1. Oleh : Mansur
Bag Pertama
ILMU AL-MUNÂSABAH
DISKURSUS SEPUTAR
PENDAPAT ULAMA
TENTANG ILMU
MUNÂSABAH
2. Latar Belakang
اَّنِإ
َونُظِفاَحَل ُهَل اَّنِإ َو َرْكِالذ َانْلََّزن ُنَْحن
(Al-Hijr - Ayat 9)
Al-Qur’an -> Otentik Dijamin oleh Allah SWT
Pembawanya -> al-Amin -> Seperti Pasien dan Dokter
Tantangan Al-Qur’an
Sarjana Muslim >< Orientalist
Mereka menerapkan kebiasaan ilmiah yang bertolak belakang
dari ”keraguan” untuk menemukan sebuah “kebenaran”
ilmiah. -> Eavaluating -> Creating
Almarhum ‘Abdul-Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar
berkata : “Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha
menunjukkan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah
untuk meragukan keotentikannya
Syekh Abdul Halim Mahmud (wafat 1978) adalah Imam Akbar dan Syekh Al-Azhar, yaitu
pemimpin tertinggi lembaga-lembaga Al-Azhar tahun 1970 hingga 1978. Syekh Abdul Halim juga
digelari dengan Imam Al-Ghazali Abad 14 H.
3. Pengertian Ilmu al-Munasabah
Munasabah berasal dari kata ناسب
مناسبة يناسب yang
berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat
المناسبة sama artinya dengan المقاربة yakni
mendekatkannya dan menyesuaikannya;
النسيب artinya المتصل القريب (dekat dan berkaitan).
Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini
terwujud apabila kedua-duanya saling berdekatan
dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-
duanya. An-Nasib juga berarti Ar-Rabith, yakni
ikatan, pertalian, hubungan.[]
Prof. Dr. H. Rahmat Syafe’I, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, (pustaka setia) hlm. 37
4. Dasar-dasar Pemikiran Tentang Adanya Ilmu Munasabah
Disarikan dari buku Mukjizat Alquran yang ditulis oleh salah satu
pakar tafsir Indonesia M. Quraish Shihab pada Bab X tentang
Kritik-Kritik Terhadap Al-Quran,
Tentang tanggapan negatif terhadap Al-Quran khususnya dari
beberapa ilmuan terutama mengenai sistematika susunan ayat dan
surah Al-Quran. Al-Quran oleh sementara orang dinilai kacau dalam
sistematikanya “betapa tidak”, kata mereka “belum lagi selesai satu
uraian tiba-tiba ia melompat ke uraian lain, yang tidak berhubugan
sama sekali dengan uraian yang baru saja dikemukakannya.
Misalnya dalam surah Al-Baqarah. Keharaman makanan tertentu
seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan
pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum,
wasiah sebelum mati, kewajiban puasa, dan hubungan suami istri,
dikemukakan Al-Quran secara berurut dalam belasan surah Al-
Baqarah.
5.
6.
7. Memang kita tidak memperoleh penjelasan dari Nabi Saw.
tentang pertimbangan peletakan ayat demi ayat. Namun
diyakini bahwa pasti ada hikmah dibalik itu, persis seperti
petugas protokol dalam acara resmi, yang menempatkan para
tamu di tempat-tempat tertentu bukan berdasarkan waktu
kehadiran mereka di arena upacara, melainkan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Para ulama Al-Qur’an berusaha memahami apa gerangan
rahasia di balik sistematika perurutan setiap ayat Al-Qur’an.
Bahkan, mereka juga berusaha memahami rahasia susunan
kata demi kata dalam Al-Qur’an dan banyak diantara mereka
yang memberikan penjelasan yang cukup rasional. Pakar Al-
Qur’an, Ibrahim bin ‘Umar Al-Biqa’I (1406-1480 M),
mengungkapkan hubungan tersebut dalam karya
monumentalnya, Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa As-
Suwar, yang terdiri dari dua puluh dua jilid besar
8. Penilaian baik dan buruk suatu sistematika uraian berkaitan
erat dengan tujuan yang ingin dicapai oleh penyusunnya.
Misalnya, jika anda memiliki tiga orang saudara, kemudian
seseorang bertanya kepada anda siapa mereka-dalam rangka
mengetahui siapa yang tertua-sewajarnya Anda menyebut si A,
kemudian si B, lalu C, sesuai dengan urutan masa
kelahirannya.
