Presentasi Kista Odontogenik dan Tumor Odontogenik - Willi Fragcana PutraWilli Fragcana Putra
Kista Odontogenik: Kista yang dinding epitelnya berasaldari sisa-sisa organ pembentukan gigi(odontogenik) yang mampu berproliferasi dan potensial menjadi tumor.
Tumor Odontogenik adalah tumor yang terbentuk dari jaringan gigi.
Secara klinis, tumor odontogenik umumnya asimptomatik, adanya pembesaran pada rahang, pergerakan gigi, resorbsi akar dan resorbsi tulang.
labioskiziz, labiospatokiziz dan atresia esopagussri wahyuni
Defenisi
Labioskizis adalah kelainan congenital sumbing yang terjadi akibat kegagalan fusi atau penyatuan prominen maksilaris dengan prominen nasalis medial yang dilikuti disrupsi kedua bibir, rahang dan palatum anterior.
Palatoskizis adalah kelainan congenital sumbing akibat kegagalan fusi palatum pada garis tengah dan kegagalan fusi dengan septum nasi.
Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau muara (buntu), pada esofagus (+).
PENYEBAB
LABIOSKIZIZ DAN LABIOPATOKIZIZ
Faktor Genetik atau keturunan
Kurang Nutrisi
Radiasi
Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.
Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi
Pengaruh obat teratogenik,
Multifaktoral dan mutasi genetic.
Diplasia ektodermal
Syndrome atau malformasi yang disertai adanya sumbing bibir
sumbing yang terjadi pada kelainan kromosom
ATRESIA ESOPAGUS
Faktor obat
Faktor radiasi
Faktor gizi
Deferensasi usus depan yang tidak sempurna dan memisahkan dari masing –masing menjadi esopagus dan trachea
Perkembangan sel endoteal yang lengkap
Tumor esophagus.
Kehamilan dengan hidramnion
Bayi lahir prematur,
PENANGANAN
LABIOSKIZIZ DAN LABIOPATOKIZIZ
Tahap sebelum operasi
Tahap sewaktu operasi
Tahap setelah operasi
ATRESIA ESOPAGUS
Pasang sonde lambung no. 6 – 8 F yang cukup halus. Dan radioopak sampai di esophagus yang buntu. Lalu isap air liur secara teratur setiap 10 – 15 menit.
Pada Gross type II, tidur terlentang kepala lebih tinggi. Pada Gross type I, tidur terlentang kepala lebih rendah. Bayi dipuasakan dan diinfus. Kemudian segera siapkan operasi.(FKUI.1982).
Presentasi Kista Odontogenik dan Tumor Odontogenik - Willi Fragcana PutraWilli Fragcana Putra
Kista Odontogenik: Kista yang dinding epitelnya berasaldari sisa-sisa organ pembentukan gigi(odontogenik) yang mampu berproliferasi dan potensial menjadi tumor.
Tumor Odontogenik adalah tumor yang terbentuk dari jaringan gigi.
Secara klinis, tumor odontogenik umumnya asimptomatik, adanya pembesaran pada rahang, pergerakan gigi, resorbsi akar dan resorbsi tulang.
labioskiziz, labiospatokiziz dan atresia esopagussri wahyuni
Defenisi
Labioskizis adalah kelainan congenital sumbing yang terjadi akibat kegagalan fusi atau penyatuan prominen maksilaris dengan prominen nasalis medial yang dilikuti disrupsi kedua bibir, rahang dan palatum anterior.
Palatoskizis adalah kelainan congenital sumbing akibat kegagalan fusi palatum pada garis tengah dan kegagalan fusi dengan septum nasi.
Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau muara (buntu), pada esofagus (+).
PENYEBAB
LABIOSKIZIZ DAN LABIOPATOKIZIZ
Faktor Genetik atau keturunan
Kurang Nutrisi
Radiasi
Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.
Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi
Pengaruh obat teratogenik,
Multifaktoral dan mutasi genetic.
Diplasia ektodermal
Syndrome atau malformasi yang disertai adanya sumbing bibir
sumbing yang terjadi pada kelainan kromosom
ATRESIA ESOPAGUS
Faktor obat
Faktor radiasi
Faktor gizi
Deferensasi usus depan yang tidak sempurna dan memisahkan dari masing –masing menjadi esopagus dan trachea
Perkembangan sel endoteal yang lengkap
Tumor esophagus.
Kehamilan dengan hidramnion
Bayi lahir prematur,
PENANGANAN
LABIOSKIZIZ DAN LABIOPATOKIZIZ
Tahap sebelum operasi
Tahap sewaktu operasi
Tahap setelah operasi
ATRESIA ESOPAGUS
Pasang sonde lambung no. 6 – 8 F yang cukup halus. Dan radioopak sampai di esophagus yang buntu. Lalu isap air liur secara teratur setiap 10 – 15 menit.
Pada Gross type II, tidur terlentang kepala lebih tinggi. Pada Gross type I, tidur terlentang kepala lebih rendah. Bayi dipuasakan dan diinfus. Kemudian segera siapkan operasi.(FKUI.1982).
Penyakit jaringan keras gigi adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada jaringan keras gigi (lubang pada gigi) seperti enamel, dentin, sementum dan menimbulkan rasa sakit sebagai respon dari meluasnya kerusakan tersebut. Karies gigi adalah salah satu gangguan kesehatan gigi. Karies gigi terbentuk karena ada sisa makanan yang menempel pada gigi, yang pada akhirnya menyebabkan pengapuran gigi. Dampaknya, gigi menjadi keropos, berlubang, bahkan patah. Karies gigi menyebabkan kehilangan daya kunyah dan terganggunya pencernaan. (Widayanti, 2014)
Penyakit jaringan keras gigi adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada jaringan keras gigi (lubang pada gigi) seperti enamel, dentin, sementum dan menimbulkan rasa sakit sebagai respon dari meluasnya kerusakan tersebut. Karies gigi adalah salah satu gangguan kesehatan gigi. Karies gigi terbentuk karena ada sisa makanan yang menempel pada gigi, yang pada akhirnya menyebabkan pengapuran gigi. Dampaknya, gigi menjadi keropos, berlubang, bahkan patah. Karies gigi menyebabkan kehilangan daya kunyah dan terganggunya pencernaan. (Widayanti, 2014)
Bibir Sumbing dan Langit-Langit Sumbing, mulai dari pengertian, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, dan terapi. Bibir sumbing adalah pemisahan dua sisi bibir atas yang muncul sebagai pembukaan sempit atau celah di kulit bibir atas. Pemisahan ini sering melampaui pangkal hidung dan termasuk tulang-tulang rahang atas dan/atau atas gusi. Pada bibir disebut dengan istilah Labioschizis, sedangkan pada langit-langit (palatum) disebut dengan istilah Palatoschizis
labioskizis yaitu suatu fisura atau lubang yang dapat terjadi secara tunggal atau secara kombinasi, disebabkan oleh kegagalan jaringan lunak atau jaringan tulang palatum dan rahang atas menyatu selama minggu kelima sampai minggu ke-12 gestasi.
