Dokumen tersebut membahas tiga elemen penting dalam mengukur kesehatan organisasi menurut Keller & Price, yaitu keselarasan internal, kualitas eksekusi, dan kapasitas untuk pembaruan. Dokumen ini juga menjelaskan beberapa indikator penting dalam mengukur ketiga elemen tersebut.
1. OHI (Organization Health Indeks )
Elemen dalam mengukur kesehatan organisasi, menurut Keller & Price, dibagi menjadi 3
(tiga) Klaster, yaitu :
Keselarasan Internal
Kualitas Eksekusi, dan
Kapasitas untuk pembaruan.
Kapasitas internal
Organisasi yang sehat memiliki tujuan bersama yang didukung oleh budaya dan iklim kerjanya
serta memiliki arti yang mendalam bagi para pegawainya.
Ada 3 (tiga) elemen dalam klaster Kapasitas Internal ini, yaitu :
1. Arahan, adalah kejelasan arah organisasi, bagaimana organisasi mencapaianya dan
bagaimana arah organisasi memiliki makna bagi pegawainya.
2. Kepemimpinan, Kepemimpinan adalah sejauh mana pimpinan organisasi menginspirasi
aktivitas pegawai.
3. Budaya dan iklim kerja, adalah keyakinan bersama dan kualitas interaksi di dalam dan
lintas unit organisasi.
Kualitas eksekusi
Organisasi yang sehat memiliki kemampuan, manajemen proses, dan motivasi yang baik untuk
kesempurnaan pelaksanaan programnya.
Ada 4 (empat) elemen dalam klaster Kualitas Eksekusi ini, yaitu :
1. Akuntabilitas adalah sejauh mana individu memahami apa yang diharapkan darinya,
memiliki cukup kewenangan untuk melaksanakannya, dan mengambil tanggung jawab
untuk memberikan hasil terbaik.
2. Koordinasi dan pengendalian adalah kemampuan untuk mengevaluasi kinerja dan risiko
organisasi, dan untuk mengatasi isu dan peluang saat keduanya muncul.
3. Kapabilitas adalah adanya keahlian dan talenta institusi yang dibutuhkan untuk
menjalankan strategi serta menciptakan keunggulan kompetitif.
4. Motivasi adalah adanya antusiasme yang mendorong pegawai untuk memberikan usaha
lebih untuk memberikan hasil terbaik.
Kapasitas untuk pembaruan
Organisasi yang sehat secara efektif memahami, berinteraksi dengan, membentuk, dan
beradaptasi dengan situasi dan lingkungan eksternalnya.
Ada 2 (dua) elemen dalam klaster Kapasitas untuk Pembaruan ini, yaitu :
1. Orientasi eksternal adalah kualitas kedekatan dengan pengguna layanan, pemasok, mitra
kerja, dan stakeholder eksternal lainnya.
2. Inovasi dan pembelajaran adalah kualitas dan arus ide-ide baru dan kemampuan organisasi
untuk beradaptasi dan membetuk dirinya sendiri saat dibutuhkan.
Tiga Tingkatan Kesehatan Organisasi
organisasi yang sehat memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari organisasi
lainnya. Kesehatan suatu organisasi dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu :
2. sakit (ailing),
mampu (able), dan
sehat (elite).
Untuk dapat memberikan kinerja yang optimal kepada para stakeholders, suatu
organisasi harus keluar dari kondisi sakit (ailing) dan berada paling tidak pada tingkat mampu
(able) untuk kesembilan dimensi kesehatan organisasi. organisasi yang sehat secara keseluruhan
adalah organisasi yang dapat mempertahankan kesehatannya pada sekurang-kurangnya kondisi
mampu (able) untuk kesembilan dimensi tersebut, dan selanjutnya mencapai dan
mempertahankan beberapa dimensi yang menjadi prioritas sesuai dengan visi organisasi ke
depan untuk berada pada kondisi tertingginya, yaitu sehat (elite).
