

daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

dalam

5
pengembangan sistem informasi. Kesulitan-kesulitan itu pula yang barangkali
menyebabkan sebagian daerah lebih suka kalau pajak ini tetap menjadi pajak pusat
sementara daerah cukup menantikan bagiannya saja. Namun demikian, mengingat
pengalaman dari aparat daerah, ditambah tuntutan era reformasi dan desentralisasi,
maka semestinya dalam jangka menengah persoalan tersebut bisa diatasi. Lagipula
satu hal yang sulit terbantahkan bahwa yang paling memahami soal daerah tentunya
adalah orang daerah sendiri.

4.2. Pengalihan Beberapa PNBP ke Daerah

Pengalihan beberapa jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menjadi perlu
karena adanya pengalihan fungsi/kewenangan dari Pusat kepada Daerah.

Terdapat 2 kategori PNBP yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan kepada
Daerah, yaitu (1) PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam (PNBP
SDA) dan (2) PNBP yang berasal dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
pemerintah (PNBP Fungsional). PNBP SDA merupakan pungutan yang lebih bersifat
pajak (license fee), bukan pungutan yang berkaitan dengan pemulihan biaya (cost
recovery) untuk penyediaan layanan.

Sesuai dengan dengan pembagian kewenangan di bidang pertambangan, kehutanan
dan perikanan, daerah diberikan kewenangan untuk menerbitkan izin berdasarkan
cakupan perizinannya. Pembagian kewenangan dalam perizinan tersebut tidak disertai
dengan pemberian kewenangan dalam pengenaan pungutan, kecuali dalam perikanan.
Pembiayaan fungsi perizinan dalam pertambangan dan kehutanan masih dilakukan
melalui mekanisme bagi hasil. Kebijakan tersebut dalam banyak hal dapat dibenarkan.
Pungutan atas pemanfaatan sumber daya alam umumnya tetap dikelola pusat dengan
pertimbangan politis bahwa sumber daya alam dimanfaatkan untuk kepentingan
masyarakat secara keseluruhan, alasan ketimpangan potensi antar daerah, dan
pertimbangan eksternalitas yang tidak dapat dilokalisir.

Pertimbangan pemberian kewenangan daerah untuk mengenakan pungutan terhadap
eksploitasi SDA sektor perikanan dapat dijustifikasi karena potensi penerimaan yang
relatif tidak terlalu besar (tidak terlalu timpang), disamping dampak eksploitasi antar
daerah mungkin tidak terlalu besar sehingga dapat dipulihkan dari pungutan SDA yang

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

6
menjadi kewenangan Pusat. Berbeda halnya dengan eksploitasi tambang dan hutan,
yang memiliki potensi sangat timpang antar daerah, dan dampak eksploitasi yang
sangat besar terhadap daerah lain (misal: kegiatan pengangkutan, pemurnian),
sehingga menjadi sebab mengapa kewenangan pengenaan pungutan terhadap
eksploitasi tambang dan hutan tidak didesentralisasikan kepada daerah dan
mekanisme bagi hasil tetap dipertahankan.

Namun demikian, mencermati jenis-jenis PNBP SDA, khususnya iuran tetap (land rent)
di sektor pertambangan, dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) dan dana reboisasi
(DR) di sektor kehutanan yang merupakan pungutan terkait dengan perizinan yang
tentunya dimaksudkan untuk membiayai kegiatan pengawasan aktivitas pertambangan
dan pengambilan hasil hutan, maka seharusnya kewenangan daerah untuk
mengenakan pungutan atas pemberian izin tersebut juga diberikan kepada daerah.
Pengenaan pungutan terhadap pemberian izin tersebut memenuhi kriteria yang
ditetapkan dalam UU 34/2000, yang menyaratkan bahwa kegiatan yang dapat
dikenakan retribusi adalah kegiatan-kegiatan yang memerlukan pengawasan dan
pengendalian secara terus-menerus agar aktivitas tersebut tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap masyarakat umum.

Dari sisi keuangan, pengenaan pungutan daerah atas pengelolaan SDA (sesuai
dengan kewenangan daerah), khususnya dari iuran tetap dan IHPH, tidak terlalu
membebani keuangan negara dan bahkan tidak terlalu berdampak terhadap
ketimpangan keuangan antar daerah. Pada tahun 2002, bagian pusat dari penerimaan
negara dari iuran tetap dan IHPH hanya sebesar Rp 21,4 miliar dan sisanya sejumlah
Rp 85,6 miliar (Rp 72,80 miliar di tahun 2004) dibagikan hanya kepada daerah
penghasil (provinsi dan kabupaten/kota).

Berbeda dengan pungutan royalti dan PSDH yang lebih bersifat pajak, dalam banyak
hal, jenis pungutan ini dianggap tidak layak dijadikan sebagai pungutan daerah. Hal ini
didasarkan pertimbangan bahwa penerimaan dari royalti tersebut kurang stabil atau
fluktuatif karena besarnya royalti akan sangat banyak ditentukan oleh perkembangan
harga bahan tambang dan hutan tersebut di pasaran. Ekternalitas negatif dari aktivitas
pertambangan dan pengambilan hasil hutan, yang ditutup dari pengenaan pajak atas
eksploitasi sumber daya alam, tidak hanya ditanggung oleh daerah yang menjadi
lokasi pertambangan dan hutan. Oleh karena itu hasil penerimaan pajak itu perlu

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

7
didistribusikan kepada daerah lain yang juga terkena dampak negatif dari kebijakan
tersebut. Ini tentunya hanya dapat dilaksanakan dengan baik bila penerimaan tersebut
masuk ke Pusat. Kelancaran aktivitas pertambangan dan pengambilan hasil hutan juga
tidak terlepas dari adanya sarana dan prasarana yang disediakan oleh daerah lainnya
yang terletak dekat dengan wilayah administratif lokasi pertambangan sehingga
penerimaan pajak tersebut seyogyanya juga dibagihasilkan kepada daerah-daerah itu.
Potensi sumber daya alam yang timpang antar daerah dan mengingat sumber daya
harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat umum masih menjadi alasan yang
kuat untuk tetap mempertahankan jenis PNBP ini sebagai penerimaan negara. Akan
tetapi ketimpangan penerimaan ini hampir sama dengan ketimpangan penerimaan
PAD. Bila dibandingkan dengan distribusi penerimaan pajak daerah yang ada saat ini,
penerimaan pungutan pusat (PNBP) dari sektor ini antar provinsi tidak berbeda secara
signifikan. Hanya saja tidak semua daerah memiliki sumber daya alam. Ketimpangan
yang sangat besar terlihat dalam penerimaan PSDH dan royalti. Penerimaan PNBP
dari penerbitan izin usaha pertambangan dan kehutanan memiliki ketimpangan yang
relatif sama dengan ketimpangan penerimaan PAD di tingkat Provinsi (tabel 4).
Ketimpangan tersebut semakin besar di tingkat kabupaten/kota.

Demikian juga dengan alasan pemerataan sumber-sumber daya alam untuk
kemakmuran seluruh masyarakat juga kurang realistis karena sebagian besar
penerimaan dari royalti dan PSDH telah dibagihasilkan kepada daerah penghasil, yang
berarti hanya sebesar Rp 443,2 miliar yang didistribusikan secara nasional (20%).
Kepentingan nasional yang selalu dipertimbangkan dapat diakomodasi melalui
penerimaan Negara yang masih tetap ada untuk eksploitasi SDA di wilayah lintas
provinsi.

Dalam tabel 5 di bawah ini terlihat dampak disparitas penerimaan daerah bila terjadi
pengalihan kewenangan pengenaan pungutan atas pemanfaatan sumber daya alam.
Bila pengalihan tersebut dilakukan secara menyeluruh (alternatif I) disparitas
pendapatan daerah tidak berbeda dari sebelumnya (koefisien variasi sama). Demikian
juga dengan bila PNBP yang dialihkan tersebut hanya yang terkait dengan pemberian
izin (alternatif II) disparitas tidak berbeda. Disparitas akan semakin melebar justru bila
pengalihan royalty dan PSDH dilakukan (alternatif III).

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

8
Bila pengalihan tersebut dilakukan, maka sebaiknya diserahkan kepada provinsi
karena penerimaan Negara dari sektor ini sebagian besar telah diserahkan hanya
kepada daerah provinsi penghasil. Dengan demikian daerah kabupaten/kota di provinsi
yang bersangkutan tetap memperoleh bagian. Daerah lainnya diluar daerah penghasil
hanya menerima bagian secara tidak langsung dari DAU. Jika kebijakan ini
dipertimbangkan, jenis penerimaan ini juga harus dibagihasilkan kepada daerah
kabupaten/kota. Kebijakan ini juga sekaligus menjadi perekat antara provinsi dan
kabupaten/kotanya yang telah mulai berkurang selama ini.

PNBP yang berasal dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah
(PNBP Fungsional) dapat dikelompokkan ke dalam (1) pungutan atas pemberian
layanan umum, yang merupakan layanan wajib pemerintah (Tera/Tera Ulang); (2)
pungutan atas pelayanan usaha (kepelabuhanan); 3) pungutan atas pemberian izin
tertentu (izin penggunaan tenaga kerja asing) dan (4) pungutan atas pelayanan
administrasi pemerintahan (retribusi izin usaha penyelenggaraan pelayanan dan
sarana di bidang kesehatan).

Praktek pemungutan PNBP atas pelayanan yang selama ini dilaksanakan oleh
pemerintah pusat menjadi alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa pengenaan
pungutan retribusi oleh daerah atas pelayanan yang sama yang telah diserahkan
kepada daerah, layak untuk dilaksanakan oleh daerah. Pertimbangan lain yang juga
mendasari kelayakan pungutan tersebut oleh daerah adalah kenyataan bahwa praktek
pengenaan pungutan langsung atas pelayanan pemerintahan dalam tingkat tertentu
telah mengalami perkembangan hingga kepada pelayanan yang selama ini dianggap
tidak layak untuk dikenakan retribusi (pelayanan kepolisian dan perlindungan
kebakaran). Bahkan pungutan langsung juga telah dikenakan terhadap pelayanan
pemerintahan

yang

diwajibkan

oleh

peraturan

perundang-undangan,

seperti

pendaftaran kendaraan bermotor, KTP, dan SIM.

Pertimbangan ekonomi yang menjadi dasar utama untuk mengenakan pungutan
langsung (retribusi) kepada pengguna langsung layanan kelihatannya tidak lagi dapat
sepenuhnya dipertahankan dalam menentukan layak tidaknya pelayanan atau aktivitas
pemerintah untuk dikenakan pungutan. Pertimbangan keadilan, perlunya redistribusi
pendapatan (yang mungkin tidak mencukupi dari pajak) dan perlunya tambahan
penerimaan untuk menutup tambahan pengeluaran (yang mungkin tidak dapat selalu

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

9
ditutup dari dana transfer) menjadi pertimbangan yang kuat dalam menilai kelayakan
pengenaan retribusi.

Namun demikian praktek pengenaan pungutan atas pelayanan-pelayanan tertentu
yang bersifat kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan perundangan, seperti
tera/tera ulang, izin usaha perlu diterapkan secara berhati-hati agar tujuan yang ingin
dicapai dari pelayanan tersebut dapat dipenuhi. Demikian juga dengan pelayananpelayanan atau aktivitas yang sepenuhnya untuk meningkatkan pendapatan daerah
harus dilakukan secara berbeda dengan pengenaan retribusi atas pelayananpelayanan umum pemerintah yang selama ini telah banyak dikenal. Tabel 7 berikut ini
menunjukkan layak tidaknya pungutan PNBP yang dikenakan atas pelayanan
pemerintahan untuk ditetapkan sebagai pungutan daerah.
Pungutan Jasa Tera dan Tera Ulang

Penyelenggaraan pelayanan tera dan tera ulang alat-alat UTTP oleh Pemerintah
dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tetang Metrologi
Legal. Sesuai dengan undang-undang tersebut, Pemerintah diwajibkan untuk menera
secara periodik alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk kegiatan usaha.

Kewajiban pemerintah untuk menera dan tera

ulang alat-alat ukur, takar dan timbang tersebut dimaksudkan untuk memastikan
bahwa alat-alat tersebut berfungsi dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian
bagi masyarakat umum. Dengan melaksanakan fungsi tersebut kepentingan
masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan penggunaan alat-alat takar yang tidak
layak pakai.

Pelaksanaan fungsi tera dan tera ulang tersebut telah didesentralisasikan kepada
Propinsi dengan PP 25 Tahun 1999 dan telah ditindaklanjuti dengan Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 731/MPP/Kep/10/2002. Dari sisi
kewenangan, pelaksanaan tera/tera ulang UTTP dan perlengkapannya oleh Propinsi
telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan bukan merupakan kewenangan
daerah kabupaten/kota sebagaimana dilaksanakan oleh Kabupaten Krawang.

Dari sisi ekonomi, pengenaan retribusi atas jasa tera/tera ulang tidak memiliki dasar
yang cukup kuat karena penyediaan layanan ini tidak responsif terhadap permintaan

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

10
layanan (prinsip efisiensi ekonomi dalam pengenaan retribusi). Penetapan tarif retribusi
tidak akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat terhadap layanan ini. Berapun
tarif retribusi yang akan dikenakan oleh daerah atas setiap jasa tera/tera ulang tetap
akan dibayar oleh masyarakat. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, masyarakat
tidak boleh menggunakan alat-alat UTTP yang tidak ditera/.tera ulang oleh pemerintah
daerah. Hal ini berarti, masyarakat tidak dapat menghindari pembayaran retribusi ini
dengan cara tetap menggunakan alat-alat UTTP yang tidak ditera/tera ulang
Pemerintah. Namun demikian, pengenaan tarif yang terlalu besar yang mengakibatkan
rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan tera/tera ulang juga perlu
dipertimbangkan sehingga alat-alat UTTP yang digunakan masyarakat tidak merugikan
masyarakat banyak.

Sebaliknya, penyediaan layanan secara gratis (atau dibiayai dari penerimaan umum)
tidak akan mengakibatkan inefisiensi penyediaan layanan karena tidak ada alasan
yang kuat bagi masyarakat untuk melakukan tera secara terus-menerus hanya karena
disediakan secara gratis oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian, pembiayaan
layanan dari penerimaan umum (bila disediakan gratis) tidak mencerminkan keadilan
karena akan menambah beban bagi pembayar pajak yang tidak menikmati layanan
tersebut.
Pedagang, pelaku usaha hanya dapat melakukan kegiatan usahanya apabila telah
melakukan kewajibannya untuk menera alat-alat UTTP. Dengan kata lain pungutan ini
merupakan suatu pungutan berbentuk access fee yang dikenakan kepada pengusaha
untuk dapat melakukan kegiatan usaha. Pengusaha yang mengkonsumsi layanan ini
memperoleh manfaat secara pribadi karena yang bersangkutan diberikan akses untuk
melakukan usaha yang tentunya memberikan keuntungan. Konsumsi atas layanan ini
juga memberikan manfaat bagi masyarakat umum berupa terhindarnya dari kerugian
penggunaan alat-alat UTTP yang tidak benar ukuran atau takarannya.

Pertimbangan lain yang juga mendasari pengenaan pungutan atas tera adalah bahwa
penyediaan layanan ini memerlukan biaya yang cukup besar, khususnya pengadaan
peralatan untuk menera alat UTTP yang menggunakan teknologi canggih, seperti
SPBU, meteran taksi, listrik, telepon. Pengenaan retribusi atas pelayanan tersebut
dapat menghasilkan pandapatan yang

dapat digunakan oleh daerah untuk

meningkatkan pelayanan dan untuk membiayai kegiatan pengeluaran.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

11
Dari sisi administrasi, pemungutan retribusi ini dapat dilakukan dengan mudah,
khususnya pengenaan retribusi kepada SPBU, TELKOM, PLN, perusahaan angkutan
dan pengenaan sanksi dapat dilakukan dengan mengkaitkan kewajiban ini dengan izin
usaha. Perusahaan perusahaan yang tidak melakukan tera alat-alat UTTP-nya dapat
dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha.

Pengenaan retribusi tera kepada pedagang di pasar-pasar secara administratif sulit
dilaksanakan terutama bagi pedagang karena dapat menggangu aktivitas dari
pedagang, disamping ada tambahan biaya yang akan ditanggung oleh pedagang untuk
memenuhi kewajiban tersebut karena pelaksanaan tera dilakukan di UPTD (bukan di
lokasi usaha). Selain itu, perlindungan masyarakat akibat penggunaan alat-alat UTTP
yang tidak benar oleh pedagang pada dasarnya dapat dikoreksi lewat mekanisme
pasar.

Pungutan Jasa Kepelabuhanan

Pelayanan kepelabuhanan khususnya jasa tunda dan jasa pandu merupakan salah
satu contoh pelayanan pemerintah yang sangat layak dikenakan pungutan langsung
(retribusi) karena jasa kepelabuhan tersebut disediakan bagi orang tertentu dan sangat
mudah mengidentifikasikan pengguna layanan tersebut. Penyediaan layanan jasa
kepelabuhan pada prinsipnya dapat dilaksanakan oleh semua level pemerintahan.
Saat ini pelayanan jasa kepelabuhan diselenggarakan oleh satu entity tersendiri yaitu
PT. PELINDO yang merupakan badan usaha milik Negara yang diberikan kewenangan
oleh pemerintah untuk mengelola jasa kepelabuhanan di Indonesia.

Keterlibatan daerah dalam menyediaan fasilitas kepelabuhanan dalam skala tertentu
dapat dibenarkan, namun tentunya perlu dilakukan dengan mempertimbangkan
efisiensi penyediaan layanan. Pada prinsipnya keterlibatan pemerintah daerah dalam
penyediaan layanan diperlukan dengan pertimbangan bahwa layanan tersebut belum
memadai disediakan oleh swasta, atau karena pertimbangan efisiensi (sunk cost)
penyediaan layanan tersebut tidak menarik bagi swasta. Pertimbangan lain adalah
bahwa penyediaan fasilitas pelabuhan tersebut lebih murah oleh pemerintah karena
berbagai faktor-faktor produksi, seperti tanah, biaya perizinan yang ditanggung oleh

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

12
daerah lebih murah sehingga diharapkan harga layanan dapat lebih murah bila
dibandingkan dengan jika layanan tersebut disediakan oleh pihak swasta.

Dalam kasus fasilitas kepelabuhanan, yang tentunya perlu pertimbangan skala
ekonomi dalam penyediaannya, penyediaan fasilitas tersebut oleh pemerintah daerah,
diperkirakan tidak akan efisien. Oleh karena itu, fasilitas kepelabuhanan yang saat ini
telah diselenggarakan oleh PT. PELINDO seharusnya tidak perlu disediakan oleh
pemerintah Daerah. Penyediaan sarana kepelabuhanan berupa jasa tunda yang
dilakukan oleh Kota Cilegon, di pelabuhan-pelabuhan khusus (Pelsus) layak
dilaksanakan tentunya dengan pertimbangan bahwa pelayanan tersebut dapat
memberikan keuntungan yang layak bagi Pemerintah Daerah. Pada dasarnya jenis
pungutan tersebut telah diakomodasi dalam jenis retribusi yang ditetapkan dalam PP
66/2001, yaitu Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.
Pungutan atas Izin Peredaran Minuman Beralkohol

Dari sisi kewenangan, pengenaan retribusi atas pemberian izin peredaran minuman
beralkohol oleh Pemerintah Propinsi tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang
berlaku. Kewenangan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkhol
dalam PP 25 tidak secara ekplisit di atur, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah
tersebut, Pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam pengaturan lalu lintas barang
dan jasa dalam negeri. Sesuai hal tersebut pengaturan lalu-lintas peredaran minuman
beralkohol tetap menjadi kewenangan pusat. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya
secara eksplisit di atar dalam PP 25/1999 tersebut kewenangan propinsi. Sebaliknya,
kabupaten/kota, sesuai dengan Kepmendagri 130-67 Tahun 2002, mempunyai
kewenangan untuk pengawasan dan peredaran minuman beralkohol di tingkat
pengecer/penjual langsung untuk diminum melalui Surat Izin Usaha Perdagangan
Minuman Beralkohol (SIUP-MB).

Pada prinsipnya pengendalian peredaran barang dalam negeri akan lebih efektif
dilakukan secara terpusat sehingga akan mengurangi terjadinya penyelundupan
barang antar daerah dan tidak akan merintangi lalulintas perdagangan. Di beberapa
negara, pungutan dan pengaturan yang merintangi lalulintas barang dan jasa secara
jelas dilarang dengan undang-undang. Dalam rangka menjamin keamanan dan
ketertiban umum sebaiknya yang perlu dikendalikan adalah pembelian minol di tingkat

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

13
konsumen akhir. Oleh karena itu, pemberian kewenangan kepada kabupaten/kota
mengendalikan minuman untuk pengecer dan penjual langsung untuk diminum sudah
tepat.

Dana Pengembangan Keterampilan Kerja (DPKK)

Kewenangan di bidang ketenagakerjaaan, khususnya tenaga kerja asing pendatang,
sampai saat ini masih belum ada kejelasan. Pemerintah Pusat menganggap bahwa
kewenangan tersebut masih menjadi kewenangannya dengan pertimbangan bahwa
kebijaksanaan perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional
secara makro, termasuk di dalamnya perencanaan tenaga kerja secara nasional masih
tetap menjadi kewenangan Pusat (Pasal 7 ayat 2 UU 22/1999). Sementara itu,
berdasarkan Kepmendagri 130-67 tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan,
kewenangan daerah di bidang ketenagakerjaan, khususnya tenaga kerja asing
pendatang hanya terbatas pada perpanjangan izin kerja sedangkan dalam
kewenangan di bidang Penanaman Modal, ditetapkan bahwa kewenangan daerah
adalah pemberian izin tenaga kerja asing pendatang.