1. JOURNAL READING
KISTA LATERAL PERIODONTAL
Sebuah Laporan Kasus
RADIOLOGI KEDOKTERAN GIGI
Diterjemahkan Oleh :
Mariatun Zahro Nasution, S.KG
04074881820027
Dosen Pembimbing :
drg. Shanty Chairani, M.Si
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
2. Tinjauan Pustaka
1. Definisi1
Cleft lip dan palate merupakan suatu kelainan dari lahir berupa celah pada
bibir dan atau palatum rongga mulut akibat kegagalan fusi pada masa tumbuh
kembang oromaksilofasial selama awal kehamilan. Bibir dan palatum berkembang
secara terpisah sehingga memungkinkan terjadinya celah yang melibatkan bibir saja
membentuk celah bibir (cleft lip), atau melibatkan palatum durum, palatum mole,
uvula saja (cleft palate), ataupun meluas melibatkan keseluruhan palatum hingga
foramen insisivum membentuk kombinasi menjadi celah bibir dan palatum (cleft lip
and palate).
Celah bibir (cleft lip) memiliki sinonim cheiloschisis atau labioschisis. Celah
palatum dikenal juga dengan palatoschisis, sedangkan celah bibir dan palatum
memiliki nama lain labio palato schisis.
2. Epidemiologi2
Insidensi dan distribusi terjadinya celah bibir dan palatum di dunia bervariasi
berkenaan dengan kondisi demografis, latar belakang etnis, dan status sosial-ekonomi.
Berdasarkan Kelompok Kerja IPDTOC (2011), insidensi terjadinya celah bibir dan
palatum pada populasi Asia relatif tinggi yaitu sekitar 0,82-4,04 dalam 1000 angka
kelahiran hidup. Insidensi pada populasi Kaukasia relatif sedang dengan angka sekitar
0,9-2,69 dari 1000 angka kelahiran hidup, sedangkan pada populasi Afrika bernilai
relatif rendah dengan angka 0,18-1,67 dalam 1000 angka kelahiran hidup.
Predileksi celah palatum lebih sering terjadi pada bayi perempuan dengan
rasio kejadian pada perempuan berbanding laki-laki adalah 2:1.
3. Etiopatogenesis
Celah bibir dan palatum dapat terjadi akibat adanya pengaruh dari beberapa
faktor termasuk genetik dan lingkungan. Namun penyebab pasti sebagian besar
kejadian celah bibir dan palatum masih belum diketahui hingga saat ini.
Faktor genetik atau keturunan merupakan faktor penting yang menyebabkan
terjadinya celah bibir dan celah palatum atau keduanya. Penurunan sifat secara
genetik ini mendapat pengaruh dari pewarisan sifat baik poligenik maupun
monogenik. Pewarisan poligenik ialah pewarisan akibat adanya kolaborasi beberapa
3. gen berbeda. Sedangkan monogenik adalah pewarisan sifat dari satu gen tunggal yang
biasanya berhubungan dengan sindroma lain.
Beberapa faktor lingkungan yang mungkin berpengaruh diantaranya adalah
adanya trauma, stress, konsumsi alkohol dan steroid dosis tinggi selama kehamilan.
Dalam beberapa penelitian ditemukan adanya peningkatan resiko terjadinya celah
bibir dan palatum pada ibu hamil berkaitan dengan agen penekan stress dan
penggunaan kortison.
Etiopatogenesis celah berasal dari obliterasi dan maturasi embrio yang tidak
lengkap. Cleft atau celah merupakan hasil dari kerusakan epitelial pada minggu ke
delapan pada saat perkembangan embrio, dengan kegagalan pertumbuhan jaringan
mesodermal. Celah palatum terjadi karena kegagalan fusi pada minggu ke-8 hingga
minggu ke-12 masa kehamilan, baik sebagian (antara palatal shelve kanan dan kiri)
maupun total (antara palatum shelves kanan dan kiri dengan palatum primer). Oleh
karena itu celah palatum dapat bervariasi dari bifid uvula hingga foramen insisivum
(celah complete).
4. Gambaran Klinis
Celah palatum sering kali ditemukan dengan adanya keluhan pasien berupa
kesulitan menelan, dan bicara. Adanya celah menyebabkan pasien sering tersedak saat
makan atau minum karena makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan.
Selain itu, ditemukan pula kesulitan pelafalan beberapa huruf konsonan seperti S, Z,
D, Ch, P dan B.
Celah palatum (tanpa melibatkan celah bibir) tidak dapat terlihat dari
pemeriksaan ektraoral. Namun pada pasien celah palatum, sering ditemukan
hipoplasia maksila dengan mandibula yang protrusif akibat gangguan perkembangan
midfasial dan bekas luka pasca palatoplasti.
Secara intraoral, celah palatum terlihat seperti garis pada bagian midline
palatum dengan nasal cavity yang terbuka. Pada kasus tertentu, keseluruhan bagian
tulang premaksila dapat hilang dan pada kasus tersebut cleft tampak sebagai
kerusakan pada midline palatum secara keseluruhan. Akibatnya crossbite dapat terjadi
pada area premaksila tersebut. Oleh sebab itu, perlu dilakukan palpasi untuk
mengetahui batas serta keterlibatan palatum. Celah palatum dapat mengenai palatum
lunak saja, atau juga melibatkan palatum keras. Secara umum celah pada palatum
4. dibedakan menjadi complete atau incomplete. Celah incomplete melibatkan palatum
mole dan sebagian palatum durum, tidak meluas ke foramen insisivum, sedangkan
celah palatum complete melibatkan palatum durum dan mole serta meluas ke foramen
insisivum. Celah palatum juga dibedakan kembali menjadi unilateral dan bilateral.
