1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana yang telah banyak orang ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW telah
memberi pengarahan-pengarahan yang khusus terhadap kaum Hawa, hal ini seiring Al-Quran
dan Al-Hadits yang mengkhususkan pembahasan bagi wanita yang berkaitan dengan fitrah
wanita itu sendiri yang tidak dimiliki oleh kaum Adam, masalah haid misalnya, yang secara
fitrah akan dimiliki oleh wanita normal serta subur dan boleh hamil.
Sebagaimana diungkapkan Rasullullah SAW. Juga, “syurga itu berada dibawah telapak
kaki ibu.” Pada hadits lain beliau mengatakan, “wanita adalah tiang negara. Jika wanitanya
baik, baik pula negaranya. Dan apabila buruk wanitanya, maka buruk pulalah negaranya”.
Untuk itu keutamaan sikap hidup menuju citra muslimah sejati harus selalu diusahakan
melalui berbagai cara. Dan salah satu jalan yang tidak diragukan adalah dengan pendekatan
diri yang lebih tulus kepada Allah. Yaitu lewat pengabdian dan ibadah sebaik-baiknya.
Menstruasi atau haid terjadi secara periodik pada semua perempuan sehat yang memiliki
organ reproduksi sehat juga. Haid bahkan bisa menjadi indikator kesuburan.
Namun siklus bulanan tersebut kerap menjadi masalah bagi wanita( sebagaimana pada
kasus menunaikan ibadah haji dan puasa ramadhan tadi) karean hukum islam melarang
wanita yang sedang haid melakukan ibadah.
Nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat alat kandungan pulih
kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama 6-8 minggu. Periode
nifas merupakan masa kritis bagi ibu, diperkirakan 60 % kematian ibu akibat kehamilan
terjadi setelah persalinan yang mana 50% dari kematian ibu tersebut terjadi 24jam pertama
setelah persalinan. Dan ada suatu hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama masa
Nifas, termasuk kedalamnya, beribadah, bersetubuh dengan suami dan lain-lain. Untuk itu
perawatan saat masa nifas merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Perawatan
masa nifas mencakup berbagai aspek mulai dari pengaturan dalam Kesehatan, anjuran untuk
kebersihan, menghindari hal-hang tidak diperbolehkan.Selain perawatan nifas dengan
memanfaatkan sistem pelayanan biomedical ada juga ditemukan sejumlah pengetahuan dan
perilaku budaya dalam perwatan masa nifas.
ii
2. B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ibadan yang boleh dilakukan bagi wanita haid
2. Bagaimana Pengertian nifas.
3. Bagaimana Mengenali Darah Nifas
4. Bagaimana Lama Keluarnya Darah Nifas
5. Bagaimana Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas.
6. Bagaimana Hukum-hukum Seputar Nifas
7. Bagaimana wajib sehabis nifas
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Ibadan yang boleh dilakukan bagi wanita haid
2. Untuk mengetahui Bagaimana Pengertian nifas.
3. Untuk mengetahui Bagaimana Mengenali Darah Nifas.
4. Untuk mengetahui Bagaimana Lama Keluarnya Darah Nifas
5. Untuk mengetahui Bagaimana Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas.
6. Untuk mengetahui Bagaimana Hukum-hukum Seputar Nifas
7. Untuk mengetahui Bagaimana wajib sehabis nifas
ii
3. BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibadan yang boleh dilakukan bagi wanita haid
Syaikh Kholid bin „Abdillah Al Mushlih hafizhohullah mengatakan haid dan nifas adalah
suatu ketetapan Allah bagi kaum hawa karena ada hikmah dan rahmat di balik itu semua.
