SlideShare a Scribd company logo
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Diskursus Munâsabah Al-Qur’an:
Menyoal Perdebatan Otentisitas Al-Qur’an
Oleh:
Hasani Ahmad Said1
Abstrak
Studi kajian terhadap Alquran telah berjalan dalam sejarah yang cukup
panjang. Alquran adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal
kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk
sekelompok manusia ketika ia diturunkan, tetapi juga untuk seluruh manusia
hingga akhir zaman. Dari ulama klasik hingga sekarang puluhan atau bahkan
ratusan buku yang mengkaji akan kemukjizatan Alquran. Bahkan, Alquran
sendiri menyatakan dirinya sebagai mukjizat. Tetapi tidak demikian dengan
para ilmuan Barat dan orientalis. Bahkan mereka mempertanyakan
otentisitas Alquran. Salah satu kajian yang menjadi diskursus perdebatan
adalah aspek munâsabah. Maka, tulisan ini penting untuk didiskusikan
dalam rangka menjawab keraguan tersebut.
Kata Kunci: Munâsabah, otentisitas, Alquran.
Pendahuluan
Alquran bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala
hal.2 Alquran tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus
dimitoskan,3 karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara
1 Dosen Tafsir Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung
2Nilai-nilai dasar Alquran mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia secara utuh dan komprehensif (Q.S. al-An‟âm/6:37). Tema-tema
pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan
anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, dan
makhluk-makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran
ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern (QS. al-Hujurât/15:9),
sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-
Furqân/25:1).
3 Kajian Alquran sebagai kitab mitos, pernah dikaji pada karya
disertasi dengan judul al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur‟ân al-Karîm ini
merupakan ijtihad akademik Muhammad Ahmad Khalafullâh yang
dipertahankan dalam sidang munâqasyah di Universitas al-Azhar Kairo
Mesir. Dalam fersi Indonesia karya Khalafullah, diterjemahkan Al-Qur‟an
Bukan “Kitab Sejarah” Seni, Sastra Dan Moralitas Dalam Kisah-Kisah Al-
Quran,” oleh Zuhairi Misrawi dan Anis Maftuhin, diterbitkan Paramadina,
tahun 2002. Lihat, Muhammad Ahmad Khalafullâh, al-Fann al-Qashâshî fî
112 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Alquran dengan realitas sosial. Alquran di satu pihak diidealisasi
sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak
lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis,
rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai Alquran yang
dialamatkankan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas
itu. Karena itu perlu adanya tafsîr4 untuk mengungkap,
menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-prinsip
kandungan Alquran tersebut.5 Alquran dalam tradisi keilmuan
Islam, telah melahirkan sederet teks turunan yang demikian
al-Qur‟ân al-Karîm, syarah wa al-ta‟lîq oleh Khalîl „Abd al-Karîm, (Beirut,
Kairo, Sînâ lî al-Nasyr wa al-Intisyâr al-„Araby, 1999. lihat pula karya Andy
Hadiyanto, yang bertajuk Repetisi Kisah Al-Qur‟an (Analisis Struktural
Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan Madaniyyah),
disertasi UIN, tahun 2009.
4 Secara etimologis, kata tafsîr (exegesis) berasal dari bahasa Arab,
fassara-yufassiru-tafsîran. Derifasi ini mengandung pengertian: menyingkap
(al-Kasyfu), memperjelas (idzhâr) atau menjelaskan. Lihat „Ali bin
Muhammad bin „Ali al-Jurjani, al-Ta‟rifât, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabi,
1405 HLM.), hlm. 87., A. Warson memberikan pengertian kata tafsîr
merupakan bentuk mashdâr yang berarti menjelaskan, memberi komentar,
menterjemahkan atau mentakwilkan. Lihat A.Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984),
hlm. 1134. Ibnu Manzdûr dalam kamus besar Lisân al-„Arâb, beliau berkata:
kata al-fasru berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsîr
menyingkap sesuatu lafad yang susah dan pelik. Lihat Ibnu Mandzûr al-
Afriqi, Lisân al-„Arâb, (Beirut: Dâr al-Shadîr, tthlm.), j.5, hlm. 55. Secara
terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas tentang apa yang
dimaksud oleh Allah dalam Alquran sepanjang kemampuan manusia.
Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr,
tthlm.), Jilid II, hlm. 3, bandingkan pula dengan Muhamad Husain al-
Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), jilid
II, hlm. 15. Kata tafsir dalam Alquran disebut satu kali dalam Alquran Q.S.
al-Furqan (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan
dengan tafsîr ialah ta‟wîl disebut dalam Alquran sebanyak 17 kali. Lihat
Muhammad Fu‟ad „Abdul Bâqî, al-Mu‟jâm al-Mufharas li al-Fâdz al-Qur‟ân,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), hlm. 97. dan di antara para ahli ada yang
menyamakan pengertian antara keduanya, namun ada juga yang
membedakannya, kontroversi ini disampaikan antara lain oleh al-Zarqânî,
Manâhil al-Irfân fi „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Jilid II, hlm. 4-6,
lihat pula Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an, (Beirut: Dâr al-
Fikr: tt.), juz II, hlm. 173-174.
5 M. Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsîr al-Qur‟an di Indonesia Abad 20,
Jurnal Ulûmul Qur‟an, Vol. III, no.4, 1992, hlm. 50
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 113
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
mengagungkan. Teks-teks turunan itu merupakan karya-karya
spektakuler yang lahir dari tangan-tangan ulama dengan beragam
model dan metode.6
Sejarah perkembangan tafsir tidak terlepas dari corak
penafsiran7 yang dihasilkan oleh setiap generasi dalam penggal
sejarah tertentu, di mana dalam menyajikan kandungan dan pesan-
pesan firman Allah Swt. terdapat ekspresi dan karakter yang
impresif. Jangankan pada generasi yang berbeda, generasi yang
samapun, seperti generasi sahabat8 sudah memperlihatkan
fenomena perselisihan pendapat dalam memahami Alquran.9
6 Keheterogenan metode penafsiran yang dipakai oleh mufasir
tersebut dapat dilihat berikut ini: kita misalanya mengenal Tafsir al-Durr
al-Mansûr fî al-Tafsîr bi al-Ma‟sûr karya Jalâluddîn al-Suyûthî (849-911
HLM.), Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ayi al-Qur‟ân karya Muhammad Abû Ja‟far
Muhammad Ibnu Jarîr al-Thahabarî (224-310 HLM.), dan Tafsîr al-Qur‟ân
al-„Adzîm karya Imamuddîn Abû al-Fida‟ al-Quraisyi al-Dimasyqi Ibn
Katsîr (700-774 HLM.), yang sangat kuat merujuk kepada data-data
riwayat sebagai bentuk representasi metode tafsîr bi al-Ma‟tsûr. Pada karya
tafsir yang lain, kita bisa melihat misalnya al-Jauhâr fî Tafsîr al-Qur‟ân karya
Tanthawi Jauharî (W. 876 HLM.) yang banyak mengadopsi disiplin ilmu
pengetahuan alam, al-Kasyf „an Haqîqat al-Tanzîl wa „Uyûn al-Aqâwîl fî
Wujûh al-Ta‟wîl karya al-Jamakhsyarî (476-538 HLM.) yang sangat
mengagungi rasionalitas. Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr karya
Rasyîd Ridhâ (1282-1354 HLM.) yang lebih mengedepankan tafsirnya
sebagai pedoman dalam kehidupan sosial kemasyrakatan dan Ahkâm al-
Qur‟ân karya al-Qurthûbî (w. 1272 HLM.) yang memfokuskan kajiannya
pada masalah-masalah fiqihlm.
7 Ada beberapa macam metode dan corak penafsiran Alquran.
„Abd Al-Hay al-Farmawi membagi metode yang dikenal selama ini
menjadi empat, yaitu analisis, komparatif, global dan tematik (penetapan
topik). Metode analisis tersebut bermacam-macam coraknya, salah satu
diantaranya adalah corak adab al-Ijtimâ‟î (budaya kemasyarakatan). Lihat,
„Abd. Al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû‟i, (Kairo: al-
Hadharah al-„Arabiyah, 1977), cet. Ke-2, hlm. 23-24, lihat pula M. Quraish
Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta:
Lentera hati, 2006), cet.II, hlm. 24-25, bandingkan pula, M. Quraish Shihab,
Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), cet.XV, hlm. 83-91, M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟ân Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 2007), cet. I, hlm. xv-xvi
8 Setelah Rasulullah wafat (11 HLM.), kepeloporan beliau dibidang
tafsir dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat-sahabat yang ahli di
bidang tafsir misalnya: Khulafâ‟ al-Rasyidîn Abu Bakar (w. 13 HLM.),
114 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Para ulama sepakat akan kemukjizatan Alquran. Namun
demikian, ada segelintir orang yang masih menyoal akan
kemukjizatan Alquran. Diantaranya seperti yang diungkap
Mushthafâ Shâdiq al-Râfi‟î (w. 1297 H./1937 M.),10 yaitu Abû Ishâq
al-Nadzam (w. 321 H./933 M).11 Tokoh dari aliran lain yang
„Umar bin Khattâb (w. 23 HLM.), Utsmân bin ‟Affân (w. 35 HLM.), dan „Ali
bin Abî Thâlib (w. 40 HLM.), Ibn „Abbâs (w. 68 HLM.), „Abdullah dan
Zubair, Ubay bin Ka‟b (w. 20 HLM.), Zaid bin Tsâbit, dan Abû Mûsâ al-
Asy‟ârî (w. 44 HLM.). lihat, Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al-
Qur‟an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 27-28. Di samping sepuluh
sahabat yang tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut para penafsiran
yang dilakukan oleh Nabi, yaitu Abû Hurairah (w.58 HLM.), Anas bin
Mâlik, „Abdullah bin „Umar (w. 73 HLM.), Jâbir bin Abdullah, A„isyah (w.
57 HLM.), dan Amr bin Ashlm. Mereka dipandang sebagai generasi
pertama mufasir. Lihat lebih lanjut, Mannâ„ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî
„Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Mansyûrât al-„Ashr al-Hadîts, 1393 HLM.), cet. 3,
hlm. 343
9 Adalah suatu kenyataan sejarah, bahwa pemahaman dan
penafsiran terhadap Alquran memiliki kecenderungan dan corak yang
berbeda-beda antara satu generasi kegenerasi berikutnya, antara satu
kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Perbedaan corak
penafsiran ini tidak bisa dilepaskan dari perbedaan madzhab, setting sosial,
kemampuan intelektual dan juga niat atau tujuan mufasir dalam menulis
kitab tafsirnya tersebut. Satu hal yang perlu diingat bahwa Alquran tidak
akan pernah habis di tafsirkan. Di sisi lain, keragaman penafsiran yang
dihasilkan tiap generasi juga merupakan gambaran konsekunsi logis dari
keyakinan bahwa Alquran, sebagai kitab suci yang diturunkan terahkir,
mampu berdialog dengan setiap generasi yang datang kemudian. Ajaran
dan semangat yang dibawanya bersifat universal, rasional, dan necessary
(suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Lihat, Fazlur Rahman, Islam
and Modernity, (Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982), hlm. 11.
10 Mushthafâ Shâdiq al-Râfi‟î, I‟jâz al-Qur‟ân wa al-Balâghah al-
Nahwiyyah, (Bairût: al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. ke-3, 1990), hlm. 144-145.
11 Abû Ishâq al-Nadzdzâm adalah segelintir dari tokoh Muktazilah
yang berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia untuk membuat
Alquran tidak lain karena Allah Swt. telah memalingkan dan melemahkan
kemampuan manusia untuk melakukan kegiatan tersebut. Mushthafâ
Shâdiq al-Râfi‟î, I‟jāz al-Qur‟ân..., hlm. 144, lebih dari itu menurut al-Bûthi,
al-Nadzam mengatakan Allah tidak saja memprotek kemampuan manusia
untuk menandingi Alquran, akan tetapi malahan membelenggu kefasihan
lidah mereka. Lihat, Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, Min Rawâ‟i al-
Qurân, (Beirut-Libanon/Damsyik: Maktabah al-Farabi, 1397 H/1977 M.),
hlm. 150
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 115
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
mengingkari kemukjizatan Alquran ialah al-Murtadhâ (436 H/1297
M)12 dari kalangan Mazhab Syiah yang sependirian dengan al-
Nadzâm.13 Quraish Shihab dalam menanggapi kedua tokoh ini,
mengatakan bahwa pendapat keduanya tidak berlandas pada fakta
sejarah. Ini terbukti dalam beberapa ayat menantang untuk
mendatangkan teks yang serupa dengan Alquran.14 Al-Bâqillânî (w.
403 H.), seorang tokoh mutakallimîn berpendapat bahwa kenabian
Nabi Muhammad Saw. utamanya dibangun atas dasar kemu‟jizatan
Alquran meskipun ditemukan mukjizat-mukjizat lainnya selain
Alquran.15
Jauh setelah mereka, ternyata tidak sedikit ilmuan yang
berusaha mengkaji ulang sejarah Alquran yang ”seolah-olah”
hilang, melalui pendekatan tartîb al-suwar wa al-âyat, dengan
mempertanyakan kembali perihal kodifikasi Alquran. Ilmuan itu
semisal Noldeke, Richard Bell, dsb. Hal ini tentunya membutuhkan
jawaban yang akademik pula, karena mereka menggunakan
pendekatan yang masuk akal.
Konsepsi Munasabah
Louis Ma‟luf dalam Qamûs al-Munjid menguraikan kata
munâsabah bahwa secara harfiyah, kata munâsabah, terambil dari
kata nâsaba-yunâsibu-munâsabatan yang berarti dekat (qarîb), dan
yang menyerupai (mitsâl). Al-munâsabah searti dengan al-muqârabah,
12Al-Murtadhâ berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia
untuk menciptakan teks seperti Alquran adalah karena Allah Swt. telah
mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki dan yang
diperlukan guna lahirnya satu susunan kalimat seperti Alquran,
Mushthafâ Sādiq al-Rāfi‟î, I‟jâ z al-Qur‟ân..., hlm. 124.
13Mannâ‟ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirūt:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. ke-3, 1992), hlm. 261,
14 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek
Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, (Bandung:Mizan, 1998), cet.
ke-4, hlm. 155-156, berkenaan dengan pembahasan isi, Gibb seorang
orientalis berpendapat sebagaimana dikutip Quraish Shihab ”tidak ada
seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah memainkan alat bernada
nyaring yang demikian mampu serta berani dan sedemikian luas getaran jiwa
yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh Muhammad Saw., yakni
Alquran”. Lihat, M. Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera hati, 2006, cet. VII, hlm. v.
15 Abu Bakr Muhammad Al-Bâqillânî, I‟jâz al-Qur‟ân, (Beirūt: Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1996), hlm. 9
116 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
yang mengandung arti mendekatkan dan menyesuaikan. Al-
Suyûthi juga mengurai kata munâsabah berarti perhubungan,
pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan dan kepantasan. Kata
al-munâsabah, ada sinonim (murâdif) dengan kata al-muqârabah dan
al-musyâkalah, yang masing-masing berarti kedekatan dan
persamaan.16
‟Ulum al-Qur‟an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan
secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua
kitab ‟Ulûm al-Qur‟ân yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni
al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, karya Badruddîn al-Zarkâsyi (w.794 H)
dan al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, karya Jalâluddîn al-Suyûthi (w. 911
H). „Ilm al-Munâsabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu
surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari „Ulûm
Al-Qur‟ân. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka
menjadikan keseluruhan ayat Alquran sebagai satu kesatuan yang
utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode Tafsir
Ibn Katsir “al-Qur‟ân yufassirû ba‟dhuhu ba‟dhan”, posisi ayat yang
satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami Alquran
harus utuh. Jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran
yang sepotong-sepotong (atomistik).
Bertitik tolak dari pendapat bahwa Alquran memiliki
kemukjizatan dari setiap dimensinya, dapat dipahami sebagaimana
dipaparkan al-Zarkâsyi bahwa Alquran bukanlah kalam yang
diturunkan17 secara tidak sengaja, kebetulan, dan tanpa sasaran dan
tujuan tertentu. Dengan demikian, setiap penggunaan dan susunan
kata (lafadz), konstruksi ayat dan surat (munâsabah bain al-âyât wa al-
surah) serta peralihan tema yang terdapat di dalamnya memiliki
kekuatan konsep sebagai suatu kalam yang utuh dan padu
(muttasiqât al-mabânî wa muntadzimât al-ma‟ânî ka al-kalimah al-
16 Lihat, Louis Ma‟luf, Qamûs al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‟lam,
(Beirut: Dâr al-Syarqy, 1976), hlm. 803. Lihat pula, Jalâluddîn al-Suyûthî, al-
Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 108
17 Al-Zarqānî dalam komentarnya, bahwa makna “turun” seperti
pada ayat َ Q.S. al-Isrâ/17: 105 tidak dapat disamakan dengan makna
turun dalam arti fisik dan tempat. Penggunaan seperti ini, menurutnya
tidak relevan digunakan untuk Alquran. Menurutnya, makna “turun”
lebih tepat dipahami sebagai kata yang bersifat majâzi dan dipahami
sebagai pemberitahuan Allah yang dihunjamkan ke dada Nabi dengan
berbagai bentuk cara pewahyuan. Lihat, Muhammad „Abdul „Adzîm al-
Zarqânî, Manâhil al-„Irfân fi „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, cet. ke-1,
1988), hlm. 42-43
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 117
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
wâhidah).18 Dan keseluruhan Alquran sangat memenuhi persyaratan
itu, yang terdiri dari 30 juz, 114 surat, hampir 88.000 kata dan lebih
dari 300.000 huruf, seperti yang ditegaskan al-Qurthûbi (w. 641)
laksana satu surat yang tidak dapat dipisah-pisah.19 Dengan
demikian, satu kesatuan Alquran itu terjadi sama sekali bukan
karena dipaksakan, melainkan bisa dibuktikan melalui hubungan
antar bagian demi bagian.
Historisitas Munâsabah
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (Munâsabah), berawal
dari kenyataan bahwa sistematika Alquran sebagaimana terdapat
dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada
kronologis turunnya.20 Itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat
18 Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi „Ulûm al-
Qur‟ûn, Jilid I, (Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-„Arabiyyah, cet. ke-1, 1957),
hlm. 36
19 Muhammad bin Ahmad bin Farabi al-Qurthûbi, al-Jami‟ lî al-
Ahkâm al-Qurân, j. 2, (t.thlm.), hlm. 129.
20 Perdebatan sejarah kodifikasi penulisan dan sistematika Alquran
pada Mushhaf „Utsmâni dibahas tuntas oleh W. Monthgomery Watt, dalam
satu buku yang bertajuk Bell‟s Introduction to The Qur‟ân dalam satu bab
khusus “The History of The Text”. Dalam bab ini Watt, membagi menjadi
empat bahasan. Pertama, the collection of the Quran (pengumpulan
Alquran), kedua, The pre-„Uthmânic codices (naskah pra Utsman), ketiga, The
wraiting of the Quran and early textual studies (penulisan Alquran dan kajian
teks awal), dan keempat, the authenticity and completeness of the Quran
(keotentikan dan kesempurnaan Alquran). Dalam mengurai benang kusut
perdebatan Mushhaf „Utsmâni, Bell, misalnya menulis: “This traditional
account of the quran under „Uthman is also open criticisms, tough they are not so
serious as in the case of Abu bakar‟s collection. The most serious difficulties are
those connected with the suhuf of Hafsa. Some versions of the story suggest that
the work of the commissionars was simply to make a fair copy, in the dialect of
Quraiysh, of the material of these leaves. Some important material, however, has
come to light since the publication of Friedrich Schwally‟s revised edition of the
second volume of Noldeke‟s Geshichte des Qurâns in 1919. In particular there is a
story of how the coliph Marwan when governor of Medina wanted to get hold of
the „leaves‟ of Hafsa to destroy them, and eventually on her death persuaded her
brother to hand them over. Marwan was afraid lest the unusual readings in the
might lead to further dissention in the community”. (“Kisah turun-temurun
tentang „kumpulan‟ Alquran di bawah Utsman juga rawan kecaman,
meskipun tidak begitu serius seperti dalam kasus „kumpulan‟ Abu Bakar.
Kesulitan yang paling serius adalah berkaitan dengan suhuf yang dimiliki
Hafsahlm. Beberapa versi cerita mengisyaratkan bahwa tugas yang
118 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
di kalangan ulama Salaf tentang urutan surat di dalam Alquran.
Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tauqîfi dari
Nabi.21 Golongan kedua berpendapat bahwa, hal itu didasarkan atas
ijtihâdi. 22 Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan
diberikan kepada orang-orang hanyalah untuk membuat salinan yang baik
dalam dialek Quraisy dari bahan yang ditulis di atas dedaunan ini.
Namun, pada tahun 1919 terbit jilid kedua karya Noldeke “Geshichte des
Qurâns”, edisi yang direvisi oleh Friedrich Schwally, dan sejak itu bahan-
bahan yang penting ditemukan kembali. Terutama ada kisah bagaimana
Khalifah Marwan yang menjadi Gubernur Madinah ingin memusnahkan
„dedaunan‟ yang dimiliki Hafsah, dan akhirnya, tatkala Hafsah meninggal,
membujuk kakaknya untuk menyerahkannya. Marwan khawatir adanya
bacaan yang tidak lazim di dalamnya itu bisa menimbulkan pertikaian
lebih lanjut dalam masyarakat. Lihat, W. Monthomery Watt, Bell‟s
Introduction to The Qur‟ân, (Leiden: Edinburgh University Press, 1994), hlm.
43. Kajian mendalam juga dilakukan oleh MM. Al-A‟Dzami dalam The
History of Qur‟ânic Text From Revelation to Compilation A Comparative Study
with the old and new Testament, dan Indonesiakan menjadi Sejarah Teks al-
Qur‟ân dari Wahyu sampai Kompilasi kajian Perbandingan dengan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi
Suharto, Lili Mulyadi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Taufik Adnan
Amal menulis Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka Alvabet,
2005.
21 Abû Zaid memandang urutan surat dianggap tauqîfi karena
pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang
sudah ada di lauh al-mahfûdz, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari
I‟jaz. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap
Ulumul Qur‟an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 215
22 Discours dalam memperdebatkan tentang urutan surat dikupas
tuntas juga oleh al-Zarqâni. Menurut Zarqâni bahwa tertib susunan ayat
dan surat adalah Ijtihâdi. Pendapat ini di dasarkan pada beberapa alasan.
Pertama, mushaf pada catatan Alquran tidaklah sama. Kedua, sahabat
pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib surat
yang terdapat dalam Alquran. Dan ketiga, adanya perbedaan pendapat
mengenai tertib surat ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas
atas tertib yang dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa tertib
surah sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat
pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib mushâf
yang sekarang dan adanya tentang catatan mushâf sahabat yang berbeda
bukanlah mutawâtir. Tertib mushâf sekarang berdasarakan riwayat
mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang
memiliki catatan mushaf itu hadir bersama Nabi tiap saat turun ayat
Alquran. Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf Alquran
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 119
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqîfi. Golongan ketiga
berpendapat, serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al-
Anfâl dan Barâ‟ah yang dipandang bersifat ijtihâdi. Pendapat
pertama didukung antara lain oleh al-Qadhi Abu Bakar, Abu Bakar
Ibnu al-Anbari, al-Kirmani dan Ibnu al-Hisar. Pendapat kedua
didukung oleh Malik, al-Qadhi Abu Bakar dan Ibnu al-Faris.
Pendapat ketiga dianut oleh al-Baihâqi. Salah satu penyebab
perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang
urutan suratnya berfariasi.
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini,
wajarlah jika masalah teori korelasi Alquran kurang mendapat
perhatian dari para ulama yang menekuni ‟Ulûm al-Qur‟ân. Ulama
yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut al-
Zarkâsyi, adalah Syaikh Abu Bakr Abdullah Ibn al-Naisabûri (w.
324 H.),23 kemudian diikuti ulama ahli tafsir seperti Abu Ja‟far bin
Zubair dalam kitab Tartîb al-Suwar al-Qur‟ân, Syaikh Burhanuddin
al-Biqâ‟i dengan bukunya Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al-
Suwar, dan Al-Suyûthi dalam kitab Asrâr al-Tartîb al-Qur‟ân. Quraish
Shihab belakangan menambahkan Muhammad „Abduh, Rasyid
Ridha, Muhammad Syalthut dan sebagainya membahas persolan ini
dalam tafsirnya.24
Mengungkap Diskursus Munâsabah al-Qur’ân
Perdebatan akademik yang mengemuka adalah para ulama
berbeda pendapat dalam menentukan keberadaan tartîb al-mushhaf.
Apakah dasar penyusunannya atas ijtihad para sahabat (ijtihâdî),
kalau demikian adanya munâsabah itu penting atau berdasarkan
penyusunannya berdasarkan perintah, pengajaran, rumus, isyarat
dan petunjuk Nabi Saw (tauqîfî). Kalau tauqîfi, maka tidak perlu
adanya munasabah karena peristiwa yang terjadi saling berlainan,
Alquran juga diturunkan dan diberi hikmah secara tauqîfî dengan
sahabat sangat besar. Lihat, Muhammad „Abd al-„Adzîm al-Zarqâni,
Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 348.
23 Hal ini terindikasikan apabila Alquran di bacakan kepada al-
Naisaburi, maka ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping
sebelahnya. Bahkan ia mencela para ulama Baghdad karena mereka tidak
memperhatikan „ilm al-munâsabahlm. Lihat, Al-Zarkâsyi, al-Burhân fî „Ulûm
al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1957). HLM. 38
24 M. Quraish Shihab, Ibrahim bin Umar al-Biqâ‟i: Ahli Tafsir yang
Kontroversial, Jurnal Ulûmul Qur‟an, LSAF, Vol. 1, 1989, hlm. 5.
120 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
kata lain Alquran turun atas petunjuk dan kehendak Allah.
Kemudian dalam penelitian selanjutnya lebih dipertajam melalui
kerangka penting tidaknya munâsabah dalam ranah metodologi
penafsiran.
Pendapat pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa
surat-surat Alquran disusun berdasarkan tauqîfî. Sudah merupakan
kepastian dari Rasulullah membaca berbagai surat menurut
susunan ayatnya masing-masing di dalam shalat, atau pada
khutbah jumat, disaksikan para sahabatnya. Kenyataan itupun
merupakan bukti terang yang menyatakan bahwa susunan dan
urutan ayat-ayatnya memang sesuai dengan kehendak dan
petunjuk dari Nabi sendiri. Maka, dalam mendukung pendapat
pertama, ha ini tidak mungkin apabila sahabat nabi menyusun
urutan ayat-ayat yang berbeda dengan bacaan Rasulullah Saw. Hal
itu merupakan kepastian yang tidak dapat diragukan kebenarannya
(mutawâtir).25
Susunan dan urutan suratpun berdasarkan kehendak dan
petunjuk Rasulullah Saw. Sebagaimana diketahui, Rasulullah hafal
semua ayat dan surat Alquran. Bisa jadi, kita tidak mempunyai
bukti yang menyatakan sebaliknya. Atau dalam bahasa lain,
tidaklah masuk akal yang menyatakan, urutan surat Alquran di
susun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad mereka
sendiri. Dan lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang
menyatakan bahwa beberapa surat disusun urutannya berdasarkan
ijtihad para sahabat dan beberapa surat lainnya disusun urutannya
menurut kehendak dan petunjuk rasulullah saw. Pelopor pendapat
ini adalah Abû Ja`far ibn Nuhâs (w. 338 H.), al-Kirmânî, Ibn al-
Hashar (w. 611 H), Abû Bakr al-Anbārî (271-328 H) dan al-Bagawî
(w. 286 H). Abū Ja`far ibn Nuhâs Seperti yang dikutip al-Zarkasyî,26
berpendapat bahwa penyusunan surat yang ada pada mushaf
berasal dari Nabi Saw berdasarkan hadis sebagai berikut:
25 Jalâluddîn al-Suyûthi, Al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (kairo:
Mushthafâ al-Bâb al-Halabi, 1951), hlm. 105, bandingkan pula dengan,
Subhi Shâlih, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Bairut-Libanon, Dâr al-„Ilm lî al-
Malâyîn, 1988), cet. 7, hlm. 71
26 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qurân, hal. 259
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 121
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
‫حدثنا‬‫ان‬‫ر‬‫عم‬‫القطان‬‫عن‬‫قتادة‬‫عن‬‫أىب‬‫املليح‬‫اهلذيل‬‫عن‬‫اثلة‬‫و‬‫بن‬‫األسقع‬‫أن‬‫النيب‬‫صلى‬‫اهلل‬‫عليو‬‫وسلم‬‫قال‬
‫أعطيت‬‫مكان‬‫اة‬‫ر‬‫التو‬‫السبع‬‫ال‬‫و‬‫الط‬‫أعطيت‬‫و‬‫مكان‬‫بور‬‫ز‬‫ال‬‫املئٌن‬‫أعطيت‬‫و‬‫مكان‬‫اإلجنيل‬‫املثاىن‬‫وفضلت‬‫باملفصل‬
(‫اه‬‫و‬‫ر‬‫أمحد‬)27
Artinya: Nabi Muhammad Saw bersabda: “Saya diberikan tempat
Taurat dalam al-Sab‟a al-Thuwâl, tempat Injil dalam surat al-
Miûn, tempat Zabûr dalam surat al-Matsânî dan diberikan
keutamaan dalam surat al-Mufashshal. (H.R. Ahmad).
Hadis tersebut menurut Abû Ja`far ibn Nuhas menunjukkan
bahwa penyusunan Alquran berasal dari Nabi Saw dan kegiatan ini
berlangsung ketika Nabi masih hidup, dan sementara pengumpulan
Alquran dalam satu mushaf adalah berdasarkan petunjuk yang
sama. Al-Kirmânî, seperti yang dikutip al-Zarkasyî,28 berpendapat
bahwa susunan surat seperti dalam mushaf berasal dari Allah yang
tertulis di lauh al-mahfûzd. Setiap tahunnya Jibril memeriksa seluruh
ayat yang telah diturunkan, dan pada tahun wafatnya Rasulullah,
Jibril memeriksa ayat-ayat dan susunan suratnya dua kali. Abû Bakr
al-Anbârî, seperti yang dikutip al-Zarkasyî,29 berpendapat bahwa
Jibril memberi petunjuk pada Nabi Muhammad tentang tempat ayat
dan surat. Penyusunan surat sama halnya dengan penyusunan ayat
dan huruf yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. Maka,
menurutnya, siapa yang mengakhirkan atau mendahulukan
susunannya maka ia telah merusak nazdm al-Qur‟ân.
Dari pendapat di atas, bahwa Rasulullah mempunyai
peranan dominan dalam penentuan dan penyusunan ayat dan
surat. Bukti lain misalnya, semasa hidup Rasulullah banyak surat
telah diketahui susunan dan urutannya, seperti tujuh surat yang
panjang-panjang (al-sab‟ al-Thiwâl), surat-surat yang berawalan hâ
mîm (al-hawâmîm), dan surat-surat mufashshal, sehingga susunan
berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah jauh lebih besar,
dan yang berdasarkan ijtihad amat sedidkit.
Ibn al-Hashar, seperti yang dikutip oleh al-Zarkâsyî,30
berpendapat bahwa penyusunan surat dan penempatan ayat
27 Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, (Beirūt: Al-
Maktab al-Islāmî, t.thlm.), Juz IV, hlm. 107
28 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 259
29 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 259
30 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 259
122 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
berdasarkan wahyu, Rasulullah Saw memerintahkan untuk
menempatkan ayat pada tempat yang telah ditentukannya dan ini
menimbulkan keyakinan bahwa penyusunannya berdasarkan
penukilan mutawatir dari bacaan Rasulullah Saw. dan ijma‟ para
Sahabat mengenai penyusunannya di dalam mushaf.
Al-Bagawî dalam Syarh al-Sunnah berpendapat bahwa para
Sahabat menulis ayat-ayat Alquran seperti yang mereka dengar dari
Rasulullah Saw. tanpa mendahulukan atau mengakhirkan atau
mereka tidak menyusun yang bukan berdasarkan petunjuk
Rasulullah Saw., dan susunan tersebut tidak ada yang ditambah
atau dikurangi. Rasulullah Saw. mengajarkan susunan surat seperti
yang terdapat pada mushaf sekarang ini. Tugas para Sahabat hanya
mengumpulkan dalam satu tempat, bukan menetapkan susunan
suratnya. Karena Alquran ditulis di lauh al-mahfûdz dan susunannya
sama seperti dalam mushaf dan diturunkan sekaligus ke langit
dunia dan kemudian diturunkan secara berangsur sesuai dengan
kebutuhan.31
Dalam analisa al-Zarkâsyi, perbedaan itu bersumber dari
lafadz. Satu pihak bilang bahwa urutan Alquran itu disusun
berdasar kehendak dan petunjuk Rasulullah, sedang pihak lain
berpendapat bahwa urutan surat disusun berdasar pada ijtihad para
sahabat sendiri. Sebagaimana al-Zarkâsyi mengutip pendapat Imam
Mâlik sebagai berikut: “Mereka menyusun urutan Alquran menurut
apa yang mereka dengar sendiri dari Rasulullah Saw, tetapi Imam
Mâlik juga mengatakan: bahwa urutan surat-surat Alquran disusun
atas dasar ijtihad mereka sendiri. Jadi masalah perbedaan itu,
kembali kepada apakah kehendak dan petunjuk Rasululah
mengenai urutan surat itu berupa ucapan atau hanya praktek
semata-mata.32
Namun demikian, nampaknya telah jelas bahwa urutan
surat itu berdasarkan bimbingan dari Rasulullah Saw. (tauqîfî).
Sebab, ijtihad para sahabat itu hanya dilakukan bagi penyusun
mushaf milik pribadi. Memang mereka lakukan dengan kemauan
sendiri, tetapi mereka tidak pernah berusaha mengharuskan orang
lain mengikuti jejaknya atau mengharamkan perbuatan orang lain
yang tidak sesuai dengan perbuatan mereka. Begitu juga, tidak
dicatatkan ayat-ayat untuk orang lain, tetapi semata untuk mereka
31 Al-Bagawî, Syarh al-Sunnah al-Shahâbah, (Beirūt: Dār al-Kutub al-
`Ilmiyyah, 1993), Juz. III, cet. Ke-1, hal. 50
32 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hal. 257
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 123
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
pribadi. Karena itu, ketika umat Islam sepakat bulat menerima
susunan Alquran yang dilakukan oleh khalifah „Utsman bin „Affân,
secara serentak mereka tinggalkan catatan mushaf masing-masing.
Di sini mulai ada titik terang, yakni kalau mereka yakin bahwa
penyusunannya berdasarkan pada ijtihad mereka, terserah
kemauan mereka sendiri, tentulah mereka akan tetap berpegang
pada susunan menurut catatan mereke masing-masing, dan mereka
tidak akan mau menerima urutan yang disusun oleh „Utsman bin
„Affân.
Pendapat kedua yang menyatakan susunan dan tartib surat
didasarkan atas ijtihâdi.33 Ada beberapa persepsi yang berdasarkan
hal bahasan ini. Pertama, mushaf pada catatan Alquran tidaklah
sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran
berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam Alquran. Dan
ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai tertib surat ini
menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang
dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa tertib surah sebagai
ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat
pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib
mushâf yang sekarang dan adanya tentang catatan mushâf sahabat
yang berbeda bukanlah mutawâtir. Tartib mushâf sekarang
berdasarakan riwayat mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan
bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf itu hadir
bersama Nabi tiap saat turun ayat Alquran. Karena itu,
kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf Alquran sahabat sangat
besar. Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan
bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqîfi. Ulama yang mendukung
pendapat kedua ini antara lain Imâm Mâlik, Abu bakr al-Thib al-
baqillânî, al-Zarkâsyi dan al-Suyûthi.
Al-Zarkâsyi34 mengutip pendapat Imam Mâlik mengatakan
bahwa para sahabat menyusun Alquran itu berdasarkan apa yang
mereka dengar dan lihatdari Nabi, sedang susunan dalam
penyusunan surat Alquran, mereka lebih mengedeankan atas ijtihad
mereka sendiri. Rajab Farjani sebagaimana dikutip dalam buku
Sejarah dan Ulûm al-Qur‟ân dikatakan bahwa tidak pernah
