Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Analisis Kinerja Pilot
1. Seminar Hasil 1
ANALISIS KINERJA DAN
BEBAN KERJA PILOT DALAM KAITANNYA DENGAN
KECELAKAAN PESAWAT TERBANG;
Studi Kasus Penerbangan Sipil di Indonesia
Diajukan Oleh :
Abadi Dwi Saputra
12/341003/STK/00384
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2. 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penemuan terbesar setelah alphabet (tulisan) yang telah mengubah dan
membawa kemajuan dalam kebudayaan dan kesejahteraan manusia adalah
penemuan peralatan transportasi, dimulai dengan berhasil diciptakannya sebuah
roda yang mendorong kemajuan alat angkut didarat, dilanjutkan dengan
penemuan kompas yang membuka kesempatan berlayar lebih jauh serta mesin uap
pada masa revolusi industri yang dipakai sebagai alat penggerak kendaraan
bermotor, kapal dan kereta api. Penemuan selanjutnya yang sangat mempengaruhi
sistem transportasi adalah dengan ditemukannya mesin turbin gas, yang kemudian
menjadi turbo jet yang digunakan pada pesawat terbang.
Kemajuan dan perkembangan alat pengangkutan (transportasi)
mengakibatkan tidak ada lagi titik-titik tujuan di muka bumi yang tidak dapat
dicapai oleh manusia, tidak ada lagi batasan dalam berat dan volume yang bisa
diangkut, manusia tidak membutuhkan waktu berhari-hari, berminggu-minggu
maupun berbulan-bulan dalam menempuh perjalanan untuk berpergian ketempat
yang dahulu dikatakan letaknya jauh dari tempat dia berdiam. Sebagaimana akibat
dari adanya kebutuhan pergerakan manusia dan barang, maka tumbuhlah tuntutan
untuk menyediakan sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya agar
pergerakan tersebut bisa berlangsung dengan kondisi aman, nyaman dan lancar
serta ekonomis dari segi waktu dan biaya.
Banyak ahli telah merumuskan dan mengemukakan pengertian transportasi.
Para ahli memiliki pandangannya masing-masing yang mempunyai perbedaan dan
persamaan antara yang satu dengan yang lainnya, Papacostas (1993) menguraikan
bahwa:
“Transportasi adalah suatu sistem yang memungkinkan orang atau barang
dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lain secara efisien dalam
setiap waktu untuk mendukung aktifitas yang diperlukan manusia. Dalam
2
3. transportasi ada dua unsur yang terpenting yaitu pemindahan/pergerakan
(movement) dan secara fisik mengubah tempat dari barang (comodity) dan
penumpang ke tempat lain”.
Maksud dari definisi tersebut adalah pengangkutan/transportasi
memungkinkan orang (people) maupun barang (comodity) untuk dapat berpindah
dari satu tempat ke tempat lain (origin to destination) dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan dan aktifitas yang diperlukan oleh manusia.
Sementara itu menurut Morlok (1985) tentang pengertian transportasi
mengungkapkan bahwa:
“Transportasi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi tidak hanya
untuk melakukan perjalanan, tetapi untuk mencapai tujuan lainnya,
sehingga transportasi merupakan kebutuhan yang diturunkan atau
kebutuhan ikutan yang timbul dari kebutuhan akan jasa atau barang”.
Selanjutnya, menurut Bowersox, seperti yang dikutip oleh Setijowarno
(2004) mengartikan bahwa:
“Transportasi adalah perpindahan barang atau penumpang dari suatu
lokasi ke lokasi lain, dengan produk yang digerakan atau dipindahkan ke
lokasi yang dibutuhkan atau diinginkan. Pada prinsipnya dalam
transportasi secara garis besar dibedakan atas transportasi darat, laut dan
udara. Selain itu sistem transportasi juga memiliki fungsi pokok sebagai
berikut:
1. Menggerakan obyek yang diangkut baik penumpang, hewan dan
barang;
2. Melindungi obyek yang diangkut;
3. Mengendalikan kecepatan dan arah dari gerakan sehingga keamanan
perjalanan dapat terjamin.”
Ketiga definisi mengenai pengertian transportasi tersebut memperlihatkan
bahwa transportasi merupakan proses pemindahan, proses pergerakan, proses
pengangkutan objek (manusia atau barang) dari satu tempat ketempat lain dengan
menggunakan wahana yang digerakkan baik oleh manusia ataupun mesin untuk
menjamin lancarnya proses pemindahan sesuai dengan waktu yang diinginkan,
3
4. dimana ditempat lain ini objek (manusia atau barang) tersebut dapat lebih
bermanfaat dan dapat berguna untuk tujuan-tujuan tertentu. Transportasi
digunakan untuk memudahkan manusia untuk melakukan aktivitas sehari-sehari
dan merupakan hal penting dan strategis serta mempengaruhi hampir semua aspek
kehidupan manusia. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
transportasi merupakan urat nadi perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia.
Aktivitas perkembangan transportasi di Indonesia yang terdiri dari berbagai matra
(transportasi darat, transportasi laut, transportasi udara, transportasi kereta api,
dan transportasi lainnya) semakin meningkat. Hal ini merupakan dampak dari
aktivitas perekonomian dan aktivitas sosial budaya dari masyarakat.
Seiring dengan peningkatan aktivitas transportasi secara nasional baik dalam
matra transportasi darat, laut, udara, dan perkeretaapian tersebut, maka tuntutan
akan peningkatan kualitas pelayanan, keamanan dan keselamatan transportasi juga
semakin dirasakan.
Menyadari pentingnya peranan transportasi maka penyelenggaraan
transportasi harus ditata sehingga menjadi suatu sistem transportasi nasional yang
handal secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang
seimbang dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan yang
selamat, aman, cepat, lancar, tertib, nyaman dan efisien. Dalam mewujudkan
transportasi yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, nyaman dan efisien maka
aspek keselamatan harus menjadi prioritas utama dalam transportasi, baik di darat,
laut maupun udara, karena indikator dari penyelenggaraan transportasi yang
berbasis keselamatan adalah apabila angka kecelakaan dapat ditekan serendah
mungkin. Namun pada kenyataannya aspek ini masih belum sepenuhnya
menunjukan kinerja yang baik.
Beberapa peristiwa kecelakaan transportasi seperti yang terjadi pada waktu
lalu dapat dijadikan contoh bahwa kendati telah memenuhi standar prosedur
keselamatan yang berlaku, namun kesalahan sekecil apapun dapat menimbulkan
ancaman bagi keselamatan transportasi. Kecelakaan seringkali menimbulkan
korban jiwa maupun kerugian material dan imaterial yang seringkali tidak sedikit
jumlahnya.
4
5. Kecelakaan transportasi baik itu transportasi darat, laut dan udara akan
selalu mendapat perhatian yang besar dari masyarakat luas, ini disebabkan karena
sektor transportasi merupakan sektor yang mempunyai peran penting dalam
perekonomian suatu daerah/negara dan bersifat menghubungkan suatu daerah
dengan daerah lain, karenanya setiap terjadi kecelakaan pada moda ini secara
otomatis akan menarik perhatian masyarakat secara luas dan khususnya
kecelakaan pada sektor transportasi udara (kecelakaan pesawat terbang) lebih
menarik perhatian publik karena pesawat terbang sebagai salah satu dari moda
transportasi yang ada merupakan sarana perhubungan yang cepat, efisien, dan
nyaman sehingga merupakan pilihan yang paling tepat dalam kehidupan dunia
modern yang menuntut segala sesuatu serba cepat dan efisien. Pesawat terbang
mempunyai karakteristik antara lain mampu menempuh perjalanan untuk
mencapai tempat tujuan dalam waktu cepat, menggunakan serta melibatkan
teknologi tinggi dalam pengoperasiannya, tidak mengenal batas suatu daerah
maupun negara, dan yang paling utama adalah pesawat terbang memiliki tingkat
keamanan dan keselamatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan moda
transportasi lainnya (Martono, 1987).
Kegiatan penerbangan, baik dengan mengoperasikan pesawat terbang sipil
maupun pesawat terbang negara dapat menimbulkan resiko yang tidak diinginkan.
Berbagai resiko akibat kegiatan penerbangan dapat berupa gangguan sonic boom,
tabrakan pesawat, kecelakaan pesawat yang semuanya dapat menimbulkan
kerugian terhadap manusia dan benda di darat. Oleh karena itu terjadinya suatu
kecelakaan penerbangan seringkali menjadi sorotan publik meskipun probalilitas
terjadi kecelakaan persejuta penerbangan sangat kecil bila dibanding moda
tranportasi lainnya. Dalam angka kematian perjalanan per-juta kilometer (death
per million kilometer) moda angkutan udara mendapat indeks (0,05) bermakna
setiap perjalanan sejauh sepuluh juta kilometer terdapat lima orang meninggal,
bandingkan dengan indeks bus (0,4), kereta api (0,6), kapal (2,6), pejalan kaki
(54,2) dan sepeda motor (108,9). (Poerwoko, 2011).
Dalam dunia penerbangan dikenal 3 macam pengertian kecelakaan pesawat
terbang yakni kecelakaan (accident), kejadian serius (serious incident) dan
5
6. kejadian/insiden (incident). Accident adalah suatu peristiwa yang terjadi diluar
dugaan manusia yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat yang
berlangsung sejak penumpang naik pesawat (boarding) dengan maksud
melakukan penerbangan sampai waktu semua penumpang turun dari pesawat
(debarkasi), dimana dalam peristiwa tersebut mengakibatkan orang meninggal
dunia atau luka parah baik secara langsung maupun tidak langsung atau pesawat
mengalami kerusakan-kerusakan struktural yang berat dan pesawat memerlukan
perbaikan yang besar atau pesawat hilang sama sekali. Sementara itu serious
incident adalah suatu “incident” yang menyangkut keadaan dan yang
mengindikasikan bahwa suatu “accident” nyaris terjadi. Perbedaan antara suatu
“accident” dengan suatu “serious incident” hanya terletak pada akibatnya.
Sedangkan incident adalah peristiwa yang terjadi selama penerbangan
berlangsung yang berhubungan dengan operasi pesawat yang dapat
membahayakan terhadap keselamatan penerbangan (ICAO-Annex 13, 2001).
Salah satu permasalahan yang menonjol di penerbangan adalah bila terjadi
frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat terbang yang meningkat. Meningkatnya
insiden dan kecelakaan dapat merupakan indikator bagi kesiapan operasional
penerbangan. Frekuensi kecelakaan pesawat terbang niaga/komersial di Indonesia
adalah rata-rata 9 kali pertahun, sedangkan di negara Asia lainnya hanya 3-4 kali
pertahun. Angka ini merupakan kesimpulan penelitian Lembaga Penerbangan
Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization), dan kecelakaan
yang dimaksud adalah kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan
fisik pesawat rusak serius (Wibisana, 2007). Hal ini menunjukkan betapa tinggi
angka kecelakaan pesawat terbang di Indonesia.
Sementara itu International Air Transport Association (IATA)
menyimpulkan tingkat keamanan penerbangan di Indonesia termasuk rendah,
yaitu sebesar 1,3 jauh dari angka ideal untuk keselamatan penerbangan ditetapkan
0,35. Keselamatan penerbangan Indonesia kalah jauh jika dibandingkan dengan
Negara lain. IATA memberikan angka 0,0 untuk standar keselamatan di Cina,
Amerika 0,2 dan Negara di Eropa 0,3, namun Indonesia masih lebih baik dari
rata-rata perusahaan penerbangan di Timur Tengah 3,8 dan Amerika Latin 2,6,
6
7. sementara rata-rata standar keselamatan internasional berkisar 0,6, semakin besar
angka standar keamanannya, maka semakin buruk standar keamanannya.
Penelitian dilakukan terhadap operator penerbangan yang menjadi anggota IATA
(Wibisana, 2007).
Gaung kecelakaan sebuah pesawat terbang dimanapun terjadi, terutama yang
memakan korban (fatal accident), tidak dipengaruhi oleh banyak sedikitnya
jumlah korban yang jatuh. Setiap terjadi kecelakaan fatal, informasi akan
dipublikasikan secara cepat keseluruh dunia dan akan menambah daftar jumlah
kecelakaan dan penilaian yang buruk bagi negara tersebut dimata dunia.
Terjadinya suatu kecelakaan seringkali melibatkan berbagai faktor yang
mempengaruhi. Suatu kecelakaan tidak selalu serta merta terjadi tanpa adanya
peristiwa-peristiwa terdahulu yang mengarah pada terjadinya kecelakaan.
Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi secara bertahap namun masih dalam batas
toleransi tertentu. Suatu ketika akumulasi peristiwa tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya kecelakaan karena telah melewati batas toleransi.
Kecelakaan pesawat terbang sesungguhnya berkaitan erat dengan
keselamatan terbang dan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab penerbang
seorang diri tetapi dipengaruhi oleh satu atau lebih gabungan dari tiga faktor
utama dalam penerbangan yaitu manusia, mesin dan media. Faktor manusia
meliputi kesiapan manusia yaitu kesiapan penerbang beserta awak lainnya. Faktor
mesin menunjuk pada pesawat terbang itu sendiri, sedangkan faktor media
meliputi gejala alam, yaitu keadaan cuaca, medan, ketinggian dan angin.