Para ulama telah sepakat (baca: ijma‟) bahwa wanita haidh dan nifas dilarang melakukan
shalat yang wajib maupun yang sunnah, serta tidak perlu mengqodho‟ (mengganti)
shalatnya. Begitu pula para ulama sepakat bahwa wanita haidh dan nifas dilarang berpuasa
yang wajib maupun yang sunnah selama masa haidhnya. Namun mereka wajib mengqodho‟
puasanya tersebut. Para ulama pun sepakat bahwa wanita haidh dan nifas boleh untuk
berdzikir dengan bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), dan dzikir lainnya.
Adapun membaca Al Qur‟an tentang bolehnya bagi wanita haidh dan nifas terdapat
perselisihan pendapat. Yang tepat dalam hal ini, tidak mengapa wanita haid dan nifas
membaca Al Qur’an sebagaimana akan datang penjelasannya. Begitu pula tidak mengapa
wanita haidh dan nifas melakukan amalan sholih lainnya selain yang telah kami sebutkan
ditambah thowaf.
Dalam riwayat Bukhari (294) dan Muslim (1211) dari jalur „Abdurrahman bin Al Qosim, dari
Al Qosim bin Muhammad, dari „Aisyah, ia berkata, “Aku pernah keluar, aku tidak ingin
melakukan kecuali haji. Namun ketika itu aku mendapati haidh. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam akhirnya mendatangiku sedangkan aku dalam keadaan menangis. Belia
berkata, “Apa engkau mendapati haidh?” Aku menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Ini sudah
jadi ketetapan Allah bagi kaum hawa. Lakukanlah segala sesuatu sebagaimana yang
dilakukan orang yang berhaji kecuali thowaf keliling Ka‟bah.” Dari sini maka hendaklah
laki-laki dan perempuan bersemangat untuk melakukan berbagai kebaikan. Tidak
sepantasnya melarang wanita di masa haidh dan nifasnya dari berbagai kebaikan lainnya
karena ini merupakan tipu daya syaithan. Mereka hanya terlarang melakukan shalat, puasa,
dan thowaf, sedangkan yang lainnya mereka boleh menyibukkan diri dengannya. Adapun
khusus untuk membaca Al Qur‟an bagi wanita haid, maka di sini terdapat perselisihan di
kalangan para ulama rahimahullah. Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Bolehnya membaca Al Qur‟an bagi wanita haidh dan nifas, asalkan tidak
menyentuh mushaf Al Qur‟an. Inilah pendapat dari Imam Malik, juga salah satu pendapat
dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Al Bukhari,
Daud Azh Zhohiri, dan Ibnu Hazm.
Pendapat kedua: Bolehnya membaca sebagian Al Qur‟an, satu atau dua ayat, bagi wanita
haidh dan nifas. Ada yang menyebutkan bahwa tidak terlarang membaca Al Qur‟an kurang
dari satu ayat.
ii
4. Pendapat ketiga: Diharamkan membaca Al Qur‟ab bagi wanita haidh dan nifas walaupun
hanya sebagian saja. Inilah pendapat mayoritas ulama, yakni ulama Hanafiyah, ulama
Syafi‟iyah, ulama Hambali dan selainnya. Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa inilah
pendapat kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kalangan tabi‟in dan ulama setelahnya.
Setiap pendapat di atas memiliki dalil pendukung masing-masing. Namun yang terkuat
menurut kami adalah bolehnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan nifas. Inilah
pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Seandainya wanita haidh terlarang membaca Al
Qur‟an, tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya dengan
penjelasan yang benar-benar gamblang, lalu tersampaikanlah pada kita dari orang-orang yang
tsiqoh (terpercaya). Jika memang benar ada pelarangan membaca Al Qur‟an bagi wanita
haidh dan nifas, tentu akan ada penjelasannya sebagaimana diterangkan adanya larangan
shalat dan puasa bagi mereka. Kita tidak bisa berargumen dengan dalil pelarangan hal ini
karena para ulama sepakat akan kedho‟ifannya. Hadits yang dikatakan bahwa para ulama
sepakat mendho‟ifkannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Ibnu „Umar
radhiyallahu ‘anhu secara marfu‟ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),
“Tidak boleh membaca Al Qur’an sedikit pun juga bagi wanita haidh dan orang yang junub.
