kajian Munasabah Alquran dalam rangka menjawab dan menjaga otentisitas Alquran menjadi kajian penting dalam kajian Alquran. Kajian dalam tulisan ini menjawab diskursus bahasan ini.
Hadits berfungsi untuk menjelaskan dan memperinci ajaran Al-Qur'an, serta menetapkan hukum-hukum yang tidak tercantum secara rinci dalam Al-Qur'an. Fungsi-fungsi hadits meliputi menjelaskan, menafsirkan, memberikan batasan, dan menetapkan hukum baru, menurut pandangan ulama seperti Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal."
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Naskh dan mansukh merujuk pada penghapusan hukum syara' yang sebelumnya dengan hukum yang datang kemudian. Terdapat beberapa syarat, jenis, dan pedoman mengenali naskh serta hikmah di balik praktik ini, seperti memelihara kemashlahatan umat dan menyesuaikan hukum seiring perkembangan zaman.
Makalah ini membahas tentang konsep nasikh dan mansukh dalam Al Quran. Nasikh adalah ayat yang menghapus hukum syara' yang sebelumnya, sedangkan mansukh adalah hukum syara' yang dihapus. Terdapat berbagai pendapat ulama tentang cakupan dan syarat nasikh."
Teks tersebut membahas mengenai mukjizat Al-Quran dari beberapa aspek, yaitu:
1. Bahasa, dengan menjelaskan fasahah dan balaghah.
2. Pengobatan, dengan mengutip ayat Al-Quran tentang pengobatan ruhani dan fisik.
3. Biologi, dengan menjelaskan beberapa ayat Al-Quran yang sesuai dengan pengetahuan biologi modern tentang otak, kelahiran, dan sidik jari manusia
Hadits berfungsi untuk menjelaskan dan memperinci ajaran Al-Qur'an, serta menetapkan hukum-hukum yang tidak tercantum secara rinci dalam Al-Qur'an. Fungsi-fungsi hadits meliputi menjelaskan, menafsirkan, memberikan batasan, dan menetapkan hukum baru, menurut pandangan ulama seperti Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal."
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Naskh dan mansukh merujuk pada penghapusan hukum syara' yang sebelumnya dengan hukum yang datang kemudian. Terdapat beberapa syarat, jenis, dan pedoman mengenali naskh serta hikmah di balik praktik ini, seperti memelihara kemashlahatan umat dan menyesuaikan hukum seiring perkembangan zaman.
Makalah ini membahas tentang konsep nasikh dan mansukh dalam Al Quran. Nasikh adalah ayat yang menghapus hukum syara' yang sebelumnya, sedangkan mansukh adalah hukum syara' yang dihapus. Terdapat berbagai pendapat ulama tentang cakupan dan syarat nasikh."
Teks tersebut membahas mengenai mukjizat Al-Quran dari beberapa aspek, yaitu:
1. Bahasa, dengan menjelaskan fasahah dan balaghah.
2. Pengobatan, dengan mengutip ayat Al-Quran tentang pengobatan ruhani dan fisik.
3. Biologi, dengan menjelaskan beberapa ayat Al-Quran yang sesuai dengan pengetahuan biologi modern tentang otak, kelahiran, dan sidik jari manusia
Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang dan tujuan penulisan makalah mengenai asbabun nuzul atau sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur'an. Secara garis besar dibahas mengenai pengertian asbabun nuzul, contoh sebab-sebab turunnya beberapa ayat Al-Qur'an, dan manfaat mengetahui asbabun nuzul seperti memahami hukum dan konteks historis turunnya suatu ayat.
Dokumen tersebut membahas tentang hukum lafadz mutlak dan muqayyad dalam tafsir Al-Quran. Ada empat kategori hubungan antara mutlak dan muqayyad, yaitu: (1) sama hukum dan sebab, (2) berbeda hukum dan sebab, (3) berbeda hukum tapi sama sebab, (4) sama hukum tapi berbeda sebab. Dokumen ini menjelaskan kondisi di mana mutlak dibawa ke muqayy
Dokumen tersebut membahas tentang ilmu muhkam dan mutasyabih dalam Al-Quran. Ayat-ayat muhkam memiliki makna yang jelas sedangkan mutasyabih memiliki makna yang kurang jelas dan membutuhkan penafsiran lebih lanjut. Terdapat berbagai pendapat ulama dan kriteria untuk membedakan kedua jenis ayat tersebut. Ayat mutasyabih dibagi menjadi tiga macam. Keberadaan kedua jenis ayat terse
Dokumen tersebut membahas tentang ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum Islam. Ijma' didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama muslim tentang suatu masalah hukum, sedangkan qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah lama berdasarkan persamaan alasan hukumnya. Kedua sumber hukum ini diakui oleh kebanyakan ulama sebagai sumber hukum yang sah selama tidak bertentangan dengan Al-
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang qiraat Al-Qur'an, termasuk pengertian, syarat-syarat yang sahih, jenis-jenisnya, tokoh-tokohnya, dan latar belakang timbulnya perbedaan qiraat.
Ilmu munasabah adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bagian-bagian Al-Quran, seperti antar ayat, antar surat, dan antar kalimat. Ilmu ini penting untuk memahami makna Al-Quran secara utuh dan keindahan bahasanya. Sementara para ulama memiliki pendapat beragam soal kedudukan ilmu ini dalam penafsiran, kebanyakan sepakat bahwa ilmu munasabah dapat membantu memahami kohesi
Qiyas merupakan salah satu metode penggalian hukum Islam yang digunakan untuk menetapkan hukum bagi peristiwa-peristiwa yang tidak terdapat nashnya dalam Alquran dan Hadis. Qiyas dilakukan dengan membandingkan kasus yang belum diatur dengan kasus yang sudah diatur berdasarkan kesamaan alasan hukum (illat). Metode ini diterima oleh kebanyakan mazhab, sedangkan mazhab Zahiri dan Syi'ah Imam
Presentasi membahas definisi hukum syara', jenis-jenis hukum taklifi dan wadh'i beserta pembagiannya. Hukum syara' didefinisikan sebagai ketentuan Allah yang terkait dengan perbuatan manusia. Hukum dibagi menjadi taklifi yang memerintahkan atau melarang, dan wadh'i yang mengatur sebab, syarat, dan penghalang hukum taklifi. Hukum taklifi mencakup wajib, mandub, haram, makruh,
1. Dokumen tersebut membahas tentang pengertian mantuq dan mafhum serta pembagian dan syarat-syarat mafhum mukhalafah.
2. Ada beberapa jenis mafhum mukhalafah seperti mafhum shifat, mafhum 'illat, dan mafhum 'adat.
3. Mafhum mukhalafah harus memenuhi syarat tertentu seperti tidak boleh bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Dokumen tersebut membahas tentang Israiliyat, yaitu kisah-kisah dan cerita-cerita yang berasal dari pendeta dan ahli kitab Yahudi serta Nasrani. Israiliyat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kesahihan, kesesuaian dengan agama Islam, dan topiknya. Dokumen tersebut juga membahas hukum meriwayatkan Israiliyat dan beberapa periwayat Israiliyat terkenal.
Dokumen tersebut membahas sejarah singkat ilmu tafsir Al-Qur'an, mulai dari masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat hingga masa modern. Terdapat beberapa metode tafsir yang dijelaskan seperti tafsir bil ma'tsur yang mengutip Al-Qur'an dan hadis, serta tafsir bir-ra'yi yang bersumber dari pemahaman pribadi. Dokumen ini juga membedakan tafsir yang diperbolehkan dan yang dilarang.
Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang dan tujuan penulisan makalah mengenai asbabun nuzul atau sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur'an. Secara garis besar dibahas mengenai pengertian asbabun nuzul, contoh sebab-sebab turunnya beberapa ayat Al-Qur'an, dan manfaat mengetahui asbabun nuzul seperti memahami hukum dan konteks historis turunnya suatu ayat.
Dokumen tersebut membahas tentang hukum lafadz mutlak dan muqayyad dalam tafsir Al-Quran. Ada empat kategori hubungan antara mutlak dan muqayyad, yaitu: (1) sama hukum dan sebab, (2) berbeda hukum dan sebab, (3) berbeda hukum tapi sama sebab, (4) sama hukum tapi berbeda sebab. Dokumen ini menjelaskan kondisi di mana mutlak dibawa ke muqayy
Dokumen tersebut membahas tentang ilmu muhkam dan mutasyabih dalam Al-Quran. Ayat-ayat muhkam memiliki makna yang jelas sedangkan mutasyabih memiliki makna yang kurang jelas dan membutuhkan penafsiran lebih lanjut. Terdapat berbagai pendapat ulama dan kriteria untuk membedakan kedua jenis ayat tersebut. Ayat mutasyabih dibagi menjadi tiga macam. Keberadaan kedua jenis ayat terse
Dokumen tersebut membahas tentang ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum Islam. Ijma' didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama muslim tentang suatu masalah hukum, sedangkan qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah lama berdasarkan persamaan alasan hukumnya. Kedua sumber hukum ini diakui oleh kebanyakan ulama sebagai sumber hukum yang sah selama tidak bertentangan dengan Al-
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang qiraat Al-Qur'an, termasuk pengertian, syarat-syarat yang sahih, jenis-jenisnya, tokoh-tokohnya, dan latar belakang timbulnya perbedaan qiraat.
Ilmu munasabah adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bagian-bagian Al-Quran, seperti antar ayat, antar surat, dan antar kalimat. Ilmu ini penting untuk memahami makna Al-Quran secara utuh dan keindahan bahasanya. Sementara para ulama memiliki pendapat beragam soal kedudukan ilmu ini dalam penafsiran, kebanyakan sepakat bahwa ilmu munasabah dapat membantu memahami kohesi
Qiyas merupakan salah satu metode penggalian hukum Islam yang digunakan untuk menetapkan hukum bagi peristiwa-peristiwa yang tidak terdapat nashnya dalam Alquran dan Hadis. Qiyas dilakukan dengan membandingkan kasus yang belum diatur dengan kasus yang sudah diatur berdasarkan kesamaan alasan hukum (illat). Metode ini diterima oleh kebanyakan mazhab, sedangkan mazhab Zahiri dan Syi'ah Imam
Presentasi membahas definisi hukum syara', jenis-jenis hukum taklifi dan wadh'i beserta pembagiannya. Hukum syara' didefinisikan sebagai ketentuan Allah yang terkait dengan perbuatan manusia. Hukum dibagi menjadi taklifi yang memerintahkan atau melarang, dan wadh'i yang mengatur sebab, syarat, dan penghalang hukum taklifi. Hukum taklifi mencakup wajib, mandub, haram, makruh,
1. Dokumen tersebut membahas tentang pengertian mantuq dan mafhum serta pembagian dan syarat-syarat mafhum mukhalafah.
2. Ada beberapa jenis mafhum mukhalafah seperti mafhum shifat, mafhum 'illat, dan mafhum 'adat.
3. Mafhum mukhalafah harus memenuhi syarat tertentu seperti tidak boleh bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Dokumen tersebut membahas tentang Israiliyat, yaitu kisah-kisah dan cerita-cerita yang berasal dari pendeta dan ahli kitab Yahudi serta Nasrani. Israiliyat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kesahihan, kesesuaian dengan agama Islam, dan topiknya. Dokumen tersebut juga membahas hukum meriwayatkan Israiliyat dan beberapa periwayat Israiliyat terkenal.
Dokumen tersebut membahas sejarah singkat ilmu tafsir Al-Qur'an, mulai dari masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat hingga masa modern. Terdapat beberapa metode tafsir yang dijelaskan seperti tafsir bil ma'tsur yang mengutip Al-Qur'an dan hadis, serta tafsir bir-ra'yi yang bersumber dari pemahaman pribadi. Dokumen ini juga membedakan tafsir yang diperbolehkan dan yang dilarang.
Tafsir merupakan usaha untuk memahami dan menerangkan maksud ayat-ayat Al-Quran. Terdapat berbagai corak penafsiran yang berkembang seperti sastra bahasa, filsafat, ilmiah, fiqih, dan tasawuf. Beberapa kitab tafsir terpopuler adalah Tafsir At-Tabari, Bahrul Ulum, Al-Kasyf wa Al-Bayan, dan Ma'alim At-Tanzil.
Teks tersebut membahas tentang pengertian dan jenis-jenis tafsir Al-Qur'an. Secara ringkas, teks tersebut menjelaskan bahwa tafsir Al-Qur'an adalah upaya menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur'an, dan terdapat beberapa pendekatan dalam melakukan tafsir, diantaranya tafsir berdasarkan riwayat, pemikiran mufasir, atau kombinasi keduanya. Teks tersebut juga menj
Tulisan ini mengungkap Tafsir Syiah Zaydiyah yang paparkan oleh Imam al-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadir. Yang menarik dari tulisan ini, kendati madzhabnya syiah Zaidiyah, namun gagasan dan pemikirannya sering sejalan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. selain itu, tulisan ini menelisik corak pemikiran kalam dalam tafsir Fath al-Qadir.
Dokumen tersebut membahas tentang tafsir Al-Kashshāf karya Al-Zamakhshari. Ia menjelaskan biografi pengarang Al-Zamakhshari, metode penafsirannya yang menitikberatkan pada analisis bahasa Arab, serta contoh penafsirannya yang menunjukkan pendekatan bahasa."
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam, meliputi definisi dalil dan Al-Quran, sejarah turunnya Al-Quran, fungsi Al-Quran, kodifikasi Al-Quran, ilmu Al-Quran, jenis-jenis tafsir Al-Quran, dan pembagian ayat Al-Quran menjadi ayat Mekkah dan Madinah.
Paragraf pertama menjelaskan pentingnya tafsir Al-Qur'an sebagai teks kedua setelah Al-Qur'an. Paragraf berikutnya menjelaskan bahwa Ulumul Qur'an merupakan ilmu bantu penting bagi memahami Al-Qur'an secara tepat.