Lebih terperinci lagi, Kahar (1987) mengatakan bahwa untuk
mengantisipasi kecelakaan terbang perlu diperhatikan konsep 5M sebagai berikut:
1. Man, yaitu unsur manusia yang dalam hal ini adalah penerbang sebagai unsur
pokok;
2. Machine, yaitu mesin pesawat terbang;
3. Mission, yaitu penentuan tujuan penerbangan dengan berbagai macam resiko
yang mungkin dihadapi. Hal ini tergantung pula dari jenis perjanjian dan
perintah;
4. Medium, yaitu cuaca dalam penerbangan dan hambatan infrastruktur;
7
8. 5. Management, yang mencakup, seleksi, pendidikan, latihan, perlengkapan
keamanan terbang, dan pengendalian opersional.
Kelima komponen tersebut hampir tidak pernah berdiri sendiri melainkan saling
terkait.
Pada umumnya suatu kecelakaan pesawat terbang terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor, dalam Safety Management Manual (SMM) yang diterbitkan oleh
International Civil Aviation Organization (ICAO) membagi faktor penyebab
kecelakaan pesawat terbang dalam 4 (empat) kelompok yaitu:
1. Faktor software yaitu : kebijakan, prosedur dan lain-lain
2. Faktor hardware yaitu : prasarana dan sarana
3. Faktor environment yaitu : lingkungan dan cuaca
4. Faktor liveware yaitu : manusia
Dari keempat faktor tersebut oleh FAA (Federal Aviation Administrations)
disimpulkan ada 3 (tiga) faktor penyebab utama kecelakaan pesawat terbang yaitu
faktor cuaca (weather), faktor pesawat yang digunakan (technical) dan faktor
manusia (human factor).
Transportasi udara terselenggara apabila ada interaksi antar faktor manusia
dengan faktor lainnya demikian pula dengan kecelakaan pesawat terbang terjadi
karena adanya interaksi antar faktor manusia dan faktor penyebab kecelakaan
lainnya. Interaksi antar faktor manusia dengan faktor-faktor lainnya dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Antar faktor manusia dengan faktor prasarana dan sarana penerbangan;
2. Faktor manusia dengan faktor software, yang dalam hal ini adalah
ketidakjelasan aturan, kebijakan dan SOP (Standard Operating Procedure)
dan lain-lain yang berhubungan dengan peraturan keselamatan penerbangan;
3. Faktor manusia dengan manusia, interaksi disini dipengaruhi oleh
kepemimpinan, kerjasama, budaya kerja dan lingkungan kerja juga dapat
menyebabkan kecelakaan pesawat terbang;
4. Faktor manusia dengan lingkungan, baik lingkungan dalam perusahaan
maupun luar perusahaan, lingkungan dalam perusahaan adalah kenyamanan
dalam bekerja sedangkan lingkungan diluar dimaksudkan adalah faktor alam
8
9. diantaranya kondisi cuaca, hujan, turbulance dan hal-hal lain yang dapat
menyebabkan kecelakaan pesawat terbang.
Kemajuan industri penerbangan yang pesat dalam beberapa puluh tahun
terakhir ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat terbang
generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi berbagai peralatan
operasional termasuk prosedur-prosedur ATC (Air Traffic Controller). Hal ini
tidak dapat dipungkiri memberikan dampak pada operator, penerbang pada
khususnya, untuk lebih memperhatikan beberapa persyaratan kemampuan dan
keterampilan yang harus dipenuhi. Faktor manusia menjadi penting terutama
tuntutan pada aspek-aspek psikologis tertentu, mengingat kemajuan teknologi
memberikan dampak pada meningkatnya tuntutan terhadap kemampuan yang
berhubungan dengan kompleksitas kognitif. Perhatian terhadap aspek psikologi
faktor manusia menjadi penting, kegagalan padanya dapat menyebabkan
kecelakaan. Oleh karena itu, selama beberapa dekade belakangan ini berbagai
upaya terus dilakukan untuk mencegah berulangnya kecelakaan pesawat terbang.
Namun pada kenyataannya berbagai upaya tersebut tidak menurunkan angka
kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia (human error).
Dari berbagai laporan resmi penyelidikan tentang sebab-sebab kecelakaan
dapat digambarkan bahwa angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan
kesalahan manusia relatif tetap besar. Menurut FAA (Federal Aviation
Administration) terdapat tiga faktor penyebab kecelakaan yaitu faktor cuaca
(weather) sebesar 13,2 %, armada (pesawat) yang digunakan sebesar 27,1 % dan
hampir 66% dari keseluruhan kecelakaan (accidents) maupun insiden (incidents)
penerbangan disebabkan karena kesalahan manusia (human error) dalam
mengoperasikan sistem penerbangan itu sendiri (Susetyadi, et.al. 2008). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Boeing dan ICAO selama tahun 1959 sampai
dengan tahun 2005 (Sudjono, 2009), seperti yang ditunjukan pada Tabel 1.1,
menemukan bahwa faktor manusia (human factor) merupakan penyebab terbesar
penyebab kecelakaan penerbangan.
9
10. Tabel 1.1 Penyebab utama kecelakaan pesawat terbang (presentase)
Sumber: Sudjono 2009
Demikian pula data yang diambil dari (www.planecrashinfo.com) pada
Tabel 1.2, menyebutkan dari statistik kecelakaan semua jenis pesawat komersial
seluruh dunia dari tahun 1950an hingga 2000an, kecelakaan rata-rata akibat awak
penerbangan (pilot error) mencapai 50 %, disusul faktor pesawat (mechanical
failure) 22 %, cuaca (weather) 12 %, sabotase 9 %, kesalahan manusia lainnya
(other human factor) 7 % dan lain-lain 1 %.
Tabel 1.2 Penyebab kecelakaan pesawat terbang di Dunia (persentase)
Sumber: http://www.planecrashinfo.com/cause.htm
NO Penyebab
Boeing
1959-1979
Boeing
1980-1989
Boeing
1990-1999
ICAO
1994-1995
Boeing
1996-2005
1 Awak pesawat 75,6 72,5 67 62 55
2 Pesawat 11,1 10,8 11 14 17
3 Perawatan 1,2 2,5 7 12 3
4 Cuaca 4,9 5 6 4 13
5 Bandar udara/ATC 3,7 5 4 4 5
6 Lain-lain 33 4,2 4 4 7
NO Penyebab 1950an 1960an 1970an 1980an 1990an 2000an rata-rata
1 Pilot Error 41 34 24 26 27 30 29
2
Pilot Error
(weather related)
10 17 14 18 19 19 16
3
Pilot Error
(mechanical related)
6 5 5 2 5 5 5
4 Total Pilot Error 57 56 43 46 51 54 50
5 Other Human Factor 2 9 9 6 9 5 7
6 Weather 16 9 14 14 10 8 12
7 Mechanical Failure 21 19 20 20 18 24 22
8 Sabotage 5 9 13 13 11 9 9
9 Other Cause 0 2 1 1 1 0 1
10
11. Hal yang sama tampaknya terjadi pula di penerbangan nasional, dicurigai
bahwa tingginya frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat terbang berhubungan
dengan sebab-sebab pada faktor manusia. Menurut data yang dihimpun oleh
KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) Kementerian Perhubungan
RI, selama kurun waktu 1988-2012 (per Agustus 2012) telah terjadi 914 kali
insiden dan kecelakaan penerbangan sipil/komersial di tanah air. Di antaranya
terjadi 414 kecelakaan (serious incident dan accident), atau ± 17 kali terjadi
kecelakaan per tahun. Sedangkan jika diklasifikasikan kecelakaan pesawat terbang
berdasarkan penyebabnya pada Tabel 1.3, dari data tahun 2007 s/d Agustus 2012
ditemukan bahwa faktor penyebab kecelakaan dari aspek manusia (human factor)
kurang lebih sebesar 35,2% (45 kasus); faktor teknis (technical) sebesar 26,6%
(34 kasus), sisanya merupakan penyebab dari aspek lingkungan (environment)
sebesar 4% (5 kasus) dan hal-hal yang belum teridentifikasi secara jelas
(unidentified) sebesar 34,4% (44 kasus).
Tabel 1.3 Penyebab kecelakaan pesawat terbang di Indonesia (jumlah)
Ket: * faktor penyebab masih diperkirakan, karena beberapa laporan final belum diselesaikan
Sumber: KNKT
Dari data di atas, baik kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di dunia
maupun di Indonesia, faktor penyebab utama adalah faktor manusia (human
factor) sehingga konsekuensinya kesalahan faktor manusia selalu diletakkan pada
individu, dalam hal ini penerbang (pilot).
NO Tahun Investigasi
Faktor Penyebab Utama
Faktor
Manusia
Teknis Lingkungan Cuaca
1 2007 21 15 5 1 0
2 2008 21 6 12 3 0
3 2009 21 12 9 0 0
4 2010 18 9 8 1 0
5 2011* 32 3 0 0 0
6
2012
(10 Agustus 2012)*
15 0 0 0 0
Jumlah 128 45 34 5 0
11
12. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena secara tradisional, penyebab terjadinya
kecelakaan pesawat terbang sering diarahkan semata-mata karena kesalahan
penerbang hal ini dikarenakan selama operasi penerbangan melibatkan manusia
maka faktor ini tidak akan terlepas dari kemungkinan terjadinya kecelakaan. Bila
membatasi tanggung jawab hanya pada penerbang saja berarti membebaskan
orang lain atau faktor lain yang mungkin terlibat.
Seperti diketahui lingkungan kerja penerbangan melibatkan teknologi yang
tinggi dan menyangkut sistem yang kompleks termasuk pengaturan/prosedur kerja
yang ketat. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penyebab kecelakaan pesawat
terbang tidak mungkin menjadi tanggung jawab penerbang saja. Hampir tidak ada
penyebab tunggal terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Mengapa
seorang penerbang melakukan tindakan tidak aman sehingga terjadi kecelakaan
perlu ditelusuri dan diselidiki lebih mendalam, terhadap kemungkinan-
kemungkinan faktor-faktor lain sebagai penyebab, baik yang berasal dari orang
lain di luar penerbang (pengawas, pemimpin, dan/atau rekan kerja) atau faktor
lingkungan fisik tempat kerja, dan manajemen/organisasi.
Manusia memiliki karakteristik yang unik. Manusia sebagai komponen
sistem atau sub-sistem meskipun mampu beradaptasi dengan baik, fleksibel,
adaptabel dan valuabel dari sistem penerbangan namun manusia tetap memiliki
keterbatasan, cenderung labil dan juga paling sensitif terhadap pengaruh yang
dapat berdampak pada kinerja. Kecelakaan penerbangan umumnya terjadi pada
masa-masa kritis dan di saat yang sama kinerja manusia sedang menurun.
Setidaknya berbagai publikasi tentang topik keselamatan penerbangan
menunjukan 3 dari 4 kecelakaan penerbangan dalam satu periode disebabkan
kurang optimalnya kinerja manusia, dan seringkali hal ini diistilahkan dengan
”pilot error”.
Disadari atau tidak penggunaan istilah ”pilot error” cenderung akan
membuat fakta-fakta pendukung terjadinya kecelakaan tetap tersembunyi yang
sebenarnya bila dikenali lebih awal dapat mencegah terjadinya kecelakaan.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki manusia, perlu optimasi kinerja dengan
cara mempelajari karakteristik manusia secara spesifik. Dalam ruang lingkup yang
12
13. lebih luas, peran organisasi penerbangan dan pihak berwenang ikut menentukan
kinerja personel yang bersentuhan langsung dengan operasi di lapangan. Untuk
memperkecil pengaruh manusia (pilot) dalam konteks terjadinya kecelakaan
pesawat terbang baik accident maupun incident, perlu dilakukan berbagai
perbaikan yang terkait sebab-sebab yang mempengaruhi kondisi pilot.
Beberapa penelitian di bawah ini menunjukan keterkaitan hubungan antara
kecelakaan pesawat terbang dengan faktor manusia (human factor), baik yang
berasal dari dalam individu pilot itu sendiri (internal factor) diantaranya adalah
faktor usia, jenis kelamin, pengalaman/total jam terbang, tingkat kecerdasan dan
tingkat pendidikan maupun kondisi yang berasal dari luar (external factor)
diantaranya faktor cuaca, lokasi, fase terbang, tipe pesawat, dan kondisi terbang
yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang
diakibatkan oleh manusia.
Secara empiris hasil penelitian Vail, et.al. (1986); McFadden, et.al. (1997);
dan Bazargan (2011); menunjukkan bahwa kecelakaan pesawat terbang dapat
dipengaruhi oleh jenis kelamin dari seorang pilot.
Sementara itu hubungan antara pengaruh usia seorang pilot dengan
terjadinya kecelakaan pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh McFadden, et.al. (1997); Broach, et.al. (2003); Li, et.al. (2006); Rebok, et.al.
(2009); Bazargan (2011); dan Li, et.al. (2009); menunjukkan bahwa usia dari
seorang pilot juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan pesawat
terbang.
Demikian pula halnya dengan tingkat kecerdasaan dan
pendidikan/pengetahuan seorang pilot disinyalir memiliki hubungan yang
signifikan terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang, secara empiris
penelitian yang dilakukan oleh Wignjosoebroto dan Zaini, (2007); Besco, (1992);
dan Rosekind, et.al. (2006) menunjukkan keterkaitan hal tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh McFadden, et.al. (1997); Wignjosoebroto
dan Zaini, (2007); Bazargan, (2011); Conway, et.al. (2005); Capobianco dan
Lee, (2001); Burian, et.al. (2000); dan Bustamante, et.al. (2005) secara empiris
13
14. menunjukkan bahwa jam terbang (flight hours) dari seorang pilot juga dapat
mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang.
Sementara itu penelitian yang membahas pengaruh faktor luar (external
factor) yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan pesawat terbang
telah dilakukan dalam penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya pengaruh
faktor cuaca, lokasi, fase terbang, tipe pesawat, dan kondisi terbang yang dapat
mempengaruhi terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang diakibatkan oleh
manusia.