Imam Ahmad telah membicarakan hadits ini sebagaimana anaknya menanyakannya pada
beliau lalu dinukil oleh Al „Aqili dalam Adh Dhu‟afa‟ (90), “Hadits ini batil. Isma’il bin
‘Iyas mengingkarinya.” Abu Hatim juga telah menyatakan hal yang sama sebagaimana
dinukil oleh anaknya dalam Al „Ilal (1/49). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Fatawanya (21/460), “Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana kesepakatan para ulama
pakar hadits.”Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Fatawanya (26/191), “Hadits ini tidak
diketahui sanadnya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini sama sekali tidak
disampaikan oleh Ibnu „Umar, tidak pula Nafi‟, tidak pula dari Musa bin „Uqbah, yang di
mana sudah sangat ma‟ruf banyak hadits dinukil dari mereka. Para wanita di masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudang seringkali mengalami haidh, seandainya
terlarangnya membaca Al Qur‟an bagi wanita haidh/nifas sebagaimana larangan shalat dan
puasa bagi mereka, maka tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerangkan hal
ini pada umatnya. Begitu pula para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya
dari beliau. Tentu saja hal ini akan dinukil di tengah-tengah manusia (para sahabat). Ketika
tidak ada satu pun yang menukil larangan ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tentu saja membaca Al Qur‟an bagi mereka tidak bisa dikatakan haram. Karena senyatanya,
beliau shallallahu „alaihi wa sallam tidak melarang hal ini. Jika Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam sendiri tidak melarangnya padahal begitu sering ada kasus haidh di masa itu, maka
tentu saja hal ini tidaklah diharamkan.”
ii
5. Syaikhul Islam telah menjelaskan secara global tentang pembolehan membaca Al Qur‟an
bagi wanita haidh dengan menyebutkan kelemahan hadits yang membicarakan hal itu.
Syaikhul Islam mengatakan dalam Majmu‟ Al Fatawa (21/460), “Sudah begitu maklum
bahwa wanita sudah seringkali mengalami haidh di masa beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, namun tidak ditemukan bukti beliau melarang membaca Al Qur‟an kala itu.
Sebagaimana pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang berdzikir dan berdo‟a
bagi mereka. Bahkan Nabi shallallahu „alaihi wa sallam sendiri memerintahkan kepada para
wanita untuk keluar saat ied, lalu bertakbir bersama kaum muslimin. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam pun memerintahkan kepada wanita haidh untuk menunaikan seluruh
manasik kecuali thawaf keliling ka‟bah. Begitu pula wanita boleh bertalbiyah meskipun ia
dalam keadaan haidh. Mereka bisa melakukan manasik di Muzdalifah dan Mina, juga boleh
melakukan syi‟ar lainnya.”
B. Pengertian nifas.
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar
bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan
dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dll. Rasa sakit yang dimaksud
adalah rasa sakit yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang keluar tidak
disertai rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti dengan proses kelahiran bayi,
maka itu bukan darah nifas.
Selain itu, darah yang keluar dari rahim baru disebut dengan nifas jika wanita tersebut
melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Jika seorang wanita mengalami keguguran
dan ketika dikeluarkan janinnya belum berwujud manusia, maka darah yang keluar itu bukan
darah nifas. Darah tersebut dihukumi sebagai darah penyakit (istihadhah) yang tidak
menghalangi dari shalat, puasa dan ibadah lainnya.