Ulumul Qur'an adalah ilmu yang membahas berbagai aspek terkait Al-Qur'an, seperti pengumpulan dan pengaturan ayat, makna literal dan hukum, serta perkembangannya sejak masa Nabi hingga abad ke-14 Masehi. Ilmu-ilmu terkait Al-Qur'an mulai dikembangkan secara sistematis sejak abad ke-2 Masehi dan semakin berkembang pada abad-abad berikutnya dengan disus
Teks tersebut membahas tentang ilmu rijal al-hadits yang mencakup definisi, urgensitas, munculnya, cabang-cabang, dan kitab-kitab terkait ilmu ini. Ilmu rijal al-hadits membahas keadaan para periwayat hadis meliputi kelahiran, kematian, guru, murid, dan lainnya yang berkaitan dengan sejarah mereka. Ilmu ini muncul untuk mengetahui kebenaran hadis-hadis Nabi karena maraknya fitnah dan penye
Teks tersebut merupakan ringkasan mengenai karya Imam Ibnu Qutaibah tentang penafsiran hadits-hadits yang tampak bertentangan (mukhtalaf). Ringkasannya membahas latar belakang penulis, kaidah-kaidah yang digunakan untuk menyelesaikan hadits mukhtalaf, serta definisi hadits mukhtalaf menurut beberapa ulama.
Teks ini membahas tafsir Al-Quran dan latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Quran. Ayat-ayat Al-Quran turun untuk memberi petunjuk kepada manusia dan menyebarkan rahmat, tetapi harus dipahami dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Arab pada saat itu. Al-Quran juga membahas berbagai aspek kehidupan seperti iman, ibadah, dan muamalah antarmanusia.
The document promotes the works of Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. It does not provide any details about specific works or publications by Dr. Hasani Ahmad Said. The document seems to be encouraging people to obtain or access works by Dr. Hasani Ahmad Said but does not give any information about what those works are or where they can be accessed.
Cv Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. pdf feb 2022 (1).pdfHasaniahmadsaid
Hasani Ahmad Said adalah dosen muda Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah dengan keahlian ilmu al-Qur'an dan Tafsir dan tafsir Nusantara.
Saat ini sebagai ketua Prodi Ilmu Tasawuf Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...Hasaniahmadsaid
The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Muslim Scholars - Jour of Adv Research in Dynamical & Control Systems, Vol. 12, Issue-02, 2020, ISSN 1943-023X.pdf
Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Persp...Hasaniahmadsaid
Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Perspective Al-qur'an and Sadd Al-dzari’ah - Talent Development & Excellence, Vol.12, No.3s, 2020, 2487 - 2495.pdf
Hasani Ahmad Said at. all. - The Review Of Castration Punishment For Pedophil...Hasaniahmadsaid
Hasani Ahmad Said at. all. - The Review Of Castration Punishment For Pedophile In Islamic Law- International Journal of Advanced Science and Technology - Vol. 29, No. 9s, (2020), pp. 4932-4937.pdf
Jurnal IRATDE - Hasani Ahmad Said et. all. - The Polemic Prohibition of Weari...Hasaniahmadsaid
1) The document discusses the debate around prohibitions on wearing veils in various countries from an Islamic law perspective.
2) It analyzes the reasons for prohibiting veils based on interpretations of the Quran and the Islamic legal principle of "sadd al-dzari'ah".
3) The study concludes that wearing veils is not clearly mandated or prohibited in Islamic texts and is therefore considered "mubah" or permissible, according to most Islamic scholars. Regulations can be justified using the principle of "sadd al-dzari'ah" to prevent potential harms.
Hasani Ahamad Said at. all. - The Digital Al-Qur'an Viewed by Indonesian Musl...Hasaniahmadsaid
This document discusses perspectives from Indonesian Muslim scholars on digital versions of the Quran. It finds that there are two main views: 1) Digital versions make the Quran more accessible and practical for modern study and reading; and 2) While digital versions have advantages, they also have shortcomings like a lack of oversight on content and features which could enable misuse. Overall, scholars see benefits in increased access, but have concerns about accuracy and oversight of digital versions.
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. - Serambi Islami TVRI - Keutamaan Surah Yasin - S...Hasaniahmadsaid
Ada tiga catatan penting dalam Surah Yasin ayat 12:
Pertama, adanya kepastian dibangkitkannya manusia di akhirat kelak. Kedua, adalah kepastian dicatatnya amal perbuatan manusia. Ketiga, dalam buku tersebut ia tuliskan tentang dicatatnya seluruh pengaruh yang ditimbulkan di samping amal yang dikerjakan oleh manusia.
Serambi Islami TVRI - Kedudukan Harta dalam al-Qur'an - by Dr. Hasani Ahmad S...Hasaniahmadsaid
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang kedudukan harta dalam Al-Qur'an dan Islam. Harta dijelaskan sebagai kebutuhan dasar manusia, amanah, dan ujian. Al-Qur'an memberi peringatan untuk berhati-hati terhadap harta karena dapat menyesatkan. Harta seharusnya digunakan untuk kemaslahatan umat.
Modul Ajar Matematika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaFathan Emran
Modul Ajar Matematika Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka - abdiera.com. Modul Ajar Matematika Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Matematika Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Matematika Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Matematika Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka.
Materi ini membahas tentang defenisi dan Usia Anak di Indonesia serta hubungannya dengan risiko terpapar kekerasan. Dalam modul ini, akan diuraikan berbagai bentuk kekerasan yang dapat dialami anak-anak, seperti kekerasan fisik, emosional, seksual, dan penelantaran.
Pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan yang
memberikan akses kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan, bakat istimewa,maupun potensi tertentu
untuk mengikuti pendidikan maupun pembelajaran dalam
satu lingkungan pendidikan yang sama dengan peserta didik
umumlainya
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum MerdekaFathan Emran
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka - abdiera.com. Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka.
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Fathan Emran
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka - abdiera.com. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka.
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Dr. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Quran; menyoal otentisitas alquran
1. Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Diskursus Munâsabah Al-Qur’an:
Menyoal Perdebatan Otentisitas Al-Qur’an
Oleh:
Hasani Ahmad Said1
Abstrak
Studi kajian terhadap Alquran telah berjalan dalam sejarah yang cukup
panjang. Alquran adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal
kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk
sekelompok manusia ketika ia diturunkan, tetapi juga untuk seluruh manusia
hingga akhir zaman. Dari ulama klasik hingga sekarang puluhan atau bahkan
ratusan buku yang mengkaji akan kemukjizatan Alquran. Bahkan, Alquran
sendiri menyatakan dirinya sebagai mukjizat. Tetapi tidak demikian dengan
para ilmuan Barat dan orientalis. Bahkan mereka mempertanyakan
otentisitas Alquran. Salah satu kajian yang menjadi diskursus perdebatan
adalah aspek munâsabah. Maka, tulisan ini penting untuk didiskusikan
dalam rangka menjawab keraguan tersebut.
Kata Kunci: Munâsabah, otentisitas, Alquran.
Pendahuluan
Alquran bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala
hal.2 Alquran tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus
dimitoskan,3 karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara
1 Dosen Tafsir Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung
2Nilai-nilai dasar Alquran mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia secara utuh dan komprehensif (Q.S. al-An‟âm/6:37). Tema-tema
pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan
anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, dan
makhluk-makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran
ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern (QS. al-Hujurât/15:9),
sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-
Furqân/25:1).
3 Kajian Alquran sebagai kitab mitos, pernah dikaji pada karya
disertasi dengan judul al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur‟ân al-Karîm ini
merupakan ijtihad akademik Muhammad Ahmad Khalafullâh yang
dipertahankan dalam sidang munâqasyah di Universitas al-Azhar Kairo
Mesir. Dalam fersi Indonesia karya Khalafullah, diterjemahkan Al-Qur‟an
Bukan “Kitab Sejarah” Seni, Sastra Dan Moralitas Dalam Kisah-Kisah Al-
Quran,” oleh Zuhairi Misrawi dan Anis Maftuhin, diterbitkan Paramadina,
tahun 2002. Lihat, Muhammad Ahmad Khalafullâh, al-Fann al-Qashâshî fî
2. 112 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Alquran dengan realitas sosial. Alquran di satu pihak diidealisasi
sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak
lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis,
rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai Alquran yang
dialamatkankan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas
itu. Karena itu perlu adanya tafsîr4 untuk mengungkap,
menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-prinsip
kandungan Alquran tersebut.5 Alquran dalam tradisi keilmuan
Islam, telah melahirkan sederet teks turunan yang demikian
al-Qur‟ân al-Karîm, syarah wa al-ta‟lîq oleh Khalîl „Abd al-Karîm, (Beirut,
Kairo, Sînâ lî al-Nasyr wa al-Intisyâr al-„Araby, 1999. lihat pula karya Andy
Hadiyanto, yang bertajuk Repetisi Kisah Al-Qur‟an (Analisis Struktural
Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan Madaniyyah),
disertasi UIN, tahun 2009.
4 Secara etimologis, kata tafsîr (exegesis) berasal dari bahasa Arab,
fassara-yufassiru-tafsîran. Derifasi ini mengandung pengertian: menyingkap
(al-Kasyfu), memperjelas (idzhâr) atau menjelaskan. Lihat „Ali bin
Muhammad bin „Ali al-Jurjani, al-Ta‟rifât, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabi,
1405 HLM.), hlm. 87., A. Warson memberikan pengertian kata tafsîr
merupakan bentuk mashdâr yang berarti menjelaskan, memberi komentar,
menterjemahkan atau mentakwilkan. Lihat A.Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984),
hlm. 1134. Ibnu Manzdûr dalam kamus besar Lisân al-„Arâb, beliau berkata:
kata al-fasru berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsîr
menyingkap sesuatu lafad yang susah dan pelik. Lihat Ibnu Mandzûr al-
Afriqi, Lisân al-„Arâb, (Beirut: Dâr al-Shadîr, tthlm.), j.5, hlm. 55. Secara
terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas tentang apa yang
dimaksud oleh Allah dalam Alquran sepanjang kemampuan manusia.
Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr,
tthlm.), Jilid II, hlm. 3, bandingkan pula dengan Muhamad Husain al-
Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), jilid
II, hlm. 15. Kata tafsir dalam Alquran disebut satu kali dalam Alquran Q.S.
al-Furqan (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan
dengan tafsîr ialah ta‟wîl disebut dalam Alquran sebanyak 17 kali. Lihat
Muhammad Fu‟ad „Abdul Bâqî, al-Mu‟jâm al-Mufharas li al-Fâdz al-Qur‟ân,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), hlm. 97. dan di antara para ahli ada yang
menyamakan pengertian antara keduanya, namun ada juga yang
membedakannya, kontroversi ini disampaikan antara lain oleh al-Zarqânî,
Manâhil al-Irfân fi „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Jilid II, hlm. 4-6,
lihat pula Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an, (Beirut: Dâr al-
Fikr: tt.), juz II, hlm. 173-174.
5 M. Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsîr al-Qur‟an di Indonesia Abad 20,
Jurnal Ulûmul Qur‟an, Vol. III, no.4, 1992, hlm. 50
3. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 113
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
mengagungkan. Teks-teks turunan itu merupakan karya-karya
spektakuler yang lahir dari tangan-tangan ulama dengan beragam
model dan metode.6
Sejarah perkembangan tafsir tidak terlepas dari corak
penafsiran7 yang dihasilkan oleh setiap generasi dalam penggal
sejarah tertentu, di mana dalam menyajikan kandungan dan pesan-
pesan firman Allah Swt. terdapat ekspresi dan karakter yang
impresif. Jangankan pada generasi yang berbeda, generasi yang
samapun, seperti generasi sahabat8 sudah memperlihatkan
fenomena perselisihan pendapat dalam memahami Alquran.9
6 Keheterogenan metode penafsiran yang dipakai oleh mufasir
tersebut dapat dilihat berikut ini: kita misalanya mengenal Tafsir al-Durr
al-Mansûr fî al-Tafsîr bi al-Ma‟sûr karya Jalâluddîn al-Suyûthî (849-911
HLM.), Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ayi al-Qur‟ân karya Muhammad Abû Ja‟far
Muhammad Ibnu Jarîr al-Thahabarî (224-310 HLM.), dan Tafsîr al-Qur‟ân
al-„Adzîm karya Imamuddîn Abû al-Fida‟ al-Quraisyi al-Dimasyqi Ibn
Katsîr (700-774 HLM.), yang sangat kuat merujuk kepada data-data
riwayat sebagai bentuk representasi metode tafsîr bi al-Ma‟tsûr. Pada karya
tafsir yang lain, kita bisa melihat misalnya al-Jauhâr fî Tafsîr al-Qur‟ân karya
Tanthawi Jauharî (W. 876 HLM.) yang banyak mengadopsi disiplin ilmu
pengetahuan alam, al-Kasyf „an Haqîqat al-Tanzîl wa „Uyûn al-Aqâwîl fî
Wujûh al-Ta‟wîl karya al-Jamakhsyarî (476-538 HLM.) yang sangat
mengagungi rasionalitas. Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr karya
Rasyîd Ridhâ (1282-1354 HLM.) yang lebih mengedepankan tafsirnya
sebagai pedoman dalam kehidupan sosial kemasyrakatan dan Ahkâm al-
Qur‟ân karya al-Qurthûbî (w. 1272 HLM.) yang memfokuskan kajiannya
pada masalah-masalah fiqihlm.