Hubungan antara pengaruh faktor cuaca didukung oleh penelitian yang
dailakukan oleh Saleem dan Kleiner, (2005); Wong, et.al. (2006); Jarboe,
(2005); Batt dan O’Hare, (2005); Coyne, et.al. (2001); Capobianco dan Lee,
(2001); Goh dan Wiegmann, (2002); Li, et.al. (2009); Wiegman, et.al. (2002);
Burian, et.al. (2000); dan Bustamante, et.al. (2005) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara keadaan cuaca terhadap terjadinya suatu
kecelakaan pesawat terbang, karena pesawat terbang merupakan moda yang
sangat bergantung pada keadaan cuaca, baik waktu tinggal landas/lepas landas
ataupun pada waktu pesawat di udara, sehingga kondisi cuaca sangat berpengaruh
terhadap pengoperasian penerbangan. Selain itu faktor kondisi pengoperasian
penerbangan (IMC or VFR) karena pengaruh cuaca yang dapat mengakibatkan
terjadinya kecelakaan juga telah dilakukan oleh Jarboe, (2005); Batt dan O’Hare,
(2005); dan Coyne, et.al. (2001) secara empiris menunjukkan bahwa
pengoperasian penerbangan (IMC or VFR) berpengaruh terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang.
Secara empiris hasil penelitian yang membahas pengaruh lokasi suatu
daerah terhadap kecelakaan pesawat terbang yang dilakukan oleh Shappell, et.al.
(2007); Rebok, et.al. (2009); Grabowski, et.al. (2002); Changchun dan
Dongdong, (2012); Li dan Kearney, (2000); Grabowski, et.al. (2002); Li, et.al.
(2009); dan Ayres, et.al. (2012) mengungkapakan bahwa faktor lokasi suatu
daerah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya suatu kecelakaan
pesawat terbang. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan permukaan ditiap-tiap
14
15. deerah sehingga memungkinkan pula terdapat perbedaan potensi kejadian
kecelakaan disuatu daerah yang satu dengan yang lain.
Sementara itu faktor waktu disinyalir juga memiliki hubungan terhadap
terjadinya kecelakaan pesawat terbang, hal ini dikemukakan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Sungkawaningtyas, (2007); Mello, et.al. (2008); Rebok, et.al.
(2009); Rosekind, et.al. (2006); Goode, (2003); MacPherson dan Tvaryans,
(2009); Pruchniki, et.al. (2010); Conway, et.al. (2005); dan Saleem dan Kleiner,
(2005).
Hubungan antara fase terbang (flight phase) dengan terjadinya kecelakaan
pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wignjosoebroto
dan Zaini, (2007); Schvaneveldt (2000); dan Tiabtiamrat, (2009) menunjukkan
bahwa kecelakaan pesawat terbang juga dipengaruhi dari fase terbang (flight
phase) suatu pesawat terbang, karena flight phase adalah tahapan terbang dari
suatu pesawat terbang dari tinggal landas sampai pada pendaratan berikutnya
sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan pada tahapan ini adalah cukup
besar.
Sementara itu hubungan antara tipe pesawat (type of aircraft) dan
kecelakaan pesawat terbang didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Wignjosoebroto dan Zaini, (2007); dan Tiabtiamrat, (2009).
Berikut disampaikan tabulasi perbedaan antara penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya sebagaimana terdapat pada Tabel 1.4, khususnya dalam
penggunaan variabel pada model penelitian.
15
16. Tabel 1.4 Penelitian terkait kecelakaan pesawat terbang
NO Penelitian, Tahun
Faktor Internal Faktor Eksternal
Jenis
Kelamin
(Gender)
Usia
(Age)
Jam
Terbang
(Flight
Hours)
Tingkat
Kecerdasan
(IQ)
Pendidikan/
Pengetahuan
Cuaca
(Weather)
Lokasi
(Location)
Organisasi
(organization)
Waktu
(time)
Tipe
Pesawat
(Type of
Aircraft)
Fase
Terbang
(flight
phase)
Kondisi
terbang
(IMC or
VFR)
1 Vail, et.al., (1986) √
2 Mc fadden, et.al., (1997) √ √ √
3 Broach, et.al., (2003) √
4 Li, et.al., (2006) √
5
Sungkawaningtyas,
(2007)
√
6
Wignjosoebroto dan
Zaini, (2007)
√ √ √ √
7 Shappell, et.al., (2007) √ √
8 De Mello, et.al., (2008) √
9 Rebok, et.al., (2009) √ √ √
10 Bazargan, ( 2011) √ √ √
11 Tiabtiamrat, (2009) √ √
12 Grabowski, et.al., (2002) √
13
Changchun and
Dongdong, (2012)
√
14 Li and Kearney, (2000) √
15 Grabowski, et.al., (2002) √
16 Li, et.al., (2009) √ √ √
17 Ayres, et.al., (2012) √
15
17. Tabel 1.4 (Lanjutan)
NO Penelitian, Tahun
Faktor Internal Faktor Eksternal
Jenis
Kelamin
(Gender)
Usia
(Age)
Jam
Terbang
(Flight
Hours)
Tingkat
Kecerdasan
(IQ)
Pendidikan/
Pengetahuan
Cuaca
(Weather)
Lokasi
(Location)
Organisasi
(organization)
Waktu
(time)
Tipe
Pesawat
(Type of
Aircraft)
Fase
Terbang
(flight
phase)
Kondisi
Terbang
(IMC or
VFR)
18 Besco, (1992) √
19 Rosekind, et.al., (2006) √ √
20 Goode, (2003) √
21
MacPherson and
Tvaryans, (2009)
√
22 Pruchniki, et.al., (2010) √
23 Conway, et.al., (2005) √ √
24
Saleem and Kleiner,
(2005)
√ √
25 Wong, et.al., (2006) √
26 Jarboe, (2005) √ √
27 Batt and O’Hare, (2005) √ √
28 Coyne, et.al., (2001) √
29
Capobianco and Lee,
(2001)
√ √ √
30
Goh and Wiegmann,
(2002)
√
31
Wiegman and Goh,
(2002)
√
32 Burian, et.al., (2000) √ √
33 Bustamante, et.al., (2005) √ √
34 Cardi et.al. (2012) √ √
35 Schvaneveldt (2000) √
16
18. Berdasarkan tabulasi pada Tabel 1.4, diperoleh gambaran bahwa penelitian
ini merupakan hasil pemikiraan beberapa penelitian sebelumnya serta ingin
mencari celah penelitian (research gap) untuk dapat diangkat dalam penelitian ini,
sehingga diperoleh sebuah model yang memiliki keunikan dan karakteristik yang
berbeda dibanding model penelitian sebelumnya.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengisi celah penelitian (research gap)
sebelumnya sehingga dapat melengkapi dan meyempurnakannya, celah penelitian
(research gap) yang hendak diisi adalah, apabila penelitian sebelumnya sebagian
besar meneliti tentang hubungan antara berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi manusia dalam hal ini pilot terhadap terjadinya kecelakaan, maka
pada penelitian ini selain membahas faktor-faktor yang dapat mengakibatkan
suatu kecelakaan secara langsung juga untuk menelitinya secara tidak langsung,
dalam hal ini akan melalui variabel antara (intervening or mediating variable)
yakni kinerja (performance) dan beban kerja (workload) terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang.
Fenomena ini kemudian menarik bagi peneliti untuk melihat dampak
hubungan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yakni antara pengaruh waktu
(phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca
(weather) terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang secara langsung (direct
effect) dan juga pengaruhnya terhadap pilot itu sendiri dalam hal ini adalah
pengaruh terhadap kinerja (performance) dan beban kerja (workload) yang dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang (indirect effect).
Untuk menganalisis pengaruh waktu (phases of time), fase terbang (flight
phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap terjadinya kecelakaan
pesawat terbang dan juga pengaruhnya terhadap pilot itu sendiri dilakukan dengan
menggunakan analisis Structural Equation Modeling (SEM) berbasis varians
dengan pendekatan Partial Least Square (PLS) dan Subjective Workload
Assessment Technique (SWAT).
Model analisis SEM memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antar
variabel yang kompleks dan juga untuk memperoleh gambaran menyeluruh
mengenai keseluruhan suatu model (Fornell, 1981). Keunggulan Structural
17
19. Equation Modeling (SEM) adalah dapat digunakan untuk menguji secara
bersama-sama: model struktural, hubungan antar konstruk independen dan
dependen; dan model measurement, hubungan (nilai loading) antara indikator
dengan konstruk (Bollen, 1989). Analisis Structural Equation Modeling (SEM)
memungkinkan pengujian model struktural dan pengukuran yang berfungsi untuk:
(1) menguji kesalahan pengukuran (measurement error); dan (2) melakukan
analisis faktor bersamaan dengan pengujian hipotesis.
Partial Least Square (PLS) adalah salah satu pendekatan untuk menganalisis
SEM. PLS adalah metode lunak atau soft model karena didalam PLS
pendugaannya tidak memerlukan asumsi lebaran (distrubution free) dari peubah
pengamatan dan ukuran dari contoh tidak harus besar, tetapi sedikitnya adalah
sepuluh kali dari jumlah peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian. Oleh
karena itu dengan tersedianya alat ukur PLS tersebut maka peneliti ingin
melakukan suatu penelitian tentang pengaruh waktu (phases of time), fase terbang
(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap kinerja
(performance) pilot dan terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang dianalisis
dengan menggunakan metode PLS. Metode PLS akan menganalisis faktor-faktor,
baik yang dihitung secara langsung maupun tak langsung terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang. Alasan-alasan lain dilakukannya penelitian ini adalah
belum banyaknya dari penelitian-penelitian yang menyangkut dengan kecelakaan
pesawat terbang yang dalam perhitungannya menggunakan metode PLS.
Sementara itu metode analisis SWAT digunakan untuk menganalisis
permasalahan beban kerja seperti apa yang sering dialami oleh pilot pesawat
terbang yang memiliki kaitan dengan kecendrungan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh manusia (human error) yang bisa menyebabkan terjadinya
kecelakaan pesawat terbang.
B. Perumusan Masalah
Dilihat dari kacamata peneliti penyebab kecelakaan pesawat terbang dapat
ditinjau dari berbagai aspek antara lain sisi manusianya, sistem organisasi,
teknologi dan lingkungan. Faktor manusia (human factor) menjadi penting
18
20. untuk dikaji, karena berdasarkan data menurut FAA, selama ini penyebab
kecelakaan pesawat terbang di dunia terjadi akibat dari faktor manusia (human
factor) sebesar 66% hal ini dikarenakan sebagian besar operasi penerbangan
melibatkan faktor manusia. Manusia memiliki karakteristik yang unik.
Meskipun mampu beradaptasi dengan baik namun manusia memiliki
keterbatasan dan cendrung labil.
Pilot tidak hanya harus tahu bagaimana mengoperasikan pesawatnya, tapi
juga harus memperoleh gambaran yang akurat tentang lingkungan dimana
pesawatnya bergerak. Menghadapi hal ini bukanlah tugas yang sederhana bagi
pilot, mengingat kompleksitas sejumlah faktor yang harus diperhitungkannya
untuk membuat keputusan dan bertindak secara efektif, tugas pilot tidak
sesederhana sekedar mempersepsi data saja, tapi juga tergantung pada sejauhmana
ia memahami secara mendalam data-data yang signifikan dari lingkungan yang
didasarkan atas pengertian tentang bagaimana komponen dari lingkungan
berinteraksi dan berfungsi, dan selanjutnya mampu memprediksi kondisi sistem
ke depannya. Kesalahan jelas dapat menyebabkan dampak yang tidak diinginkan
yaitu kecelakaan pesawat terbang.
Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas di atas maka permasalahan
yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut: “apakah terdapat
pengaruh antara kejadian kecelakaan pesawat terbang terhadap waktu (phases
of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), cuaca (weather) dan juga
apakah terdapat hubungannya dengan kinerja (performance) dan beban kerja
(workload) pilot itu sendiri.”
Sebagai upaya mempertajam kajian di dalam penelitian ini diturunkan
beberapa pertanyaan penelitian yang lebih spesifik untuk dicarikan jawabannya,
adapun pertanyaan penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Apakah periode waktu terbang (phases of time) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja pilot (performance) ?
2. Apakah periode waktu terbang (phases of time) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kecelakaan pesawat terbang ?
19
21. 3. Apakah periode fase terbang (flight phase) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja pilot (performance) ?
4. Apakah periode fase terbang (flight phase) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kecelakaan pesawat terbang ?
5. Apakah lokasi (location) terbang berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja pilot (performance) ?
6. Apakah lokasi (location) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kecelakaan pesawat terbang ?
7. Apakah kondisi (weather) cuaca berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja pilot (performance) ?
8. Apakah kondisi cuaca (weather) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kecelakaan pesawat terbang ?
9. Apakah kinerja pilot (performance) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kecelakaan pesawat terbang ?
10. Kondisi yang bagaimana yang membebani pilot yang memiliki kaitan dengan
kecendrungan terjadinya kecelakaan pesawat terbang ?
11. Bagaimana kategori faktor-faktor beban kerja yang ada melalui tiga dimensi
pengukuran, yaitu Time Load, Mental Effort Load dan Psychological stress
Load ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan dari beberapa buku referensi dan penelitian empiris
dari peneliti sebelumnya mengenai pengaruh manusia (human factor) dalam
terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang ditunjang dengan model-model dan
dilengkapi dengan teori-teori yang komprehensif untuk menunjang model dalam
penelitian ini, maka diharapkan model penelitian yang dibangun dapat menjawab
pertanyaan penelitian yang secara spesifik bertujuan:
.1 Menguji dan menganalisis pengaruh waktu (phases of time), fase terbang
(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat terbang.
