Penafsiran al-Qur’an telah dipraktikkan sejak diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai bayan atas ayat-ayat al-Qur’an, tafsir yang paling benar adalah penafsiran yang dilakukan oleh Nabi SAW., karena beliau yang mendapatkan tugas untuk menyebarluaskan dan menjelasakan wahyu Allah. Penafsiran yang dilakukan oleh Nabi SAW., juga merupakan penafsiran yang paling canggih, karena beliau mampu mengamalkan al-Qur’an, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptx
1. Presentator : Dina Sabella
NIM: 22502004
Dosen Pengampu: Dr. H. A. Halil Thahir, M.HI.
09 November 2023, Pascasarjana IAIN Kediri
2. Menurut al-Shatibi (w. 790 H.), seluruh proses ijtihad, baik bertautan langsung dengan
teks maupun tidak, harus memperhatikan maslahah sebagai “ruh” dari maqâsid al-
sharî’ah. Sebuah ijtihad dapat dianggap sesuai dengan maqâsid al-sharî’ah (al-ijtihâd al-
maqâsidî), menurut al-Shatibi (w. 790 H.), harus memenuhi empat aspek:
1
• Pertama, didasarkan pada teks (nash) dan hukum yang terkandung di dalamnya, serta maqâsid al-
sharî’ah (al-nusûs wa al-ahkâm bi maqâsidihâ)
2
• Kedua, mengkompromikan antara pesan-pesan yang bersifat universal dan umum dengan dalil-dalil
yang bersifat parsial (al-jam’u bayn al-kulliyât al-‘âmah wa aladillah al-khâsah
3
• Ketiga, berpedoman pada prinsip menarik maslahah dan menolak mafsadah (jalb al-masâlih wa dar’u
al-mafâsid)
4
• Keempat, mempertimbangkan hal-hal yang mungkin terjadi dalam jangka panjang (i’tibâr al-ma`âlât):
apakah keputusan hukum yang akan ditetapkan tersebut akan berdampak terealisirnya kebaikan
(maslahah), sehingga harus ditetapkan, atau justru sebaliknya, diyakini, atau paling tidak diduga kuat
akan menimbulkan hal-hal negatif (mafsadah).
3. Syari’ah ditetapkan untuk kemaslahatan di
dunia maupun diakhirat
Ibn Qayyum dan al-Syatibi sepakat bahwa tujuan
hukum Islam adalah mewujudkan kemaslahatan
dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu
harus mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan
dan hikmah. Jika keluar dari empat nilai tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai hukum Islam.
Al-Raysuni juga sepakat dengan pernyataan diatas,
disampaikannya:
الغاياة
لمصلحة تحقيقها الجل الشريعة وضعت التي
العباد
“Tujuan didirikannya hukum syari’ah adalah untuk
mencapai kemaslahatan manusia.”
4. Unsur-unsur Ijtihad Maqasidi
Dalam ijtihad maqâsidiy terdapat tiga unsur yang
saling berkaitan antara satu dengan yang lain :
3 Unsur
Ijtihad
Maqasidi
Teks (al-
nash)
Realitas (al-
waqi’)
Subjek
hukum (al-
mukallaf)
5. Penjelasan...
al-Nash (teks), dalam konteks ijtihad maqâsidi adalah
dalil yang menentukan hukum, ‘illat (alasan hukum),
dan tujuannya (al-maqsad) akan diterapkan dalam
suatu kasus hukum.
al-Waqi’ (realitas), adalah objek operasinal ijtihad
maqâsidi, dimana hukum yang ada didalam nash
berikut tujuannya akan dilekatkan padanya.
al-Mukallaf (subjek hukum) adalah orang yang secara
akal, jiwa, dan fisik siap meneria realitas sejalan
dengan tuntuan hukum yang terdapat dalam nas
berikut maqâsid-nya.
6. Ringkasnya..
.
Ijtihad maqâsidi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah kebahasaan, seperti
kaidah al-amr dan al-nahy, al-mutlaq dan al-muqayyad, al-haqiqah dan al-
majaz dan lain sebagainya.
Kerja ijtihad maqâsidi bukan berkutat dalam analisis teks dan tujuan-
tujuannya, tapi juga menuntut ketepatan dalam mendudukkan hukum dalam
realitas yang antara satu realitas dengan realitas lainnya memiliki
karakteristik yang berbeda-beda, tujuannya agar tidak “salah alamat” ketika
menyematkan hukum terdahap realitas.