7 Ada beberapa macam metode dan corak penafsiran Alquran.
„Abd Al-Hay al-Farmawi membagi metode yang dikenal selama ini
menjadi empat, yaitu analisis, komparatif, global dan tematik (penetapan
topik). Metode analisis tersebut bermacam-macam coraknya, salah satu
diantaranya adalah corak adab al-Ijtimâ‟î (budaya kemasyarakatan). Lihat,
„Abd. Al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû‟i, (Kairo: al-
Hadharah al-„Arabiyah, 1977), cet. Ke-2, hlm. 23-24, lihat pula M. Quraish
Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta:
Lentera hati, 2006), cet.II, hlm. 24-25, bandingkan pula, M. Quraish Shihab,
Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), cet.XV, hlm. 83-91, M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟ân Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 2007), cet. I, hlm. xv-xvi
8 Setelah Rasulullah wafat (11 HLM.), kepeloporan beliau dibidang
tafsir dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat-sahabat yang ahli di
bidang tafsir misalnya: Khulafâ‟ al-Rasyidîn Abu Bakar (w. 13 HLM.),
4. 114 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Para ulama sepakat akan kemukjizatan Alquran. Namun
demikian, ada segelintir orang yang masih menyoal akan
kemukjizatan Alquran. Diantaranya seperti yang diungkap
Mushthafâ Shâdiq al-Râfi‟î (w. 1297 H./1937 M.),10 yaitu Abû Ishâq
al-Nadzam (w. 321 H./933 M).11 Tokoh dari aliran lain yang
„Umar bin Khattâb (w. 23 HLM.), Utsmân bin ‟Affân (w. 35 HLM.), dan „Ali
bin Abî Thâlib (w. 40 HLM.), Ibn „Abbâs (w. 68 HLM.), „Abdullah dan
Zubair, Ubay bin Ka‟b (w. 20 HLM.), Zaid bin Tsâbit, dan Abû Mûsâ al-
Asy‟ârî (w. 44 HLM.). lihat, Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al-
Qur‟an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 27-28. Di samping sepuluh
sahabat yang tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut para penafsiran
yang dilakukan oleh Nabi, yaitu Abû Hurairah (w.58 HLM.), Anas bin
Mâlik, „Abdullah bin „Umar (w. 73 HLM.), Jâbir bin Abdullah, A„isyah (w.
57 HLM.), dan Amr bin Ashlm. Mereka dipandang sebagai generasi
pertama mufasir. Lihat lebih lanjut, Mannâ„ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî
„Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Mansyûrât al-„Ashr al-Hadîts, 1393 HLM.), cet. 3,
hlm. 343
9 Adalah suatu kenyataan sejarah, bahwa pemahaman dan
penafsiran terhadap Alquran memiliki kecenderungan dan corak yang
berbeda-beda antara satu generasi kegenerasi berikutnya, antara satu
kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Perbedaan corak
penafsiran ini tidak bisa dilepaskan dari perbedaan madzhab, setting sosial,
kemampuan intelektual dan juga niat atau tujuan mufasir dalam menulis
kitab tafsirnya tersebut. Satu hal yang perlu diingat bahwa Alquran tidak
akan pernah habis di tafsirkan. Di sisi lain, keragaman penafsiran yang
dihasilkan tiap generasi juga merupakan gambaran konsekunsi logis dari
keyakinan bahwa Alquran, sebagai kitab suci yang diturunkan terahkir,
mampu berdialog dengan setiap generasi yang datang kemudian. Ajaran
dan semangat yang dibawanya bersifat universal, rasional, dan necessary
(suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Lihat, Fazlur Rahman, Islam
and Modernity, (Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982), hlm. 11.
10 Mushthafâ Shâdiq al-Râfi‟î, I‟jâz al-Qur‟ân wa al-Balâghah al-
Nahwiyyah, (Bairût: al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. ke-3, 1990), hlm. 144-145.
11 Abû Ishâq al-Nadzdzâm adalah segelintir dari tokoh Muktazilah
yang berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia untuk membuat
Alquran tidak lain karena Allah Swt. telah memalingkan dan melemahkan
kemampuan manusia untuk melakukan kegiatan tersebut. Mushthafâ
Shâdiq al-Râfi‟î, I‟jāz al-Qur‟ân..., hlm. 144, lebih dari itu menurut al-Bûthi,
al-Nadzam mengatakan Allah tidak saja memprotek kemampuan manusia
untuk menandingi Alquran, akan tetapi malahan membelenggu kefasihan
lidah mereka. Lihat, Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, Min Rawâ‟i al-
Qurân, (Beirut-Libanon/Damsyik: Maktabah al-Farabi, 1397 H/1977 M.),
hlm. 150
5. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 115
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
mengingkari kemukjizatan Alquran ialah al-Murtadhâ (436 H/1297
M)12 dari kalangan Mazhab Syiah yang sependirian dengan al-
Nadzâm.13 Quraish Shihab dalam menanggapi kedua tokoh ini,
mengatakan bahwa pendapat keduanya tidak berlandas pada fakta
sejarah. Ini terbukti dalam beberapa ayat menantang untuk
mendatangkan teks yang serupa dengan Alquran.14 Al-Bâqillânî (w.
403 H.), seorang tokoh mutakallimîn berpendapat bahwa kenabian
Nabi Muhammad Saw. utamanya dibangun atas dasar kemu‟jizatan
Alquran meskipun ditemukan mukjizat-mukjizat lainnya selain
Alquran.15
Jauh setelah mereka, ternyata tidak sedikit ilmuan yang
berusaha mengkaji ulang sejarah Alquran yang ”seolah-olah”
hilang, melalui pendekatan tartîb al-suwar wa al-âyat, dengan
mempertanyakan kembali perihal kodifikasi Alquran. Ilmuan itu
semisal Noldeke, Richard Bell, dsb. Hal ini tentunya membutuhkan
jawaban yang akademik pula, karena mereka menggunakan
pendekatan yang masuk akal.
Konsepsi Munasabah
Louis Ma‟luf dalam Qamûs al-Munjid menguraikan kata
munâsabah bahwa secara harfiyah, kata munâsabah, terambil dari
kata nâsaba-yunâsibu-munâsabatan yang berarti dekat (qarîb), dan
yang menyerupai (mitsâl). Al-munâsabah searti dengan al-muqârabah,
12Al-Murtadhâ berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia
untuk menciptakan teks seperti Alquran adalah karena Allah Swt. telah
mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki dan yang
diperlukan guna lahirnya satu susunan kalimat seperti Alquran,
Mushthafâ Sādiq al-Rāfi‟î, I‟jâ z al-Qur‟ân..., hlm. 124.
13Mannâ‟ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirūt:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. ke-3, 1992), hlm. 261,
14 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek
Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, (Bandung:Mizan, 1998), cet.
ke-4, hlm. 155-156, berkenaan dengan pembahasan isi, Gibb seorang
orientalis berpendapat sebagaimana dikutip Quraish Shihab ”tidak ada
seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah memainkan alat bernada
nyaring yang demikian mampu serta berani dan sedemikian luas getaran jiwa
yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh Muhammad Saw., yakni
Alquran”. Lihat, M. Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera hati, 2006, cet. VII, hlm. v.
15 Abu Bakr Muhammad Al-Bâqillânî, I‟jâz al-Qur‟ân, (Beirūt: Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1996), hlm. 9
6. 116 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
yang mengandung arti mendekatkan dan menyesuaikan. Al-
Suyûthi juga mengurai kata munâsabah berarti perhubungan,
pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan dan kepantasan. Kata
al-munâsabah, ada sinonim (murâdif) dengan kata al-muqârabah dan
al-musyâkalah, yang masing-masing berarti kedekatan dan
persamaan.16
‟Ulum al-Qur‟an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan
secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua
kitab ‟Ulûm al-Qur‟ân yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni
al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, karya Badruddîn al-Zarkâsyi (w.794 H)
dan al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, karya Jalâluddîn al-Suyûthi (w. 911
H). „Ilm al-Munâsabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu
surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari „Ulûm
Al-Qur‟ân. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka
menjadikan keseluruhan ayat Alquran sebagai satu kesatuan yang
utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode Tafsir
Ibn Katsir “al-Qur‟ân yufassirû ba‟dhuhu ba‟dhan”, posisi ayat yang
satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami Alquran
harus utuh. Jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran
yang sepotong-sepotong (atomistik).
Bertitik tolak dari pendapat bahwa Alquran memiliki
kemukjizatan dari setiap dimensinya, dapat dipahami sebagaimana
dipaparkan al-Zarkâsyi bahwa Alquran bukanlah kalam yang
diturunkan17 secara tidak sengaja, kebetulan, dan tanpa sasaran dan
tujuan tertentu. Dengan demikian, setiap penggunaan dan susunan
kata (lafadz), konstruksi ayat dan surat (munâsabah bain al-âyât wa al-
surah) serta peralihan tema yang terdapat di dalamnya memiliki
kekuatan konsep sebagai suatu kalam yang utuh dan padu
(muttasiqât al-mabânî wa muntadzimât al-ma‟ânî ka al-kalimah al-
16 Lihat, Louis Ma‟luf, Qamûs al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‟lam,
(Beirut: Dâr al-Syarqy, 1976), hlm. 803. Lihat pula, Jalâluddîn al-Suyûthî, al-
Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 108
17 Al-Zarqānî dalam komentarnya, bahwa makna “turun” seperti
pada ayat َ Q.S. al-Isrâ/17: 105 tidak dapat disamakan dengan makna
turun dalam arti fisik dan tempat. Penggunaan seperti ini, menurutnya
tidak relevan digunakan untuk Alquran. Menurutnya, makna “turun”
lebih tepat dipahami sebagai kata yang bersifat majâzi dan dipahami
sebagai pemberitahuan Allah yang dihunjamkan ke dada Nabi dengan
berbagai bentuk cara pewahyuan. Lihat, Muhammad „Abdul „Adzîm al-
Zarqânî, Manâhil al-„Irfân fi „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, cet. ke-1,
1988), hlm. 42-43
7. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 117
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
wâhidah).18 Dan keseluruhan Alquran sangat memenuhi persyaratan
itu, yang terdiri dari 30 juz, 114 surat, hampir 88.000 kata dan lebih
dari 300.000 huruf, seperti yang ditegaskan al-Qurthûbi (w. 641)
laksana satu surat yang tidak dapat dipisah-pisah.19 Dengan
demikian, satu kesatuan Alquran itu terjadi sama sekali bukan
karena dipaksakan, melainkan bisa dibuktikan melalui hubungan
antar bagian demi bagian.
Historisitas Munâsabah
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (Munâsabah), berawal
dari kenyataan bahwa sistematika Alquran sebagaimana terdapat
dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada
kronologis turunnya.20 Itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat
18 Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi „Ulûm al-
Qur‟ûn, Jilid I, (Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-„Arabiyyah, cet. ke-1, 1957),
hlm. 36
19 Muhammad bin Ahmad bin Farabi al-Qurthûbi, al-Jami‟ lî al-
Ahkâm al-Qurân, j. 2, (t.thlm.), hlm. 129.
20 Perdebatan sejarah kodifikasi penulisan dan sistematika Alquran
pada Mushhaf „Utsmâni dibahas tuntas oleh W. Monthgomery Watt, dalam
satu buku yang bertajuk Bell‟s Introduction to The Qur‟ân dalam satu bab
khusus “The History of The Text”. Dalam bab ini Watt, membagi menjadi
empat bahasan. Pertama, the collection of the Quran (pengumpulan
Alquran), kedua, The pre-„Uthmânic codices (naskah pra Utsman), ketiga, The
wraiting of the Quran and early textual studies (penulisan Alquran dan kajian
teks awal), dan keempat, the authenticity and completeness of the Quran
(keotentikan dan kesempurnaan Alquran). Dalam mengurai benang kusut
perdebatan Mushhaf „Utsmâni, Bell, misalnya menulis: “This traditional
account of the quran under „Uthman is also open criticisms, tough they are not so
serious as in the case of Abu bakar‟s collection. The most serious difficulties are
those connected with the suhuf of Hafsa. Some versions of the story suggest that
the work of the commissionars was simply to make a fair copy, in the dialect of
Quraiysh, of the material of these leaves. Some important material, however, has
come to light since the publication of Friedrich Schwally‟s revised edition of the
second volume of Noldeke‟s Geshichte des Qurâns in 1919. In particular there is a
story of how the coliph Marwan when governor of Medina wanted to get hold of
the „leaves‟ of Hafsa to destroy them, and eventually on her death persuaded her
brother to hand them over. Marwan was afraid lest the unusual readings in the
might lead to further dissention in the community”. (“Kisah turun-temurun
tentang „kumpulan‟ Alquran di bawah Utsman juga rawan kecaman,
meskipun tidak begitu serius seperti dalam kasus „kumpulan‟ Abu Bakar.
Kesulitan yang paling serius adalah berkaitan dengan suhuf yang dimiliki
Hafsahlm. Beberapa versi cerita mengisyaratkan bahwa tugas yang
8. 118 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
di kalangan ulama Salaf tentang urutan surat di dalam Alquran.
Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tauqîfi dari
Nabi.21 Golongan kedua berpendapat bahwa, hal itu didasarkan atas
ijtihâdi. 22 Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan
diberikan kepada orang-orang hanyalah untuk membuat salinan yang baik
dalam dialek Quraisy dari bahan yang ditulis di atas dedaunan ini.
Namun, pada tahun 1919 terbit jilid kedua karya Noldeke “Geshichte des
Qurâns”, edisi yang direvisi oleh Friedrich Schwally, dan sejak itu bahan-
bahan yang penting ditemukan kembali. Terutama ada kisah bagaimana
Khalifah Marwan yang menjadi Gubernur Madinah ingin memusnahkan
„dedaunan‟ yang dimiliki Hafsah, dan akhirnya, tatkala Hafsah meninggal,
membujuk kakaknya untuk menyerahkannya. Marwan khawatir adanya
bacaan yang tidak lazim di dalamnya itu bisa menimbulkan pertikaian
lebih lanjut dalam masyarakat. Lihat, W. Monthomery Watt, Bell‟s
Introduction to The Qur‟ân, (Leiden: Edinburgh University Press, 1994), hlm.