20
22. .2 Menguji dan menganalisis pengaruh waktu (phases of time), fase terbang
(flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap kinerja
(performance) pilot.
.3 Menguji dan menganalisis hubungan terbang ditinjau dari aspek waktu
(phases of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca
(weather) bagi pilot terhadap potensi terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
.4 Mengetahui besarnya nilai pengaruh langsung dan tidak langsung masing-
masing variabel prediktor terhadap variabel kecelakaan pesawat terbang.
.5 Mengetahui kesesuaian model teoritis faktor waktu (phases of time), fase
terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather) terhadap
terjadinya kecelakaan pesawat terbang dengan data empiris.
.6 Menganalisis kondisi yang bagaimana yang membebani pilot yang memiliki
kaitan dengan kecendrungan terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
.7 Mengetahui kategori dari beban kerja yang dialami oleh pilot.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian dan sesuai dengan sifat penelitiannya, maka hasil penelitian ini
diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan mengenai permasalahan apakah terdapat
hubungan antara kecelakaan pesawat terbang ditinjau dari waktu (phases
of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), cuaca (weather) dan
juga apakah terdapat hubungannya dengan kinerja (performance) dan
beban kerja (workload) dari pilot.
b. Dapat memberikan model baru dalam menganalisis suatu kecelakaan
pesawat terbang yang diakibatkan oleh faktor manusia (human factor).
21
23. c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi yang positif bagi
penelitian lanjutan khususnya yang membahas mengenai pengaruh
manusia (pilot) dalam kecelakaan penerbangan sipil baik di dunia maupun
di Indonesia.
2. Manfaat praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu para manajemen (manager)
untuk dapat membangun komunikasi tentang apa saja permasalahan-
permasalahan yang terjadi di lapangan dalam hal ini yang terkait dengan
bidang pekerjaan pilot selaku frontliner dari sebuah perusahaan sehingga
dapat memberikan nilai yang optimal bagi perusahaan itu sendiri.
b. Informasi mengenai beban kerja dan kinerja pilot dapat digunakan
sebagai dasar keputusan yang lebih mendalam atau masukan dalam
aspek keselamatan dan keamanan operasional penerbangan baik yang
bersifat teknis maupun non teknis.
E. Cakupan Penelitian
Cakupan penelitian ini meliputi analisis mengenai pengaruh kecelakaan
pesawat terbang ditinjau dari waktu (phases of time), fase terbang (flight phase),
lokasi (location), cuaca (weather) dan juga apakah terdapat hubungannya dengan
kinerja (performance) dan beban kerja (workload) dari pilot dalam menunjang
keselamatan penerbangan. Adapun obyek dalam penelitian ini adalah pilot itu
sendiri selaku frontliner dalam dunia penerbangan, serta manajemen penerbangan
yang menaungi para pilot.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
penjelasan (explanatory research) karena tujuannya adalah untuk menjelaskan
hubungan kausal antar variabel dengan melakukan pengujian hipotesis mengenai
hubungan-hubungan sebab akibat antara variabel-variabel yang dibahas dalam
penelitian ini. Yang menjadi target populasi dalam penelitian ini adalah yang
merupakan pelaku utama yang terlibat dalam permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah Pilot, dan Airlines atau perusahaan penerbangan, adapun area
22
24. penelitian dilakukan di kota Jakarta mengingat bahwa banyak kantor pusat
perusahaan penerbangan berlokasi di Jakarta.
F. Batasan Penelitian
Melihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya dan banyaknya konsep,
model dan teori yang saling terkait dalam penelitian ini sehingga ada beberapa
variabel yang tidak dapat dimasukkan untuk diteliti dalam penelitian ini serta
adanya keterbatasan waktu, biaya, dan tenaga, sehingga disadari penelitian ini
mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang dapat muncul pada saat dilakukan
pengambilan data di lapangan yakni:
1. Responden dalam hal ini pilot dapat saja mempunyai respon yang berlebihan
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner penelitian.
2. Penelitian ini dibatasi oleh pembatasan yang didasarkan oleh prediksi dari sisi
pandang, dan realibilitas konstruk penelitian.
3. Tidak memungkinkannya menyertakan seluruh kemungkinan yang dapat
membentuk konstruk penelitian, sehingga hanya variabel yang dianggap
dominan saja yang dapat disertakan dalam hal ini adalah aspek waktu (phases
of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).
4. Subyek-subyek didalam penelitian ini mungkin ada yang tidak dapat
dimengerti dengan presepsi yang sama oleh responden sesuai konstruk
pertanyaan kuisioner.
G. Keaslian Penelitian
1. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan studi literatur yang peneliti telusuri, peneliti menjumpai
penelitian yang serupa, Tabel 1.5, berikut ini adalah perbandingan bebarapa
penelitian yang terkait dengan kecelakaan pesawat terbang.
23
25. Tabel 1.5 Pemetaan hasil penelitian terdahulu
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan
1 Grabowski et.al. (2002) Exploratory spatial of pilot
fatality rates in general
aviation crashes using
Geographic Information
System
Menganalisis lokasi-lokasi
yang paling rawan
terjadinya kecelakaan
Data kecelakaan
pesawat di Amerika
dari tahun 1983 s/d
1998
- lokasi Geographic
Information
System
1. Dari 14.051 kecelakaan pesawat
(general aviation), 31 % tergolong
kecelakaan fatal
2. Dari hasil yang didapat dengan
menggunakan GIS didapati bahwa
sekitar 74 wilayah (geographic
area) tergolong masuk wilayah
memiliki tingkat yang rendah untuk
terjadinya kecelakaan pesawat,
sedangkan 53 wilayah masuk
kategori wilayah yang berbahaya
meliputi daerah pegunungan
2 Rebok et.al. (2009) Pilot age and error in air
taxi crashes
Tujuan dari analisa ini
adalah untuk menganalisis
hubungan antara usia pilot
dengan pola pilot error
Data diambil dari
hasil investigasi
NTSB antara tahun
1983-2002
- Usia
- lokasi
- waktu
Chi-square
test
1. Dari data yang ada menunjukkan 28
% kecelakaan disebabkan oleh
masalah mekanikal, 25% kehilangan
kendali pada saat take off atau
landing, 7% fuel starvation, 7%
kondisi VFR, 28 % penyebab
lainnya.
2. Hasil menunjukan bahwa pilot yang
berusia tua lebih banyak mengalami
kecelakaan pada waktu siang hari
dibandingkan malam hari, dan
lokasi kejadian lebih banyak terjadi
di luar kawasan bandara
dibandingkan dengan yang didalam
bandara.
3 Changchun dan
Dongdong, (2012)
Research on inducement to
accident/incident of civil
aviation in southwest of
China based on grey
Mengetahui lokasi di
China bagian tenggara
yang paling rawan akan
terjadinya kecelakaan
Data accident dan
incident yang
terjadi di China
bagian tenggara
- lokasi Grey incident
analysis
Dari hasil penelitian melalui metode
analisis grey incident analysis didapat
bahwa daerah Cina bagian tenggara
yang mempunyai kontur dataran tinggi
24
26. Tabel 1.5 (lanjutan)
Tabel 1.5 (lanjutan)
Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan
incidence analysis pesawat udara antara tahun 2001 –
2008
banyaknya kecelakaan diakibatkan dari
faktor manusia (crew) dan hewan
dalam hal ini burung (bird strike)
4 Li dan Kearney, (2000) Geographic variations in
crash risk of general
aviation and air taxis
Mengetahui hubungan
risiko kecelakaan dan
kematian yang berkaitan
dengan wilayah geografis
Data diambil dari
data kecelakaan
NTSB tahun 1992
– 1994
- lokasi Chi-square
test
Dari hasil penelitian didapat bahwa
tingkat kecelakaan 8,9 kecelakaan per
100.000 jam terbang dan wilayah
Alaska dan daerah pegunungan di
Nortwest memiliki tingkat kecelakaan
yang paling fatal. Hasil penelitian ini
juga menunjukkan bahwa meskipun
jumlah penerbangan dikendalikan
tetapi tingkat kecelakaan tetaplah tinggi
di wilayah tersebut
5 Grabowski et.al. (2002) Geographic patterns of pilot
fatality rates in commuter
and air taxi crashes
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pola
geografi tingkat kematian
pilot (pilot fatality rates)
pada kecelakaan pesawat
udara
Data diambil dari
data kecelakaan
NTSB di wilayah
Amerika dari tahun
1983 – 1998
- lokasi Monte carlo
simulations
Hasil penelitian menunjukkan :
1. Dari hasil penelitian didapat bahwa
25% kecelakaan dari tahun 1983-
1998 yang berjumlah 1.094
kecelakaan merupakaan kecelakaan
fatal yang mengakibatkan kematian
pilot
2. Kecelakaan pada daerah tinggi
(mountainous) terjadi pada waktu
malam hari dan pada saat kondisi
terbang menggunakan metode IMC
6 Li et.al. (2009) Geographic region, weather,
pilot age, and air carrier
crashes: a case-control
study
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui
hubungan antara factor
lokasi, kondisi cuaca dan
usia pilot terhadap
terjadinya kecelakaan
pesawat
Data diambil dari
data kecelakaan
NTSB dari tahun
1983 – 2002
- lokasi
(geographic
region)
- cuaca
- usia pilot
Logistic
regression
Dari hasil penelitian didapat bahwa:
1. kecelakaan pesawat udara didaerah
Alaska yang berhubungan dengan
faktor lokasi, kondisi cuaca, usia
dan jam terbang adalah memiliki
risko 3 kali terjadinya kecelakaan
pesawat dibandingkan dengan
daerah lain.
25
27. Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan
2. Kondisi terbang dengan
menggunakan metode IMC juga
meningkatkan risiko terjadinya
kecelakaan yang diakibatkan karena
pilot error
3. Usia pilot dan total jam terbang
tidak memliki pengaruh yang
signifikan terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat udara.
7 Ayres et.al. (2012) Modelling the location and
consequences of aircraft
accidents
Mengetahui resiko
kecelakaan disekitar lokasi
bandara
Data kecelakaan
pesawat Boeing
dari tahun 1959 –
2010
- lokasi Complementar
y Cumulative
Probability
Distribution
(CCPD)
models
Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa lokasi kecelakaan pesawat
didaerah bandara sering terjadi di ujung
landasan (takeoff overruns dan landing
undershoots) dari model yang dibangun
juga dapat diketahui konsekuensi yang
didapat pada kecelakaan di lokasi
tersebut
8 Wignjosoebroto dan
Zaini, (2007)
Studi aplikasi ergonomi
kognitif untuk beban kerja
mental pilot dalam
pelaksanaan pengendalian
pesawat dengan
menggunakan metode
SWAT
Mengetahui beban kerja
mental seperti apa yang
sering dialami oleh pilot
pesawat terbang yang
memiliki kaitan dengan
kecendrungan human
factor yang bisa
menyebabkan terjadinya
kecelakaan
- fase dan
- kondisi
penerbangan
- tingkat
kecerdasan
pilot
- pengalaman
(jam terbang)
- jenis peswat
terbang
Metode
SWAT
Menunjukan bahwa:
Secara individu faktor IQ (Intelligency
Quotient) sesuai dengan uji statistik
tidak pernah memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap beban kerja
mental baik pada pilot Fokker 28
maupun pilot Boeing 737. Disisi lain
faktor fase penerbangan, faktor kondisi
penerbangan dan faktor jam terbang
pilot telah terbukti memberikan
pengaruh yang cukup signifikan
terhadap beban kerja mental pada pilot
kedua jenis pesawat tersebut
9 Tiabtiamrat et. al.
(2009)
Boeing 737 commercial jet
aircraft accident analysis
Menganalisis factor
kecelakaan ditinjau dari
Data kecelakaan
pesawat Boeing
- flight pase
- jenis pesawat
Analisa
statistic dan
Hasil menunjukkan bahwa fase terbang
(flight phase) pada pesawat Boeing 737
26
28. Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan
fase terbang (flight phase)
dari suatu pesawat
dari tahun 1967 s/d
2006
permodelan mempunyai efek yang signifikan
terhadap terjadinya kecelakaan pesawat
namum hal ini tidak berkaitan dengan
jumlah korban yang ditimbulkan.
10 Besco, (1992) Analyzing knowledge
deficiencies in pilot
performance
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui
hubungan antara
penurunan pengetahuan
dan kinerja dari seorang
pilot
- pengetahuan
- kinerja
PPA
(Profecional
Performance
Analysis)
Dari hasil penelitian didapati bahwa
kekurangan/penurunan pengetahuan
pilot berinteraksi secara bersama
dengan beberapa faktor yang dapat
mengakibatkan pilot (crew) tidak dapat
mengatasi situasi yang sulit dalam
penerbangan
11 Rosekind et.al. (2006) Alertness management in
aviation operations:
enhancing performance and
sleep
Meneliti tingkat
kewaspadaan, kinerja dan
keselamatan dalam dunia
penerbangan
29 responden pilot - tingkat
pendidikan
- waktu
penjadwalan,
waktu tidur
Alertness
Management
Program
(AMP)
Penelitian ini menjelaskan tentang
pengaruh antara tingkat kelelahan pilot
(fatique) terhadap penjadwalan, tingkat
pendidikan, tidur yang sehat, dan
strategi kewaspadaan
12 de Mello et.al. (2008) Relationship between
Brazilian airline pilot
errors and time of day
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis
hari (shift) dimana sering
terjadi kecelakaan bagi
pilot di Brazil
Populasi diambil
dari data pilot yang
berjumlah 515
orang dan copilot
472 orang yang
pernah mengalami
kecelakaan.