33 Perdebatkan tentang urutan surat dikupas tuntas juga oleh al-
Zarqâni. Menurut Zarqâni bahwa tertib susunan ayat dan surat adalah
Ijtihâdi. Lihat, Muhammad „Abd al-„Adzîm al-Zarqâni, Manâhil al-„Irfân fî
„Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 348.
34 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hal., 259
124 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
ditemukan riwayat nabi mengenai ketentuan pola penulisan
wahyu.35 Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani:
35 Beberapa hadis yang mendukung pendapat ini adalah:
- Larangan menulis sesuatu yang datang dari Nabi
Abû Sa‟îd al-Hudzri meriwayatkan dari Rasûlullâh Saw.. Beliau bersabda,
‫ال‬‫ا‬‫و‬‫تكتب‬‫عىن‬‫ومن‬‫كتب‬‫عىن‬‫غًن‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫فليمحو‬
“Janganlah kalian menulis (Hadis) dariku. Dan barangsiapa menulis dariku
selain Alquran, maka hendaknya ia menghapusnya” Nawawi, Shahîh Muslim bi
Syarh Nawawi, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994), J. XIII, hlm. 129
Diriwayatkan dari Abû Hurayrah, ia berkata, “Rasûlullâh Saw.
mendatangi kami dan kami sedang menulis Hadis. Kemudian beliau
bertanya, “Apa yang sedang kalian tulis?”. Kami menjawab, “Kami sedang
menulis Hadis yang kami dengar dari engkau, ya Rasûlallâh!.” Lantas
beliau bersabda,
‫كتاب‬‫غًن‬‫كتاب‬‫اهلل‬‫اتدرون؟‬‫ما‬‫ضل‬‫االمم‬‫قبلكم‬‫اال‬‫مبا‬‫ا‬‫و‬‫اكتتب‬‫من‬‫الكتب‬‫مع‬‫كتاب‬‫اهلل‬
“Tulisan selain Kitab Allah?, tahukah kalian, bangsa-bangsa sebelum kalian
tidak sesat kecuali karena mereka menulis tulisan lain bersama Kitab Allahlm.”,
Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994), J. XIII,
hlm. 129
- Perintah yang membolehkan menulis sesuatu yang datang dari
Nabi
Abdullâh bin Amr bin al-Ash Ra. berkata, “Saya menulis segala yang
saya dengar dari Rasûlullâh Saw. Saya hendak menghapalnya, namun
orang-orang Quraysy melarangku. Mereka berkata, “Engkau menulis
segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah Saw., sedangkan beliau
manusia biasa yang kadangkala berbicara dalam keadaan marah dan
senang”. Saya pun berhenti menulis. Kemudian saya teringat beliau ketika
menunjukkan jari ke mulutnya seraya bersabda,
‫اكتب‬‫الذي‬‫و‬‫ف‬‫نفسى‬‫بيده‬‫ما‬‫ج‬‫خر‬‫منو‬‫اال‬‫حق‬
“Tulislah, maka demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar
darinya (mulut) kecuali kebenaran.”
Diriwayatkan dari Abû Hurayrah bahwa seorang sahabat Anshâr
menyaksikan Hadis Rasûlullâh Saw., namun ia tidak hafal. Ia bertanya
kepada Abû Hurayrah, dan ia pun memberitahukan kepadanya.
Kemudian ia mengadukannya kepada Rasûlullâh Saw. perihal lemahnya
daya hafalnya. Kemudian Nabi Saw. bersabda,
‫استعن‬‫على‬‫حفظك‬‫بيمينك‬
“Bantulah hapalanmu dengan tangan kananmu! (menulis)”. Muhammad
Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram
Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148
Diriwayatkan dari Anas bin Mâlik bahwa ia berkata, “Rasûlullâh Saw.
bersabda,
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 125
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
“Sesungguhnya Rasulullah Saw., memerintahkan menulis Alquran,
akan tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan
tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena
itu, ada perbedaan model-model penulisan Alquran dalam mushaf-
mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal Alquran sesuai
dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau menguranginya,
karena mereka tahu bahwa itu merupakan hanya cara. Karena itu
dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu
atau ke dalam pola-pola baru.36
Fauzul Iman37 mengutip „Izzuddîn (w. 660) berpendapat
bahwa tidak semua susunan surat dan ayat dalam Alquran
mengandung munasabah. Kalaupun ada kesesuaian antara ayat dan
surat, dengan criteria adanya hubungan antara kalimat dalam
kesatuan pada bagian awal dan bagian akhir. Sekianya tidak
memenuhi criteria itu, maka dianggap sebagai pemaksaan (takalluf)
dan hal itu tidak disebut dengan munasabah.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan
Alquran versi Mushaf Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada
yang mengatakan wajib, dengan alas an bahwa pola tersebut sesuai
petunjuk dari Nabi (tauqîfî). Pola itu, terus dipertahankan walupun
menyalahi pola aturan rasm Utsmani yang telah baku. Bahkan
Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Hakim sebagaimana dikutip
Farjani mengharamkan menulis Alquran menyalahi dari Rasm
‫ا‬‫و‬‫قيد‬‫العلم‬‫بالكتاب‬
“Ikatlah ilmu dengan tulisan!”. Muhammad Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah
Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), cet. I, hlm. 148
Diriwayatkan dari Ibnu „Abbâs bahwa ia berkata, “Ketika Nabi Saw.
sakit keras, beliau bersabda,
‫ايتوىن‬‫بكتاب‬‫اكتب‬‫لكم‬‫كتابا‬‫ال‬‫تضل‬‫بعده‬
“Bawakan aku buku, aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga
kalian tidak akan sesat sesudahnya.”. Muhammad Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah
Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), cet. I, hlm. 148
36 Lihat, M. Quraish Shihab, Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, (Jakarta:
Pustaka Fidaus dan Bayt al-Qur‟an & Museum Istiqlal TMII, 2001, cet. 3,
hal. 95, lihat pula, Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata‟addab Ma‟a al-
Mushhaf, (t.tp., Dâr al-I‟tishâm, 1978, hlm. 166
37 Fauzul Iman, Munasabah Al-Qur‟an, Jurnal Panji Masyarakat, no.
843, edisi Novemver 2005, hal.73
126 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
„Utsmani. Bagaimapun, dalam rentang sejrah yang cukup panjang,
rasm „Utsmani sudah merupakan kesepkatan mayorits ulama.38
Bagi ulama yang tidak mengakui rasm „Utsmani sebagai
rasm tauqîfi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Alquran
ditulis menggunkan pola penulisan setandar (rasm amlâ‟î). Demikian
al-Sa‟id mengatakan.39 Pada sisi ini, terlihat pandangan moderat.
Sehingga, bisa diambil pemahaman bahwa soal penulisan
diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih merasa mudah
dengan penulisan setandar (rasm amlâ‟î), maka ia dapat menulisnya
dengan pola tersebut, karena penulisan itu hanya symbol
pembacaan, dan tidak memengaruhi makna Alquran.
Bahkan, ada pendapat yang ketiga yang mengatakan, serupa
dengan golongan pertama, kecuali surat al-Anfâl dan Barâ‟ah yang
dipandang bersifat ijtihâdi. Dan salah satu penyebab perbedaan
pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang urutan
suratnya berfariasi. Pendukung pendapat ketiga ini di antaranya: al-
Qâdhî al-Qâdî Abû Muhammad ibn `Athiyyah, al-Baihaqî dan Ibn
Hajar al-`Asqalānî (773-852H).40 Pendapat Al-Baihaqî terlihat dalam
karyanya al-Madkhal, ia berpendapat bahwa Alquran pada masa
Nabi telah tersusun surat-surat dan ayat-ayatnya seperti susunan
yang ada pada mushhaf kecuali surat al-Anfâl dan Barâ‟ah.41
Dalam rangka menguatkan pendapat ketiga ini, nampaknya
perlu penulis kemukakan bagaimana perjalanan sejarah
pemeliharaan Alquran. Paling tidak ada lima tahapan.42 Pertama,
tahap pencatatan di masa Nabi,43 kedua, tahap penghimpunan di
38 Lihat, M. Quraish Shihab, Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, (Jakarta:
Pustaka Fidaus dan Bayt al-Qur‟an & Museum Istiqlal TMII, 2001, cet. 3,
hal. 95, lihat pula, Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata‟addab Ma‟a al-
Mushhaf, (t.tp., Dâr al-I‟tishâm, 1978, hlm. 166
39 Labib al-Sa‟id, al-jam‟ al-Shautî lî al-Qur‟ân al-Karîm, (Mesir: Dâr
al-Kâtib al-„Arâby, t.th), hlm. 373
40 Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhal li Dirâsâh
al-Qur‟ân al-Karîm, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992), hlm. 293-296
41 Al-Baihaqî, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ , (Kuwait: Dâr al-
Khulafâ‟ lî al-Kitâb al-Islâmî, 1404), hal. 237
42 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), cet. 1, hlm. 49-65
43 Sejarah telah mencatat bahwa pemeluk agama Islam pada waktu
awal masih banyak yang buta aksara, kendati ada yang bisa baca tulis.
Bahkan Nabi sendiri dikenal dengan seorang yang ummy seperti termaktub
dalam Q.S. al-Jumu‟ah/62: 2. Secara luas M.M. A‟dzami mengulas satu bab
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 127
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
masa Abu Bakar,44 ketiga tahap penggandaan di masa Utsman bin
„Affan,45 keempat tahap pencetakan,46 dan kelima, tahap pengajaran di
berbagai dunia Islam.
khusus yang diberi judul tulisan dan ejaan bahasa Arab dalam Alquran,
satu bab diantaranya mengupas gaya tulisan pada zaman Nabi
Muhammad Saw. Lihat lebih lanjut, M.M. Al-A‟dzami, The history of The
Qur‟anicText From Revelation to Compilation A Comparative Study The Old and
New Testaments, (Sejarah Teks Al-Qur‟ân dari Wahyu Sampai Kompilasi: kajia
Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian baru, terj. Sohirin Solihin
et. All, (Jakrta: Gema Insani Press, 2005), cet. 2, hlm. 143-164.
44 Penghimpunan Alquran dalam bentuk mushaf baru dilakukan
pada masa Abu Bakar (11-13 HLM./632-634 M.), tepatnya setelah terjadi
peperangan yamamah tahun 12 HLM./633 M. Dalam sejarah, perang
Yamamah ini, terbunuh sekitar 70 orang syuhada yang hafal Alquran.
Bahkan ,sebelum perang yamamah terjadi pula wafatnya 70 qurra‟ pada
peperangan di sekitar sumur Ma‟unah, yang terletak dekat kota
Madinahlm. Atas kejadian ini, Umar yang dikenal dengan ketajaman
analisisnya mengunsulkan untuk menghimpun Alquran. Dan saat Abu
Bakarlah terbentuk panitia penghimpunan Alquran yang diketua oleh Zaid
bin Tsabit dan beranggotakan Utsman, Ali bin Abi Thalib dan „Ubay bin
Ka‟b.
45 Dalam rentang sejarah, ketika tampuk kekuasaan khalifah di
tangan Utsman bin „Affan, singkatnya, ketika Utsman mengerahkan
tentaranya kea rah Syam dan Irak untuk memerangi penduduk Armenia
dan Azerbaijan, tiba-tiba Hudzaifah ibn Yaman memberitahu bahwa di
beberapa wilayah terjadi perselisihan mengenai tilâwah (bacaan) Alquran.
Dan Hudzaifah mengusulkan untuk meredam perselisihan itu dengan cara
menyalin dan memperbanyak Alquran yang terhimpun pada masa Abu
Bakar. Kemudian Utsman meminta suhuf yang ada di tangan Hafsah
untuk di salin dan di perbanyak. Dan dalam rangka itulah, Utsman
membentuk kepanitiaan untuk penyalinan Alquran yang di ketuai Zaid
bin Tsabit dan berangotakan Abdullah bin Zubair, Sa‟id ibn al-Ash, dan
Abd al-Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam. Dalam pengarahanya Utsman
mengatakan bahwa apabila terdapat perbedaan pendapat antara Zaid yang
bukan orang Quraish dengan tiga orang pembantunya yang semuanya
berasal dari suku Quraisy mengenai tilawah, maka hendaklah Alquran itu
ditulis menurut qiraat Quraisy, mengingat bahasa awal Alquran adalah
bahasa Arab Quraisy.
46 Muhammad Amin Suma mencatat bahwa Alquran pertama kali
di cetak di kota Hanburg, Jerman pada abad ke-17 M. lihat, Muhammad
Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet.
1, hlm. 63.
128 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Berkaitan dengan pendapat ketiga yang menegaskan bahwa
susunan Alquran itu bersifat tauqîfî dengan pengecualian surat al-
Anfâl dan Barâ‟ah, dalam analisa penulis dengan membaca realitas
dalam sejarah ternyata pada masa Abu bakar ketika sudah terbentu
panitia penghimpunan Alquran, ternyata terungkap bahwa Zaid bin
Tsabit dan kawan-kawan panitia lainnya tidak memiliki catatan dua
ayat terakhir dari surat al-taubah. keterangan ini bisa ditelaah dari
hadis yang menyangkut penghimpunan Alquran pada masa
Khalifah Abu Bakar al-Shidiq yang di riwayat al-Bukhari di bawah
ini:
‫عن‬‫عبيد‬‫بن‬‫السا‬‫بق‬‫أن‬‫يد‬‫ز‬‫بن‬‫ثابت‬‫رضي‬‫اهلل‬‫قال‬‫أرسل‬‫ايل‬‫أبو‬‫بكر‬‫مقتل‬‫أىل‬‫اليمامة‬‫فاذا‬‫عمر‬‫بن‬‫اخلطاب‬‫عنده‬‫قال‬
‫أبو‬‫بكر‬‫رضي‬‫اهلل‬‫ان‬‫عمر‬‫أتاين‬‫فقال‬:‫أن‬‫القتل‬‫قد‬‫استحر‬‫يوم‬‫القيامة‬‫اء‬‫ر‬‫بق‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫اين‬‫و‬‫أخشى‬‫أن‬‫يستحر‬‫القتل‬‫اء‬‫ر‬‫بالق‬
‫اطن‬‫و‬‫بامل‬‫فيذىب‬‫كثًن‬‫من‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫اين‬‫و‬‫أرى‬‫أن‬‫تؤمر‬‫جبمع‬،‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫قلت‬‫لعمر‬‫كيف‬‫تفعل‬‫شيئا‬‫مل‬‫يفعلو‬‫رسول‬‫اهلل‬‫صلى‬‫اهلل‬
‫عليو‬‫وسلم؟‬‫قال‬‫عمر‬‫ىذا‬‫اهلل‬‫و‬،‫خًن‬‫فلم‬‫يزل‬‫عمر‬‫اجعين‬‫ر‬‫ي‬‫حىت‬‫ح‬‫شر‬‫اهلل‬‫صدري‬‫لذالك‬‫أيت‬‫ر‬‫و‬‫يف‬‫ذالك‬‫الذي‬‫أى‬‫ر‬
،‫عمر‬‫قال‬‫يد‬‫ز‬‫قال‬‫أبو‬‫بكر‬:‫انك‬‫رجل‬‫شاب‬‫عاقل‬‫ال‬‫نتهمك‬‫وقد‬‫كنت‬‫تكتب‬‫الوحي‬‫لرسول‬‫اهلل‬‫صلى‬‫اهلل‬‫عليو‬‫وسلم‬
‫فتتبع‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫فامجعو‬‫فو‬‫اهلل‬‫لو‬‫كلفوين‬‫نقل‬‫جبل‬‫من‬‫اجلبال‬‫ما‬‫كان‬‫أثقل‬‫على‬‫مما‬‫أمرين‬‫بو‬‫من‬‫مجع‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫قلت‬‫كيف‬
‫تفعلون‬‫شيأ‬‫مل‬‫يفعلو‬‫رسول‬‫اهلل‬‫صلى‬‫اهلل‬‫عليو‬‫وسلم؟‬‫قال‬‫ىو‬‫اهلل‬‫و‬‫خًن‬‫فلم‬‫يزل‬‫أبو‬‫بكر‬‫اجعين‬‫ر‬‫ي‬‫حىت‬‫ح‬‫شر‬‫اهلل‬‫صدري‬
‫للذي‬‫ح‬‫شر‬‫لو‬‫صدر‬‫أيب‬‫بكر‬‫و‬‫عمر‬‫رضي‬‫اهلل‬،‫عنهما‬‫فتتبعت‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫امجعو‬‫من‬‫العسب‬‫للخاق‬‫و‬‫وصدور‬‫الرجال‬‫حىت‬
‫وجدت‬‫آخر‬‫سورة‬‫التوبة‬‫مع‬‫أيب‬‫مية‬‫ز‬‫ح‬‫األنصارى‬‫مل‬‫أجدىا‬‫مع‬‫أخذ‬‫غًنه‬:‫لقد‬‫جاءكم‬‫رسول‬‫من‬‫أنفسكم‬‫يز‬‫ز‬‫ع‬‫عليو‬‫ما‬
‫عنتم‬‫حىت‬‫خامتة‬،‫اءة‬‫ر‬‫ب‬‫فكانت‬‫الصحف‬‫عند‬‫أيب‬‫بكر‬‫حىت‬‫توفاه‬،‫اهلل‬‫مث‬‫عند‬‫عمر‬،‫حياتو‬‫مث‬‫عند‬‫حفصة‬‫بنت‬‫عمر‬‫رضي‬
‫اهلل‬‫عنو‬(‫اه‬‫و‬‫ر‬‫البخاري‬.)
Artinya: Dari Ubaid bin al-Sabbaq RA, sesungguhnya Zaid bin
Tsabit RA, berkata: telah dating Abu Bakar kepadaku, di medang
ahli yamamah. Ketika itu Umar berada di sampingnya. Kemudian
Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Umar mendatangiku,
kemudian ia berkata: “sesungguhnya peperangan pada hari
yamamah ini benar-benar amat (dahsyat) dengan (gugurnya)
para qurra pembaca) Alquran, dan sesungguhnya aku khawatir
akan (terjadi lagi) peperangan dahsyat dengan (gugurnya) para
qurra‟ di beberapa medan perang (lainnya), sehingga banyak
ayat-ayat yang hilang (karenya). Dan sesungguhnya aku
berpandangan untuk mengusulkan kepadamu supaya
mengumpulkan Alquran”. Abu Bakar bertanya kepada Umar:
mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah
diperintahkan oleh Rasulullah Saw,? Umar menjawab: “Demi
Allah! Ini adalah perbuatan baik”. Maka tidak henti-hentinya
Umar menjumpai (mendesak) aku sampai Allah melapangkan
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 129
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
hati aku untuk (menerima) yang demikian itu. Dan aku
berpendapat yang demikian itu sebagaimana pendapat Umar.”
Zaid berkata: Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya kamu (Zaid)
adalah seorang pemuda yang cerdas, kami tidak menuduhmu
berprasangka buruk kepadamu, dan sesungguhnya kamu adalah
penulis wahyu Alquran untuk Rasulullah Saw., maka pelajarilah
Alquran, kemudia kumpulkan. Kemudian Zaid berkata: demi
Allah seandainya mereka membebani aku untuk emindahkan
gunung dari beberapa gunung, tidaklah lebih berat bagiku
daripada yang diperintahkan Abu Bakar kepadaku untuk
mengumpulkan Alquran”. Aku menanyakan kepada Abu Bakar:
“mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan
Rasulullah Saw.,?” Abu Bakar menjawab: “demi Allah itu adalah
perbuatan baik. Maka Abu Bakar tidak henti-hentinya
berulangkali mendesak aku sampai Allah melapangkan hatiku
sebagaimana Allah melapangkan hati Abu Bakar RA dan Umar
RA, maka aku mempelajari Alquran dan mengumpulkan dari
pelepah kurmadan batu-batu serta hafalan para sahabat, sampai
aku mendapatkan catatan akhir surat al-Taubah pada Abi
Huzaimah al-Anshâri, aku tidak menemukannya pada
seorangpun selain dia, yaitu ayat:
( ....‫اءة‬‫ر‬‫ب‬/‫التوبة‬(9:)128-
129)
Maka adalah suhuf itu di simpan oleh Abu bakar sampai dia
wafat, dan kemudian pada Umar ibn al-Khattâb selama masa
hayatnya, dan kemudian di simpan oleh Hafsah binti Umar RA.
(H.R. al-Bukhari).
Berdasarkan riwayat hadis di atas, tercatat dalam sejarah
bahwa yang pertama kali mempunyai gagasan brilian untuk
mengumpulkan Alquran adalah Umar bin Khattab, walaupun pada
awalnya gagasan ini langsung ditolak oleh Abu Bakar. Dan tercatat
pula bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan dan menulis
Alquran adalah Zaid bin Tsabit atas komando dari Abu Bakar.
Kemudian, realitas atas hilangnya dua ayat terakhir pada
surah Bara‟ah ternyata mengundang banyak persepsi baik dari
kalangan ilmuan Timur maupun barat. Misalnya, celah kekurangan
dan kekeliruan ini dijadikan sasaran kritik orientalis untuk
130 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
mengaburkan otentisitas47 Alquran. Kendali sudah langsung di
jawab oleh riwayat di atas, yakni setelah telah diupayakan
penulisan dua ayat yang hilang, ternyata Hudzaifah memiliki dua
catatan tersebut.
Pandangan Ilmuan tentang Munâsabah
Diskursus penting tafsir Alquran muslim modern48 dalam
konteks relevansi untuk kajian munâsabah dalam Alquran di dunia
47 Diantara upaya otentisitas pasca wafatnya Rasulullah dilakukan
dengan merujuk kepada para sahabat, para tabi‟in dan para ahli bidang ini.
Sungguh telah menjadi inayah Ilahi untuk sunnah Nabi-Nya, bahwa
Tuhan telah memanjangkan umur sejumlah tokoh sahabat dan para hli
agama mereke untuk menjaadi marji‟ (tempat kembali, acuan) yang dengan
mereka orang banyak mendapatkan pedoman. Setelah dusta berkecamuk
masyarakat bersandar pada sahabat itu untuk ditanyai, mula-mula tentang
apa yang mereka tahu sendiri, kemudian mereka diminta fatwa tentang
hadis-hadis dan cerita masa lalu yang mereka pernah dengar di masa lalu.
Imam Muslim dalam muqaddimah kitab sahihnya sebagaimana dikutip oleh
Musthafa al-Shiba‟I berasal dari Ibn Abi Malikah yang menceritakan “kami
pernah menyurat kepaada Ibn Abbas agar ia menuliskan sesuatu untukku
sesuatu, namun ia menghindar dariku, katanya, „seorang muda pemberi
nasihat! Sungguh telah kupilihkan baginya beberapa perkara, dan aku
menghindar dari padanya.” Lalu kata Ibn al-Malikah selanjutnya, “maka
iapun mengajak meneliti keputusan hokum (qadhâ) yang dibuat oleh Ali,
lalu ditulis banyak hal dari padanya, namun ada sesuatu tertentu
dilewatinya, dan berkata, Demi Tuhan, Ali tidak akan membuat keputusan
seperti ini kecuali jika benar-benar sesat.” Maka untuk tujuan seperti itulah
banyak para tabi‟in banyak melakukan perjalanan jauh dari kota ke kota,
guna mendengarkan hadis-hadis yang mantap dari perawi yang dapat
dipercaya. Telah kita ketahui misalnya, perjalanan jabir ibn Abdullah ke
Syiria dan Abu Ayyub ke Mesir guna mendengarkan hadis. Sa‟id ibn al-
Musayyab menceritakan bahwa ia dahulu bepergian saiang malam untuk
mencari hadis. Pengistilahan ini, betapa untuk mencari hadis saja sangat
penuh dengan kehati-hatian, apalagi Alquran sebabagai pedoman utama.
Lihat lebih lanjut, Musthafâ al-Sibâ‟î, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-tasyrî‟
al-Islâmî, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam, terj.
Nurchalish Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), cet. 5, hlm. 57-58
48 Istilah Tafsir Alquran Muslim Modern dikenalkan oleh J.M.S.
Baljon dalam karyanya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation
(1880-1960). Baljon melalui karya ini, membagi menjadi enam bahasan.
Pertama, (introduction) pendahuluan, kedua, ways interpretation
(pendekatan penafsiran), ketiga, characteristic features of the Koran
(gambaran Alquran), keempat, theological issues (isu-isu ketuhanan), kelima,
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 131
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
muslim kontemporer, mengemuka setelah selesainya penulisan
disertasi di School Oriental and African Studies (SOAS) pada tahun
2006, yang telah mencoba menerapkan munâsabah dengan
pendekatan bahasa untuk menafsirkan Alquran. Disertasi ini ditulis
oleh Salwa M.S. El-Awa yang bertajuk Textual Relation in The Quran:
Relevance, Coherence and Structure, yang kemudian diterbitkan oleh
Routledge, New York, tahun 2006.49 Dalam disertasinya, Salwa,
mengadopsi sebuah metodologi baru dalam rangka membaca teks
Alquran. Ia menggunakan teori-teori relevansi linguistik dalam
membahas dan menganalisis relasi-relasi yang kompleks dalam
surat-surat Alquran. Disertasi ini menunjukkan dengan jelas,
ketidaksambungan tema dengan surat-surat Alquran yang panjang.
Dan konteks serta struktur Alquran agar dapat dibaca ulang dan
dijelaskan dengan metodologi kontemporer. Hal ini dimaksudkan,
dalam rangka membantu para pembaca Alquran agar
menggunakan metode ini dalam menciptakan proses kognisi pada
makna yang diciptakan. Salwa, dalam kesimpulan akhirnya
menganggap bahwa area kajian relasi teks (munâsabah) masih belum
jelas (abu-abu).50
Koran and Modern Time (Alquran dan masa modern), dan keenam conclution
(kesimpulan). Dalam pengantarnya, Baljon mengatakan bahwa studi ini
merupakan kelanjutan sekaligus pelengkap bab terakhir (Der Islamische
Modernismus und seine Koranauslegung) karya Ignaz Goldziher mengenai
tafsir Alquran (Die Rachtungen der Islamische Koranauslegung, Leyden, Brill,
1920). Kelanjutan penelitian Goldziher ini tampaknya diperlukan, seperti
juga terhadap tafsir modern yang dipublikasikan 40 tahun yang silam.
Karya ini, dianggap oleh Baljon, sejauh karya itu, merupakan sumbangan
terlengkap, dan juga bisa dimanfaatkan bahasa-bahasa urdu yang masih
dipergunakan. Lihat, J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation
(1880-1960), (Leiden: E.J. Brill, 1968), hlm. VI
49 Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance,
Coherence and Structure, (Routledge, New York, 2006),
http://www.amazon.com/Textual-Relations-in-Quran-
ebook/dp/B000OI14MQ, unduhan 20 januari 2010, lihat pula, ulasan
review, SPS UIN Jakarta, The School, vol. 2. No. 5/ Mei 2009, hlm. 4.
50 Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance,
Coherence and Structure, (Routledge, New York, 2006), Lihat,
http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428, unduhan, 20 Januari 2010,
http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=Salwa+M.S.
+ElAwa&sourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8, unduhan, 20 januari 2010
132 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Richard Bell dalam tulisannya yang kemudian di revisi oleh
W. Montgomery Watt dalam Bell‟s Introduction To The Qur‟ân,
mengatakan:
“Whatever view is taken of the collection and compilation of the
Qur‟an, the possibility remains that parts of it may have been lost.
If, as tradition states, Zaid in collecting the Qur‟ân was dependent
an chance writings and human memories, parts may easily have
been forgotten. Yet conjunction of apparently unrelated verses st
certain points in the Qur‟ân suggests that the editors preserved
absolutely everything they came across which thay had reason to
believe had once been part of the Qur‟ân”.51
“Pandangan apapun yang diambil mengenai pengumpulan dan
penyusunan Quran, kemungkinannya tetap ada bahwa beberapa
bagian dari Quran mungkin hilang. Kalau seperti yang dinyatakan
oleh Hadis, Zaid dalam mengumpulkan Quran tergantung pada
penulisan secara kebetulan dan ingatan manusia, dengan mudah
atau bagian-bagiannya terlupakan. Namun, gabungan ayat-ayat
yang tampaknya tidak berhubungan di beberapa tempat dalam
Quran mengisyaratkan bahwa para penyunting mempertahankan
dengan mutlak semua yang mereka temukan dan yang beralasan
untuk diyakini bahwa itu dulunya merupakan bagian dari Quran”.
Tuntutan bagi terjadinya Alquran yang shâlih likulli zaman wa
makân, Quraish Shihab mengistilahkan dengan “membumikan
Alquran”. Dalam bahasa Nasr Hamid Abu Zaid dikenal tekstualitas
Alquran (mafhûm al-nash) atau meminjam Syahrur “al-qirâ‟ah al-
mu‟âshirah” (pembacaan dengan cara baru) mulai timbul ketika
adanya kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan peristiwa
dalam masyarakat, sempitnya terhadap pemahaman Alquran, dan
lain-lain. Ketika kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat yang
sedemikian rupa, maka tuntutan perubahan yang mengupayakan
membaca ulang teks semakin mendesak. Membumikan Alquran
merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai kitab suci terakhir,
Alquran menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas
geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik.
Karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan
manusia. Di mana terdapat kemaslahatan di situ ditemukan
tuntunan Alquran dan di mana terdapat tuntunan Alquran, di situ
terdapat kemaslahatan. Membumikan Alquran sesungguhnya tidak
51 W. Monthomery Watt, Bell‟s Introduction to The Qur‟ân, (Leiden:
Edinburgh University Press, 1994), hlm. 56.
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 133
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
lain adalah melakukan upaya-upaya terarah dan sistematis di dalam
masyarakat agar nilai-nilai Alquran hidup dan dipertahankan
sebagai faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana menjadikan
nilai-nilai Alquran sebagai bagian inheren dari perbendaharaan nilai-
nilai lokal dan universal di dalamnya. Asas pembumian Alquran
mempunya tiga perinsip,52 yaitu: 1) meniadakan kesulitan („adam al-
haraj), 2) pembatasan beban (taqlîl al-taklîf), dan 3) penetapan hukum
secara berangsur-angsur (al-tadrîj fi at-tasyrî‟). Keberangsuran ini
membuktikan adanya proses dialogis dan dialektis antara Alquran
dan realitas sosial. Hal ini juga memberikan legitimasi psikologis
dan sosiologis untuk penerapan strategi bertahap dalam proses
pembumian Alquran. Dengan demikian, proses pembumian
Alquran harus dipandang sebagai proses berkelanjutan,
pergumulan yang tanpa henti, seiring dengan perjalanan waktu dan
perkembangan umat manusia.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu
surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah
ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu.53 Akan tetapi
mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam
mushaf, apakah itu tauqîfî atau ijtihâdi (pengurutannya berdasarkan
52 Pembagian ini di dasarkan pada teks itu sendiri dan realitas teks
yang berkembang. Sebagaimana halnya nilai-nilai lain, proses akulturasi
dan enkulturasi nilai-nilai dasar Alquran dalam lintasan sejarah tidak saja
memberi warna baru kepada sasaran-sasarannya, karena ia membuka diri
pada setiap budaya posistif sepanjang masa. Ini antara lain disebabkan
karena sebagian besar ayatnya dapat mengandung aneka interpretasi dan
karena kitab suci ini menghidangkan simbol (amtsâl) yang sarat makna,
lagi terbuka bagi nalar para cendekiawan. Di sinilah kekhususan Alquran;
ia memberikan kesempatan kepada setiap budaya untuk menafsirkan dan
mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya. Dalam
kenyataannya, meskipun hanya satu Alquran, tetapi terjadi spektrum
keanekaragaman pemahaman dan penerapan ajaran di dunia Islam. Proses
pembumian Alquran tidak bisa menghindari fenomena kontak budaya
(cultural contact), yaitu antara tuntutan untuk mewujudkan tata nilai yang
haq dan kepentingan untuk memelihara keharmonisan di dalam
masyarakat. Tentu saja dalam hal ini keharmonisan tidak boleh
dikorbankan untuk menegakkan tata nilai yang haq, dan ia pun tidak
boleh dipertahankan bila dibangun atas landasan yang bathil. Lihat,
http://www.psq.or.id/profile.asp?mnid=14, unduhan 14 Januari 2010
53 Lihat perdebatan para ulama itu dalam Jalâluddin al-Suyûthi, al-
Itqan fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1979), Juz I, hlm. 60-63
134 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
ijtihad penyusun mushaf). Nasr Hamid Abû Zaid,54 wakil dari
ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam
mushaf sebagai tauqîfi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu
sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh al-
mahfûdz. Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan”
merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyusunan
yang pada gilirannya dapat mengungkapkan “persesuaian” antar
ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha
menyingkapkan sisi lain dari I‟jaz.55
Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam Alquran
mengesankan Alquran memberikan informasi yang tidak sitematis
dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan
pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah
disinggung oleh Abu Zaid, realitas teks itu menujukkan „stalistika‟
(retorika bahasa) yang merupakan bagian dari I‟jâz Al-Qur‟ân, aspek
kesusasteraan dan gaya bahasa.56 Maka dalam konteks pembacaan
54 Secara khusus Abû Zaid mengungkapkan bahwa munâsabah
merupakan salah satu bagian dari aspek I‟jâz (kemukjizatan) Alquran,
sebagaimana Abû Zaid mengutip pendapat al-Zarkâsyi sebagai berikut:
“mushaf seperti suhuf-suhuf mulia, sama dengan yang terdapat dalam kitab yang
tertutup rapat (lauh al-mahfûdz), semua surat dan ayatnya disusun secara tauqîfî.
Penghafal Alquran bila meminta fatwa mengenai berbagai macam hukum atau ia
memperdebatkannya, atau mendiktekannya maka ia akan menyebutkan ayat sesuai
dengan yang ditanyakannya. Dan jika ia kembali kepada bacaan, maka ia tidak
mengatakan seperi apa yang di fatwakan, dan tidak pula seperti yang diturunkan
secara terpisahpisah, melainkan seperti yang diturunkan secara keseluruhan di
Bait al-Izzahlm. Di antara yang jelas-jelas mukjizat ialah uslûb dan susunannya
yang mengagumkan. Sebab, ia merupakan kitab yang ayat-ayatnya dikokohkan,
kemudian diturunkan secara terpisah-pisah dari sisi yang maha bijaksana lagi
maha mengetahui. Yang pertama kali pantas untuk diteliti dalam setiap ayat
adalah apakah ayat berkaitan dengan ayat sebelumnya atau ia berdiri sendiri.
Dalam hal ini banyak ilmu. Demikian pula dengan surat, sisi keterkaitannya
dengan surat sebelumnya dan konteksnya perlu di cari”. Lihat, Nasr Hamid
Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur‟an, terj.
Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 108.
55 Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap
Ulumul Qur‟an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 215
56 Nasr Hamid Abû Zaid lebih lanjut mengungkap masalah
munâsabah sebagai bagian dari mukjizat pada dasarnya mengacu pada
mekanisme khusus teks yang membedakannya dari teks-teks lain dalam
kebudayaan. Bila dihubungkan dengan ilmu asbâb al-nuzûl misalnya, ilmu
munâsabah mengkaji hubungan teks dalam bentuk yang akhir dan final.
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 135
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
secara holistik pesan spiritual Alquran, salah satu instrumen
teoritiknya adalah dengan „ilm al-munâsabah. Keseluruhan teks
dalam Alquran, merupakan kesatuan struktural yang bagian-
bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks Alquran menghasilkan
pandangan dunia (weltanschauung) yang pasti. Dari sinilah umat
Islam dapat memfungsikan Alquran sebagai kitab petunjuk (hudan)
yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan
(educate). Akan tetapi Fazlur Rahman menengarai adanya kesalahan
umum di kalangan umat Islam dalam memahami pokok-pokok
keterpaduan Alquran, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga
dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada
ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat
pendekatan “atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada
penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat
yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.57
Fazlur Rahman Tampaknya dipengaruhi oleh al-Syâthibi (w.
1388) seorang yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al-
Muwâfaqat,58 tentang betapa mendesak dan masuk akalnya untuk
memahami Alquran sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif.
Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam Alquran adalah
prinsip-prinsip umumnya (ushûl al-kulliyah) bukan bagian-
bagiannya. Bagian-bagian Alquran adalah respon spontanitas atas
realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai problem
solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu
harus direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu
dengan yang lain, lalu diambil inti sarinya (hikmah al-tasyrî‟) sebagai
pedoman normatif (idea moral), dan idea moral Alquran itu
Sedang asbâb al-nuzûl mengkaji hubungan bagian-bagian teks dengan
kondisi eksternal, atau konteks eksternal pembentuk teks. Nasr Hamid
Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur‟an, hlm. 108.
57 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi
Intelektual, (terj.) Ahsin Mohammad, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1995), h,
2-3
58 Al-Syâthibi melihat betapa pentingnya munâsabah Al-Qur‟ân.
Bahwa, satu surat walaupun banyak mengandung masalah, namun
masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Sehingga, seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan
pandangannya pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula
akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila hal tersebut tidak diperhatikan,
maka maksud ayat yang diturunkan akan terabaikan. Lihat, al-Syâthibi, al-
Muwâfaqat, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1975), hlm. 144
136 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab problem-problem
kekinian.
Pembacaan Alquran Holistik
Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap
Alquran tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang
memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para
mufasir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa
menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. „Ilm
al-munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk
melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qirâ‟ah al-mu‟âshirah)
asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan”
antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan
penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi
filologis dalam „ilm munâsabah.
Lebih jelasnya, satu contoh munâsabah upaya
kontekstualisasi penafsiran yang diambil dari percikakan pemikiran
al-Zarkasyî. Di sini akan dibahas mengenai pertautan antar ayat.
Dalam hal ini ada 3 analisa yang diberikan oleh al-Zarkasyî, bahwa
ayat memiliki munâsabah. Pertama, terdapat kalimat bersambung
(ma‟thûfah), kedua, sisipan (istithrâd), dan ketiga perumpamaan
(tamtsîl).59 Dalam menjelaskan analisa pertama dan kedua, al-
Zarkasyî memberikan 3 ayat dari dua surah yang berbeda yaitu Q.S.
al-Hadîd (57): 4, Q.S. al-Baqarah (2): 245 dan 189.
...
”...Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi
dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari
langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama
kamu di mana saja kamu berada...”