43. Kajian mendalam juga dilakukan oleh MM. Al-A‟Dzami dalam The
History of Qur‟ânic Text From Revelation to Compilation A Comparative Study
with the old and new Testament, dan Indonesiakan menjadi Sejarah Teks al-
Qur‟ân dari Wahyu sampai Kompilasi kajian Perbandingan dengan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi
Suharto, Lili Mulyadi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Taufik Adnan
Amal menulis Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka Alvabet,
2005.
21 Abû Zaid memandang urutan surat dianggap tauqîfi karena
pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang
sudah ada di lauh al-mahfûdz, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari
I‟jaz. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap
Ulumul Qur‟an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 215
22 Discours dalam memperdebatkan tentang urutan surat dikupas
tuntas juga oleh al-Zarqâni. Menurut Zarqâni bahwa tertib susunan ayat
dan surat adalah Ijtihâdi. Pendapat ini di dasarkan pada beberapa alasan.
Pertama, mushaf pada catatan Alquran tidaklah sama. Kedua, sahabat
pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib surat
yang terdapat dalam Alquran. Dan ketiga, adanya perbedaan pendapat
mengenai tertib surat ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas
atas tertib yang dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa tertib
surah sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat
pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib mushâf
yang sekarang dan adanya tentang catatan mushâf sahabat yang berbeda
bukanlah mutawâtir. Tertib mushâf sekarang berdasarakan riwayat
mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang
memiliki catatan mushaf itu hadir bersama Nabi tiap saat turun ayat
Alquran. Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf Alquran
9. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 119
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqîfi. Golongan ketiga
berpendapat, serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al-
Anfâl dan Barâ‟ah yang dipandang bersifat ijtihâdi. Pendapat
pertama didukung antara lain oleh al-Qadhi Abu Bakar, Abu Bakar
Ibnu al-Anbari, al-Kirmani dan Ibnu al-Hisar. Pendapat kedua
didukung oleh Malik, al-Qadhi Abu Bakar dan Ibnu al-Faris.
Pendapat ketiga dianut oleh al-Baihâqi. Salah satu penyebab
perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang
urutan suratnya berfariasi.
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini,
wajarlah jika masalah teori korelasi Alquran kurang mendapat
perhatian dari para ulama yang menekuni ‟Ulûm al-Qur‟ân. Ulama
yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut al-
Zarkâsyi, adalah Syaikh Abu Bakr Abdullah Ibn al-Naisabûri (w.
324 H.),23 kemudian diikuti ulama ahli tafsir seperti Abu Ja‟far bin
Zubair dalam kitab Tartîb al-Suwar al-Qur‟ân, Syaikh Burhanuddin
al-Biqâ‟i dengan bukunya Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al-
Suwar, dan Al-Suyûthi dalam kitab Asrâr al-Tartîb al-Qur‟ân. Quraish
Shihab belakangan menambahkan Muhammad „Abduh, Rasyid
Ridha, Muhammad Syalthut dan sebagainya membahas persolan ini
dalam tafsirnya.24
Mengungkap Diskursus Munâsabah al-Qur’ân
Perdebatan akademik yang mengemuka adalah para ulama
berbeda pendapat dalam menentukan keberadaan tartîb al-mushhaf.
Apakah dasar penyusunannya atas ijtihad para sahabat (ijtihâdî),
kalau demikian adanya munâsabah itu penting atau berdasarkan
penyusunannya berdasarkan perintah, pengajaran, rumus, isyarat
dan petunjuk Nabi Saw (tauqîfî). Kalau tauqîfi, maka tidak perlu
adanya munasabah karena peristiwa yang terjadi saling berlainan,
Alquran juga diturunkan dan diberi hikmah secara tauqîfî dengan
sahabat sangat besar. Lihat, Muhammad „Abd al-„Adzîm al-Zarqâni,
Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 348.
23 Hal ini terindikasikan apabila Alquran di bacakan kepada al-
Naisaburi, maka ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping
sebelahnya. Bahkan ia mencela para ulama Baghdad karena mereka tidak
memperhatikan „ilm al-munâsabahlm. Lihat, Al-Zarkâsyi, al-Burhân fî „Ulûm
al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1957). HLM. 38
24 M. Quraish Shihab, Ibrahim bin Umar al-Biqâ‟i: Ahli Tafsir yang
Kontroversial, Jurnal Ulûmul Qur‟an, LSAF, Vol. 1, 1989, hlm. 5.
10. 120 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
kata lain Alquran turun atas petunjuk dan kehendak Allah.
Kemudian dalam penelitian selanjutnya lebih dipertajam melalui
kerangka penting tidaknya munâsabah dalam ranah metodologi
penafsiran.
Pendapat pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa
surat-surat Alquran disusun berdasarkan tauqîfî. Sudah merupakan
kepastian dari Rasulullah membaca berbagai surat menurut
susunan ayatnya masing-masing di dalam shalat, atau pada
khutbah jumat, disaksikan para sahabatnya. Kenyataan itupun
merupakan bukti terang yang menyatakan bahwa susunan dan
urutan ayat-ayatnya memang sesuai dengan kehendak dan
petunjuk dari Nabi sendiri. Maka, dalam mendukung pendapat
pertama, ha ini tidak mungkin apabila sahabat nabi menyusun
urutan ayat-ayat yang berbeda dengan bacaan Rasulullah Saw. Hal
itu merupakan kepastian yang tidak dapat diragukan kebenarannya
(mutawâtir).25
Susunan dan urutan suratpun berdasarkan kehendak dan
petunjuk Rasulullah Saw. Sebagaimana diketahui, Rasulullah hafal
semua ayat dan surat Alquran. Bisa jadi, kita tidak mempunyai
bukti yang menyatakan sebaliknya. Atau dalam bahasa lain,
tidaklah masuk akal yang menyatakan, urutan surat Alquran di
susun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad mereka
sendiri. Dan lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang
menyatakan bahwa beberapa surat disusun urutannya berdasarkan
ijtihad para sahabat dan beberapa surat lainnya disusun urutannya
menurut kehendak dan petunjuk rasulullah saw. Pelopor pendapat
ini adalah Abû Ja`far ibn Nuhâs (w. 338 H.), al-Kirmânî, Ibn al-
Hashar (w. 611 H), Abû Bakr al-Anbārî (271-328 H) dan al-Bagawî
(w. 286 H). Abū Ja`far ibn Nuhâs Seperti yang dikutip al-Zarkasyî,26
berpendapat bahwa penyusunan surat yang ada pada mushaf
berasal dari Nabi Saw berdasarkan hadis sebagai berikut:
25 Jalâluddîn al-Suyûthi, Al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (kairo:
Mushthafâ al-Bâb al-Halabi, 1951), hlm. 105, bandingkan pula dengan,
Subhi Shâlih, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Bairut-Libanon, Dâr al-„Ilm lî al-
Malâyîn, 1988), cet. 7, hlm. 71
26 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qurân, hal. 259
11. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 121
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
حدثناانرعمالقطانعنقتادةعنأىباملليحاهلذيلعناثلةوبناألسقعأنالنيبصلىاهللعليووسلمقال
أعطيتمكاناةرالتوالسبعالوالطأعطيتومكانبورزالاملئٌنأعطيتومكاناإلجنيلاملثاىنوفضلتباملفصل
(اهورأمحد)27
Artinya: Nabi Muhammad Saw bersabda: “Saya diberikan tempat
Taurat dalam al-Sab‟a al-Thuwâl, tempat Injil dalam surat al-
Miûn, tempat Zabûr dalam surat al-Matsânî dan diberikan
keutamaan dalam surat al-Mufashshal. (H.R. Ahmad).
Hadis tersebut menurut Abû Ja`far ibn Nuhas menunjukkan
bahwa penyusunan Alquran berasal dari Nabi Saw dan kegiatan ini
berlangsung ketika Nabi masih hidup, dan sementara pengumpulan
Alquran dalam satu mushaf adalah berdasarkan petunjuk yang
sama. Al-Kirmânî, seperti yang dikutip al-Zarkasyî,28 berpendapat
bahwa susunan surat seperti dalam mushaf berasal dari Allah yang
tertulis di lauh al-mahfûzd. Setiap tahunnya Jibril memeriksa seluruh
ayat yang telah diturunkan, dan pada tahun wafatnya Rasulullah,
Jibril memeriksa ayat-ayat dan susunan suratnya dua kali. Abû Bakr
al-Anbârî, seperti yang dikutip al-Zarkasyî,29 berpendapat bahwa
Jibril memberi petunjuk pada Nabi Muhammad tentang tempat ayat
dan surat. Penyusunan surat sama halnya dengan penyusunan ayat
dan huruf yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. Maka,
menurutnya, siapa yang mengakhirkan atau mendahulukan
susunannya maka ia telah merusak nazdm al-Qur‟ân.
Dari pendapat di atas, bahwa Rasulullah mempunyai
peranan dominan dalam penentuan dan penyusunan ayat dan
surat. Bukti lain misalnya, semasa hidup Rasulullah banyak surat
telah diketahui susunan dan urutannya, seperti tujuh surat yang
panjang-panjang (al-sab‟ al-Thiwâl), surat-surat yang berawalan hâ
mîm (al-hawâmîm), dan surat-surat mufashshal, sehingga susunan
berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah jauh lebih besar,
dan yang berdasarkan ijtihad amat sedidkit.
Ibn al-Hashar, seperti yang dikutip oleh al-Zarkâsyî,30
berpendapat bahwa penyusunan surat dan penempatan ayat
27 Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, (Beirūt: Al-
Maktab al-Islāmî, t.thlm.), Juz IV, hlm. 107
28 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 259
29 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 259
30 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 259
12. 122 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
berdasarkan wahyu, Rasulullah Saw memerintahkan untuk
menempatkan ayat pada tempat yang telah ditentukannya dan ini
menimbulkan keyakinan bahwa penyusunannya berdasarkan
penukilan mutawatir dari bacaan Rasulullah Saw. dan ijma‟ para
Sahabat mengenai penyusunannya di dalam mushaf.
Al-Bagawî dalam Syarh al-Sunnah berpendapat bahwa para
Sahabat menulis ayat-ayat Alquran seperti yang mereka dengar dari
Rasulullah Saw. tanpa mendahulukan atau mengakhirkan atau
mereka tidak menyusun yang bukan berdasarkan petunjuk
Rasulullah Saw., dan susunan tersebut tidak ada yang ditambah
atau dikurangi. Rasulullah Saw. mengajarkan susunan surat seperti
yang terdapat pada mushaf sekarang ini. Tugas para Sahabat hanya
mengumpulkan dalam satu tempat, bukan menetapkan susunan
suratnya. Karena Alquran ditulis di lauh al-mahfûdz dan susunannya
sama seperti dalam mushaf dan diturunkan sekaligus ke langit
dunia dan kemudian diturunkan secara berangsur sesuai dengan
kebutuhan.31
Dalam analisa al-Zarkâsyi, perbedaan itu bersumber dari
lafadz. Satu pihak bilang bahwa urutan Alquran itu disusun
berdasar kehendak dan petunjuk Rasulullah, sedang pihak lain
berpendapat bahwa urutan surat disusun berdasar pada ijtihad para
sahabat sendiri. Sebagaimana al-Zarkâsyi mengutip pendapat Imam
Mâlik sebagai berikut: “Mereka menyusun urutan Alquran menurut
apa yang mereka dengar sendiri dari Rasulullah Saw, tetapi Imam
Mâlik juga mengatakan: bahwa urutan surat-surat Alquran disusun
atas dasar ijtihad mereka sendiri. Jadi masalah perbedaan itu,
kembali kepada apakah kehendak dan petunjuk Rasululah
mengenai urutan surat itu berupa ucapan atau hanya praktek
semata-mata.32
Namun demikian, nampaknya telah jelas bahwa urutan
surat itu berdasarkan bimbingan dari Rasulullah Saw. (tauqîfî).
Sebab, ijtihad para sahabat itu hanya dilakukan bagi penyusun
mushaf milik pribadi. Memang mereka lakukan dengan kemauan
sendiri, tetapi mereka tidak pernah berusaha mengharuskan orang
lain mengikuti jejaknya atau mengharamkan perbuatan orang lain
yang tidak sesuai dengan perbuatan mereka. Begitu juga, tidak
dicatatkan ayat-ayat untuk orang lain, tetapi semata untuk mereka
31 Al-Bagawî, Syarh al-Sunnah al-Shahâbah, (Beirūt: Dār al-Kutub al-
`Ilmiyyah, 1993), Juz. III, cet. Ke-1, hal. 50
32 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hal. 257
13. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 123
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
pribadi. Karena itu, ketika umat Islam sepakat bulat menerima
susunan Alquran yang dilakukan oleh khalifah „Utsman bin „Affân,
secara serentak mereka tinggalkan catatan mushaf masing-masing.
Di sini mulai ada titik terang, yakni kalau mereka yakin bahwa
penyusunannya berdasarkan pada ijtihad mereka, terserah
kemauan mereka sendiri, tentulah mereka akan tetap berpegang
pada susunan menurut catatan mereke masing-masing, dan mereka
tidak akan mau menerima urutan yang disusun oleh „Utsman bin
„Affân.
Pendapat kedua yang menyatakan susunan dan tartib surat
didasarkan atas ijtihâdi.33 Ada beberapa persepsi yang berdasarkan
hal bahasan ini. Pertama, mushaf pada catatan Alquran tidaklah
sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran
berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam Alquran. Dan
ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai tertib surat ini
menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang
dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa tertib surah sebagai
ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat
pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib
mushâf yang sekarang dan adanya tentang catatan mushâf sahabat
yang berbeda bukanlah mutawâtir. Tartib mushâf sekarang
berdasarakan riwayat mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan
bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf itu hadir
bersama Nabi tiap saat turun ayat Alquran. Karena itu,
kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf Alquran sahabat sangat
besar. Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan
bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqîfi. Ulama yang mendukung
pendapat kedua ini antara lain Imâm Mâlik, Abu bakr al-Thib al-
baqillânî, al-Zarkâsyi dan al-Suyûthi.
