Tugas makalah ini membahas tentang distribusi solut antara dua pelarut yang tidak bercampur, yaitu air dan petroleum eter. Dilakukan ekstraksi larutan asam asetat ke dalam petroleum eter untuk menentukan koefisien distribusi melalui titrasi sebelum dan sesudah ekstraksi.
1. TUGAS MAKALAH
DISTRIBUSI SOLUT ANTARA 2 PELARUT YANG
BERCAMPUR SEBAGIAN
Tugas ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktikum Kinetika
Dan Kesetimbangan
Dosen pengampu : Dra. Ani Sutiani, M.Si
DISUSUN
OLEH:
NAMA KELOMPOK :
1. ESRA JULIANA HARIANJA (4172131015)
2. ADILA MAWADDAH (4173331001)
3. LINDA ROSITA (4173131020)
JURUSAN : KIMIA
KELAS : KIMIA DIK B 2017
KELOMPOK : VII (TUJUH)
PROGRAM : S-1 PENDIDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
2. I. TINJAUAN TEORI
Dalam kimia, larutan adalah campuran homogen yang terdiri dari dua zat atau lebih.
Zat yang jumlahnya lebih sedikit di dalam larutan disebut (zat) terlarut atau solut,
sedangkan zat yang jumlahnya lebih banyak daripada zat-zat lain dalam larutan disebut
pelarut atau solven. Komposisi zat terlarut dan pelarut dalam larutan dinyatakan dalam
konsentrasi larutan, sedangkan proses pencampuran zat terlarut dan pelarut membentuk
larutan disebut pelarutan atau solvasi. Bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling
bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut, maka akan
terjadi pembagian solut dengan perbandingan tertentu, hal ini sesuai menurut hukum
distribusi Nernst. Kedua pelarut tersebut umumnya pelarut organik dan air. Dalam
praktek solut akan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua pelarut tersebut setelah
dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua pelarut
tersebut tetap dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut
tetapan distribusi atau koefisien.
Nernst pertama kalinya memberi pernyataan yang jelas mengenai hukum distribusi
ketika tahun 1891, ia menunjukkan bahwa suatu zat terlarut akan membagi dirinya antara
dua cairan yang tidak dapat bercampur sedemikian rupa sehingga angka banding
konsentrasi pada kesetimbangan adalah konstanta pada suatu temperature tertentu.
Menurut hukum distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur
dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut maka akan terjadi
pembagian kelarutan.
Cukup diketahui berbagai zat-zat tertentu lebih mudah larut dalam pelarut-pelarut
tertentu dibandingkan dengan pelarut-pelarut yang lain. Jadi iod jauh lebih dapat larut
dalam karbon disulfida, kloroform, atau karbon tetraklorida. Lagi pula, bila cairan-cairan
tertentu seperti karbon disulfida dan air, eter dan air, dikocok bersama-sama dalam satu
bejana dan campuran kemudian dibiarkan, maka kedua cairan akan memisah menjadi dua
lapisan. Cairan-cairan seperti itu dikatakan sebagai tak-dapat-campur (karbon disulfida
dan air) atau setengah-campur (eter dan air), bergantung apakah satu ke dalam yang lain
hampir tak dapat larut atau setengah larut. Jika iod dikocok bersama suatu campuran
karbon disulfida dan air kemudian didiamkan, iod akan dijumpai terbagi dalam kedua
pelarut. Suatu keadaan kesetimbangan terjadi antara larutan iod dalam karbon disulfida
dan larutan iod dalam air (Vogel. 1986).
3. Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan bila suatu zat terlarut terdistribusi
antara dua pelarut yang tak-dapat-campur, maka pada suatu temperature yang konstan
untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding distribusi yang konstan antara kedua
pelarut itu, dan angka banding distribusi ini tidak bergantungpada spesi molekul lain
apapun yang mungkin ada. Harga angka banding berubah dengan sifat dasar kedua
pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan temperature (Svehla, 1990).
Dalam praktek solute akan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua pelarut
tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solute di dalam
kedua pelarut tersebut tetap dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan
tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi. Koefisien distribusi
dinyatakan dengan berbagai rumus sebagai berikut : Kd= C2/C1 atau Kd= Co/Ca dengan
Kd = Koefisien distrribusi, dan C1, C2, Co, dan Ca adalah konsentrasi solute pada pelarut
1,2 organik dan air.