Perlu ukhty ketahui bahwa waktu tersingkat janin berwujud manusia adalah delapan puluh
hari dimulai dari hari pertama hamil. Dan sebagian pendapat mengatakan sembilan puluh
hari.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas‟ud sradhiyallahu „anhu ,bahwasanya Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu „alaihi wa
sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang benar, “Sesungguhnya
seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam
bentuk nuthfah, kemudian menjadi „alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah
seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di
dalamnya, dan diperintahkan kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya,
ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibnu Taimiyah, “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit
sebelum masa (minimal) itu, maka tidak dianggap sebagai nifas. Namun jika sesudah masa
ii
6. minimal, maka ia tidak shalat dan puasa. Kemudian apabila sesudah kelahiran ternyata tidak
sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk manusia-pen) maka ia segera kembali
mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia-pen),
tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan
kewajiban.” (kitab Syarhul Iqna‟).
C. Mengenali Darah Nifas.
Secara
1.
ringkas
dapat
disimpulkan
beberapa
hal
untuk
mengenali
darah
nifas:
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik sebelum,
bersamaan atau sesudah melahirkan.
2.
Disertai dengan tanda-tanda akan melahirkan (seperti rasa sakit, dll) yang diikuti
dengan proses kelahiran.
D. Lama Keluarnya Darah Nifas
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Risalah fid Dima‟ Ath-Thabi‟iyah lin Nisa
mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang apakah nifas itu ada batas minimal dan
maksimalnya. Adapun Syaikh „Abdul „Azhim bin Badawi al Khalafi di dalam Al Wajiz fii
Fiqhis Sunnah wal Kitabil „Aziz mengatakan bahwa nifas ada batas maksimalnya, yaitu
empat puluh hari. Pendapat beliau berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu
„anha. Ummu Salamah radhiyallahu „anha berkata, “Kaum wanita yang nifas tidak shalat
pada masa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam selama empat puluh hari.” (HR. Ibnu
Majah dan Tirmidzi. Hadits hasan shahih). Waktu empat puluh hari dihitung sejak keluarnya
darah, baik darahnya itu keluar bersamaan, sebelum atau sesudah melahirkan.
Pendapat yang kuat, Insya Allah, pada dasarnya tidak ada batasan minimal atau maksimal
lama waktu nifas. Waktu empat puluh hari adalah kebiasaan sebagian besar kaum wanita.
Akan tetapi apabila sebelum empat puluh hari wanita tersebut telah suci, maka ia wajib
mandi dan melakukan ibadah wajibnya lagi. Mengenai banyaknya darah, juga tidak ada
batasan sedikit atau banyaknya. Selama darah nifas masih keluar maka sang wanita belum
wajib mandi (bersuci).
Secara ringkas, ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas:
1. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari dan tidak keluar lagi setelah itu. Maka sang
wanita wajib mandi (bersuci) dan kemudian melakukan ibadah wajibnya lagi, seperti
shalat dan puasa, dll.
2. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari, akan tetapi kemudian darah keluar lagi
sebelum hari ke-40. Maka, jika darah berhenti ia mandi (bersuci) untuk shalat dan puasa.
Jika darah keluar, ia harus meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, bila berhentinya
darah kurang dari sehari, maka tidak dihukumi suci
ii
7. 3. Darah nifas terus keluar dan baru berhenti setelah hari ke-40. Maka sang wanita harus
mandi (bersuci).
4. Darah terus keluar hingga melebihi waktu 40 hari. Ada beberapa kondisi:
a. Darah nifas berhenti dilanjutkan keluarnya darah haid (berhentinya darah nifas bertepatan
waktu haid), maka sang wanita tetap meninggalkan shalat dan puasa. Darah yang keluar
setelah 40 hari dihukumi sebagai darah haid. Sang wanita baru wajib mandi (bersuci)
setelah darah haid tidak keluar lagi.
b. Darah tetap keluar setelah 40 hari dan tidak bertepatan dengan kebiasaan masa haid, ulama
berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut ulama yang berpendapat bahwa lama
maksimal nifas adalah 40 hari, menilai darah yang keluar setelah 40 hari sebagai darah
fasadh (penyakit) yang statusnya adalah sebagaimana istihadhah. Sedangkan menurut
ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal lama nifas,
mereka menilai darah yang keluar setelah 40 hari tetap sebagai darah nifas. Pendapat
inilah yang lebih kuat, insya Allah. Akan tetapi, jika ingin berhati-hati, setelah 40 hari
dinilai suci. Sehingga sang wanita bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa, meski
darah tetap keluar. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada 2 keadaan:
1.