Ijtihad maqâsidi juga harus mempertimbangkan karakteristik nalar mukallaf,
sebagai subjek yang akan bersentuhan langsung dan melakasanakan hukum,
disamping mujtahid juga harus membenahi kualitas nalarnya dalam melihat
teks, realitas, dan mukallaf.
7. Ijtihad perspektif al-Syatibi
al-Syatibi memberikan definisi ijtihad dengan penekanan
pada upaya memperoleh hukum, baik pada tingkatan
yakin (al-‘ilm) atau hanya berupa dugaan kuat (al-zan)
sekaligus usaha untuk mengetahui tujuan Syari’ (maqsad
al- Syari’) yang tunggal.
Menurut al- Syatibi ada tiga tahapan dalam proses ijtihad
:
8. Dalam ijtihad terdapat dua dimensi:
rasionalitas dan sakralitas.
Dimensi rasionalitas ijtihad tak terelakkan ketika
seorang mujtahid harus cakap dalam mendialogkan
pesan Tuhan yang “terbatas” (al-mutanahiyah)
dengan realitas kehidupan manusia yang terus
berkembang seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang “tak terbatas”
(ghayr al-mutanahiyah). Oleh karena itu, seorang
mujtahid harus memiliki perangkat keilmuan yang
memadahi, baik berkaitan dengan al-Qur`an dan al-
Sunnah sebagai representasi kehendak Syari’,
maupun dengan kebutuhan riil manusia yang
membutuhkan adanya kepastian hukum yang
benar.
9. Dimensi sakralitas
Sementara dalam dimensi sakralitas, apapun
hasil olah pikir mujtahid, baik benar (sawab)
atau salah (khata‘), terlepas kontroversi
ulama tentang ini, tetap dipandang sebagai
hukum Tuhan yang sakral, harus dipatuhi,
dan bahkan bisa dijadikan dasar untuk
mengebiri hak asasi manusia. Di sinilah letak
pentingnya syarat moralitas bagi mujtahid, di
samping terpenuhinya syarat ilmiah.
10. Syarat ilmiah dapat dikelompokkan dalam dua
bagian:
Pertama, syarat yang berkaitan dengan ilmu agama
(ulum al-din) seperti al-Qur‘an, al-Sunnah, Ijma,
sebab nuzul dan nasikh mansukh;
Kedua, Syarat yang berkaitan dengan perangkat
(al-wasail) untuk memahami secara benar tentang
pesan al-Qur‘an dan al-Sunnah, yaitu kaidah kaidah
kebahasaan seperti perintah dan larangan, yang
umum dan yang khusus, dan lain sebagainya.
12. Penjelasan
Imam as-Syatibi menetapkan sebuah metodologi untuk ijtihad
terhadap persoalan maqâsid syari’ah yang diringkas dalam
fase/mekanisme berikut ini:
1. Mencari tujuan daripada syari’at itu didalam esensi perintah atau
larangan itu sendiri.
Mekanisme yang pertama dalam metodologi ijtihad terhadap
konsep maqashid yakni seorang mujtahid hendaklah mencari untuk
menemukan tujuan daripada syari’ (perintah Allah) didalam bentuk shighot
perintah dan shighot larangan yang sifatnya jelas, (contohnya: perintah
واُميِقَأ َو
َة َ
الَّصال
واُتآ َو
َةاَكَّالز , kemudian larangan َ
ال َو
واُعِبَّتَت
ِت ََٰوُطُخ
ِنََٰطْيَّشٱل ), dan apabila
suatu perintah itu sifatnya menuntut untuk melakukan sesuatu maka
perintah itu merupakan tujuan daripada maqâsid syari’ah itu sendiri, dan
jika seandainya larangan itu menuntut untuk meninggalkan sesuatu maka
meninggalkan sesuatu yang dilarang itu merupakan tujuan syari’at.
Dan seorang mujtahid itu tidak perlu mencari/melakukan
penelitian terhadap maqâsid syariah dibalik itu semua (nash-nash yang
sifatnya sudah jelas), karena sesungguhnya tujuan daripada syari’at
didalam perintah dan larangan yang bersifat jelas adalah sebuah tuntutan
untuk melakukan sesuatu atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, dan
jenis maqâsid yang ini berada pada sesuatu yang bersifat ta’abudi (ibadah),
karena tujuan pada yang demikian itu yaitu melaksanakan perbuatan yang
perintah dan meninggalkan sesuatu yang dilarang.