Tetapi jika tujuan penanya untuk mengetahui siapa yang
termuda, peneyebutan nama-nama tersebut harus terbaik. Lain
lagi apabila si penanya ingin mengetahui siapa yang terpandai,
atau terkaya, demikian seterusnya.
Kalau demikian, sebelum melakukan penilaian terhadap
sistematika penilaian ayat-ayat Al-Qur’an, terlebih dahulu
harus diketahui apa misi dan tujuan Al-Qur’an.
9. Al-Qur’an bukanlah suatu kitab ilmiah seperti kitab ilmiah
yang dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan, Misi Al-Qur’an
adalah dakwah untuk mengajak manusia menuju jalan yang
terbaik
َبُي َو ُم َوْقَأ َيِه يِتَّلِل ِيدْهَي َآن ْرُقْال اَذََٰه َّنِإ
َونُلَمْعَي َِينذَّال َينِنِمْؤُمْال ُِرش
ُهَل َّنَأ ِتاَحِلاَّصال
ْم
اًيرِبَك اًرْجَأ
Sesungguhnya Al-Qur’an memberikan petunjuk ke jalan
terbaik (QS Al-Isra’[17]:19)
10. Disini lain Al-Qur’an enggan memilah-milah pesan-pesannya agar tidak
timbul satu kesan bahwa satu pesan lebih penting dari pesan yang lain,
Allah Swt., yang menghendaki agar pesan-pesannya diterima secara utuh.
Karena itu Al-Qur’an mengecam orang Yahudi :
ُءا َزَج اَمَف ۚ ٍ
ضْعَبِب َونُرُفْكَت َو ِباَتِكْال ِ
ضْعَبِب َونُنِمْؤُتَفَأ
يِف ٌي ْز ِخ َّ
َّلِإ ْمُكنِم َكِلََٰذ ُلَعْفَي نَم
ِةاَيَحْال ۖ اَيْنُّدال
ٍلِفَاغِب ُ َّ
َّللا اَم َو ۗ ِباَذَعْال َِدشَأ َٰ
ىَلِإ َونُّدَرُي ِةَماَيِقْال َم ْوَي َو
َونُلَمْعَت اَّمََ
Apakah kalian percaya kepada sebagian (pesan) Al-Kitab dan
mengingkari sebagian yang lainnya? Tidak ada sanksi bagi yang
melakukan yang demikian itu dari kalian, kecuali nista dalam kehidupan
dunia, dan pada hari Kiamat nanti mereka akan dikembalikan kepada siksa
yang pedih, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS Al-
Baqarah [2]:85)
Bagi yang tekun mempelajarinya, akan menemukan keserasian hubungan
yang amat mengagumkan, sama seperti hubungan yang memadukan
gejolak dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimesi
dan aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan perpadu
indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung dan
di mana pangkalnya
11. Ilmu munasabah yang juga disebut dengan “Tanasubil Aayati
Wassuwari” pertama kali dicetus oleh Imam Abu Bakar An-
Naisaburi (wafat tahun 324 H),
Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang
kitab “Al-Burhanu fi Munasabati Suwaril Qur’ani”
dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Biqai yang menulis kitab
“Nadzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari”
dan As-Suyuthi yang menulis kitab “Asraarut Tanzilli wa
Tanaasuqud Durari fi Tanaasubil Aayati Wassuwari”
serta M. Shodiq Al-Ghimari yang mengarang kitab “Jawahirul
Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”.
12. Mengurutkan -> Ukurannya apa? -> Hanya Allah SWT yang
mengetahui
Turunnya Ayat Alquran -> Penyusunannya Tauqifi
Menurut istilah, ilmu munasabah / ilmu tanasubil ayati was
suwari ini ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan
penertiban/penyusuan dari bagian-bagian Al-Qur’an yang
mulia. yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang
satu dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya
Kalau pengetahuan tentang asbabun nuzul yang mempunyai
pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat,
maka pengetahuan tentang munasabah juga membantu dalam
pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan
cermat.