Ada tanda bahwa darah akan berhenti/ makin sedikit. Maka sang wanita menunggu
darah berhenti keluar, baru kemudian mandi (bersuci)
2.
Ada kebiasaan dari kelahiran sebelumnya, maka itu yang dipakai. Misal, sang wanita
telah mengalami beberapa kali nifas yang lamanya 50 hari. Maka batasan ini yang
dipakai.
E. Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas
Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas diharamkan melakukan apa saja
yang diharamkan bagi wanita yang haid. Antara lain,
1. Sholat.
Wanita yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah, dan
mereka tidak perlu menggantinya apabila suci. (Ibnu Hazm di dalam kitabnya alMuhalla)
2. Puasa.
Wanita yang sedang nifas tidak boleh melakukan puasa wajib maupun sunnah. Akan
tetapi ia wajib mengqadha puasa wajib yang ia tinggalkan pada masa nifas.
Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu „anha, “Ketika kami mengalami haid, kami
diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha
shalat.” (Muttafaq „alaih)
3. Thawaf.
Wanita haid dan nifas diharamkan melakukan thawaf keliling ka‟bah, baik yang
wajib maupun sunnah, dan tidah sah thawafnya. Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
ii
8. bersabda kepada Aisyah radhiyallahu „anha, “Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah
haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di ka‟bah sampai kamu suci.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
4. Jima‟.
(lihat sub judul “Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas”)
5. Tidak bleh diceraikan.
Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau nifas. Allah
Ta‟ala berfirman,
ال
ال
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka,
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah
itu, serta bertaqwalah kepada Allah Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka, dan janganlah mereka (diijinkan) ke luar, kecuali kalau mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Kamu tidak mengetahui, barangkali Allah mengadakan sesudah itu, sesuatu hal yang baru.".”
(Qs. ath-Thalaq: 1)
F. Hukum-hukum Seputar Nifas
Tidak ada perbedaan hukum antara haid dan nifas, kecuali beberapa hal di bawah ini:
1.Iddah
Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka (dari
berkahwin) selama tiga kali suci (dari haid). Dan tidaklah halal bagi mereka
menyembunyikan (tidak memberitahu tentang) anak yang dijadikan oleh Allah dalam
kandungan rahim mereka, jika betul mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
ii
9. suami-suami mereka berhak mengambil kembali (ruju` akan) isteri-isteri itu dalam masa
iddah mereka jika suami-suami bertujuan hendak berdamai. Dan isteri-isteri itu mempunyai
hak yang sama seperti kewajipan yang ditanggung oleh mereka (terhadap suami) dengan cara
yang sepatutnya (dan tidak di larang oleh syarak) dalam pada itu orang-orang lelaki (suamisuami itu) mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan (isterinya). Dan
(ingatlah), Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah: 228)
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, yang dimaksud „quru„ adalah
haid, dan inilah pendapat yang lebih kuat, insyaa Allah. Oleh karena itu, masa iddah dihitung
berdasarkan haid, bukan nifas. Sebab, jika suami menceraikan istrinya sebelum melahirkan,
masa iddahnya habis karena melahirkan, bukan karena nifas. Adapun jika suami menceraikan
istrinya setelah melahirkan, maka masa iddahnya adalah sampai sang istri mendapat 3 kali
haid.
2.MasaIla‟
Ila‟ adalah sumpah seorang laki-laki untuk tidak melakukan jima‟ terhadap istrinya
selamanya atau lebih dari empat bulan. Setelah masa empat bulan, bila sang istri meminta
untuk berhubungan, maka sang suami harus memilih antara jima‟ atau bercerai.
