Ada tiga pendapat ulama tentang wanita haid masuk masjid: 1) melarang mutlak, 2) membolehkan dengan syarat hanya lewat/ambil barang, 3) membolehkan mutlak. Pendapat pertama didasarkan hadis dhaif, pendapat kedua menafsirkan ayat Al-Quran secara berbeda, pendapat ketiga mengandalkan hadis shahih tidak menyebutkan larangan dan wanita Muslim tidak najis. Tidak ada dalil pasti yang mel
POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
Hukum wanita haid masuk
1. Hukum Wanita Haid Masuk Masjid
Bagaimana hukum wanita haid masuk masjid..?! Ada perbedaaan pendapat/
khilafiah di kalangan ulama. ada yang membolehkan, ada yang membolehkan
dengan syarat, dan ada pula yg tidak membolehkannya. Sekarang, mari kita kupas
bersama2 melalui dalil2 yg ada dan mari kita kaji dgn seksama perbedaan
pendapat tersebut..
Ada 3 pendapat yang berkenaan dengan hal wanita haid masuk masjid tersebut.
Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pendapat yg melarang wanita haid masuk masjid, hal ini kebanyakan diikuti
oleh sebagian ulama bermadzhab Maliki dan Hanafi. Mereka mutlak melarang
dalam apapun.
2. Pendapat yang membolehkan dengan syarat. Pendapat ini banyak diikuti dari
kalangan ulama bermadzhab Syafi‟i dan ulama dari madzhab Hambali.
Pendapatanya adalah melarang jika wanita tersebut menetap/berdiam di masjid,
kecuali sekedar lewat atau berjalan atau mengambil sesuatu yang ada di dalm
masjid saja. Artinya, membolehkan dengan syarat.
3. Pendapat yang membolehkan secara mutlak tanpa syarat apapun bagi wanita
haid berada di masjid selama diyakini darahnya tidak akan mengotori masjid.
Sekarang, mari kita kupas dalil2 yang ada sehubungan dengan pendapat2 tersebut,
agar kita bisa memilah dan memilih pendapat mana yang lebih mendekati
kebenaran.
I. Pendapat ulama yang melarang secara mutlak :
2. 1. “Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi
wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442. Didlaifkan dalam Al
Irwa‟ 1/124)
Hadits tersebut ternyata hadits dhaif karena ada rawi bernama Jasrah bintu
Dajaajah. Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh sekelompok ulama di antara
Al-Imam Al-Baihaqi Ibnu Hazm dan Abdul Haq Al-Asybili. Bahkan Ibnu Hazm
berkata: “Hadits ini batil.” dan juga telah di dhaifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dlm Irwa„ul Ghalil no. 124 Dha‟if Al-Jami„ush Shaghir no. 6117 dan Dha‟if
Sunan Abi Dawud.
1. “Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari
nomor 324)
Dalil tersebut digunakan untuk shalat „ied di lapangan, dan bukan untuk di masjid.
Rasulullah SAW menyebut kata “mushalla” biasanya adalah untuk tempat2 shalat
sunnah, seperti di lapangan untuk shalat „ied atau tempat shalat di rumah2 kita..
Dan beliau SAW menyebut masjid untuk tempat2 shalat wajib. Jadi, dalil ini pun
kurang tepat jika dijadikan dalil untuk melarang wanita ke masjid.
II. Pendapat Ulama yang membolehkan dengan syarat :
1.
Firman Allah Ta‟ala :
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan
kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan
dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi.”
(An Nisa‟ : 43)
Kata “shalat” di artikan tempat shalat.. Tetapi dalam ayat trersebut tidak
menyebutkan wanita haid. Wanita haid dalam ayat tersebut diqiyaskan dengan
kata junub. Sehingga ulama dari kalangan ini membolehkan dengan syarat hanya
sekedar lewat atau mengambil sesuatu di dalam masjid dengan dikuatkan oleh
dalil
3. 1. Hadits „Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa sallam telah
berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari
masjid. Lalu „Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda:
Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan atTurmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261, dan an-Nasa‟i, no. 272, dan
Ibnu Majah, no. 632).
Ada tambahan dari ulama kalangan madzhab Hambali, bahwa boleh menetap di
masjid selama orang yang berhadats besar tersebut dalam keadaan wudhu. Sesuai
dengan dalil yang ada dari Atha bin Yasar berkata : “Aku melihat beberapa orang
dari shahabat Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wa Sallam duduk di masjid dalam
keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudlu seperti wudlu shalat.”
(Dikeluarkan oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya dan isnadnya hasan).
Akan tetapi untuk wanita yang sedang haid maka tidak diperbolehkan berdiam diri
di masjid, karena berwudhunya dalam kondisi demikian tidak sah (Lihat, alMughniy, Ibnu Qatamah, 1/135-137). Dan yang demikian adalah pendapat Ishaq
bin Rahawaih juga.