Keller & Price (2011), Beyond Performance – How Organization Build Ultimate
Performance, McKimsey & Company
3. TOXIC CULTURE
Dalam wacana ‘Transformasi Budaya Perusahaan’ dikenal istilah Entropi Budaya /
Toxic Culture yaitu energi dalam kelompok yang digunakan untuk pekerjaan yang tidak
produktif. Entropi budaya mengukur konflik, friksi, dan keputusasaan yang muncul dalam
sebuah organisasi atau perusahaan. Entropi budaya yang disebut juga energi disfungsional,
berpengaruh pada kinerja perusahaan. Ketika entropi budaya tinggi, energi yang tersedia untuk
produktifitas menjadi rendah, dan berdampak pada kinerja perusahaan juga rendah. Ketika
entropi budaya rendah, energi untuk produktifitas menjadi tinggi, dan kinerja tinggi. Ketika
derajat disfungsi atau gangguan dalam suatu organisasi tinggi, karena faktor-faktor seperti
pengendalian yang berlebihan, hati-hati, kebingungan, birokrasi, hirarki, kompetisi internal,
menyalahkan, jumlah energi karyawan yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan pekerjaan
meningkat. Padahal energi yang terlibat dalam mengatasi entropi budaya adalah energi yang
tersedia untuk pekerjaan yang produktif.
Entropi budaya dalam organisasi atau perusahaan terdiri dari tiga unsur:
Faktor-faktor yang memperlambat organisasi dan mencegah pengambilan keputusan yang
cepat: birokrasi, hirarki, kebingungan, pertengkaran dan kekakuan.
Faktor-faktor yang menyebabkan gesekan antara karyawan: persaingan internal,
menyalahkan, intimidasi, manipulasi.
Faktor-faktor yang mencegah karyawan dari kerja secara efektif: kontrol, kehatihatian,
mikro manajemen, fokus jangka pendek, teritorialisme.
rentang entropi dan risiko yang dihadapinya:
10% or less Prime : Sehat
11% – 19% Minor Issues :
Membutuhkan adjustment kultural dan struktural
20% – 29% Significant Issues :
Membutuhkan transformasi kultural dan struktural dan leadership coaching
30% – 39% Serious Issues:
Membutuhkan transformasi kultural dan struktural dan leadership coaching/ mentoring, dan
pengembangan leadership
40 – 49% Critical Issues:
4. Membutuhkan transformasi kultural dan struktural, perubahan dalam leadership, leadership
mentoring/coaching, dan pengembangan leadership
More than 50% Cultural Crisis:
untuk korporasi, risiko tinggi berupa kebangkrutan atau take over
Figure 1. Converging elements of a toxic culture at VW, BP, and Wells Fargo.
Budaya Toksit (lih. Moore 1973; Heimer 1999; Cialdini dkk. 2006; Cialdini dan Goldstein
2004; Vaughan 1989, 1997; Scholten dan Ellemers 2016). bahwa menilai toksisitas memerlukan
identifikasi norma-norma yang memungkinkan melanggar aturan, menghalangi kepatuhan, dan
mendelegitimasi baik hukum maupun norma-norma sosial yang mendukungnya.
Proses budaya Toxic terjadi pada tiga tingkat budaya perusahaan : struktur, nilai, dan
praktik. Selain itu, seperti Schein (2010) berpendapat, tiga tingkat budaya perusahaan
berinteraksi. Misalnya, nilai eksplisit (misalnya, publik defleksi menyalahkan) menjadi
tertanam dalam praktik dan struktur, struktur itu (misalnya, risiko tinggi dan target pertumbuhan
yang tinggi) membentuk nilai dan praktik, dan praktik itu (misalnya, memaafkan yang sedang
berlangsung pelanggaran) menjadi tertanam dalam nilai-nilai dan asumsi tersembunyi.
Meskipun di luar cakupan ini kertas, sangat mungkin bahwa apa yang dimulai sebagai nilai dan
praktik sadar dan deliberatif menjadi tertanam lebih dalam dalam asumsi tersembunyi, praktik
umum yang tidak disadari, dan norma situasional, dan dengan demikian tertanam lebih dalam
dalam budaya.
Budaya tidak menjadi racun dengan desain atau oleh pengaruh tunggal saja . Budaya
Toxic bukan hanya masalah satu CEO yang buruk, atau insentif yang buruk, ibaratnya ikan bisa
5. membusuk dari kepalanya, tapi itu bukan satu-satunya cara membusuk. Memang, sebagian
besar proses beracun dalam perusahaan-perusahaan ini tidak secara langsung melanggar hukum.