Cleft unilateral yaitu celah yang mengenai prosesus alveolar pada salah satu sisi,
sedangkan cleft bilateral mengenai prosesus alveolar pada kedua sisi premaksila.
Selain itu, secara umum celah atau cleft yang luas juga dapat menyebabkan gangguan
pada gigi di sekitar, berupa kelainan jumlah yaitu hipodonsia lebih sering terjadi pada
insisivus lateral dan supernumerary teeth (mesiodens), kelainan bentuk seperti peg-
shaped, fusi gigi dan hypoplasia enamel, kelainan ukuran seperti mikrodonsia dan
makrodonsia, kelainan erupsi seperti delayed erupted serta terdapat displacement dan
impaksi gigi. Anomali dapat berdampak pada gigi desidui dan gigi permanen.
(A)
Gambar 1. (A) Foto klinis cleft palate. (B) Ilustrasi cleft palate: (I) cleft incomplete (pada
palatum lunak), (II) cleft incomplete (melibatkan palatum keras dan lunak), (III) cleft
complete unilateral, (IV) cleft complete bilateral.
(B)
5. 5. Gambaran Radiografis
Lokasi: Pada gambaran radiografis, epicenter celah palatum terdapat pada midline
maksila dekat area gigi insisivus maksila dengan perluasan hingga ke dasar
rongga nasal, lesi terlokalisir dan dapat berupa celah unilateral maupun
bilateral, berjumlah satu atau dua, dengan ukuran bervariasi. Celah palatum
juga dibedakan menjadi complete dan incomplete, celah complete melibatkan
palatum durum, mole hingga prosesus alveolaris di area gigi insisivus,
sedangkan celah palatum incompelete melibatkan palatum mole, palatum
durum hingga foramen insisivum tanpa mengenai prosesus alveolaris.
Bentuk dan batas tepi : tampak berbentuk ireguler atau vertikal berbatas jelas.
Struktur internal: merupakan lesi radiolusen
Efek pada jaringan sekitar: dalam gambaran radiografis, celah bibir dan palatum
dapat menyebabkan anomali pada gigi, meliputi kelainan erupsi gigi seperti
impaksi dan delayed erupsi gigi-gigi yang terlibat. Dapat pula berefek pada
kelainan jumlah gigi seperti hipodonsia dan gigi supernumerari, kelainan
ukuran seperti mikrodonsia dan makrodonsia, dan kelainan bentuk gigi
seperti pegshape, fusi gigi, serta enamel hipoplasia.
6. Diagnosis banding
a. Fraktur Palatal
Adapun persamaan antara keduanya, yaitu:
1. Lesi radiolusen berbentuk vertikal pada maksila
2. Dapat terjadi antero-posterior pada midline palatum, yaitu pada fraktur palatal
sagital dan fraktur parasagital.
6. 3. Dapat menyebabkan hilangnya gigi pada area yang terlibat.
Sedangkan perbedaan pada keduanya, diantaranya:
1. Fraktur palatal tidak menyebabkan kelainan gigi seperti kelainan bentuk
(pegshape, gigi fusi, hypoplasia enamel) dan kelainan erupsi (delayed eruption
dan impaksi gigi) yang sering ditemukan pada cleft palate.
b. Nasopalatine duct cyst
Adapun persamaan antara nasopalatine duct cyst dengan celah bibir dan
palatum secara radiografis adalah sebagai berikut.
1. Lesi radiolusen di midline anterior maksila dan dapat meluas ke palatum
keras dan nasal, atau meluas secara lateral ke area insisivus lateral.
2. Dapat menyebabkan malposisi gigi anterior maksila.
Sedangkan perbedaan keduanya, diantaranya
1. Kista duktus nasopalatinus berbatas jelas terkortikasi berbentuk
lingkaran/oval atau heart shape, sedangkan celah palatum hanya berbatas
jelas berbentuk vertical.
2. Kista duktus nasopalatinus dapat menyebabkan anomali berupa resobsi akar
gigi, sedangkan cleft palate tidak menyebabkan resobsi akar gigi.
7. c. Residual Cyst
Adapun persamaan antara residual cyst dengan celah bibir dan palatum
secara radiografis adalah sebagai berikut.
1. Merupakan lesi radiolusen pada maksila, di area edentulous. Salah satu efek
celah palatum yaitu menyebabkan kehilangan gigi dan residual cyst terjadi
akibat gigi yang telah dicabut sehingga regio tersebut menjadi edentulous.
2. Dapat mengakibatkan malposisi gigi.
Sedangkan perbedaanya keduanya meliputi:
1. Residual cyst berbatas jelas terkortikasi, sedangkan cleft palate berbatas jelas.
2. Residual cyst memiliki riwayat pencabutan, namun cleft palate tidak.
3. Residual cyst berbentuk bulat atau oval, sedangkan cleft palate berbentuk
vertikal.
7. Manajemen/ perawatan
Perawatan terhadap celah palatum dapat dilakukan dengan melibatkan multi
disiplin ilmu. Diantaranya meliputi kolaborasi kerja antara ahli seperti dokter bedah
plastik, bedah mulut, ortodontis, dokter gigi, terapis bicara, ahli gizi, dan psikolog.
Adapun penatalaksaan celah palatum adalah sebagai berikut.
Obturator berfungsi untuk menyediakan pembatas antara rongga oral dan nasal
pada kasus cleft palate. Pada usia 3-9 bulan, obturator digunakan agar pasien tidak
tersedak saat makan. Selain itu obturator juga digunakan untuk mempertahankan
lengkung serta mencegah lengkung rahang yang collapse.
Perawatan terhadap cleft palate biasa dilakukan antara usia 9 sampai 18 bulan,
dan sering kali dilakukan pada usia 1 tahun. Saat pasien berusia lebih dari 10 minggu,
prosedur bedah telah dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip “rule of 10s” yaitu
saat usia lebih dari 10 minggu, berat badan lebih dari 10 pounds dan level hemoglobin
lebih dari 10 g/dL. Palatoplasty merupakan jenis pembedahan yang dapat dilakukan,
8. bertujuan untuk menutup celah palatum pada usia 9-12 bulan. Palatoplasty yang
dilakukan pada usia tersebut akan mengikuti perkembangan bicara sehingga
menghasilkan fungsi bicara yang optimal. Namun apabila dilakukan sebelum usia
tersebut palatoplasty dapat menghambat perkembangan maksila secara signifikan
sehingga akan menampilkan tampilan maloklusi skeletal klas III.