Memang diakui bahwa kebijaksanaan lalu-lintas orang asing, khususnya mengenai
tenaga kerja asing dan keberadaannya di wilayah Indonesia perlu dilakukan melalui
satu pintu (one gate policy). Ketentuan ini dimaksudkan agar dalam penggunaan
tenaga kerja asing tetap memperhatikan pasar tenaga kerja nasional. Sebelum ada
ketentuan penggunaan tenaga kerja warga negara asing (TKWNA) yang baru, maka
yang masih tetap menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan adalah
penerbitan perpanjangan Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA) bagi TKWNA yang
dipekerjakan pada lokasi daerah tersebut sesuai dengan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja (RPTK) yang masih berlaku (UU No. 3 Tahun 1958 tentang Penempatan
Tenaga Kerja Asing).

Sesuai hal tersebut di atas dan agar pengendalian tenaga kerja asing pendatang dapat
berjalan efektif, maka penerbitan izin tetap di Pusat dan perpanjangan diserahkan
kepada daerah. Dengan demikian pungutan berkaitan dengan pemberian izin tersebut
untuk tahun pertama tetap merupakan PNBP, sedangkan pungutan selanjutnya
menjadi penerimaan daerah. Kebijaksanaan tersebut sekaligus untuk mencapai tujuan
yang ingin dicapai dari pengenaan pungutan tersebut, yaitu pengembangan

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

14
keterampilan dan keahlian tenaga kerja nasional. Sebagaimana dimaklumi, pengenaan
pungutan terhadap penggunaan tenaga kerja asing dimaksudkan untuk mengurangi
dampak negatif (adanya opportunity cost) dari penggunaan tenaga kerja asing tersebut
bagi tenaga kerja lokal dan nasional. Dengan demikian baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah dapat membiayai pengembangan tenaga kerja sehingga pada
saatnya tenaga asing tersebut dapat digantikan oleh tenaga kerja Indonesia.

Di era otonomi sekarang ini, adanya keinginan banyak pihak agar perusahaanperusahaan yang beroperasi di daerah lebih memprioritaskan tenaga kerja lokal, maka
penggunaan tenaga kerja asing akan lebih berdampak pada hilangnya kesempatan
tenaga kerja lokal untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, kebutuhan dana
untuk

pengembangan

tenaga

kerja

lokal

menjadi

sangat

penting

untuk

dipertimbangkan. Mempertahankan seluruh dana tersebut sebagai PNBP untuk
selanjutnya dialokasikan kepada daerah dalam bentuk DAU atau instrumen lainnya
tidak memberikan kepastian bahwa dana tersebut akan digunakan untuk pelatihan dan
pengembangan tenaga kerja karena penerimaan tersebut menjadi penerimaan umum
yang penggunaannya tergantung pada prioritas daerah.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
pungutan atas pemberian ITKA berupa DPKK menjadi sangat relevan menjadi
pungutan daerah. Sementara itu, pengembangan tenaga kerja secara nasional dapat
dibiayai dari DPKK yang dipungut oleh Pusat untuk satu tahun pertama dan dari
sumber dana APBN lainnya.
Pungutan atas Izin Usaha Penyelenggaraan Pelayanan & Sarana di Bidang Kesehatan

Pemberian izin usaha penyelenggaraan pelayanan dan sarana di bidang kesehatan
telah menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota sesuai dengan Kepmendagri 13067 tentang Pengakuan Kewenangan. Pada dasarnya pengendalian penyelenggaraan
pelayanan dan sarana di bidang kesehatan telah tercover dari izin gangguan. Seluruh
aktivitas/kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan kerugian, bahaya dan ancaman
harus mendapatkan izin ganguan. Demikian juga dengan pelayanan kesehatan, seperti
apotik, juga telah menjadi objek pengendalian dari BPOM atas obat-obatan yang
diperjualbelikan. Dengan demikian, kewenangan daerah dalam pemberian izin usaha
tersebut lebih diarahkan pada registrasi dari setiap usaha yang ada di daerah yang
bersangkutan.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

15
4.3. Penambahan Pajak Daerah Baru

Terdapat dua jenis pajak baru yang layak dijadikan pajak daerah, yaitu Pajak Sarang
Burung Walet dan Pajak Lingkungan.
Pajak Sarang Burung Walet

Pengenaan

pajak

atas

peternakan

sarang

burung

walet

dilakukan

dengan

pertimbangan bahwa peternakan sarang burung walet tersebut menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan, berupa kebisingan dan aroma yang tidak sedap. Secara
teoritis pengenaan pajak atas peternakan sarang burung walet dimaksudkan untuk
menginternalisasi biaya yang ditimbulkan aktivitas penangkaran sarang burung walet
tersebut. Biaya tersebut termasuk biaya pengawasan dan pengendalian penangkaran
sarang burung walet agar tidak berdampak negatif terhadap masyarakat sekitar lokasi
penangkaran.

Dari sisi keadilan dalam perpajakan, pengenaan pajak atas penangkaran sarang
burung walet lebih adil karena pada umumnya pengusaha sarang burung walet lebih
mampu dibandingkan dengan peternakan lainnya. Penangkaran sarang burung walet
lebih

bersifat

eksklusif

dibandingkan

dengan

penangkaran

lainnya

sehingga

pengenaan pajak tersebut layak dilakukan. Oleh karena itu, saat ini sarang burung
walet tersebut dikenakan PPN oleh Pusat. Dengan demikian secara politis pengenaan
pajak atas sarang burung walet dapat diterima. Untuk mengurangi penolakan
masyarakat terhadap rencana pengenaan pajak daerah, maka sebagai seyogyanya
pemerintah pusat tidak lagi mengenakan PPN atas burung walet tersebut.

Pajak tersebut cocok sebagai pajak daerah karena dampak eksternalitas yang
ditimbulkan oleh aktivitas peternakan burung walet tersebut bersifat lokal. Dari segi
hasil, potensi penerimaan pajak dari sarang burung walet relatif besar khususnya bagi
daerah-daerah dimana penangkaran sarang burung walet banyak dilakukan.
Pajak Lingkungan

Pengenaan pajak lingkungan ini dilakukan terhadap aktivitas usaha manufaktur yang
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan berupa pencemaran udara air dan

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

16
tanah. Pengenaan pajak tersebut sekaligus sebagai respon terhadap keinginan banyak
daerah agar kegiatan industri yang berpotensi membebani lingkungan memberikan
kontribusi terhadap perbaikan lingkungan tersebut. Respon terhadap keinginan
tersebut secara politis telah dilakukan dalam rapat pembahasan RUU tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang mengusulkan agar dalam
RUU Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan pajak lingkungan.

Pengendalian lingkungan atas terhadap kegiatan industri dilakukan dengan instrumen
regulasi yang tidak memberikan toleransi terhadap pencemaran lingkungan (UU
Nomor Tahun 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup). Sesuai dengan undangundang tersebut pemerintah menetapkan ambang batas atas setiap limbah yang akan
dibuang ke sungai, tanah dan udara. Namun demikian pembuangan limbah ke
lingkungan walaupun dalam batas ambang yang ditetapkan, secara kumulatif akan
membebani lingkungan. Saat ini sebagian besar pajak yang dikenakan terhadap
kegiatan usaha merupakan pajak pusat (PPh badan, karyawan dan PPN). Kontribusi
dunia usaha terhadap pengeluaran APBD, khususnya untuk membiayai dampak
negatif dari kegiatan usaha sangat terbatas dan hanya dilakukan melalui mekanisme
bagi hasil (PPh karyawan) dan melalui DAU dan DAK.

Keterbatasan instrumen fiskal daerah terhadap kegiatan usaha dan di pihak lain
adanya ruang untuk mengenakan pajak dan retribusi baru oleh daerah, berbagai
pungutan saat ini telah dikenakan oleh daerah terhadap kegiatan usaha, seperti
retribusi izin usaha industri, yang pada umumnya dikenakan setiap tahun, pendaftaran
usaha, izin gangguan, dan retribusi pembuangan limbah cair. Walaupun retribusi yang
dikenakan tesebut relatif kecil, pengenaan berbagai retribusi tersebut secara
administrasi cenderung membebani dunia usaha.

Untuk mengatasi hal tersebut dan sejalan dengan upaya untuk memberikan taxing
power yang lebih besar kepada daerah, pengenaan pajak lingkungan terhadap
aktivitas usaha yang berpotensi membebani lingkungan perlu dipertimbangkan.
Secara teori dan praktek pengenaan pajak lingkungan (green tax atau environment
tax) dapat diterima. Pengenaan pajak tersebut dilakukan dengan memajaki input
(taxing bads by taxing goods) atau limbah atau produksi. Pilihan terhadap basis pajak
tersebut dapat dilakukan dengan pertimbangan kemudahan administrasi dan efisiensi

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

17
ekonomi. Pengenaan pajak atas penggunaan input yang menghasilkan limbah pada
dasarnya telah dilakukan seperti pajak air oleh daerah, PPN atas bahan bakar minyak.
Pengenaan pajak tersebut dari sisi administrasi sangat mudah dilakukan tetapi tidak
banyak diharapkan dapat meningkatkan efisiensi ekonomi.

Basis pajak berupa limbah secara administratif sulit dilakukan karena sulit mengukur
tingkat pencemaran dari limbah yang dibuang oleh perusahaan, namun lebih
mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Pengenaan pajak lingkungan atas tingkat
pencemaran akan lebih efisien dari sisi ekonomi karena pengenaan pajak tersebut
akan memberikan disinsentif bagi perusahaan untuk mengurangi limbah. Dari sisi
administrasi perpajakan, pilihan basis pajak berupa limbah akan menyulitkan
administrasi karena sangat sulit untuk mengukur tingkat pencemaran dari setiap
kegiatan usaha.

Basis pajak lingkungan berupa produksi dari sisi administrasi relatif lebih mudah
karena data produksi dari kegiatan usaha dapat dengan mudah diketahui. Diakui
pilihan produksi sebagai basis pajak kurang adil karena tidak mencerminkan tingkat
pencemaran dari masing-masing kegiatan usaha. Pada dasarnya pengenaan pajak
atas produksi merupakan pajak perusahaan (business tax atau pajak atas izin
(business lisence tax) yang banyak dikenakan di berbagai Negara. Penyebutan pajak
ini sebagai pajak lingkungan diperlukan karena hasil penerimaan pajak tersebut
sebagian (atau seluruhnya) akan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan pengendalian dan pemeliharaan lingkungan yang telah menjadi
tanggungjawab daerah (earmarking tax). Dengan demikian pengenaan pajak tersebut
lebih akuntabel.

Dari sisi efisiensi ekonomi, pengenaan pajak ini akan meningkatkan biaya produksi
khususnya terhadap kegiatan usaha yang menghasilkan produk yang menjadi input
bagi perusahaan lain. Pengenaan pajak lingkungan tersebut dapat terjadi secara
berulang-ulang dan dapat menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi (tax cascading).
Namun, pengalokasian penerimaan pajak untuk pemeliharaan lingkungan akan
memperkuat daya dukung lingkungan yang pada akhirnya juga akan mengurangi
beban dunia usaha. Selain itu pajak daerah ini dapat menjadi faktor pengurang dalam
perhitungan PPh badan.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

18
Hasil penerimaan pajak diperkirakan cukup besar. Dengan tarif sebesar 0,5% dari
harga pokok penjualan maka penerimaan pajak lingkungan akan mencapai Rp 4,9
triliun, atau sekitar 50% dari keseluruhan PAD kabupaten/kota tahun 2004.

4.4. Perluasan Basis Pajak Daerah

Peningkatan taxing power daerah melalui perluasan basis pajak daerah yang ada
dimaksudkan agar pengenaan pajak lebih adil dan sekaligus untuk menghindari
adanya grey area di lapangan antara pajak Pusat dengan Daerah.

Perluasan basis Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor (BBN-KB) yang mencakup kendaraan pemerintah dimaksudkan untuk lebih
mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Setiap pemilik kendaraan baik masyarakat
umum maupun pemerintah wajib menanggung beban pajak. Pengenaan pajak atas
kendaraan pemerintah sekaligus untuk meningkatkan efisiensi anggaran. Dengan
adanya PKB dan BBNKB untuk kendaraan pemerintah maka pengadaan kendaraan
akan dapat dilakukan lebih selektif.

Penambahan obyek pajak restoran dan hiburan dimaksudkan untuk memberikan
kepastian terhadap objek pajak tersebut. Selama ini di beberapa daerah katering ada
yang dipungut oleh Pusat dan ada juga yang dipungut oleh Daerah. Beberapa wajib
pajak tidak bersedia untuk membayar sebagai pajak daerah karena di pihak lain Pusat
juga mengklaimnya sebagai objek PPN. Dengan ditetapkannya katering sebagai pajak
daerah maka Pusat tidak lagi mengenakan PPN atas katering. Berbeda dengan golf
dan bowling selain dapat dikenakan PPN oleh Pusat, juga dapat dikenakan Pajak
Hiburan oleh Daerah. Semua ini ditunjukkan dalam tabel 8.

4.5. Penerapan Bagi Hasil PPN
Bagian ini membahas usulan perbaikan sistem keuangan Pusat dan Daerah lewat cara
yang sekarang mungkin dianggap langkah drastis, yakni bagi hasil PPN. Analisis yang
akan diberikan dalam bagian ini dan berikutnya fokus kepada bagaimana dampak
keuangan yang akan terjadi kepada Daerah dan Pusat, dan bisa saja tidak sejalan
dengan usulan-usulan yang telah dibuat di atas. Analisis ini tidak melihat besar atau
kecilnya kemungkinan penerapannya berdasarkan situasi dan kondisi obyektif yang

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

19
ada saat ini di Indonesia. Dengan kata lain, ini merupakan “uji coba akademik”
(academic exercise).
Ada tiga perspektif yang dipakai sebagai landasan dalam pembahasan usulan ini,
yaitu: (1) meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan; (2) memperbaiki sistem
pajak daerah dengan menghapuskan (lebih jauh) berbagai pungutan yang tidak sesuai
dengan UU No. 34/2000; dan (3) memperkuat koordinasi penerimaan pajak-pajak
Pusat dan Daerah, dengan menerapkan bagi hasil PPN.
Pertama, memperbesar penerimaan pajak di tingkat makro secara signifikan
merupakan strategi awal yang harus dipilih/diprioritaskan. Rasio penerimaan pajak
terhadap PDB (Tax Ratio) Indonesia selama lima tahun terakhir ini hanya berkisar 1314%. Lebih rendah dibanding umumnya negara-negara tetangga ASEAN yang sudah
mencapai rata-rata 18%. Sehingga, prioritas reformasi perpajakan seyogyanya
memberikan perhatian pada peningkatan rasio perpajakan secara signifikan. Dengan
penerimaan negara yang lebih besar, maka penerimaan bagi Pemerintah Daerah pun
akan menjadi lebih banyak. Sudah menjadi hal yang baku di dunia bahwa untuk
mobilisasi penerimaan pajak yang efektif dan efisien, maka pajak-pajak yang potensial
dikelola oleh Pemerintah Pusat.
Kedua, menghapuskan berbagai pungutan (pajak dan retribusi) daerah yang tidak
sesuai dengan UU No. 34/2000. Sudah menjadi pengetahuan umum saat ini bahwa
banyak pungutan yang diterapkan daerah dalam rangka memperkuat PADnya justru
sering menyumbang pada ekonomi biaya tinggi, dan pada gilirannya distortif dan
melemahkan daya saing perekonomian Indonesia. Upaya yang lebih tegas dan tanpa
makan banyak waktu perlu dilakukan untuk ini.
Ketiga, memperkuat koordinasi penerimaan Pusat dan Daerah dengan melakukan
sinkronisasi pajak-pajak Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam konteks ini terbuka
kemungkinan dimana Daerah boleh memungut pajak atas pajak-pajak yang sudah
menjadi pajak Pusat (piggybacked). Pajak-pajak yang mungkin untuk itu misalnya:
PPN, PPh orang pribadi, PPh badan, PBB, dan penerimaan SDA seperti royalti dan ijin
perhutanan serta sewa dan royalti tanah pertambangan.
Dari semua alternatif itu, barangkali yang paling penting adalah PPN. Ada beberapa
kelebihan PPN untuk menjadi sumber penerimaan Pusat dan Daerah. Beberapa
kelebihan tersebut adalah:

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

20
(1) PPN jika dikelola secara efisien dan efektif menjamin penerimaan yang
memadai bagi Pusat dan Daerah. Menilik kondisi Indonesia dewasa ini
dimana kebutuhan dana untuk pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur) sangat mendesak, maka menjamin sumber penerimaan yang
cukup dan stabil bagi pemerintah (Daerah) harus menjadi prioritas utama;
(2) PPN merupakan pajak yang efisien dan berkeadilan secara ekonomi; dan
(3) Secara administratif efisien karena dikelola terpusat.
Namun demikian, perlu dilakukan kajian mendalam tentang bagaimana bagi hasil PPN
antara Pusat dengan Daerah ini bisa dilakukan sebaik mungkin. Secara teoretis, ada
beberapa manfaat dari dilakukannya bagi hasil PPN dengan Pemerintah Daerah.
Pertama, PPN adalah pajak yang tumbuh terus (growth tax) seiring pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan penerimaan PPN secara keseluruhan memberikan penerimaan
yang lebih banyak bagi Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua, Pemerintah Daerah
akan mendapat insentif menarik dalam mobilisasi penerimaannya. Sebab, boleh
dibilang besarnya penerimaan PPN suatu wilayah menggambarkan intensitas kegiatan
ekonomi daerah. Maka,

Daerah akan cenderung berkomitmen tinggi untuk

pertumbuhan ekonominya, sehingga akan meningkatkan basis pajak. Ketiga, disparitas
antar daerah dari bagi hasil PPN juga akan relatif lebih kecil dibandingkan dengan
misalnya bagi hasil pajak penghasilan (PPh) orang pribadi.
Secara ringkas, usulan perbaikan yang diajukan dalam tulisan ini adalah dengan
melakukan sinkronisasi pembiayaan daerah dengan total pembiayaan negara lewat:
(1) Memperbaiki sistem perpajakan daerah, terutama dengan menghapuskan pajakpajak yang distortif dan pajak-pajak yang sudah menjadi sumber potensial selama ini,
yaitu:

pajak

hotel,

pajak

restoran

dan

pajak

penerangan

jalan;

dan

(2)

membagihasilkan PPN antara Pemerintah Pusat dengan Daerah.

Karena keterbatasan lingkup bahasan, isu-isu mengenai skema transfer keuangan
antara Pemerintah Pusat dan daerah tidak akan dibahas di sini. Namun demikian perlu
disampaikan bahwa bersamaan dengan penerapan usulan ini perlu juga dilakukan
perbaikan Dana Perimbangan (DAU, BHSDA, DAK) untuk menjamin kecukupan dan
stabilitas penerimaan Daerah, adanya distribusi yang lebih merata, dan mendukung
pengembangan perekonomian daerah.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

21
Simulasi Dampak Bagi Hasil PPN1
Bagian ini berisi tentang simulasi yang dilakukan untuk melihat mobilisasi penerimaan
Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan perubahan yang diusulkan. Saat ini, Daerah
hanya mampu membiayai kurang dari 10% total anggarannya dari penerimaan daerah
sendiri. Simulasi ini juga bertujuan untuk memperlihatkan kasus dimana penerapan
bagi hasil PPN akan memampukan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menaikkan
rasio tersebut hingga 40%!
Dalam simulasi ini, ada dua hal krusial yang dilakukan. Pertama, menghapus pajakpajak yang “mengganggu” potensi atau basis pajak PPN, yakni: pajak hotel dan
restoran dan pajak penerangan jalan2. Kedua, memperkenalkan bagi hasil PPN,
dimana bagi hasil diberikan kepada Daerah berdasarkan pada tingkat pendapatan
(PDRB) dan jumlah penduduk3.
Disini diasumsikan bahwa tidak ada perubahan kelembagaan lainnya selain dua hal
yang sudah disebut di atas. Sehingga dalam hal DAU, distribusinya memperhitungkan
alokasi minimum (perhitungan lump-sump dan persentase gaji), dan kondisi hold
harmless dengan cara yang sama dengan perhitungan DAU tahun 2003, ditambah
dana penyeimbang.
Besarnya perubahan penerimaan akibat penerapan usulan ini dikaji secara
menyeluruh. Akan dilihat perubahan besaran penerimaan Pemerintah Pusat dan
Daerah sesudah dilakukan bagi hasil. Penerimaan Pemerintah Pusat yang “baru”
1

Berikut ini adalah dua jenis data yang digunakan dalam studi pada bagian ini. Yakni [Data1] kalkulasi DAU tahun 2002: Keppres tahun 2002 tentang DAU (Kabupaten/Kota) dan
Keppres di tingkat Provinsi tahun 2002 tentang DAU, dan [Data-2] data pajak daerah yang
lebih rinci: perhitungan APBD 2001 baru (Kabupaten/Kota dan Provinsi). Dengan adanya 46
observasi yang hilang (dari 336) untuk Kabupaten/Kota dan 4 observasi (dari 336) untuk
Provinsi si [Data-2], maka lebih diprioritaskan menggunakan [Data-1] dan penggunaan
[Data-2] yang lebih terbatas untuk menghitung komposisi penerimaan pajak asli daerah
(PPDS) di Tabel 2. Data penerimaan pajak daerah yang lebih terperinci seperti pajak hotel
dan restoran, dan pajak penerangan jalan juga dapat diperoleh dari [Data-2].
2
Dalam simulasi ini penerimaan pajak hotel, pajak restoran, dan pajak penerangan jalan di
DKI Jakarta, juga dihapus.
3
Penggunaan data konsumsi lebih diperlukan untuk mengalokasikan dana PPN kepada
Pemerintah Daerah. Karena data konsumsi tidak tersedia, digunakan data PDRB dan
informasi jumlah penduduk sebagai indeks distribusi untuk setiap Pemerintah
Kabupaten/Kota. (1) Besaran PDRB Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap total PDB nasional.
(2) Besaran jumlah penduduk Kabupaten/Kota terhadap total penduduk nasional, dan (3)
rata-rata dari (1) dan (2). Dengan membedakan ketiga indeks tersebut, digunakan indeks
yang ketiga agar lebih mendekatkan pada tingkat konsumsi daerah yang aktual. Dalam
pendistribusian bagi hasil PPN, dihitung total penduduk nasional dan PDB dengan menambah
Pemerintah Kabupaten/Kota dan DKI (Provinsi). Sehingga, bagi hasil PPN juga diasumsikan
dapat didistribusikan kepada DKI dalam rerata tertimbang dari besaran penduduk dan
pendapatannya (PDRB) terhadap nasional (hal yang sama juga dilakukan pada Pemerintah
Kabupaten/Kota).