Masa haid termasuk hitungan masa ila‟, sedangkan masa nifas tidak. Jadi, apabila seorang
suami bersumpah untuk tidak berjima‟ dengan istrinya, sedangkan istrinya sedang dalam
keadaan nifas, maka masa ila‟ ditetapkan empat bulan ditambah masa nifas. Setelah masa itu,
bila sang istri meminta untuk melakukan jima‟, sang suami harus memilih apakah jima‟ atau
bercerai.
3.Baligh.
Masa baligh terjadi dengan haid, bukan nifas. Karena seorang wanita tidak mungkin hamil
sebelum baligh .
G. Wajib sehabis nifas
Para ulama telah ijmak mengatakan bahawa wajib mandi dengan sebab keluar darah nifas.
Termasuk di dalam perkara yang mewajibkan mandi ialah wiladah iaitu mandi kerana
beranak, sekalipun melahirkan tanpa basah (darah). Begitu juga bagi perempuan yang
mengalami keguguran anak, tidak terkecuali dari pada kewajipan mandi, sama ada keguguran
itu hanya berupa darah beku („alaqah) ataupun hanya berbentuk seketul daging (mudhghah).
Bagi sebilangan perempuan yang terpaksa menjalani pembedahan perut untuk
mengeluarkan anak, maka dikategorikan hal yang sedemikian itu sebagai wiladah maka wajib
ke atas perempuan tersebut melakukan mandi. Perlu diingat, mandi karana beranak dan
mandi kerana nifas mempunyai perbedaan. Bagi mengelak kekeliruan, maka darah nifas ialah
darah yang keluar dari rahim perempuan selepas melahirkan anak sekalipun hanya setitik.
Bermulanya darah nifas itu keluar sebelum berlalu lima belas hari setelah seseorang
perempuan melahirkan anak. Andaikata darah itu tidak keluar melainkan setelah berlalu masa
ii
10. selama lima belas hari atau lebih, maka darah yang keluar itu tidak dikatakan sebagai nifas
tetapi ia merupakan darah haidh. Maka dalam hal ini perempuan tersebut diwajibkan mandi
kerana nifas.
Manakala mandi kerana wiladah ialah apabila seorang perempuan itu melahirkan anak atau
mengalami keguguran anak sekalipun hanya berupa darah beku („alaqah) atau hanya
berbentuk seketul daging (mudhghah). Maka wajib bagi perempuan itu mandi kerana beranak
(wiladah) setelah berlakunya kelahiran atau keguguran sebagaimana disebutkan.
Maka apabila seorang perempuan telah melahirkan anak, dia wajib mandi kerana beranak
(wiladah) dan wajib juga ke atasnya mandi nifas setelah berhenti darahnya atau habis tempoh
masa yang sederhana iaitu empat puluh hari empat puluh malam atau masa paling maksima
selama enam puloh hari enam puloh malam.
ii
11. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak sepantasnya melarang wanita di masa haidh dan nifasnya dari berbagai kebaikan
lainnya karena ini merupakan tipu daya syaithan. Mereka hanya terlarang melakukan shalat,
puasa, dan thowaf, sedangkan yang lainnya mereka boleh menyibukkan diri dengannya.
Adapun khusus untuk membaca Al Qur‟an bagi wanita haid, maka di sini terdapat
perselisihan di kalangan para ulama rahimahullah. Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Bolehnya membaca Al Qur‟an bagi wanita haidh dan nifas, asalkan tidak
menyentuh mushaf Al Qur‟an. Inilah pendapat dari Imam Malik, juga salah satu pendapat
dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Al Bukhari,
Daud Azh Zhohiri, dan Ibnu Hazm.
Pendapat kedua: Bolehnya membaca sebagian Al Qur‟an, satu atau dua ayat, bagi wanita
haidh dan nifas. Ada yang menyebutkan bahwa tidak terlarang membaca Al Qur‟an kurang
dari satu ayat.