”...Dan Allah menyempitkan dan melapangkan
(rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.

...
59 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 40-41.
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 137
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda (penunjuk)
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya...”
Pada dua ayat contoh di atas (Q.S. al-Hadîd: 4 dan al-Baqarah:
245), terdapat huruf ‟athaf yang kedua-duanya saling beriringan.
Selain beriringan, Al-Zarkasyi menyebutkan adakalanya munâsabah
antarayat yang menggunakan indikasi ‟athaf tetapi menunjukkan
saling bertentangan (al-madhâddah). Misalnya menyebut rahmat
Allah setelah adzab, menyebut hal yang disenangi setelah yang
dibenci, menyebut janji dan ancaman setelah ketetapan hukum.60
Selanjutnya, al-Zarkasyî dalam menjelaskan analisa kedua,
menggunakan Q.S. 2: 189, sisipan (istithrâd) dalam ayat ini dalam
penjelasannya adalah ketika disebutkan mengenai waktu haji,
dalam ayat yang sama disebutkan pula mengenai kebiasaan orang-
orang Arab ketika mereka berada di musim haji. Jadi, kalau ditelaah
lebih jauh, ada satu pertanyaan, kemudian dijawab dengan dua
jawaban dalam satu ayat. Hal ini sama misalnya dengan pertanyaan
mengenai air laut, kemudian dijawab oleh Nabi bahwa air laut itu
suci dan halal bangkainya.61
Contoh model tearkhir adalah perumpamaan (tamtsîl), ayat
yang dijadikan penguat oleh al-Zarkasyî dalam menerangkan model
ketiga ini adalah Q.S. al-Isrâ (17): 1-3 dan 7-8. Sekilas ayat satu
sampai tiga terkesan tidak ada relevansinya, bahkan mungkin
dianggap tidak logis. Ayat pertama bercerita tentang isra‟ mi‟raj,
ayat kedua tentang nabi Musa dan ayat ketiga tentang nabi Nuh.
Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, pada hakikatnya antara ayat
satu dengan yang lainnya memiliki kesatuan ide yang tisak
terpisahkan. Meskipun terjadi peralihan ide dari ayat satu yang
berbicara tentang isrâ‟ ke ayat kedua yang membicarakan
pemberian kitab kepada Musa. Namun demikian, munâsabah
keduanya bisa ditemukan dari cerita kedua kisah itu yang
menunjukkan kemahakuasaan Allah bagi hambanya yang bisa jadi
sukar dicerna oleh akal manusia. Dengan kuasa-Nya mengetahui
kisah-kisah orang musyrik terdahulu, sementara umat Nabi
Muhammad tidak mengetahuinya, seperti halnya kisah Nabi Musa.
Adapaun keterkaitan dengan ayat berikutnya yakni Nabi Nuh,
karena keturunan bani Israil sebagai cucu nabi Nuh. Dan dari
60 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 40.
61 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 41.
138 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
keterkaitan dengan Nuh itulah bani Israil masih ada sampai
sekarang, karena Nuh dan pengikutnya pernah diselamatkan oleh
Allah dari bencana banjir yang menimpa kaum Nuh ketika itu.
Dengan hal tersebut mereka diperintahkan untuk bersyukur, seperti
yang di sandangkan kepada Nuh sebagai hamba yang bersyukur
(‟abdan syakûrâ) pada akhir ayat ketiga. Selang tiga ayat kemudian
Allah tuturkan dengan bahasa yang indah ”jika kamu berbuat baik
(berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat
jahat, maka (kerugian kejahatanmu) untuk dirimu sendiri”. Ayat
berikutnya melanjutkan ”mudah-mudahan Tuhan kamu melimpahkan
rahmat kepadamu, tetapi jika kamu melakukan kejahatan, niscaya kami
kembali (mengadzabmu). Setelah panjang lebar menceritakan kisah
dan pesan di atas, ayat berikutnya kembali mengalihkan
pembahasan kepada hikmah diturunkannya Alquran, karena
sesungguhnya Alquran merupakan tanda kebesaran Allah yang
agung.62
Dari beberapa contoh yang diketengahkan di atas, terlihat
bahwa al-Zarkasyi memiliki kepekaan sekaligus kelihaian membuat
korelasi antara satu ayat dengan ayat berikutnya. Ini semakin
menguatkan bahwa Alquran memiliki hubungan yang sangat erat
antara yang satu dengan yang lainnya.
Dari perdebatan akademik tentang munâsabah yang
diperbincangkan di atas, secara garis besar dapat dipetakan menjadi
dua aliran.63 Pertama, pihak yang menyatakan bahwa memastikan
adanya pertalian erat antara surat dengan surat dan antara ayat
dengan ayat, dengan kata lain, perlu adanya munâsabah. Kelompok
ini seperti kata al-Zarqâni diwakili antara lain oleh Syekh „Izzuddîn
Ibn „Abd al-Salam, atau yang dikenal dengan „Abd al-Salam (577-
660 H.). Menurut kelompok pertama, munâsabah adalah ilmu yang
menjelaskan persyaratan baiknya kaitan pembicaraan (irtibâth al-
kalâm) apabila ada hubungan keterkaitan antara permulaan
pembicaraan akhir pembicaraan yang tersusun menjadi satu
kesatuan.64
62 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 41-43.
63 Al-Zarqani, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-
Fikr, 1988), hlm. 348.
64 Abdurrahman Ibn Abî Bakr ibn Muhammad Abu al-Fadhl al-
Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-I‟tishâm, t,thlm.), juz. 1,
hlm. 108.
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 139
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Kedua, golongan atau pihak yang menganggap bahwa tidak
perlu adanya munâsabah ayat, karena peristiwanya saling berlainan.
Ada paling tidak dua alasan mengapa golongan kedua ini enggan
atau menganggap tidak perlu adanya munâsabah. Pertama,
kelompok kedua berargumen bahwa Alquran diturunkan dan
diberi hikmah secara tauqîfi, hal ini atas petunjuk dan kehendak
Allah.65 Kedua, bahwa satu kalimat akan memiliki munâsabah bila
diucapkan dalam konteks yang sama. Karena Alquran diturunkan
dalam berbagai konteks, maka Alquran tidak memiliki munâsabah.
Pendapat ini juga diajukan oleh „Izzuddîn ibn Abd al-Salam (w. 660
H.). Di sinilah seolah-olah Izzuddîn ingin mengatakan bahwa
susunan ayat mesti berdasarkan turunnya.66 Sementara yang
diajukan oleh kelompok yang pro atau mendukung terhadap
munâsabah mengatakan bahwa ketidak teraturan susunan ayat
mengandung rahasia.
Pro-kontra kajian munâsabah antara pentingnya
mengedepankan munâsabah dan tidak perlu adanya munâsabah telah
menjadi konsumsi public yang tidak terpisahkan dari kajian „ulûm
al-Qur‟ân. Pertanyaan besar tentang apakah adanya munâsabah itu
bersifat tauqifî atau ijtihâdi mengemuka dan perlu adanya jawaban
akademik. Pertanyaan ini bisa jadi sangat menarik untuk di bawa ke
ranah diskusi yang akademik, dan kemudiaan di susul dengan
menyoal pada tataran lebih dalam, apakah perlu adanya munâsabah
al-Qur‟ân atau bisa jadi kalau pendapat yang sangat ekstrim tidak
tidak perlu adanya munâsah seperti wacana perdebatan di atas.
Al-Suyûthi mempunyai pendapat, apabila kata itu
dikembalikan pengertiannya dalam konteks ayat, kalimat atau surat
dalam Alquran, maka bisa berarti adanya keserupaan, kedekatan di
antara berbagai ayat, surat, atau kalimat yang diakibatkan oleh
65 Baca lebih lanjut, Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-
Burhân fi „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 37, lihat pula, Jalal al-Din al-Suyûthi, al-
Itqan fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 108
66 Abû Zaid mencoba melerai dan mengomentari pendapat atau
kelompok kedua yang tidak menyepakati adanya munâsabah dengan
mengatakan bahwa pendapat yang dikemukakan Izzuddîn agar
keterkaitan ayat dengan ayat dan surat dengan surat, terhadap sebab yang
berbeda-beda, yang tidak menjadi persyaratan baiknya susunan kalimat
(irtibâth al-kalâm) jangan sampai dipaksakan. Akan tetapi jika keterkaitan
uraian terjadi karena satu sebab yang sama, maka menghubungkannya
adalah suatu hal yang baik, dan disinilah letak baiknnya munâsabahlm.
Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas Alquran, hlm. 199.
140 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
adanya hubungan makna yang muncul. Misalnya, yang satu „âm
dan yang lainnya khâs. Hubungan itu bisa juga muncul melalui
penalaran („aqli), penginderaan (hissi), atau melaui kemestian dalam
pikiran (al-taladzdzum al-dihni) seperti hubungan sebab akibat, illat
dan ma‟lul dua hal yang serupa atau dua hal yang berlainan.67
Ahmad Atha‟ dalam pengantar buku Asrâr Tartîb al-Qur‟ân
karya al-Suyûthi memberikan cara dan tahapan untuk menemukan
munâsabah al-Qur‟ân. Ada empat langkah pertama, melihat tema
sentral dari surat tertentu. Kedua, melihat premis-premis yang
mendukung tema sentral. Ketiga, mengadakan kategorisasi
terhadap premis itu berdasarkan jauh dan dekatnya kepada tujuan.
Dan keempat, melihat kalimat-kalimat atau pernyataan yang saling
mendukung dalam premis itu.68 Dan cara-cara demikian telah lama
di pakai oleh para mufasir sekaliber al-Naisaburi, Abû Bakar Ibn al-
Zubair, Fakhruddîn al-Râzi, al-Suyûthi, al-Biqâ‟i, dan belakangan
Muhammad „Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Syaltut, dan
sebagainya. Dan yang dianggap paling konsen (takhashshush) adalah
al-Biqâ‟i dalam karya besarnya berjudul Nadzm al-Durâr fî Tanâshub
al-Âyat wa al-Shuwar.69
Kerangka teoritis yang berdasar pada uraian di atas, ada dua
benang merah yang bisa menjadi gambaran yang menerangkan
tentang kerangka munâsabah. Pertama, ada ayat dan surat yang bisa
dicari titik munasabah antara sat dengan lainnya. Kedua, ternyata
dari contoh model di atas, juga tidak ditemukan munâsabah, dalam
kata lain tidak semua ayat dan surat terdapat munâsabah. Namun
demikian, menurut hemat penulis bukan tidak ada munâsasabah,
bisa jadi kalau dibahasakan belum mampu menemukan munâsabah-
nya. Barangkali semuanya bersepakat akan adanya munâsabah,
namun tidak semua orang mampu menghubungkan antara satu
ayat atau surah satu dengan yang lainya. Pada sisi inilah celah
beberapa ilmuan yang mengkritik bahwa Alquran tidak holistic,
sehingga memungkinkan meragukan keotentisistasnnya.
67 Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‟Ulûm al-Qur‟ân, hlm.108.
68 Abd al-Qadir Ahmad Atha‟, dalam pengantar al-Suyûthi, Asrâr
Tartîb al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-I‟tishâm, 1978), hlm. 4
69 Lihat lebih lanjut, al-Biqâ‟î, Burhânuddin Ibn Umar Ibrahim,
Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al-Suwar, (Heidiradab: Majlis Dairât
al-Ma‟ârif al-Usmâniyyah, 1969).
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 141
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Kesimpulan
Dari uraian dan hipotesa perdebatan akademik seputar
wawasan munâsabah Alquran di atas, jelaslah munâsabah sebagai
bagian dari alat bantu memahami kitâb Allâh. Upaya-upaya itu,
terlihat begitu besar akan pentingnya kajian munâsabah terhadap
kajian Alquran, terlepas ada beberapa kalangan yang berusaha
keras ingin merekonstruksi Alquan, yang pasti dari kajian mereka kita
kembali dikejutkan untuk selalu menjaga dan paling tidak selalu
mengakaji Alquran. Maka upaya apapun, baik misalnya perdebatan
nasikh-mansukh menyoal adanya surat tambahan versi Syi‟ah, ingin
merombak susunan ayat dan surat Alquran secara kronologis,
mengoreksi bahasa Alquran ataupun ingin mengubah redaksi ayat-
ayat tertentu, bahkan bukan hanya sampai di situ menebar isu
mempersoalkan autentisitas Alquran, dan lain-lain. Yang jelas,
stigma miring ini tidak kemudian melunturkan keimanan atau
memurtadkan keyakinan, karena upaya mereka terbukti sampai
sekarang tidak berhasil. Justru malah sebaliknya, animo untuk
mengkaji Alquran dan keyakinan akan kitab suci Alquran semakin
tinggi dan marak.
Daftar Pustaka
„Ali bin Muhammad bin „Ali al-Jurjani, al-Ta‟rifât, Beirut: Dâr al-
Kutub al-„Arabi, 1405 H.
A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984
Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû‟I, Kairo: al-
Hadharah al-„Arabiyah, 1977
Abd al-Qadir Ahmad Atha‟, dalam pengantar al-Suyûthi, Asrâr
Tartîb al-Qur‟ân, Kairo: Dâr al-I‟tishâm, 1978.
Abdurrahman Ibn Abî Bakr ibn Muhammad Abu al-Fadhl al-
Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur‟ân, Kairo: Dâr al-I‟tishâm, 1978
Abi Abdillah Nuhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthûbi, al-
Jami‟ lî al-Ahkâm al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993.
Al-Bagawî, Syarh al-Sunnah al-Shahâbah, Beirūt: Dār al-Kutub al-
`Ilmiyyah, 1993
Al-Baihaqî, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ , (Kuwait: Dâr al-
Khulafâ‟ lî al-Kitâb al-Islâmî, 1404
Al-Bâqillânî, I‟jâz al-Qur‟ân, Beirūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1996.
al-Syâthibi, al-Muwâfaqat, Beirut: Dâr al-Fikr, 1975
142 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Andy Hadiyanto, Repetisi Kisah Al-Quran (Analisis Struktural Genetik
Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan
Madaniyyah), disertasi UIN, 2009
Burhânuddin Ibn Umar Ibrahim al-Biqâ‟î, Nadzm al-Durâr fî Tanâsub
al-Âyat wa al-Suwar, Heidiradab: Majlis Dairât al-Ma‟ârif al-
Usmâniyyah, 1969
Fauzul Iman, Munasabah Al-Qur‟an, Jurnal Panji Masyarakat, no.
843, edisi Novemver 2005
Fazlur Rahmân, Islam and Modernity, Chicago: Universitas of
Chicago Press, 1982
http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428.fmatter, unduhan, 20
Januari 2010,
http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=Salwa+
M.S.+ElAwa&sourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8,
unduhan, 20 januari 2010
Ibnu Manzûr al-Afriqi, Lisân al-„Arâb, Beirut: Dâr al-Sadîr, tth.
Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, Beirût: Dâr al-
Sadîr, t.th.
J.M.S. Baljon,Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), Leiden:
E.J. Brill, 1968
Jalaluddîn al-Suyûthi, al-Itqan fî „Ulûm al-Qur‟ân, Damaskus : Dar al-
Fikr, 1979.
Labib al-Sa‟id, al-jam‟ al-Shautî lî al-Qur‟ân al-Karîm, (Mesir: Dâr al-
Kâtib al-„Arâby, t.th
Lois Ma‟luf, Qamûs al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‟lam, (Beirut: Dâr al-
Syarqy, 1976.
M. Quraish Shihab , Wawasan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1996
_______, dalam pengantar buku Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka al-Fabets, 2005
_______, Ibrahim bin Umar al-Biqâ‟i: Ahli Tafsir yang Kontroversial,
Jurnal Ulûmul Qur‟an, LSAF, Vol. 1, 1989
_______, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992
_______, Mukjizat al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1998
_______, Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, (Jakarta: Pustaka Fidaus dan
Bayt al-Qur‟an & Museum Istiqlal TMII, 2001
_______, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
Jakarta: Lentera hati, 2006
Mannâ„ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, Beirut:
Mansyûrât al-„Asr al-Hadîts, 1393 H.
Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 143
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
MM. Azami, The History of Qur‟ânic Text From Revelation to
Compilation A Comparative Study with the old and new
Testament, (Sejarah Teks al-Qur‟ân dari Wahyu sampai
Kompilasi kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru), terj. Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi
Suharto, Lili Mulyadi, Jakarta: Gema Insani Press, 2005
Muhamad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir:
Maktabah Wahbah, 1985
Muhammad „Abdul Azaîm al-Zarqânî, Manâhil al-„Irfân fi „Ulûm al-
Qur‟ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1988
Muhammad Ahmad Khalafullâh, al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur‟ân al-
Karîm, syarah wa al-ta‟lîq oleh Khalîl „Abd al-Karîm, Beirut,
Kairo, Sînâ lî al-Nasyr wa al-Intisyâr al-„Araby, 1999
Muhammad Ajâj al-Khathîb,, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn,
Terjemahan. AH. Akram Fahmi, Jakarta: Gema Insani
Press, 1999
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000
Muhammad Burhanuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi „Ulûm al-
Qur‟ûn, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-„Arabiyyah, 1957
Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi „Ulûm al-
Qur‟ûn, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-„Arabiyyah, 1957
Muhammad Fu‟ad Abdul Bâqî, al-Mu‟jâm al-Mufharas li al-Fâz al-
Qur‟ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1987
Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhal li Dirâsâh al-
Qur‟ân al-Karîm, Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992
Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata‟addab Ma‟a al-Mushhaf, t.tp.,
Dâr al-I‟tishâm, 1978
Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, Min Rawâ‟i al-Qurân, Beirut-
Libanon/Damsyik: maktabah al-farabi, 1397 H/1977 M.
Mushthafâ Shâdiq al-Râfi‟î, I‟jâ z al-Qur‟ân wa al-Balâgah al-
Nahwiyyah, Beirūt: al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. ke-3, 1990
Musthafâ al-Sibâ‟î, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-tasyrî‟ al-Islâmî,
Sunnah dan Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam,
terj. Nurchalish Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Nasr Hamid Abû Zaid, Mafhûm al-Nâsh: Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân,
kairo: Dâr al-Ihyâ al-Kutub al‟Arabiyyah, 1992
_______, Tekstualitas al-Qur‟an : Kritik Terhadap Ulumul Qur‟an, terj.
Khairan Nahdiyyin, Yogyakarta : LkiS, 2001
Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994
144 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Salwa M.S. El-Awa, Texstual Relation in The Quran: Relevance,
Coherence and Structure, Routledge, New York, 2006
Subhi Shâlih, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, Bairut-Libanon, Dâr al-
„Ilm lî al-Malâyîn, 1988
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2005
W. Monthomery Watt, Bell‟s Introduction to The Qur‟ân, Leiden:
Edinburgh University Press, 1994
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran kalam tafsir al-Azhar, Sebuah telaah
tentang Pemikiran hamka dalam teologi Islam, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990
_______, Karakteristik Tafsîr al-Quran di Indonesia Abad 20, Jurnal Ulûm
al-Quran, Vol. III, no.4, 1992