13. Selanjutnya Prof. Quraish Shihab menyatakan (menggaris
bawahi As-Suyuthi) bahwa munasabah adalah adanya
keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surah, dan
kalimat yang mengakibatkan adanya keserasian hubungan
yang sangat mengagumkan,
Sama dengan hubungan yang memadukan gejolak dan
bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya
dimensi dan aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi
terangkai dan terpadu indah,
Bagai kalung mutiara yang tidak diketahui dimana ujung dan
dimana pangkalnya.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab ; Mukjizat Al-Quran;
( Mizan, Cet 1, 2014); hlm. 247
14. Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau
surah sulit ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut
metode munasabah ini mungkin dapat dicari penjelasannya di
ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan atau
kemiripan.
Kenapa harus ke ayat atau ke surah lain?
karena pemahaman ayat secara parsial (pemahaman ayat tanpa
melihat ayat lain) sangat mungkin terjadinya kekeliruan.
Fazlurrahman mengatakan, apabila seseorang ingin
memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Quran, maka ia
harus dipahami secara terkait.
Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Quran tidak dipahami
secara utuh dan terkait, Al-Quran akan kehilangan
relevansinya untuk masa sekarang dan akan datang. Sehingga
Al-Quran tidak dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan
manusia
15. Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bermanfaat dalam
memahami keserasian antar makna, Mukjizat Al-Quran secara
retorik, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan
kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya.
ٍيمِكَح ُْندَّل نِم ْتَل ِ
صُف َّمُث ُهُتاَيآ ْتَمِكْحُأ ٌابَتِك
َخ
ٍ
يرِب
“Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, diturunkan dari
sisi Allah Yang Mahabijaksana dan Mahatahu” (Hud[11]:1)
Al-Zarkasyi menyebutkan “manfaatnya ialah menjadikan
sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian yang
lainnya, sehingga hubungannya menjadi kuat, bentuk
susunannya kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana
sebuah bangunan yang sangat kukuh.
16. Secara terminologis, al-Biqai menjelaskan munasabah ialah
suatu ilmu yang mengetahui alasan-alasan sistematis perurutan
bagian-bagian Alquran.
Dengan kata lain ilmu munasabah yaitu ilmu yang
membicarakan suatu ayat dengan ayat lain atau suatu surah
dengan surah lain,
Izz al-Din Ibn Abd al-Salam mengingatkan bahwa munasabah
merupakan ilmu yang baik, tetapi diisyaratkan agar ayat-ayat
yang dicari munasabah harus benar-benar menyangkut satu
masalah yang benar-benar berkaitan awal dan akhirnya
17. Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat /
beberapa surat Al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan
‘Am (umum) dan khusus