III. Pendapat ulama yang membolehkan secara mutlak :
Beberapa ulama yang membolehkan secara mutlak adalah Ibnu Hazm, Ibnu
Mundzir, Al Muzanny dsb. Mereka berpendapat, bahwa tidak ada satupun dalil
sahahih yang melarang wanita haid berada di dalam masjid. Sedangkan dalil yang
membolehkan wanita haid berada di dalam masjid justru ada dan tergolong hadits
shahih. Adapaun dalil2 yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam
masjid, pada masa Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam. Tidak ada
keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam
memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan
haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.
4. 2.
Sabda Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam kepada „Aisyah radhiallahu
„anha yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau
Shallallahu „Alaihi Wa Sallam :
“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali jangan engkau
Thawaf di Ka‟bah.” (HR. Bukhari nomor 1650)
Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam tidak melarang „Aisyah
untuk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah haji boleh masuk ke masjid
maka demikian pula wanita haid (boleh masuk masjid).
3.
Sabda Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283 dan
Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)
1. Hadits „Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa sallam telah
berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari
masjid. Lalu „Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda:
Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan atTurmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261, dan an-Nasa‟i, no. 272, dan
Ibnu Majah, no. 632).
Hadits tersebut di atas tidak menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan
Aisyah harus segera keluar dari masjid atau boleh masuk masjid tapi sekedar
mengambil al-Humrah saja. Beliau SAW hanya menerangkan haid tidak di
tanganmu, sehingga selama aman dan tidak akan mengotori masjid, maka
diperbolehkan wanita untuk berada di dalam masjid tanpa batas waktu dan syarat2
tertentu.
1. Ayat QS 4;43 ttg “(jangan pula hampiri tempat shalat) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,..” berasal dari kata “..
walaa (dan jangan/tidak) junuban (orang yg junub) illaa (kecuali) „aabiriy
sabiyl (sekedar lewat/musafir)..”.
5. Ada perbedaan penafsiran dlm hal ini, krn kata jangan menghampiri tempat shalat
tidak ada dlm teks asli Al Quran. Perbedaan pendapat tersebut berada pada kata
“..‟aabiriy sabiyl..”. Ada yang menafsirkan sekedar lewat, ada pula yg
menafsirkan musafir.
Maka dlm kitab ibnu Hazm (al-Muhallaa, 2/174-175) bahwa seharusnya
penafsiran dari kata walaa (dan jangan/tidak) junuban (orang yg junub) illaa
(kecuali) „aabiriy sabiyl (sekedar lewat/musafir)..” yang dimaksud adalah “ wa laa
(dan jangan/tidak “shalat”) junuban (orang yg junub)..” bukan “mendekati tempat
shalat”.
Selain itu, jika benar diterjemahkan tempat shalat, maka, lapangan bisa jadi
tempat shalat (sesuai hadits tentang shalat „ied), atau rumah2 kita juga bisa jadi
tempat shalat. Bumi ini adalah tempat shalat, sesuai hadits Rasulullah SAW
“Dijadikan bumi ini bagiku tempat yang baik, alat bersuci dan masjid (tempat
sujud), maka bagi siapapun yang telah datang waktu shalat agar shalat di mana
saja.” (HR. Muslim, 5/32 dan Abu Dawud, no. 489)
Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Dijadikan bagi kami bumi ini
keseluruhannya adalah masjid, dan dijadikan debunya bagi kami alat bersuci
apabila tidak ada air.” (HR. Muslim, 5/4)
Berkata al-Imam an-Nawawiy : Berkata shahabat Abu Hanifah bahwa yang
dimaksud ayat tersebut adalah seseorang yang bepergian (musafir) jika dalam
keadaan junub dan tidakmendapati air diperbolehkan baginya bertayamum dan
mendirikan shalat meskipun sifat junub masih ada karena yang dimaksudkan
adalah hakekat shalatnya. Dan ulama Hanafiyah yang berpendapat demikian
adalah al-Murghinaniy dan Ibnu Hamam dan selain keduanya. Adapun tafsir yang
kedua, yang mengatakan bahwa maksud „aabiriy sabiyl” ialah sekedar berlalu di
dalam masjid tidak bersumber dari seorangpun dari Shahabat, dan diriwayatkan
dengan sanad yang lemah dari Abdullah bin Mas‟ud, Abdullah bin Abbas.
Sehingga menurut pendapat kelompok ini, tidak ada satupun dalil yang shahih dan
pasti yang melarang wanita haid berada di dalam masjid dengan alasan dan
keadaan apapun.
6. Demikian telah diterangkan panjang lebar mengenai wanita haid beserta dalil2
yang ada. Silahkan ambil salah satunya yang anda anggap paling kuat landasan
hokum dan dalil2nya. Kebenaran mutlak adalah milik Allah, akan tetapi Allah
telah memberikan kita alat agar kita bisa memilah dan memilih sebuah kebenaran.
Wallahu a‟lam….
Bayan