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

22
terdiri atas: penerimaan dalam negeri netto ditambah kenaikan penerimaan akibat
perubahan (yakni penerimaan pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan jalan
yang dipungut sebagai PPN), dikurangi bagi hasil PPN yang ditransfer ke Daerah.
Sementara penerimaan Daerah yang “baru” terdiri dari: penerimaan pajak daerah yang
berasal dari daerah sendiri (PPDS) ditambah dengan bagian Daerah dari bagi hasil
PPN, dikurangi dengan penerimaan pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan
jalan.
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota disatukan menjadi Pemerintah
Daerah. Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase penerimaan pajak daerah yang
berasal dari daerah sendiri terhadap total penerimaan daerah (PPDS/TREV). Ini
dilakukan untuk melihat bagaimana peningkatan kemampuan mobilisasi penerimaan
Pemerintah Daerah.
Tabel 9 menunjukkan dampak penerapan Bagi Hasil PPN antara Pemerintah Pusat
dan Daerah. Dalam simulasi ini, berbagai alternatif perubahan yang terjadi (z: 0%50%), dimana: z = 0% berarti menghapuskan pajak hotel dan restoran dan pajak
penerangan jalan tetapi penerimaan PPN tidak ditransfer kepada Pemerintah Daerah.
z = 50% berarti menghapuskan pajak hotel, pajak restoran, dan pajak penerangan
jalan, dimana 50% dari penerimaan PPN ditransfer kepada Pemerintah Daerah, dan
seterusnya. Tabel 9 tersebut memperlihatkan bahwa:
•

Semakin tinggi tingkat bagi hasil (z), maka semakin banyak penerimaan yang
akan diterima oleh Pemerintah Daerah. Sebaliknya yang terjadi untuk
Pemerintah Pusat.

•

Kenaikan tingkat bagi hasil (z) akan meningkatkan porsi penerimaan Daerah
(Provinsi dan Kabupaten/Kota) terhadap keseluruhan penerimaan Negara dari
30,88% menjadi 38.64%.

•

Persentase

penerimaan

PPDS

terhadap

total

penerimaan

daerah

(PPDS/TREV) Pemerintah Daerah adalah awalnya sebesar 22.25%. Kemudian
naik menjadi 25.85% pada tingkat bagi hasil 10% (z=0.1), menjadi 35.77%
pada tingkat bagi hasil 30% (z=0.3), dan naik lagi menjadi 45.68% pada tingkat
bagi hasil 50% (z=0.5).
Dalam skema diatas nampaknya Pemerintah Pusat menjadi pihak yang “dirugikan.”
Namun, akan ditunjukkan bahwa penerapan bagi hasil PPN dapat menguntungkan
baik Pusat maupun Daerah. Ini berlandaskan asumsi bahwa pengelolaan PPN yang

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

23
efisien oleh Pusat tanpa distorsi dari pajak-pajak Daerah dan, bahkan, didukung
secara antusias oleh Daerah, akan menyebabkan basis PPN tumbuh dengan pesat.
Tabel 10 menunjukkan hasil dari dampak makro dengan asumsi terjadinya
pertumbuhan penerimaan PPN (tingkat pertumbuhan ditunjukkan dengan alpha (α)).
Simulasi disini adalah dengan asumsi tingkat bagi hasil PPN antara Pemerintah Pusat
dan Daerah (z) sebesar 0.3 (yakni 30% dari penerimaan PPN ditransfer kepada
Daerah). Dalam Tabel 11 ditunjukkan hasil dimana tingkat bagi hasil (z) diasumsikan
sebesar 0.5 (yakni 50% dari penerimaan PPN ditransfer untuk Pemerintah Daerah).
Jika tingkat bagi hasil z adalah 0.5, maka kenaikan penerimaan Pemerintah Pusat
tidak dapat diharapkan hingga alpha mencapai 1. Namun, jika tingkat bagi hasil adalah
0.3, dapat diharapkan adanya kenaikan penerimaan Pemerintah Pusat setelah alpha
sama dengan 0.4 (yakni pertumbuhan penerimaan PPN = 40%).
Dapat dilihat juga bahwa bagi hasil PPN ini berkontribusi pada perbaikan porsi
penerimaan pajak daerah yang berasal dari daerah sendiri terhadap total penerimaan
daerah (PPDS/TREV). Jika tingkat bagi hasil PPN (z) sebesar 0.5, maka persentase
PPDS/TREV akan meningkat dari 22.25% (awal) menjadi 48,16% (jika tingkat
pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 10%), menjadi 53,12% (jika tingkat
pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 30%), dan menjadi 58,08% (jika tingkat
pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 50%). Dan seterusnya.
5. Kesimpulan
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia (sebagaimana yang berlangsung di banyak
negara demokratis) diharapkan dapat menciptakan pengelolaan fiskal yang efektif dan
efisien. Namun, harapan tersebut masih jauh dari terlaksana. Pertama, sumber-sumber
penerimaan yang stabil belum dipersiapkan untuk Pemerintah Daerah. Data
menunjukkan bahwa menyangkut Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
dalam potret keuangan Indonesia, hanya 22,25% dari total penerimaan daerahnya
yang diperoleh berasal dari daerahnya sendiri (PPDS). Keinginan daerah untuk
meningkatkan penerimaan daerahnya sendiri secara signifikan belum terjamin dengan
sumber-sumber penerimaan yang ada. Konsekuensinya, Daerah sangat bergantung
pada transfer dari Pemerintah Pusat.
Kedua, beberapa pajak daerah memiliki kecenderungan untuk mengikis potensi pajakpajak nasional di Indonesia. Pajak hotel dan restoran dan pajak penerangan jalan saat
ini, yang yang berkontribusi sekitar 12% dari total penerimaan pajak daerah sendiri

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

24
(PPDS) di Pemerintah Kabupaten/Kota, diberlakukan seperti layaknya PPN. Hal ini
tidak hanya menyebabkan hilangnya penerimaan Pemerintah Pusat tetapi juga
mengakibatkan inefisiensi pemungutan pajak secara nasional.
Tulisan ini mengusulkan reformasi yang bertujuan meningkatkan local taxing power
dan efektivitas mobilisasi penerimaan untuk Pemerintah Daerah (dan Pusat). Upaya
peningkatan kemampuan keuangan daerah yang bisa berjalan serentak nampaknya
adalah (1) pengalihan pajak Pusat tertentu menjadi pajak daerah, (2) pengalihan PNBP
tertentu kepada Daerah, (3) penambahan pajak Daerah baru, dan (4) penguatan basis
pajak Daerah.
Pemikiran yang mungkin saat ini dianggap “radikal” diajukan juga disini, (meski
disadari mungkin tidak compatible dengan beberapa usulan di atas) yakni sinkronisasi
pajak-pajak daerah dan nasional, lewat (1) penghapusan beberapa pajak daerah
(pajak hotel dan restoran dan pajak penerangan jalan) yang terbukti “mengganggu”
basis pajak Pusat dan sebagai kompensasinya (2) melakukan bagi hasil PPN antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Simulasi bagi hasil PPN menunjukkan bahwa penggunaan bagi hasil PPN antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan membawa peningkatan penerimaan
yang substansial bagi Pemerintah Daerah di Indonesia.
Ditunjukkan dalam tulisan ini bahwa penerapan bagi hasil tidak selalu menghasilkan
zero-sum game antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pilihan yang tepat atas
penerimaan pajak daerah sendiri (PPDS) memungkinkan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah memperoleh hasil yang positif. Penggunaan bagi hasil PPN
diyakini akan meningkatkan komitmen baik Pusat maupun Daerah untuk mendorong
laju perekonomiannya, yang akan berakibat pada peningkatan potensi penerimaan
keuangan. Semakin berkembangnya penerimaan dari PPN akan menawarkan lebih
banyak penerimaan bagi Pemerintah Pusat. Sehingga, komitmen pada pertumbuhan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menimbulkan kesempatan bagi Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah untuk bersama-sama mendapat manfaat.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

25
Daftar Pustaka
Ahmad, E and R Krelove, 2000, Tax Assignments: Options for Indonesia, makalah
dipresentasikan dalam “Indonesia: Decentralization Sequencing Agenda”, 2021 Maret 2000, Auditorium Plaza Mandiri, Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta
Brodjonegoro, B. dan J. Martinez-Vazquez, 2002, An Analysis of Indonesia’s Transfer
System: Recent Performance and Future Prospect, makalah dipresentasikan
untuk konferensi “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?” Konferensi
disponsori oleh Andrew Young School of Policy Studies, George State
University, 1-3 Mei, Evergreen Resort, Stone Mountain Park, Atlanta, Andrew
Young School of Policy Studies, George State University
Lewis, B.D., 2001, The New Indonesian Equalization Transfer, Bulletin of Indonesian
Economic Studies, Vol. 37(3), 325-343
Mahi, R., R. Simanjuntak, K. Muchtar, dan B. Brodjonegoro, 2000, Alternative Local
Revenue and Tax Sharing: Some Notes on the Implementation Law No.
25/1999, makalah dipresentasikan dalam “Indonesia: Decentralization
Sequencing Agenda”, 20-21 Maret 2000, Auditorium Plaza Mandiri, Jl. Jend.
Gatot Subroto – Jakarta
Sidik, M. dan Kadjatmiko, 2002, Indonesia Fiscal Decentralization: Combining
Expenditure Assignment and Revenue Assignment, makalah dipresentasikan
untuk konferensi “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?” Konferensi
disponsori oleh Andrew Young School of Policy Studies, George State
University, 1-3 Mei, Evergreen Resort, Stone Mountain Park, Atlanta, Andrew
Young School of Policy Studies, George State University
Simanjuntak, R. dan Raksaka Mahi, 2003, Local Tax Revenue Mobilization and Local
Borrowing, makalah dipresentasikan dalam International Symposium on
Indonesia’s Decentralization Policy: Problems and Policy Directions, 31 Januari
– 1 Februari 2003, Hitotsubashi Memorial Hall, Hitotsubashi University, Tokyo,
Japan
Simanjuntak, Robert, 2006, Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai: Sebuah Alternatif
Penguatan Keuangan Daerah di Era Desentralisasi, Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan Indonesia (JEPI), Vol. VI No.2, Januari, Departemen Ilmu
Ekonomi Fakultas Ekonomi UI.
Sirait, Lisbon, 2006, Evaluasi Atas Kelayakan Pengenaan Retribusi Atas Fungsi
Pelayanan dan Perizinan yang Diselenggarakan Daerah, Tesis Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik FEUI, Tidak dipublikasikan.
Silver, C., Iwan Jaya Azis, dan Schroeder L., 2000, Intergovernmental Transfer and
Decentralization in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol.
37 (3), 345-362.
Naskah Akademik untuk Revisi Undang-Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

26
Lampiran
Tabel 1. Indonesia: Tax Assignment 2004
Type of Tax
Base
National Tax
Oil and Gas Receipts
Income Tax – Corporate
Value Added Taxes
Import Duties
Excises
Export Tax
Tax/Revenue Sharing
Income Tax – Personal
Land and Building Tax 1)
Land and Bulding Transfer Tax
2)
Forestry – Royalties 3)
Forestry – Licenses 4)
Mining – Landrents 5)
Mining – Royalties 6)
Oil 7)
Natural Gas 8)
Geothermal 9)
Province Tax
Vehicle Tax
Vehicle Transfer Tax
Fuel Tax
Exploration Tax of Surface and
Underground Water
Local Tax
Hotels Tax
Restaurants Tax
Entertainment Tax
Advertisement Tax
Street Lightening Tax
Mine Exploration Tax (type C)
Parking Tax

Responsibility
Rate
Admin

Disposition Revenues (%)
Center
Province
Local

C
C
C
C
C
C

C
C
C
C
C
C

C
C
C
C
C
C

100
100
100
100
100
100

0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0

C
C
C
C
C
C
C
C
C
C

C
C
C
C
C
C
C
C
C
C

C
C, P, L
C
C
C
C
C
C
C
C

80
10
20
20
20
20
20
84.5
69.5
20

8
see notes
“
“
“
“
“
3
6
16

12
see
notes
“
“
“
“
“
12.5
24.5
64

C, P
C, P
C, P
C, P

P
P
P
P

P
P
P
P

0
0
0
0

30
30
10
100

C, L
C, L
C, L
C, L
C, L
C, L
C, L

L
L
L
L
L
L
L

L
L
L
L
L
L
L

0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
0

70
70
90
0

100
100
100
100
100
100
100

Sumber: Law 33/2004, Law 25/1999, Law 34/2000, and several government
regulations
Catatan:

1) from the central share (10%): 6.5% will be distributed evenly to

districts/cities and 3.5% is collection incentives; from the region’s share (90%): 16.2%
are provinces share, 64.8% local shares, and 9% collection costs. 2) all the central
share (20%) will be distributed evenly to districts/cities; and 80% of the regions share:
16% for provinces and 64% for districts/cities. 3) 80% of regional share: 16% province,
32% producing districts/cities, 32% other districts/cities in the province. 4) 80% regional
share: 16% province, 64% producing districts/cities. 5) and 6) 80% regional share: 16%
province, 32% producing districts/cities, 32% other districts/cities in the province. 7)
and 8) the centre portion reduced by 0.5% to add regional portion, and this additional
revenues earmark for basic education, 9) introduced in Law 33/2004.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

27
Tabel 2. Conceptual Basis of Tax Assignment
Type of Tax
Customs

Determination of
Base
Rate
F
F

Collection &
Administration
F

Corporate Income

F

F

F

Personal Income

F

F, S, L

F

F

F

F

S, L

S, L

S, L

S, L

S, L

S, L

F

F, S

F

F, S

F, S

F, S

Resource Taxes
- resource rent (profits, income)
tax
- royalties, fees, charges,
severance taxes, production,
output, and property taxes
- conservation charges
Wealth Taxes (taxes on capital,
wealth, wealth transfers,
inheritances, and bequests)
Payroll

Value-Added Tax (Multi-stage
sales taxes)

F

F

F

Single-stage sales taxes (retail,
manufacturer, wholesale)
- option A

S

S, L

S, L

- option B

F

S

F, S

F, S

F, S

- betting, gambling

S, L

S, L

S, L

- lotteries

S, L

S, L

S, L

S, L

S, L

Taxation of “Bads”
- carbon

F

F

F

- BTU taxes

F, S, L

F, S, L

F, S, L

- motor fuels

F, S, L

F, S, L

F, S, L

F, S, L

F, S, L

Benefit charge,
e.g. social
security
coverage.
Border tax
adjustments
possible under
federal
assignment;
potential
stabilization tool.

F, S, L

- effluent charges

Highly unequally
distributed tax
bases.
Benefit taxes/
charges for state
& local services.
To preserve local
environment.
Redistributive

S, L

- race tracks

International
trade taxes.
Mobile factor,
stabilization tool.
Redistributive,
mobile factor &
stabilization tool.

F

“Sin” Taxes
- excise on alcohol & tobacco

Comments

Higher
compliance cost.
Harmonized,
lower compliance
cost.
Health care a
shared
responsibility.
State and local
responsibility.
State and local
responsibility.
State and local
responsibility.
To combat
global/ national
pollution.
Pollution impact

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

28
- congestion tolls

F, S, L

F, S, L

F, S, L

- parking fees

L

L

L

S

S

S

S

S

S

Business Taxes

S

S

S

Excises

S, L

S, L

S, L

Property

S

L

L

Land

S

L

L

Frontage, betterment

S, L

L

L

Poll

F, S, L

F, S, L

F, S, L

may be national,
regional or local.
Tolls on federal/
provincial/local
road.
To deal with
interstate,
intermunicipal or
local pollution
issues.
Tolls on federal/
provincial/local
road.
To control local
congestion.

Motor Vehicles
- registration, transfer taxes &
annual fees
- driver’s licenses and fees

State
responsibility.
State
responsibility.
Benefit taxes
Residence-based
taxes.
Completely
immobile factor,
benefit tax.
Completely
immobile factor,
benefit tax.
Cost recovery.
Payment for
services.

User Charges

F, S, L

F, S, L

F, S, L

Payment for
services
received.

Sumber: World Bank and IMF, various policy studies.
Catatan: F is federal or central; S is state or province, L is local or municipal

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

29
Tabel 3. A Summary View of Subnational Tax Assignment in 15 Developing
Countries
Type of Tax
- Customs
- Income
- Estates
- Corporate
- Resource
- Sales
- Value Added Taxes
- Excises
- Property
- Fees
- Residual Powers

Base
1
1
4
1
3
4
1
8
11
10
2

Number of countries with subnational determination of
Rate
Collection & Admin
1
2
1
6
4
4
1
4
3
6
5
7
1
4
8
12
12
14
10
12
2
2

Data include Argentina, Bangladesh, Brazil, China, Colombia, India, Indonesia,
Malaysia, Mexico, Nigeria, Pakistan, Papua New Guinea, Philippines, Russia,
Thailand.
Sumber: World Bank, berbagai penerbitan.

Tabel 4. Disparitas Penerimaan Pajak Daerah dan PNBP SDA Kehutanan
dan Pertambangan Tahun 2004 (dalam miliar Rp)
Variabel

Tertinggi
Terendah
Rata-rata
Standar Deviasi
Koefisien variasi
Jumlah daerah

PAD
Provinsi
1
6.430,33
0,19
708,03
1.268,12
1,79
30

IHPH

PSDH

2
18,33
0,08
3,13
5,13
1,64
11

3
1894,97
0.07
20,48
39,66
1,94
27

Land
rent
4
10,10
0,01
1,17
2,01
1.71
28

Royalti
5
464,62
0,0009
46,54
102,76
2,21
22

Sumber: diolah oleh penulis.

Tabel 5. Dampak Penyerahan Kewenangan Pemungutan Retribusi
terhadap Disparitas Penerimaan Daerah
Variabel
Tertinggi
Terendah
Rata-rata
Standar Deviasi
Koefisien variasi

Alternatif I
1+2+3+4+5
6.430,33
20,88
762,32
1.263,70
1,66

Alternatif II
1+2+4
6.430,33
19,30
760,04
1.263,93
1,66

Alternatif III
1+3+5
6.430,33
1,77
710,31
1.267,53
1,78

Catatan: Alternatif I sd III berdasarkan tabel 4
Sumber: diolah oleh penulis.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

30
Tabel 6. Kelayakan PNBP dari Pertambangan Umum dan Kehutanan
sebagai Pungutan Retribusi Daerah
No.
1

Fungsi
Pemerintahan
Pemberian Izin
Usaha
Pertambangan

2

3

Jenis PNBP

Kategori Pungutan

Landrent

Retribusi Perizinan
Layak
Tertentu
Landrent layak sebagai pungutan
daerah karena pungutan tersebut
sangat terkait dengan pemberian izin
yang telah menjadi kewenangan
daerah, namun memerlukan perubahan
UU 33/2004
Pajak
Tidak layak

Royalti

Pemberian Izin/Hak
Pengusahaan Hutan

4

5

Iuran
Hak
Pengusahaan
Hutan

Iuran
Hasil
Hutan (PSDH)

Dana
Reboisasi

Kelayakan

Royalti tidak layak menjadi pungutan
daerah karena hasil penerimaan
timpang antar daerah, bersifat fluktuatif,
dan dampak negatif dari aktivitas
pertambangan tidak hanya ditanggung
oleh daerah setempat
Retribusi Perizinan Layak
Tertentu
IHPH layak menjadi pungutan daerah
karena terkait dengan pemberian izin
yang telah menjadi kewenangan
daerah, namun memerlukan perubahan
UU 33/2004
Pajak
Tidak layak
PSDH tidak layak sebagai pungutan
daerah karena hasil yang timpang antar
daerah, bersifat fluktuatif, dan dampak
negatif dari aktivitas pertambangan
tidak hanya ditanggung oleh daerah
setempat
Dana Jaminan
Layak
Dana reboisasi layak sebagai pungutan
daerah karena sebagian tanggung
jawab pelestarian hutan telah menjadi
kewenangan
daerah,
namun
memerlukan perubahan UU 33/2004.