Bone Graft merupakan salah satu prosedur pembedahan yang dilakukan untuk
membentuk kontinuitas tulang pada lengkung maksila dengan cleft, menyediakan
ruang untuk erupsi gigi, dan membantu stabilisasi lengkung rahang untuk kepentingan
perawatan orthodontik. Perawatan dengan bone graft dapat dilakukan dalam beberapa
tahapan waktu, bergantung kondisi klinis pasien sehingga dapat dilakukan baik
sebelum ataupun sesudah perawatan orthodontik. Bagian tulang yang sering
digunakan pada bone graft adalah iliac crest karena mudah untuk diakses.
Pada kasus cleft palate, gigi yang mengalami supernumerary dan impaksi
dapat dirawat dengan prosedur pencabutan atau pembedahan. Prosedur ini dilakukan
sesuai dengan kondisi klinis pasien, kemudian dilanjutkan dengan prosedur
orthodontik selama periode gigi bercampur hingga dewasa muda (11-18 tahun) yang
bertujuan mengoreksi maloklusi gigi serta mengekspansi maksila, ataupun prosedur
prostodontik yang dilakukan untuk menggantikan gigi yang hilang. Hipoplasia enamel
dapat dirawat dengan prosedur restorsi pada periode akhir perawatan atau pada sekitar
usia >18 tahun.
9. Pasien Dewasa dengan Celah Bibir dan Palatum Bilateral yang Dirawat
Menggunakan Bone Graft dan Distraksi Lateral : Sebuah Laporan Kasus
Abstrak
Merupakan sebuah laporan kasus komprehensif yang memaparkan perawatan
terhadap pasien dewasa dengan celah bibir dan palatum yang menunjukkan defisiensi
maksilla yang parah disebabkan oleh celah alveolar bilateral. Karena celah alveolar
residualnya cukup luas, pertama kami mengaplikasikan bone graft pada celah alveolar
kemudian mengekspansikan maksila yang sempit dengan osteogenesis distraksi transvers
asimetri, yang mana insisi untuk osteotomi dibuat pada jembatan tulang yang telah tereparasi.
Perawatan mencapai rekonstruksi yang baik untuk oklusi dan lengkung gigi. Peningkatan
estetik ditemukan, dengan tanpa adanya relapse oklusi pasca perawatan setelah 2 tahun masa
retensi.
Pendahuluan
Pasien dengan celah bibir dan palatum memerlukankombinasi beberapa prosedur
pembedahan, dimulai dengan penutupan bibir dan palatum, yang bertujuan untuk mencapai
fungsi oral normal. Pada pasien dengan celah bibir dan palatum komplit yang disertai dengan
kerusakan tulang alveolar, celah residual dirawat dengan bone graft sekunder pada usia muda
untuk mendapatkan kontiniuitas antara tulang alveolar maksila yang terpisah. Selain itu,
kasus defisiensi dengan atau tanpa perubahan lengkung gigi asimetri merupakan masalah
utama pada pasien celah bibir dan palatum, dan ekspansi lateral orthopedik terkadang
dilakukan sebelum bone graft sekunder. Apabila defisiensi skeletal tetap ditemukan setelah
terhentinya pertumbuhan wajah, masalah ini dapat diperbaiki dengan ekspansi bedah pada
rahang. Pada beberapa tahun belakangan, Osteogenesis Distraksi Transvers (TDO) telah
menjadi pilihan perawatan untuk keberhasilan ekspansi maksila pada pasien dewasa.
Beberapa pasien celah bibir dan palatum tidak menerima intervensi perawatan ortopedik dan
bedah untuk berbagai alasan. Namun, jika celah alveolar tidak dirawat dan kontinuitas tulang
hilang, lengkung dental menjadi sempit dan collapse. Lebih rinci, bagian anterior maksila
menunjukkan konstriksi yang parah. Pada kasus demikian, pada pasein dewasa perlu
dilakukan bone graft dan bedah ekspansi untuk lengkung gigi. Namun, pada pasien dengan
celah alveolar yang lebar/luas antar segmen, ekspansi lateral segmen palatal dapat
10. mengakibatkan celah alveolar yang lebih luas, yang mana dapat memengaruhi hasil bone
graft tulang alveolar.
Gambar 1. Gambar scan CT-computed tomografi (A) tampilan frontal dan horizontal pre-treatmen;
(B) post-retention; (C) tumpang tindih model 3-dimensi dalam tampilan depan pre-treatmen (warna
11. biru) dan post-retention( warna pink). (Untuk interpretasi referensiwarna pada gambar awal, pembaca
disarankan untuk melihat versi web dari artikel ini).
12. Dalam laporan ini, kami melaporkan kasus celah bibir dan palatum bilateral (BCLP) pada
pasein dewasa dengan konstriksi dan deformitas lengkung maksila yang parah disertai
kerusakan tulang yang besar. Jika pasien tidak menunjukkan insufesiensi velofaringeal,
osteotomi segmental Le Fort I dengan memposisian segmen pesterior ke arah anterior dengan
bone graf merupakan pilihan bedah. Namun, pasien pada kasus ini memiliki hipernasality dan
tidak ingin dilakukan bedah faringeal apabila bedah Le Fort I Osteotomi dapat memperparah
caranya bicara. Untuk itu, kami melakukan bone graft dengan tujuan untuk membentuk
jembatan tulang pada sisi celah terlebih dahulu, kemudian segmen palatal di perluas dan di
reposisi dengan distraksi osteogenesis, yang mana insisi untuk osteotomi akan dibuat pada
jembatan tulang yang tereparasi. Hasilnya, TDO pada jembatan tersebut akan menciptakan
ekspansi lateral asimetri palatum untuk memperoleh lengkung dental yang sesuai tanpa
memperparah masalah velofaringeal. Selain itu, Tomografi Komputerasi (CT) menunjukkan
bahwa jembatan tulang mengalami perbesaran/penebalan akibat osteogenesis. Oklusi dan
tampilan wajah pasien meningkat, dengan tanpa adanya relapse setelah retensi selama dua
tahun.