14. 2. Mencari sebuah tujuan daripada suatu syari'at yang
terletak pada 'illat hukum.
Jika seandainya teks-teks dari larangan/perintah
itu bersifat tidak langsung, maka seorang mujtahid
tidak bisa langsung mencari tujuan syariah dalam
teks-teks yang tidak langsung/tidak sharih tersebut,
akan tetapi seorang mujtahid itu mencari maqasidnya
didalam 'illat hukum.
Adapun cara untuk melakukan eksplorasi
dengan analogi caranya dengan melontarkan
pertanyaan sederhana, mengapa Allah
memerintahkan hal ini? Mengapa Allah melarang hal
ini?
Penjelasan
15. Next...
Jika telah sampai menemukan pada ‘illat al-hukmi, jadi ketika
Allah memerintahkan manusia untuk menikah maka disitu kita
akan menemukan tujuannya yakni untuk regenerasi (agar
manusia tidak punah/melanjutkan keturunan).
Perihal perintah jual beli bahwasanya untuk mencari kemanfaatan
terhadap barang yang dijual/barang yang mempunyai nilai jual.
Ketika seseorang menemukan (‘illat hukum dari suatu
perintah/larangan) yang demikian itu, seorang mujtahid akan
mampu melakukan analogi terhadap hal-hal demikian.
Karena tidak ada ‘illat itu kecuali yaitu tujuannya daripada syari’at.
Rasulullah SAW. bersabda: “ Seorang qadi/hakim itu tidak boleh
melakukan sebuah putusan hukum ketika dia dalam keadaan
emosi (marah(”. Maka dapat direnungkan bahwa ‘illat dari
dilarangnya suatu putusan adalah karena masih dalam keadaan
marah/kacau.
Hikmahnya, menyelesaikan emosi yang kacau terlebih dahulu
agar hakim dapat memberi putusan yang adil dan bisa bersifat
obyektif.
17. 3. Membiarkan/mendiamkan sampai tujuan
daripada syari’at itu jelas:
Jika seorang mujtahid tidak mampu untuk
menemukan tujuan suatu syari’at, tidak bisa menemukan
dari redaksi teks yang jelas, tidak bisa menemukan
dalam hukum secara langsung, dan tidak menemukan
pada ‘illat hukumnya maka seorang hakim itu
seharusnya tidak mengambil sikap/interpretasi yang
berlebihan terhadap batasan-batasan perintah ataupun
larangan, dan tidak juga melampauinya. Karena disini
dilarang adanya beberapa qiyas-qiyas sampai tujuan
syara’ itu jelas. Maka tidak boleh melakukan
penenelusuran hukum pada selain masalah yang terjadi
didalamnya.
Penjelasan
18. Hubungan maqasid al-syari’ah dengan
metode-metode ijtihad lainnya
Setiap metode penetapan hukum yang dipakai oleh para ahli
ushul fiqih bermuara pada al-maqasid al-syari’ah.
Metode istimbat hukum dengan menggunakan qiyas dan
maslahah al-mursalah ataupun yang lainnya adalah metode yang
dapat digunakan dalam pengembangan hukum Islam dengan
menggunakan atau dikaitkan dengan maqasid al-syari’ah sebagai
dasar untuk memperoleh kemaslahatan yang hendak dicapai
dalam hukum yang ditetapkannya. Misalnya metode qiyas baru
bisa dilaksanakan apabila dapat ditentukan maqasid al-syari’ah
yaitu dengan cara menemukan illat hukum dari sebuah
permasalahan hukum.
Dari sini dapat dilihat betapa erat hubungan antara metode qiyas
dengan maqasid al-syari’ah. Para ahli ushul fiqih mengelaborasi
keterkaitannya, menurut mereka illat baru bisa dijadikan sebagai
dasar penetapan hukum setelah diketahui dan ditelusuri maksud
disyari’atkannya hukum itu. Dalam menentukan maksud dan
tujuan hukum, tidak dapat diabaikan pemahaman tentang
maslahat dan mafsadat yang menjadi inti kajian maqasid al-
syari’ah.