More Related Content

What's hot

Makalah Ulumul Qur'an
Makalah Ulumul Qur'anMakalah Ulumul Qur'an
Makalah Ulumul Qur'an
Muhammad Idris
 
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYADHUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
Novianti Rossalina
 
muhkam dan mutasyabih
muhkam dan mutasyabihmuhkam dan mutasyabih
muhkam dan mutasyabih
fajriatus sny
 
Amar, Nahi, dan Takhyir
Amar, Nahi, dan TakhyirAmar, Nahi, dan Takhyir
Amar, Nahi, dan Takhyir
shofichofifah
 
NASIKH MANSUKH POWERPOINT
NASIKH MANSUKH POWERPOINTNASIKH MANSUKH POWERPOINT
NASIKH MANSUKH POWERPOINT
Johan Safrijal
 
Ijma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyasIjma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyas
Rikza Adhia
 
Qiraat Sab'ah
Qiraat Sab'ahQiraat Sab'ah
Qiraat Sab'ah
Fauzil Adzim
 
Nasakh (nasikh mansukh)
Nasakh (nasikh mansukh)Nasakh (nasikh mansukh)
Nasakh (nasikh mansukh)STEI SEBI
 
Takhrij Hadits
Takhrij HaditsTakhrij Hadits
Takhrij Hadits
mugnisulaeman
 
Ppt ulumul quran
Ppt ulumul quranPpt ulumul quran
Ppt ulumul quran
Joko Budiono
 
Presentasi ilmu munasabah bab 8
Presentasi ilmu munasabah bab 8Presentasi ilmu munasabah bab 8
Presentasi ilmu munasabah bab 8
Putri Har
 
aqsamul qur'an.pdf
aqsamul qur'an.pdfaqsamul qur'an.pdf
aqsamul qur'an.pdf
FeriArifin4
 
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Miftah Iqtishoduna
 
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiPresentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiMarhamah Saleh
 
Hukum Taklifi Wadh'i
Hukum Taklifi Wadh'iHukum Taklifi Wadh'i
Hukum Taklifi Wadh'i
Marhamah Saleh
 
mafhum mukhalafah
mafhum mukhalafahmafhum mukhalafah
mafhum mukhalafah
Anita Rahman
 
Kodifikasi al quran
Kodifikasi al quranKodifikasi al quran
Kodifikasi al quranNisa Ell
 
'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana
Marhamah Saleh
 
Israiliyat Dalam Tafsir
Israiliyat Dalam TafsirIsrailiyat Dalam Tafsir
Israiliyat Dalam Tafsir
Farra Shahirra
 

What's hot (20)

Makalah Ulumul Qur'an
Makalah Ulumul Qur'anMakalah Ulumul Qur'an
Makalah Ulumul Qur'an
 
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYADHUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
 
muhkam dan mutasyabih
muhkam dan mutasyabihmuhkam dan mutasyabih
muhkam dan mutasyabih
 
Amar, Nahi, dan Takhyir
Amar, Nahi, dan TakhyirAmar, Nahi, dan Takhyir
Amar, Nahi, dan Takhyir
 
NASIKH MANSUKH POWERPOINT
NASIKH MANSUKH POWERPOINTNASIKH MANSUKH POWERPOINT
NASIKH MANSUKH POWERPOINT
 
Ijma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyasIjma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyas
 
Qiraat Sab'ah
Qiraat Sab'ahQiraat Sab'ah
Qiraat Sab'ah
 
Nasakh (nasikh mansukh)
Nasakh (nasikh mansukh)Nasakh (nasikh mansukh)
Nasakh (nasikh mansukh)
 
Takhrij Hadits
Takhrij HaditsTakhrij Hadits
Takhrij Hadits
 
Ppt ulumul quran
Ppt ulumul quranPpt ulumul quran
Ppt ulumul quran
 
Presentasi ilmu munasabah bab 8
Presentasi ilmu munasabah bab 8Presentasi ilmu munasabah bab 8
Presentasi ilmu munasabah bab 8
 
Tasyri' masa sahabat
Tasyri'  masa sahabatTasyri'  masa sahabat
Tasyri' masa sahabat
 
aqsamul qur'an.pdf
aqsamul qur'an.pdfaqsamul qur'an.pdf
aqsamul qur'an.pdf
 
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
 
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiPresentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
 
Hukum Taklifi Wadh'i
Hukum Taklifi Wadh'iHukum Taklifi Wadh'i
Hukum Taklifi Wadh'i
 
mafhum mukhalafah
mafhum mukhalafahmafhum mukhalafah
mafhum mukhalafah
 
Kodifikasi al quran
Kodifikasi al quranKodifikasi al quran
Kodifikasi al quran
 
'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana
 
Israiliyat Dalam Tafsir
Israiliyat Dalam TafsirIsrailiyat Dalam Tafsir
Israiliyat Dalam Tafsir
 

Similar to Dr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquran

TUGAS TAFSIR TEMATIK OLEH NUR FADILLA NASUTION (0104183200) SM IV-E MD FDK UI...
TUGAS TAFSIR TEMATIK OLEH NUR FADILLA NASUTION (0104183200) SM IV-E MD FDK UI...TUGAS TAFSIR TEMATIK OLEH NUR FADILLA NASUTION (0104183200) SM IV-E MD FDK UI...
TUGAS TAFSIR TEMATIK OLEH NUR FADILLA NASUTION (0104183200) SM IV-E MD FDK UI...
ISLAMIC UNIVERSITY OF GOVERMENT NORTH SUMATERA
 
Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)
Ibnu Ahmad
 
Ulumul_Quran_Bag_1_pptx.pptx
Ulumul_Quran_Bag_1_pptx.pptxUlumul_Quran_Bag_1_pptx.pptx
Ulumul_Quran_Bag_1_pptx.pptx
TresnaBintangKusumaH
 
Mahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsirMahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsir
August Ruris Narendra
 
Pengertian tafsir
Pengertian tafsirPengertian tafsir
Pengertian tafsir
4n9ry_61rd5
 
Bangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamBangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamAnwar Ma'rufi
 
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasaniahmadsaid
 
Tugas tafsir al kasysyaf
Tugas tafsir al kasysyafTugas tafsir al kasysyaf
Tugas tafsir al kasysyaf
Sida El Nurya
 
Hasani Ahmad Said - Jurnal Afkaruna - Kalimatun Sawa‘ - 5761-23418-1-PB.pdf
Hasani Ahmad Said - Jurnal Afkaruna - Kalimatun Sawa‘ - 5761-23418-1-PB.pdfHasani Ahmad Said - Jurnal Afkaruna - Kalimatun Sawa‘ - 5761-23418-1-PB.pdf
Hasani Ahmad Said - Jurnal Afkaruna - Kalimatun Sawa‘ - 5761-23418-1-PB.pdf
Hasaniahmadsaid
 
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran IslamQuran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
Marhamah Saleh
 
Al qur’an dan tafsir
Al qur’an dan tafsirAl qur’an dan tafsir
Al qur’an dan tafsir
Nur Alfiyatur Rochmah
 
Ulumul_Quran.pptx
Ulumul_Quran.pptxUlumul_Quran.pptx
Ulumul_Quran.pptx
miduwidang
 
2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx
2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx
2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx
mansurcikal1
 
Ilmu rijal al hadits
Ilmu rijal al haditsIlmu rijal al hadits
Ilmu rijal al hadits
Yudi Wahyudin
 
Ilmu rijal al hadits
Ilmu rijal al haditsIlmu rijal al hadits
Ilmu rijal al haditsYudi Wahyudin
 
Dirosatul quran ta'wil musykil Dirosatul quran ta'wil musykil
Dirosatul quran ta'wil musykil Dirosatul quran ta'wil musykilDirosatul quran ta'wil musykil Dirosatul quran ta'wil musykil
Dirosatul quran ta'wil musykil Dirosatul quran ta'wil musykil
muhamadalaauddin1
 
Kitab ta'wil mukhtalaf hadits
Kitab ta'wil mukhtalaf haditsKitab ta'wil mukhtalaf hadits
Kitab ta'wil mukhtalaf hadits
gun2ab
 
PRESENTASI_ULUMUL QUR'AN.pptx
PRESENTASI_ULUMUL QUR'AN.pptxPRESENTASI_ULUMUL QUR'AN.pptx
PRESENTASI_ULUMUL QUR'AN.pptx
ZaenAlabied
 
Husein muhammad alquran
Husein muhammad alquranHusein muhammad alquran
Husein muhammad alquran
Luthfi Maghfurin
 
Ihya ulumuddin dalam pandangan para ulama
Ihya ulumuddin dalam pandangan para ulamaIhya ulumuddin dalam pandangan para ulama
Ihya ulumuddin dalam pandangan para ulamaSrijb Mms
 

Similar to Dr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquran (20)

TUGAS TAFSIR TEMATIK OLEH NUR FADILLA NASUTION (0104183200) SM IV-E MD FDK UI...
TUGAS TAFSIR TEMATIK OLEH NUR FADILLA NASUTION (0104183200) SM IV-E MD FDK UI...TUGAS TAFSIR TEMATIK OLEH NUR FADILLA NASUTION (0104183200) SM IV-E MD FDK UI...
TUGAS TAFSIR TEMATIK OLEH NUR FADILLA NASUTION (0104183200) SM IV-E MD FDK UI...
 
Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)
 
Ulumul_Quran_Bag_1_pptx.pptx
Ulumul_Quran_Bag_1_pptx.pptxUlumul_Quran_Bag_1_pptx.pptx
Ulumul_Quran_Bag_1_pptx.pptx
 
Mahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsirMahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsir
 
Pengertian tafsir
Pengertian tafsirPengertian tafsir
Pengertian tafsir
 
Bangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamBangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalam
 
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
 
Tugas tafsir al kasysyaf
Tugas tafsir al kasysyafTugas tafsir al kasysyaf
Tugas tafsir al kasysyaf
 
Hasani Ahmad Said - Jurnal Afkaruna - Kalimatun Sawa‘ - 5761-23418-1-PB.pdf
Hasani Ahmad Said - Jurnal Afkaruna - Kalimatun Sawa‘ - 5761-23418-1-PB.pdfHasani Ahmad Said - Jurnal Afkaruna - Kalimatun Sawa‘ - 5761-23418-1-PB.pdf
Hasani Ahmad Said - Jurnal Afkaruna - Kalimatun Sawa‘ - 5761-23418-1-PB.pdf
 
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran IslamQuran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
 
Al qur’an dan tafsir
Al qur’an dan tafsirAl qur’an dan tafsir
Al qur’an dan tafsir
 
Ulumul_Quran.pptx
Ulumul_Quran.pptxUlumul_Quran.pptx
Ulumul_Quran.pptx
 
2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx
2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx
2512-MANSUR-ILMU AL-MUNÂSABAH.pptx
 
Ilmu rijal al hadits
Ilmu rijal al haditsIlmu rijal al hadits
Ilmu rijal al hadits
 
Ilmu rijal al hadits
Ilmu rijal al haditsIlmu rijal al hadits
Ilmu rijal al hadits
 
Dirosatul quran ta'wil musykil Dirosatul quran ta'wil musykil
Dirosatul quran ta'wil musykil Dirosatul quran ta'wil musykilDirosatul quran ta'wil musykil Dirosatul quran ta'wil musykil
Dirosatul quran ta'wil musykil Dirosatul quran ta'wil musykil
 
Kitab ta'wil mukhtalaf hadits
Kitab ta'wil mukhtalaf haditsKitab ta'wil mukhtalaf hadits
Kitab ta'wil mukhtalaf hadits
 
PRESENTASI_ULUMUL QUR'AN.pptx
PRESENTASI_ULUMUL QUR'AN.pptxPRESENTASI_ULUMUL QUR'AN.pptx
PRESENTASI_ULUMUL QUR'AN.pptx
 
Husein muhammad alquran
Husein muhammad alquranHusein muhammad alquran
Husein muhammad alquran
 
Ihya ulumuddin dalam pandangan para ulama
Ihya ulumuddin dalam pandangan para ulamaIhya ulumuddin dalam pandangan para ulama
Ihya ulumuddin dalam pandangan para ulama
 

More from Hasaniahmadsaid

Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Sejarah al-Qur'ab - MRAH - Sabtu 9 Sep 23.pptx
Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Sejarah al-Qur'ab - MRAH - Sabtu 9 Sep 23.pptxDr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Sejarah al-Qur'ab - MRAH - Sabtu 9 Sep 23.pptx
Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Sejarah al-Qur'ab - MRAH - Sabtu 9 Sep 23.pptx
Hasaniahmadsaid
 
Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Dalil-dalil-Perayaan-Maulid-Nabi-Muhammad-S...
Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Dalil-dalil-Perayaan-Maulid-Nabi-Muhammad-S...Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Dalil-dalil-Perayaan-Maulid-Nabi-Muhammad-S...
Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Dalil-dalil-Perayaan-Maulid-Nabi-Muhammad-S...
Hasaniahmadsaid
 
Karya Dr. Hasani Ahmad Said, M.A..pdf
Karya Dr. Hasani Ahmad Said, M.A..pdfKarya Dr. Hasani Ahmad Said, M.A..pdf
Karya Dr. Hasani Ahmad Said, M.A..pdf
Hasaniahmadsaid
 
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdfCv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
Hasaniahmadsaid
 
Dr- Hasani 04-Jul-2022 22-16-10.pdf
Dr- Hasani 04-Jul-2022 22-16-10.pdfDr- Hasani 04-Jul-2022 22-16-10.pdf
Dr- Hasani 04-Jul-2022 22-16-10.pdf
Hasaniahmadsaid
 
Tafsir Ijmali Tadabur atas Tafsir Surah al-Anfal.pptx
Tafsir Ijmali Tadabur atas Tafsir Surah al-Anfal.pptxTafsir Ijmali Tadabur atas Tafsir Surah al-Anfal.pptx
Tafsir Ijmali Tadabur atas Tafsir Surah al-Anfal.pptx
Hasaniahmadsaid
 
tvri - kedudukan harta dalam al-Qur'an - by Hasani Ahmad Said, 3 Nov 2022 2.pptx
tvri - kedudukan harta dalam al-Qur'an - by Hasani Ahmad Said, 3 Nov 2022 2.pptxtvri - kedudukan harta dalam al-Qur'an - by Hasani Ahmad Said, 3 Nov 2022 2.pptx
tvri - kedudukan harta dalam al-Qur'an - by Hasani Ahmad Said, 3 Nov 2022 2.pptx
Hasaniahmadsaid
 