Hukum Fase Gibb’s menyatakan bahwa P + V = C = 2 dimana P = fase, C =
komponen, V = derajat kebebasan. Pada ekstraksi pelarut, kita mempunyai P = 2, yaitu
fase air dan organic, C = 1, yaitu zat terlarut di dalam pelarut dan fase air pada
temperature dan tekanan tetap, sehingga V = 1. Jadi kita dapatkan ; 2 + 1 = 1 + 2, yaitu P
+ V = C + 2. Menurut hukum distribusi Nernst, jika [X1] adalah konsentrasi zat terlarut
dalam fase 1 dan [X2] adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 2, maka pada
kesetimbangan X1 dan X2 di dapat KD K_D= ([X_2])/([X_1]) dimana KD = koefisien
partisi. Partisi atau koefisien distribusi ini tidak bergantung pada konsentrasi total zat
terlarut pada kedua fase tersebut. Pada persamaan di atas, kita tidak menuliskan koefisien
aktivitas zat pada fase organic maupun fase air. Iod mampu larut dalam air dan juga
dalam kloroform. Akan tetapi, perbedaan kelarutannya dalam kedua pelarut tersebut
cukup besar. Dengan mengekstraksi larutan iod dalam air ke dalam kloroform,
menghitung konsentrasi awal dari iod dalam air dengan cara titrasi, maka dapat diperoleh
konsentrasi iod dalam kedua pelarut tersebut, sehingga koefisien distribusi iod dalam
system kloroform air dapat ditentukan (Khopkar, 2007).
Ekstraksi pelarut atau sering disebut juga ekstraksi air merupakan metode pemisahan
atau pengambilan zat terlarut dala m larutan (biasanya dalam air) dengan menggunakan
pelarut lain (biasanya organik). Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut
(solute) di antara dua fasa cair yang tidak saling bercampur. Teknik ekstraksi sangat
4. berguna untuk pemisahan secara cepat dan “bersih” baik untuk zat organik maupun zat
anorganik. Cara ini juga dapat digunakan untuk analisis makro maupun mikro. Selain
untuk kepentingan analisis kimia, ekstraksi juga banyak digunakan untuk pekerjaan-
pekerjaan preparatif dalam bidang kimia organik, biokimia dan anorganik di
laboratorium. Alat yang digunakan dapat berupa corong pemisah (paling sederhana), alat
ekstraksi soxhlet sampai yang paling rumit berupa alat “Counter Current Craig”.
Pada metode ekstraksi cair-cair, ekstraksi dapat dilakukan dengan cara bertahap
(batch) atau dengan cara kontinyu. Cara paling sederhana dan banyak dilakukan adalah
ekstraksi bertahap. Tekniknya cukup dengan menambahkan pelarut pengekstrak yang
tidak bercampur dengan pelarut pertama melalui corong pemisah, kemudian dilakukan
pengocokan sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi solut pada kedua pelarut. Setelah
didiamkan beberapa saat akan terbentuk dua lapisan dan lapisan yang berada di bawah
dengan kerapatan lebih besar dapat dipisahkan untuk dilakukan analisis selanjutnya. Cara
ini digunakan jika harga D cukup besar (˃ 1000). Bila hal ini terjadi, maka satu kali
ekstraksi sudah cukup untuk memperoleh solut secara kuantitatif. Nmaun demikian,
ekstraksi akan semakin efektif jika dilakukan berulangkali menggunakan pelarut dengan
volume sedikit demi sedikit (Yazid, 2005).
Titrasi adalah cara analisis untuk menghitung jumlah cairan yang dibutuhkan untuk
bereaksi dengan sejumlah cairan lain yang diketahui volumenya sampai terjadi reaksi
sempurna. Atau dengan perkataan lain untuk mengukur volume titran yang diperlukan
untuk mencapai titik ekivalen.. Titik ekivalen adalah saat yang menunjukkan bahwa
ekivalen perekasi-pereaksi sama. Di dalam prakteknya titik ekivalen sukar diamati,
karena hanya meruapakan titik akhir teoritis atau titik akhir stoikometri. Suatu cairan
yang mengandung reaktan ditempatkan dalam buret, sebuah tabung yang panjang salah
satu ujungnya terdapat kran (stopkok) dengan skala milimeter dan sepersepuluh
milimeter. Cairan di dalam buret disebut titran dan pada titran ditambah indikator,
perubahan warna indikator menandai habisnya titrasi Hal ini diatasi dengan pemberian
indikator asam-basa yang membantu sehingga titik akhir titrasi dapat diketahui. Titik
akhir titrasi meruapakan keadaan di mana penambahan satu tetes zat penitrasi (titran)
akan menyebabkan perubahan warna indikator. (Wahyudi,2000).