- waktu Flight
Operations
Quality
Assurance
(FOQA)
program
1. Dari data yang ada menunjukkan 35
% penerbangan berlangsung di pagi
(siang) hari, 32 % di sore hari, 26 %
dimalam hari, dan 7 % di pagi hari
(00.00-06.00am)
2. Hasil menunjukan bahwa periode
pagi memiliki resiko yang lebih
besar terhadap terjadinya
kecelakaan (rasio 1:1.46),
dibandingkan periode sore (rasio
1:1.04) dan periode malam (rasiio
1:1.05)
13 Goode, (2003) Are pilots at risk of
accident due to fatigue
Menganalisis hubungan
antara jadwal terbang pilot
terhadap fatique dan
kecelakaan pesawat udara
Data kecelakaan
pesawat di Amerika
yang disebabkan
akibat faktor
- jadwal terbang Chi square test 1. Terdapat hubungan antara peluang
terjadinya kecelakaan dengan
jadwal terbang dari pilot
2. pembatasan jam kerja pilot dapat
27
29. Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan
manusia dari
tahun1978 s/d 1999
mengurangi terjadinya kecelakaan
14 Tvaryans dan
MacPherson, (2009)
Fatique in pilots of
remotely piloted aircraft
before and after shift work
adjusment
Menanalisis hubungan
antara waktu shift kerja
dengan kemungkinan
terjadinya pilot error
Data diambil dari
114 responden pilot
pesawat udara
- jadwal
terbang
MANOVA Dari hasil penelitian didapat bahwa
tidak terdapat penurunan yang
signifikan terhadap fatique pilot
meskipun terdapat modifikasi
pengaturan jadwal pilot guna
meningkatkan periode istirahat dari si
pilot
15 Sungkawaningtyas,
(2007)
Kelelahan pilot dan strategi
mengatasinya
Mengetahui dengan jelas
faktor-faktor apa saja
yang dominan
menyebabkan kelelahan
pada pilot dan strategi
yang bisa digunakan
untuk mengatasi kelelahan
185 pilot maskapai
penerbangan
Indonesia
- kulitas tidur
- lama waktu
tugas
- kurang tidur
Analisis
Faktor, analisis
regresi
berganda, dan
uji beda T
1. Dari hasil analisis faktor penyebab
kelelahan terkelompok menjadi 3
faktor penyebab yaitu: lama waktu
tugas, kualitas tidur dan kurang tidur
2. Dari hasil analisis regresi faktor
yang dominan menyebabkan
kelelahan pada pilot yang pertama
adalah lama waktu tugas dan yang
kedua adalah kualitas tidur
3. Tidak ada perbedaan kelelahan
berdasarkan jenis kelamin,
status/jabatan, jam terbang, dan
jenis pesawat dengan menggunakan
uji beda T
4. Cara yang digunakan untuk
mengatasi kelelahan adalah: tidur
setelah bertugas, minum banyak air
putih, meregangkan otot ditempat
duduk pilot
16 Pruchniki et.al. (2010) An exploration of the utility
af mathematical modeling
predicting fatique from
sleep/wake history and
Memprediksi kelelahan
pilot ditinjau dari sejarah
waktu tidur/bangun dan
fase circadian
Kecelakaan
pesawat Comair
flight 5191
- waktu (tidur
dan bangun)
SAFTE/FAST Dari hasil penelitian didapati bahwa
sejarah waktu tidur/bangun seorang
pilot, atc berpengaruh terhadap tingkat
kelelahan (fatique) yang dapat juga
28
30. Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan
circadian phase applied in
accident analysis and
prevention: the crash of
Comair flight 5191
menurunkan kinerja.
17 Conway et.al. (2005) Flight safety in Alaska:
comparing attitudes and
practices of high and low
risk air carriers
Mengetahui pengaruh
antara waktu dan
kecelakaan di wilayah
Alaska
data kecelakaan
tahun 1990-2002
- waktu
-Total jam
terbang
Statistic
analysis
Dari hasil penelitian didapat bahwa
kombinasi antara pilot yang kurang
berpengalaman (total jam terbang) dan
lamanya waktu tugas (dalam jam dan
minggu) berkontribusi signifikan
terhadap tingkat kecelakaan di Alaska
18 Saleem dan Kleiner,
(2005)
The effects of nighttime and
deteriorating visual
condition on pilot
performanve, workload and
situation awareness in
general aviation for both
VFR and IFR approach
Penelitian ini ingin
mengetahui efek dari
waktu dan kondisi cuaca
terhadap beban kerja,
kinerja dan tingkat
kewaspadaan pilot
16 responden pilot - waktu
(daytime &
night time)
- kondisi cuaca
MANOVA,
ANOVA
Penelitian ini mendapati bahwa tidak
berpengaruhnya kondisi malam dan
siang atau cuaca buruk dan bagus
terhadap kemungkinan terjadinya
kecelakaan, namun terdapat perbedaan
terhadap beban, tingkat kewaspadaan
dan beban kerja dari pilot
19 Wong et.al. (2006) Quantifying and
characterizing aviation
accident risk factors
Menganalisis antara
beberapa kondisi faktor
cuaca terhadap terjadinya
kecelakaan
238 kecelakaan
yang diakibatkan
oleh cuaca dari data
NTSB
- kondisi cuaca
(visibility,
ceiling,
temperature,
crosswind,
tailwind)
- kondisi
penerbangan
IMC or VFR
- chi square
test
- t test
-Relative
Accident
Involvement
Ratios
(RAIR)
1. Dari hasil uji chi square didapat
hasil bahwa kondisi terbang
(instrument/visual meteorological
condition) memliki hubungan yang
signifikan terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat udara
2. Dari hasil uji RAIR didapat bahwa
kondisi IMC memiliki hubungan
yang besar terhadap terjadinya
kecelakaan dibandingkan dengan
kondisi VFR
20 Jarboe, (2005) U.S. Aviation weather-
related crashes and
fatalities in 2004
Meneliti faktor cuaca
terhadap terjadinya
kecelakaan pesawat di
Amerika Serikat
Data kecelakaan
yang diambil dari
NTSB yang
diakibatkan oleh
- kondisi cuaca
- kategori
kondisi
terbang
Statistic
analysis
1. Sekitar 88 % kecelakaan yang
disebabkan oleh cuaca terjadi pada
saat kondisi pengoperasian
penerbangan adalah IMC
29
31. Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan
cuaca pada tahun
2004
- tipe operasi
pesawat
2. Sekitar 83 % kecelakaan yang
disebabkan oleh cuaca terjadi pada
penerbangan pribadi (general
aviation operations, FAR part 91)
21 Batt dan O’Hare, (2005) Pilot behaviors in the face
of adverse weather; a new
look at an old problem
Meneliti tiga prilaku pilot
dalam mengahadapi suatu
kondisi cuaca
Data kecelakaan
yang diambil dari
ATSB yang
disebabkan oleh
factor cuaca
- kategori
kondisi terbang
- kondisi cuaca
- Chi square
test
Dari hasil peneelitian terdapat
beberapa perbedaan yang signifikan
antara tiga kelompok perilaku terbang
seorang pilot (VFR into IMC,
precautonary landing, dan
pencegahaan lainnya) yang
berhubungan dengan cuaca dalam hal
demografis pilot, karakteristik pesawat
udara, faktor geografis atau
lingkungan, atau jarak penerbangan
mutlak. Pola penerbangan jarak jauh
relatif (sebuah konstruksi psikologis)
sangat berbeda untuk tiga kelompok,
dengan pilot dalam kelompok
penghindaran cuaca yang dibedakan
dengan mengambil tindakan tepat
waktu.
22 Coyne et.al. (2001) Pilot weather assessment:
implications for visual
flight rule into instrumen
meteorogical conditions
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui
kemampuan pilot dalam
mengambil keputusan
terbang VFR ke IMC pada
suatu kondisi cuaca
tertentu
24 pilot pribadi
(general aviations
pilot)
- kondisi cuaca - Statistic
analysis
Dari hasil penelitian didapat bahwa
faktor ceiling dan visibility
menentukan seorang pilot mengambil
keputusan terbang dengan IMC pada
saat kondisi cuaca tertentu
23 Capobianco dan Lee,
(2001)
The role of weather in
general aviation accidents:
an analysis of causes,
contributing factors and
Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi
penyebab, faktor
kontribusi isu yang
1520 kecelakaan
GA dari tahun 1995
s/d 1998, data
diambil dari
- fase operasi
- jam terbang
pilot
- kondisi cuaca
- Statistic
analysis
1. Dari hasil penelitian didapat bahwa
faktor yang paling umum dalam
kecelakaan pesawat yang
disebabkan oleh cuaca adalah, low
30
32. Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan
issues berhubungan dengan
kecelakaan yang
disebabkan oleh factor
cuaca.
database NTSB ceiling (20%), fog (14%), wind
(10%), dan malam (9%).
2. Pergantian kondisi terbang dari
VFR ke IMC dan phase cruise saat
pernerbangan memasuki cuaca
buruk juga merupakan penyebab
utama kecelakaan yang diakibatkan
oleh faktor cuaca.
24 Goh dan Wiegmann,
(2002)
Human factors analysis of
accidents involving visual
flight rules into adverse
weather
Meneliti penyebab
kecelakaan pesawat untuk
GA yang berhubungan
dengan perubahan kondisi
terbang VFR ke IMC
Data kecelakaan
penerbangan GA
dari bulan Januari
1990 s/d Desember
1997 yang
disebabkan
perubahan kondisi
terbang VFR ke
IMC, data diambil
dari database
NTSB.
- kondisi cuaca - Statistic
analysis
Dari hasil penelitian didapat kecelakaan
yang diakibatkan oleh pergantian
kondisi terbang VFR ke IMC pada saat
kondisi cuaca tertentu dipengaruhi
oleh jam terbang pilot dan adanya
penumpang dipesawat (passengers
aboard)
25 Wiegman et.al. (2002) The role of situation
assessment and flight
experience in pilots
decisions to continue visual
flight rules flight into
adverse weather
Mengetahui keputusan
pilot untuk melanjutkan
atau membatalkan
prosedur terbang VFR ke
IMC pada saat kondisi
cuaca buruk
Data dari 36
responden pilot
kondisi cuaca Statistic
analysis
(Mann-
Whitney U
test)
Dari hasil penelitian didapat bahwa
pilot yang mengalami cuaca buruk pada
saat awal penerbangan dan mengalami
juga pada saat penerbangan lebih
berpeluang memiliki optimistis yang
tinggi dalam penerbangan jika
dibandingkan pilot yang mengalami
cuaca buruk baru pada saat dalam
perjalanan
26 Burian et.al. (2000) Weather realated decision
errors: differences across
flight types
Mengetahui faktor yang
mempengaruhi keputusan
pilot untuk tetap terbang
pada saat kondisi cuaca
300 kecelakaan
yang diakibatkan
oleh cuaca dari
tahun 1994 dan
- cuaca (poor
visibility)
- total jam
terbang
Statistical
analysis
Diketahui bahwa keputusan terbang
(PCE= Plan Continuation Errors) pada
saat kondisi cuaca buruk adalah
dipengaruhi oleh pengalaman pilot
31
33. Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan
buruk 1997 (pengalaman) (jam terbang), jarak pandang, dan
koordinasi antar kru (crew conflict)
27 Bustamante et.al.(2005) Pilots’ workload, situation
awarness, and trust during
weather events as a
function of time pressure,
role assignment, pilots’
rank, weather display and
weather system
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menguji
beban kerja, kesadaran,
dan kepercayaan dalam
sistem cuaca selama
peristiwa cuaca penting
sebagai fungsi dari
tekanan waktu, penetapan
peran, pengalaman pilot,
layar cuaca, dan sistem
cuaca
24 pilot responden
dari 6 maskapai
penerbangan di US
- cuaca
- pengalaman
pilot
- tekanan waktu
NASA TLX,
SART
Dari hasil penelitian didapat bahwa
terdapat kenaikan beban kerja yang
signifikan pada saat memasuki kondisi
cuaca yang buruk dalam penelitian ini
juga didapat bahwa tingkat kesadaran
(situation awarness) antara kapten
pilot dan kopilot berbeda.
28 Cardi et.al. (20120 Distribution of air accidents
around runways
Menganalisis daerah aman
disekitar bandara terhadap
terjadinya kecelakaan
pesawat
Data kecelakaan
dari tahun 1980 s/d
1997
- lokasi
- fase terbang
SDAC
(Spatial
Distributin of
Aircraft
Crashes)
Bahwa fase landing yang meliputi fase
approach dan fase landing itu sendiri
memiliki nilai yang tinggi dan
signifikan terhadap terjadinya suatu
kecelakaan dibandingkan dengan fase
take off dan climb. Dalam penelitiannya
juga ditemukan hasil bahwa untuk fase
approach kecelakaan tertinggi yakni
terjadi sebelum runway (88%),
sedangkan untuk fase landing
kecelakaan tertinggi terjadi setelah
runway yakni sebesar 46 %
29 Schvaneveldt et.al.
(2000)
Priority and organization of
information accessed by
pilot in various phases of
flight
Menganalisis kondisi pilot
dari berbagai macam fase
terbang
34 pilot responden - fase terbang SWAT Menghasilkan diantara fase terbang
dalam pengoperasian pesawat udara,
fase take off, approach dan landing
memiliki nilai beban kerja yang tinggi
pada saat kondisi normal
pengoperasian pesawat. Dalam
penelitiannya juga didapat bahwa
32
34. Tabel 1.5 (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Populasi/Sampel Variable Alat Analisis Hasil Temuan
kecelakaan pesawat sering terjadi pada
fase take off, approach dan landing
30 Rosekind et.al. (1994) Crew factors in flight
operations IX: effect of
planned cockpit rest on
performance and alertness
in long haul operations
Menganalisis keefektifan
rencana waktu istirahat
kru penerbangan terhadap
kinerja dan tingkat
kewaspadaan
12 pilot B737 - kinerja
- waktu stirahat
ANOVA Didapat hasil bahwa cockpit rest
period atau waktu istirahat crew di
kokpit saat berlangsungnya
penerbangan dapat meningkatkan
kewaspadaan dan kinerja dari seorang
pilot sehingga dapat
meminimalisasikan kemungkinan
terjadinya kecelakaan pesawat udara.