Sumber: diolah oleh penulis.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

31
Tabel 7. Jenis PNBP yang layak ditetapkan sebagai pungutan Daerah
No.

2

Kewenangan
di Bidang
Perindustrian
dan
Perdagangan
Perhubungan

3

Ketenagakerjaan

Jasa
Kepelabuhanan
DPKK

4

Perindustrian
dan
Perdagangan

Pungutan atas Izin
Peredaran Minuman
Beralkohol

5

Kesehatan

Pungutan atas Izin
Usaha
Penyelenggaraan
Pelayanan & Sarana
di bidang Kesehatan

1

Jenis PNBP

Layak

Jasa Usaha

Jasa Tera/tera ulang

Golongan
Retribusi
Jasa Umum

Layak

Perizinan
Tertentu
Perizinan
Tertentu

Layak

Jasa Umum

Keterangan

Tidak layak, karena
lebih efektif dilakukan di
tingkat pusat (bukan
kewenangan daerah)
Layak, namun hanya
bersifat
administratif,
karena
aktivitas
tersebut
telah
dikenakan izin HO

Sumber: diolah oleh penulis.

Tabel 8. Perluasan Basis beberapa Pajak Daerah
No.
1.

Jenis Pajak Daerah
PKB

Perluasan Basis Pajak
Termasuk
kendaraan
pemerintah

2.

BBN-KB

Termasuk
pemerintah

3.
4.

Pajak Restoran
Pajak Hiburan

Jasa boga
Bowling, Golf

kendaraan

Alasan
Keadilan dalam perpajakan
dan efisiensi penggunaan
anggaran
Keadilan dalam perpajakan
dan efisiensi penggunaan
anggaran
Lebih bersifat lokal
Lebih bersifat lokal

Sumber: diolah oleh penulis

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

32
Tabel 9. Dampak Makro dari Penerapan Bagi Hasil PPN
z
(Tingkat Bagi Hasil
Dana
PPN (%))
Penerimaan Sebelum
Bagi Hasil PPN (Rp.
Triliun)
0
10
20
30
40
50

Tingkat Perubahan
Penerimaan Total (%)

Proporsi Penerimaan
Pemerintah Pusat
dan Daerah (%)

Pemerintah
Pusat

Pemerintah
Daerah

Pemerintah
Pusat

Pemerintah
Daerah

343.20
0.62
-1.64
-3.90
-6.16
-8.42
-10.68

153.35
-1.36
3.60
8.55
13.51
18.47
23.43

69.12
67.57
66.02
64.47
62.92
61.36

Proporsi PPDS
terhadap
Penerimaan Total (%)
Sekarang:
Sesudah
Sebelum
Bagi
Bagi Hasil
Hasil
PPN
PPN

30.88
32.43
33.98
35.53
37.08
38.64

22.25
22.25
22.25
22.25
22.25
22.25

20.89
25.85
30.81
35.77
40.72
45.68

Catatan: Tingkat pertumbuhan PPN (alpha)=0
Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004.

Tabel 10
Peningkatan Penerimaan PPN (dengan Peningkatan Efisiensi) & Dampak
Makronya

Tingkat
Pertumbuhan
PPN (dPPN/PPN)
(alpha)
0
10
20
30
40
50

Tingkat Perubahan
Penerimaan Total (%)

Proporsi Penerimaan
Pemerintah Pusat
dan Daerah (%)

Pemerintah
Pusat

Pemerintah
Daerah

Pemerintah
Pusat

Pemerintah
Daerah

-5.54
-3.96
-2.37
-0.79
0.79
2.37

13.51
15.00
16.49
17.98
19.46
20.95

64.62
64.70
64.78
64.86
64.93
64.62

35.38
35.30
35.22
35.14
35.07
35.38

Proporsi PPDS
terhadap
Penerimaan Total (%)
Sekarang:
Sesudah
Sebelum
Bagi Hasil
Bagi Hasil
PPN
PPN
22.25
35.77
22.25
37.25
22.25
38.74
22.25
40.23
22.25
41.72
22.25
43.20

Catatan: Asumsi z = 0,3
Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

33
Tabel 11
Peningkatan Penerimaan PPN (dengan Peningkatan Efisiensi) & Dampak
Makronya

Tingkat
Pertumbuhan
PPN (dPPN/PPN)
(alpha)

Tingkat Perubahan
Penerimaan Total (%)

Proporsi Penerimaan
Pemerintah Pusat
dan Daerah (%)

Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pemerintah
Pusat
Daerah
Pusat
Daerah

0
-10.05
10
-8.93
20
-7.80
30
-6.67
40
-5.54
50
-4.41
Catatan: Asumsi z = 0,5

23.43
25.91
28.39
30.87
33.35
35.82

61.53
61.35
61.18
61.02
60.86
61.53

38.47
38.65
38.82
38.98
39.14
38.47

Proporsi PPDS
terhadap
Penerimaan Total (%)
Sekarang: Sesudah
Sebelum
Bagi
Bagi Hasil
Hasil
PPN
PPN
22.25
45.68
22.25
48.16
22.25
50.64
22.25
53.12
22.25
55.60
22.25
58.08

Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

34

More Related Content

What's hot

siklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansi
siklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansisiklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansi
siklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansi
Ary Efendi
 
MANAJEMEN ASET DAN KEUANGAN PUBLIK
MANAJEMEN ASET DAN KEUANGAN PUBLIKMANAJEMEN ASET DAN KEUANGAN PUBLIK
MANAJEMEN ASET DAN KEUANGAN PUBLIK
Siti Sahati
 
penganggaran sektor publik
penganggaran sektor publikpenganggaran sektor publik
penganggaran sektor publik
Ary Efendi
 
SUMBER KEGAGALAN & HAMBATAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
SUMBER KEGAGALAN & HAMBATANDALAM PERENCANAANPEMBANGUNAN DAERAHSUMBER KEGAGALAN & HAMBATANDALAM PERENCANAANPEMBANGUNAN DAERAH
SUMBER KEGAGALAN & HAMBATAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Siti Sahati
 
Debirokrasi dan Deregulasi
Debirokrasi dan DeregulasiDebirokrasi dan Deregulasi
Debirokrasi dan DeregulasiGrahat Nagara
 
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
Rian Saifulloh
 
Dampak privatisasi di Indonesia. Studi Kasus Privatisasi PT. Telekomunikasi I...
Dampak privatisasi di Indonesia. Studi Kasus Privatisasi PT. Telekomunikasi I...Dampak privatisasi di Indonesia. Studi Kasus Privatisasi PT. Telekomunikasi I...
Dampak privatisasi di Indonesia. Studi Kasus Privatisasi PT. Telekomunikasi I...Oswar Mungkasa
 
Anggaran Berbasis Kinerja dalam Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Anggaran Berbasis Kinerja dalam Perencanaan dan Penganggaran PembangunanAnggaran Berbasis Kinerja dalam Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Anggaran Berbasis Kinerja dalam Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Dadang Solihin
 
ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI SUATU SISTEM
ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI SUATU SISTEMADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI SUATU SISTEM
ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI SUATU SISTEM
Siti Sahati
 
Makalah - Analisis Laporan Kinerja Keuangan - BAB10
Makalah - Analisis Laporan Kinerja Keuangan - BAB10Makalah - Analisis Laporan Kinerja Keuangan - BAB10
Makalah - Analisis Laporan Kinerja Keuangan - BAB10
Fox Broadcasting
 
Perubahan struktur perekonomian indonesia......
Perubahan struktur perekonomian indonesia......Perubahan struktur perekonomian indonesia......
Perubahan struktur perekonomian indonesia......
rosita puspa
 
Sistem Pemerintahan Daerah
Sistem Pemerintahan DaerahSistem Pemerintahan Daerah
Sistem Pemerintahan Daerah
Dadang Solihin
 
Anggaran publik
Anggaran publikAnggaran publik
Anggaran publik
harry potter
 
12 analisa kelayakan proyek
12 analisa kelayakan proyek12 analisa kelayakan proyek
12 analisa kelayakan proyek
Simon Patabang
 
Pengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan NegaraPengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara
Sujatmiko Wibowo
 
Tugas 5 .perubahan struktur ekonomi
Tugas 5 .perubahan struktur ekonomiTugas 5 .perubahan struktur ekonomi
Tugas 5 .perubahan struktur ekonomi
siti aisah
 
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Dadang Solihin
 
Pengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan NegaraPengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara
Sujatmiko Wibowo
 

What's hot (20)

siklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansi
siklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansisiklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansi
siklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansi
 
MANAJEMEN ASET DAN KEUANGAN PUBLIK
MANAJEMEN ASET DAN KEUANGAN PUBLIKMANAJEMEN ASET DAN KEUANGAN PUBLIK
MANAJEMEN ASET DAN KEUANGAN PUBLIK
 
penganggaran sektor publik
penganggaran sektor publikpenganggaran sektor publik
penganggaran sektor publik
 
SUMBER KEGAGALAN & HAMBATAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
SUMBER KEGAGALAN & HAMBATANDALAM PERENCANAANPEMBANGUNAN DAERAHSUMBER KEGAGALAN & HAMBATANDALAM PERENCANAANPEMBANGUNAN DAERAH
SUMBER KEGAGALAN & HAMBATAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
 
Debirokrasi dan Deregulasi
Debirokrasi dan DeregulasiDebirokrasi dan Deregulasi
Debirokrasi dan Deregulasi
 
anggaran pemerintah
anggaran pemerintahanggaran pemerintah
anggaran pemerintah
 
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
 
Perbandingan BUMN, BUMS dan koperasi - (Bab 6).pptx
Perbandingan BUMN, BUMS dan koperasi - (Bab 6).pptxPerbandingan BUMN, BUMS dan koperasi - (Bab 6).pptx
Perbandingan BUMN, BUMS dan koperasi - (Bab 6).pptx
 
Dampak privatisasi di Indonesia. Studi Kasus Privatisasi PT. Telekomunikasi I...
Dampak privatisasi di Indonesia. Studi Kasus Privatisasi PT. Telekomunikasi I...Dampak privatisasi di Indonesia. Studi Kasus Privatisasi PT. Telekomunikasi I...
Dampak privatisasi di Indonesia. Studi Kasus Privatisasi PT. Telekomunikasi I...
 
Anggaran Berbasis Kinerja dalam Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Anggaran Berbasis Kinerja dalam Perencanaan dan Penganggaran PembangunanAnggaran Berbasis Kinerja dalam Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Anggaran Berbasis Kinerja dalam Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
 
ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI SUATU SISTEM
ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI SUATU SISTEMADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI SUATU SISTEM
ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI SUATU SISTEM
 
Makalah - Analisis Laporan Kinerja Keuangan - BAB10
Makalah - Analisis Laporan Kinerja Keuangan - BAB10Makalah - Analisis Laporan Kinerja Keuangan - BAB10
Makalah - Analisis Laporan Kinerja Keuangan - BAB10
 
Perubahan struktur perekonomian indonesia......
Perubahan struktur perekonomian indonesia......Perubahan struktur perekonomian indonesia......
Perubahan struktur perekonomian indonesia......
 
Sistem Pemerintahan Daerah
Sistem Pemerintahan DaerahSistem Pemerintahan Daerah
Sistem Pemerintahan Daerah
 
Anggaran publik
Anggaran publikAnggaran publik
Anggaran publik
 
12 analisa kelayakan proyek
12 analisa kelayakan proyek12 analisa kelayakan proyek
12 analisa kelayakan proyek
 
Pengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan NegaraPengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara
 
Tugas 5 .perubahan struktur ekonomi
Tugas 5 .perubahan struktur ekonomiTugas 5 .perubahan struktur ekonomi
Tugas 5 .perubahan struktur ekonomi
 
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
 
Pengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan NegaraPengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara
 

Viewers also liked

Kajian pengalihan dana dekon & tp
Kajian pengalihan dana dekon & tpKajian pengalihan dana dekon & tp
Kajian pengalihan dana dekon & tpHerry Prananto
 
Kajian mapping keuangan daerah
Kajian mapping keuangan daerahKajian mapping keuangan daerah
Kajian mapping keuangan daerahHerry Prananto
 
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ...
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ...RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ...
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ...
Tri Widodo W. UTOMO
 
Kajian pemekaran daerah
Kajian pemekaran daerahKajian pemekaran daerah
Kajian pemekaran daerahHerry Prananto
 
Asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan
Asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuanAsas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan
Asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan
Muhammad Fahri
 
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer MalangMakalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Aulia Hamunta
 

Viewers also liked (6)

Kajian pengalihan dana dekon & tp
Kajian pengalihan dana dekon & tpKajian pengalihan dana dekon & tp
Kajian pengalihan dana dekon & tp
 
Kajian mapping keuangan daerah
Kajian mapping keuangan daerahKajian mapping keuangan daerah
Kajian mapping keuangan daerah
 
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ...
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ...RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ...
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ...
 
Kajian pemekaran daerah
Kajian pemekaran daerahKajian pemekaran daerah
Kajian pemekaran daerah
 
Asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan
Asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuanAsas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan
Asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan
 
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer MalangMakalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
 

Similar to Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Q 1.5 usaid - bigg edisi 15 ina web
Q 1.5   usaid - bigg edisi 15 ina webQ 1.5   usaid - bigg edisi 15 ina web
Q 1.5 usaid - bigg edisi 15 ina web
Meloeawati banamtuan
 
PP 35 PAJAK NEW.pptx
PP 35 PAJAK NEW.pptxPP 35 PAJAK NEW.pptx
PP 35 PAJAK NEW.pptx
Universitas Islam Malang
 
pp35pajaknew-230701075025-6d0c6a2e.pdf
pp35pajaknew-230701075025-6d0c6a2e.pdfpp35pajaknew-230701075025-6d0c6a2e.pdf
pp35pajaknew-230701075025-6d0c6a2e.pdf
erikhighflier
 
bab.1 (1).pdf
bab.1 (1).pdfbab.1 (1).pdf
bab.1 (1).pdf
HaniRainn
 
Keuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerahKeuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerah
Dian Herdiana
 
Makalah retribusi dan pajak
Makalah retribusi dan pajakMakalah retribusi dan pajak
Makalah retribusi dan pajak
Septian Muna Barakati
 
Makalah retribusi daerah
Makalah retribusi daerahMakalah retribusi daerah
Makalah retribusi daerah
Septian Muna Barakati
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Isnu Rahadi Wiratama
 
PERPAJAKAN
PERPAJAKANPERPAJAKAN
PERPAJAKAN
Rolan Nirki
 
Akuntansi Sektor Publik
Akuntansi Sektor PublikAkuntansi Sektor Publik
Akuntansi Sektor Publik
HikmahTussaAdah
 
Keuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahKeuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahEfry Ghani
 
Standard pelayanan minimum pdf
Standard pelayanan minimum pdfStandard pelayanan minimum pdf
Standard pelayanan minimum pdf
Guritno Soerjodibroto
 
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerahFgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerahArie Maulana
 
Pengaruh sistem modernisasi perpajakan terhadap kinerja kantor pelayanan perp...
Pengaruh sistem modernisasi perpajakan terhadap kinerja kantor pelayanan perp...Pengaruh sistem modernisasi perpajakan terhadap kinerja kantor pelayanan perp...
Pengaruh sistem modernisasi perpajakan terhadap kinerja kantor pelayanan perp...Humania Fisip unlam
 

Similar to Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah (20)

Q 1.5 usaid - bigg edisi 15 ina web
Q 1.5   usaid - bigg edisi 15 ina webQ 1.5   usaid - bigg edisi 15 ina web
Q 1.5 usaid - bigg edisi 15 ina web
 
PP 35 PAJAK NEW.pptx
PP 35 PAJAK NEW.pptxPP 35 PAJAK NEW.pptx
PP 35 PAJAK NEW.pptx
 
pp35pajaknew-230701075025-6d0c6a2e.pdf
pp35pajaknew-230701075025-6d0c6a2e.pdfpp35pajaknew-230701075025-6d0c6a2e.pdf
pp35pajaknew-230701075025-6d0c6a2e.pdf
 
bab.1 (1).pdf
bab.1 (1).pdfbab.1 (1).pdf
bab.1 (1).pdf
 
Keuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerahKeuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerah
 
Makalah retribusi daerah
Makalah retribusi daerahMakalah retribusi daerah
Makalah retribusi daerah
 
Makalah retribusi daerah
Makalah retribusi daerahMakalah retribusi daerah
Makalah retribusi daerah
 
Makalah retribusi dan pajak
Makalah retribusi dan pajakMakalah retribusi dan pajak
Makalah retribusi dan pajak
 
Makalah retribusi dan pajak
Makalah retribusi dan pajakMakalah retribusi dan pajak
Makalah retribusi dan pajak
 
Makalah retribusi dan pajak
Makalah retribusi dan pajakMakalah retribusi dan pajak
Makalah retribusi dan pajak
 
Makalah retribusi daerah
Makalah retribusi daerahMakalah retribusi daerah
Makalah retribusi daerah
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
 
PERPAJAKAN
PERPAJAKANPERPAJAKAN
PERPAJAKAN
 
Akuntansi Sektor Publik
Akuntansi Sektor PublikAkuntansi Sektor Publik
Akuntansi Sektor Publik
 
Keuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahKeuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerah
 
Standard pelayanan minimum pdf
Standard pelayanan minimum pdfStandard pelayanan minimum pdf
Standard pelayanan minimum pdf
 
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerahFgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
 
104 203-1-pb
104 203-1-pb104 203-1-pb
104 203-1-pb
 
Bhn
BhnBhn
Bhn
 
Pengaruh sistem modernisasi perpajakan terhadap kinerja kantor pelayanan perp...
Pengaruh sistem modernisasi perpajakan terhadap kinerja kantor pelayanan perp...Pengaruh sistem modernisasi perpajakan terhadap kinerja kantor pelayanan perp...
Pengaruh sistem modernisasi perpajakan terhadap kinerja kantor pelayanan perp...
 

More from Herry Prananto

Kajian formula rating daerah
Kajian formula rating daerahKajian formula rating daerah
Kajian formula rating daerahHerry Prananto
 
Buletin defis 02 djpk
Buletin defis 02   djpkBuletin defis 02   djpk
Buletin defis 02 djpk
Herry Prananto
 
Pmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerah
Pmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerahPmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerah
Pmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerahHerry Prananto
 
Japan’s development experience edited
Japan’s development experience editedJapan’s development experience edited
Japan’s development experience editedHerry Prananto
 
Seto city introduction
Seto city introductionSeto city introduction
Seto city introductionHerry Prananto
 
Good governance theory and practice08
Good governance theory and practice08Good governance theory and practice08
Good governance theory and practice08Herry Prananto
 
Aichi financial standing
Aichi financial standingAichi financial standing
Aichi financial standingHerry Prananto
 
Sosialisasi samarinda 2011
Sosialisasi samarinda 2011Sosialisasi samarinda 2011
Sosialisasi samarinda 2011Herry Prananto
 
Prinsip2 transfer ke daerah
Prinsip2 transfer ke daerah Prinsip2 transfer ke daerah
Prinsip2 transfer ke daerah
Herry Prananto
 
Assessment Center DJPK
Assessment Center DJPKAssessment Center DJPK
Assessment Center DJPKHerry Prananto
 

More from Herry Prananto (12)

Kajian formula rating daerah
Kajian formula rating daerahKajian formula rating daerah
Kajian formula rating daerah
 
Konsolidasi 2011
Konsolidasi 2011Konsolidasi 2011
Konsolidasi 2011
 
Buletin defis 02 djpk
Buletin defis 02   djpkBuletin defis 02   djpk
Buletin defis 02 djpk
 
Pmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerah
Pmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerahPmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerah
Pmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerah
 
Japan’s development experience edited
Japan’s development experience editedJapan’s development experience edited
Japan’s development experience edited
 
Ombusman
OmbusmanOmbusman
Ombusman
 
Seto city introduction
Seto city introductionSeto city introduction
Seto city introduction
 
Good governance theory and practice08
Good governance theory and practice08Good governance theory and practice08
Good governance theory and practice08
 
Aichi financial standing
Aichi financial standingAichi financial standing
Aichi financial standing
 
Sosialisasi samarinda 2011
Sosialisasi samarinda 2011Sosialisasi samarinda 2011
Sosialisasi samarinda 2011
 
Prinsip2 transfer ke daerah
Prinsip2 transfer ke daerah Prinsip2 transfer ke daerah
Prinsip2 transfer ke daerah
 
Assessment Center DJPK
Assessment Center DJPKAssessment Center DJPK
Assessment Center DJPK
 

Recently uploaded

kinerja penyusunan anggaran organisasi yang baik
kinerja penyusunan anggaran organisasi yang baikkinerja penyusunan anggaran organisasi yang baik
kinerja penyusunan anggaran organisasi yang baik
HalomoanHutajulu3
 
AUDIT II KELOMPOK 9_indrioktuvianii.pptx
AUDIT II KELOMPOK 9_indrioktuvianii.pptxAUDIT II KELOMPOK 9_indrioktuvianii.pptx
AUDIT II KELOMPOK 9_indrioktuvianii.pptx
indrioktuviani10
 