Al-Zarkâsyi34 mengutip pendapat Imam Mâlik mengatakan
bahwa para sahabat menyusun Alquran itu berdasarkan apa yang
mereka dengar dan lihatdari Nabi, sedang susunan dalam
penyusunan surat Alquran, mereka lebih mengedeankan atas ijtihad
mereka sendiri. Rajab Farjani sebagaimana dikutip dalam buku
Sejarah dan Ulûm al-Qur‟ân dikatakan bahwa tidak pernah
33 Perdebatkan tentang urutan surat dikupas tuntas juga oleh al-
Zarqâni. Menurut Zarqâni bahwa tertib susunan ayat dan surat adalah
Ijtihâdi. Lihat, Muhammad „Abd al-„Adzîm al-Zarqâni, Manâhil al-„Irfân fî
„Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 348.
34 Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur‟ân, hal., 259
14. 124 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
ditemukan riwayat nabi mengenai ketentuan pola penulisan
wahyu.35 Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani:
35 Beberapa hadis yang mendukung pendapat ini adalah:
- Larangan menulis sesuatu yang datang dari Nabi
Abû Sa‟îd al-Hudzri meriwayatkan dari Rasûlullâh Saw.. Beliau bersabda,
الاوتكتبعىنومنكتبعىنغًنانرالقفليمحو
“Janganlah kalian menulis (Hadis) dariku. Dan barangsiapa menulis dariku
selain Alquran, maka hendaknya ia menghapusnya” Nawawi, Shahîh Muslim bi
Syarh Nawawi, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994), J. XIII, hlm. 129
Diriwayatkan dari Abû Hurayrah, ia berkata, “Rasûlullâh Saw.
mendatangi kami dan kami sedang menulis Hadis. Kemudian beliau
bertanya, “Apa yang sedang kalian tulis?”. Kami menjawab, “Kami sedang
menulis Hadis yang kami dengar dari engkau, ya Rasûlallâh!.” Lantas
beliau bersabda,
كتابغًنكتاباهللاتدرون؟ماضلاالممقبلكماالمبااواكتتبمنالكتبمعكتاباهلل
“Tulisan selain Kitab Allah?, tahukah kalian, bangsa-bangsa sebelum kalian
tidak sesat kecuali karena mereka menulis tulisan lain bersama Kitab Allahlm.”,
Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994), J. XIII,
hlm. 129
- Perintah yang membolehkan menulis sesuatu yang datang dari
Nabi
Abdullâh bin Amr bin al-Ash Ra. berkata, “Saya menulis segala yang
saya dengar dari Rasûlullâh Saw. Saya hendak menghapalnya, namun
orang-orang Quraysy melarangku. Mereka berkata, “Engkau menulis
segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah Saw., sedangkan beliau
manusia biasa yang kadangkala berbicara dalam keadaan marah dan
senang”. Saya pun berhenti menulis. Kemudian saya teringat beliau ketika
menunjukkan jari ke mulutnya seraya bersabda,
اكتبالذيوفنفسىبيدهماجخرمنواالحق
“Tulislah, maka demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar
darinya (mulut) kecuali kebenaran.”
Diriwayatkan dari Abû Hurayrah bahwa seorang sahabat Anshâr
menyaksikan Hadis Rasûlullâh Saw., namun ia tidak hafal. Ia bertanya
kepada Abû Hurayrah, dan ia pun memberitahukan kepadanya.
Kemudian ia mengadukannya kepada Rasûlullâh Saw. perihal lemahnya
daya hafalnya. Kemudian Nabi Saw. bersabda,
استعنعلىحفظكبيمينك
“Bantulah hapalanmu dengan tangan kananmu! (menulis)”. Muhammad
Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram
Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148
Diriwayatkan dari Anas bin Mâlik bahwa ia berkata, “Rasûlullâh Saw.
bersabda,
15. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 125
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
“Sesungguhnya Rasulullah Saw., memerintahkan menulis Alquran,
akan tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan
tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena
itu, ada perbedaan model-model penulisan Alquran dalam mushaf-
mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal Alquran sesuai
dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau menguranginya,
karena mereka tahu bahwa itu merupakan hanya cara. Karena itu
dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu
atau ke dalam pola-pola baru.36
Fauzul Iman37 mengutip „Izzuddîn (w. 660) berpendapat
bahwa tidak semua susunan surat dan ayat dalam Alquran
mengandung munasabah. Kalaupun ada kesesuaian antara ayat dan
surat, dengan criteria adanya hubungan antara kalimat dalam
kesatuan pada bagian awal dan bagian akhir. Sekianya tidak
memenuhi criteria itu, maka dianggap sebagai pemaksaan (takalluf)
dan hal itu tidak disebut dengan munasabah.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan
Alquran versi Mushaf Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada
yang mengatakan wajib, dengan alas an bahwa pola tersebut sesuai
petunjuk dari Nabi (tauqîfî). Pola itu, terus dipertahankan walupun
menyalahi pola aturan rasm Utsmani yang telah baku. Bahkan
Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Hakim sebagaimana dikutip
Farjani mengharamkan menulis Alquran menyalahi dari Rasm
اوقيدالعلمبالكتاب
“Ikatlah ilmu dengan tulisan!”. Muhammad Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah
Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), cet. I, hlm. 148
Diriwayatkan dari Ibnu „Abbâs bahwa ia berkata, “Ketika Nabi Saw.
sakit keras, beliau bersabda,
ايتوىنبكتاباكتبلكمكتاباالتضلبعده
“Bawakan aku buku, aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga
kalian tidak akan sesat sesudahnya.”. Muhammad Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah
Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), cet. I, hlm. 148
36 Lihat, M. Quraish Shihab, Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, (Jakarta:
Pustaka Fidaus dan Bayt al-Qur‟an & Museum Istiqlal TMII, 2001, cet. 3,
hal. 95, lihat pula, Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata‟addab Ma‟a al-
Mushhaf, (t.tp., Dâr al-I‟tishâm, 1978, hlm. 166
37 Fauzul Iman, Munasabah Al-Qur‟an, Jurnal Panji Masyarakat, no.
843, edisi Novemver 2005, hal.73
16. 126 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
„Utsmani. Bagaimapun, dalam rentang sejrah yang cukup panjang,
rasm „Utsmani sudah merupakan kesepkatan mayorits ulama.38
Bagi ulama yang tidak mengakui rasm „Utsmani sebagai
rasm tauqîfi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Alquran
ditulis menggunkan pola penulisan setandar (rasm amlâ‟î). Demikian
al-Sa‟id mengatakan.39 Pada sisi ini, terlihat pandangan moderat.
Sehingga, bisa diambil pemahaman bahwa soal penulisan
diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih merasa mudah
dengan penulisan setandar (rasm amlâ‟î), maka ia dapat menulisnya
dengan pola tersebut, karena penulisan itu hanya symbol
pembacaan, dan tidak memengaruhi makna Alquran.
Bahkan, ada pendapat yang ketiga yang mengatakan, serupa
dengan golongan pertama, kecuali surat al-Anfâl dan Barâ‟ah yang
dipandang bersifat ijtihâdi. Dan salah satu penyebab perbedaan
pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang urutan
suratnya berfariasi. Pendukung pendapat ketiga ini di antaranya: al-
Qâdhî al-Qâdî Abû Muhammad ibn `Athiyyah, al-Baihaqî dan Ibn
Hajar al-`Asqalānî (773-852H).40 Pendapat Al-Baihaqî terlihat dalam
karyanya al-Madkhal, ia berpendapat bahwa Alquran pada masa
Nabi telah tersusun surat-surat dan ayat-ayatnya seperti susunan
yang ada pada mushhaf kecuali surat al-Anfâl dan Barâ‟ah.41
Dalam rangka menguatkan pendapat ketiga ini, nampaknya
perlu penulis kemukakan bagaimana perjalanan sejarah
pemeliharaan Alquran. Paling tidak ada lima tahapan.42 Pertama,
tahap pencatatan di masa Nabi,43 kedua, tahap penghimpunan di
38 Lihat, M. Quraish Shihab, Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, (Jakarta:
Pustaka Fidaus dan Bayt al-Qur‟an & Museum Istiqlal TMII, 2001, cet. 3,
hal. 95, lihat pula, Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata‟addab Ma‟a al-
Mushhaf, (t.tp., Dâr al-I‟tishâm, 1978, hlm. 166
39 Labib al-Sa‟id, al-jam‟ al-Shautî lî al-Qur‟ân al-Karîm, (Mesir: Dâr
al-Kâtib al-„Arâby, t.th), hlm. 373
40 Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhal li Dirâsâh
al-Qur‟ân al-Karîm, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992), hlm. 293-296
41 Al-Baihaqî, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ , (Kuwait: Dâr al-
Khulafâ‟ lî al-Kitâb al-Islâmî, 1404), hal. 237
42 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), cet. 1, hlm. 49-65
43 Sejarah telah mencatat bahwa pemeluk agama Islam pada waktu
awal masih banyak yang buta aksara, kendati ada yang bisa baca tulis.
Bahkan Nabi sendiri dikenal dengan seorang yang ummy seperti termaktub
dalam Q.S. al-Jumu‟ah/62: 2. Secara luas M.M. A‟dzami mengulas satu bab
17. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 127
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
masa Abu Bakar,44 ketiga tahap penggandaan di masa Utsman bin
„Affan,45 keempat tahap pencetakan,46 dan kelima, tahap pengajaran di
berbagai dunia Islam.
khusus yang diberi judul tulisan dan ejaan bahasa Arab dalam Alquran,
satu bab diantaranya mengupas gaya tulisan pada zaman Nabi
Muhammad Saw. Lihat lebih lanjut, M.M. Al-A‟dzami, The history of The
Qur‟anicText From Revelation to Compilation A Comparative Study The Old and
New Testaments, (Sejarah Teks Al-Qur‟ân dari Wahyu Sampai Kompilasi: kajia
Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian baru, terj. Sohirin Solihin
et. All, (Jakrta: Gema Insani Press, 2005), cet. 2, hlm. 143-164.
44 Penghimpunan Alquran dalam bentuk mushaf baru dilakukan
pada masa Abu Bakar (11-13 HLM./632-634 M.), tepatnya setelah terjadi
peperangan yamamah tahun 12 HLM./633 M. Dalam sejarah, perang
Yamamah ini, terbunuh sekitar 70 orang syuhada yang hafal Alquran.
Bahkan ,sebelum perang yamamah terjadi pula wafatnya 70 qurra‟ pada
peperangan di sekitar sumur Ma‟unah, yang terletak dekat kota
Madinahlm. Atas kejadian ini, Umar yang dikenal dengan ketajaman
analisisnya mengunsulkan untuk menghimpun Alquran. Dan saat Abu
Bakarlah terbentuk panitia penghimpunan Alquran yang diketua oleh Zaid
bin Tsabit dan beranggotakan Utsman, Ali bin Abi Thalib dan „Ubay bin
Ka‟b.
45 Dalam rentang sejarah, ketika tampuk kekuasaan khalifah di
tangan Utsman bin „Affan, singkatnya, ketika Utsman mengerahkan
tentaranya kea rah Syam dan Irak untuk memerangi penduduk Armenia
dan Azerbaijan, tiba-tiba Hudzaifah ibn Yaman memberitahu bahwa di
beberapa wilayah terjadi perselisihan mengenai tilâwah (bacaan) Alquran.
Dan Hudzaifah mengusulkan untuk meredam perselisihan itu dengan cara
menyalin dan memperbanyak Alquran yang terhimpun pada masa Abu
Bakar. Kemudian Utsman meminta suhuf yang ada di tangan Hafsah
untuk di salin dan di perbanyak. Dan dalam rangka itulah, Utsman
membentuk kepanitiaan untuk penyalinan Alquran yang di ketuai Zaid
bin Tsabit dan berangotakan Abdullah bin Zubair, Sa‟id ibn al-Ash, dan
Abd al-Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam. Dalam pengarahanya Utsman
mengatakan bahwa apabila terdapat perbedaan pendapat antara Zaid yang
bukan orang Quraish dengan tiga orang pembantunya yang semuanya
berasal dari suku Quraisy mengenai tilawah, maka hendaklah Alquran itu
ditulis menurut qiraat Quraisy, mengingat bahasa awal Alquran adalah
bahasa Arab Quraisy.
46 Muhammad Amin Suma mencatat bahwa Alquran pertama kali
di cetak di kota Hanburg, Jerman pada abad ke-17 M. lihat, Muhammad
Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet.
1, hlm. 63.
18. 128 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Berkaitan dengan pendapat ketiga yang menegaskan bahwa
susunan Alquran itu bersifat tauqîfî dengan pengecualian surat al-
Anfâl dan Barâ‟ah, dalam analisa penulis dengan membaca realitas
dalam sejarah ternyata pada masa Abu bakar ketika sudah terbentu
panitia penghimpunan Alquran, ternyata terungkap bahwa Zaid bin
Tsabit dan kawan-kawan panitia lainnya tidak memiliki catatan dua
ayat terakhir dari surat al-taubah. keterangan ini bisa ditelaah dari
hadis yang menyangkut penghimpunan Alquran pada masa
Khalifah Abu Bakar al-Shidiq yang di riwayat al-Bukhari di bawah
ini:
عنعبيدبنالسابقأنيدزبنثابترضياهللقالأرسلايلأبوبكرمقتلأىلاليمامةفاذاعمربناخلطابعندهقال
أبوبكررضياهللانعمرأتاينفقال:أنالقتلقداستحريومالقيامةاءربقانرالقاينوأخشىأنيستحرالقتلاءربالق
اطنوباملفيذىبكثًنمنانرالقاينوأرىأنتؤمرجبمع،انرالققلتلعمركيفتفعلشيئامليفعلورسولاهللصلىاهلل
عليووسلم؟قالعمرىذااهللو،خًنفلميزلعمراجعينريحىتحشراهللصدريلذالكأيترويفذالكالذيأىر
،عمرقاليدزقالأبوبكر:انكرجلشابعاقلالنتهمكوقدكنتتكتبالوحيلرسولاهللصلىاهللعليووسلم
فتتبعانرالقفامجعوفواهلللوكلفويننقلجبلمناجلبالماكانأثقلعلىمماأمرينبومنمجعانرالققلتكيف
تفعلونشيأمليفعلورسولاهللصلىاهللعليووسلم؟قالىواهللوخًنفلميزلأبوبكراجعينريحىتحشراهللصدري
للذيحشرلوصدرأيببكروعمررضياهلل،عنهمافتتبعتانرالقامجعومنالعسبللخاقووصدورالرجالحىت
وجدتآخرسورةالتوبةمعأيبميةزحاألنصارىملأجدىامعأخذغًنه:لقدجاءكمرسولمنأنفسكميززععليوما
عنتمحىتخامتة،اءةربفكانتالصحفعندأيببكرحىتتوفاه،اهللمثعندعمر،حياتومثعندحفصةبنتعمررضي
اهللعنو(اهورالبخاري.)