31 Simons dan Valk (1997) Pros and cons of strategics
napping on long haul flights
Meneiliti pengaruh
periode waktu istirahat
terhadap kinerja pilot pada
penerbangan jarak jauh
68 pilot - kinerja Statistical
analysis
Dari hasil penelitian didapat bahwa
kesempatan untuk dapat beristirahat
saat pengoperasian penerbangan jarak
jauh memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan kinerja
dan kewaspadaan fisik dari seorang
pilot.
33
35. 2. Implikasi Terhadap Penelitian
Dari beberapa hasil penelitian yang telah dijelaskan pada Tabel 1.5, belum
ditemukan penelitian yang sama dengan penelitian ini, beberapa persamaan dari
penelitian-penelitian tersebut di atas dengan penelitian ini adalah:
1. Variabel dependennya sama dengan penelitian ini, yaitu melihat kecelakaan
pesawat terbang.
2. Instrumen penelitian yang digunakan juga memiliki kesamaan dengan
penelitian ini yaitu menggunakan data primer dalam hal ini kuesioner dan
data sekunder yakni data kecelakaan pesawat terbang.
Perbedaan dengan penelitian yang dilaksanakan adalah:
1. Faktor-faktor yang digunakan untuk menganalisis terjadinya kecelakaan
pesawat terbang dalam penelitian ini merupakan gabungan dari beberapa
faktor-faktor dari penelitian sebelumnya, yakni waktu (phases of time), fase
terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).
2. Dalam penelitian ini selain membahas faktor-faktor yang dapat
mengakibatkan suatu kecelakaan secara langsung juga untuk menelitinya
secara tidak langsung, dalam hal ini akan melalui variabel antara
(intervening/mediating variable) yakni kinerja (performance) dan beban kerja
(workload) terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
3. Perbedaan yang lain adalah dari segi metode analisis yang digunakan. Analisis
menggunakan 2 (dua) metode analisis yaitu dengan menggunakan metode
PLS dan SWAT. Metode PLS akan menganalisis faktor-faktor, baik yang
dihitung secara langsung maupun tak langsung terhadap terjadinya kecelakaan
pesawat. Penggunaan PLS dalam penelitian ini adalah karena belum
banyaknya dari penelitian-penelitian yang menyangkut dengan kecelakaan
pesawat yang dalam perhitungannya menggunakan metode PLS. Sementara
itu metode analisis SWAT digunakan untuk menganalisis permasalahan beban
kerja seperti apa yang sering dialami oleh pilot pesawat terbang yang memiliki
kaitan dengan kecendrungan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
manusia (human error) yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan.
34
36. Dilihat dari persamaan dan perbedaan antara penelitian yang sudah
dilaksanakan dengan penelitian ini, peneliti menilai bahwa penelitian ini
memiliki keaslian yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
35
37. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada tinjauan pustaka akan diulas variabel dan faktor-faktor yang terkait
dengan penelitian. Tulisan ini dipakai untuk memperkuat alasan atau latar
belakang, rumusan masalah, manfaat, definisi dan landasan teori untuk
membangun konsep serta digunakan untuk bahan dasar diskusi atau
pembahasan dan pada akhirnya dapat pula dipakai untuk pengambilan
kesimpulan dan saran atau rekomendasi selanjutnya dari penelitian ini.
Adapun hal yang akan dibahas meliputi: pengertian penerbang (pilot),
pengertian pesawat udara (aircraft), pengertian kecelakaan pesawat, mekanisme
terjadinya kecelakaan, keselamatan penerbangan, kesalahan manusia (human
error), kinerja (performance), beban kerja (workload), waktu terbang (phases
of time), fase terbang (flight phase), lokasi (location), dan cuaca (weather).
A. Penerbang (Pilot)
1. Pengertian Penerbang (Pilot)
Menurut ICAO (Annex 1, 2006), yang dimaksud dengan pilot adalah
”seorang yang menangani atau mengoperasikan kendali penerbangan (flight
control) suatu pesawat udara selama masa (waktu) penerbangan”. Dalam hal
pengertian pilot, ICAO juga membagi menjadi 2 (dua) pengertian mengenai pilot
berdasarkan kewenangannya, yaitu Pilot In Command (PIC) yakni pilot yang
ditugaskan oleh ”operator” atau oleh pemilik pesawat udara dalam kasus
penerbangan umum, sebagai penanggung jawab untuk melakukan suatu
penerbangan yang aman/selamat, dan Second In Command (SIC)/Co-pilot yakni
pembantu pilot yang melakukan tugas dan fungsi sebagai seorang ”Pilot In
Command” di bawah supervisi dari ”Pilot In Command”. Sesuai dengan metode
supervisi yang dapat diterima (memenuhi syarat) dari Otoritas Lisensi (Licensing
Authority) atau bisa juga diartikan sebagai seorang pilot berlisensi yang bertindak
dalam setiap kapasitasnya untuk mengemudikan pesawat udara selain dari sebagai
”Pilot In Command”, tetapi tidak termasuk sebagai seorang pilot yang berada
dalam pesawat udara hanya untuk kepentingan melakukan penerbangan pelatihan.
36
38. 2. Klasifikasi Penerbang (Pilot)
Sesuai dengan ketentuan dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulation)
atau Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 20 dan Annex 1
mengenai lisensi penerbangan, tenaga penerbangan diklasifikasikan menurut
lisensi yang dimiliki sebagai berikut:
a. Student Pilot License: Pemegang SPL diperkenankan menerima pelajaran
praktek terbang dan melakukan terbang dengan maksud meningkatkan
keterampilan sehingga mencapai persyaratan standar mendapatkan lisensi
yang lebih tinggi atau melakukan terbang dengan maksud memenuhi
persyaratan memperbaharui suatu lisensi yang kadaluwarsa;
b. Private Pilot License (PPL): Pemegang PPL diperkenankan bertindak sebagai
penerbang pemimpin (Pilot In Command) atau penerbang pembantu (Second
In Command/Co-pilot);
c. Comercial Pilot License (CPL): Pemegang CPL diperkenankan untuk
melaksanakan semua hak dari pemegang PPL disertai:
1) memperoleh imbalan sebagai penerbang pemimpin dari setiap pesawat
udara yang dimiliki ratingnya dengan berat maksimum 5.700 kg;
2) memperoleh imbalan sebagai penerbang pembantu didalam setiap pesawat
udara yang dimiliki ratingnya yang perlu dioperasikan dengan seorang
pembantu.
d. Senior Commercial Pilot License (SCPL): Pemegang SCPL diperkenankan
melaksanakan semua hak dari pemegang PPL, CPL dan rating instrumen
dengan memperoleh imbalan sebagai penerbang pemimpin (Pilot In
Command) pada setiap pesawat udara yang dimiliki ratingnya dengan berat
maksimum 20.000 kg;
e. Airline Transport Pilot License (ATPL): Pemegang ATPL diperkenankan
melaksanakan semua hak dari pemegang CPL, PPL dan rating instrumen serta
memperoleh imbalan sebagai penerbang pemimpin (Pilot In Command) dari
setiap pesawat udara yang dimiliki ratingnya. Persyaratan pemegang ATPL
tersebut sama halnya dengan persyaratan sebagai pemegang SCPL namun
demikian untuk memperoleh ATPL harus berkedudukan sebagai kapten pilot.
37
39. B. Pesawat Udara (Aircraft)
1. Pengertian Pesawat Udara (Aircraft)
Menurut UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang dimaksud
dengan pesawat udara (Aircraft) ialah ”setiap mesin atau alat yang dapat terbang
diatmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi
udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan”.
Sementara itu pengertian pesawat udara (Aircraft) menurut International
Civil Aviation Organization (ICAO) adalah ”setiap bangun mekanis yang dapat
memperoleh daya dukung (daya angkat) dalam atmosfer dari reaksi udara selain
reaksi udara terhadap permukaan bumi”.
Secara umum istilah pesawat terbang sering juga disebut dengan pesawat
udara atau kapal terbang atau cukup pesawat dengan tujuan pendefinisian yang
sama sebagai kendaraan yang mampu terbang di atmosfer atau udara. Namun
dalam dunia penerbangan, istilah pesawat terbang berbeda dengan pesawat udara,
istilah pesawat udara jauh lebih luas pengertiannya karena telah mencakup
pesawat terbang dan helikopter.
2. Klasifikasi Pesawat Udara (Aircraft)
Pesawat udara dapat diklasifikasikan sesuai dengan karakteristik dasar
tertentu (Aircraft category) seperti:
a. Lebih berat dari udara (heavier than air)
Pesawat udara yang lebih berat dari udara disebut aerodin, yang masuk dalam
kategori ini adalah autogiro, helikopter, girokopter dan pesawat
terbang/pesawat bersayap tetap. Pesawat bersayap tetap umumnya
menggunakan mesin pembakaran dalam yang berupa mesin piston (dengan
baling-baling/propeller) atau mesin turbin (jet atau turboprop) untuk
menghasilkan dorongan yang menggerakkan pesawat, lalu pergerakan udara di
sayap menghasilkan gaya dorong ke atas, yang membuat pesawat ini bisa
terbang. Sebagai pengecualian, pesawat bersayap tetap juga ada yang tidak
menggunakan mesin, misalnya glider, yang hanya menggunakan gaya
gravitasi dan arus udara panas. Helikopter dan autogiro menggunakan mesin
38
40. dan sayap berputar untuk menghasilkan gaya dorong ke atas, dan helikopter
juga menggunakan mesin untuk menghasilkan dorongan ke depan.
b. Lebih ringan dari udara (lighter than air)
Pesawat udara yang lebih ringan dari udara disebut aerostat, yang masuk
dalam kategori ini adalah balon dan kapal udara. Aerostat menggunakan gaya
apung untuk terbang di udara, seperti yang digunakan kapal laut untuk
mengapung di atas air. Pesawat udara ini umumnya menggunakan gas seperti
helium, hidrogen, atau udara panas untuk menghasilkan gaya apung tersebut.
Perbedaaan balon udara dengan kapal udara adalah balon udara lebih
mengikuti arus angin, sedangkan kapal udara memiliki sistem propulsi untuk
dorongan ke depan dan sistem kendali.
C. Kecelakaan Pesawat
1. Pengertian Kecelakaan Pesawat
Secara umum kecelakaan merupakan segala sesuatu yang terjadi tidak sesuai
dengan kondisi operasional yang diinginkan baik itu yang disebabkan karena
adanya kesalahan, kegagalan dan sebab-sebab lain atau kombinasi adanya antara
kesalahan, kegagalan, dan sebab-sebab lain tersebut. Dalam hal ini tingkat bahaya,
korban jiwa dan luka-luka, atau kerugian biasanya tidak dipersoalkan. Dalam
dunia penerbangan serta dalam bidang investigasi istilah kecelakaan biasanya
didefinisikan sebagai dua kondisi yang berbeda, yaitu kecelakaan (accident) dan
kejadian (incident). Lahirnya kedua istilah ini didasarkan pada adanya perbedaan
tingkat bahaya, korban jiwa, luka-luka, serta tingkat kerugian yang terjadi.
Menurut International Civil Aviation Organization (ICAO), pengertian
kecelakaan pesawat udara sipil (Accident) adalah ”suatu kejadian yang
berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara yang terjadi sejak seseorang
naik pesawat udara untuk maksud penerbangan sampai suatu waktu ketika semua
orang telah meninggalkan (turun dari) atau keluar dari pesawat udara” (ICAO
Annex 13, 2001), dimana:
.a Seseorang meninggal atau mengalami luka serius sebagai akibat dari:
)1 Berada di dalam pesawat, atau
39
41. )2 Kontak langsung dengan bagian pesawat, termasuk bagian yang terlepas
dari pesawat, atau
)3 Terkena dampak langsung jet blast.
Kecuali jika luka-luka tersebut disebabkan oleh penyebab alamiah
(natural causes) diri sendiri atau orang lain atau terjadi pada penumpang
gelap yang berada dibagian pesawat yang tidak diperuntukkan bagi
penumpang/crew; atau
.b Pesawat mengalami kerusakan atau kegagalan struktur yang:
)1 Mempengaruhi kekuatan struktur, karakteristik dan performa terbang
pesawat, dan
)2 Memerlukan perbaikan besar atau penggantian komponen yang rusak.
Kecuali untuk kegagalan atau kerusakan mesin, dangan kerusakan mesin,
cowling dan accessories, kerusakan pada propeller, wing tip, antenna,
tires, brakes, fairings, lubang kecil/dekukan pada kulit (skin) pesawat.