BAB 8 Teori Akuntansi dan Konsekuensi Ekonomi.pptx
BAB 8 Teori Akuntansi dan Konsekuensi Ekonomi.pptxBAB 8 Teori Akuntansi dan Konsekuensi Ekonomi.pptx
BAB 8 Teori Akuntansi dan Konsekuensi Ekonomi.pptx
arda89
 
10. Bab tentang Anuitas - Matematika ekonomi.pptx
10. Bab tentang Anuitas - Matematika ekonomi.pptx10. Bab tentang Anuitas - Matematika ekonomi.pptx
10. Bab tentang Anuitas - Matematika ekonomi.pptx
RahmanAnshari3
 
Jasa Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor.PDF
Jasa Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor.PDFJasa Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor.PDF
Jasa Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor.PDF
Rajaclean
 
pph pasal 4 ayat 2 belajar ( pph Final ).ppt
pph pasal 4 ayat 2  belajar ( pph Final ).pptpph pasal 4 ayat 2  belajar ( pph Final ).ppt
pph pasal 4 ayat 2 belajar ( pph Final ).ppt
mediamandirinusantar
 
Presentation BMB Rev 21 Februari 2020.pdf
Presentation BMB Rev 21 Februari 2020.pdfPresentation BMB Rev 21 Februari 2020.pdf
Presentation BMB Rev 21 Februari 2020.pdf
perumahanbukitmentar
 
POWER POIN MATERI KELAS XI BAB IV (3).pptx
POWER POIN MATERI KELAS XI BAB IV (3).pptxPOWER POIN MATERI KELAS XI BAB IV (3).pptx
POWER POIN MATERI KELAS XI BAB IV (3).pptx
EchaNox
 
PERTEMUAN 1 ; PENGANTAR DIGITAL MARKETING PERTANIAN.pptx
PERTEMUAN 1 ; PENGANTAR DIGITAL MARKETING PERTANIAN.pptxPERTEMUAN 1 ; PENGANTAR DIGITAL MARKETING PERTANIAN.pptx
PERTEMUAN 1 ; PENGANTAR DIGITAL MARKETING PERTANIAN.pptx
AzisahAchmad
 
bauran pemasaran- STP-segmen pasar-positioning
bauran pemasaran- STP-segmen pasar-positioningbauran pemasaran- STP-segmen pasar-positioning
bauran pemasaran- STP-segmen pasar-positioning
wear7
 
PPT legalitas usaha mikro kecil dan menengah.pptx
PPT legalitas usaha mikro kecil dan menengah.pptxPPT legalitas usaha mikro kecil dan menengah.pptx
PPT legalitas usaha mikro kecil dan menengah.pptx
flashretailindo
 
17837355 pemantauan dan pengendalian.ppt
17837355 pemantauan dan pengendalian.ppt17837355 pemantauan dan pengendalian.ppt
17837355 pemantauan dan pengendalian.ppt
aciambarwati
 
Analisis Pasar Oligopoli dala pelajaran ekonomi.pdf
Analisis Pasar Oligopoli dala pelajaran ekonomi.pdfAnalisis Pasar Oligopoli dala pelajaran ekonomi.pdf
Analisis Pasar Oligopoli dala pelajaran ekonomi.pdf
afaturooo
 
studi kelayakan bisnis (desaian studi kelayakan).ppt
studi kelayakan bisnis (desaian studi kelayakan).pptstudi kelayakan bisnis (desaian studi kelayakan).ppt
studi kelayakan bisnis (desaian studi kelayakan).ppt
SendowoResiden
 
Strategi pemasaran dalam bisnis ritel diperusahaan
Strategi pemasaran dalam bisnis ritel diperusahaanStrategi pemasaran dalam bisnis ritel diperusahaan
Strategi pemasaran dalam bisnis ritel diperusahaan
fatamorganareborn88
 
Khutbah Jum'at, RASULULLAH BERANGKAT BERUMRAH DAN BERHAJI MULAI BULAN DZULQA'...
Khutbah Jum'at, RASULULLAH BERANGKAT BERUMRAH DAN BERHAJI MULAI BULAN DZULQA'...Khutbah Jum'at, RASULULLAH BERANGKAT BERUMRAH DAN BERHAJI MULAI BULAN DZULQA'...
Khutbah Jum'at, RASULULLAH BERANGKAT BERUMRAH DAN BERHAJI MULAI BULAN DZULQA'...
GalihHardiansyah2
 
Grass Block Untuk Carport Pengiriman ke Klojen
Grass Block Untuk Carport Pengiriman ke KlojenGrass Block Untuk Carport Pengiriman ke Klojen
Grass Block Untuk Carport Pengiriman ke Klojen
PavingBlockBolong
 

Recently uploaded (17)

kinerja penyusunan anggaran organisasi yang baik
kinerja penyusunan anggaran organisasi yang baikkinerja penyusunan anggaran organisasi yang baik
kinerja penyusunan anggaran organisasi yang baik
 
AUDIT II KELOMPOK 9_indrioktuvianii.pptx
AUDIT II KELOMPOK 9_indrioktuvianii.pptxAUDIT II KELOMPOK 9_indrioktuvianii.pptx
AUDIT II KELOMPOK 9_indrioktuvianii.pptx
 
BAB 8 Teori Akuntansi dan Konsekuensi Ekonomi.pptx
BAB 8 Teori Akuntansi dan Konsekuensi Ekonomi.pptxBAB 8 Teori Akuntansi dan Konsekuensi Ekonomi.pptx
BAB 8 Teori Akuntansi dan Konsekuensi Ekonomi.pptx
 
10. Bab tentang Anuitas - Matematika ekonomi.pptx
10. Bab tentang Anuitas - Matematika ekonomi.pptx10. Bab tentang Anuitas - Matematika ekonomi.pptx
10. Bab tentang Anuitas - Matematika ekonomi.pptx
 
Jasa Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor.PDF
Jasa Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor.PDFJasa Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor.PDF
Jasa Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor.PDF
 
pph pasal 4 ayat 2 belajar ( pph Final ).ppt
pph pasal 4 ayat 2  belajar ( pph Final ).pptpph pasal 4 ayat 2  belajar ( pph Final ).ppt
pph pasal 4 ayat 2 belajar ( pph Final ).ppt
 
Presentation BMB Rev 21 Februari 2020.pdf
Presentation BMB Rev 21 Februari 2020.pdfPresentation BMB Rev 21 Februari 2020.pdf
Presentation BMB Rev 21 Februari 2020.pdf
 
POWER POIN MATERI KELAS XI BAB IV (3).pptx
POWER POIN MATERI KELAS XI BAB IV (3).pptxPOWER POIN MATERI KELAS XI BAB IV (3).pptx
POWER POIN MATERI KELAS XI BAB IV (3).pptx
 
PERTEMUAN 1 ; PENGANTAR DIGITAL MARKETING PERTANIAN.pptx
PERTEMUAN 1 ; PENGANTAR DIGITAL MARKETING PERTANIAN.pptxPERTEMUAN 1 ; PENGANTAR DIGITAL MARKETING PERTANIAN.pptx
PERTEMUAN 1 ; PENGANTAR DIGITAL MARKETING PERTANIAN.pptx
 
bauran pemasaran- STP-segmen pasar-positioning
bauran pemasaran- STP-segmen pasar-positioningbauran pemasaran- STP-segmen pasar-positioning
bauran pemasaran- STP-segmen pasar-positioning
 
PPT legalitas usaha mikro kecil dan menengah.pptx
PPT legalitas usaha mikro kecil dan menengah.pptxPPT legalitas usaha mikro kecil dan menengah.pptx
PPT legalitas usaha mikro kecil dan menengah.pptx
 
17837355 pemantauan dan pengendalian.ppt
17837355 pemantauan dan pengendalian.ppt17837355 pemantauan dan pengendalian.ppt
17837355 pemantauan dan pengendalian.ppt
 
Analisis Pasar Oligopoli dala pelajaran ekonomi.pdf
Analisis Pasar Oligopoli dala pelajaran ekonomi.pdfAnalisis Pasar Oligopoli dala pelajaran ekonomi.pdf
Analisis Pasar Oligopoli dala pelajaran ekonomi.pdf
 
studi kelayakan bisnis (desaian studi kelayakan).ppt
studi kelayakan bisnis (desaian studi kelayakan).pptstudi kelayakan bisnis (desaian studi kelayakan).ppt
studi kelayakan bisnis (desaian studi kelayakan).ppt
 
Strategi pemasaran dalam bisnis ritel diperusahaan
Strategi pemasaran dalam bisnis ritel diperusahaanStrategi pemasaran dalam bisnis ritel diperusahaan
Strategi pemasaran dalam bisnis ritel diperusahaan
 
Khutbah Jum'at, RASULULLAH BERANGKAT BERUMRAH DAN BERHAJI MULAI BULAN DZULQA'...
Khutbah Jum'at, RASULULLAH BERANGKAT BERUMRAH DAN BERHAJI MULAI BULAN DZULQA'...Khutbah Jum'at, RASULULLAH BERANGKAT BERUMRAH DAN BERHAJI MULAI BULAN DZULQA'...
Khutbah Jum'at, RASULULLAH BERANGKAT BERUMRAH DAN BERHAJI MULAI BULAN DZULQA'...
 
Grass Block Untuk Carport Pengiriman ke Klojen
Grass Block Untuk Carport Pengiriman ke KlojenGrass Block Untuk Carport Pengiriman ke Klojen
Grass Block Untuk Carport Pengiriman ke Klojen
 

Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

  • 1. KAJIAN SINKRONISASI PUNGUTAN PUSAT DAN DAERAH Tim Penyusun : Dr. Robert P. Simanjuntak (Universitas Indonesia) Drs. Masrizal, M.Soc.Sc. (Universitas Andalas) Drs. Abdul Hamid Paddu (Universitas Hasanuddin) Lisbon Sirait, SE., ME. (Departemen Keuangan) TIM ASISTENSI MENTERI KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006
  • 2. KAJIAN SINKRONISASI PUNGUTAN PUSAT DAN DAERAH 1. Latar Belakang dan Tujuan Sistem keuangan publik di Indonesia sampai saat ini masih diwarnai oleh ketimpangan hubungan antara Pusat dengan Daerah. Sebagian besar sumber-sumber keuangan yang potensial berada dalam kewenangan Pusat, sementara pada umumnya Daerah hanya menguasai sumber-sumber penerimaan sendiri yang kurang memadai relatif dibandingkan besar pengeluarannya. Konsekuensinya adalah Daerah menjadi amat bergantung kepada transfer dari Pusat. Ketergantungan tersebut terasa ironis ketika negeri ini melakukan penataan ulang sistem penyelenggaraan pemerintahannya, dari sistem yang tersentralisasi menjadi sistem dengan otonomi daerah yang luas. Sejak implementasi pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001, Daerah (terutama: Kabupaten/Kota) memiliki kewenangan politik dan administratif yang jauh lebih luas dibandingkan era sebelumnya. Namun, secara keuangan, tingkat ketergantungannya secara umum menjadi lebih besar. Upaya penguatan sumber penerimaan daerah sendiri yang telah dicoba selama ini lebih terfokus kepada identifikasi sumber-sumber penerimaan (pajak-pajak) daerah yang baru, dan kurang menyentuh sumber-sumber yang potensial (pajak Pusat). Kemungkinan pengalihan pajak Pusat menjadi pajak Daerah (seperti misalnya PBB), atau bagi hasil dari pajak-pajak Pusat yang potensial (selain PPh orang pribadi), masih dianggap terlalu jauh. Akibatnya, upaya tersebut kurang berhasil karena hanya berkutat pada wilayah yang memang sudah sempit atau kurang potensinya. Malah yang terjadi banyak daerah berupaya keras mencari sumber-sumber pajak (pungutan) baru tanpa memikirkan dampaknya kepada ekonomi biaya tinggi, serta efeknya yang distortif terhadap perekonomian. Tulisan ini bertujuan untuk membahas beberapa alternatif penguatan keuangan daerah yang akan menjadi bahan kajian, yakni: • penambahan jenis pajak dan retribusi daerah, yang diantaranya bisa berupa pengalihan pajak pusat; dan/atau • perluasan obyek pajak/retribusi daerah; dan/atau • penambahan jenis bagi hasil pajak pusat kepada daerah. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 1
  • 3. Pada hakekatnya, alternatif-alternatif tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan taxing autonomy dan taxing memerhatikan power serta akuntabilitas dari daerah dengan tetap stabilitas makroekonomi dan keuangan negara, serta berdasarkan prinsip-prinsip yang lazim diterapkan. Sinkronisasi dari pajak pusat dan daerah adalah krusial di sini, dimana tidak boleh ada double taxation dan dimungkinkannya penghapusan pajak-pajak yang dianggap tidak efisien, distortif, atau bahkan mengganggu efektivitas pelaksanaan berbagai alternatif tersebut di atas. Dengan demikian rambu-rambu yang ada dalam UU No 34 Tahun 2000 digunakan secara utuh sebagai acuan dalam kajian ini. Rambu-rambu (kriteria) tersebut adalah: • bersifat pajak dan bukan retribusi; • obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang • bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya • melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; • obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum; • obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan/atau obyek pajak pusat; • potensinya memadai; • tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif; • memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan • menjaga kelestarian lingkungan. 2. Tax Assignment di Indonesia Dewasa Ini Seperti disebutkan sebelumnya, selama ini upaya yang dilakukan untuk memperbaiki pendapatan Daerah lebih fokus kepada menambah jenis-jenis pajak yang boleh dipungut. Persoalannya adalah berbagai jenis pajak yang potensial sudah menjadi pajak Pusat. Sehingga penambahan jenis pajak Daerah untuk peningkatan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah tersebut malah bisa mendistorsi keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemikiran yang cermat mesti dilakukan untuk mencari jenis-jenis pajak yang dapat diterapkan untuk memperkuat kapasitas fiskal Daerah. Selain itu, mesti ditekankan pula pentingnya sinkronisasi perpajakan Pemerintah Pusat dengan Daerah. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 2
  • 4. Sebagai langkah awal sebelum melakukan kajian untuk mencari alternatif penguatan keuangan daerah yang sinkron dengan keuangan negara, adalah perlu untuk mengetahui kondisi tax assignment pada setiap tingkat pemerintahan di Indonesia saat ini. Ini digambarkan secara ringkas pada tabel 1. 3. Prinsip-prinsip Tax Assignment Dalam rangka mencari tahu dan menyusun sumber-sumber penerimaan yang layak, cocok dan sinkron untuk setiap tingkatan pemerintahan di Indonesia, perlu dipahami dulu teori dan berbagai konsep yang lazim dikenal serta digunakan dalam tax assignment. Pengalaman negara-negara lain juga bisa dijadikan acuan. Musgrave (1983) menggunakan kriteria equity (konsistensi antara sumber-sumber penerimaan dengan kebutuhan pengeluaran) dan efficiency (biaya yang sekecil mungkin) sebagai landasan untuk mengembangkan prinsip-prinsip tax assignment sebagai berikut: • pajak-pajak yang sifatnya progresif dan redistributif seyogyanya menjadi pajak nasional/pusat; • pajak-pajak yang cocok dan dapat digunakan untuk stabilisasi ekonomi seyogyanya menjadi pajak nasional/pusat; • pajak-pajak yang basisnya tidak merata antar daerah seyogyanya menjadi pajak nasional/pusat; • pajak atas faktor-faktor produksi atau obyek yang mobil seyogyanya menjadi pajak nasional/pusat; • pajak-pajak yang basisnya “menetap” (residence-based) seyogyanya menjadi pajak daerah (utamanya: provinsi) • pajak atas faktor-faktor atau obyek yang tidak mobil sama sekali seyogyanya menjadi pajak daerah (utamanya: kota/kabupaten) • pajak atas manfaat yang diberikan (benefit taxes) dan retribusi (user charges) dapat dikenakan oleh setiap tingkatan pemerintah. Landasan lain yang dapat digunakan untuk tax assignment dan sejalan atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Musgrave di atas, adalah dua kriteria berikut: Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 3
  • 5. • Efisiensi dalam Administrasi Perpajakan. Tingkat pemerintahan yang memiliki informasi terbaik/terlengkap atas suatu obyek pajak adalah yang berwenang/bertanggung jawab atas pajak tersebut. Sebagai misal, untuk PPh perusahaan, pusat lah yang paling mungkin memiliki informasi akurat menyangkut pendapatan perusahaan dari berbagai sumber dalam dan luar negeri. Di lain pihak, untuk pajak properti, pemerintah daerah relatif memiliki keunggulan dibanding pusat untuk melakukan penilaian maupun evaluasi properti di daerahnya. • Kebutuhan Fiskal. Berdasarkan kriteria ini, sumber dan instrumen penerimaan seyogyanya sepadan dan sedekat mungkin dengan kebutuhan penerimaan. Jadi, instrumen penerimaan perpajakan yang digunakan untuk mendorong pencapaian suatu kebijakan seyogyanya diserahkan kepada tingkat pemerintahan yang bertanggungjawab melaksanakan kebijakan tersebut. Pajak-pajak yang bersifat progresif redistributif, yang bisa sebagai alat stabilisasi, dan yang terkait sumber daya alam, lebih cocok di tangan pemerintah pusat. Sementara tol antar kota seyogyanya menjadi kewenangan provinsi. Berdasarkan kriteria-kriteria ini, assignments dari berbagai jenis pajak yang lazim di dunia kepada setiap tingkat pemerintahan ditunjukkan dalam tabel 2 berikut. Sementara praktik dan pengalaman di beberapa negara berkembang (termasuk Indonesia) menyangkut tax assignment dapat diringkas dalam tabel 3. 4. Beberapa Pemikiran ke Depan Berdasarkan berbagai prinsip yang dikemukakan di bagian depan dan dalam rangka menyinkronkan pungutan Pusat dan Daerah lewat penguatan keuangan Daerah, maka beberapa alternatif berikut diajukan. • Pengalihan PBB (dan BPHTB) menjadi Pajak Daerah • Pengalihan beberapa pungutan Pusat (PNBP) ke Daerah • Penambahan dua jenis Pajak Daerah baru • Perluasan basis Pajak Daerah; dan • Penerapan bagi hasil PPN disertai penghapusan beberapa Pajak Daerah yang mendistorsi penerimaan PPN (menggerus basis PPN). Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 4
  • 6. 4.1. Pengalihan PBB & BPHTB ke Daerah Dalam kajian ini, berbagai argumen menyangkut pengalihan PBB dan BPHTB menjadi pajak daerah tidak akan dibahas secara rinci, mengingat sudah ada tulisan mengenai hal itu yang dibuat oleh para penulis. Apa yang dikemukakan di sini hanyalah uraian secara ringkas saja. Secara praktis, sesungguhnya pajak-pajak ini sudah merupakan pajak daerah, paling tidak dilihat dari sisi kepada siapa sebagian besar penerimaannya diserahkan. Namun kewenangan dalam hal penentuan basis pajak dan pentarifan masih berada pada Pusat. Seyogyanya ini diserahkan kepada daerah kabupaten/kota, meskipun dapat dilakukan secara bertahap dimulai dari, misalnya, kewenangan menentukan tarif. Jika ini bisa dilakukan maka buat sebagian daerah akan menjadi sumber PAD yang amat signifikan dibandingkan keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah selama ini. Disamping itu, sifat lokalitas, visibilitas dan immobilitas dari obyek PBB dan BPHTB menjadi alasan sangat penting mengapa ini seyogianya jadi pajak daerah. Apalagi kalau dikaitkan dengan pelayanan masyarakat, dimana prinsip akuntabilitas dan transparansi menjadi isu yang amat disoroti di era otonomi daerah. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa beban pajak properti sering dikaitkan langsung dengan pelayanan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah daerah, misalnya dalam menyediakan dan memelihara sarana-prasarana publik. Untuk konteks Indonesia, mungkin yang paling feasibel adalah pengalihan PBB sektor perkotaan, perdesaan dan perkebunan. Dua sektor lain, pertambangan dan kehutanan, memiliki kompleksitas yang lebih tinggi, sehingga barangkali masih lebih baik dipertahankan sebagai pajak Pusat. Persoalan yang mungkin timbul adalah dari segi kemampuan aparat daerah terutama dalam penentuan basis pajak. Ini menyangkut kemampuan teknis karena penilaian juga mesti mengikuti perkembangan harga pasar. Selain itu, terbuka kemungkinan kecilnya kemauan politik daerah untuk mengenakan tarif yang memadai dan/atau menerapkan sanksi yang keras berhubung ini terkait langsung dengan kepentingan politik penguasa yang bersangkutan di daerah. Hal lain yang juga kemungkinan dapat menjadi masalah adalah masih terbatasnya pengalaman daerah Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) dalam 5
  • 7. pengembangan sistem informasi. Kesulitan-kesulitan itu pula yang barangkali menyebabkan sebagian daerah lebih suka kalau pajak ini tetap menjadi pajak pusat sementara daerah cukup menantikan bagiannya saja. Namun demikian, mengingat pengalaman dari aparat daerah, ditambah tuntutan era reformasi dan desentralisasi, maka semestinya dalam jangka menengah persoalan tersebut bisa diatasi. Lagipula satu hal yang sulit terbantahkan bahwa yang paling memahami soal daerah tentunya adalah orang daerah sendiri. 4.2. Pengalihan Beberapa PNBP ke Daerah Pengalihan beberapa jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menjadi perlu karena adanya pengalihan fungsi/kewenangan dari Pusat kepada Daerah. Terdapat 2 kategori PNBP yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan kepada Daerah, yaitu (1) PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam (PNBP SDA) dan (2) PNBP yang berasal dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah (PNBP Fungsional). PNBP SDA merupakan pungutan yang lebih bersifat pajak (license fee), bukan pungutan yang berkaitan dengan pemulihan biaya (cost recovery) untuk penyediaan layanan. Sesuai dengan dengan pembagian kewenangan di bidang pertambangan, kehutanan dan perikanan, daerah diberikan kewenangan untuk menerbitkan izin berdasarkan cakupan perizinannya. Pembagian kewenangan dalam perizinan tersebut tidak disertai dengan pemberian kewenangan dalam pengenaan pungutan, kecuali dalam perikanan. Pembiayaan fungsi perizinan dalam pertambangan dan kehutanan masih dilakukan melalui mekanisme bagi hasil. Kebijakan tersebut dalam banyak hal dapat dibenarkan. Pungutan atas pemanfaatan sumber daya alam umumnya tetap dikelola pusat dengan pertimbangan politis bahwa sumber daya alam dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan, alasan ketimpangan potensi antar daerah, dan pertimbangan eksternalitas yang tidak dapat dilokalisir. Pertimbangan pemberian kewenangan daerah untuk mengenakan pungutan terhadap eksploitasi SDA sektor perikanan dapat dijustifikasi karena potensi penerimaan yang relatif tidak terlalu besar (tidak terlalu timpang), disamping dampak eksploitasi antar daerah mungkin tidak terlalu besar sehingga dapat dipulihkan dari pungutan SDA yang Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 6
  • 8. menjadi kewenangan Pusat. Berbeda halnya dengan eksploitasi tambang dan hutan, yang memiliki potensi sangat timpang antar daerah, dan dampak eksploitasi yang sangat besar terhadap daerah lain (misal: kegiatan pengangkutan, pemurnian), sehingga menjadi sebab mengapa kewenangan pengenaan pungutan terhadap eksploitasi tambang dan hutan tidak didesentralisasikan kepada daerah dan mekanisme bagi hasil tetap dipertahankan. Namun demikian, mencermati jenis-jenis PNBP SDA, khususnya iuran tetap (land rent) di sektor pertambangan, dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) dan dana reboisasi (DR) di sektor kehutanan yang merupakan pungutan terkait dengan perizinan yang tentunya dimaksudkan untuk membiayai kegiatan pengawasan aktivitas pertambangan dan pengambilan hasil hutan, maka seharusnya kewenangan daerah untuk mengenakan pungutan atas pemberian izin tersebut juga diberikan kepada daerah. Pengenaan pungutan terhadap pemberian izin tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU 34/2000, yang menyaratkan bahwa kegiatan yang dapat dikenakan retribusi adalah kegiatan-kegiatan yang memerlukan pengawasan dan pengendalian secara terus-menerus agar aktivitas tersebut tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat umum. Dari sisi keuangan, pengenaan pungutan daerah atas pengelolaan SDA (sesuai dengan kewenangan daerah), khususnya dari iuran tetap dan IHPH, tidak terlalu membebani keuangan negara dan bahkan tidak terlalu berdampak terhadap ketimpangan keuangan antar daerah. Pada tahun 2002, bagian pusat dari penerimaan negara dari iuran tetap dan IHPH hanya sebesar Rp 21,4 miliar dan sisanya sejumlah Rp 85,6 miliar (Rp 72,80 miliar di tahun 2004) dibagikan hanya kepada daerah penghasil (provinsi dan kabupaten/kota). Berbeda dengan pungutan royalti dan PSDH yang lebih bersifat pajak, dalam banyak hal, jenis pungutan ini dianggap tidak layak dijadikan sebagai pungutan daerah. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa penerimaan dari royalti tersebut kurang stabil atau fluktuatif karena besarnya royalti akan sangat banyak ditentukan oleh perkembangan harga bahan tambang dan hutan tersebut di pasaran. Ekternalitas negatif dari aktivitas pertambangan dan pengambilan hasil hutan, yang ditutup dari pengenaan pajak atas eksploitasi sumber daya alam, tidak hanya ditanggung oleh daerah yang menjadi lokasi pertambangan dan hutan. Oleh karena itu hasil penerimaan pajak itu perlu Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 7
  • 9. didistribusikan kepada daerah lain yang juga terkena dampak negatif dari kebijakan tersebut. Ini tentunya hanya dapat dilaksanakan dengan baik bila penerimaan tersebut masuk ke Pusat. Kelancaran aktivitas pertambangan dan pengambilan hasil hutan juga tidak terlepas dari adanya sarana dan prasarana yang disediakan oleh daerah lainnya yang terletak dekat dengan wilayah administratif lokasi pertambangan sehingga penerimaan pajak tersebut seyogyanya juga dibagihasilkan kepada daerah-daerah itu. Potensi sumber daya alam yang timpang antar daerah dan mengingat sumber daya harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat umum masih menjadi alasan yang kuat untuk tetap mempertahankan jenis PNBP ini sebagai penerimaan negara. Akan tetapi ketimpangan penerimaan ini hampir sama dengan ketimpangan penerimaan PAD. Bila dibandingkan dengan distribusi penerimaan pajak daerah yang ada saat ini, penerimaan pungutan pusat (PNBP) dari sektor ini antar provinsi tidak berbeda secara signifikan. Hanya saja tidak semua daerah memiliki sumber daya alam. Ketimpangan yang sangat besar terlihat dalam penerimaan PSDH dan royalti. Penerimaan PNBP dari penerbitan izin usaha pertambangan dan kehutanan memiliki ketimpangan yang relatif sama dengan ketimpangan penerimaan PAD di tingkat Provinsi (tabel 4). Ketimpangan tersebut semakin besar di tingkat kabupaten/kota. Demikian juga dengan alasan pemerataan sumber-sumber daya alam untuk kemakmuran seluruh masyarakat juga kurang realistis karena sebagian besar penerimaan dari royalti dan PSDH telah dibagihasilkan kepada daerah penghasil, yang berarti hanya sebesar Rp 443,2 miliar yang didistribusikan secara nasional (20%). Kepentingan nasional yang selalu dipertimbangkan dapat diakomodasi melalui penerimaan Negara yang masih tetap ada untuk eksploitasi SDA di wilayah lintas provinsi. Dalam tabel 5 di bawah ini terlihat dampak disparitas penerimaan daerah bila terjadi pengalihan kewenangan pengenaan pungutan atas pemanfaatan sumber daya alam. Bila pengalihan tersebut dilakukan secara menyeluruh (alternatif I) disparitas pendapatan daerah tidak berbeda dari sebelumnya (koefisien variasi sama). Demikian juga dengan bila PNBP yang dialihkan tersebut hanya yang terkait dengan pemberian izin (alternatif II) disparitas tidak berbeda. Disparitas akan semakin melebar justru bila pengalihan royalty dan PSDH dilakukan (alternatif III). Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 8
  • 10. Bila pengalihan tersebut dilakukan, maka sebaiknya diserahkan kepada provinsi karena penerimaan Negara dari sektor ini sebagian besar telah diserahkan hanya kepada daerah provinsi penghasil. Dengan demikian daerah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan tetap memperoleh bagian. Daerah lainnya diluar daerah penghasil hanya menerima bagian secara tidak langsung dari DAU. Jika kebijakan ini dipertimbangkan, jenis penerimaan ini juga harus dibagihasilkan kepada daerah kabupaten/kota. Kebijakan ini juga sekaligus menjadi perekat antara provinsi dan kabupaten/kotanya yang telah mulai berkurang selama ini. PNBP yang berasal dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah (PNBP Fungsional) dapat dikelompokkan ke dalam (1) pungutan atas pemberian layanan umum, yang merupakan layanan wajib pemerintah (Tera/Tera Ulang); (2) pungutan atas pelayanan usaha (kepelabuhanan); 3) pungutan atas pemberian izin tertentu (izin penggunaan tenaga kerja asing) dan (4) pungutan atas pelayanan administrasi pemerintahan (retribusi izin usaha penyelenggaraan pelayanan dan sarana di bidang kesehatan). Praktek pemungutan PNBP atas pelayanan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat menjadi alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa pengenaan pungutan retribusi oleh daerah atas pelayanan yang sama yang telah diserahkan kepada daerah, layak untuk dilaksanakan oleh daerah. Pertimbangan lain yang juga mendasari kelayakan pungutan tersebut oleh daerah adalah kenyataan bahwa praktek pengenaan pungutan langsung atas pelayanan pemerintahan dalam tingkat tertentu telah mengalami perkembangan hingga kepada pelayanan yang selama ini dianggap tidak layak untuk dikenakan retribusi (pelayanan kepolisian dan perlindungan kebakaran). Bahkan pungutan langsung juga telah dikenakan terhadap pelayanan pemerintahan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, seperti pendaftaran kendaraan bermotor, KTP, dan SIM. Pertimbangan ekonomi yang menjadi dasar utama untuk mengenakan pungutan langsung (retribusi) kepada pengguna langsung layanan kelihatannya tidak lagi dapat sepenuhnya dipertahankan dalam menentukan layak tidaknya pelayanan atau aktivitas pemerintah untuk dikenakan pungutan. Pertimbangan keadilan, perlunya redistribusi pendapatan (yang mungkin tidak mencukupi dari pajak) dan perlunya tambahan penerimaan untuk menutup tambahan pengeluaran (yang mungkin tidak dapat selalu Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 9
  • 11. ditutup dari dana transfer) menjadi pertimbangan yang kuat dalam menilai kelayakan pengenaan retribusi. Namun demikian praktek pengenaan pungutan atas pelayanan-pelayanan tertentu yang bersifat kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan perundangan, seperti tera/tera ulang, izin usaha perlu diterapkan secara berhati-hati agar tujuan yang ingin dicapai dari pelayanan tersebut dapat dipenuhi. Demikian juga dengan pelayananpelayanan atau aktivitas yang sepenuhnya untuk meningkatkan pendapatan daerah harus dilakukan secara berbeda dengan pengenaan retribusi atas pelayananpelayanan umum pemerintah yang selama ini telah banyak dikenal. Tabel 7 berikut ini menunjukkan layak tidaknya pungutan PNBP yang dikenakan atas pelayanan pemerintahan untuk ditetapkan sebagai pungutan daerah. Pungutan Jasa Tera dan Tera Ulang Penyelenggaraan pelayanan tera dan tera ulang alat-alat UTTP oleh Pemerintah dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tetang Metrologi Legal. Sesuai dengan undang-undang tersebut, Pemerintah diwajibkan untuk menera secara periodik alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh masyarakat untuk kegiatan usaha. Kewajiban pemerintah untuk menera dan tera ulang alat-alat ukur, takar dan timbang tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa alat-alat tersebut berfungsi dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum. Dengan melaksanakan fungsi tersebut kepentingan masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan penggunaan alat-alat takar yang tidak layak pakai. Pelaksanaan fungsi tera dan tera ulang tersebut telah didesentralisasikan kepada Propinsi dengan PP 25 Tahun 1999 dan telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 731/MPP/Kep/10/2002. Dari sisi kewenangan, pelaksanaan tera/tera ulang UTTP dan perlengkapannya oleh Propinsi telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan bukan merupakan kewenangan daerah kabupaten/kota sebagaimana dilaksanakan oleh Kabupaten Krawang. Dari sisi ekonomi, pengenaan retribusi atas jasa tera/tera ulang tidak memiliki dasar yang cukup kuat karena penyediaan layanan ini tidak responsif terhadap permintaan Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 10
  • 12. layanan (prinsip efisiensi ekonomi dalam pengenaan retribusi). Penetapan tarif retribusi tidak akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat terhadap layanan ini. Berapun tarif retribusi yang akan dikenakan oleh daerah atas setiap jasa tera/tera ulang tetap akan dibayar oleh masyarakat. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, masyarakat tidak boleh menggunakan alat-alat UTTP yang tidak ditera/.tera ulang oleh pemerintah daerah. Hal ini berarti, masyarakat tidak dapat menghindari pembayaran retribusi ini dengan cara tetap menggunakan alat-alat UTTP yang tidak ditera/tera ulang Pemerintah. Namun demikian, pengenaan tarif yang terlalu besar yang mengakibatkan rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan tera/tera ulang juga perlu dipertimbangkan sehingga alat-alat UTTP yang digunakan masyarakat tidak merugikan masyarakat banyak. Sebaliknya, penyediaan layanan secara gratis (atau dibiayai dari penerimaan umum) tidak akan mengakibatkan inefisiensi penyediaan layanan karena tidak ada alasan yang kuat bagi masyarakat untuk melakukan tera secara terus-menerus hanya karena disediakan secara gratis oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian, pembiayaan layanan dari penerimaan umum (bila disediakan gratis) tidak mencerminkan keadilan karena akan menambah beban bagi pembayar pajak yang tidak menikmati layanan tersebut. Pedagang, pelaku usaha hanya dapat melakukan kegiatan usahanya apabila telah melakukan kewajibannya untuk menera alat-alat UTTP. Dengan kata lain pungutan ini merupakan suatu pungutan berbentuk access fee yang dikenakan kepada pengusaha untuk dapat melakukan kegiatan usaha. Pengusaha yang mengkonsumsi layanan ini memperoleh manfaat secara pribadi karena yang bersangkutan diberikan akses untuk melakukan usaha yang tentunya memberikan keuntungan. Konsumsi atas layanan ini juga memberikan manfaat bagi masyarakat umum berupa terhindarnya dari kerugian penggunaan alat-alat UTTP yang tidak benar ukuran atau takarannya. Pertimbangan lain yang juga mendasari pengenaan pungutan atas tera adalah bahwa penyediaan layanan ini memerlukan biaya yang cukup besar, khususnya pengadaan peralatan untuk menera alat UTTP yang menggunakan teknologi canggih, seperti SPBU, meteran taksi, listrik, telepon. Pengenaan retribusi atas pelayanan tersebut dapat menghasilkan pandapatan yang dapat digunakan oleh daerah untuk meningkatkan pelayanan dan untuk membiayai kegiatan pengeluaran. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 11