Pendapat ketiga: Diharamkan membaca Al Qur‟ab bagi wanita haidh dan nifas walaupun
hanya sebagian saja. Inilah pendapat mayoritas ulama, yakni ulama Hanafiyah, ulama
Syafi‟iyah, ulama Hambali dan selainnya. Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa inilah
pendapat kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kalangan tabi‟in dan ulama setelahnya.
Bahwa Nifas adalah darah yang keluar disebabkan oleh kelahiran anak. Hukum yang
berlaku pada nifas adalah sama seperti hukum haid, baik mengenai hal2 yang
diperbolehkan,diharamkan, diwajibkan maupun di hapuskan. Karena nifas adalah darah haid
yang tertahan karena proses kehamilan. Takaran maksimal bagi keluar darah nifas ini adalah
40 hari.
Manakala mandi kerana wiladah ialah apabila seorang perempuan itu melahirkan anak
atau mengalami keguguran anak sekalipun hanya berupa darah beku („alaqah) atau hanya
berbentuk seketul daging (mudhghah). Maka wajib bagi perempuan itu mandi kerana beranak
(wiladah) setelah berlakunya kelahiran atau keguguran sebagaimana disebutkan. Seorang
suami diharamkan untuk menyetubuhi istrinya selama dia masih nifas. Apabila darah nifas
seorang wanita telah terhenti maka dia wajib mandi, sesuai dengan kesepakatan ulama umat
ini sehingga wanita itu menjadi suci dari nifasnya, setelah itu suami diperbolehkan untuk
menyetubuhinya. Adapun hukum menyetubuhinya sebelum ia mandi dan setelah darah
nifasnya terhenti adalah tidak boleh, sebagaimana larangan terhadap wanita yang haid.
B. Saran
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kritik yang sifatnya
memabangun sangat kami harapkan.
ii
13. KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT,Karena atas berkat dan rahmat-Nya
penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah Agama ini. Dengan kami harapkan
kiranya makalah yang telah kami susun dapat bermanfaat bagi para pembaca atau pihak lain
yang membutuhkan informasi dalam makalah Pandangan islam Tentang “PELAKSANAAN
IBADAH BAGI WANITA HAID DAN NIFAS MENURUT AJARAN ISLAM”
Dalam makalah ini terdapat banyak sekali informasi mengenai nilai-nilai yang berkaitan dan
menjadi dasar dalam Kebidanan.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini jauh dari kata sempurna,untuk itu
kami berbesar hati untuk menerima segala kritik dan saran dari berbagai pihak.Kami juga
tidak lupa menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah bersedia
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata kami mohon maaf atas kekurangan serta kejanggalan baik isi maupun dalam
teknik penyusunannya.
Raha, November 2013
Penyusun
ii
14. DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah................................................................................................ 2
1.3 Tujuan................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Ibadan yang boleh dilakukan bagi wanita haid.............................................. 3
B. Pengertian nifas............................................................................................. 5
C. Mengenali Darah Nifas.................................................................................. 6
D. Lama Keluarnya Darah Nifas........................................................................ 6
E. Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas....................................... 7
F. Hukum-hukum Seputar Nifas........................................................................ 8
G. wajib sehabis nifas......................................................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN................................................................................................. 11
3.2 SARAN............................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 12
ii
15. TUGAS : Agama Kelompok
DOSEN : Drs. H.M SYAHRUDDIN,Apt
MAKALAH
PELAKSANAAN IBADAH BAGI WANITA HAID
DAN NIFAS MENURUT AJARAN ISLAM
DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 9
1.
ISNAWATI ( 2013.IB.0073)
2.
WIWIN WINARSIH ( 2013.IB.0103)
AKADEMI KEBIDANAN PARAMATA RAHA
KABUPATEN MUNA
2013 / 2014
ii