.c Pesawat itu hilang atau sama sekali tidak terjangkau. Pesawat udara dianggap
hilang, apabila operasi SAR (Search And Rescue) resmi telah dinyatakan
berakhir dan pesawat udara tersebut tidak dapat diketemukan.
Untuk pemahaman yang lebih baik dalam mendefinisikan kecelakaan
pesawat udara, beberapa klasifikasi tentang tingkat keparahan dari kecelakaan
pesawat ”aircraft accident” atau tingkat keseriusan dari cedera ”injury” telah
diidentifikasi. National Transport Safety Bureau (NTSB) mengkategorikan
menjadi 4 (empat) tingkatan berdasarkan keseriusan cedera (NTSB, 2006).
Meskipun Boeing dan ICAO (Annex 13) tidak secara gamblang menjelaskan hal
tersebut, mereka juga menyebutkan beberapa definisi tingkat keparahan dalam
klasifikasi yang mereka buat, dimana:
a. Fatal and major injury. NTSB menyatakan bahwa “aircraft accident”
dianggap sesuatu yang fatal jika ada cedera apapun yang menyebabkan
kematian dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal terjadinya
kecelakaan (NTSB, 2006). Definisi ini sejalan dengan pengertian yang dipakai
oleh ICAO (Annex 13, 2001) dan Boeing (Boeing, 2012). Boeing juga
menyebutkan bahwa kecelakaan pesawat masuk dalam kategori “fatal and
40
42. major injury” jika pesawat tersebut hancur, atau banyak menimbulkan korban
jiwa, atau hanya ada satu kematian namun pesawat mengalami kerusakan
parah “substantial damage” (Boeing, 2012). Kategori ini sebenarnya mirip
dengan pengertian dari fatal accident. Dalam pengertian ini hanya
menambahkan kondisi pesawat setelah terjadinya kecelakaan. Namun, ICAO
(Annex 13) tidak menyebutkan major accident dalam definisi yang mereka
keluarkan.
b. Serious injury. Dalam menentukan pengertian tentang serious injury, ICAO
dan Boeing setuju menempatkan enam kategori yang termasuk dalam
pengertian serious injury sedangkan NTSB hanya menyebutkan lima dan tidak
termasuk kategori terakhir yang dipakai oleh ICAO dan Boeing. ICAO
(Annex 13, 2001) dan Boeing (Boeing, 2012) mendefinisikan serious injury
sebagai suatu luka yang diderita oleh seseorang dalam suatu “accident” yang:
1) Membutuhkan perawatan dirumah sakit selama lebih dari 48 jam, sampai
dengan 7 hari setelah kecelakaan terjadi;
2) Berakibat patah tulang (tidak termasuk patahnya jari-jari tangan, jari-jari
kaki atau hidung);
3) Berakibat pendarahan hebat, sakit pada saraf, otot, kerusakan urat;
4) Cidera pada organ dalam;
5) Mengakibatkan luka bakar tingkat 2 atau 3 atau luka bakar yang
mempengaruhi lebih dari 5 % permukaan tubuh;
6) Meliputi zat-zat yang menginfeksi dengan penyembuhan yang memakan
waktu lama atau cidera akibat radiasi.
NTSB (2006) menerjemahkan serious injury seperti luka yang (1)
Membutuhkan perawatan dirumah sakit selama lebih dari 48 jam, sampai
dengan 7 hari setelah kecelakaan terjadi; (2) Berakibat patah tulang (tidak
termasuk patahnya jari-jari tangan, jari-jari kaki atau hidung); (3) Berakibat
pendarahan hebat, sakit pada saraf, otot, kerusakan urat; (4) Cidera pada organ
dalam; (5) Mengakibatkan luka bakar tingkat 2 atau 3 atau luka bakar yang
mempengaruhi lebih dari 5 % permukaan tubuh.
41
43. c. Minor. Luka yang tidak termasuk dalam kategori fatal and major injury
maupun serious injury (NTSB, 2006). Tidak ada istilah minor injury dalam
pengertian yang dikeluarkan oleh ICAO dan Boeing.
d. None. Tidak mengalami luka.
Serious Incident, ICAO (Annex 13, 2001) mengartikan serious incident
sebagai “suatu “incident” yang menyangkut keadaan dan yang mengindikasikan
bahwa suatu “accident” nyaris terjadi”. Perbedaan antara suatu “accident”
dengan suatu “serious incident” hanya terletak pada akibatnya. Untuk
menjelaskan perbedaan tersebut, ICAO mengklasifikasikan beberapa kejadian
yang membahayakan, antara lain disebabkan:
a. Kegagalan fungsi atau kerusakan pada Flight Control System;
b. Ketidakmampuan dari Flight Crew Member untuk menjalankan tugas secara
normal yang diakibatkan oleh adanya luka atau sakit;
c. Kerusakan komponen struktur turbin mesin kecuali kompresor dan daun-daun
turbin dan baling-baling;
d. Kebakaran;
e. Hampir terjadinya tabrakan pesawat udara di udara (near-miss);
f. Barang berbahaya (dangerous good);
g. Untuk pesawat multi mesin berbadan lebar/besar (mempunyai maksimum
berat tinggal landas lebih dari 12.500 lbs)
1) Kerusakan sistem listrik dalam penerbangan yang membutuhkan bantuan
emergency bus yang digerakan oleh sumber daya dukung seperti baterai,
unit daya tambahan/APU (Auxiliary Power Unit) atau generator yang
digerakan oleh udara untuk mempertahankan kemudi terbang atau
instrumen-instrumen penting.
2) Kerusakan sistem hidrolik dalam penerbangan yang mengakibatkan
ketergantungan pada satu-satunya sistem hidrolik atau sistem mekanis
yang tersisa untuk pergerakan permukaan kemudi terbang.
3) Kehilangan terus menerus tenaga atau daya dorong yang dihasilkan oleh
satu mesin atau lebih.
42
44. 4) Evakuasi dari pesawat udara yang memakai sistem pintu keluar dari
pesawat secara darurat (emergency exit).
Sementara itu untuk pengertian insiden pesawat (aircraft incident) menurut
ICAO, NTSB, dan Boeing adalah “suatu kejadian selain daripada suatu
“accident” yang terkait dengan pengoperasian suatu pesawat udara yang
berdampak atau dapat berdampak terhadap keselamatan atas pengoperasian
tersebut” (ICAO Annex 13, 2001 dan Boeing, 2012).
2. Klasifikasi Tingkat Kerusakan Pesawat
Selain itu terdapat juga beberapa istilah mengenai tingkat kerusakan yang
dialami pesawat terbang yaitu.
a. Hancur (Destroyed). Kerusakan akibat benturan, kebakaran atau kegagalan
saat terbang sehingga pesawat secara ekonomi tidak bisa diperbaiki (biaya
perbaikan lebih besar dari nilai pesawat) (NTSB, 2006). Sedangkan Boeing
mendeskripsikan destroyed jika biaya perbaikan nilainya setengah nilai
pesawat yang baru pada waktu kecelakaan (Boeing, 2012). Selanjutnya,
Boeing juga menggunakan prinsip Hull Loss terhadap pesawat yang
mengalami kerusakan, prinsip ini mengandung pengertian biaya perbaikan
terhadap pesawat yang hancur (destroyed) mempunyai efek terhadap nilai
ekonomis. Prinsip Hull Loss dapat diterapkan pada situasi dimana pesawat
atau reruntuhan pesawat hilang dan tidak dapat ditemukan setelah usaha
pencarian dihentikan, atau pesawat sama sekali tidak dapat ditemukan.
b. Kerusakan parah (Substantial damage). Kerusakan atau kegagalan yang
mempengaruhi kekuatan dan performa struktur dan karakteristik terbang
sebuah pesawat udara, dan yang umumnya membutuhkan perbaikan besar atau
penggantian komponen yang terpengaruh. Kegagalan mesin atau kerusakan
yang terbatas pada sebuah mesin. Jika pada satu mesin mengalami kegagalan
atau mengalami kerusakan aliran udara atau penutup mesin yang bengkok,
penyok pada bagian luar, lubang-lubang tusukan kecil pada kulit atau struktur,
kerusakan dasar rotor atau daun baling-baling dan kerusakan pada roda
pendarat, pelek roda, ban-ban, flap, aksesori mesin, rem-rem atau ujung sayap
43
45. (wingtips) tidak termasuk dalam “kerusakan berat” pada bagian ini. (Boeing,
2012 dan NTSB, 2006).
c. Kerusakan kecil (Minor or slightly damaged). Kerusakan yang tidak
menghancurkan pesawat atau tidak menyebabkan kerusakan parah. Kerusakan
yang tidak termasuk dalam kategori destroyed maupun substantial damage
(NTSB, 2006). Istilah slightly damaged digunakan oleh ICAO dalam format
laporan akhir kecelakaan (investigation final report). ICAO juga
menambahakan kategori lain untuk menggambarkan kondisi kerusakan
(damage) yang dapat diisi oleh pemberi laporan (ICAO Annex 13, 2001).
d. Tidak rusak (None). Berarti pesawat tidak mengalami kerusakan pada saat
terjadinya kecelakaan.
D. Mekanisme Terjadinya Kecelakaan
Proses terjadinya kecelakaan digambarkan oleh Reason (1990) sebagai
model keju Swiss (Swiss cheese model), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 di
bawah ini.
Gambar 2.1. Swiss cheese model
Sumber: http://www.futuremedia.co.au
Model ini menggambarkan sebuah keju swiss sebagai suatu sistem
keselamatan penerbangan. Beberapa lapis keju dalam suatu sistem tersebut
merupakan pihak-pihak yang terlibat dengan operasi penerbangan. Pada masing-
masing lapis keju terdapat lubang-lubang yang menggambarkan adanya
kelemahan atau kekurangan pada pihak terkait dan berpotensi menimbulkan
bahaya. Bila terjadi kelalaian, digambarkan sebagai bom yang meledak maka
ledakan itu akan mengenai dinding-dinding keju. Sebagian serpihan ledakan akan
44
46. tertahan lapisan keju dan sebagian akan melalui lubang-lubang pada keju tersebut.
Bila ledakan itu mampu melewati semua dinding keju melalui lubang yang ada
maka akan mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Sebaliknya, bila ledakan itu
tidak berhasil melewati semua lapisan keju maka kelalaian tersebut masih dalam
batas toleransi dan tidak mengakibatkan kecelakaan.
Reason (1990) membedakan dua macam kesalahan dalam sebuah sistem
(system error) yaitu aktif (active) dan terselubung (latent). Active error adalah
kesalahan yang efeknya langsung dirasakan, sedangkan latent error melibatkan
aspek buruk pada sistem yang tidak aktif dan menjadi jelas ketika dikombinasikan
dengan aspek lain untuk menembus pertahanan suatu sistem. Perpaduan dua
macam kesalahan ini dalam suatu sistem akan menimbulkan kecelakaan bila
mampu menembus pertahanan atau batas toleransi. Dalam kaitannya dengan dunia
penerbangan, active error berhubungan dengan kinerja orang-orang yang berada
di lini depan seperti pilot, pemandu lalu lintas udara (Air Traffic Controller/ATC),
kru di ruang pengendali, dan yang ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan
operasional. Sedangkan latent error merupakan kegiatan yang tidak berhubungan
dengan operasi langsung seperti pembuat desain, pembuat kebijakan tingkat tinggi
dan pihak pengelola, seperti dirangkum dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sumber terjadinya kesalahan aktif dan terselubung
Latent Error Active Error
Terletak di:
a. Organisasi, sistem
b. Hukum dan peraturan
c. Prosedur
d. Tujuan, sasaran
Terletak di pekerja dan tim lini depan, disebabkan oleh:
1. Komunikasi
2. Kerusakan fisik
3. Faktor Psikologis
4. Interaksi manusia dengan peralatan
Efek adanya active error biasanya langsung dapat diketahui dengan cepat
sedangkan tanda-tanda adanya latent error sulit diketahui. Pada semua sistem
selalu ada latent error namun karena proses berkembangnya secara bertahap dan
tidak menimbulkan efek secara langsung maka sulit dideteksi. Adanya latent
error lebih berbahaya dan mesti lebih diwaspadai.
45
47. Gambar 2.2. Model empat sumber kesalahan
Sumber: http://www.rutgersscholar.rutgers.edu
Reason menggambarkan empat sumber penyebab terjadinya kelalaian
manusia yang saling mempengaruhi, seperti diilustrasikan pada Gambar 2.2.
Pertama adalah tindakan tidak aman (unsafe acts) yang dilakukan operator yang
berada di lini depan. Kesalahan yang terjadi dapat menyebabkan kecelakaan
karena berhubungan langsung dengan operasi penerbangan. Tiga sumber
berikutnya merupakan latent error. Pertama adalah kondisi sebelum terjadi
tindakan yang tidak aman (preconditions for unsafe acts). Sumber ini meliputi
kondisi kru penerbangan yang dapat berdampak pada kinerja misalnya kelelahan,
buruknya komunikasi dan koordinasi. Hal-hal tersebut berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya manusia/CRM (Crew Resources Management).
Berikutnya, pengawasan yang tidak aman (unsafe supervision) berkaitan dengan
pelaksanaan pelatihan untuk menunjang CRM yang bagus. Sumber ketiga adalah
keterlibatan organisasi (organizational influence), merupakan kebijakan
manajemen tingkat atas. Pada umumnya kelemahan dalam sistem dimulai pada
taraf organisasi yang lebih tinggi yaitu manajemen tingkat atas. Bila ada
kelemahan pada manajemen tingkat atas maka kemungkinannya akan ada lubang-
lubang kelemahan pada level organisasi yang lebih rendah.