  • 13. Dari sisi administrasi, pemungutan retribusi ini dapat dilakukan dengan mudah, khususnya pengenaan retribusi kepada SPBU, TELKOM, PLN, perusahaan angkutan dan pengenaan sanksi dapat dilakukan dengan mengkaitkan kewajiban ini dengan izin usaha. Perusahaan perusahaan yang tidak melakukan tera alat-alat UTTP-nya dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha. Pengenaan retribusi tera kepada pedagang di pasar-pasar secara administratif sulit dilaksanakan terutama bagi pedagang karena dapat menggangu aktivitas dari pedagang, disamping ada tambahan biaya yang akan ditanggung oleh pedagang untuk memenuhi kewajiban tersebut karena pelaksanaan tera dilakukan di UPTD (bukan di lokasi usaha). Selain itu, perlindungan masyarakat akibat penggunaan alat-alat UTTP yang tidak benar oleh pedagang pada dasarnya dapat dikoreksi lewat mekanisme pasar. Pungutan Jasa Kepelabuhanan Pelayanan kepelabuhanan khususnya jasa tunda dan jasa pandu merupakan salah satu contoh pelayanan pemerintah yang sangat layak dikenakan pungutan langsung (retribusi) karena jasa kepelabuhan tersebut disediakan bagi orang tertentu dan sangat mudah mengidentifikasikan pengguna layanan tersebut. Penyediaan layanan jasa kepelabuhan pada prinsipnya dapat dilaksanakan oleh semua level pemerintahan. Saat ini pelayanan jasa kepelabuhan diselenggarakan oleh satu entity tersendiri yaitu PT. PELINDO yang merupakan badan usaha milik Negara yang diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk mengelola jasa kepelabuhanan di Indonesia. Keterlibatan daerah dalam menyediaan fasilitas kepelabuhanan dalam skala tertentu dapat dibenarkan, namun tentunya perlu dilakukan dengan mempertimbangkan efisiensi penyediaan layanan. Pada prinsipnya keterlibatan pemerintah daerah dalam penyediaan layanan diperlukan dengan pertimbangan bahwa layanan tersebut belum memadai disediakan oleh swasta, atau karena pertimbangan efisiensi (sunk cost) penyediaan layanan tersebut tidak menarik bagi swasta. Pertimbangan lain adalah bahwa penyediaan fasilitas pelabuhan tersebut lebih murah oleh pemerintah karena berbagai faktor-faktor produksi, seperti tanah, biaya perizinan yang ditanggung oleh Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 12
  • 14. daerah lebih murah sehingga diharapkan harga layanan dapat lebih murah bila dibandingkan dengan jika layanan tersebut disediakan oleh pihak swasta. Dalam kasus fasilitas kepelabuhanan, yang tentunya perlu pertimbangan skala ekonomi dalam penyediaannya, penyediaan fasilitas tersebut oleh pemerintah daerah, diperkirakan tidak akan efisien. Oleh karena itu, fasilitas kepelabuhanan yang saat ini telah diselenggarakan oleh PT. PELINDO seharusnya tidak perlu disediakan oleh pemerintah Daerah. Penyediaan sarana kepelabuhanan berupa jasa tunda yang dilakukan oleh Kota Cilegon, di pelabuhan-pelabuhan khusus (Pelsus) layak dilaksanakan tentunya dengan pertimbangan bahwa pelayanan tersebut dapat memberikan keuntungan yang layak bagi Pemerintah Daerah. Pada dasarnya jenis pungutan tersebut telah diakomodasi dalam jenis retribusi yang ditetapkan dalam PP 66/2001, yaitu Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah. Pungutan atas Izin Peredaran Minuman Beralkohol Dari sisi kewenangan, pengenaan retribusi atas pemberian izin peredaran minuman beralkohol oleh Pemerintah Propinsi tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Kewenangan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkhol dalam PP 25 tidak secara ekplisit di atur, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam pengaturan lalu lintas barang dan jasa dalam negeri. Sesuai hal tersebut pengaturan lalu-lintas peredaran minuman beralkohol tetap menjadi kewenangan pusat. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya secara eksplisit di atar dalam PP 25/1999 tersebut kewenangan propinsi. Sebaliknya, kabupaten/kota, sesuai dengan Kepmendagri 130-67 Tahun 2002, mempunyai kewenangan untuk pengawasan dan peredaran minuman beralkohol di tingkat pengecer/penjual langsung untuk diminum melalui Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB). Pada prinsipnya pengendalian peredaran barang dalam negeri akan lebih efektif dilakukan secara terpusat sehingga akan mengurangi terjadinya penyelundupan barang antar daerah dan tidak akan merintangi lalulintas perdagangan. Di beberapa negara, pungutan dan pengaturan yang merintangi lalulintas barang dan jasa secara jelas dilarang dengan undang-undang. Dalam rangka menjamin keamanan dan ketertiban umum sebaiknya yang perlu dikendalikan adalah pembelian minol di tingkat Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 13
  • 15. konsumen akhir. Oleh karena itu, pemberian kewenangan kepada kabupaten/kota mengendalikan minuman untuk pengecer dan penjual langsung untuk diminum sudah tepat. Dana Pengembangan Keterampilan Kerja (DPKK) Kewenangan di bidang ketenagakerjaaan, khususnya tenaga kerja asing pendatang, sampai saat ini masih belum ada kejelasan. Pemerintah Pusat menganggap bahwa kewenangan tersebut masih menjadi kewenangannya dengan pertimbangan bahwa kebijaksanaan perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, termasuk di dalamnya perencanaan tenaga kerja secara nasional masih tetap menjadi kewenangan Pusat (Pasal 7 ayat 2 UU 22/1999). Sementara itu, berdasarkan Kepmendagri 130-67 tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan, kewenangan daerah di bidang ketenagakerjaan, khususnya tenaga kerja asing pendatang hanya terbatas pada perpanjangan izin kerja sedangkan dalam kewenangan di bidang Penanaman Modal, ditetapkan bahwa kewenangan daerah adalah pemberian izin tenaga kerja asing pendatang. Memang diakui bahwa kebijaksanaan lalu-lintas orang asing, khususnya mengenai tenaga kerja asing dan keberadaannya di wilayah Indonesia perlu dilakukan melalui satu pintu (one gate policy). Ketentuan ini dimaksudkan agar dalam penggunaan tenaga kerja asing tetap memperhatikan pasar tenaga kerja nasional. Sebelum ada ketentuan penggunaan tenaga kerja warga negara asing (TKWNA) yang baru, maka yang masih tetap menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan adalah penerbitan perpanjangan Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA) bagi TKWNA yang dipekerjakan pada lokasi daerah tersebut sesuai dengan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja (RPTK) yang masih berlaku (UU No. 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing). Sesuai hal tersebut di atas dan agar pengendalian tenaga kerja asing pendatang dapat berjalan efektif, maka penerbitan izin tetap di Pusat dan perpanjangan diserahkan kepada daerah. Dengan demikian pungutan berkaitan dengan pemberian izin tersebut untuk tahun pertama tetap merupakan PNBP, sedangkan pungutan selanjutnya menjadi penerimaan daerah. Kebijaksanaan tersebut sekaligus untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dari pengenaan pungutan tersebut, yaitu pengembangan Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 14
  • 16. keterampilan dan keahlian tenaga kerja nasional. Sebagaimana dimaklumi, pengenaan pungutan terhadap penggunaan tenaga kerja asing dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif (adanya opportunity cost) dari penggunaan tenaga kerja asing tersebut bagi tenaga kerja lokal dan nasional. Dengan demikian baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat membiayai pengembangan tenaga kerja sehingga pada saatnya tenaga asing tersebut dapat digantikan oleh tenaga kerja Indonesia. Di era otonomi sekarang ini, adanya keinginan banyak pihak agar perusahaanperusahaan yang beroperasi di daerah lebih memprioritaskan tenaga kerja lokal, maka penggunaan tenaga kerja asing akan lebih berdampak pada hilangnya kesempatan tenaga kerja lokal untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, kebutuhan dana untuk pengembangan tenaga kerja lokal menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Mempertahankan seluruh dana tersebut sebagai PNBP untuk selanjutnya dialokasikan kepada daerah dalam bentuk DAU atau instrumen lainnya tidak memberikan kepastian bahwa dana tersebut akan digunakan untuk pelatihan dan pengembangan tenaga kerja karena penerimaan tersebut menjadi penerimaan umum yang penggunaannya tergantung pada prioritas daerah. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pungutan atas pemberian ITKA berupa DPKK menjadi sangat relevan menjadi pungutan daerah. Sementara itu, pengembangan tenaga kerja secara nasional dapat dibiayai dari DPKK yang dipungut oleh Pusat untuk satu tahun pertama dan dari sumber dana APBN lainnya. Pungutan atas Izin Usaha Penyelenggaraan Pelayanan & Sarana di Bidang Kesehatan Pemberian izin usaha penyelenggaraan pelayanan dan sarana di bidang kesehatan telah menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota sesuai dengan Kepmendagri 13067 tentang Pengakuan Kewenangan. Pada dasarnya pengendalian penyelenggaraan pelayanan dan sarana di bidang kesehatan telah tercover dari izin gangguan. Seluruh aktivitas/kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan kerugian, bahaya dan ancaman harus mendapatkan izin ganguan. Demikian juga dengan pelayanan kesehatan, seperti apotik, juga telah menjadi objek pengendalian dari BPOM atas obat-obatan yang diperjualbelikan. Dengan demikian, kewenangan daerah dalam pemberian izin usaha tersebut lebih diarahkan pada registrasi dari setiap usaha yang ada di daerah yang bersangkutan. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 15
  • 17. 4.3. Penambahan Pajak Daerah Baru Terdapat dua jenis pajak baru yang layak dijadikan pajak daerah, yaitu Pajak Sarang Burung Walet dan Pajak Lingkungan. Pajak Sarang Burung Walet Pengenaan pajak atas peternakan sarang burung walet dilakukan dengan pertimbangan bahwa peternakan sarang burung walet tersebut menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, berupa kebisingan dan aroma yang tidak sedap. Secara teoritis pengenaan pajak atas peternakan sarang burung walet dimaksudkan untuk menginternalisasi biaya yang ditimbulkan aktivitas penangkaran sarang burung walet tersebut. Biaya tersebut termasuk biaya pengawasan dan pengendalian penangkaran sarang burung walet agar tidak berdampak negatif terhadap masyarakat sekitar lokasi penangkaran. Dari sisi keadilan dalam perpajakan, pengenaan pajak atas penangkaran sarang burung walet lebih adil karena pada umumnya pengusaha sarang burung walet lebih mampu dibandingkan dengan peternakan lainnya. Penangkaran sarang burung walet lebih bersifat eksklusif dibandingkan dengan penangkaran lainnya sehingga pengenaan pajak tersebut layak dilakukan. Oleh karena itu, saat ini sarang burung walet tersebut dikenakan PPN oleh Pusat. Dengan demikian secara politis pengenaan pajak atas sarang burung walet dapat diterima. Untuk mengurangi penolakan masyarakat terhadap rencana pengenaan pajak daerah, maka sebagai seyogyanya pemerintah pusat tidak lagi mengenakan PPN atas burung walet tersebut. Pajak tersebut cocok sebagai pajak daerah karena dampak eksternalitas yang ditimbulkan oleh aktivitas peternakan burung walet tersebut bersifat lokal. Dari segi hasil, potensi penerimaan pajak dari sarang burung walet relatif besar khususnya bagi daerah-daerah dimana penangkaran sarang burung walet banyak dilakukan. Pajak Lingkungan Pengenaan pajak lingkungan ini dilakukan terhadap aktivitas usaha manufaktur yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan berupa pencemaran udara air dan Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 16
  • 18. tanah. Pengenaan pajak tersebut sekaligus sebagai respon terhadap keinginan banyak daerah agar kegiatan industri yang berpotensi membebani lingkungan memberikan kontribusi terhadap perbaikan lingkungan tersebut. Respon terhadap keinginan tersebut secara politis telah dilakukan dalam rapat pembahasan RUU tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang mengusulkan agar dalam RUU Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan pajak lingkungan. Pengendalian lingkungan atas terhadap kegiatan industri dilakukan dengan instrumen regulasi yang tidak memberikan toleransi terhadap pencemaran lingkungan (UU Nomor Tahun 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup). Sesuai dengan undangundang tersebut pemerintah menetapkan ambang batas atas setiap limbah yang akan dibuang ke sungai, tanah dan udara. Namun demikian pembuangan limbah ke lingkungan walaupun dalam batas ambang yang ditetapkan, secara kumulatif akan membebani lingkungan. Saat ini sebagian besar pajak yang dikenakan terhadap kegiatan usaha merupakan pajak pusat (PPh badan, karyawan dan PPN). Kontribusi dunia usaha terhadap pengeluaran APBD, khususnya untuk membiayai dampak negatif dari kegiatan usaha sangat terbatas dan hanya dilakukan melalui mekanisme bagi hasil (PPh karyawan) dan melalui DAU dan DAK. Keterbatasan instrumen fiskal daerah terhadap kegiatan usaha dan di pihak lain adanya ruang untuk mengenakan pajak dan retribusi baru oleh daerah, berbagai pungutan saat ini telah dikenakan oleh daerah terhadap kegiatan usaha, seperti retribusi izin usaha industri, yang pada umumnya dikenakan setiap tahun, pendaftaran usaha, izin gangguan, dan retribusi pembuangan limbah cair. Walaupun retribusi yang dikenakan tesebut relatif kecil, pengenaan berbagai retribusi tersebut secara administrasi cenderung membebani dunia usaha. Untuk mengatasi hal tersebut dan sejalan dengan upaya untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah, pengenaan pajak lingkungan terhadap aktivitas usaha yang berpotensi membebani lingkungan perlu dipertimbangkan. Secara teori dan praktek pengenaan pajak lingkungan (green tax atau environment tax) dapat diterima. Pengenaan pajak tersebut dilakukan dengan memajaki input (taxing bads by taxing goods) atau limbah atau produksi. Pilihan terhadap basis pajak tersebut dapat dilakukan dengan pertimbangan kemudahan administrasi dan efisiensi Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 17
  • 19. ekonomi. Pengenaan pajak atas penggunaan input yang menghasilkan limbah pada dasarnya telah dilakukan seperti pajak air oleh daerah, PPN atas bahan bakar minyak. Pengenaan pajak tersebut dari sisi administrasi sangat mudah dilakukan tetapi tidak banyak diharapkan dapat meningkatkan efisiensi ekonomi. Basis pajak berupa limbah secara administratif sulit dilakukan karena sulit mengukur tingkat pencemaran dari limbah yang dibuang oleh perusahaan, namun lebih mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Pengenaan pajak lingkungan atas tingkat pencemaran akan lebih efisien dari sisi ekonomi karena pengenaan pajak tersebut akan memberikan disinsentif bagi perusahaan untuk mengurangi limbah. Dari sisi administrasi perpajakan, pilihan basis pajak berupa limbah akan menyulitkan administrasi karena sangat sulit untuk mengukur tingkat pencemaran dari setiap kegiatan usaha. Basis pajak lingkungan berupa produksi dari sisi administrasi relatif lebih mudah karena data produksi dari kegiatan usaha dapat dengan mudah diketahui. Diakui pilihan produksi sebagai basis pajak kurang adil karena tidak mencerminkan tingkat pencemaran dari masing-masing kegiatan usaha. Pada dasarnya pengenaan pajak atas produksi merupakan pajak perusahaan (business tax atau pajak atas izin (business lisence tax) yang banyak dikenakan di berbagai Negara. Penyebutan pajak ini sebagai pajak lingkungan diperlukan karena hasil penerimaan pajak tersebut sebagian (atau seluruhnya) akan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengendalian dan pemeliharaan lingkungan yang telah menjadi tanggungjawab daerah (earmarking tax). Dengan demikian pengenaan pajak tersebut lebih akuntabel. Dari sisi efisiensi ekonomi, pengenaan pajak ini akan meningkatkan biaya produksi khususnya terhadap kegiatan usaha yang menghasilkan produk yang menjadi input bagi perusahaan lain. Pengenaan pajak lingkungan tersebut dapat terjadi secara berulang-ulang dan dapat menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi (tax cascading). Namun, pengalokasian penerimaan pajak untuk pemeliharaan lingkungan akan memperkuat daya dukung lingkungan yang pada akhirnya juga akan mengurangi beban dunia usaha. Selain itu pajak daerah ini dapat menjadi faktor pengurang dalam perhitungan PPh badan. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 18
  • 20. Hasil penerimaan pajak diperkirakan cukup besar. Dengan tarif sebesar 0,5% dari harga pokok penjualan maka penerimaan pajak lingkungan akan mencapai Rp 4,9 triliun, atau sekitar 50% dari keseluruhan PAD kabupaten/kota tahun 2004. 4.4. Perluasan Basis Pajak Daerah Peningkatan taxing power daerah melalui perluasan basis pajak daerah yang ada dimaksudkan agar pengenaan pajak lebih adil dan sekaligus untuk menghindari adanya grey area di lapangan antara pajak Pusat dengan Daerah. Perluasan basis Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) yang mencakup kendaraan pemerintah dimaksudkan untuk lebih mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Setiap pemilik kendaraan baik masyarakat umum maupun pemerintah wajib menanggung beban pajak. Pengenaan pajak atas kendaraan pemerintah sekaligus untuk meningkatkan efisiensi anggaran. Dengan adanya PKB dan BBNKB untuk kendaraan pemerintah maka pengadaan kendaraan akan dapat dilakukan lebih selektif. Penambahan obyek pajak restoran dan hiburan dimaksudkan untuk memberikan kepastian terhadap objek pajak tersebut. Selama ini di beberapa daerah katering ada yang dipungut oleh Pusat dan ada juga yang dipungut oleh Daerah. Beberapa wajib pajak tidak bersedia untuk membayar sebagai pajak daerah karena di pihak lain Pusat juga mengklaimnya sebagai objek PPN. Dengan ditetapkannya katering sebagai pajak daerah maka Pusat tidak lagi mengenakan PPN atas katering. Berbeda dengan golf dan bowling selain dapat dikenakan PPN oleh Pusat, juga dapat dikenakan Pajak Hiburan oleh Daerah. Semua ini ditunjukkan dalam tabel 8. 4.5. Penerapan Bagi Hasil PPN Bagian ini membahas usulan perbaikan sistem keuangan Pusat dan Daerah lewat cara yang sekarang mungkin dianggap langkah drastis, yakni bagi hasil PPN. Analisis yang akan diberikan dalam bagian ini dan berikutnya fokus kepada bagaimana dampak keuangan yang akan terjadi kepada Daerah dan Pusat, dan bisa saja tidak sejalan dengan usulan-usulan yang telah dibuat di atas. Analisis ini tidak melihat besar atau kecilnya kemungkinan penerapannya berdasarkan situasi dan kondisi obyektif yang Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 19
  • 21. ada saat ini di Indonesia. Dengan kata lain, ini merupakan “uji coba akademik” (academic exercise). Ada tiga perspektif yang dipakai sebagai landasan dalam pembahasan usulan ini, yaitu: (1) meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan; (2) memperbaiki sistem pajak daerah dengan menghapuskan (lebih jauh) berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan UU No. 34/2000; dan (3) memperkuat koordinasi penerimaan pajak-pajak Pusat dan Daerah, dengan menerapkan bagi hasil PPN. Pertama, memperbesar penerimaan pajak di tingkat makro secara signifikan merupakan strategi awal yang harus dipilih/diprioritaskan. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB (Tax Ratio) Indonesia selama lima tahun terakhir ini hanya berkisar 1314%. Lebih rendah dibanding umumnya negara-negara tetangga ASEAN yang sudah mencapai rata-rata 18%. Sehingga, prioritas reformasi perpajakan seyogyanya memberikan perhatian pada peningkatan rasio perpajakan secara signifikan. Dengan penerimaan negara yang lebih besar, maka penerimaan bagi Pemerintah Daerah pun akan menjadi lebih banyak. Sudah menjadi hal yang baku di dunia bahwa untuk mobilisasi penerimaan pajak yang efektif dan efisien, maka pajak-pajak yang potensial dikelola oleh Pemerintah Pusat. Kedua, menghapuskan berbagai pungutan (pajak dan retribusi) daerah yang tidak sesuai dengan UU No. 34/2000. Sudah menjadi pengetahuan umum saat ini bahwa banyak pungutan yang diterapkan daerah dalam rangka memperkuat PADnya justru sering menyumbang pada ekonomi biaya tinggi, dan pada gilirannya distortif dan melemahkan daya saing perekonomian Indonesia. Upaya yang lebih tegas dan tanpa makan banyak waktu perlu dilakukan untuk ini. Ketiga, memperkuat koordinasi penerimaan Pusat dan Daerah dengan melakukan sinkronisasi pajak-pajak Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam konteks ini terbuka kemungkinan dimana Daerah boleh memungut pajak atas pajak-pajak yang sudah menjadi pajak Pusat (piggybacked). Pajak-pajak yang mungkin untuk itu misalnya: PPN, PPh orang pribadi, PPh badan, PBB, dan penerimaan SDA seperti royalti dan ijin perhutanan serta sewa dan royalti tanah pertambangan. Dari semua alternatif itu, barangkali yang paling penting adalah PPN. Ada beberapa kelebihan PPN untuk menjadi sumber penerimaan Pusat dan Daerah. Beberapa kelebihan tersebut adalah: Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 20
  • 22. (1) PPN jika dikelola secara efisien dan efektif menjamin penerimaan yang memadai bagi Pusat dan Daerah. Menilik kondisi Indonesia dewasa ini dimana kebutuhan dana untuk pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur) sangat mendesak, maka menjamin sumber penerimaan yang cukup dan stabil bagi pemerintah (Daerah) harus menjadi prioritas utama; (2) PPN merupakan pajak yang efisien dan berkeadilan secara ekonomi; dan (3) Secara administratif efisien karena dikelola terpusat. Namun demikian, perlu dilakukan kajian mendalam tentang bagaimana bagi hasil PPN antara Pusat dengan Daerah ini bisa dilakukan sebaik mungkin. Secara teoretis, ada beberapa manfaat dari dilakukannya bagi hasil PPN dengan Pemerintah Daerah. Pertama, PPN adalah pajak yang tumbuh terus (growth tax) seiring pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penerimaan PPN secara keseluruhan memberikan penerimaan yang lebih banyak bagi Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua, Pemerintah Daerah akan mendapat insentif menarik dalam mobilisasi penerimaannya. Sebab, boleh dibilang besarnya penerimaan PPN suatu wilayah menggambarkan intensitas kegiatan ekonomi daerah. Maka, Daerah akan cenderung berkomitmen tinggi untuk pertumbuhan ekonominya, sehingga akan meningkatkan basis pajak. Ketiga, disparitas antar daerah dari bagi hasil PPN juga akan relatif lebih kecil dibandingkan dengan misalnya bagi hasil pajak penghasilan (PPh) orang pribadi. Secara ringkas, usulan perbaikan yang diajukan dalam tulisan ini adalah dengan melakukan sinkronisasi pembiayaan daerah dengan total pembiayaan negara lewat: (1) Memperbaiki sistem perpajakan daerah, terutama dengan menghapuskan pajakpajak yang distortif dan pajak-pajak yang sudah menjadi sumber potensial selama ini, yaitu: pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan jalan; dan (2) membagihasilkan PPN antara Pemerintah Pusat dengan Daerah. Karena keterbatasan lingkup bahasan, isu-isu mengenai skema transfer keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah tidak akan dibahas di sini. Namun demikian perlu disampaikan bahwa bersamaan dengan penerapan usulan ini perlu juga dilakukan perbaikan Dana Perimbangan (DAU, BHSDA, DAK) untuk menjamin kecukupan dan stabilitas penerimaan Daerah, adanya distribusi yang lebih merata, dan mendukung pengembangan perekonomian daerah. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 21