II. ALAT DAN BAHAN
III. PROSEDUR KERJA
5. IV. PEMBAHASAN
Pada percobaan ini dilakukan untuk menentukan konstanta kesetimbangan suatu
solute terhadap dua pelarut yang tidak bercampur. Pelarut yang umum dipakai adalah
pelarut air dan pelarut organik lain seperti kloroform, petroleum eter, dan benzena atau
CCl4. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan
tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur, batasannya adalah zat terlarut
dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua fase tersebut. Pemisahan dapat
dilakukan dengan mengocok-ngocok dalam corong pemisah selama beberapa menit
Solute yang digunakan pada percobaan ini yakni larutan CH3COOH (asam asetat), di
mana digunakan beberapa variasi konsentrasi asam asetat (1 M, 0,8 M, 0,6 M, 0,4 M, dan
0,2 M). Sedangkan kedua pelarut yang tidak saling bercampur yakni digunakan akuades
(pelarut air) dan petroleum eter (pelarut organic). Antara akuades dan petroleum eter
memiliki sifat keporalan yang berbeda, sehingga antara kedua pelarut tersebut tidak akan
bercampur. Sementara itu, asam asetat akan terdistribusi ke dalam dua fasa pelarut
tersebut.
Sebelum dilakukan proses ekstraksi, pada larutan asam asetat perlu dititrasi terlebih
dahulu menggunakan larutan NaOH 0,5 M. Tujuan awal titrasi ini untuk mengetahui
konsentrasi sebenarnya (standarisasi) dari asam asetat. Hal itu dilakukan untuk
mengantisipasi perubahan konsentrasi asam asetat saat proses penyimpanan yang
disebabkan oleh larutan yang bereaksi dengan senyawa lain di udara. Asam asetat dititrasi
dengan larutan NaOH karena asam asetat merupakan suatu asam, maka perlu dititrasi
dengan larutan yang bersifat basa (larutan NaOH merupakan basa), sehingga titrasi yang
terjadi merupakan titrasi asam-basa. Semakin tinggi konsentrasi asam asetat, maka
semakin banyak larutan standar NaOH 0,5 M yang diperlukan untuk mencapai titik
ekivalen.
Pada titrasi CH3COOH dan NaOH digunakan indicator fenolftalein (PP). Penggunaan
indicator PP ini dikarenakan reaksi yang terjadi yakni antara asam lemah (CH₃COOH)
dan basa kuat (NaOH). Sehingga dimungkinkan saat mencapai titik ekivalen larutan akan
cenderung bersifat basa. Seperti yang telah diketahui bahwa indicator PP memiliki range
pH antara 8,2 – 10 (pH basa). Indicator ini akan menunjukkan perubahan warna dari
bening menjadi merah muda saat mencapai titik akhir titrasi.
6. Perubahan warna yang terjadi pada indicator PP saat kondisi asam dan basa adalah
sebagai berikut.
Warna awal larutan asam asetat saat telah ditambahkan indicator PP yakni bening.
Saat mulai dititrasi dengan larutan NaOH maka perlahan-lahan larutan akan menunjukkan
perubahan, di mana pada saat mencapai titik akhir titrasi larutan berubah warna menjadi
merah muda. Hal ini menunjukkan bahwa larutan telah sedikit melebihi titik ekivalennya.
Warna merah muda pada larutan menunjukkan warna indicator PP yang berubah karena
suasana larutan yang telah menjadi basa.
Reaksi yang terjadi pada proses titrasi antara asam asetat dan NaOH adalah sebagai
berikut.
Penambahan larutan petroleum eter ke dalam asam asetat saat proses ekstraksi di
dalam corong pisah agar terjadi pendistribusian asam asetat pada dua fasa. Pada proses
ekstraksi, campuran asam asetat dan PE harus dikocok dahulu untuk membuat dua fasa
larutan tercampur. Selain itu pengocokan ini akan mengakibatkan terjadinya distribusi zat
terlarut (asam asetat) ke dalam fasa organik dan fasa air, di mana pengocokan disini untuk
memperbesar luas permukaan untuk membantu proses distribusi asam asetat pada kedua
fasa.
Saat proses pengocokan berlangsung, keran corong pisah perlu dibuka untuk
melepaskan tekanan uap yang berlebihan dalam corong. Gas tersebut berasal dari
petroleum eter yang mudah menguap. Hal ini perlu dilakukan karena kelebihan tekanan
gas pada corong dapat menyebabkan terjadinya ledakan pada corong pisah. Pelepasan
tekanan gas pada corong dilakukan sampai tidak ada gas yang dikeluarkan dari corong.
7. Corong pisah perlu didiamkan beberapa saat agar pemisahan antara dua fasa berlangsung
sempurna.