Riwayat
Seorang laki-laki Jepang (berusia 19 tahun 1 bulan) dengan kasusn bilateral cleft lip
and palate (BCLP) menunjukkan adanya kesulitan saat mengunyah. Pasien pernah melakukan
bedah bibir cheiloplasti dan palatoplasti pada usia 6 bulan dan 18 bulan. Setelah palatoplasti,
pasien tidak pernah melakukan perawatan orthodontik maupun bedah sampai ia berusia 19
tahun. Celah alveolar yang luas tetap bilateral (Gambar 1A), dan ditemukan juga bahwa
pasien mengalami insufesiensi velofaringeal (VPI).
Pasien menunjukkan defisiensi pada wajah tengah dengan mandibula yang retrusif
(Gambar 2A). Secara intra oral, lengkung maksila tampak collapse parah. Premaksila protusi
dan dapat bergerak, sedangkan bagian posteriornya mengalami kontraksi. Terdapat crossbite
diantara gigi insisivus, kaninus kiri, dan premolar pada kedua sisi.
Oral hygene pasien buruk, dan karies yang meluas ditemukan pada kedua lengkung
gigi. Mahkota gigi molar pertama maksila mengalami karies yang parah. Gigi insisivus lateral
dan gigi supernumerari, yang merupakan mikrodonsia, mengalami karies servikal. Pasien
menunjukkan relasi molar Angle Klas II dengan nilai overjet -1,0mm dan overbite 0,0mm
pada regio insisivus. Gigi insisivus sentral kanan tidak erupsi (kongenital), dan gigi insisivus
lateral serta gigi premolar rahang atas terletak lebih ke palatal.
14. Hasil CT dan radiografi panoramik menunjukkan celah tulang komplit yang melewati
prosessus alveolaris dan palatum sekunder pada maksila (Gambar 1A dan 4A). Sebelah kanan
celah lebih besar dari sisi sebelah kirinya. Penyimpangan maksila, yang berada pada posisi
rotasi berlawanan jarum jam terhadap sumbu vertikal, telah terlihat.
Analisis sefalometri lateral (Gambar 5A dan Tabel 1) menyatakan maloklusi skeletal
klas I dengan retrusi maksila dan mandibula. Bidang oklusal mandibula tampak berlereng
curam. Gigi insisivus maksila kiri berinklinasi ke arah lingual dan gigi insisivus mandibula
berinklinasi labial.
Rencana Perawatan dan Progresnnya
Kami merencanakan untuk melakukan perawatan dengan bone graft alveolar bilateral
dari tulang iliac autogenus pada ruang celah dan mengekspansi maksila yang asimetri dan
sempit dengan TDO asimetri. Bagian palatal akan diperluas dan direposisi dengan
osteogenesis distraksi, dengan insisi osteotomi yang dibuat pada jembatan tulang yang telah
direparasi pada sebelah kiri maksila (Gambar 6A dan B). Osteotomi Le Fort I horizontal
dilakukan pada sisi kiri karena kami berencana untuk mengekspansi bagian sisi kiri palatum
dengan tujuan mngoreksi crossbite posterior pada sisi kiri dan lengkung dental yang asimetri
(Gambar 6C). Untuk bagian anterior lengkung gigi pasien yang mengalami kontraksi parah,
digunakan expander tipe Hyrax.
Perawatan awal, meliputi perawatan terhadap karies pasien dan ekstraksi gigi molar
pertama maksila dan gigi insisivus lateral maksila secara bilateral, yang telah tidak dapat
dipertahankan akibat adanya karies. Bone graf dilakukan 3 bulan setelah ekstraksi dengan
tujuan untuk menunggu perbaikan mukosa gingiva.
Pada usia 19 tahun 5 bulan, bone graft dilakukan pada kedua sisi celah alveolar di
maksila. Setelah bone graft, dilakukan ekstraksi pada gigi premolar pertama mandibula dan
perawatan pre-TDO dimulai pada usia 19 tahun 7 bulan dengan piranti (berukuran
preadjusted 0,22-in). Gigi molar ketiga maksila pasien akan digunakan sebagai gigi molar
kedua. TDO kemudian dilakukan pada usia 20 tahun 10 bulan (Gambar 2B, 3B, 4B, dan 5A).
Distraksi dimulai 10 hari setelah bedah dengan ekspansi sebesar 1,0mm per hari.
Diperkirakan ekspansi maksila sebesar 7,0mm diperlukan untuk lengkung inter-caninus
rahang atas dan ukuran sebesar 2,0mm akan diperlukan untuk lengkung inter-molar. Ekspansi
lengkung maksila didesain mencapai 10mm untuk keseluruhan koreksi. Semua piranti
ortodontik dilepas ketika pasien berusia 21 tahun 11 bulan (Gambar 2C, 3C, 4C dan 5B).
Setelah melalui perawatan aktif, gigi tiruan digunakan mengisi oklusi anterior dan untuk
15. mencegah kontraksi lebar lengkung maksila (Gambra 3D). Sebuah retainer (tipe-sekitar-
tertutup) digunakan untuk kedua rahang selama 2 tahun. Meskipun kami telah
merekomendasikan genioplasti untuk memperbaiki prominensia dagu selama retensi, pasien
menolak rekomendasi karena tidak ingin melakukan bedah lain lagi.
Gambar 3. Foto intraoral: (A) pre-treatment; (B) pre-TDO; (C) post-active treatment; (D) post-
retention. TDO-transverse distraction osteogenesis.
Hasil
Pemeriksaan klinis menunjukkan hasil bahwa perawatan kami mampu memperbaiki
oklusi dan hubungan intermaksilaris pasien. Profil wajah pasien menunjukkan perkembangan
yang signifikan (Gambar 2). Lebar inter-kaninus maksila meningkat hingga 7,0mm, dan
bentuk lengkung maksila dari bentuk ditorsi secara transversal menjadi bentuk yang simetris.
CT menunjukkan pertumbuhan tulang pada sisi kiri celah setelah bone graft yang
diikuti dengan TDO asimetri (Gambar 1B dan C). Terdapat resobsi akar ringan pada gigi
insisivus mandibula (Gambar 4C).
Perbandingan antara tracing sefalometri (Gambar 5B) dan pengukuran (Tabel 1)
antara masa sebelum perawatan dan setelah masa perawatan-aktif menggambarkan
perubahan-perubahan berikut: sudut SNA meningkat dari 67,6° menjadi 70,2°, mandibula
menunjukkan rotasi yang berlawanan dengan arah jam dengan penurunan FMA dari 46,5°
menjadi 45,8°, gigi insisivus mandibula berinklinasi lingual sebesar 9,8° dalam perhitungan
IMPA. Setelah masa retensi 2 tahun, lebar maksila yang adekuat dipertahankan tanpa adanya
16. resobsi pada bone graft. Oklusi dan profil wajah pasien juga tetap stabil (Gambar 2D, 3D,4D,
dan 5C).