  • 23. Simulasi Dampak Bagi Hasil PPN1 Bagian ini berisi tentang simulasi yang dilakukan untuk melihat mobilisasi penerimaan Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan perubahan yang diusulkan. Saat ini, Daerah hanya mampu membiayai kurang dari 10% total anggarannya dari penerimaan daerah sendiri. Simulasi ini juga bertujuan untuk memperlihatkan kasus dimana penerapan bagi hasil PPN akan memampukan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menaikkan rasio tersebut hingga 40%! Dalam simulasi ini, ada dua hal krusial yang dilakukan. Pertama, menghapus pajakpajak yang “mengganggu” potensi atau basis pajak PPN, yakni: pajak hotel dan restoran dan pajak penerangan jalan2. Kedua, memperkenalkan bagi hasil PPN, dimana bagi hasil diberikan kepada Daerah berdasarkan pada tingkat pendapatan (PDRB) dan jumlah penduduk3. Disini diasumsikan bahwa tidak ada perubahan kelembagaan lainnya selain dua hal yang sudah disebut di atas. Sehingga dalam hal DAU, distribusinya memperhitungkan alokasi minimum (perhitungan lump-sump dan persentase gaji), dan kondisi hold harmless dengan cara yang sama dengan perhitungan DAU tahun 2003, ditambah dana penyeimbang. Besarnya perubahan penerimaan akibat penerapan usulan ini dikaji secara menyeluruh. Akan dilihat perubahan besaran penerimaan Pemerintah Pusat dan Daerah sesudah dilakukan bagi hasil. Penerimaan Pemerintah Pusat yang “baru” 1 Berikut ini adalah dua jenis data yang digunakan dalam studi pada bagian ini. Yakni [Data1] kalkulasi DAU tahun 2002: Keppres tahun 2002 tentang DAU (Kabupaten/Kota) dan Keppres di tingkat Provinsi tahun 2002 tentang DAU, dan [Data-2] data pajak daerah yang lebih rinci: perhitungan APBD 2001 baru (Kabupaten/Kota dan Provinsi). Dengan adanya 46 observasi yang hilang (dari 336) untuk Kabupaten/Kota dan 4 observasi (dari 336) untuk Provinsi si [Data-2], maka lebih diprioritaskan menggunakan [Data-1] dan penggunaan [Data-2] yang lebih terbatas untuk menghitung komposisi penerimaan pajak asli daerah (PPDS) di Tabel 2. Data penerimaan pajak daerah yang lebih terperinci seperti pajak hotel dan restoran, dan pajak penerangan jalan juga dapat diperoleh dari [Data-2]. 2 Dalam simulasi ini penerimaan pajak hotel, pajak restoran, dan pajak penerangan jalan di DKI Jakarta, juga dihapus. 3 Penggunaan data konsumsi lebih diperlukan untuk mengalokasikan dana PPN kepada Pemerintah Daerah. Karena data konsumsi tidak tersedia, digunakan data PDRB dan informasi jumlah penduduk sebagai indeks distribusi untuk setiap Pemerintah Kabupaten/Kota. (1) Besaran PDRB Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap total PDB nasional. (2) Besaran jumlah penduduk Kabupaten/Kota terhadap total penduduk nasional, dan (3) rata-rata dari (1) dan (2). Dengan membedakan ketiga indeks tersebut, digunakan indeks yang ketiga agar lebih mendekatkan pada tingkat konsumsi daerah yang aktual. Dalam pendistribusian bagi hasil PPN, dihitung total penduduk nasional dan PDB dengan menambah Pemerintah Kabupaten/Kota dan DKI (Provinsi). Sehingga, bagi hasil PPN juga diasumsikan dapat didistribusikan kepada DKI dalam rerata tertimbang dari besaran penduduk dan pendapatannya (PDRB) terhadap nasional (hal yang sama juga dilakukan pada Pemerintah Kabupaten/Kota). Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 22
  • 24. terdiri atas: penerimaan dalam negeri netto ditambah kenaikan penerimaan akibat perubahan (yakni penerimaan pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan jalan yang dipungut sebagai PPN), dikurangi bagi hasil PPN yang ditransfer ke Daerah. Sementara penerimaan Daerah yang “baru” terdiri dari: penerimaan pajak daerah yang berasal dari daerah sendiri (PPDS) ditambah dengan bagian Daerah dari bagi hasil PPN, dikurangi dengan penerimaan pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan jalan. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota disatukan menjadi Pemerintah Daerah. Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase penerimaan pajak daerah yang berasal dari daerah sendiri terhadap total penerimaan daerah (PPDS/TREV). Ini dilakukan untuk melihat bagaimana peningkatan kemampuan mobilisasi penerimaan Pemerintah Daerah. Tabel 9 menunjukkan dampak penerapan Bagi Hasil PPN antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam simulasi ini, berbagai alternatif perubahan yang terjadi (z: 0%50%), dimana: z = 0% berarti menghapuskan pajak hotel dan restoran dan pajak penerangan jalan tetapi penerimaan PPN tidak ditransfer kepada Pemerintah Daerah. z = 50% berarti menghapuskan pajak hotel, pajak restoran, dan pajak penerangan jalan, dimana 50% dari penerimaan PPN ditransfer kepada Pemerintah Daerah, dan seterusnya. Tabel 9 tersebut memperlihatkan bahwa: • Semakin tinggi tingkat bagi hasil (z), maka semakin banyak penerimaan yang akan diterima oleh Pemerintah Daerah. Sebaliknya yang terjadi untuk Pemerintah Pusat. • Kenaikan tingkat bagi hasil (z) akan meningkatkan porsi penerimaan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) terhadap keseluruhan penerimaan Negara dari 30,88% menjadi 38.64%. • Persentase penerimaan PPDS terhadap total penerimaan daerah (PPDS/TREV) Pemerintah Daerah adalah awalnya sebesar 22.25%. Kemudian naik menjadi 25.85% pada tingkat bagi hasil 10% (z=0.1), menjadi 35.77% pada tingkat bagi hasil 30% (z=0.3), dan naik lagi menjadi 45.68% pada tingkat bagi hasil 50% (z=0.5). Dalam skema diatas nampaknya Pemerintah Pusat menjadi pihak yang “dirugikan.” Namun, akan ditunjukkan bahwa penerapan bagi hasil PPN dapat menguntungkan baik Pusat maupun Daerah. Ini berlandaskan asumsi bahwa pengelolaan PPN yang Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 23
  • 25. efisien oleh Pusat tanpa distorsi dari pajak-pajak Daerah dan, bahkan, didukung secara antusias oleh Daerah, akan menyebabkan basis PPN tumbuh dengan pesat. Tabel 10 menunjukkan hasil dari dampak makro dengan asumsi terjadinya pertumbuhan penerimaan PPN (tingkat pertumbuhan ditunjukkan dengan alpha (α)). Simulasi disini adalah dengan asumsi tingkat bagi hasil PPN antara Pemerintah Pusat dan Daerah (z) sebesar 0.3 (yakni 30% dari penerimaan PPN ditransfer kepada Daerah). Dalam Tabel 11 ditunjukkan hasil dimana tingkat bagi hasil (z) diasumsikan sebesar 0.5 (yakni 50% dari penerimaan PPN ditransfer untuk Pemerintah Daerah). Jika tingkat bagi hasil z adalah 0.5, maka kenaikan penerimaan Pemerintah Pusat tidak dapat diharapkan hingga alpha mencapai 1. Namun, jika tingkat bagi hasil adalah 0.3, dapat diharapkan adanya kenaikan penerimaan Pemerintah Pusat setelah alpha sama dengan 0.4 (yakni pertumbuhan penerimaan PPN = 40%). Dapat dilihat juga bahwa bagi hasil PPN ini berkontribusi pada perbaikan porsi penerimaan pajak daerah yang berasal dari daerah sendiri terhadap total penerimaan daerah (PPDS/TREV). Jika tingkat bagi hasil PPN (z) sebesar 0.5, maka persentase PPDS/TREV akan meningkat dari 22.25% (awal) menjadi 48,16% (jika tingkat pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 10%), menjadi 53,12% (jika tingkat pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 30%), dan menjadi 58,08% (jika tingkat pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 50%). Dan seterusnya. 5. Kesimpulan Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia (sebagaimana yang berlangsung di banyak negara demokratis) diharapkan dapat menciptakan pengelolaan fiskal yang efektif dan efisien. Namun, harapan tersebut masih jauh dari terlaksana. Pertama, sumber-sumber penerimaan yang stabil belum dipersiapkan untuk Pemerintah Daerah. Data menunjukkan bahwa menyangkut Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam potret keuangan Indonesia, hanya 22,25% dari total penerimaan daerahnya yang diperoleh berasal dari daerahnya sendiri (PPDS). Keinginan daerah untuk meningkatkan penerimaan daerahnya sendiri secara signifikan belum terjamin dengan sumber-sumber penerimaan yang ada. Konsekuensinya, Daerah sangat bergantung pada transfer dari Pemerintah Pusat. Kedua, beberapa pajak daerah memiliki kecenderungan untuk mengikis potensi pajakpajak nasional di Indonesia. Pajak hotel dan restoran dan pajak penerangan jalan saat ini, yang yang berkontribusi sekitar 12% dari total penerimaan pajak daerah sendiri Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 24
  • 26. (PPDS) di Pemerintah Kabupaten/Kota, diberlakukan seperti layaknya PPN. Hal ini tidak hanya menyebabkan hilangnya penerimaan Pemerintah Pusat tetapi juga mengakibatkan inefisiensi pemungutan pajak secara nasional. Tulisan ini mengusulkan reformasi yang bertujuan meningkatkan local taxing power dan efektivitas mobilisasi penerimaan untuk Pemerintah Daerah (dan Pusat). Upaya peningkatan kemampuan keuangan daerah yang bisa berjalan serentak nampaknya adalah (1) pengalihan pajak Pusat tertentu menjadi pajak daerah, (2) pengalihan PNBP tertentu kepada Daerah, (3) penambahan pajak Daerah baru, dan (4) penguatan basis pajak Daerah. Pemikiran yang mungkin saat ini dianggap “radikal” diajukan juga disini, (meski disadari mungkin tidak compatible dengan beberapa usulan di atas) yakni sinkronisasi pajak-pajak daerah dan nasional, lewat (1) penghapusan beberapa pajak daerah (pajak hotel dan restoran dan pajak penerangan jalan) yang terbukti “mengganggu” basis pajak Pusat dan sebagai kompensasinya (2) melakukan bagi hasil PPN antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Simulasi bagi hasil PPN menunjukkan bahwa penggunaan bagi hasil PPN antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan membawa peningkatan penerimaan yang substansial bagi Pemerintah Daerah di Indonesia. Ditunjukkan dalam tulisan ini bahwa penerapan bagi hasil tidak selalu menghasilkan zero-sum game antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pilihan yang tepat atas penerimaan pajak daerah sendiri (PPDS) memungkinkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memperoleh hasil yang positif. Penggunaan bagi hasil PPN diyakini akan meningkatkan komitmen baik Pusat maupun Daerah untuk mendorong laju perekonomiannya, yang akan berakibat pada peningkatan potensi penerimaan keuangan. Semakin berkembangnya penerimaan dari PPN akan menawarkan lebih banyak penerimaan bagi Pemerintah Pusat. Sehingga, komitmen pada pertumbuhan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menimbulkan kesempatan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk bersama-sama mendapat manfaat. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 25
  • 27. Daftar Pustaka Ahmad, E and R Krelove, 2000, Tax Assignments: Options for Indonesia, makalah dipresentasikan dalam “Indonesia: Decentralization Sequencing Agenda”, 2021 Maret 2000, Auditorium Plaza Mandiri, Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta Brodjonegoro, B. dan J. Martinez-Vazquez, 2002, An Analysis of Indonesia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospect, makalah dipresentasikan untuk konferensi “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?” Konferensi disponsori oleh Andrew Young School of Policy Studies, George State University, 1-3 Mei, Evergreen Resort, Stone Mountain Park, Atlanta, Andrew Young School of Policy Studies, George State University Lewis, B.D., 2001, The New Indonesian Equalization Transfer, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 37(3), 325-343 Mahi, R., R. Simanjuntak, K. Muchtar, dan B. Brodjonegoro, 2000, Alternative Local Revenue and Tax Sharing: Some Notes on the Implementation Law No. 25/1999, makalah dipresentasikan dalam “Indonesia: Decentralization Sequencing Agenda”, 20-21 Maret 2000, Auditorium Plaza Mandiri, Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta Sidik, M. dan Kadjatmiko, 2002, Indonesia Fiscal Decentralization: Combining Expenditure Assignment and Revenue Assignment, makalah dipresentasikan untuk konferensi “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?” Konferensi disponsori oleh Andrew Young School of Policy Studies, George State University, 1-3 Mei, Evergreen Resort, Stone Mountain Park, Atlanta, Andrew Young School of Policy Studies, George State University Simanjuntak, R. dan Raksaka Mahi, 2003, Local Tax Revenue Mobilization and Local Borrowing, makalah dipresentasikan dalam International Symposium on Indonesia’s Decentralization Policy: Problems and Policy Directions, 31 Januari – 1 Februari 2003, Hitotsubashi Memorial Hall, Hitotsubashi University, Tokyo, Japan Simanjuntak, Robert, 2006, Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai: Sebuah Alternatif Penguatan Keuangan Daerah di Era Desentralisasi, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (JEPI), Vol. VI No.2, Januari, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi UI. Sirait, Lisbon, 2006, Evaluasi Atas Kelayakan Pengenaan Retribusi Atas Fungsi Pelayanan dan Perizinan yang Diselenggarakan Daerah, Tesis Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik FEUI, Tidak dipublikasikan. Silver, C., Iwan Jaya Azis, dan Schroeder L., 2000, Intergovernmental Transfer and Decentralization in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 37 (3), 345-362. Naskah Akademik untuk Revisi Undang-Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 26
  • 28. Lampiran Tabel 1. Indonesia: Tax Assignment 2004 Type of Tax Base National Tax Oil and Gas Receipts Income Tax – Corporate Value Added Taxes Import Duties Excises Export Tax Tax/Revenue Sharing Income Tax – Personal Land and Building Tax 1) Land and Bulding Transfer Tax 2) Forestry – Royalties 3) Forestry – Licenses 4) Mining – Landrents 5) Mining – Royalties 6) Oil 7) Natural Gas 8) Geothermal 9) Province Tax Vehicle Tax Vehicle Transfer Tax Fuel Tax Exploration Tax of Surface and Underground Water Local Tax Hotels Tax Restaurants Tax Entertainment Tax Advertisement Tax Street Lightening Tax Mine Exploration Tax (type C) Parking Tax Responsibility Rate Admin Disposition Revenues (%) Center Province Local C C C C C C C C C C C C C C C C C C 100 100 100 100 100 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 C C C C C C C C C C C C C C C C C C C C C C, P, L C C C C C C C C 80 10 20 20 20 20 20 84.5 69.5 20 8 see notes “ “ “ “ “ 3 6 16 12 see notes “ “ “ “ “ 12.5 24.5 64 C, P C, P C, P C, P P P P P P P P P 0 0 0 0 30 30 10 100 C, L C, L C, L C, L C, L C, L C, L L L L L L L L L L L L L L L 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 70 70 90 0 100 100 100 100 100 100 100 Sumber: Law 33/2004, Law 25/1999, Law 34/2000, and several government regulations Catatan: 1) from the central share (10%): 6.5% will be distributed evenly to districts/cities and 3.5% is collection incentives; from the region’s share (90%): 16.2% are provinces share, 64.8% local shares, and 9% collection costs. 2) all the central share (20%) will be distributed evenly to districts/cities; and 80% of the regions share: 16% for provinces and 64% for districts/cities. 3) 80% of regional share: 16% province, 32% producing districts/cities, 32% other districts/cities in the province. 4) 80% regional share: 16% province, 64% producing districts/cities. 5) and 6) 80% regional share: 16% province, 32% producing districts/cities, 32% other districts/cities in the province. 7) and 8) the centre portion reduced by 0.5% to add regional portion, and this additional revenues earmark for basic education, 9) introduced in Law 33/2004. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 27
  • 29. Tabel 2. Conceptual Basis of Tax Assignment Type of Tax Customs Determination of Base Rate F F Collection & Administration F Corporate Income F F F Personal Income F F, S, L F F F F S, L S, L S, L S, L S, L S, L F F, S F F, S F, S F, S Resource Taxes - resource rent (profits, income) tax - royalties, fees, charges, severance taxes, production, output, and property taxes - conservation charges Wealth Taxes (taxes on capital, wealth, wealth transfers, inheritances, and bequests) Payroll Value-Added Tax (Multi-stage sales taxes) F F F Single-stage sales taxes (retail, manufacturer, wholesale) - option A S S, L S, L - option B F S F, S F, S F, S - betting, gambling S, L S, L S, L - lotteries S, L S, L S, L S, L S, L Taxation of “Bads” - carbon F F F - BTU taxes F, S, L F, S, L F, S, L - motor fuels F, S, L F, S, L F, S, L F, S, L F, S, L Benefit charge, e.g. social security coverage. Border tax adjustments possible under federal assignment; potential stabilization tool. F, S, L - effluent charges Highly unequally distributed tax bases. Benefit taxes/ charges for state & local services. To preserve local environment. Redistributive S, L - race tracks International trade taxes. Mobile factor, stabilization tool. Redistributive, mobile factor & stabilization tool. F “Sin” Taxes - excise on alcohol & tobacco Comments Higher compliance cost. Harmonized, lower compliance cost. Health care a shared responsibility. State and local responsibility. State and local responsibility. State and local responsibility. To combat global/ national pollution. Pollution impact Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 28
  • 30. - congestion tolls F, S, L F, S, L F, S, L - parking fees L L L S S S S S S Business Taxes S S S Excises S, L S, L S, L Property S L L Land S L L Frontage, betterment S, L L L Poll F, S, L F, S, L F, S, L may be national, regional or local. Tolls on federal/ provincial/local road. To deal with interstate, intermunicipal or local pollution issues. Tolls on federal/ provincial/local road. To control local congestion. Motor Vehicles - registration, transfer taxes & annual fees - driver’s licenses and fees State responsibility. State responsibility. Benefit taxes Residence-based taxes. Completely immobile factor, benefit tax. Completely immobile factor, benefit tax. Cost recovery. Payment for services. User Charges F, S, L F, S, L F, S, L Payment for services received. Sumber: World Bank and IMF, various policy studies. Catatan: F is federal or central; S is state or province, L is local or municipal Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 29
  • 31. Tabel 3. A Summary View of Subnational Tax Assignment in 15 Developing Countries Type of Tax - Customs - Income - Estates - Corporate - Resource - Sales - Value Added Taxes - Excises - Property - Fees - Residual Powers Base 1 1 4 1 3 4 1 8 11 10 2 Number of countries with subnational determination of Rate Collection & Admin 1 2 1 6 4 4 1 4 3 6 5 7 1 4 8 12 12 14 10 12 2 2 Data include Argentina, Bangladesh, Brazil, China, Colombia, India, Indonesia, Malaysia, Mexico, Nigeria, Pakistan, Papua New Guinea, Philippines, Russia, Thailand. Sumber: World Bank, berbagai penerbitan. Tabel 4. Disparitas Penerimaan Pajak Daerah dan PNBP SDA Kehutanan dan Pertambangan Tahun 2004 (dalam miliar Rp) Variabel Tertinggi Terendah Rata-rata Standar Deviasi Koefisien variasi Jumlah daerah PAD Provinsi 1 6.430,33 0,19 708,03 1.268,12 1,79 30 IHPH PSDH 2 18,33 0,08 3,13 5,13 1,64 11 3 1894,97 0.07 20,48 39,66 1,94 27 Land rent 4 10,10 0,01 1,17 2,01 1.71 28 Royalti 5 464,62 0,0009 46,54 102,76 2,21 22 Sumber: diolah oleh penulis. Tabel 5. Dampak Penyerahan Kewenangan Pemungutan Retribusi terhadap Disparitas Penerimaan Daerah Variabel Tertinggi Terendah Rata-rata Standar Deviasi Koefisien variasi Alternatif I 1+2+3+4+5 6.430,33 20,88 762,32 1.263,70 1,66 Alternatif II 1+2+4 6.430,33 19,30 760,04 1.263,93 1,66 Alternatif III 1+3+5 6.430,33 1,77 710,31 1.267,53 1,78 Catatan: Alternatif I sd III berdasarkan tabel 4 Sumber: diolah oleh penulis. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 30
  • 32. Tabel 6. Kelayakan PNBP dari Pertambangan Umum dan Kehutanan sebagai Pungutan Retribusi Daerah No. 1 Fungsi Pemerintahan Pemberian Izin Usaha Pertambangan 2 3 Jenis PNBP Kategori Pungutan Landrent Retribusi Perizinan Layak Tertentu Landrent layak sebagai pungutan daerah karena pungutan tersebut sangat terkait dengan pemberian izin yang telah menjadi kewenangan daerah, namun memerlukan perubahan UU 33/2004 Pajak Tidak layak Royalti Pemberian Izin/Hak Pengusahaan Hutan 4 5 Iuran Hak Pengusahaan Hutan Iuran Hasil Hutan (PSDH) Dana Reboisasi Kelayakan Royalti tidak layak menjadi pungutan daerah karena hasil penerimaan timpang antar daerah, bersifat fluktuatif, dan dampak negatif dari aktivitas pertambangan tidak hanya ditanggung oleh daerah setempat Retribusi Perizinan Layak Tertentu IHPH layak menjadi pungutan daerah karena terkait dengan pemberian izin yang telah menjadi kewenangan daerah, namun memerlukan perubahan UU 33/2004 Pajak Tidak layak PSDH tidak layak sebagai pungutan daerah karena hasil yang timpang antar daerah, bersifat fluktuatif, dan dampak negatif dari aktivitas pertambangan tidak hanya ditanggung oleh daerah setempat Dana Jaminan Layak Dana reboisasi layak sebagai pungutan daerah karena sebagian tanggung jawab pelestarian hutan telah menjadi kewenangan daerah, namun memerlukan perubahan UU 33/2004. Sumber: diolah oleh penulis. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 31
  • 33. Tabel 7. Jenis PNBP yang layak ditetapkan sebagai pungutan Daerah No. 2 Kewenangan di Bidang Perindustrian dan Perdagangan Perhubungan 3 Ketenagakerjaan Jasa Kepelabuhanan DPKK 4 Perindustrian dan Perdagangan Pungutan atas Izin Peredaran Minuman Beralkohol 5 Kesehatan Pungutan atas Izin Usaha Penyelenggaraan Pelayanan & Sarana di bidang Kesehatan 1 Jenis PNBP Layak Jasa Usaha Jasa Tera/tera ulang Golongan Retribusi Jasa Umum Layak Perizinan Tertentu Perizinan Tertentu Layak Jasa Umum Keterangan Tidak layak, karena lebih efektif dilakukan di tingkat pusat (bukan kewenangan daerah) Layak, namun hanya bersifat administratif, karena aktivitas tersebut telah dikenakan izin HO Sumber: diolah oleh penulis. Tabel 8. Perluasan Basis beberapa Pajak Daerah No. 1. Jenis Pajak Daerah PKB Perluasan Basis Pajak Termasuk kendaraan pemerintah 2. BBN-KB Termasuk pemerintah 3. 4. Pajak Restoran Pajak Hiburan Jasa boga Bowling, Golf kendaraan Alasan Keadilan dalam perpajakan dan efisiensi penggunaan anggaran Keadilan dalam perpajakan dan efisiensi penggunaan anggaran Lebih bersifat lokal Lebih bersifat lokal Sumber: diolah oleh penulis Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 32
  • 34. Tabel 9. Dampak Makro dari Penerapan Bagi Hasil PPN z (Tingkat Bagi Hasil Dana PPN (%)) Penerimaan Sebelum Bagi Hasil PPN (Rp. Triliun) 0 10 20 30 40 50 Tingkat Perubahan Penerimaan Total (%) Proporsi Penerimaan Pemerintah Pusat dan Daerah (%) Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah 343.20 0.62 -1.64 -3.90 -6.16 -8.42 -10.68 153.35 -1.36 3.60 8.55 13.51 18.47 23.43 69.12 67.57 66.02 64.47 62.92 61.36 Proporsi PPDS terhadap Penerimaan Total (%) Sekarang: Sesudah Sebelum Bagi Bagi Hasil Hasil PPN PPN 30.88 32.43 33.98 35.53 37.08 38.64 22.25 22.25 22.25 22.25 22.25 22.25 20.89 25.85 30.81 35.77 40.72 45.68 Catatan: Tingkat pertumbuhan PPN (alpha)=0 Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004. Tabel 10 Peningkatan Penerimaan PPN (dengan Peningkatan Efisiensi) & Dampak Makronya Tingkat Pertumbuhan PPN (dPPN/PPN) (alpha) 0 10 20 30 40 50 Tingkat Perubahan Penerimaan Total (%) Proporsi Penerimaan Pemerintah Pusat dan Daerah (%) Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah -5.54 -3.96 -2.37 -0.79 0.79 2.37 13.51 15.00 16.49 17.98 19.46 20.95 64.62 64.70 64.78 64.86 64.93 64.62 35.38 35.30 35.22 35.14 35.07 35.38 Proporsi PPDS terhadap Penerimaan Total (%) Sekarang: Sesudah Sebelum Bagi Hasil Bagi Hasil PPN PPN 22.25 35.77 22.25 37.25 22.25 38.74 22.25 40.23 22.25 41.72 22.25 43.20 Catatan: Asumsi z = 0,3 Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004 Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 33
  • 35. Tabel 11 Peningkatan Penerimaan PPN (dengan Peningkatan Efisiensi) & Dampak Makronya Tingkat Pertumbuhan PPN (dPPN/PPN) (alpha) Tingkat Perubahan Penerimaan Total (%) Proporsi Penerimaan Pemerintah Pusat dan Daerah (%) Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pusat Daerah Pusat Daerah 0 -10.05 10 -8.93 20 -7.80 30 -6.67 40 -5.54 50 -4.41 Catatan: Asumsi z = 0,5 23.43 25.91 28.39 30.87 33.35 35.82 61.53 61.35 61.18 61.02 60.86 61.53 38.47 38.65 38.82 38.98 39.14 38.47 Proporsi PPDS terhadap Penerimaan Total (%) Sekarang: Sesudah Sebelum Bagi Bagi Hasil Hasil PPN PPN 22.25 45.68 22.25 48.16 22.25 50.64 22.25 53.12 22.25 55.60 22.25 58.08 Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004 Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 34