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdfCv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
Hasaniahmadsaid
 
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
Hasaniahmadsaid
 
Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Persp...
Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Persp...Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Persp...
Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Persp...
Hasaniahmadsaid
 
Hasani Ahmad Said at. all. - The Review Of Castration Punishment For Pedophil...
Hasani Ahmad Said at. all. - The Review Of Castration Punishment For Pedophil...Hasani Ahmad Said at. all. - The Review Of Castration Punishment For Pedophil...
Hasani Ahmad Said at. all. - The Review Of Castration Punishment For Pedophil...
Hasaniahmadsaid
 
Jurnal IRATDE - Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Weari...
Jurnal IRATDE - Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Weari...Jurnal IRATDE - Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Weari...
Jurnal IRATDE - Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Weari...
Hasaniahmadsaid
 
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
Hasaniahmadsaid
 
Dr. Hasani AHmad Said, M.A. - Masjid Asmaul Husna - I'jaz Alquran dalam Hal P...
Dr. Hasani AHmad Said, M.A. - Masjid Asmaul Husna - I'jaz Alquran dalam Hal P...Dr. Hasani AHmad Said, M.A. - Masjid Asmaul Husna - I'jaz Alquran dalam Hal P...
Dr. Hasani AHmad Said, M.A. - Masjid Asmaul Husna - I'jaz Alquran dalam Hal P...
Hasaniahmadsaid
 
Masjid al-Bina Senayan - Ketika Usia 40 Tahun - Dr. Hasani Ahmad Said.pptx
Masjid al-Bina Senayan - Ketika Usia 40 Tahun - Dr. Hasani Ahmad Said.pptxMasjid al-Bina Senayan - Ketika Usia 40 Tahun - Dr. Hasani Ahmad Said.pptx
Masjid al-Bina Senayan - Ketika Usia 40 Tahun - Dr. Hasani Ahmad Said.pptx
Hasaniahmadsaid
 
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI - JEJAK PERADABAN MADINAH ...
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI  - JEJAK PERADABAN MADINAH ...DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI  - JEJAK PERADABAN MADINAH ...
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI - JEJAK PERADABAN MADINAH ...
Hasaniahmadsaid
 
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI KERAGAMAN SERAMBI ISLAMI 19...
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI KERAGAMAN SERAMBI ISLAMI 19...DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI KERAGAMAN SERAMBI ISLAMI 19...
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI KERAGAMAN SERAMBI ISLAMI 19...
Hasaniahmadsaid
 
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Serambi Islami TVRI - Keutamaan Surah Yasin - S...
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Serambi Islami TVRI - Keutamaan Surah Yasin - S...Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Serambi Islami TVRI - Keutamaan Surah Yasin - S...
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Serambi Islami TVRI - Keutamaan Surah Yasin - S...
Hasaniahmadsaid
 
Serambi Islami TVRI - Kedudukan Harta dalam al-Qur'an - by Dr. Hasani Ahmad S...
Serambi Islami TVRI - Kedudukan Harta dalam al-Qur'an - by Dr. Hasani Ahmad S...Serambi Islami TVRI - Kedudukan Harta dalam al-Qur'an - by Dr. Hasani Ahmad S...
Serambi Islami TVRI - Kedudukan Harta dalam al-Qur'an - by Dr. Hasani Ahmad S...
Hasaniahmadsaid
 
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Tafsir Ijmali Mengenal Surah al-Baqarah.pptx
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Tafsir Ijmali Mengenal Surah al-Baqarah.pptxDr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Tafsir Ijmali Mengenal Surah al-Baqarah.pptx
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Tafsir Ijmali Mengenal Surah al-Baqarah.pptx
Hasaniahmadsaid
 

More from Hasaniahmadsaid (20)

Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Sejarah al-Qur'ab - MRAH - Sabtu 9 Sep 23.pptx
Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Sejarah al-Qur'ab - MRAH - Sabtu 9 Sep 23.pptxDr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Sejarah al-Qur'ab - MRAH - Sabtu 9 Sep 23.pptx
Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Sejarah al-Qur'ab - MRAH - Sabtu 9 Sep 23.pptx
 
Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Dalil-dalil-Perayaan-Maulid-Nabi-Muhammad-S...
Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Dalil-dalil-Perayaan-Maulid-Nabi-Muhammad-S...Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Dalil-dalil-Perayaan-Maulid-Nabi-Muhammad-S...
Dr. KH. Hasani Ahmad Said, M.A. - Dalil-dalil-Perayaan-Maulid-Nabi-Muhammad-S...
 
Karya Dr. Hasani Ahmad Said, M.A..pdf
Karya Dr. Hasani Ahmad Said, M.A..pdfKarya Dr. Hasani Ahmad Said, M.A..pdf
Karya Dr. Hasani Ahmad Said, M.A..pdf
 
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdfCv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
 
Dr- Hasani 04-Jul-2022 22-16-10.pdf
Dr- Hasani 04-Jul-2022 22-16-10.pdfDr- Hasani 04-Jul-2022 22-16-10.pdf
Dr- Hasani 04-Jul-2022 22-16-10.pdf
 
Tafsir Ijmali Tadabur atas Tafsir Surah al-Anfal.pptx
Tafsir Ijmali Tadabur atas Tafsir Surah al-Anfal.pptxTafsir Ijmali Tadabur atas Tafsir Surah al-Anfal.pptx
Tafsir Ijmali Tadabur atas Tafsir Surah al-Anfal.pptx
 
tvri - kedudukan harta dalam al-Qur'an - by Hasani Ahmad Said, 3 Nov 2022 2.pptx
tvri - kedudukan harta dalam al-Qur'an - by Hasani Ahmad Said, 3 Nov 2022 2.pptxtvri - kedudukan harta dalam al-Qur'an - by Hasani Ahmad Said, 3 Nov 2022 2.pptx
tvri - kedudukan harta dalam al-Qur'an - by Hasani Ahmad Said, 3 Nov 2022 2.pptx
 
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdfCv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdf
 
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
 
Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Persp...
Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Persp...Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Persp...
Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Persp...
 
Hasani Ahmad Said at. all. - The Review Of Castration Punishment For Pedophil...
Hasani Ahmad Said at. all. - The Review Of Castration Punishment For Pedophil...Hasani Ahmad Said at. all. - The Review Of Castration Punishment For Pedophil...
Hasani Ahmad Said at. all. - The Review Of Castration Punishment For Pedophil...
 
Jurnal IRATDE - Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Weari...
Jurnal IRATDE - Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Weari...Jurnal IRATDE - Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Weari...
Jurnal IRATDE - Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Weari...
 
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...
 
Dr. Hasani AHmad Said, M.A. - Masjid Asmaul Husna - I'jaz Alquran dalam Hal P...
Dr. Hasani AHmad Said, M.A. - Masjid Asmaul Husna - I'jaz Alquran dalam Hal P...Dr. Hasani AHmad Said, M.A. - Masjid Asmaul Husna - I'jaz Alquran dalam Hal P...
Dr. Hasani AHmad Said, M.A. - Masjid Asmaul Husna - I'jaz Alquran dalam Hal P...
 
Masjid al-Bina Senayan - Ketika Usia 40 Tahun - Dr. Hasani Ahmad Said.pptx
Masjid al-Bina Senayan - Ketika Usia 40 Tahun - Dr. Hasani Ahmad Said.pptxMasjid al-Bina Senayan - Ketika Usia 40 Tahun - Dr. Hasani Ahmad Said.pptx
Masjid al-Bina Senayan - Ketika Usia 40 Tahun - Dr. Hasani Ahmad Said.pptx
 
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI - JEJAK PERADABAN MADINAH ...
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI  - JEJAK PERADABAN MADINAH ...DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI  - JEJAK PERADABAN MADINAH ...
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI - JEJAK PERADABAN MADINAH ...
 
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI KERAGAMAN SERAMBI ISLAMI 19...
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI KERAGAMAN SERAMBI ISLAMI 19...DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI KERAGAMAN SERAMBI ISLAMI 19...
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - SERAMBI ISLAMI TVRI KERAGAMAN SERAMBI ISLAMI 19...
 
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Serambi Islami TVRI - Keutamaan Surah Yasin - S...
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Serambi Islami TVRI - Keutamaan Surah Yasin - S...Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Serambi Islami TVRI - Keutamaan Surah Yasin - S...
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Serambi Islami TVRI - Keutamaan Surah Yasin - S...
 
Serambi Islami TVRI - Kedudukan Harta dalam al-Qur'an - by Dr. Hasani Ahmad S...
Serambi Islami TVRI - Kedudukan Harta dalam al-Qur'an - by Dr. Hasani Ahmad S...Serambi Islami TVRI - Kedudukan Harta dalam al-Qur'an - by Dr. Hasani Ahmad S...
Serambi Islami TVRI - Kedudukan Harta dalam al-Qur'an - by Dr. Hasani Ahmad S...
 
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Tafsir Ijmali Mengenal Surah al-Baqarah.pptx
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Tafsir Ijmali Mengenal Surah al-Baqarah.pptxDr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Tafsir Ijmali Mengenal Surah al-Baqarah.pptx
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Tafsir Ijmali Mengenal Surah al-Baqarah.pptx
 

Recently uploaded

Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdfPanduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
MildayantiMildayanti
 
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptxNovel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
NirmalaJane
 
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pdf.pdf
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pdf.pdfRANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pdf.pdf
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pdf.pdf
OswaldusDiwaDoka
 
Modul Ajar Matematika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Fathan Emran
 
IKLAN PENERIMAAN GURU SEKUM YPS 2024.pdf
IKLAN PENERIMAAN GURU SEKUM YPS 2024.pdfIKLAN PENERIMAAN GURU SEKUM YPS 2024.pdf
IKLAN PENERIMAAN GURU SEKUM YPS 2024.pdf
sriwulandari723
 
Defenisi Anak serta Usia Anak dan Kekerasan yang mungki terjadi pada Anak
Defenisi Anak serta Usia Anak dan Kekerasan yang mungki terjadi pada AnakDefenisi Anak serta Usia Anak dan Kekerasan yang mungki terjadi pada Anak
Defenisi Anak serta Usia Anak dan Kekerasan yang mungki terjadi pada Anak
Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak
 
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptxRPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
YongYongYong1
 
Demonstrasi Konseptual Modul 2.1 - RPP Berdiferensiasi.pdf
Demonstrasi Konseptual Modul 2.1 - RPP Berdiferensiasi.pdfDemonstrasi Konseptual Modul 2.1 - RPP Berdiferensiasi.pdf
Demonstrasi Konseptual Modul 2.1 - RPP Berdiferensiasi.pdf
d2spdpnd9185
 
LAPORAN BIMBINGAN TEKNIS TRANSISI PAUD - SD.pdf
LAPORAN BIMBINGAN TEKNIS TRANSISI PAUD - SD.pdfLAPORAN BIMBINGAN TEKNIS TRANSISI PAUD - SD.pdf
LAPORAN BIMBINGAN TEKNIS TRANSISI PAUD - SD.pdf
RosidaAini3
 
Kisi-kisi PAT IPS Kelas 8 semester 2.pdf
Kisi-kisi PAT IPS Kelas 8 semester 2.pdfKisi-kisi PAT IPS Kelas 8 semester 2.pdf
Kisi-kisi PAT IPS Kelas 8 semester 2.pdf
indraayurestuw
 
Modul Ajar Statistika Data Fase F kelas
Modul Ajar Statistika Data Fase F  kelasModul Ajar Statistika Data Fase F  kelas
Modul Ajar Statistika Data Fase F kelas
ananda238570
 
PELAKSANAAN (13-14 Juni'24) + Link2 Materi BimTek _"PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (P...
PELAKSANAAN (13-14 Juni'24) + Link2 Materi BimTek _"PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (P...PELAKSANAAN (13-14 Juni'24) + Link2 Materi BimTek _"PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (P...
PELAKSANAAN (13-14 Juni'24) + Link2 Materi BimTek _"PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (P...
Kanaidi ken
 
AKSI NYATA PENDIDIKAN INKLUSIF_Baedlawi.pdf
AKSI NYATA PENDIDIKAN INKLUSIF_Baedlawi.pdfAKSI NYATA PENDIDIKAN INKLUSIF_Baedlawi.pdf
AKSI NYATA PENDIDIKAN INKLUSIF_Baedlawi.pdf
opkcibungbulang
 
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum MerdekaModul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum Merdeka
Fathan Emran
 
5. Rangkuman Kehadiran Guru di Kelas_SDN 8n Kranji.docx
5. Rangkuman Kehadiran Guru di Kelas_SDN 8n Kranji.docx5. Rangkuman Kehadiran Guru di Kelas_SDN 8n Kranji.docx
5. Rangkuman Kehadiran Guru di Kelas_SDN 8n Kranji.docx
StevanusOkiRudySusan
 
AKSI NYATA TRANSISI PAUD-SD : PENGUATAN DI TAHUN AJARAN BARU
AKSI NYATA TRANSISI PAUD-SD : PENGUATAN DI TAHUN AJARAN BARUAKSI NYATA TRANSISI PAUD-SD : PENGUATAN DI TAHUN AJARAN BARU
AKSI NYATA TRANSISI PAUD-SD : PENGUATAN DI TAHUN AJARAN BARU
junaedikuluri1
 
Laporan bulanan Dosen Pembimbing lapangan dalam pelaksanaan kampus mengajar a...
Laporan bulanan Dosen Pembimbing lapangan dalam pelaksanaan kampus mengajar a...Laporan bulanan Dosen Pembimbing lapangan dalam pelaksanaan kampus mengajar a...
Laporan bulanan Dosen Pembimbing lapangan dalam pelaksanaan kampus mengajar a...
Sathya Risma
 
Kalender Pendidikan tahun pelajaran 2023/2024 Kabupaten Temanggung .pdf
Kalender Pendidikan tahun pelajaran 2023/2024  Kabupaten Temanggung .pdfKalender Pendidikan tahun pelajaran 2023/2024  Kabupaten Temanggung .pdf
Kalender Pendidikan tahun pelajaran 2023/2024 Kabupaten Temanggung .pdf
SDNBotoputih
 
PPT KRITERIA KENAIKAN KELAS & KELULUSAN.pptx
PPT KRITERIA KENAIKAN KELAS & KELULUSAN.pptxPPT KRITERIA KENAIKAN KELAS & KELULUSAN.pptx
PPT KRITERIA KENAIKAN KELAS & KELULUSAN.pptx
SriKuntjoro1
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Fathan Emran
 

Recently uploaded (20)

Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdfPanduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
 
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptxNovel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
 
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pdf.pdf
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pdf.pdfRANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pdf.pdf
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pdf.pdf
 
Modul Ajar Matematika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
 
IKLAN PENERIMAAN GURU SEKUM YPS 2024.pdf
IKLAN PENERIMAAN GURU SEKUM YPS 2024.pdfIKLAN PENERIMAAN GURU SEKUM YPS 2024.pdf
IKLAN PENERIMAAN GURU SEKUM YPS 2024.pdf
 
Defenisi Anak serta Usia Anak dan Kekerasan yang mungki terjadi pada Anak
Defenisi Anak serta Usia Anak dan Kekerasan yang mungki terjadi pada AnakDefenisi Anak serta Usia Anak dan Kekerasan yang mungki terjadi pada Anak
Defenisi Anak serta Usia Anak dan Kekerasan yang mungki terjadi pada Anak
 
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptxRPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
 
Demonstrasi Konseptual Modul 2.1 - RPP Berdiferensiasi.pdf
Demonstrasi Konseptual Modul 2.1 - RPP Berdiferensiasi.pdfDemonstrasi Konseptual Modul 2.1 - RPP Berdiferensiasi.pdf
Demonstrasi Konseptual Modul 2.1 - RPP Berdiferensiasi.pdf
 
LAPORAN BIMBINGAN TEKNIS TRANSISI PAUD - SD.pdf
LAPORAN BIMBINGAN TEKNIS TRANSISI PAUD - SD.pdfLAPORAN BIMBINGAN TEKNIS TRANSISI PAUD - SD.pdf
LAPORAN BIMBINGAN TEKNIS TRANSISI PAUD - SD.pdf
 
Kisi-kisi PAT IPS Kelas 8 semester 2.pdf
Kisi-kisi PAT IPS Kelas 8 semester 2.pdfKisi-kisi PAT IPS Kelas 8 semester 2.pdf
Kisi-kisi PAT IPS Kelas 8 semester 2.pdf
 
Modul Ajar Statistika Data Fase F kelas
Modul Ajar Statistika Data Fase F  kelasModul Ajar Statistika Data Fase F  kelas
Modul Ajar Statistika Data Fase F kelas
 
PELAKSANAAN (13-14 Juni'24) + Link2 Materi BimTek _"PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (P...
PELAKSANAAN (13-14 Juni'24) + Link2 Materi BimTek _"PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (P...PELAKSANAAN (13-14 Juni'24) + Link2 Materi BimTek _"PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (P...
PELAKSANAAN (13-14 Juni'24) + Link2 Materi BimTek _"PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (P...
 
AKSI NYATA PENDIDIKAN INKLUSIF_Baedlawi.pdf
AKSI NYATA PENDIDIKAN INKLUSIF_Baedlawi.pdfAKSI NYATA PENDIDIKAN INKLUSIF_Baedlawi.pdf
AKSI NYATA PENDIDIKAN INKLUSIF_Baedlawi.pdf
 
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum MerdekaModul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum Merdeka
 
5. Rangkuman Kehadiran Guru di Kelas_SDN 8n Kranji.docx
5. Rangkuman Kehadiran Guru di Kelas_SDN 8n Kranji.docx5. Rangkuman Kehadiran Guru di Kelas_SDN 8n Kranji.docx
5. Rangkuman Kehadiran Guru di Kelas_SDN 8n Kranji.docx
 
AKSI NYATA TRANSISI PAUD-SD : PENGUATAN DI TAHUN AJARAN BARU
AKSI NYATA TRANSISI PAUD-SD : PENGUATAN DI TAHUN AJARAN BARUAKSI NYATA TRANSISI PAUD-SD : PENGUATAN DI TAHUN AJARAN BARU
AKSI NYATA TRANSISI PAUD-SD : PENGUATAN DI TAHUN AJARAN BARU
 
Laporan bulanan Dosen Pembimbing lapangan dalam pelaksanaan kampus mengajar a...
Laporan bulanan Dosen Pembimbing lapangan dalam pelaksanaan kampus mengajar a...Laporan bulanan Dosen Pembimbing lapangan dalam pelaksanaan kampus mengajar a...
Laporan bulanan Dosen Pembimbing lapangan dalam pelaksanaan kampus mengajar a...
 
Kalender Pendidikan tahun pelajaran 2023/2024 Kabupaten Temanggung .pdf
Kalender Pendidikan tahun pelajaran 2023/2024  Kabupaten Temanggung .pdfKalender Pendidikan tahun pelajaran 2023/2024  Kabupaten Temanggung .pdf
Kalender Pendidikan tahun pelajaran 2023/2024 Kabupaten Temanggung .pdf
 
PPT KRITERIA KENAIKAN KELAS & KELULUSAN.pptx
PPT KRITERIA KENAIKAN KELAS & KELULUSAN.pptxPPT KRITERIA KENAIKAN KELAS & KELULUSAN.pptx
PPT KRITERIA KENAIKAN KELAS & KELULUSAN.pptx
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
 