Gambar 4. Gambaran radiografis: (A) pre-treatment; (B)pre-TDO; (C) post-active treatment; (D)
post-retensi; TDO- transverse distraction osteogenesis.
Gambar 5. Tumpang tindih tracing sefalometri lateral pada bidang SN di titik S: (A) pre-treatment
(garis solid) dan pre-TDO (garis putus-putus); (B) pre-TDO (garis solid) dan post-active treatment
(garus putus-putus); (C) post-active treatment (garis solid) dan post-retention (garis putus-putus).
TDO-transverse distraction osteogenesis.
17.
18. Pembahasan
Beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa bone graft bisa gagal pada kasus cleft/
celah yang terlalu luas atau ketika bone graft tidak dapat ditutup seluruhnya dengan flap
mukoperiosteal mengacu pada pembentukan bekas luka. Berkenaan dengan ini, ekspansi
maksila sebelum melakukan bone graft dapat menjadikan celah alveolar lebih besar, yang
secara negatif dapat memengaruhi hasil bone graft pada beberapa kasus. Karena pasien pada
laporan ini memiliki kerusakan tulang yang relatif luas, kami melakukan perawatan dengan
bone graft yang diikuti TDO, dengan osteotomi uang dilakukan pada jembatan tulang di area
celah. Hasil CT menunjukkan paningkatan yang lebih baik pada jembatan tulang setelah
TDO, yang mana akan menyediakan ruang ekspansi yang adekuat dan stabil serta kaya akan
pertumbuhan tulang pada kasus ini (Gambar 1).
Durasi perawatan dapat menjadi lebih panjang karena diperlukan waktu sekitar 6
bulan untuk ekspansi bedah untuk stabilisasi pasca bone graft. Namun pada kasus ini, kami
berencana untuk menyetarakan dan merapikan lengkung rahang atas selama masa stabilisasi
setelah bone graft; oleh karena itu durasi perawatan tidak diperpanjang untuk alasan ini.
Kasus ini tidak menunjukkan pertumbuhan fistula setelah ekspansi bedah.
Kami juga mengekspansi maksila yang sempit dan asimetri dengan TDO asimetri.
Shintaku et al melaporkan bahwa TDO asimentri berguna untuk pasien dengan CLP
unilateral dengan maksila yang sempit dan dapat menciptakan koreksi yang efektif terhadap
midline maksila serta ekspansi yang lebih besar pada regio anterior. Pada kasus ini,
penyimpangan mandibula, yang memengaruhi crossbite unilateral dari sisi sebelah kiri dan
deviasi terhadap sisi sisi sebelah kanan gigi-geligi maksila, telah meningkat (Gambar 1).
Kami juga menemukan bahwa segmen anterior maksila terposisikan secara anterior oleh
TDO asimetri (Gambar 5B). Diperkirakan bahwa hal ini mengacu pada perrgerakan segmen
anterior maksila yang terpengaruh gaya ortopedik selama TDO. Pada kasus kami ini,
pergerakan ini berkontribusi untuk memperbaiki profil wajah dan overjet yang negatif. Posisi
alat dan arah gaya dapat memengaruhi pergerakan segmen anterior maksila selama TDO
asimetri.
Osteotomi Le Fort I segmental dengan mereposisian ke arah anterior segmen posterior
dan bone graft merupakan pilihan bedah pada pasien ini. Namun, beberapa penelitian
sebelumnya telah melaporkan bahwa osteotomi Le Fort I, yang diiringi dengan
perkembangan maksila, berakhibat memperparah VPI akibat pergeseran hubungan
velofaringeal, terutama pada pasien dengan riwayat VPI ataupun pasien dengan kondisi
velofaringeal di borderline sebelum dilakukan bedah. Selain itu, Le Fort I osteotomi
19. segmental dengan reposisi segmen posterior ke arah anterior juga berisiko dapat
memengaruhi suplai darah pasien. Karena pasien
Gambar 6. Perubahan lengkung rahang dengan distraksi dan alat distraksi (Range Fan-type Rapid
Expander, Leone S.p.A.Go.,Ltd.) (A) Radiografi oklusal sebelum distraksi; (B) radiografi oklusal
setelah distraksi menggunakan alat; (C) gambaran skematik distraksi. Garis putus-putus
menggambarkan garis osteotomi untuk TDO: (a) pre-TDO, (b) post-TDO. TDO-transverse distraction
osteogenesis.
ini sudah memiliki riwayat VPI dan tidak ingin menjalankan posedur bedah lain, kami
memutuskan untuk tidak melakukan oilihan perawatan ini.
Temuan biologis menyatakan bahwa resobsi pada bone graft dapat terjadi jika tidak
adanya stress atau tekanan fungsional. Erupsi gigi dan lokasinya yang tepat pada area bone
graft merupakan faktor positif untuk stabulitas jangka panjang dari tulang yang di bone
graft.Pada kasus dengan gigi yang kecil atau bahkan tanpa gigi, gigi buatan, seperti gigi
implan, sangat direkomendasikan untuk mencegah hilangnya kehilangan tulang. Kami juga
mengupayakan gigi implant untuk mempertahankan bone graft pada pasien ini. Namun,
pasien menolak penggunaan gigi implan karena alasan finansial. Stabilitas jangka panjang
bone graft serta oklusi dan profil wajah merupakan hal harus tetap diawasi.
20.
21. Kesimpulan
Berdasarkan temuan-temuan dari kasus tunggal, pilihan perawatan ini dapat menjadi
solusi efektif untuk perawatan komperhensif terhadap pasien dewasa dengan BCLP yang
disertai dengan deformasi dan kontaksi maksila yang parah serta dengan kerusakan tulang
yang luas.
22. Daftar Pustaka
1. Firas Abd Kati. Cleft Lip and Palate:Review Article. 2018. Bagdad: World Journal of
Pharmaceuticaland Medical Report.
2. Eman Allam, L Jack Lonsor, dan Cynthia Stone. Cleft Lip and Palate: Etiology,
Epidemiology,Preventive and Intervention Strategies. 2014. USA:Anat Physiol.
3. E. W. Odell. Cawson’s Essential of OralPathology and Oral Medicine Ninth Ed.2017. USA:
Elsevier.