Lebih-lebih lagi, proses berinteraksi, dan tidak ada yang memiliki pengetahuan dan kendali
penuh atas interaksi ini dan apa itu akan menyebabkan. Dan akhirnya, proses beracun tidak
hanya ada dalam struktur yang dirancang dan formal kebijakan, tetapi juga dalam nilai dan
praktik yang dimiliki bersama di seluruh perusahaan. Akibatnya, sementara kesalahan dan
tanggung jawab individu atas elemen dan aspek dari proses budaya yang beracun dapat
ditemukan dan harus ditetapkan (seperti target berisiko tinggi, atau organisasi paksaan) praktik
personel yang menghalangi perbedaan pendapat), ini tidak bertanggung jawab atas seluruh
budaya.
AWARNESS
Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi kesadaran. Dalam Cambridge
International Dictionary of English (1995) ada sejumlah definisi tentang kesadaran. Pertama,
kesadaran diartikan sebagai kondisi terjaga atau mampu mengerti apa yang sedang terjadi.
Kedua, kesadaran diartikan sebagai semua ide, perasaan, pendapat, dan sebagainya yang
dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Selain itu kesadaran diartikan sebagai pemahaman
atau pengetahuan seseorang tentang dirinya dan keberadaan dirinya (www.niasonline.net).
Definisi lain tentang kesadaran antara lain: (1) tahu dan mampu mengekspresikan
dampak dari suatu perilaku, (2) tahu dan mampu mengekspresikan tentang berbagai
penyelesaian, (3) memahami perlunya langkah penelitian sebagai bekal pengambilan
keputusan, (4) memahami pentingnya kerja sama dalam menyelesaikan masalah
(www.suaramerdeka.com). Dalam psikologi, kesadaran sama artinya dengan mawas diri
(awareness).
Indikator kesadaran
Menurut Soekanto (1982) menyatakan bahwa terdapat empat indikator kesadaran yang
masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya dan menunjuk pada tingkat
kesadaran tertentu, mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, antara lain:
pengetahuan, pemahaman, sikap, pola perilaku (tindakan).
Priyono (1996) mengemukakan, awareness of environmental issues means being
environmentally knowledgeable and understanding fhe informed actions required for finding
the solutions to the issues. Jadi, dari teori di atas dapat dijelaskan bahwa indikator kesadaran
adalah pengetahuan dan pemahaman. Lain halnya dalam bidang Psikologi menyebutkan bahwa
kesadaran mencakup tiga hal, yaitu: persepsi, pikiran, dan perasaan (Atkinson dkk, 1997:287).
Sedangkan dalam teori konsientisasi (penyadaran), selain mencantumkan indikator
pengetahuan, sikap, juga menyebutkan indikator regulasi atau peraturan
(www.gaky.promosikesehatan.com). Berdasarkan indikator-indikator tersebut di atas, dapat
dikembangkan dengan menggunakan teori Benyamin Bloom (1908) yang membagi perilaku
manusia dalam tiga domain, yakni: kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam perkembangannya
teori ini dimodifikasi menjadi pengetahuan, sikap, dan praktik (tindakan).
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai
enam tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Orang yang telah “tahu” harus dapat mendefinisikan materi atau objek tersebut.
6. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Tahapan pemahaman berdasarkan teori dari Soekanto (1982) ternyata dalam
teori Bloom sudah dimasukkan dalam tingkatan pengetahuan tahap kedua.
3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
4. Analisis (analysis), Analisis adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi atau suatu objek.
5. Sintesis (syntesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas,
menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan- rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap
itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap terdiri
dari berbagai tingkatan, yaitu:
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang
diberikan (terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah), menunjukkan bahwa orang
menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu
indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko
merupakan sikap yang paling tinggi.
Tindakan
7. Unconscious
Incompetence
“Bad habits”
Conscious
Incompetence
“Learning”
Unconscious
Competence
“Safe habits”
Conscious
Competence
“Rule governed”
Tindakan terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:
1. Persepsi (perception), Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil.
2. Respon terpimpin (guided response), Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar
dan sesuai dengan contoh.
3. Mekanisme (mechanism), Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis atau sudah merupakan kebiasaan.
4. Adopsi (adoption), Adaptasi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik atau sudah
dimodifikasi.
Tingkatan Kesadaran
Menurut Geller (2000), tahapan dalam kesadaran seseorang yaitu:
Gambar 1. The DO IT process enables shift from bad to good habbits