Dr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquran

  • 1. Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 Diskursus Munâsabah Al-Qur’an: Menyoal Perdebatan Otentisitas Al-Qur’an Oleh: Hasani Ahmad Said1 Abstrak Studi kajian terhadap Alquran telah berjalan dalam sejarah yang cukup panjang. Alquran adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia ketika ia diturunkan, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Dari ulama klasik hingga sekarang puluhan atau bahkan ratusan buku yang mengkaji akan kemukjizatan Alquran. Bahkan, Alquran sendiri menyatakan dirinya sebagai mukjizat. Tetapi tidak demikian dengan para ilmuan Barat dan orientalis. Bahkan mereka mempertanyakan otentisitas Alquran. Salah satu kajian yang menjadi diskursus perdebatan adalah aspek munâsabah. Maka, tulisan ini penting untuk didiskusikan dalam rangka menjawab keraguan tersebut. Kata Kunci: Munâsabah, otentisitas, Alquran. Pendahuluan Alquran bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala hal.2 Alquran tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan,3 karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara 1 Dosen Tafsir Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung 2Nilai-nilai dasar Alquran mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif (Q.S. al-An‟âm/6:37). Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, dan makhluk-makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern (QS. al-Hujurât/15:9), sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam (Q.S. al- Furqân/25:1). 3 Kajian Alquran sebagai kitab mitos, pernah dikaji pada karya disertasi dengan judul al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur‟ân al-Karîm ini merupakan ijtihad akademik Muhammad Ahmad Khalafullâh yang dipertahankan dalam sidang munâqasyah di Universitas al-Azhar Kairo Mesir. Dalam fersi Indonesia karya Khalafullah, diterjemahkan Al-Qur‟an Bukan “Kitab Sejarah” Seni, Sastra Dan Moralitas Dalam Kisah-Kisah Al- Quran,” oleh Zuhairi Misrawi dan Anis Maftuhin, diterbitkan Paramadina, tahun 2002. Lihat, Muhammad Ahmad Khalafullâh, al-Fann al-Qashâshî fî
  • 2. 112 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 Alquran dengan realitas sosial. Alquran di satu pihak diidealisasi sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai Alquran yang dialamatkankan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu. Karena itu perlu adanya tafsîr4 untuk mengungkap, menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-prinsip kandungan Alquran tersebut.5 Alquran dalam tradisi keilmuan Islam, telah melahirkan sederet teks turunan yang demikian al-Qur‟ân al-Karîm, syarah wa al-ta‟lîq oleh Khalîl „Abd al-Karîm, (Beirut, Kairo, Sînâ lî al-Nasyr wa al-Intisyâr al-„Araby, 1999. lihat pula karya Andy Hadiyanto, yang bertajuk Repetisi Kisah Al-Qur‟an (Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan Madaniyyah), disertasi UIN, tahun 2009. 4 Secara etimologis, kata tafsîr (exegesis) berasal dari bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsîran. Derifasi ini mengandung pengertian: menyingkap (al-Kasyfu), memperjelas (idzhâr) atau menjelaskan. Lihat „Ali bin Muhammad bin „Ali al-Jurjani, al-Ta‟rifât, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabi, 1405 HLM.), hlm. 87., A. Warson memberikan pengertian kata tafsîr merupakan bentuk mashdâr yang berarti menjelaskan, memberi komentar, menterjemahkan atau mentakwilkan. Lihat A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984), hlm. 1134. Ibnu Manzdûr dalam kamus besar Lisân al-„Arâb, beliau berkata: kata al-fasru berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsîr menyingkap sesuatu lafad yang susah dan pelik. Lihat Ibnu Mandzûr al- Afriqi, Lisân al-„Arâb, (Beirut: Dâr al-Shadîr, tthlm.), j.5, hlm. 55. Secara terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas tentang apa yang dimaksud oleh Allah dalam Alquran sepanjang kemampuan manusia. Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tthlm.), Jilid II, hlm. 3, bandingkan pula dengan Muhamad Husain al- Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), jilid II, hlm. 15. Kata tafsir dalam Alquran disebut satu kali dalam Alquran Q.S. al-Furqan (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan dengan tafsîr ialah ta‟wîl disebut dalam Alquran sebanyak 17 kali. Lihat Muhammad Fu‟ad „Abdul Bâqî, al-Mu‟jâm al-Mufharas li al-Fâdz al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), hlm. 97. dan di antara para ahli ada yang menyamakan pengertian antara keduanya, namun ada juga yang membedakannya, kontroversi ini disampaikan antara lain oleh al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fi „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Jilid II, hlm. 4-6, lihat pula Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an, (Beirut: Dâr al- Fikr: tt.), juz II, hlm. 173-174. 5 M. Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsîr al-Qur‟an di Indonesia Abad 20, Jurnal Ulûmul Qur‟an, Vol. III, no.4, 1992, hlm. 50
  • 3. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 113 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 mengagungkan. Teks-teks turunan itu merupakan karya-karya spektakuler yang lahir dari tangan-tangan ulama dengan beragam model dan metode.6 Sejarah perkembangan tafsir tidak terlepas dari corak penafsiran7 yang dihasilkan oleh setiap generasi dalam penggal sejarah tertentu, di mana dalam menyajikan kandungan dan pesan- pesan firman Allah Swt. terdapat ekspresi dan karakter yang impresif. Jangankan pada generasi yang berbeda, generasi yang samapun, seperti generasi sahabat8 sudah memperlihatkan fenomena perselisihan pendapat dalam memahami Alquran.9 6 Keheterogenan metode penafsiran yang dipakai oleh mufasir tersebut dapat dilihat berikut ini: kita misalanya mengenal Tafsir al-Durr al-Mansûr fî al-Tafsîr bi al-Ma‟sûr karya Jalâluddîn al-Suyûthî (849-911 HLM.), Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ayi al-Qur‟ân karya Muhammad Abû Ja‟far Muhammad Ibnu Jarîr al-Thahabarî (224-310 HLM.), dan Tafsîr al-Qur‟ân al-„Adzîm karya Imamuddîn Abû al-Fida‟ al-Quraisyi al-Dimasyqi Ibn Katsîr (700-774 HLM.), yang sangat kuat merujuk kepada data-data riwayat sebagai bentuk representasi metode tafsîr bi al-Ma‟tsûr. Pada karya tafsir yang lain, kita bisa melihat misalnya al-Jauhâr fî Tafsîr al-Qur‟ân karya Tanthawi Jauharî (W. 876 HLM.) yang banyak mengadopsi disiplin ilmu pengetahuan alam, al-Kasyf „an Haqîqat al-Tanzîl wa „Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl karya al-Jamakhsyarî (476-538 HLM.) yang sangat mengagungi rasionalitas. Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr karya Rasyîd Ridhâ (1282-1354 HLM.) yang lebih mengedepankan tafsirnya sebagai pedoman dalam kehidupan sosial kemasyrakatan dan Ahkâm al- Qur‟ân karya al-Qurthûbî (w. 1272 HLM.) yang memfokuskan kajiannya pada masalah-masalah fiqihlm. 7 Ada beberapa macam metode dan corak penafsiran Alquran. „Abd Al-Hay al-Farmawi membagi metode yang dikenal selama ini menjadi empat, yaitu analisis, komparatif, global dan tematik (penetapan topik). Metode analisis tersebut bermacam-macam coraknya, salah satu diantaranya adalah corak adab al-Ijtimâ‟î (budaya kemasyarakatan). Lihat, „Abd. Al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû‟i, (Kairo: al- Hadharah al-„Arabiyah, 1977), cet. Ke-2, hlm. 23-24, lihat pula M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta: Lentera hati, 2006), cet.II, hlm. 24-25, bandingkan pula, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), cet.XV, hlm. 83-91, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟ân Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007), cet. I, hlm. xv-xvi 8 Setelah Rasulullah wafat (11 HLM.), kepeloporan beliau dibidang tafsir dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat-sahabat yang ahli di bidang tafsir misalnya: Khulafâ‟ al-Rasyidîn Abu Bakar (w. 13 HLM.),
  • 4. 114 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 Para ulama sepakat akan kemukjizatan Alquran. Namun demikian, ada segelintir orang yang masih menyoal akan kemukjizatan Alquran. Diantaranya seperti yang diungkap Mushthafâ Shâdiq al-Râfi‟î (w. 1297 H./1937 M.),10 yaitu Abû Ishâq al-Nadzam (w. 321 H./933 M).11 Tokoh dari aliran lain yang „Umar bin Khattâb (w. 23 HLM.), Utsmân bin ‟Affân (w. 35 HLM.), dan „Ali bin Abî Thâlib (w. 40 HLM.), Ibn „Abbâs (w. 68 HLM.), „Abdullah dan Zubair, Ubay bin Ka‟b (w. 20 HLM.), Zaid bin Tsâbit, dan Abû Mûsâ al- Asy‟ârî (w. 44 HLM.). lihat, Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al- Qur‟an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 27-28. Di samping sepuluh sahabat yang tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut para penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, yaitu Abû Hurairah (w.58 HLM.), Anas bin Mâlik, „Abdullah bin „Umar (w. 73 HLM.), Jâbir bin Abdullah, A„isyah (w. 57 HLM.), dan Amr bin Ashlm. Mereka dipandang sebagai generasi pertama mufasir. Lihat lebih lanjut, Mannâ„ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Mansyûrât al-„Ashr al-Hadîts, 1393 HLM.), cet. 3, hlm. 343 9 Adalah suatu kenyataan sejarah, bahwa pemahaman dan penafsiran terhadap Alquran memiliki kecenderungan dan corak yang berbeda-beda antara satu generasi kegenerasi berikutnya, antara satu kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Perbedaan corak penafsiran ini tidak bisa dilepaskan dari perbedaan madzhab, setting sosial, kemampuan intelektual dan juga niat atau tujuan mufasir dalam menulis kitab tafsirnya tersebut. Satu hal yang perlu diingat bahwa Alquran tidak akan pernah habis di tafsirkan. Di sisi lain, keragaman penafsiran yang dihasilkan tiap generasi juga merupakan gambaran konsekunsi logis dari keyakinan bahwa Alquran, sebagai kitab suci yang diturunkan terahkir, mampu berdialog dengan setiap generasi yang datang kemudian. Ajaran dan semangat yang dibawanya bersifat universal, rasional, dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Lihat, Fazlur Rahman, Islam and Modernity, (Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982), hlm. 11. 10 Mushthafâ Shâdiq al-Râfi‟î, I‟jâz al-Qur‟ân wa al-Balâghah al- Nahwiyyah, (Bairût: al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. ke-3, 1990), hlm. 144-145. 11 Abû Ishâq al-Nadzdzâm adalah segelintir dari tokoh Muktazilah yang berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia untuk membuat Alquran tidak lain karena Allah Swt. telah memalingkan dan melemahkan kemampuan manusia untuk melakukan kegiatan tersebut. Mushthafâ Shâdiq al-Râfi‟î, I‟jāz al-Qur‟ân..., hlm. 144, lebih dari itu menurut al-Bûthi, al-Nadzam mengatakan Allah tidak saja memprotek kemampuan manusia untuk menandingi Alquran, akan tetapi malahan membelenggu kefasihan lidah mereka. Lihat, Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, Min Rawâ‟i al- Qurân, (Beirut-Libanon/Damsyik: Maktabah al-Farabi, 1397 H/1977 M.), hlm. 150
  • 5. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 115 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 mengingkari kemukjizatan Alquran ialah al-Murtadhâ (436 H/1297 M)12 dari kalangan Mazhab Syiah yang sependirian dengan al- Nadzâm.13 Quraish Shihab dalam menanggapi kedua tokoh ini, mengatakan bahwa pendapat keduanya tidak berlandas pada fakta sejarah. Ini terbukti dalam beberapa ayat menantang untuk mendatangkan teks yang serupa dengan Alquran.14 Al-Bâqillânî (w. 403 H.), seorang tokoh mutakallimîn berpendapat bahwa kenabian Nabi Muhammad Saw. utamanya dibangun atas dasar kemu‟jizatan Alquran meskipun ditemukan mukjizat-mukjizat lainnya selain Alquran.15 Jauh setelah mereka, ternyata tidak sedikit ilmuan yang berusaha mengkaji ulang sejarah Alquran yang ”seolah-olah” hilang, melalui pendekatan tartîb al-suwar wa al-âyat, dengan mempertanyakan kembali perihal kodifikasi Alquran. Ilmuan itu semisal Noldeke, Richard Bell, dsb. Hal ini tentunya membutuhkan jawaban yang akademik pula, karena mereka menggunakan pendekatan yang masuk akal. Konsepsi Munasabah Louis Ma‟luf dalam Qamûs al-Munjid menguraikan kata munâsabah bahwa secara harfiyah, kata munâsabah, terambil dari kata nâsaba-yunâsibu-munâsabatan yang berarti dekat (qarîb), dan yang menyerupai (mitsâl). Al-munâsabah searti dengan al-muqârabah, 12Al-Murtadhâ berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia untuk menciptakan teks seperti Alquran adalah karena Allah Swt. telah mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki dan yang diperlukan guna lahirnya satu susunan kalimat seperti Alquran, Mushthafâ Sādiq al-Rāfi‟î, I‟jâ z al-Qur‟ân..., hlm. 124. 13Mannâ‟ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirūt: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. ke-3, 1992), hlm. 261, 14 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, (Bandung:Mizan, 1998), cet. ke-4, hlm. 155-156, berkenaan dengan pembahasan isi, Gibb seorang orientalis berpendapat sebagaimana dikutip Quraish Shihab ”tidak ada seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu serta berani dan sedemikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh Muhammad Saw., yakni Alquran”. Lihat, M. Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera hati, 2006, cet. VII, hlm. v. 15 Abu Bakr Muhammad Al-Bâqillânî, I‟jâz al-Qur‟ân, (Beirūt: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1996), hlm. 9
  • 6. 116 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 yang mengandung arti mendekatkan dan menyesuaikan. Al- Suyûthi juga mengurai kata munâsabah berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan dan kepantasan. Kata al-munâsabah, ada sinonim (murâdif) dengan kata al-muqârabah dan al-musyâkalah, yang masing-masing berarti kedekatan dan persamaan.16 ‟Ulum al-Qur‟an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab ‟Ulûm al-Qur‟ân yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, karya Badruddîn al-Zarkâsyi (w.794 H) dan al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, karya Jalâluddîn al-Suyûthi (w. 911 H). „Ilm al-Munâsabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari „Ulûm Al-Qur‟ân. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat Alquran sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode Tafsir Ibn Katsir “al-Qur‟ân yufassirû ba‟dhuhu ba‟dhan”, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami Alquran harus utuh. Jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang sepotong-sepotong (atomistik). Bertitik tolak dari pendapat bahwa Alquran memiliki kemukjizatan dari setiap dimensinya, dapat dipahami sebagaimana dipaparkan al-Zarkâsyi bahwa Alquran bukanlah kalam yang diturunkan17 secara tidak sengaja, kebetulan, dan tanpa sasaran dan tujuan tertentu. Dengan demikian, setiap penggunaan dan susunan kata (lafadz), konstruksi ayat dan surat (munâsabah bain al-âyât wa al- surah) serta peralihan tema yang terdapat di dalamnya memiliki kekuatan konsep sebagai suatu kalam yang utuh dan padu (muttasiqât al-mabânî wa muntadzimât al-ma‟ânî ka al-kalimah al- 16 Lihat, Louis Ma‟luf, Qamûs al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‟lam, (Beirut: Dâr al-Syarqy, 1976), hlm. 803. Lihat pula, Jalâluddîn al-Suyûthî, al- Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 108 17 Al-Zarqānî dalam komentarnya, bahwa makna “turun” seperti pada ayat َ Q.S. al-Isrâ/17: 105 tidak dapat disamakan dengan makna turun dalam arti fisik dan tempat. Penggunaan seperti ini, menurutnya tidak relevan digunakan untuk Alquran. Menurutnya, makna “turun” lebih tepat dipahami sebagai kata yang bersifat majâzi dan dipahami sebagai pemberitahuan Allah yang dihunjamkan ke dada Nabi dengan berbagai bentuk cara pewahyuan. Lihat, Muhammad „Abdul „Adzîm al- Zarqânî, Manâhil al-„Irfân fi „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, cet. ke-1, 1988), hlm. 42-43
  • 7. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 117 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 wâhidah).18 Dan keseluruhan Alquran sangat memenuhi persyaratan itu, yang terdiri dari 30 juz, 114 surat, hampir 88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf, seperti yang ditegaskan al-Qurthûbi (w. 641) laksana satu surat yang tidak dapat dipisah-pisah.19 Dengan demikian, satu kesatuan Alquran itu terjadi sama sekali bukan karena dipaksakan, melainkan bisa dibuktikan melalui hubungan antar bagian demi bagian. Historisitas Munâsabah Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (Munâsabah), berawal dari kenyataan bahwa sistematika Alquran sebagaimana terdapat dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya.20 Itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat 18 Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi „Ulûm al- Qur‟ûn, Jilid I, (Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-„Arabiyyah, cet. ke-1, 1957), hlm. 36 19 Muhammad bin Ahmad bin Farabi al-Qurthûbi, al-Jami‟ lî al- Ahkâm al-Qurân, j. 2, (t.thlm.), hlm. 129. 20 Perdebatan sejarah kodifikasi penulisan dan sistematika Alquran pada Mushhaf „Utsmâni dibahas tuntas oleh W. Monthgomery Watt, dalam satu buku yang bertajuk Bell‟s Introduction to The Qur‟ân dalam satu bab khusus “The History of The Text”. Dalam bab ini Watt, membagi menjadi empat bahasan. Pertama, the collection of the Quran (pengumpulan Alquran), kedua, The pre-„Uthmânic codices (naskah pra Utsman), ketiga, The wraiting of the Quran and early textual studies (penulisan Alquran dan kajian teks awal), dan keempat, the authenticity and completeness of the Quran (keotentikan dan kesempurnaan Alquran). Dalam mengurai benang kusut perdebatan Mushhaf „Utsmâni, Bell, misalnya menulis: “This traditional account of the quran under „Uthman is also open criticisms, tough they are not so serious as in the case of Abu bakar‟s collection. The most serious difficulties are those connected with the suhuf of Hafsa. Some versions of the story suggest that the work of the commissionars was simply to make a fair copy, in the dialect of Quraiysh, of the material of these leaves. Some important material, however, has come to light since the publication of Friedrich Schwally‟s revised edition of the second volume of Noldeke‟s Geshichte des Qurâns in 1919. In particular there is a story of how the coliph Marwan when governor of Medina wanted to get hold of the „leaves‟ of Hafsa to destroy them, and eventually on her death persuaded her brother to hand them over. Marwan was afraid lest the unusual readings in the might lead to further dissention in the community”. (“Kisah turun-temurun tentang „kumpulan‟ Alquran di bawah Utsman juga rawan kecaman, meskipun tidak begitu serius seperti dalam kasus „kumpulan‟ Abu Bakar. Kesulitan yang paling serius adalah berkaitan dengan suhuf yang dimiliki Hafsahlm. Beberapa versi cerita mengisyaratkan bahwa tugas yang
  • 8. 118 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 di kalangan ulama Salaf tentang urutan surat di dalam Alquran. Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tauqîfi dari Nabi.21 Golongan kedua berpendapat bahwa, hal itu didasarkan atas ijtihâdi. 22 Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan diberikan kepada orang-orang hanyalah untuk membuat salinan yang baik dalam dialek Quraisy dari bahan yang ditulis di atas dedaunan ini. Namun, pada tahun 1919 terbit jilid kedua karya Noldeke “Geshichte des Qurâns”, edisi yang direvisi oleh Friedrich Schwally, dan sejak itu bahan- bahan yang penting ditemukan kembali. Terutama ada kisah bagaimana Khalifah Marwan yang menjadi Gubernur Madinah ingin memusnahkan „dedaunan‟ yang dimiliki Hafsah, dan akhirnya, tatkala Hafsah meninggal, membujuk kakaknya untuk menyerahkannya. Marwan khawatir adanya bacaan yang tidak lazim di dalamnya itu bisa menimbulkan pertikaian lebih lanjut dalam masyarakat. Lihat, W. Monthomery Watt, Bell‟s Introduction to The Qur‟ân, (Leiden: Edinburgh University Press, 1994), hlm. 43. Kajian mendalam juga dilakukan oleh MM. Al-A‟Dzami dalam The History of Qur‟ânic Text From Revelation to Compilation A Comparative Study with the old and new Testament, dan Indonesiakan menjadi Sejarah Teks al- Qur‟ân dari Wahyu sampai Kompilasi kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi Suharto, Lili Mulyadi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Taufik Adnan Amal menulis Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005. 21 Abû Zaid memandang urutan surat dianggap tauqîfi karena pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh al-mahfûdz, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I‟jaz. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur‟an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 215 22 Discours dalam memperdebatkan tentang urutan surat dikupas tuntas juga oleh al-Zarqâni. Menurut Zarqâni bahwa tertib susunan ayat dan surat adalah Ijtihâdi. Pendapat ini di dasarkan pada beberapa alasan. Pertama, mushaf pada catatan Alquran tidaklah sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam Alquran. Dan ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai tertib surat ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa tertib surah sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib mushâf yang sekarang dan adanya tentang catatan mushâf sahabat yang berbeda bukanlah mutawâtir. Tertib mushâf sekarang berdasarakan riwayat mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf itu hadir bersama Nabi tiap saat turun ayat Alquran. Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf Alquran
  • 9. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 119 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqîfi. Golongan ketiga berpendapat, serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al- Anfâl dan Barâ‟ah yang dipandang bersifat ijtihâdi. Pendapat pertama didukung antara lain oleh al-Qadhi Abu Bakar, Abu Bakar Ibnu al-Anbari, al-Kirmani dan Ibnu al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, al-Qadhi Abu Bakar dan Ibnu al-Faris. Pendapat ketiga dianut oleh al-Baihâqi. Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang urutan suratnya berfariasi. Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori korelasi Alquran kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‟Ulûm al-Qur‟ân. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut al- Zarkâsyi, adalah Syaikh Abu Bakr Abdullah Ibn al-Naisabûri (w. 324 H.),23 kemudian diikuti ulama ahli tafsir seperti Abu Ja‟far bin Zubair dalam kitab Tartîb al-Suwar al-Qur‟ân, Syaikh Burhanuddin al-Biqâ‟i dengan bukunya Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al- Suwar, dan Al-Suyûthi dalam kitab Asrâr al-Tartîb al-Qur‟ân. Quraish Shihab belakangan menambahkan Muhammad „Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Syalthut dan sebagainya membahas persolan ini dalam tafsirnya.24 Mengungkap Diskursus Munâsabah al-Qur’ân Perdebatan akademik yang mengemuka adalah para ulama berbeda pendapat dalam menentukan keberadaan tartîb al-mushhaf. Apakah dasar penyusunannya atas ijtihad para sahabat (ijtihâdî), kalau demikian adanya munâsabah itu penting atau berdasarkan penyusunannya berdasarkan perintah, pengajaran, rumus, isyarat dan petunjuk Nabi Saw (tauqîfî). Kalau tauqîfi, maka tidak perlu adanya munasabah karena peristiwa yang terjadi saling berlainan, Alquran juga diturunkan dan diberi hikmah secara tauqîfî dengan sahabat sangat besar. Lihat, Muhammad „Abd al-„Adzîm al-Zarqâni, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 348. 23 Hal ini terindikasikan apabila Alquran di bacakan kepada al- Naisaburi, maka ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping sebelahnya. Bahkan ia mencela para ulama Baghdad karena mereka tidak memperhatikan „ilm al-munâsabahlm. Lihat, Al-Zarkâsyi, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1957). HLM. 38 24 M. Quraish Shihab, Ibrahim bin Umar al-Biqâ‟i: Ahli Tafsir yang Kontroversial, Jurnal Ulûmul Qur‟an, LSAF, Vol. 1, 1989, hlm. 5.
  • 10. 120 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 kata lain Alquran turun atas petunjuk dan kehendak Allah. Kemudian dalam penelitian selanjutnya lebih dipertajam melalui kerangka penting tidaknya munâsabah dalam ranah metodologi penafsiran. Pendapat pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa surat-surat Alquran disusun berdasarkan tauqîfî. Sudah merupakan kepastian dari Rasulullah membaca berbagai surat menurut susunan ayatnya masing-masing di dalam shalat, atau pada khutbah jumat, disaksikan para sahabatnya. Kenyataan itupun merupakan bukti terang yang menyatakan bahwa susunan dan urutan ayat-ayatnya memang sesuai dengan kehendak dan petunjuk dari Nabi sendiri. Maka, dalam mendukung pendapat pertama, ha ini tidak mungkin apabila sahabat nabi menyusun urutan ayat-ayat yang berbeda dengan bacaan Rasulullah Saw. Hal itu merupakan kepastian yang tidak dapat diragukan kebenarannya (mutawâtir).25 Susunan dan urutan suratpun berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah Saw. Sebagaimana diketahui, Rasulullah hafal semua ayat dan surat Alquran. Bisa jadi, kita tidak mempunyai bukti yang menyatakan sebaliknya. Atau dalam bahasa lain, tidaklah masuk akal yang menyatakan, urutan surat Alquran di susun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad mereka sendiri. Dan lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa beberapa surat disusun urutannya berdasarkan ijtihad para sahabat dan beberapa surat lainnya disusun urutannya menurut kehendak dan petunjuk rasulullah saw. Pelopor pendapat ini adalah Abû Ja`far ibn Nuhâs (w. 338 H.), al-Kirmânî, Ibn al- Hashar (w. 611 H), Abû Bakr al-Anbārî (271-328 H) dan al-Bagawî (w. 286 H). Abū Ja`far ibn Nuhâs Seperti yang dikutip al-Zarkasyî,26 berpendapat bahwa penyusunan surat yang ada pada mushaf berasal dari Nabi Saw berdasarkan hadis sebagai berikut: 25 Jalâluddîn al-Suyûthi, Al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (kairo: Mushthafâ al-Bâb al-Halabi, 1951), hlm. 105, bandingkan pula dengan, Subhi Shâlih, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Bairut-Libanon, Dâr al-„Ilm lî al- Malâyîn, 1988), cet. 7, hlm. 71 26 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qurân, hal. 259
  • 11. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 121 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 ‫حدثنا‬‫ان‬‫ر‬‫عم‬‫القطان‬‫عن‬‫قتادة‬‫عن‬‫أىب‬‫املليح‬‫اهلذيل‬‫عن‬‫اثلة‬‫و‬‫بن‬‫األسقع‬‫أن‬‫النيب‬‫صلى‬‫اهلل‬‫عليو‬‫وسلم‬‫قال‬ ‫أعطيت‬‫مكان‬‫اة‬‫ر‬‫التو‬‫السبع‬‫ال‬‫و‬‫الط‬‫أعطيت‬‫و‬‫مكان‬‫بور‬‫ز‬‫ال‬‫املئٌن‬‫أعطيت‬‫و‬‫مكان‬‫اإلجنيل‬‫املثاىن‬‫وفضلت‬‫باملفصل‬ (‫اه‬‫و‬‫ر‬‫أمحد‬)27 Artinya: Nabi Muhammad Saw bersabda: “Saya diberikan tempat Taurat dalam al-Sab‟a al-Thuwâl, tempat Injil dalam surat al- Miûn, tempat Zabûr dalam surat al-Matsânî dan diberikan keutamaan dalam surat al-Mufashshal. (H.R. Ahmad). Hadis tersebut menurut Abû Ja`far ibn Nuhas menunjukkan bahwa penyusunan Alquran berasal dari Nabi Saw dan kegiatan ini berlangsung ketika Nabi masih hidup, dan sementara pengumpulan Alquran dalam satu mushaf adalah berdasarkan petunjuk yang sama. Al-Kirmânî, seperti yang dikutip al-Zarkasyî,28 berpendapat bahwa susunan surat seperti dalam mushaf berasal dari Allah yang tertulis di lauh al-mahfûzd. Setiap tahunnya Jibril memeriksa seluruh ayat yang telah diturunkan, dan pada tahun wafatnya Rasulullah, Jibril memeriksa ayat-ayat dan susunan suratnya dua kali. Abû Bakr al-Anbârî, seperti yang dikutip al-Zarkasyî,29 berpendapat bahwa Jibril memberi petunjuk pada Nabi Muhammad tentang tempat ayat dan surat. Penyusunan surat sama halnya dengan penyusunan ayat dan huruf yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. Maka, menurutnya, siapa yang mengakhirkan atau mendahulukan susunannya maka ia telah merusak nazdm al-Qur‟ân. Dari pendapat di atas, bahwa Rasulullah mempunyai peranan dominan dalam penentuan dan penyusunan ayat dan surat. Bukti lain misalnya, semasa hidup Rasulullah banyak surat telah diketahui susunan dan urutannya, seperti tujuh surat yang panjang-panjang (al-sab‟ al-Thiwâl), surat-surat yang berawalan hâ mîm (al-hawâmîm), dan surat-surat mufashshal, sehingga susunan berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah jauh lebih besar, dan yang berdasarkan ijtihad amat sedidkit. Ibn al-Hashar, seperti yang dikutip oleh al-Zarkâsyî,30 berpendapat bahwa penyusunan surat dan penempatan ayat 27 Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, (Beirūt: Al- Maktab al-Islāmî, t.thlm.), Juz IV, hlm. 107 28 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 259 29 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 259 30 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 259