Lafaz-lafaz yang di-ma’rifah-kan dengan alyang bukan al-
‘ahdiyah.Misalnya : ٍ
رْسُخ ْيِفَل َانَسْنَِّلْا َّنِا ِ
رْصَعْال َو
( al-‘Asr : 1-2).
Maksudnya, setiap manusia, berdasarkan ayat selanjutnya : َْنيِذَّال ََّّلِا
ا ْوُنَمَا
( al-Asr :
Abstrak dan konkret -> Kalam pertama dan Nurun ala Nuur
يِف ٍةاَكْشِمَك ِه ِ
ورُن ُلَثَم ۚ ِ
ض ْرَ ْ
اْل َو ِتا َاوَمَّسال ُورُن ُ َّ
َّللا
ۖ ٍةَجاَجُز يِف ُحاَبْصِمْال ۖ ٌحاَبْصِم اَه
َارَبُّم ٍة َرَجَش نِم ُدَقوُي ٌّي ِ
ُرد ٌبَك ْوَك اَهَّنَأَك ُةَجاَجُّالز
َّيِب َْرغ َ
َّل َو ٍةَّيِق َْرش َّ
َّل ٍةَنوُتْي َز ٍةَك
اَكَي ٍة
اَهُتْي َز ُد
ۚ ٌَارن ُهْسَسْمَت ْمَل ْوَل َو ُءي ِ
ضُي
ٍ
ورُن ٰ
ىَلَع ٌورُّن
ُ َّ
َّللا ِيدْهَي ۗ
ۗ
ُ َّ
َّللا ُب ِ
ْرضَي َو ۚ ُءَاشَي نَم ِه ِ
ورُنِل
َلاَثْمَ ْ
اْل
ٌميِلََ ٍءْيَش ِلُكِب ُ َّ
َّللا َو ۗ ِ
اسَّنلِل
Sebab dan akibat
َّنلِل ًىدُه ُآنْرُقْلا ِهيِف َل ِ
نزُأ ِيذَّلا َانَضَمَر ُرْهَش
ْرُفْلاَو ٰ
َىدُهْلا َنِم ٍتاَنِيَبَو ِ
اس
َدَِهش نَمَف ۚ ِانَق
َلَع ْوَأ ًاضي ِ
رَم ََانك نَمَو ۖ ُهْمُصَيْلَف َرْهَّشال ُمُكنِم
َرَخُأ ٍامَّيَأ ْنِم ٌةَّدِعَف ٍ
رَفَس ٰ
ى
ۗ
ُمُكِب ُ َّ
َّللا ُدي ِ
رُي
َّدِعْلا واُلِمْكُتِلَو َرْسُعْلا ُمُكِب ُدي ِ
رُي َ
َلَو َرْسُيْلا
ْمُكَادَه اَم ٰ
ىَلَع َ َّ
َّللا واُرَِبكُتِلَو َة
َت ْمُكَّلَعَلَو
َونُُركْش
(
185
18. Illat dan ma’lulnya
: { ُدَتْعَت َ
َّل َو ْمُكَنوُلِتاَقُي َِينذَّال ِ َّ
َّللا ِليِبَس يِف واُلِتاَق َو
وُلُتْقا َو ،َِيندَتْعُمْال ُّب ِحُي َ
َّل َ َّ
َّللا َّنِإ وا
ْمُه
ُْثيَح
َشَأ ُةَنْتِفْال َو ْمُكوُجَرْخَأ ُْثيَح ْنِم ْمُهوُج ِ
رْخَأ َو ْمُهوُمُتْفِقَث
َمْال َدْنَِ ْمُهوُلِتاَقُت َ
َّل َو ِلْتَقْال َنِم ُّد
ِجْس
ىَّتَح ِام َرَحْال ِد
َكْال ُءا َزَج َكِلَذَك ْمُهوُلُتْقاَف ْمُكوُلَتاَق ْنِإَف ِهيِف ْمُكوُلِتاَقُي
ٌورُفَغ َ َّ
َّللا َّنِإَف ا ْوَهَتْنا ِنِإَف ،َين ِ
رِفا
ِحَر
ْمُهوُلِتاَق َو ،ٌمي
َ
لَف ا ْوَهَتْنا ِنِإَف ِ َّ ِ
ّلِل ُِينالد َونُكَي َو ٌَةنْتِف َونُكَت َ
َّل ىَّتَح
َينِمِلاَّالظ ىَلََ َّ
َّلِإ َان َوْدَُ } [ البقرة
:
190
-
193 ].
Rasional dan irasional
ۗ ِجَحْلاَو ِ
اسَّنلِل ُيتِقاَوَم َيِه ْلُق ۖ ِةَّلِهَ ْ
اْل َِنع َكَنوُلَأْسَي
نِم َوتُيُبْلا واُتْأَت نَأِب ُّرِبْلا َ
سْيَلَو
ِ
ورُهُظ
اَه
َّنِكَٰلَو
ۗ ٰ
ىَقَّتا ِنَم َّرِبْلا
Al-baqarah واُتْأَو
ْمُكَّلَعَل َ َّ
َّللا واُقَّتاَو ۚ اَهِباَوْبَأ ْنِم َوتُيُبْلا
َونُحِلْفُت
(
189
)
Bahkan antara dua hal yang kontradiksi.
َن يِف َينِك ِ
ْرشُمْلاَو ِباَتِكْلا ِلْهَأ ْنِم واُرَفَك َِينذَّلا َّنِإ
ُه َكِئَٰلوُأ ۚ اَهيِف َِيندِلاَخ َمَّنَهَج ِ
ار
ا َُّرش ْم
ِةَّي ِ
رَبْل
(
6
)
ْيَخ ْمُه َكِئَٰلوُأ ِتاَحِلاَّصال واُلَِمعَو واُنَمآ َِينذَّلا َّنِإ
ِةَّي ِ
رَبْلا ُر
(
7
)
Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar
dan paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah,
seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan
sebagainya.
Sebab ayat-ayat Al-Qur’an itu kadang-kadang
merupakan takhsish(pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan
kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang
abstrak.
19. Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti
kebahagiaan setelah amal sholeh dan seterusnya.
Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak
ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang
lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat
yang sesudahnya.
Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan
terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya
sama sekali.
Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak
adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu
dengan yang lain.
Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting,
karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-
Qur’an dalam menjangkau sinar petunjuknya.
20. Pada bagian ini muncul pertanyaan, apakah ilmu munasabah itu ada
atau tidak?
Pertama, pihak yang mengatakan secara pasti pertalian yang erat antara surat
dengan surat dan antara ayat dengan ayat (munasabah). Pihak ini diwakili oleh As-
Syaikh ‘Izz Ad-Din Ibn ‘Abd As-Salam atau ‘Abd Al-‘Aziz Ibn, Abd As-Salam
(577-600 H).
Menurut aliran ini, munasabah adalah ilmu yang mensyaratkan bahwa baiknya
kaitan pembicaraan (الكلم ارتب
ا
ط ) itu bila antara permulaan dan akhiranya terkait
menjadi satu. Apabila hubungan itu terjadi dengan sebab yang berbeda-beda,
tidaklah diisyaratkan adanya pertalian salah satunya dengan yang lain.
Kalau Al-Munasabah ditinjau secara terminologis, dalam hal ini munasabah bisa
berarti suatu pengetahuan yang di peroleh secara Aqli dan bukan di peroleh
secara tauqifi.
Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan-
hubungan, pertalian, atau keserupaan antara sesuatu itu. Demikian Az-Zarkasyi
mengemukakan pendapatnya tentang persoalan munasabah.
Sependapat dengan Az-Zarkasyi, Al-Qaththan menambahkan karena munasabah
dalam Al-Quran sifatnya Ijtihadi (berdasarkan ijtihad para mufassir) tidak berarti
seorang mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena Al-Quranul
Karim turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi,
seorang mufassir terkadang bisa menemukan hubungan antara ayat-ayat tapi
terkadang juga tidak, oleh sebab itu Ia tidak perlu memaksakan diri untuk
menemukan kesesuaian itu, sebab kalau memaksakan maka kesesuaian itu hanyalan
dibuat-buat dan hal ini tidak disukai.
21. Golongan ulama yang menolak adanya munasabah dalam al-Quran
diwakili oleh Ma’ruf Dualibi.
Ia paling keras menentang menggunakan munasabah untuk
menafsirkan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Quran. Ia
mengatakan, ‘maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan
adalah mencari-cari hubungan di antara ayat-ayat dan surat-surat al-
Quran.’
Karena menurutnya, “al-Quran dalam berbagai ayat yang
ditampilkannya hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip
(mabda) dan norma umum (kaidah) saja. Dengan demikian tidaklah
pada tempatnya bila orang bersikeras dan memaksakan diri mencari
korelasi (tanasub) antara ayat-ayat dan surat-surat yang bersifat
tafshil lantaran kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-
maknanya.
Mahmud Syaltut seorang ulama kontemporer, kurang setuju dengan
analisis munasabah dan menolak menjadikan munasabah sebagai
bagian dari ilmu-ilmu al-Quran. Ia tidak setuju dengan mufasir
yang menggunakan munasabah untuk menafsirkan al-Quran.
22. Nilai Pendidikan Dalam Munasabah Al-Qur’an.
Bertolak dari sisi konsepnya, ilmu munasabah dijadikan sebagai cara
kritis dalam menelaah keterkaitan antar ayat maupu surat dalam al-
Qur’an. Jadi, bila dikaitkan dengan konsep pendidikan yang
tentunya memiliki unsur dasar yang berupa kurikulum dan materi
ajar. Yang mana di dalam sebuah kurikulum pastilah terdapat :
a. Bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai
oleh proses belajar mengajar.
b. Bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data,
aktifitas-aktifitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan
bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata
pelajaran yang kemudian dimasukkan kedalam silabus.
c. Bagian yang berisi metode atau cara menyampaikan mata
pelajaran tersebut.
d. Bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan
pengukuran atas hasil mata pelajaran.
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2005), hal. 177.
23. أَلم وهللا
بالصواب
Tugas kita sebagai ulu al-albab, adalah
bersungguh-sunguh dalam mencari/menemukan
kebenaran.
Kebenaran yang hakiki hanya milik Allah SWT,
sebagai kebenaran muthlak