23. 1. Terdapatlesi radiolusenberbatas jelas,berbentukvertikal,epicenterpada
prosessusalveolarismaksilabagiananterioryangmeluashinggabagian
posteriorpalatum, terlokalisirbilateral,berjumlahdua,
- Pada sisi kananberukuran±11mm (antara gigi 13 dan21) dan
menyebabkanmalposisi gigi 13,14, 15.
- Pada sisi kiri berukuran±3mm(antara gigi 21 dan23),menyebabkan
malposisi gigi 23,24, 25.
2. Gigi 11, 12, 22 tidakada atau hilang.
3. Lebar bukal C (antaragigi 13 dan 23) berukuran±4,2cm dan lebarbukal P1
(antara gigi 14 dan24) rahang berukuran±5,1cm.
1. Fotodiambil pada1 tahun3 bulansetelahpengambilanfotopertama(usiapasien20
tahun10 bulan)
2. Terdapatpeningkatandensitastulangpadaprosesusalveolarismaksilabagian
anteriorkanandan kiri yangditandai denganadanyapeningkatan gambaran
radiopak.Namunpadasisi sebelahkiri masihterdapatlesi radiolusenberbentuk
iregulerpadabagiananteriorpalatum, berukuranlebar±4mm.
3. Lebar bukal C (antaragigi 13 dan 23) berukuran±5,4cm dan lebarbukal-P1(antara
gigi 14 dan 24) berukuran±5,9cm.
4. Terdapatgambaran radiopakberbentukseperti pirantiorthodontikpadabagian
tengahpalatum,berkontakdengangigi 14,16, 24, 26.
24. Terdapatgambaran radiolusenberbatasjelas,berbentuk
vertikal,epicenterpadaprosesusalveolarismaksila bagian
anteriordenganperluasanhinggadasarrongganasal,
terlokalisirbilateral,berjumlahdua,
- Pada sisi kananberukuran± 3cm x 2cm,mengakibatkan
agenesisgigi 11,mikrodonsiagigi 12,dan malposisi gigi
12, 13, 14, 15
- Pada kiri berukuran± 2cm x 2cm,mengakibatkangigi
supernumerari (mesioden),mikrodonsiagigi 22,dan
malposisi 22,23, 24, 25.
- Fotodilakukan6 bulansetelahpengambilanfotoA (usia
pasien19 tahun 7 bulan)
- Pada sisi kananterdapatlesi radiolusendenganbagian
tepi mesial radiopak,danpadasisi kiri lesi radiolusen
denganbagiantepi atasradiopakkarenapeningkatan
densitastulang,sehinggaukuranlesi radiolusenmenjadi
lebihkecil dibandingkanpadafotoA,yaitupadasisi
kanan±3cm x ±1,8cm dan pada sisi kiri ±3cm x ±1,8cm.
- Gigi 12,16,22,26,34, 44,dan gigi mesiodenhilang.
- Masih terdapatmalposisi gigi 13,14, 15, 23, dan 24 yang
ditunjukkandenganadanyagambaransuperimposed
antara gigi 13 dan 14, antara mahkota14 dan mahkota
15, sertaantara mahkota 23 dan mahkota 24.
- Fotodilakukan4 tahun4 bulansetelahpengambilan
fotoB (usiapasien23 tahun 11 bulan)
- Terdapatpeningkatandensitastulangpadaprosesus
alveolarismaksilabagiananteriorkanandankiri yang
ditandai denganadanyagambaranradiopakberupa
puncakalveolardi antara akar gigi 21 dan akar 13, serta
di antara akar gigi 21 dan akar gigi 23.
- Malposisi gigi 13, 14, 15, 23, dan 24 sudahterkoreksi,
ditandai dengantidakadanyasuperimposed.
25. Pembahasan
Seorang pasien laki-laki berusia 19 tahun mengalami celah bibir dan palatum (labio
palato schisis). Celah palatum pada umumnya lebih sering terjadi pada perempuan, namun
pada kasus ini celah palatum terjadi pada laki-laki. Celah palatum merupakan deformitas dari
lahir dan dapat dirawat ketika individu telah berusia lebih dari 10 bulan (rule of 10), namun
pada kasus ini pasien datang kembali untuk melanjutkan perawatan pada usia 19 tahun
setelah dilakukan perawatan bedah di usia 6 bulan dan 18 bulan.
Pasien mengeluhkan kesulitan saat mengunyah makanan serta suara yang sengau
(insufesiensi velofaringeal (VPI)). Diketahui bahwa pasien menjalani operasi cheiloplasti
pada usia 6 bulan dan palatoplasti pada usia 18 bulan, selanjutnya pasien tidak menjalani
perawatan orthodontik maupun bedah hingga berusia 19 tahun. Kesulitan mengunyah pada
pasien dapat terjadi karena rahang yang menyempit dengan adanya celah palatum sehingga
posisi gigi-geligi menjadi tidak tepat (malposisi), sedangkan VPI dapat terjadi akibat ketidak
mampuan palatum mole untuk bergerak ke arah posterior karena adanya celah palatum.
Perawatan palatoplasti yang telah dilakukan saat pasien berusia 18 bulan kemungkinan belum
sepenuhnya memperbaiki celah palatum sehingga pasien masih mengalami kesulitan
mengunyah serta adanya VPI. Dari pemeriksaan ektraoral terlihat bahwa pasien mengalami
defisiensi wajah bagian tengah (midfasial defisiensi) dengan rahang bawah yang retrusif.
Defisiensi midfasial pada pasien dapat terjadi akibat adanya bekas luka palatoplasti yang
telah dilakukan serta defek perkembangan rahang sehingga menyebabkan hipoplasia maksila.