  • 12. 122 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 berdasarkan wahyu, Rasulullah Saw memerintahkan untuk menempatkan ayat pada tempat yang telah ditentukannya dan ini menimbulkan keyakinan bahwa penyusunannya berdasarkan penukilan mutawatir dari bacaan Rasulullah Saw. dan ijma‟ para Sahabat mengenai penyusunannya di dalam mushaf. Al-Bagawî dalam Syarh al-Sunnah berpendapat bahwa para Sahabat menulis ayat-ayat Alquran seperti yang mereka dengar dari Rasulullah Saw. tanpa mendahulukan atau mengakhirkan atau mereka tidak menyusun yang bukan berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw., dan susunan tersebut tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Rasulullah Saw. mengajarkan susunan surat seperti yang terdapat pada mushaf sekarang ini. Tugas para Sahabat hanya mengumpulkan dalam satu tempat, bukan menetapkan susunan suratnya. Karena Alquran ditulis di lauh al-mahfûdz dan susunannya sama seperti dalam mushaf dan diturunkan sekaligus ke langit dunia dan kemudian diturunkan secara berangsur sesuai dengan kebutuhan.31 Dalam analisa al-Zarkâsyi, perbedaan itu bersumber dari lafadz. Satu pihak bilang bahwa urutan Alquran itu disusun berdasar kehendak dan petunjuk Rasulullah, sedang pihak lain berpendapat bahwa urutan surat disusun berdasar pada ijtihad para sahabat sendiri. Sebagaimana al-Zarkâsyi mengutip pendapat Imam Mâlik sebagai berikut: “Mereka menyusun urutan Alquran menurut apa yang mereka dengar sendiri dari Rasulullah Saw, tetapi Imam Mâlik juga mengatakan: bahwa urutan surat-surat Alquran disusun atas dasar ijtihad mereka sendiri. Jadi masalah perbedaan itu, kembali kepada apakah kehendak dan petunjuk Rasululah mengenai urutan surat itu berupa ucapan atau hanya praktek semata-mata.32 Namun demikian, nampaknya telah jelas bahwa urutan surat itu berdasarkan bimbingan dari Rasulullah Saw. (tauqîfî). Sebab, ijtihad para sahabat itu hanya dilakukan bagi penyusun mushaf milik pribadi. Memang mereka lakukan dengan kemauan sendiri, tetapi mereka tidak pernah berusaha mengharuskan orang lain mengikuti jejaknya atau mengharamkan perbuatan orang lain yang tidak sesuai dengan perbuatan mereka. Begitu juga, tidak dicatatkan ayat-ayat untuk orang lain, tetapi semata untuk mereka 31 Al-Bagawî, Syarh al-Sunnah al-Shahâbah, (Beirūt: Dār al-Kutub al- `Ilmiyyah, 1993), Juz. III, cet. Ke-1, hal. 50 32 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hal. 257
  • 13. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 123 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 pribadi. Karena itu, ketika umat Islam sepakat bulat menerima susunan Alquran yang dilakukan oleh khalifah „Utsman bin „Affân, secara serentak mereka tinggalkan catatan mushaf masing-masing. Di sini mulai ada titik terang, yakni kalau mereka yakin bahwa penyusunannya berdasarkan pada ijtihad mereka, terserah kemauan mereka sendiri, tentulah mereka akan tetap berpegang pada susunan menurut catatan mereke masing-masing, dan mereka tidak akan mau menerima urutan yang disusun oleh „Utsman bin „Affân. Pendapat kedua yang menyatakan susunan dan tartib surat didasarkan atas ijtihâdi.33 Ada beberapa persepsi yang berdasarkan hal bahasan ini. Pertama, mushaf pada catatan Alquran tidaklah sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam Alquran. Dan ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai tertib surat ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa tertib surah sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib mushâf yang sekarang dan adanya tentang catatan mushâf sahabat yang berbeda bukanlah mutawâtir. Tartib mushâf sekarang berdasarakan riwayat mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf itu hadir bersama Nabi tiap saat turun ayat Alquran. Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf Alquran sahabat sangat besar. Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqîfi. Ulama yang mendukung pendapat kedua ini antara lain Imâm Mâlik, Abu bakr al-Thib al- baqillânî, al-Zarkâsyi dan al-Suyûthi. Al-Zarkâsyi34 mengutip pendapat Imam Mâlik mengatakan bahwa para sahabat menyusun Alquran itu berdasarkan apa yang mereka dengar dan lihatdari Nabi, sedang susunan dalam penyusunan surat Alquran, mereka lebih mengedeankan atas ijtihad mereka sendiri. Rajab Farjani sebagaimana dikutip dalam buku Sejarah dan Ulûm al-Qur‟ân dikatakan bahwa tidak pernah 33 Perdebatkan tentang urutan surat dikupas tuntas juga oleh al- Zarqâni. Menurut Zarqâni bahwa tertib susunan ayat dan surat adalah Ijtihâdi. Lihat, Muhammad „Abd al-„Adzîm al-Zarqâni, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 348. 34 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hal., 259
  • 14. 124 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 ditemukan riwayat nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu.35 Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani: 35 Beberapa hadis yang mendukung pendapat ini adalah: - Larangan menulis sesuatu yang datang dari Nabi Abû Sa‟îd al-Hudzri meriwayatkan dari Rasûlullâh Saw.. Beliau bersabda, ‫ال‬‫ا‬‫و‬‫تكتب‬‫عىن‬‫ومن‬‫كتب‬‫عىن‬‫غًن‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫فليمحو‬ “Janganlah kalian menulis (Hadis) dariku. Dan barangsiapa menulis dariku selain Alquran, maka hendaknya ia menghapusnya” Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994), J. XIII, hlm. 129 Diriwayatkan dari Abû Hurayrah, ia berkata, “Rasûlullâh Saw. mendatangi kami dan kami sedang menulis Hadis. Kemudian beliau bertanya, “Apa yang sedang kalian tulis?”. Kami menjawab, “Kami sedang menulis Hadis yang kami dengar dari engkau, ya Rasûlallâh!.” Lantas beliau bersabda, ‫كتاب‬‫غًن‬‫كتاب‬‫اهلل‬‫اتدرون؟‬‫ما‬‫ضل‬‫االمم‬‫قبلكم‬‫اال‬‫مبا‬‫ا‬‫و‬‫اكتتب‬‫من‬‫الكتب‬‫مع‬‫كتاب‬‫اهلل‬ “Tulisan selain Kitab Allah?, tahukah kalian, bangsa-bangsa sebelum kalian tidak sesat kecuali karena mereka menulis tulisan lain bersama Kitab Allahlm.”, Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994), J. XIII, hlm. 129 - Perintah yang membolehkan menulis sesuatu yang datang dari Nabi Abdullâh bin Amr bin al-Ash Ra. berkata, “Saya menulis segala yang saya dengar dari Rasûlullâh Saw. Saya hendak menghapalnya, namun orang-orang Quraysy melarangku. Mereka berkata, “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah Saw., sedangkan beliau manusia biasa yang kadangkala berbicara dalam keadaan marah dan senang”. Saya pun berhenti menulis. Kemudian saya teringat beliau ketika menunjukkan jari ke mulutnya seraya bersabda, ‫اكتب‬‫الذي‬‫و‬‫ف‬‫نفسى‬‫بيده‬‫ما‬‫ج‬‫خر‬‫منو‬‫اال‬‫حق‬ “Tulislah, maka demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (mulut) kecuali kebenaran.” Diriwayatkan dari Abû Hurayrah bahwa seorang sahabat Anshâr menyaksikan Hadis Rasûlullâh Saw., namun ia tidak hafal. Ia bertanya kepada Abû Hurayrah, dan ia pun memberitahukan kepadanya. Kemudian ia mengadukannya kepada Rasûlullâh Saw. perihal lemahnya daya hafalnya. Kemudian Nabi Saw. bersabda, ‫استعن‬‫على‬‫حفظك‬‫بيمينك‬ “Bantulah hapalanmu dengan tangan kananmu! (menulis)”. Muhammad Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148 Diriwayatkan dari Anas bin Mâlik bahwa ia berkata, “Rasûlullâh Saw. bersabda,
  • 15. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 125 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 “Sesungguhnya Rasulullah Saw., memerintahkan menulis Alquran, akan tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena itu, ada perbedaan model-model penulisan Alquran dalam mushaf- mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal Alquran sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau menguranginya, karena mereka tahu bahwa itu merupakan hanya cara. Karena itu dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau ke dalam pola-pola baru.36 Fauzul Iman37 mengutip „Izzuddîn (w. 660) berpendapat bahwa tidak semua susunan surat dan ayat dalam Alquran mengandung munasabah. Kalaupun ada kesesuaian antara ayat dan surat, dengan criteria adanya hubungan antara kalimat dalam kesatuan pada bagian awal dan bagian akhir. Sekianya tidak memenuhi criteria itu, maka dianggap sebagai pemaksaan (takalluf) dan hal itu tidak disebut dengan munasabah. Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Alquran versi Mushaf Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alas an bahwa pola tersebut sesuai petunjuk dari Nabi (tauqîfî). Pola itu, terus dipertahankan walupun menyalahi pola aturan rasm Utsmani yang telah baku. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Hakim sebagaimana dikutip Farjani mengharamkan menulis Alquran menyalahi dari Rasm ‫ا‬‫و‬‫قيد‬‫العلم‬‫بالكتاب‬ “Ikatlah ilmu dengan tulisan!”. Muhammad Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148 Diriwayatkan dari Ibnu „Abbâs bahwa ia berkata, “Ketika Nabi Saw. sakit keras, beliau bersabda, ‫ايتوىن‬‫بكتاب‬‫اكتب‬‫لكم‬‫كتابا‬‫ال‬‫تضل‬‫بعده‬ “Bawakan aku buku, aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga kalian tidak akan sesat sesudahnya.”. Muhammad Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148 36 Lihat, M. Quraish Shihab, Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, (Jakarta: Pustaka Fidaus dan Bayt al-Qur‟an & Museum Istiqlal TMII, 2001, cet. 3, hal. 95, lihat pula, Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata‟addab Ma‟a al- Mushhaf, (t.tp., Dâr al-I‟tishâm, 1978, hlm. 166 37 Fauzul Iman, Munasabah Al-Qur‟an, Jurnal Panji Masyarakat, no. 843, edisi Novemver 2005, hal.73
  • 16. 126 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 „Utsmani. Bagaimapun, dalam rentang sejrah yang cukup panjang, rasm „Utsmani sudah merupakan kesepkatan mayorits ulama.38 Bagi ulama yang tidak mengakui rasm „Utsmani sebagai rasm tauqîfi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Alquran ditulis menggunkan pola penulisan setandar (rasm amlâ‟î). Demikian al-Sa‟id mengatakan.39 Pada sisi ini, terlihat pandangan moderat. Sehingga, bisa diambil pemahaman bahwa soal penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih merasa mudah dengan penulisan setandar (rasm amlâ‟î), maka ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena penulisan itu hanya symbol pembacaan, dan tidak memengaruhi makna Alquran. Bahkan, ada pendapat yang ketiga yang mengatakan, serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al-Anfâl dan Barâ‟ah yang dipandang bersifat ijtihâdi. Dan salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang urutan suratnya berfariasi. Pendukung pendapat ketiga ini di antaranya: al- Qâdhî al-Qâdî Abû Muhammad ibn `Athiyyah, al-Baihaqî dan Ibn Hajar al-`Asqalānî (773-852H).40 Pendapat Al-Baihaqî terlihat dalam karyanya al-Madkhal, ia berpendapat bahwa Alquran pada masa Nabi telah tersusun surat-surat dan ayat-ayatnya seperti susunan yang ada pada mushhaf kecuali surat al-Anfâl dan Barâ‟ah.41 Dalam rangka menguatkan pendapat ketiga ini, nampaknya perlu penulis kemukakan bagaimana perjalanan sejarah pemeliharaan Alquran. Paling tidak ada lima tahapan.42 Pertama, tahap pencatatan di masa Nabi,43 kedua, tahap penghimpunan di 38 Lihat, M. Quraish Shihab, Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, (Jakarta: Pustaka Fidaus dan Bayt al-Qur‟an & Museum Istiqlal TMII, 2001, cet. 3, hal. 95, lihat pula, Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata‟addab Ma‟a al- Mushhaf, (t.tp., Dâr al-I‟tishâm, 1978, hlm. 166 39 Labib al-Sa‟id, al-jam‟ al-Shautî lî al-Qur‟ân al-Karîm, (Mesir: Dâr al-Kâtib al-„Arâby, t.th), hlm. 373 40 Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhal li Dirâsâh al-Qur‟ân al-Karîm, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992), hlm. 293-296 41 Al-Baihaqî, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ , (Kuwait: Dâr al- Khulafâ‟ lî al-Kitâb al-Islâmî, 1404), hal. 237 42 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. 1, hlm. 49-65 43 Sejarah telah mencatat bahwa pemeluk agama Islam pada waktu awal masih banyak yang buta aksara, kendati ada yang bisa baca tulis. Bahkan Nabi sendiri dikenal dengan seorang yang ummy seperti termaktub dalam Q.S. al-Jumu‟ah/62: 2. Secara luas M.M. A‟dzami mengulas satu bab
  • 17. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 127 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 masa Abu Bakar,44 ketiga tahap penggandaan di masa Utsman bin „Affan,45 keempat tahap pencetakan,46 dan kelima, tahap pengajaran di berbagai dunia Islam. khusus yang diberi judul tulisan dan ejaan bahasa Arab dalam Alquran, satu bab diantaranya mengupas gaya tulisan pada zaman Nabi Muhammad Saw. Lihat lebih lanjut, M.M. Al-A‟dzami, The history of The Qur‟anicText From Revelation to Compilation A Comparative Study The Old and New Testaments, (Sejarah Teks Al-Qur‟ân dari Wahyu Sampai Kompilasi: kajia Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian baru, terj. Sohirin Solihin et. All, (Jakrta: Gema Insani Press, 2005), cet. 2, hlm. 143-164. 44 Penghimpunan Alquran dalam bentuk mushaf baru dilakukan pada masa Abu Bakar (11-13 HLM./632-634 M.), tepatnya setelah terjadi peperangan yamamah tahun 12 HLM./633 M. Dalam sejarah, perang Yamamah ini, terbunuh sekitar 70 orang syuhada yang hafal Alquran. Bahkan ,sebelum perang yamamah terjadi pula wafatnya 70 qurra‟ pada peperangan di sekitar sumur Ma‟unah, yang terletak dekat kota Madinahlm. Atas kejadian ini, Umar yang dikenal dengan ketajaman analisisnya mengunsulkan untuk menghimpun Alquran. Dan saat Abu Bakarlah terbentuk panitia penghimpunan Alquran yang diketua oleh Zaid bin Tsabit dan beranggotakan Utsman, Ali bin Abi Thalib dan „Ubay bin Ka‟b. 45 Dalam rentang sejarah, ketika tampuk kekuasaan khalifah di tangan Utsman bin „Affan, singkatnya, ketika Utsman mengerahkan tentaranya kea rah Syam dan Irak untuk memerangi penduduk Armenia dan Azerbaijan, tiba-tiba Hudzaifah ibn Yaman memberitahu bahwa di beberapa wilayah terjadi perselisihan mengenai tilâwah (bacaan) Alquran. Dan Hudzaifah mengusulkan untuk meredam perselisihan itu dengan cara menyalin dan memperbanyak Alquran yang terhimpun pada masa Abu Bakar. Kemudian Utsman meminta suhuf yang ada di tangan Hafsah untuk di salin dan di perbanyak. Dan dalam rangka itulah, Utsman membentuk kepanitiaan untuk penyalinan Alquran yang di ketuai Zaid bin Tsabit dan berangotakan Abdullah bin Zubair, Sa‟id ibn al-Ash, dan Abd al-Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam. Dalam pengarahanya Utsman mengatakan bahwa apabila terdapat perbedaan pendapat antara Zaid yang bukan orang Quraish dengan tiga orang pembantunya yang semuanya berasal dari suku Quraisy mengenai tilawah, maka hendaklah Alquran itu ditulis menurut qiraat Quraisy, mengingat bahasa awal Alquran adalah bahasa Arab Quraisy. 46 Muhammad Amin Suma mencatat bahwa Alquran pertama kali di cetak di kota Hanburg, Jerman pada abad ke-17 M. lihat, Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. 1, hlm. 63.
  • 18. 128 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 Berkaitan dengan pendapat ketiga yang menegaskan bahwa susunan Alquran itu bersifat tauqîfî dengan pengecualian surat al- Anfâl dan Barâ‟ah, dalam analisa penulis dengan membaca realitas dalam sejarah ternyata pada masa Abu bakar ketika sudah terbentu panitia penghimpunan Alquran, ternyata terungkap bahwa Zaid bin Tsabit dan kawan-kawan panitia lainnya tidak memiliki catatan dua ayat terakhir dari surat al-taubah. keterangan ini bisa ditelaah dari hadis yang menyangkut penghimpunan Alquran pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shidiq yang di riwayat al-Bukhari di bawah ini: ‫عن‬‫عبيد‬‫بن‬‫السا‬‫بق‬‫أن‬‫يد‬‫ز‬‫بن‬‫ثابت‬‫رضي‬‫اهلل‬‫قال‬‫أرسل‬‫ايل‬‫أبو‬‫بكر‬‫مقتل‬‫أىل‬‫اليمامة‬‫فاذا‬‫عمر‬‫بن‬‫اخلطاب‬‫عنده‬‫قال‬ ‫أبو‬‫بكر‬‫رضي‬‫اهلل‬‫ان‬‫عمر‬‫أتاين‬‫فقال‬:‫أن‬‫القتل‬‫قد‬‫استحر‬‫يوم‬‫القيامة‬‫اء‬‫ر‬‫بق‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫اين‬‫و‬‫أخشى‬‫أن‬‫يستحر‬‫القتل‬‫اء‬‫ر‬‫بالق‬ ‫اطن‬‫و‬‫بامل‬‫فيذىب‬‫كثًن‬‫من‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫اين‬‫و‬‫أرى‬‫أن‬‫تؤمر‬‫جبمع‬،‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫قلت‬‫لعمر‬‫كيف‬‫تفعل‬‫شيئا‬‫مل‬‫يفعلو‬‫رسول‬‫اهلل‬‫صلى‬‫اهلل‬ ‫عليو‬‫وسلم؟‬‫قال‬‫عمر‬‫ىذا‬‫اهلل‬‫و‬،‫خًن‬‫فلم‬‫يزل‬‫عمر‬‫اجعين‬‫ر‬‫ي‬‫حىت‬‫ح‬‫شر‬‫اهلل‬‫صدري‬‫لذالك‬‫أيت‬‫ر‬‫و‬‫يف‬‫ذالك‬‫الذي‬‫أى‬‫ر‬ ،‫عمر‬‫قال‬‫يد‬‫ز‬‫قال‬‫أبو‬‫بكر‬:‫انك‬‫رجل‬‫شاب‬‫عاقل‬‫ال‬‫نتهمك‬‫وقد‬‫كنت‬‫تكتب‬‫الوحي‬‫لرسول‬‫اهلل‬‫صلى‬‫اهلل‬‫عليو‬‫وسلم‬ ‫فتتبع‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫فامجعو‬‫فو‬‫اهلل‬‫لو‬‫كلفوين‬‫نقل‬‫جبل‬‫من‬‫اجلبال‬‫ما‬‫كان‬‫أثقل‬‫على‬‫مما‬‫أمرين‬‫بو‬‫من‬‫مجع‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫قلت‬‫كيف‬ ‫تفعلون‬‫شيأ‬‫مل‬‫يفعلو‬‫رسول‬‫اهلل‬‫صلى‬‫اهلل‬‫عليو‬‫وسلم؟‬‫قال‬‫ىو‬‫اهلل‬‫و‬‫خًن‬‫فلم‬‫يزل‬‫أبو‬‫بكر‬‫اجعين‬‫ر‬‫ي‬‫حىت‬‫ح‬‫شر‬‫اهلل‬‫صدري‬ ‫للذي‬‫ح‬‫شر‬‫لو‬‫صدر‬‫أيب‬‫بكر‬‫و‬‫عمر‬‫رضي‬‫اهلل‬،‫عنهما‬‫فتتبعت‬‫ان‬‫ر‬‫الق‬‫امجعو‬‫من‬‫العسب‬‫للخاق‬‫و‬‫وصدور‬‫الرجال‬‫حىت‬ ‫وجدت‬‫آخر‬‫سورة‬‫التوبة‬‫مع‬‫أيب‬‫مية‬‫ز‬‫ح‬‫األنصارى‬‫مل‬‫أجدىا‬‫مع‬‫أخذ‬‫غًنه‬:‫لقد‬‫جاءكم‬‫رسول‬‫من‬‫أنفسكم‬‫يز‬‫ز‬‫ع‬‫عليو‬‫ما‬ ‫عنتم‬‫حىت‬‫خامتة‬،‫اءة‬‫ر‬‫ب‬‫فكانت‬‫الصحف‬‫عند‬‫أيب‬‫بكر‬‫حىت‬‫توفاه‬،‫اهلل‬‫مث‬‫عند‬‫عمر‬،‫حياتو‬‫مث‬‫عند‬‫حفصة‬‫بنت‬‫عمر‬‫رضي‬ ‫اهلل‬‫عنو‬(‫اه‬‫و‬‫ر‬‫البخاري‬.) Artinya: Dari Ubaid bin al-Sabbaq RA, sesungguhnya Zaid bin Tsabit RA, berkata: telah dating Abu Bakar kepadaku, di medang ahli yamamah. Ketika itu Umar berada di sampingnya. Kemudian Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Umar mendatangiku, kemudian ia berkata: “sesungguhnya peperangan pada hari yamamah ini benar-benar amat (dahsyat) dengan (gugurnya) para qurra pembaca) Alquran, dan sesungguhnya aku khawatir akan (terjadi lagi) peperangan dahsyat dengan (gugurnya) para qurra‟ di beberapa medan perang (lainnya), sehingga banyak ayat-ayat yang hilang (karenya). Dan sesungguhnya aku berpandangan untuk mengusulkan kepadamu supaya mengumpulkan Alquran”. Abu Bakar bertanya kepada Umar: mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah Saw,? Umar menjawab: “Demi Allah! Ini adalah perbuatan baik”. Maka tidak henti-hentinya Umar menjumpai (mendesak) aku sampai Allah melapangkan
  • 19. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 129 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 hati aku untuk (menerima) yang demikian itu. Dan aku berpendapat yang demikian itu sebagaimana pendapat Umar.” Zaid berkata: Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya kamu (Zaid) adalah seorang pemuda yang cerdas, kami tidak menuduhmu berprasangka buruk kepadamu, dan sesungguhnya kamu adalah penulis wahyu Alquran untuk Rasulullah Saw., maka pelajarilah Alquran, kemudia kumpulkan. Kemudian Zaid berkata: demi Allah seandainya mereka membebani aku untuk emindahkan gunung dari beberapa gunung, tidaklah lebih berat bagiku daripada yang diperintahkan Abu Bakar kepadaku untuk mengumpulkan Alquran”. Aku menanyakan kepada Abu Bakar: “mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan Rasulullah Saw.,?” Abu Bakar menjawab: “demi Allah itu adalah perbuatan baik. Maka Abu Bakar tidak henti-hentinya berulangkali mendesak aku sampai Allah melapangkan hatiku sebagaimana Allah melapangkan hati Abu Bakar RA dan Umar RA, maka aku mempelajari Alquran dan mengumpulkan dari pelepah kurmadan batu-batu serta hafalan para sahabat, sampai aku mendapatkan catatan akhir surat al-Taubah pada Abi Huzaimah al-Anshâri, aku tidak menemukannya pada seorangpun selain dia, yaitu ayat: ( ....‫اءة‬‫ر‬‫ب‬/‫التوبة‬(9:)128- 129) Maka adalah suhuf itu di simpan oleh Abu bakar sampai dia wafat, dan kemudian pada Umar ibn al-Khattâb selama masa hayatnya, dan kemudian di simpan oleh Hafsah binti Umar RA. (H.R. al-Bukhari). Berdasarkan riwayat hadis di atas, tercatat dalam sejarah bahwa yang pertama kali mempunyai gagasan brilian untuk mengumpulkan Alquran adalah Umar bin Khattab, walaupun pada awalnya gagasan ini langsung ditolak oleh Abu Bakar. Dan tercatat pula bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan dan menulis Alquran adalah Zaid bin Tsabit atas komando dari Abu Bakar. Kemudian, realitas atas hilangnya dua ayat terakhir pada surah Bara‟ah ternyata mengundang banyak persepsi baik dari kalangan ilmuan Timur maupun barat. Misalnya, celah kekurangan dan kekeliruan ini dijadikan sasaran kritik orientalis untuk
  • 20. 130 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 mengaburkan otentisitas47 Alquran. Kendali sudah langsung di jawab oleh riwayat di atas, yakni setelah telah diupayakan penulisan dua ayat yang hilang, ternyata Hudzaifah memiliki dua catatan tersebut. Pandangan Ilmuan tentang Munâsabah Diskursus penting tafsir Alquran muslim modern48 dalam konteks relevansi untuk kajian munâsabah dalam Alquran di dunia 47 Diantara upaya otentisitas pasca wafatnya Rasulullah dilakukan dengan merujuk kepada para sahabat, para tabi‟in dan para ahli bidang ini. Sungguh telah menjadi inayah Ilahi untuk sunnah Nabi-Nya, bahwa Tuhan telah memanjangkan umur sejumlah tokoh sahabat dan para hli agama mereke untuk menjaadi marji‟ (tempat kembali, acuan) yang dengan mereka orang banyak mendapatkan pedoman. Setelah dusta berkecamuk masyarakat bersandar pada sahabat itu untuk ditanyai, mula-mula tentang apa yang mereka tahu sendiri, kemudian mereka diminta fatwa tentang hadis-hadis dan cerita masa lalu yang mereka pernah dengar di masa lalu. Imam Muslim dalam muqaddimah kitab sahihnya sebagaimana dikutip oleh Musthafa al-Shiba‟I berasal dari Ibn Abi Malikah yang menceritakan “kami pernah menyurat kepaada Ibn Abbas agar ia menuliskan sesuatu untukku sesuatu, namun ia menghindar dariku, katanya, „seorang muda pemberi nasihat! Sungguh telah kupilihkan baginya beberapa perkara, dan aku menghindar dari padanya.” Lalu kata Ibn al-Malikah selanjutnya, “maka iapun mengajak meneliti keputusan hokum (qadhâ) yang dibuat oleh Ali, lalu ditulis banyak hal dari padanya, namun ada sesuatu tertentu dilewatinya, dan berkata, Demi Tuhan, Ali tidak akan membuat keputusan seperti ini kecuali jika benar-benar sesat.” Maka untuk tujuan seperti itulah banyak para tabi‟in banyak melakukan perjalanan jauh dari kota ke kota, guna mendengarkan hadis-hadis yang mantap dari perawi yang dapat dipercaya. Telah kita ketahui misalnya, perjalanan jabir ibn Abdullah ke Syiria dan Abu Ayyub ke Mesir guna mendengarkan hadis. Sa‟id ibn al- Musayyab menceritakan bahwa ia dahulu bepergian saiang malam untuk mencari hadis. Pengistilahan ini, betapa untuk mencari hadis saja sangat penuh dengan kehati-hatian, apalagi Alquran sebabagai pedoman utama. Lihat lebih lanjut, Musthafâ al-Sibâ‟î, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-tasyrî‟ al-Islâmî, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam, terj. Nurchalish Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), cet. 5, hlm. 57-58 48 Istilah Tafsir Alquran Muslim Modern dikenalkan oleh J.M.S. Baljon dalam karyanya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960). Baljon melalui karya ini, membagi menjadi enam bahasan. Pertama, (introduction) pendahuluan, kedua, ways interpretation (pendekatan penafsiran), ketiga, characteristic features of the Koran (gambaran Alquran), keempat, theological issues (isu-isu ketuhanan), kelima,
  • 21. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 131 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 muslim kontemporer, mengemuka setelah selesainya penulisan disertasi di School Oriental and African Studies (SOAS) pada tahun 2006, yang telah mencoba menerapkan munâsabah dengan pendekatan bahasa untuk menafsirkan Alquran. Disertasi ini ditulis oleh Salwa M.S. El-Awa yang bertajuk Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure, yang kemudian diterbitkan oleh Routledge, New York, tahun 2006.49 Dalam disertasinya, Salwa, mengadopsi sebuah metodologi baru dalam rangka membaca teks Alquran. Ia menggunakan teori-teori relevansi linguistik dalam membahas dan menganalisis relasi-relasi yang kompleks dalam surat-surat Alquran. Disertasi ini menunjukkan dengan jelas, ketidaksambungan tema dengan surat-surat Alquran yang panjang. Dan konteks serta struktur Alquran agar dapat dibaca ulang dan dijelaskan dengan metodologi kontemporer. Hal ini dimaksudkan, dalam rangka membantu para pembaca Alquran agar menggunakan metode ini dalam menciptakan proses kognisi pada makna yang diciptakan. Salwa, dalam kesimpulan akhirnya menganggap bahwa area kajian relasi teks (munâsabah) masih belum jelas (abu-abu).50 Koran and Modern Time (Alquran dan masa modern), dan keenam conclution (kesimpulan). Dalam pengantarnya, Baljon mengatakan bahwa studi ini merupakan kelanjutan sekaligus pelengkap bab terakhir (Der Islamische Modernismus und seine Koranauslegung) karya Ignaz Goldziher mengenai tafsir Alquran (Die Rachtungen der Islamische Koranauslegung, Leyden, Brill, 1920). Kelanjutan penelitian Goldziher ini tampaknya diperlukan, seperti juga terhadap tafsir modern yang dipublikasikan 40 tahun yang silam. Karya ini, dianggap oleh Baljon, sejauh karya itu, merupakan sumbangan terlengkap, dan juga bisa dimanfaatkan bahasa-bahasa urdu yang masih dipergunakan. Lihat, J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), (Leiden: E.J. Brill, 1968), hlm. VI 49 Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure, (Routledge, New York, 2006), http://www.amazon.com/Textual-Relations-in-Quran- ebook/dp/B000OI14MQ, unduhan 20 januari 2010, lihat pula, ulasan review, SPS UIN Jakarta, The School, vol. 2. No. 5/ Mei 2009, hlm. 4. 50 Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure, (Routledge, New York, 2006), Lihat, http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428, unduhan, 20 Januari 2010, http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=Salwa+M.S. +ElAwa&sourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8, unduhan, 20 januari 2010