Artinya: Dari Ubaid bin al-Sabbaq RA, sesungguhnya Zaid bin
Tsabit RA, berkata: telah dating Abu Bakar kepadaku, di medang
ahli yamamah. Ketika itu Umar berada di sampingnya. Kemudian
Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Umar mendatangiku,
kemudian ia berkata: “sesungguhnya peperangan pada hari
yamamah ini benar-benar amat (dahsyat) dengan (gugurnya)
para qurra pembaca) Alquran, dan sesungguhnya aku khawatir
akan (terjadi lagi) peperangan dahsyat dengan (gugurnya) para
qurra‟ di beberapa medan perang (lainnya), sehingga banyak
ayat-ayat yang hilang (karenya). Dan sesungguhnya aku
berpandangan untuk mengusulkan kepadamu supaya
mengumpulkan Alquran”. Abu Bakar bertanya kepada Umar:
mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah
diperintahkan oleh Rasulullah Saw,? Umar menjawab: “Demi
Allah! Ini adalah perbuatan baik”. Maka tidak henti-hentinya
Umar menjumpai (mendesak) aku sampai Allah melapangkan
19. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 129
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
hati aku untuk (menerima) yang demikian itu. Dan aku
berpendapat yang demikian itu sebagaimana pendapat Umar.”
Zaid berkata: Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya kamu (Zaid)
adalah seorang pemuda yang cerdas, kami tidak menuduhmu
berprasangka buruk kepadamu, dan sesungguhnya kamu adalah
penulis wahyu Alquran untuk Rasulullah Saw., maka pelajarilah
Alquran, kemudia kumpulkan. Kemudian Zaid berkata: demi
Allah seandainya mereka membebani aku untuk emindahkan
gunung dari beberapa gunung, tidaklah lebih berat bagiku
daripada yang diperintahkan Abu Bakar kepadaku untuk
mengumpulkan Alquran”. Aku menanyakan kepada Abu Bakar:
“mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan
Rasulullah Saw.,?” Abu Bakar menjawab: “demi Allah itu adalah
perbuatan baik. Maka Abu Bakar tidak henti-hentinya
berulangkali mendesak aku sampai Allah melapangkan hatiku
sebagaimana Allah melapangkan hati Abu Bakar RA dan Umar
RA, maka aku mempelajari Alquran dan mengumpulkan dari
pelepah kurmadan batu-batu serta hafalan para sahabat, sampai
aku mendapatkan catatan akhir surat al-Taubah pada Abi
Huzaimah al-Anshâri, aku tidak menemukannya pada
seorangpun selain dia, yaitu ayat:
( ....اءةرب/التوبة(9:)128-
129)
Maka adalah suhuf itu di simpan oleh Abu bakar sampai dia
wafat, dan kemudian pada Umar ibn al-Khattâb selama masa
hayatnya, dan kemudian di simpan oleh Hafsah binti Umar RA.
(H.R. al-Bukhari).
Berdasarkan riwayat hadis di atas, tercatat dalam sejarah
bahwa yang pertama kali mempunyai gagasan brilian untuk
mengumpulkan Alquran adalah Umar bin Khattab, walaupun pada
awalnya gagasan ini langsung ditolak oleh Abu Bakar. Dan tercatat
pula bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan dan menulis
Alquran adalah Zaid bin Tsabit atas komando dari Abu Bakar.
Kemudian, realitas atas hilangnya dua ayat terakhir pada
surah Bara‟ah ternyata mengundang banyak persepsi baik dari
kalangan ilmuan Timur maupun barat. Misalnya, celah kekurangan
dan kekeliruan ini dijadikan sasaran kritik orientalis untuk
20. 130 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
mengaburkan otentisitas47 Alquran. Kendali sudah langsung di
jawab oleh riwayat di atas, yakni setelah telah diupayakan
penulisan dua ayat yang hilang, ternyata Hudzaifah memiliki dua
catatan tersebut.
Pandangan Ilmuan tentang Munâsabah
Diskursus penting tafsir Alquran muslim modern48 dalam
konteks relevansi untuk kajian munâsabah dalam Alquran di dunia
47 Diantara upaya otentisitas pasca wafatnya Rasulullah dilakukan
dengan merujuk kepada para sahabat, para tabi‟in dan para ahli bidang ini.
Sungguh telah menjadi inayah Ilahi untuk sunnah Nabi-Nya, bahwa
Tuhan telah memanjangkan umur sejumlah tokoh sahabat dan para hli
agama mereke untuk menjaadi marji‟ (tempat kembali, acuan) yang dengan
mereka orang banyak mendapatkan pedoman. Setelah dusta berkecamuk
masyarakat bersandar pada sahabat itu untuk ditanyai, mula-mula tentang
apa yang mereka tahu sendiri, kemudian mereka diminta fatwa tentang
hadis-hadis dan cerita masa lalu yang mereka pernah dengar di masa lalu.
Imam Muslim dalam muqaddimah kitab sahihnya sebagaimana dikutip oleh
Musthafa al-Shiba‟I berasal dari Ibn Abi Malikah yang menceritakan “kami
pernah menyurat kepaada Ibn Abbas agar ia menuliskan sesuatu untukku
sesuatu, namun ia menghindar dariku, katanya, „seorang muda pemberi
nasihat! Sungguh telah kupilihkan baginya beberapa perkara, dan aku
menghindar dari padanya.” Lalu kata Ibn al-Malikah selanjutnya, “maka
iapun mengajak meneliti keputusan hokum (qadhâ) yang dibuat oleh Ali,
lalu ditulis banyak hal dari padanya, namun ada sesuatu tertentu
dilewatinya, dan berkata, Demi Tuhan, Ali tidak akan membuat keputusan
seperti ini kecuali jika benar-benar sesat.” Maka untuk tujuan seperti itulah
banyak para tabi‟in banyak melakukan perjalanan jauh dari kota ke kota,
guna mendengarkan hadis-hadis yang mantap dari perawi yang dapat
dipercaya. Telah kita ketahui misalnya, perjalanan jabir ibn Abdullah ke
Syiria dan Abu Ayyub ke Mesir guna mendengarkan hadis. Sa‟id ibn al-
Musayyab menceritakan bahwa ia dahulu bepergian saiang malam untuk
mencari hadis. Pengistilahan ini, betapa untuk mencari hadis saja sangat
penuh dengan kehati-hatian, apalagi Alquran sebabagai pedoman utama.
Lihat lebih lanjut, Musthafâ al-Sibâ‟î, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-tasyrî‟
al-Islâmî, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam, terj.
Nurchalish Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), cet. 5, hlm. 57-58
48 Istilah Tafsir Alquran Muslim Modern dikenalkan oleh J.M.S.
Baljon dalam karyanya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation
(1880-1960). Baljon melalui karya ini, membagi menjadi enam bahasan.
Pertama, (introduction) pendahuluan, kedua, ways interpretation
(pendekatan penafsiran), ketiga, characteristic features of the Koran
(gambaran Alquran), keempat, theological issues (isu-isu ketuhanan), kelima,
21. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 131
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
muslim kontemporer, mengemuka setelah selesainya penulisan
disertasi di School Oriental and African Studies (SOAS) pada tahun
2006, yang telah mencoba menerapkan munâsabah dengan
pendekatan bahasa untuk menafsirkan Alquran. Disertasi ini ditulis
oleh Salwa M.S. El-Awa yang bertajuk Textual Relation in The Quran:
Relevance, Coherence and Structure, yang kemudian diterbitkan oleh
Routledge, New York, tahun 2006.49 Dalam disertasinya, Salwa,
mengadopsi sebuah metodologi baru dalam rangka membaca teks
Alquran. Ia menggunakan teori-teori relevansi linguistik dalam
membahas dan menganalisis relasi-relasi yang kompleks dalam
surat-surat Alquran. Disertasi ini menunjukkan dengan jelas,
ketidaksambungan tema dengan surat-surat Alquran yang panjang.
Dan konteks serta struktur Alquran agar dapat dibaca ulang dan
dijelaskan dengan metodologi kontemporer. Hal ini dimaksudkan,
dalam rangka membantu para pembaca Alquran agar
menggunakan metode ini dalam menciptakan proses kognisi pada
makna yang diciptakan. Salwa, dalam kesimpulan akhirnya
menganggap bahwa area kajian relasi teks (munâsabah) masih belum
jelas (abu-abu).50
Koran and Modern Time (Alquran dan masa modern), dan keenam conclution
(kesimpulan). Dalam pengantarnya, Baljon mengatakan bahwa studi ini
merupakan kelanjutan sekaligus pelengkap bab terakhir (Der Islamische
Modernismus und seine Koranauslegung) karya Ignaz Goldziher mengenai
tafsir Alquran (Die Rachtungen der Islamische Koranauslegung, Leyden, Brill,
1920). Kelanjutan penelitian Goldziher ini tampaknya diperlukan, seperti
juga terhadap tafsir modern yang dipublikasikan 40 tahun yang silam.
Karya ini, dianggap oleh Baljon, sejauh karya itu, merupakan sumbangan
terlengkap, dan juga bisa dimanfaatkan bahasa-bahasa urdu yang masih
dipergunakan. Lihat, J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation
(1880-1960), (Leiden: E.J. Brill, 1968), hlm. VI
49 Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance,
Coherence and Structure, (Routledge, New York, 2006),
http://www.amazon.com/Textual-Relations-in-Quran-
ebook/dp/B000OI14MQ, unduhan 20 januari 2010, lihat pula, ulasan
review, SPS UIN Jakarta, The School, vol. 2. No. 5/ Mei 2009, hlm. 4.
50 Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance,
Coherence and Structure, (Routledge, New York, 2006), Lihat,
http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428, unduhan, 20 Januari 2010,
http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=Salwa+M.S.
+ElAwa&sourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8, unduhan, 20 januari 2010
22. 132 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Richard Bell dalam tulisannya yang kemudian di revisi oleh
W. Montgomery Watt dalam Bell‟s Introduction To The Qur‟ân,
mengatakan:
“Whatever view is taken of the collection and compilation of the
Qur‟an, the possibility remains that parts of it may have been lost.
If, as tradition states, Zaid in collecting the Qur‟ân was dependent
an chance writings and human memories, parts may easily have
been forgotten. Yet conjunction of apparently unrelated verses st
certain points in the Qur‟ân suggests that the editors preserved
absolutely everything they came across which thay had reason to
believe had once been part of the Qur‟ân”.51
“Pandangan apapun yang diambil mengenai pengumpulan dan
penyusunan Quran, kemungkinannya tetap ada bahwa beberapa
bagian dari Quran mungkin hilang. Kalau seperti yang dinyatakan
oleh Hadis, Zaid dalam mengumpulkan Quran tergantung pada
penulisan secara kebetulan dan ingatan manusia, dengan mudah
atau bagian-bagiannya terlupakan. Namun, gabungan ayat-ayat
yang tampaknya tidak berhubungan di beberapa tempat dalam
Quran mengisyaratkan bahwa para penyunting mempertahankan
dengan mutlak semua yang mereka temukan dan yang beralasan
untuk diyakini bahwa itu dulunya merupakan bagian dari Quran”.
Tuntutan bagi terjadinya Alquran yang shâlih likulli zaman wa
makân, Quraish Shihab mengistilahkan dengan “membumikan
Alquran”. Dalam bahasa Nasr Hamid Abu Zaid dikenal tekstualitas
Alquran (mafhûm al-nash) atau meminjam Syahrur “al-qirâ‟ah al-
mu‟âshirah” (pembacaan dengan cara baru) mulai timbul ketika
adanya kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan peristiwa
dalam masyarakat, sempitnya terhadap pemahaman Alquran, dan
lain-lain. Ketika kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat yang
sedemikian rupa, maka tuntutan perubahan yang mengupayakan
membaca ulang teks semakin mendesak. Membumikan Alquran
merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai kitab suci terakhir,
Alquran menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas
geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik.
Karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan
manusia. Di mana terdapat kemaslahatan di situ ditemukan
tuntunan Alquran dan di mana terdapat tuntunan Alquran, di situ
terdapat kemaslahatan. Membumikan Alquran sesungguhnya tidak
51 W. Monthomery Watt, Bell‟s Introduction to The Qur‟ân, (Leiden:
Edinburgh University Press, 1994), hlm. 56.
23. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 133
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
lain adalah melakukan upaya-upaya terarah dan sistematis di dalam
masyarakat agar nilai-nilai Alquran hidup dan dipertahankan
sebagai faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana menjadikan
nilai-nilai Alquran sebagai bagian inheren dari perbendaharaan nilai-
nilai lokal dan universal di dalamnya. Asas pembumian Alquran
mempunya tiga perinsip,52 yaitu: 1) meniadakan kesulitan („adam al-
haraj), 2) pembatasan beban (taqlîl al-taklîf), dan 3) penetapan hukum
secara berangsur-angsur (al-tadrîj fi at-tasyrî‟). Keberangsuran ini
membuktikan adanya proses dialogis dan dialektis antara Alquran
dan realitas sosial. Hal ini juga memberikan legitimasi psikologis
dan sosiologis untuk penerapan strategi bertahap dalam proses
pembumian Alquran. Dengan demikian, proses pembumian
Alquran harus dipandang sebagai proses berkelanjutan,
pergumulan yang tanpa henti, seiring dengan perjalanan waktu dan
perkembangan umat manusia.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu
surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah
ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu.53 Akan tetapi
mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam
mushaf, apakah itu tauqîfî atau ijtihâdi (pengurutannya berdasarkan
52 Pembagian ini di dasarkan pada teks itu sendiri dan realitas teks
yang berkembang. Sebagaimana halnya nilai-nilai lain, proses akulturasi
dan enkulturasi nilai-nilai dasar Alquran dalam lintasan sejarah tidak saja
memberi warna baru kepada sasaran-sasarannya, karena ia membuka diri
pada setiap budaya posistif sepanjang masa. Ini antara lain disebabkan
karena sebagian besar ayatnya dapat mengandung aneka interpretasi dan
karena kitab suci ini menghidangkan simbol (amtsâl) yang sarat makna,
lagi terbuka bagi nalar para cendekiawan. Di sinilah kekhususan Alquran;
ia memberikan kesempatan kepada setiap budaya untuk menafsirkan dan
mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya. Dalam
kenyataannya, meskipun hanya satu Alquran, tetapi terjadi spektrum
keanekaragaman pemahaman dan penerapan ajaran di dunia Islam. Proses
pembumian Alquran tidak bisa menghindari fenomena kontak budaya
(cultural contact), yaitu antara tuntutan untuk mewujudkan tata nilai yang
haq dan kepentingan untuk memelihara keharmonisan di dalam
masyarakat. Tentu saja dalam hal ini keharmonisan tidak boleh
dikorbankan untuk menegakkan tata nilai yang haq, dan ia pun tidak
boleh dipertahankan bila dibangun atas landasan yang bathil. Lihat,
http://www.psq.or.id/profile.asp?mnid=14, unduhan 14 Januari 2010
53 Lihat perdebatan para ulama itu dalam Jalâluddin al-Suyûthi, al-
Itqan fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1979), Juz I, hlm. 60-63
24. 134 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
ijtihad penyusun mushaf). Nasr Hamid Abû Zaid,54 wakil dari
ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam
mushaf sebagai tauqîfi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu
sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh al-
mahfûdz. Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan”
merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyusunan
yang pada gilirannya dapat mengungkapkan “persesuaian” antar
ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha
menyingkapkan sisi lain dari I‟jaz.55
Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam Alquran
mengesankan Alquran memberikan informasi yang tidak sitematis
dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan
pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah
disinggung oleh Abu Zaid, realitas teks itu menujukkan „stalistika‟
(retorika bahasa) yang merupakan bagian dari I‟jâz Al-Qur‟ân, aspek
kesusasteraan dan gaya bahasa.56 Maka dalam konteks pembacaan
54 Secara khusus Abû Zaid mengungkapkan bahwa munâsabah
merupakan salah satu bagian dari aspek I‟jâz (kemukjizatan) Alquran,
sebagaimana Abû Zaid mengutip pendapat al-Zarkâsyi sebagai berikut:
“mushaf seperti suhuf-suhuf mulia, sama dengan yang terdapat dalam kitab yang
tertutup rapat (lauh al-mahfûdz), semua surat dan ayatnya disusun secara tauqîfî.
Penghafal Alquran bila meminta fatwa mengenai berbagai macam hukum atau ia
memperdebatkannya, atau mendiktekannya maka ia akan menyebutkan ayat sesuai
dengan yang ditanyakannya. Dan jika ia kembali kepada bacaan, maka ia tidak
mengatakan seperi apa yang di fatwakan, dan tidak pula seperti yang diturunkan
secara terpisahpisah, melainkan seperti yang diturunkan secara keseluruhan di
Bait al-Izzahlm. Di antara yang jelas-jelas mukjizat ialah uslûb dan susunannya
yang mengagumkan. Sebab, ia merupakan kitab yang ayat-ayatnya dikokohkan,
kemudian diturunkan secara terpisah-pisah dari sisi yang maha bijaksana lagi
maha mengetahui. Yang pertama kali pantas untuk diteliti dalam setiap ayat
adalah apakah ayat berkaitan dengan ayat sebelumnya atau ia berdiri sendiri.
Dalam hal ini banyak ilmu. Demikian pula dengan surat, sisi keterkaitannya
dengan surat sebelumnya dan konteksnya perlu di cari”. Lihat, Nasr Hamid
Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur‟an, terj.
Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 108.
55 Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap
Ulumul Qur‟an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 215
56 Nasr Hamid Abû Zaid lebih lanjut mengungkap masalah
munâsabah sebagai bagian dari mukjizat pada dasarnya mengacu pada
mekanisme khusus teks yang membedakannya dari teks-teks lain dalam
kebudayaan. Bila dihubungkan dengan ilmu asbâb al-nuzûl misalnya, ilmu
munâsabah mengkaji hubungan teks dalam bentuk yang akhir dan final.
25. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 135
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
secara holistik pesan spiritual Alquran, salah satu instrumen
teoritiknya adalah dengan „ilm al-munâsabah. Keseluruhan teks
dalam Alquran, merupakan kesatuan struktural yang bagian-
bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks Alquran menghasilkan
pandangan dunia (weltanschauung) yang pasti. Dari sinilah umat
Islam dapat memfungsikan Alquran sebagai kitab petunjuk (hudan)
yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan
(educate). Akan tetapi Fazlur Rahman menengarai adanya kesalahan
umum di kalangan umat Islam dalam memahami pokok-pokok
keterpaduan Alquran, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga
dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada
ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat
pendekatan “atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada
penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat
yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.57
Fazlur Rahman Tampaknya dipengaruhi oleh al-Syâthibi (w.
1388) seorang yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al-
Muwâfaqat,58 tentang betapa mendesak dan masuk akalnya untuk
memahami Alquran sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif.
Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam Alquran adalah
prinsip-prinsip umumnya (ushûl al-kulliyah) bukan bagian-
bagiannya. Bagian-bagian Alquran adalah respon spontanitas atas
realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai problem
solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu
harus direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu
dengan yang lain, lalu diambil inti sarinya (hikmah al-tasyrî‟) sebagai
pedoman normatif (idea moral), dan idea moral Alquran itu
Sedang asbâb al-nuzûl mengkaji hubungan bagian-bagian teks dengan
kondisi eksternal, atau konteks eksternal pembentuk teks. Nasr Hamid
Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur‟an, hlm. 108.
57 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi
Intelektual, (terj.) Ahsin Mohammad, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1995), h,
2-3
58 Al-Syâthibi melihat betapa pentingnya munâsabah Al-Qur‟ân.
Bahwa, satu surat walaupun banyak mengandung masalah, namun
masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Sehingga, seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan
pandangannya pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula
akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila hal tersebut tidak diperhatikan,
maka maksud ayat yang diturunkan akan terabaikan. Lihat, al-Syâthibi, al-
Muwâfaqat, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1975), hlm. 144
26. 136 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab problem-problem
kekinian.
Pembacaan Alquran Holistik
Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap
Alquran tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang
memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para
mufasir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa
menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. „Ilm
al-munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk
melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qirâ‟ah al-mu‟âshirah)
asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan”
antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan
penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi
filologis dalam „ilm munâsabah.
Lebih jelasnya, satu contoh munâsabah upaya
kontekstualisasi penafsiran yang diambil dari percikakan pemikiran
al-Zarkasyî. Di sini akan dibahas mengenai pertautan antar ayat.
Dalam hal ini ada 3 analisa yang diberikan oleh al-Zarkasyî, bahwa
ayat memiliki munâsabah. Pertama, terdapat kalimat bersambung
(ma‟thûfah), kedua, sisipan (istithrâd), dan ketiga perumpamaan
(tamtsîl).59 Dalam menjelaskan analisa pertama dan kedua, al-
Zarkasyî memberikan 3 ayat dari dua surah yang berbeda yaitu Q.S.
al-Hadîd (57): 4, Q.S. al-Baqarah (2): 245 dan 189.
...
”...Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi
dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari
langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama
kamu di mana saja kamu berada...”
”...Dan Allah menyempitkan dan melapangkan
(rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.
...
59 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 40-41.
27. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 137
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda (penunjuk)
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya...”
Pada dua ayat contoh di atas (Q.S. al-Hadîd: 4 dan al-Baqarah:
245), terdapat huruf ‟athaf yang kedua-duanya saling beriringan.
Selain beriringan, Al-Zarkasyi menyebutkan adakalanya munâsabah
antarayat yang menggunakan indikasi ‟athaf tetapi menunjukkan
saling bertentangan (al-madhâddah). Misalnya menyebut rahmat
Allah setelah adzab, menyebut hal yang disenangi setelah yang
dibenci, menyebut janji dan ancaman setelah ketetapan hukum.60
Selanjutnya, al-Zarkasyî dalam menjelaskan analisa kedua,
menggunakan Q.S. 2: 189, sisipan (istithrâd) dalam ayat ini dalam
penjelasannya adalah ketika disebutkan mengenai waktu haji,
dalam ayat yang sama disebutkan pula mengenai kebiasaan orang-
orang Arab ketika mereka berada di musim haji. Jadi, kalau ditelaah
lebih jauh, ada satu pertanyaan, kemudian dijawab dengan dua
jawaban dalam satu ayat. Hal ini sama misalnya dengan pertanyaan
mengenai air laut, kemudian dijawab oleh Nabi bahwa air laut itu
suci dan halal bangkainya.61
Contoh model tearkhir adalah perumpamaan (tamtsîl), ayat
yang dijadikan penguat oleh al-Zarkasyî dalam menerangkan model
ketiga ini adalah Q.S. al-Isrâ (17): 1-3 dan 7-8. Sekilas ayat satu
sampai tiga terkesan tidak ada relevansinya, bahkan mungkin
dianggap tidak logis. Ayat pertama bercerita tentang isra‟ mi‟raj,
ayat kedua tentang nabi Musa dan ayat ketiga tentang nabi Nuh.
Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, pada hakikatnya antara ayat
satu dengan yang lainnya memiliki kesatuan ide yang tisak
terpisahkan. Meskipun terjadi peralihan ide dari ayat satu yang
berbicara tentang isrâ‟ ke ayat kedua yang membicarakan
pemberian kitab kepada Musa. Namun demikian, munâsabah
keduanya bisa ditemukan dari cerita kedua kisah itu yang
menunjukkan kemahakuasaan Allah bagi hambanya yang bisa jadi
sukar dicerna oleh akal manusia. Dengan kuasa-Nya mengetahui
kisah-kisah orang musyrik terdahulu, sementara umat Nabi
Muhammad tidak mengetahuinya, seperti halnya kisah Nabi Musa.
Adapaun keterkaitan dengan ayat berikutnya yakni Nabi Nuh,
karena keturunan bani Israil sebagai cucu nabi Nuh. Dan dari
60 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 40.
61 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 41.
28. 138 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
keterkaitan dengan Nuh itulah bani Israil masih ada sampai
sekarang, karena Nuh dan pengikutnya pernah diselamatkan oleh
Allah dari bencana banjir yang menimpa kaum Nuh ketika itu.
Dengan hal tersebut mereka diperintahkan untuk bersyukur, seperti
yang di sandangkan kepada Nuh sebagai hamba yang bersyukur
(‟abdan syakûrâ) pada akhir ayat ketiga. Selang tiga ayat kemudian
Allah tuturkan dengan bahasa yang indah ”jika kamu berbuat baik
(berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat
jahat, maka (kerugian kejahatanmu) untuk dirimu sendiri”. Ayat
berikutnya melanjutkan ”mudah-mudahan Tuhan kamu melimpahkan
rahmat kepadamu, tetapi jika kamu melakukan kejahatan, niscaya kami
kembali (mengadzabmu). Setelah panjang lebar menceritakan kisah
dan pesan di atas, ayat berikutnya kembali mengalihkan
pembahasan kepada hikmah diturunkannya Alquran, karena
sesungguhnya Alquran merupakan tanda kebesaran Allah yang
agung.62
Dari beberapa contoh yang diketengahkan di atas, terlihat
bahwa al-Zarkasyi memiliki kepekaan sekaligus kelihaian membuat
korelasi antara satu ayat dengan ayat berikutnya. Ini semakin
menguatkan bahwa Alquran memiliki hubungan yang sangat erat
antara yang satu dengan yang lainnya.
Dari perdebatan akademik tentang munâsabah yang
diperbincangkan di atas, secara garis besar dapat dipetakan menjadi
dua aliran.63 Pertama, pihak yang menyatakan bahwa memastikan
adanya pertalian erat antara surat dengan surat dan antara ayat
dengan ayat, dengan kata lain, perlu adanya munâsabah. Kelompok
ini seperti kata al-Zarqâni diwakili antara lain oleh Syekh „Izzuddîn
Ibn „Abd al-Salam, atau yang dikenal dengan „Abd al-Salam (577-
660 H.). Menurut kelompok pertama, munâsabah adalah ilmu yang
menjelaskan persyaratan baiknya kaitan pembicaraan (irtibâth al-
kalâm) apabila ada hubungan keterkaitan antara permulaan
pembicaraan akhir pembicaraan yang tersusun menjadi satu
kesatuan.64
62 al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 41-43.
63 Al-Zarqani, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirût: Dâr al-
Fikr, 1988), hlm. 348.
64 Abdurrahman Ibn Abî Bakr ibn Muhammad Abu al-Fadhl al-
Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-I‟tishâm, t,thlm.), juz. 1,
hlm. 108.
29. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 139
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Kedua, golongan atau pihak yang menganggap bahwa tidak
perlu adanya munâsabah ayat, karena peristiwanya saling berlainan.
Ada paling tidak dua alasan mengapa golongan kedua ini enggan
atau menganggap tidak perlu adanya munâsabah. Pertama,
kelompok kedua berargumen bahwa Alquran diturunkan dan
diberi hikmah secara tauqîfi, hal ini atas petunjuk dan kehendak
Allah.65 Kedua, bahwa satu kalimat akan memiliki munâsabah bila
diucapkan dalam konteks yang sama. Karena Alquran diturunkan
dalam berbagai konteks, maka Alquran tidak memiliki munâsabah.
Pendapat ini juga diajukan oleh „Izzuddîn ibn Abd al-Salam (w. 660
H.). Di sinilah seolah-olah Izzuddîn ingin mengatakan bahwa
susunan ayat mesti berdasarkan turunnya.66 Sementara yang
diajukan oleh kelompok yang pro atau mendukung terhadap
munâsabah mengatakan bahwa ketidak teraturan susunan ayat
mengandung rahasia.
Pro-kontra kajian munâsabah antara pentingnya
mengedepankan munâsabah dan tidak perlu adanya munâsabah telah
menjadi konsumsi public yang tidak terpisahkan dari kajian „ulûm
al-Qur‟ân. Pertanyaan besar tentang apakah adanya munâsabah itu
bersifat tauqifî atau ijtihâdi mengemuka dan perlu adanya jawaban
akademik. Pertanyaan ini bisa jadi sangat menarik untuk di bawa ke
ranah diskusi yang akademik, dan kemudiaan di susul dengan
menyoal pada tataran lebih dalam, apakah perlu adanya munâsabah
al-Qur‟ân atau bisa jadi kalau pendapat yang sangat ekstrim tidak
tidak perlu adanya munâsah seperti wacana perdebatan di atas.
Al-Suyûthi mempunyai pendapat, apabila kata itu
dikembalikan pengertiannya dalam konteks ayat, kalimat atau surat
dalam Alquran, maka bisa berarti adanya keserupaan, kedekatan di
antara berbagai ayat, surat, atau kalimat yang diakibatkan oleh
65 Baca lebih lanjut, Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-
Burhân fi „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 37, lihat pula, Jalal al-Din al-Suyûthi, al-
Itqan fî „Ulûm al-Qur‟ân, hlm. 108
66 Abû Zaid mencoba melerai dan mengomentari pendapat atau
kelompok kedua yang tidak menyepakati adanya munâsabah dengan
mengatakan bahwa pendapat yang dikemukakan Izzuddîn agar
keterkaitan ayat dengan ayat dan surat dengan surat, terhadap sebab yang
berbeda-beda, yang tidak menjadi persyaratan baiknya susunan kalimat
(irtibâth al-kalâm) jangan sampai dipaksakan. Akan tetapi jika keterkaitan
uraian terjadi karena satu sebab yang sama, maka menghubungkannya
adalah suatu hal yang baik, dan disinilah letak baiknnya munâsabahlm.
Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas Alquran, hlm. 199.
30. 140 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
adanya hubungan makna yang muncul. Misalnya, yang satu „âm
dan yang lainnya khâs. Hubungan itu bisa juga muncul melalui
penalaran („aqli), penginderaan (hissi), atau melaui kemestian dalam
pikiran (al-taladzdzum al-dihni) seperti hubungan sebab akibat, illat
dan ma‟lul dua hal yang serupa atau dua hal yang berlainan.67
Ahmad Atha‟ dalam pengantar buku Asrâr Tartîb al-Qur‟ân
karya al-Suyûthi memberikan cara dan tahapan untuk menemukan
munâsabah al-Qur‟ân. Ada empat langkah pertama, melihat tema
sentral dari surat tertentu. Kedua, melihat premis-premis yang
mendukung tema sentral. Ketiga, mengadakan kategorisasi
terhadap premis itu berdasarkan jauh dan dekatnya kepada tujuan.
Dan keempat, melihat kalimat-kalimat atau pernyataan yang saling
mendukung dalam premis itu.68 Dan cara-cara demikian telah lama
di pakai oleh para mufasir sekaliber al-Naisaburi, Abû Bakar Ibn al-
Zubair, Fakhruddîn al-Râzi, al-Suyûthi, al-Biqâ‟i, dan belakangan
Muhammad „Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Syaltut, dan
sebagainya. Dan yang dianggap paling konsen (takhashshush) adalah
al-Biqâ‟i dalam karya besarnya berjudul Nadzm al-Durâr fî Tanâshub
al-Âyat wa al-Shuwar.69
Kerangka teoritis yang berdasar pada uraian di atas, ada dua
benang merah yang bisa menjadi gambaran yang menerangkan
tentang kerangka munâsabah. Pertama, ada ayat dan surat yang bisa
dicari titik munasabah antara sat dengan lainnya. Kedua, ternyata
dari contoh model di atas, juga tidak ditemukan munâsabah, dalam
kata lain tidak semua ayat dan surat terdapat munâsabah. Namun
demikian, menurut hemat penulis bukan tidak ada munâsasabah,
bisa jadi kalau dibahasakan belum mampu menemukan munâsabah-
nya. Barangkali semuanya bersepakat akan adanya munâsabah,
namun tidak semua orang mampu menghubungkan antara satu
ayat atau surah satu dengan yang lainya. Pada sisi inilah celah
beberapa ilmuan yang mengkritik bahwa Alquran tidak holistic,
sehingga memungkinkan meragukan keotentisistasnnya.
67 Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‟Ulûm al-Qur‟ân, hlm.108.
68 Abd al-Qadir Ahmad Atha‟, dalam pengantar al-Suyûthi, Asrâr
Tartîb al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-I‟tishâm, 1978), hlm. 4
69 Lihat lebih lanjut, al-Biqâ‟î, Burhânuddin Ibn Umar Ibrahim,
Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al-Suwar, (Heidiradab: Majlis Dairât
al-Ma‟ârif al-Usmâniyyah, 1969).
31. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 141
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Kesimpulan
Dari uraian dan hipotesa perdebatan akademik seputar
wawasan munâsabah Alquran di atas, jelaslah munâsabah sebagai
bagian dari alat bantu memahami kitâb Allâh. Upaya-upaya itu,
terlihat begitu besar akan pentingnya kajian munâsabah terhadap
kajian Alquran, terlepas ada beberapa kalangan yang berusaha
keras ingin merekonstruksi Alquan, yang pasti dari kajian mereka kita
kembali dikejutkan untuk selalu menjaga dan paling tidak selalu
mengakaji Alquran. Maka upaya apapun, baik misalnya perdebatan
nasikh-mansukh menyoal adanya surat tambahan versi Syi‟ah, ingin
merombak susunan ayat dan surat Alquran secara kronologis,
mengoreksi bahasa Alquran ataupun ingin mengubah redaksi ayat-
ayat tertentu, bahkan bukan hanya sampai di situ menebar isu
mempersoalkan autentisitas Alquran, dan lain-lain. Yang jelas,
stigma miring ini tidak kemudian melunturkan keimanan atau
memurtadkan keyakinan, karena upaya mereka terbukti sampai
sekarang tidak berhasil. Justru malah sebaliknya, animo untuk
mengkaji Alquran dan keyakinan akan kitab suci Alquran semakin
tinggi dan marak.
Daftar Pustaka
„Ali bin Muhammad bin „Ali al-Jurjani, al-Ta‟rifât, Beirut: Dâr al-
Kutub al-„Arabi, 1405 H.
A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984
Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû‟I, Kairo: al-
Hadharah al-„Arabiyah, 1977
Abd al-Qadir Ahmad Atha‟, dalam pengantar al-Suyûthi, Asrâr
Tartîb al-Qur‟ân, Kairo: Dâr al-I‟tishâm, 1978.
Abdurrahman Ibn Abî Bakr ibn Muhammad Abu al-Fadhl al-
Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur‟ân, Kairo: Dâr al-I‟tishâm, 1978
Abi Abdillah Nuhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthûbi, al-
Jami‟ lî al-Ahkâm al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993.
Al-Bagawî, Syarh al-Sunnah al-Shahâbah, Beirūt: Dār al-Kutub al-
`Ilmiyyah, 1993
Al-Baihaqî, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ , (Kuwait: Dâr al-
Khulafâ‟ lî al-Kitâb al-Islâmî, 1404
Al-Bâqillânî, I‟jâz al-Qur‟ân, Beirūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1996.
al-Syâthibi, al-Muwâfaqat, Beirut: Dâr al-Fikr, 1975
32. 142 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Andy Hadiyanto, Repetisi Kisah Al-Quran (Analisis Struktural Genetik
Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan
Madaniyyah), disertasi UIN, 2009
Burhânuddin Ibn Umar Ibrahim al-Biqâ‟î, Nadzm al-Durâr fî Tanâsub
al-Âyat wa al-Suwar, Heidiradab: Majlis Dairât al-Ma‟ârif al-
Usmâniyyah, 1969
Fauzul Iman, Munasabah Al-Qur‟an, Jurnal Panji Masyarakat, no.
843, edisi Novemver 2005
Fazlur Rahmân, Islam and Modernity, Chicago: Universitas of
Chicago Press, 1982
http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428.fmatter, unduhan, 20
Januari 2010,
http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=Salwa+
M.S.+ElAwa&sourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8,
unduhan, 20 januari 2010
Ibnu Manzûr al-Afriqi, Lisân al-„Arâb, Beirut: Dâr al-Sadîr, tth.
Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, Beirût: Dâr al-
Sadîr, t.th.
J.M.S. Baljon,Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), Leiden:
E.J. Brill, 1968
Jalaluddîn al-Suyûthi, al-Itqan fî „Ulûm al-Qur‟ân, Damaskus : Dar al-
Fikr, 1979.
Labib al-Sa‟id, al-jam‟ al-Shautî lî al-Qur‟ân al-Karîm, (Mesir: Dâr al-
Kâtib al-„Arâby, t.th
Lois Ma‟luf, Qamûs al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‟lam, (Beirut: Dâr al-
Syarqy, 1976.
M. Quraish Shihab , Wawasan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1996
_______, dalam pengantar buku Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka al-Fabets, 2005
_______, Ibrahim bin Umar al-Biqâ‟i: Ahli Tafsir yang Kontroversial,
Jurnal Ulûmul Qur‟an, LSAF, Vol. 1, 1989
_______, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992
_______, Mukjizat al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1998
_______, Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, (Jakarta: Pustaka Fidaus dan
Bayt al-Qur‟an & Museum Istiqlal TMII, 2001
_______, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
Jakarta: Lentera hati, 2006
Mannâ„ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, Beirut:
Mansyûrât al-„Asr al-Hadîts, 1393 H.
33. Diskursus Munâsabah al-Qur‟an 143
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
MM. Azami, The History of Qur‟ânic Text From Revelation to
Compilation A Comparative Study with the old and new
Testament, (Sejarah Teks al-Qur‟ân dari Wahyu sampai
Kompilasi kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru), terj. Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi
Suharto, Lili Mulyadi, Jakarta: Gema Insani Press, 2005
Muhamad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir:
Maktabah Wahbah, 1985
Muhammad „Abdul Azaîm al-Zarqânî, Manâhil al-„Irfân fi „Ulûm al-
Qur‟ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1988
Muhammad Ahmad Khalafullâh, al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur‟ân al-
Karîm, syarah wa al-ta‟lîq oleh Khalîl „Abd al-Karîm, Beirut,
Kairo, Sînâ lî al-Nasyr wa al-Intisyâr al-„Araby, 1999
Muhammad Ajâj al-Khathîb,, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn,
Terjemahan. AH. Akram Fahmi, Jakarta: Gema Insani
Press, 1999
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000
Muhammad Burhanuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi „Ulûm al-
Qur‟ûn, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-„Arabiyyah, 1957
Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi „Ulûm al-
Qur‟ûn, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-„Arabiyyah, 1957
Muhammad Fu‟ad Abdul Bâqî, al-Mu‟jâm al-Mufharas li al-Fâz al-
Qur‟ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1987
Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhal li Dirâsâh al-
Qur‟ân al-Karîm, Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992
Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata‟addab Ma‟a al-Mushhaf, t.tp.,
Dâr al-I‟tishâm, 1978
Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, Min Rawâ‟i al-Qurân, Beirut-
Libanon/Damsyik: maktabah al-farabi, 1397 H/1977 M.
Mushthafâ Shâdiq al-Râfi‟î, I‟jâ z al-Qur‟ân wa al-Balâgah al-
Nahwiyyah, Beirūt: al-Kutub al-„Ilmiyyah, cet. ke-3, 1990
Musthafâ al-Sibâ‟î, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-tasyrî‟ al-Islâmî,
Sunnah dan Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam,
terj. Nurchalish Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Nasr Hamid Abû Zaid, Mafhûm al-Nâsh: Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân,
kairo: Dâr al-Ihyâ al-Kutub al‟Arabiyyah, 1992
_______, Tekstualitas al-Qur‟an : Kritik Terhadap Ulumul Qur‟an, terj.
Khairan Nahdiyyin, Yogyakarta : LkiS, 2001
Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994
34. 144 Hasani Ahmad Said
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Salwa M.S. El-Awa, Texstual Relation in The Quran: Relevance,
Coherence and Structure, Routledge, New York, 2006
Subhi Shâlih, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, Bairut-Libanon, Dâr al-
„Ilm lî al-Malâyîn, 1988
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2005
W. Monthomery Watt, Bell‟s Introduction to The Qur‟ân, Leiden:
Edinburgh University Press, 1994
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran kalam tafsir al-Azhar, Sebuah telaah
tentang Pemikiran hamka dalam teologi Islam, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990
_______, Karakteristik Tafsîr al-Quran di Indonesia Abad 20, Jurnal Ulûm
al-Quran, Vol. III, no.4, 1992