Saat tercapai kesetimbangan, larutan dalam corong pisah akan membentuk dua
lapisan. Kedua lapisan tersebut merupakan dua fasa yang tidak saling bercampur. Lapisan
organic yang mengandung petroleum eter berada pada lapisan atas, sedangkan lapisan air
berada pada lapisan bawah. Kedua lapisan tersebut terbentuk karena ekstraksi
menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur, di mana zat terlarut akan
terdistribusi ke dalam dua fasa tersebut. Lapisan organic berasa di atas, karena adanya
perbedaan massa jenis antara petroleum eter dan air, di mana massa jenis air lebih besar
dibandingkan massa jenis petroleum eter (massa jenis air sekitar 0,99 g/ml, sedangkan
massa jenis petroleum eter sekitar 0,66 g/ml).
Asam asetat setelah mengalami proses ekstraksi akan terdistribusi ke dalam dua fasa.
Sehingga, larutan pada fasa air (lapisan bawah) yang diperoleh dari proses ekstraksi
tentunya juga mengandung senyawa asam asetat. Konsentrasi asam asetat pada fasa air ini
dapat diketahui dengan menitrasi larutan dengan larutan standar NaOH 0,5 M
menggunakan indicator PP.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa volume NaOH 0,5 M yang digunakan untuk
menitrasi setelah proses ekstrasksi lebih sedikit dibandingkan saat titrasi asam asetat pada
kondisi awal. Hal itu berarti terjadinya penurunan konsentrasi asam asetat dalam larutan
yang disebabkan asam asetat yang telah terdistribusi ke dalam dua fasa pada saat proses
ekstraksi.
Asam asetat merupakan jenis pelarut polar protic, di mana protik menunjukkan atom
hidrogen yang menyerang atom elektronegatif yang dalam hal ini adalah oksigen.
Sedangkan asam asetat memiliki konstanta dielektrik “sedang” yaitu 6,2, di mana
konstanta dielektrik dijadikan pengukur relatif dari kepolaran suatu pelarut (semakin
besar konstanta dielektrik, maka semakin polar). Nilai konstanta dielektrik asam asetat
yang “sedang” menjadikan asam asetat dapat pula larut dalam beberapa pelarut polar
seperti akuades, walaupun akan lebih cenderung larut ke pelarut non polar. Hal itulah
yang menyebabkan saat proses ekstraksi, asam asetat akan terdistribusi ke dua fasa (fasa
air dan organic) karena sifat asam asetat yang dapat larut baik dalam pelarut polar (air)
maupun non polar (organic).
8. Nilai K (konstanta kesetimbangan) dapat diperoleh dengan dibuat grafik hubungan
antara ln C(PE) vs ln C(air) di mana membentuk garis linear dengan slope n dan intersep
. Berdasarkan hasil percobaan distribusi solute (asam asetat) terhadap petroleum
eter dan air yaitu terdistribusi baik di dalam dua pelarut tersebut. Hal ini karena
CH3COOH dapat larut dalam pelarut polar (air) maupun pelarut non-polar (petroleum
eter).
Berdasarkan hasil percobaan grafik hubungan antara ln C(PE) vs ln C(air) membentuk
garis linear dengan persamaan garis y = 1,458x – 2,595 dengan nilai R2=0,949. Sehingga,
diperoleh nilai n yakni 1,458 dan K yakni 19,532
Nilai K yang diperoleh lebih dari 1, menunjukkan bahwa asam asetat lebih
terdistribusi ke fasa organic (PE). Hal ini terjadi karena nilai konstanta dielektriknya yang
“sedang” yakni 6,2 yang menunjukkan kepolaran yang rendah menyebabkan asam asetat
akan lebih larut ke dalam pelarut organic (PE). Diketahui bahwa konstanta dielektrik PE
yakni sekitar 1,8, sedangkan jika dibandingkan dengan konstanta dielektrik air yakni 80,
maka tentu asam asetat akan lebih terlarut dalam PE karena perbedaan kepolaran asam
asetat dan PE yang tidak terlalu jauh.
V. KESIMPULAN
VI. DAFTAR PUSTAKA
Svehla. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Bagian
I. Jakarta : PT Kalman Media Pustaka
Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif (edisi ke-enam). Jakarta, Erlangga.
Vogel. 1986. Analisis Anorganik Kualitatif. Jakarta: Kalman Media Pustaka.
Wahyudi. 2000. Jurnal Kimia dan Larutan. Jurusan Kimia UNESA, Surabaya.
Yazid, E. 2005. Kimia Fisika untuk Paramedis. Jakarta: UI Press