  • 22. 132 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 Richard Bell dalam tulisannya yang kemudian di revisi oleh W. Montgomery Watt dalam Bell‟s Introduction To The Qur‟ân, mengatakan: “Whatever view is taken of the collection and compilation of the Qur‟an, the possibility remains that parts of it may have been lost. If, as tradition states, Zaid in collecting the Qur‟ân was dependent an chance writings and human memories, parts may easily have been forgotten. Yet conjunction of apparently unrelated verses st certain points in the Qur‟ân suggests that the editors preserved absolutely everything they came across which thay had reason to believe had once been part of the Qur‟ân”.51 “Pandangan apapun yang diambil mengenai pengumpulan dan penyusunan Quran, kemungkinannya tetap ada bahwa beberapa bagian dari Quran mungkin hilang. Kalau seperti yang dinyatakan oleh Hadis, Zaid dalam mengumpulkan Quran tergantung pada penulisan secara kebetulan dan ingatan manusia, dengan mudah atau bagian-bagiannya terlupakan. Namun, gabungan ayat-ayat yang tampaknya tidak berhubungan di beberapa tempat dalam Quran mengisyaratkan bahwa para penyunting mempertahankan dengan mutlak semua yang mereka temukan dan yang beralasan untuk diyakini bahwa itu dulunya merupakan bagian dari Quran”. Tuntutan bagi terjadinya Alquran yang shâlih likulli zaman wa makân, Quraish Shihab mengistilahkan dengan “membumikan Alquran”. Dalam bahasa Nasr Hamid Abu Zaid dikenal tekstualitas Alquran (mafhûm al-nash) atau meminjam Syahrur “al-qirâ‟ah al- mu‟âshirah” (pembacaan dengan cara baru) mulai timbul ketika adanya kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan peristiwa dalam masyarakat, sempitnya terhadap pemahaman Alquran, dan lain-lain. Ketika kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat yang sedemikian rupa, maka tuntutan perubahan yang mengupayakan membaca ulang teks semakin mendesak. Membumikan Alquran merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai kitab suci terakhir, Alquran menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik. Karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan manusia. Di mana terdapat kemaslahatan di situ ditemukan tuntunan Alquran dan di mana terdapat tuntunan Alquran, di situ terdapat kemaslahatan. Membumikan Alquran sesungguhnya tidak 51 W. Monthomery Watt, Bell‟s Introduction to The Qur‟ân, (Leiden: Edinburgh University Press, 1994), hlm. 56.
  • 23. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 133 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 lain adalah melakukan upaya-upaya terarah dan sistematis di dalam masyarakat agar nilai-nilai Alquran hidup dan dipertahankan sebagai faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana menjadikan nilai-nilai Alquran sebagai bagian inheren dari perbendaharaan nilai- nilai lokal dan universal di dalamnya. Asas pembumian Alquran mempunya tiga perinsip,52 yaitu: 1) meniadakan kesulitan („adam al- haraj), 2) pembatasan beban (taqlîl al-taklîf), dan 3) penetapan hukum secara berangsur-angsur (al-tadrîj fi at-tasyrî‟). Keberangsuran ini membuktikan adanya proses dialogis dan dialektis antara Alquran dan realitas sosial. Hal ini juga memberikan legitimasi psikologis dan sosiologis untuk penerapan strategi bertahap dalam proses pembumian Alquran. Dengan demikian, proses pembumian Alquran harus dipandang sebagai proses berkelanjutan, pergumulan yang tanpa henti, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan umat manusia. Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu.53 Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam mushaf, apakah itu tauqîfî atau ijtihâdi (pengurutannya berdasarkan 52 Pembagian ini di dasarkan pada teks itu sendiri dan realitas teks yang berkembang. Sebagaimana halnya nilai-nilai lain, proses akulturasi dan enkulturasi nilai-nilai dasar Alquran dalam lintasan sejarah tidak saja memberi warna baru kepada sasaran-sasarannya, karena ia membuka diri pada setiap budaya posistif sepanjang masa. Ini antara lain disebabkan karena sebagian besar ayatnya dapat mengandung aneka interpretasi dan karena kitab suci ini menghidangkan simbol (amtsâl) yang sarat makna, lagi terbuka bagi nalar para cendekiawan. Di sinilah kekhususan Alquran; ia memberikan kesempatan kepada setiap budaya untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya. Dalam kenyataannya, meskipun hanya satu Alquran, tetapi terjadi spektrum keanekaragaman pemahaman dan penerapan ajaran di dunia Islam. Proses pembumian Alquran tidak bisa menghindari fenomena kontak budaya (cultural contact), yaitu antara tuntutan untuk mewujudkan tata nilai yang haq dan kepentingan untuk memelihara keharmonisan di dalam masyarakat. Tentu saja dalam hal ini keharmonisan tidak boleh dikorbankan untuk menegakkan tata nilai yang haq, dan ia pun tidak boleh dipertahankan bila dibangun atas landasan yang bathil. Lihat, http://www.psq.or.id/profile.asp?mnid=14, unduhan 14 Januari 2010 53 Lihat perdebatan para ulama itu dalam Jalâluddin al-Suyûthi, al- Itqan fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1979), Juz I, hlm. 60-63
  • 24. 134 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 ijtihad penyusun mushaf). Nasr Hamid Abû Zaid,54 wakil dari ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam mushaf sebagai tauqîfi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh al- mahfûdz. Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan” merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan “persesuaian” antar ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I‟jaz.55 Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam Alquran mengesankan Alquran memberikan informasi yang tidak sitematis dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh Abu Zaid, realitas teks itu menujukkan „stalistika‟ (retorika bahasa) yang merupakan bagian dari I‟jâz Al-Qur‟ân, aspek kesusasteraan dan gaya bahasa.56 Maka dalam konteks pembacaan 54 Secara khusus Abû Zaid mengungkapkan bahwa munâsabah merupakan salah satu bagian dari aspek I‟jâz (kemukjizatan) Alquran, sebagaimana Abû Zaid mengutip pendapat al-Zarkâsyi sebagai berikut: “mushaf seperti suhuf-suhuf mulia, sama dengan yang terdapat dalam kitab yang tertutup rapat (lauh al-mahfûdz), semua surat dan ayatnya disusun secara tauqîfî. Penghafal Alquran bila meminta fatwa mengenai berbagai macam hukum atau ia memperdebatkannya, atau mendiktekannya maka ia akan menyebutkan ayat sesuai dengan yang ditanyakannya. Dan jika ia kembali kepada bacaan, maka ia tidak mengatakan seperi apa yang di fatwakan, dan tidak pula seperti yang diturunkan secara terpisahpisah, melainkan seperti yang diturunkan secara keseluruhan di Bait al-Izzahlm. Di antara yang jelas-jelas mukjizat ialah uslûb dan susunannya yang mengagumkan. Sebab, ia merupakan kitab yang ayat-ayatnya dikokohkan, kemudian diturunkan secara terpisah-pisah dari sisi yang maha bijaksana lagi maha mengetahui. Yang pertama kali pantas untuk diteliti dalam setiap ayat adalah apakah ayat berkaitan dengan ayat sebelumnya atau ia berdiri sendiri. Dalam hal ini banyak ilmu. Demikian pula dengan surat, sisi keterkaitannya dengan surat sebelumnya dan konteksnya perlu di cari”. Lihat, Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur‟an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 108. 55 Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur‟an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 215 56 Nasr Hamid Abû Zaid lebih lanjut mengungkap masalah munâsabah sebagai bagian dari mukjizat pada dasarnya mengacu pada mekanisme khusus teks yang membedakannya dari teks-teks lain dalam kebudayaan. Bila dihubungkan dengan ilmu asbâb al-nuzûl misalnya, ilmu munâsabah mengkaji hubungan teks dalam bentuk yang akhir dan final.
  • 25. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 135 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 secara holistik pesan spiritual Alquran, salah satu instrumen teoritiknya adalah dengan „ilm al-munâsabah. Keseluruhan teks dalam Alquran, merupakan kesatuan struktural yang bagian- bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks Alquran menghasilkan pandangan dunia (weltanschauung) yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan Alquran sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan (educate). Akan tetapi Fazlur Rahman menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat Islam dalam memahami pokok-pokok keterpaduan Alquran, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan “atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.57 Fazlur Rahman Tampaknya dipengaruhi oleh al-Syâthibi (w. 1388) seorang yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al- Muwâfaqat,58 tentang betapa mendesak dan masuk akalnya untuk memahami Alquran sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif. Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam Alquran adalah prinsip-prinsip umumnya (ushûl al-kulliyah) bukan bagian- bagiannya. Bagian-bagian Alquran adalah respon spontanitas atas realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai problem solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain, lalu diambil inti sarinya (hikmah al-tasyrî‟) sebagai pedoman normatif (idea moral), dan idea moral Alquran itu Sedang asbâb al-nuzûl mengkaji hubungan bagian-bagian teks dengan kondisi eksternal, atau konteks eksternal pembentuk teks. Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur‟an, hlm. 108. 57 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, (terj.) Ahsin Mohammad, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1995), h, 2-3 58 Al-Syâthibi melihat betapa pentingnya munâsabah Al-Qur‟ân. Bahwa, satu surat walaupun banyak mengandung masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga, seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangannya pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila hal tersebut tidak diperhatikan, maka maksud ayat yang diturunkan akan terabaikan. Lihat, al-Syâthibi, al- Muwâfaqat, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1975), hlm. 144
  • 26. 136 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab problem-problem kekinian. Pembacaan Alquran Holistik Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap Alquran tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para mufasir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. „Ilm al-munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qirâ‟ah al-mu‟âshirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan” antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filologis dalam „ilm munâsabah. Lebih jelasnya, satu contoh munâsabah upaya kontekstualisasi penafsiran yang diambil dari percikakan pemikiran al-Zarkasyî. Di sini akan dibahas mengenai pertautan antar ayat. Dalam hal ini ada 3 analisa yang diberikan oleh al-Zarkasyî, bahwa ayat memiliki munâsabah. Pertama, terdapat kalimat bersambung (ma‟thûfah), kedua, sisipan (istithrâd), dan ketiga perumpamaan (tamtsîl).59 Dalam menjelaskan analisa pertama dan kedua, al- Zarkasyî memberikan 3 ayat dari dua surah yang berbeda yaitu Q.S. al-Hadîd (57): 4, Q.S. al-Baqarah (2): 245 dan 189. ... ”...Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada...”  ”...Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.  ... 59 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 40-41.
  • 27. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 137 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 ”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda (penunjuk) waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya...” Pada dua ayat contoh di atas (Q.S. al-Hadîd: 4 dan al-Baqarah: 245), terdapat huruf ‟athaf yang kedua-duanya saling beriringan. Selain beriringan, Al-Zarkasyi menyebutkan adakalanya munâsabah antarayat yang menggunakan indikasi ‟athaf tetapi menunjukkan saling bertentangan (al-madhâddah). Misalnya menyebut rahmat Allah setelah adzab, menyebut hal yang disenangi setelah yang dibenci, menyebut janji dan ancaman setelah ketetapan hukum.60 Selanjutnya, al-Zarkasyî dalam menjelaskan analisa kedua, menggunakan Q.S. 2: 189, sisipan (istithrâd) dalam ayat ini dalam penjelasannya adalah ketika disebutkan mengenai waktu haji, dalam ayat yang sama disebutkan pula mengenai kebiasaan orang- orang Arab ketika mereka berada di musim haji. Jadi, kalau ditelaah lebih jauh, ada satu pertanyaan, kemudian dijawab dengan dua jawaban dalam satu ayat. Hal ini sama misalnya dengan pertanyaan mengenai air laut, kemudian dijawab oleh Nabi bahwa air laut itu suci dan halal bangkainya.61 Contoh model tearkhir adalah perumpamaan (tamtsîl), ayat yang dijadikan penguat oleh al-Zarkasyî dalam menerangkan model ketiga ini adalah Q.S. al-Isrâ (17): 1-3 dan 7-8. Sekilas ayat satu sampai tiga terkesan tidak ada relevansinya, bahkan mungkin dianggap tidak logis. Ayat pertama bercerita tentang isra‟ mi‟raj, ayat kedua tentang nabi Musa dan ayat ketiga tentang nabi Nuh. Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, pada hakikatnya antara ayat satu dengan yang lainnya memiliki kesatuan ide yang tisak terpisahkan. Meskipun terjadi peralihan ide dari ayat satu yang berbicara tentang isrâ‟ ke ayat kedua yang membicarakan pemberian kitab kepada Musa. Namun demikian, munâsabah keduanya bisa ditemukan dari cerita kedua kisah itu yang menunjukkan kemahakuasaan Allah bagi hambanya yang bisa jadi sukar dicerna oleh akal manusia. Dengan kuasa-Nya mengetahui kisah-kisah orang musyrik terdahulu, sementara umat Nabi Muhammad tidak mengetahuinya, seperti halnya kisah Nabi Musa. Adapaun keterkaitan dengan ayat berikutnya yakni Nabi Nuh, karena keturunan bani Israil sebagai cucu nabi Nuh. Dan dari 60 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 40. 61 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 41.
  • 28. 138 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 keterkaitan dengan Nuh itulah bani Israil masih ada sampai sekarang, karena Nuh dan pengikutnya pernah diselamatkan oleh Allah dari bencana banjir yang menimpa kaum Nuh ketika itu. Dengan hal tersebut mereka diperintahkan untuk bersyukur, seperti yang di sandangkan kepada Nuh sebagai hamba yang bersyukur (‟abdan syakûrâ) pada akhir ayat ketiga. Selang tiga ayat kemudian Allah tuturkan dengan bahasa yang indah ”jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatanmu) untuk dirimu sendiri”. Ayat berikutnya melanjutkan ”mudah-mudahan Tuhan kamu melimpahkan rahmat kepadamu, tetapi jika kamu melakukan kejahatan, niscaya kami kembali (mengadzabmu). Setelah panjang lebar menceritakan kisah dan pesan di atas, ayat berikutnya kembali mengalihkan pembahasan kepada hikmah diturunkannya Alquran, karena sesungguhnya Alquran merupakan tanda kebesaran Allah yang agung.62 Dari beberapa contoh yang diketengahkan di atas, terlihat bahwa al-Zarkasyi memiliki kepekaan sekaligus kelihaian membuat korelasi antara satu ayat dengan ayat berikutnya. Ini semakin menguatkan bahwa Alquran memiliki hubungan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Dari perdebatan akademik tentang munâsabah yang diperbincangkan di atas, secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua aliran.63 Pertama, pihak yang menyatakan bahwa memastikan adanya pertalian erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat, dengan kata lain, perlu adanya munâsabah. Kelompok ini seperti kata al-Zarqâni diwakili antara lain oleh Syekh „Izzuddîn Ibn „Abd al-Salam, atau yang dikenal dengan „Abd al-Salam (577- 660 H.). Menurut kelompok pertama, munâsabah adalah ilmu yang menjelaskan persyaratan baiknya kaitan pembicaraan (irtibâth al- kalâm) apabila ada hubungan keterkaitan antara permulaan pembicaraan akhir pembicaraan yang tersusun menjadi satu kesatuan.64 62 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 41-43. 63 Al-Zarqani, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al- Fikr, 1988), hlm. 348. 64 Abdurrahman Ibn Abî Bakr ibn Muhammad Abu al-Fadhl al- Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-I‟tishâm, t,thlm.), juz. 1, hlm. 108.
  • 29. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 139 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 Kedua, golongan atau pihak yang menganggap bahwa tidak perlu adanya munâsabah ayat, karena peristiwanya saling berlainan. Ada paling tidak dua alasan mengapa golongan kedua ini enggan atau menganggap tidak perlu adanya munâsabah. Pertama, kelompok kedua berargumen bahwa Alquran diturunkan dan diberi hikmah secara tauqîfi, hal ini atas petunjuk dan kehendak Allah.65 Kedua, bahwa satu kalimat akan memiliki munâsabah bila diucapkan dalam konteks yang sama. Karena Alquran diturunkan dalam berbagai konteks, maka Alquran tidak memiliki munâsabah. Pendapat ini juga diajukan oleh „Izzuddîn ibn Abd al-Salam (w. 660 H.). Di sinilah seolah-olah Izzuddîn ingin mengatakan bahwa susunan ayat mesti berdasarkan turunnya.66 Sementara yang diajukan oleh kelompok yang pro atau mendukung terhadap munâsabah mengatakan bahwa ketidak teraturan susunan ayat mengandung rahasia. Pro-kontra kajian munâsabah antara pentingnya mengedepankan munâsabah dan tidak perlu adanya munâsabah telah menjadi konsumsi public yang tidak terpisahkan dari kajian „ulûm al-Qur‟ân. Pertanyaan besar tentang apakah adanya munâsabah itu bersifat tauqifî atau ijtihâdi mengemuka dan perlu adanya jawaban akademik. Pertanyaan ini bisa jadi sangat menarik untuk di bawa ke ranah diskusi yang akademik, dan kemudiaan di susul dengan menyoal pada tataran lebih dalam, apakah perlu adanya munâsabah al-Qur‟ân atau bisa jadi kalau pendapat yang sangat ekstrim tidak tidak perlu adanya munâsah seperti wacana perdebatan di atas. Al-Suyûthi mempunyai pendapat, apabila kata itu dikembalikan pengertiannya dalam konteks ayat, kalimat atau surat dalam Alquran, maka bisa berarti adanya keserupaan, kedekatan di antara berbagai ayat, surat, atau kalimat yang diakibatkan oleh 65 Baca lebih lanjut, Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al- Burhân fi „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 37, lihat pula, Jalal al-Din al-Suyûthi, al- Itqan fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 108 66 Abû Zaid mencoba melerai dan mengomentari pendapat atau kelompok kedua yang tidak menyepakati adanya munâsabah dengan mengatakan bahwa pendapat yang dikemukakan Izzuddîn agar keterkaitan ayat dengan ayat dan surat dengan surat, terhadap sebab yang berbeda-beda, yang tidak menjadi persyaratan baiknya susunan kalimat (irtibâth al-kalâm) jangan sampai dipaksakan. Akan tetapi jika keterkaitan uraian terjadi karena satu sebab yang sama, maka menghubungkannya adalah suatu hal yang baik, dan disinilah letak baiknnya munâsabahlm. Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas Alquran, hlm. 199.
  • 30. 140 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 adanya hubungan makna yang muncul. Misalnya, yang satu „âm dan yang lainnya khâs. Hubungan itu bisa juga muncul melalui penalaran („aqli), penginderaan (hissi), atau melaui kemestian dalam pikiran (al-taladzdzum al-dihni) seperti hubungan sebab akibat, illat dan ma‟lul dua hal yang serupa atau dua hal yang berlainan.67 Ahmad Atha‟ dalam pengantar buku Asrâr Tartîb al-Qur‟ân karya al-Suyûthi memberikan cara dan tahapan untuk menemukan munâsabah al-Qur‟ân. Ada empat langkah pertama, melihat tema sentral dari surat tertentu. Kedua, melihat premis-premis yang mendukung tema sentral. Ketiga, mengadakan kategorisasi terhadap premis itu berdasarkan jauh dan dekatnya kepada tujuan. Dan keempat, melihat kalimat-kalimat atau pernyataan yang saling mendukung dalam premis itu.68 Dan cara-cara demikian telah lama di pakai oleh para mufasir sekaliber al-Naisaburi, Abû Bakar Ibn al- Zubair, Fakhruddîn al-Râzi, al-Suyûthi, al-Biqâ‟i, dan belakangan Muhammad „Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Syaltut, dan sebagainya. Dan yang dianggap paling konsen (takhashshush) adalah al-Biqâ‟i dalam karya besarnya berjudul Nadzm al-Durâr fî Tanâshub al-Âyat wa al-Shuwar.69 Kerangka teoritis yang berdasar pada uraian di atas, ada dua benang merah yang bisa menjadi gambaran yang menerangkan tentang kerangka munâsabah. Pertama, ada ayat dan surat yang bisa dicari titik munasabah antara sat dengan lainnya. Kedua, ternyata dari contoh model di atas, juga tidak ditemukan munâsabah, dalam kata lain tidak semua ayat dan surat terdapat munâsabah. Namun demikian, menurut hemat penulis bukan tidak ada munâsasabah, bisa jadi kalau dibahasakan belum mampu menemukan munâsabah- nya. Barangkali semuanya bersepakat akan adanya munâsabah, namun tidak semua orang mampu menghubungkan antara satu ayat atau surah satu dengan yang lainya. Pada sisi inilah celah beberapa ilmuan yang mengkritik bahwa Alquran tidak holistic, sehingga memungkinkan meragukan keotentisistasnnya. 67 Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‟Ulûm al-Qur‟ân, hlm.108. 68 Abd al-Qadir Ahmad Atha‟, dalam pengantar al-Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-I‟tishâm, 1978), hlm. 4 69 Lihat lebih lanjut, al-Biqâ‟î, Burhânuddin Ibn Umar Ibrahim, Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al-Suwar, (Heidiradab: Majlis Dairât al-Ma‟ârif al-Usmâniyyah, 1969).
  • 31. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 141 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 Kesimpulan Dari uraian dan hipotesa perdebatan akademik seputar wawasan munâsabah Alquran di atas, jelaslah munâsabah sebagai bagian dari alat bantu memahami kitâb Allâh. Upaya-upaya itu, terlihat begitu besar akan pentingnya kajian munâsabah terhadap kajian Alquran, terlepas ada beberapa kalangan yang berusaha keras ingin merekonstruksi Alquan, yang pasti dari kajian mereka kita kembali dikejutkan untuk selalu menjaga dan paling tidak selalu mengakaji Alquran. Maka upaya apapun, baik misalnya perdebatan nasikh-mansukh menyoal adanya surat tambahan versi Syi‟ah, ingin merombak susunan ayat dan surat Alquran secara kronologis, mengoreksi bahasa Alquran ataupun ingin mengubah redaksi ayat- ayat tertentu, bahkan bukan hanya sampai di situ menebar isu mempersoalkan autentisitas Alquran, dan lain-lain. Yang jelas, stigma miring ini tidak kemudian melunturkan keimanan atau memurtadkan keyakinan, karena upaya mereka terbukti sampai sekarang tidak berhasil. Justru malah sebaliknya, animo untuk mengkaji Alquran dan keyakinan akan kitab suci Alquran semakin tinggi dan marak. Daftar Pustaka „Ali bin Muhammad bin „Ali al-Jurjani, al-Ta‟rifât, Beirut: Dâr al- Kutub al-„Arabi, 1405 H. A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984 Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû‟I, Kairo: al- Hadharah al-„Arabiyah, 1977 Abd al-Qadir Ahmad Atha‟, dalam pengantar al-Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur‟ân, Kairo: Dâr al-I‟tishâm, 1978. Abdurrahman Ibn Abî Bakr ibn Muhammad Abu al-Fadhl al- Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur‟ân, Kairo: Dâr al-I‟tishâm, 1978 Abi Abdillah Nuhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthûbi, al- Jami‟ lî al-Ahkâm al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993. Al-Bagawî, Syarh al-Sunnah al-Shahâbah, Beirūt: Dār al-Kutub al- `Ilmiyyah, 1993 Al-Baihaqî, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ , (Kuwait: Dâr al- Khulafâ‟ lî al-Kitâb al-Islâmî, 1404 Al-Bâqillânî, I‟jâz al-Qur‟ân, Beirūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1996. al-Syâthibi, al-Muwâfaqat, Beirut: Dâr al-Fikr, 1975
  • 32. 142 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 Andy Hadiyanto, Repetisi Kisah Al-Quran (Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan Madaniyyah), disertasi UIN, 2009 Burhânuddin Ibn Umar Ibrahim al-Biqâ‟î, Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al-Suwar, Heidiradab: Majlis Dairât al-Ma‟ârif al- Usmâniyyah, 1969 Fauzul Iman, Munasabah Al-Qur‟an, Jurnal Panji Masyarakat, no. 843, edisi Novemver 2005 Fazlur Rahmân, Islam and Modernity, Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982 http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428.fmatter, unduhan, 20 Januari 2010, http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=Salwa+ M.S.+ElAwa&sourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8, unduhan, 20 januari 2010 Ibnu Manzûr al-Afriqi, Lisân al-„Arâb, Beirut: Dâr al-Sadîr, tth. Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, Beirût: Dâr al- Sadîr, t.th. J.M.S. Baljon,Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), Leiden: E.J. Brill, 1968 Jalaluddîn al-Suyûthi, al-Itqan fî „Ulûm al-Qur‟ân, Damaskus : Dar al- Fikr, 1979. Labib al-Sa‟id, al-jam‟ al-Shautî lî al-Qur‟ân al-Karîm, (Mesir: Dâr al- Kâtib al-„Arâby, t.th Lois Ma‟luf, Qamûs al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‟lam, (Beirut: Dâr al- Syarqy, 1976. M. Quraish Shihab , Wawasan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1996 _______, dalam pengantar buku Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka al-Fabets, 2005 _______, Ibrahim bin Umar al-Biqâ‟i: Ahli Tafsir yang Kontroversial, Jurnal Ulûmul Qur‟an, LSAF, Vol. 1, 1989 _______, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992 _______, Mukjizat al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1998 _______, Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, (Jakarta: Pustaka Fidaus dan Bayt al-Qur‟an & Museum Istiqlal TMII, 2001 _______, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Jakarta: Lentera hati, 2006 Mannâ„ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, Beirut: Mansyûrât al-„Asr al-Hadîts, 1393 H.
  • 33. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 143 Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 MM. Azami, The History of Qur‟ânic Text From Revelation to Compilation A Comparative Study with the old and new Testament, (Sejarah Teks al-Qur‟ân dari Wahyu sampai Kompilasi kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), terj. Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi Suharto, Lili Mulyadi, Jakarta: Gema Insani Press, 2005 Muhamad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir: Maktabah Wahbah, 1985 Muhammad „Abdul Azaîm al-Zarqânî, Manâhil al-„Irfân fi „Ulûm al- Qur‟ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1988 Muhammad Ahmad Khalafullâh, al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur‟ân al- Karîm, syarah wa al-ta‟lîq oleh Khalîl „Abd al-Karîm, Beirut, Kairo, Sînâ lî al-Nasyr wa al-Intisyâr al-„Araby, 1999 Muhammad Ajâj al-Khathîb,, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AH. Akram Fahmi, Jakarta: Gema Insani Press, 1999 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000 Muhammad Burhanuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi „Ulûm al- Qur‟ûn, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-„Arabiyyah, 1957 Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi „Ulûm al- Qur‟ûn, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-„Arabiyyah, 1957 Muhammad Fu‟ad Abdul Bâqî, al-Mu‟jâm al-Mufharas li al-Fâz al- Qur‟ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1987 Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhal li Dirâsâh al- Qur‟ân al-Karîm, Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992 Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata‟addab Ma‟a al-Mushhaf, t.tp., Dâr al-I‟tishâm, 1978 Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, Min Rawâ‟i al-Qurân, Beirut- Libanon/Damsyik: maktabah al-farabi, 1397 H/1977 M. Mushthafâ Shâdiq al-Râfi‟î, I‟jâ z al-Qur‟ân wa al-Balâgah al- Nahwiyyah, Beirūt: al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. ke-3, 1990 Musthafâ al-Sibâ‟î, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-tasyrî‟ al-Islâmî, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam, terj. Nurchalish Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 Nasr Hamid Abû Zaid, Mafhûm al-Nâsh: Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân, kairo: Dâr al-Ihyâ al-Kutub al‟Arabiyyah, 1992 _______, Tekstualitas al-Qur‟an : Kritik Terhadap Ulumul Qur‟an, terj. Khairan Nahdiyyin, Yogyakarta : LkiS, 2001 Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994
  • 34. 144 Hasani Ahmad Said Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011 Salwa M.S. El-Awa, Texstual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure, Routledge, New York, 2006 Subhi Shâlih, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, Bairut-Libanon, Dâr al- „Ilm lî al-Malâyîn, 1988 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005 W. Monthomery Watt, Bell‟s Introduction to The Qur‟ân, Leiden: Edinburgh University Press, 1994 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran kalam tafsir al-Azhar, Sebuah telaah tentang Pemikiran hamka dalam teologi Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990 _______, Karakteristik Tafsîr al-Quran di Indonesia Abad 20, Jurnal Ulûm al-Quran, Vol. III, no.4, 1992