Mandibula yang retrusif pada pasien dapat terjadi akibat kurangnya pertumbuhan mandibula
saat masa embrionik yang ditandai dengan adanya kegagalan elevasi prominensia palatum,
selain itu dapat pula terjadi akibat pengerutan orbicularis oris yang menahan perluasan/
pertumbuhan mandibula. Pada pemeriksaan intraoral ditemukan adanya maksila yang
menyempit, premaksila protrusi dan movable dengan bagian posteriornya mengalami
kontriksi/penyempitan. Oral hygene pasien buruk dengan karies pada gigi 16,26,12,22, dan
gigi mesioden, gigi 22 dan gigi mesioden merupakan mikrodonsia, gigi 11 tidak ada, dengan
relasi molar Angle klas II, gigi insisivus lateral dan premolar maksila pada kedua sisi
malposisi ke palatal serta crossbite antara gigi insisivus, kaninus kiri dan premolar pada
kedua sisi. Premaksila yang protrusi dapat terjadi akibat adanya kerusakan struktur internal
seperti hilangnya tulang alveolar pada kasus cleft palate, dapat pula akibat aktivitas lidah
terhadap premaksila. Posterior palatum yang kontriksi dapat dihubungkan dengan posisi
premaksila terhadap lempeng palatum, selain itu juga dapat terjadi akibat adanya penerusan
26. tekanan bibir (pasca cheiloplasti). Malposisi dapat terjadi akibat maksila yang menyempit,
hal ini kemudian menyebabkan kesulitan pembersihan rongga mulut yang berakibat pada oral
hygene buruk dan mendukung ditemukannya banyak karies. Hipodonsia gigi 11, gigi
supernumerary (mesioden) dan mikrodonsia (gigi 12, 22 dan mesioden) dapat terjadi akibat
kelainan saat masa tumbuh kembang, yang dapat disebabkan oleh cleft palate yang luas itu
sendiri.
Gambaran khas lesi cleft palate pada radiografis ditunjukkan dengan lesi radiolusen
berbatas jelas, berbentuk vertikal, dengan epicenter pada prosessus alveolaris maksila bagian
anterior dan perluasan hingga ke dasar rongga nasal serta bagian posterior palatum,
menyebabkan agenesis, mikrodonsia, gigi supernumerary, dan malposisi pada gigi-geligi di
sekitar lesi. Selain itu pada gambaran radiografisi cleft palate, dapat pula diitemukan adanya
kontriksi maksila yang ditandai dengan perngerutan ukuran lebar rahang jika ditracing
dengan gambaran lengkung ideal rahang. Pada kasus ini pasien mengalami cleft palate dan
dilakukan foto radiografis panoramik dan oklusal yang menunjukkan gambaran berupa lesi
radiolusen berbatas jelas, berbentuk vertikal, dengan epicenter pada prosessus alveolaris
maksila bagian anterior, pengambilan foto panoramik bertujuan untuk mengetahui perluasan
lesi cleft palate secara superior-inferior pada maksila dari arah fasial sehingga terlihat bahwa
lesi cleft palate mengalami perluasan hingga ke dasar rongga nasal, sedangkan pengambilan
foto oklusal bertujuan untuk mengetahui perluasan lesi secara antero-posterior maksila dari
arah oklusal dan menunjukkan bahwa lesi mengalami perluasan hingga ke bagian posterior
palatum. Selain itu pada pasien juga dilakukan penggunaan CBCT yang bertujuan untuk
memeriksa kedalaman lesi dengan arah superior-inferior (per lapisan). Pengambilan CBCT
dilakukan dalam dua tahap, yaitu sebelum perawatan dan pasca retensi bertujuan untuk
melihat kondisi cleft palate dan tulang pasca bone graft (kontrol).
Pada kasus terlihat adanya gambaran radiolusen pada midline palatum hingga ke
prosessus alveolaris di regio gigi anterior maksila, bilateral berjumlah dua, hal ini menyerupai
gambaran radiografis fraktur palatal sagital maupun parasagital dimana terdapat lesi
radiolusen pada midline patalum atau sejajar midline palatum dengan arah antero-posterior.
Namun perbedaannya terlihat pada efek yang diakibatkan lesi, yaitu bahwa fraktur palatum
tidak mengakibatkan kelainan erupsi, kelainan jumlah, dan kelainan bentuk seperti pada
kasus cleft palate. Serta tidak menunjukkan adanya kehilangan fragmen seperti pada fraktur.
Penutupan celah dapat dilakukan mulai dari usia 10 bulan. Pada kasus, pasien telah
dirawat dengan bedah cheiloplasti (yaitu pada usia 6 bulan) dan bedah palatoplasti (pada usia
18 bulan), namun saat berusia 19 tahun pada pasien masih ditemukan adanya celah palatum
27. sedangkan celah bibir sudah tidak ada lagi sehingga disimpulkan bahwa belum dilakukan
penutupan pada cleft palate. Setelah itu, perawatan awal pada pasien dilanjutkan pada usia 19
tahun 1 bulan dimulai dengan ekstraksi pada gigi 16, 26, 12, 22 dan gigi supernumerary (pada
usia 19 tahun 1bulan) karena kondisi karies parah. Kemudian dilakukan bone graft di kedua
sisi cleft 3 bulan setelah ekstraksi (pada usia 19 tahun 5 bulan). Perawatan berikutnya adalah
pre-treatment TDO (pre-Transverse Distraction Osteogenesis) dengan ekstraksi gigi 34 dan
44 (pada usia 19 tahun 7 bulan), active-treatment TDO dengan penggunaan piranti ortodontik
untuk ekspansi maksila serta memperbaiki malposisi gigi (pada usia 20tahun 10bulan).
Penggunaan alat aktif dilakukan hingga pasien berusia 21 tahun 11 bulan. Setelah perawatan
aktif selesai, pasien menggunakan gigi tiruan untuk mengganti gigi yang hilang serta untuk
mempertahankan ruang lengkung rahang maksila.
Kontrol dilakukan setelah perawatan bone graft dan sepanjang masa perawatan
orthodontik. Setelah dilakukan prosedur ektraksi gigi pada fase perawatan awal, kontrol
dilakukan dengan evaluasi cleft menggunakan foto radiografis pada tiap tahapan perawatan
yaitu pada pre-treatment TDO (setelah bone graft), setelah active treatment (dengan piranti
orthodonti), dan setelah perawatan retentive (dengan protesa). Kontrol bertujuan untuk
melihat pembentukan tulang trabekula di area celah palatum serta untuk mengaktifasi dan
evaluasi penggunaan alat orthodonti dan protesa pada pasien.
Kesimpulan
Radiodiagnosis pada kasus ini adalah cleft palate bilateral. Hal ini berdasarkan
gambaran radiografis yang menunjukkan gambaran radiolusen unilokuler berbatas jelas
berbentuk vertikal pada midline palatum yang meluas hingga dasar nasal, bilateral, berjumlah
dua dengan ukuran bervariasi. Lesi menyebabkan anomali gigi dan pada kasus ini anomali
berupa malposisi gigi, gigi supernumerari, dan mikrodonsia.