Salah satu contoh penggunaan model ini dalam meneliti penyebab terjadinya
suatu kecelakaan bisa terlihat dari kasus kecelakaan pesawat Adam Air yang
terjadi pada tanggal 1 Januari 2007, pesawat Boeing 737-4Q8 Adam Air nomor
penerbangan DHI 574 dengan registrasi PK-KKW terbang dari Surabaya, Jawa
Timur menuju Manado, Sulawesi Utara. Pada kecelakaan penerbangan ini, banyak
46
48. faktor yang berperan, mulai dari faktor perilaku penerbang hingga masalah sistem
penerbangan. Dalam hubungannya dengan Swiss cheese model, jatuhnya Adam
Air DHI 574 dapat dijelaskan berdasarkan layer-layer peneyebab berikut ini:
Layer I: Organizational Influences
.a Perusahaan melakukan penghematan dengan meminimisasi penggantian suku
cadang;
.b Kurangnya kesadaran perusahaan tentang keselamatan penerbangan.
Layer II: Unsafe Supervision
a. Kurangnya pengawasan pada kerusakan IRS (Inertial Reference System) yang
merupakan alat pengindikasi posisi pesawat;
b. Kurangnya perhatian pada pemeliharaan perangkat pesawat;
c. Penggantian suku cadang tidak diawasi dengan baik;
d. Koreksi kemiringan pesawat akibat adanya angin hanya dilakukan sebentar;
e. Tidak ada satupun dari Pilot maupun Kopliot yang menjaga arah pesawat
selama 30 detik seperti yang diharuskan oleh Quick Reference Handbook
(QRH) yaitu buku yang berisi pedoman untuk kondisi darurat.
Layer III: Precondition for Unsafe Act
.a Pilot dan Kopilot dalam kondisi panik;
.b Cuaca buruk;
.c Kehilangan situational awareness saat kemiringan pesawat melebihi batas
maksimum;
.d Kerusakan salah satu IRS;
.e Awak pesawat tidak mengetahui secara pasti IRS mana (Left IRS atau Right
IRS) yang masih berfungsi dengan baik.
Layer IV: Unsafe Act
a. Kurang menanggapi secara serius peringatan bahaya dari petugas Air Traffic
Controller (ATC);
b. Pilot dan Kopilot lebih fokus pada kerusakan IRS dari pada tingkat
kemiringan pesawat yang bermasalah;
c. Salah mengambil keputusan (decission error) saat kemiringan melebihi batas
normal.
47
49. Pada setiap layer diatas, terdapat kesalahan-kesalahan yang digambarkan
sebagai lubang pada potongan keju Swiss. Kesalahan ini berasal dari manajemen
keselamatan dan/atau dari awak pesawat itu sendiri. Kecelakaan ini dapat terjadi
karena lubang (kesalahan atau kegagalan) tersebut dapat menembus hingga
mencapai layer unsafe act yang dilakukan Pilot maupun Kopilot.
Berdasarkan teori-teori Reason tersebut diketahui bahwa kecelakaan
penerbangan sebenarnya dapat dihindari atau dikurangi dengan cara:
a. Seluruh pembuat kebijakan mengetahui dan memahami seluruh bahaya, baik
yang bersifat laten dan kegagalan aktif yang ditemukan dalam seluruh
kegiatan penerbangan;
b. Seluruh pembuat kebijakan/keputusan membuat peraturan/kebijakan/dalam
kegiatan penerbangan kemudian menerjemahkan seluruh bahaya yang ada
menjadi suatu kebijakan yang bersifat pencegahan dengan membuat suatu
garis pengawasan penerapan kebijakan kepada para pelaku atau pengguna
pesawat udara;
c. Seluruh pembuat kebijakan/keputusan membuat berbagai prosedur atau
manual kerja tetap untuk setiap langkah kerja yang akan dilakukan oleh
personil didarat dan udara. Hal tersebut diharapkan dapat membentuk budaya
keselamatan kerja yang diketahui dan dipahami oleh seluruh personil
termasuk pihak manajemen (Nugroho, 2006).
E. Keselamatan Penerbangan (Aviation Safety)
Aviation safety artinya keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan
penerbangan, lebih jauh lagi berarti kondisi selamat, yang terjadi setelah semua
(pihak) yang terkait dalam terbentuknya sebuah penerbangan beserta fasilitas
pendukungnya melaksanakan kepatuhan dalam memenuhi (semua) persayaratan
standar keselamatan. Proses keamanan dan kenyaman yang dimaksud tentu bukan
hanya saat penumpang berada didalam pesawat. Pasal 1 angka 48 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 mengartikan keselamatan
penerbangan (aviation safety) sebagai “suatu keadaan terpenuhinya persyaratan
keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
48
50. angkutan udara, navigasi, penerbangan serta fasilitas penunjang dan fasilitas
umum lainnya”. Sedangkan Pasal 1 angka 49 mengatur pengertian keamanan
penerbangan (aviation security). Menurut pasal tersebut keamanan penerbangan
adalah “suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada penerbangan dari
tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya
manusia, fasilitas dan prosedur”.
Berdasarkan teori SHELL (yang diungkapkan oleh Reason dan
disempurnakan oleh Hawkins), aspek keselamatan penerbangan perlu
memperhatikan beberapa unsur pembentuk sistem keselamatan itu sendiri yaitu:
a. Manusia yang disebut dengan Liveware (L);
b. Pesawat udara yang disebut Hardware (H);
c. Peraturan perundang-undangan/konvensi/kebijakan yang disebut dengan
Software (S);
d. Infrastruktur, cuaca, kondisi wilayah dan berbagai faktor yang berada diluar
kendali manusia disebut sebagai Environment (E).
Gambar 2.3. Teori SHELL
Sumber : www.skybrary.aero/index.php/ICAO_SHELL_Model
Model ini hanya meliputi interaksi yang berhubungan dengan faktor
manusia. Faktor manusia (liveware) seperti pada Gambar 2.3, sebagai pusat
model. Manusia secara umum diyakini merupakan faktor paling kritis sekaligus
paling fleksibel dalam sistem. Manusia banyak berhubungan dengan performansi
dan memiliki banyak keterbatasan, yang mana sebagian besar dapat diprediksi
49
51. dalam kondisi umum. Komponen lain dalam sistem harus disesuaikan secara hati-
hati bila ingin menghindari tekanan pada sistem dan kejadian yang tidak
diinginkan. Untuk memenuhi hal tersebut, diperlukan pemahaman karakteristik
manusia dengan baik.
Hubungan antara Liveware-Hardware menyangkut interaksi antara manusia
dan peralatan. Misalnya penggunaan peralatan sistem kendali, tempat duduk
cockpit, membaca indikator ketinggian terbang. Ketidaksesuaian desain peralatan
dengan karakteristik manusia sering menimbulkan terjadinya bencana.
Hubungan antara Liveware-Software menyangkut interaksi manusia dengan
aspek non-fisik. Misalnya pelaksanaan standar operasional, aturan, manual.
Masalah yang ada mungkin lebih nyata dibandingkan interaksi antara Liveware-
Hardware namun konsekuensinya sulit dideteksi.
Hubungan antara Liveware-Environment merupakan interaksi yang pertama
kali ditemukan dalam dunia penerbangan. Masalah lingkungan meliputi tekanan
pada kabin, cuaca, waktu penerbangan. Saat ini tantangan baru telah muncul,
misalnya konsentrasi ozon dan bahaya radiasi pada tingkat tinggi, dan masalah
yang berhubungan dengan terganggunya ritme biologis dan tidur karena
perjalanan dengan kecepatan tinggi. Penerbangan pada malam hari dapat
mengakibatkan pilot kehilangan arah dan berkurangnya kepekaan pada kondisi
sekitar.
Hubungan antara Liveware-liveware adalah interaksi antar manusia.
Interaksi ini bisa terjadi antar kru penerbangan maupun pilot dengan pemandu lalu
lintas udara (ATC). Masalah yang sering timbul berkaitan dengan kerjasama,
komunikasi, dan interaksi yang salah.
F. Kesalahan Manusia (Human Error)
1. Pengertian dan Definisi Kesalahan Manusia (Human Error)
Kelalaian atau kesalahan yang dilakukan manusia adalah satu fakta dalam
hidup yang tidak bisa dipungkiri. Lalai atau berbuat salah adalah satu hal yang
manusiawi. Walaupun berbuat kesalahan adalah manusiawi tetapi hal ini harus
sedapat mungkin dihindari. Keberadaan kesalahan manusia (human error) dapat
50
52. menjadi masalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan manusia,
efektivitas, operasi, waktu, kerugian ekonomis dan lain-lain. Tidak seorangpun
yang dapat melakukan suatu tindakan lebih dari sekali dengan tepat sama. Setiap
tindakan error yang dilakukan seseorang merupakan suatu kemungkinan
terjadinya error. Kesalahan yang dilakukan oleh manusia tidak sepenuhnya
berasal dari manusia tersebut, hal lain yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya
kesalahan tersebut yaitu lingkungan kerja itu sendiri seperti alat atau mesin yang
digunakan pada saat bekerja.
Human Error dapat terjadi dalam berbagai bentuk, tetapi secara umum
human error dapat dikenali sebagai satu bentuk tindakan manusia yang
seharusnya tidak terjadi. Human error didefinisikan sebagai suatu keputusan atau
tindakan yang potensional untuk mengurangi efektivitas, keamanan, atau
performansi suatu sistem. Menurut Pulat (1992) ada dua hal yang penting yang
berkaitan dengan definisi diatas yaitu:
a. Suatu error didefinisikan dalam konteks sebagai suatu efek yang
tidak diharapkan atau efek potensial berdasarkan suatu kriteria tertentu dari
suatu sistem atau pada manusia;
b. Suatu tindakan atau action tidak harus menyebabkan penurunan
performansi sistem untuk dinyatakan sebagai error. Suatu error yang dapat
diperbaiki/dikoreksi sebelum menyebabkan adanya gangguan tetap merupakan
suatu error.
2. Penyebab dari Kesalahan Manusia (Human Error)
Berdasarkan kesalahan yang dilakukan oleh manusia, maka secara tidak
langsung harus dicari penyebab yang mengakibatkan kesalahan itu bisa terjadi.
Menentukan penyebab terjadinya human error bukanlah hal yang mudah,
terutama jika ingin menentukan penyebab yang pasti. Secara teoritis, setiap error
yang terjadi akan berhubungan dengan faktor-faktor situasional, faktor individu
atau kombinasi keduanya.
Menurut Pulat (1992) berikut merupakan 95% kemungkinan penyebab
utama dari kesalahan manusia diantaranya:
51
53. .a Perilaku yang kurang baik (Malevolent Behavior)
Kesalahan yang dilakukan atau dibuat secara sengaja adalah diluar batas
kontrol dari definisi kesalahan manusia. Maksud tersebut adalah penting, Jika
operator dengan sengaja melakukan suatu kesalahan, perilaku ini tidak
dipertimbangkan sebagai kesalahan yang memerlukan penyelidikan secara
ergonomi. Akan tetapi hal ini menjadi standar penerimaan, salah satu
penyebab dari kesalahan manusia adalah perilaku yang kurang baik.
.b Kemampuan manusia tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan (Human
capability less than the job requirement)
Kapanpun pekerjaan dapat melebihi kemampuan manusia, pekerja mungkin
punya hak untuk membuat penilaian, atau melaksanakannya sesuai dengan
pembagian, waktu dan periode atau melakukan pekerjaan yang lebih mudah.
Dalam semua kasus, kesalahan akan dicatat. Sejak salah satu tujuan dari
ergonomi adalah untuk menghasilkan suatu yang lebih baik, dua yaitu bahwa
aplikasi ergonomi dapat memperkecil kesalahan seperti itu.
.c Stres yang terlalu rendah atau yang berlebihan (Insufficient or Overstress)
Sebelum didiskusikan, sedikit rasa stres dapat mengakibatkan bosan, lesu atau
lemah, dan mengantuk. Ini adalah situasi dimana orang-orang hanya bisa
dipastikan untuk membuat kesalahan-kesalahan. Lagi pula, terlalu banyak
stres yang menyebabkan kelelahan. Hal tersebut akan mengakibatkan banyak
kesalahan manusia. Performansi manusia yang baik adalah ketika ada
beberapa stres tapi tidak terlalu banyak atau tidak terlalu sedikit.
.d Pekerjaan yang tidak diperuntukkan bagi manusia (Work not human-
engineered)
Menyesuaikan suatu pekerjaan dengan manusia adalah inti dari ergonomi. Jika
tempat kerja tidak dapat menyediakan ruangan yang cukup jangkauan dan
kemampuan beradaptasi untuk sebagian besar populasi pekerja dan metode
kerja tidak dapat mempertimbangkan tingkah laku manusia, ekonomi gerakan,
kualitas dari dunia kerja dan postur kerja yang diinginkan. Kemudian efisiensi
dan efektivitas manusia akan menurun. Hal ini akan mengakibatkan atau
menimbulkan kesalahan.
52
54. .e Pelatihan yang tidak memadai atau tidak tepat (Insufficient/incorrect training)
Tempat kerja dan metoda kerja mungkin didesain berdasarkan ergonomi dan
berdasarkan kondisi lingkungan yang optimal. Bagaimanapun juga, jika
kemampuan pekerja tidak cukup untuk memenuhi performasi penerimaan,
pria ataupun wanita tidak dapat bekerja dengan efektif. Diantara
ketidakoefisienan kesalahan akan terjadi. Kesalahan tersebut adalah tanggung
jawab dari desainer untuk menjelaskan tentang kemampuan yang cukup untuk
penerimaan performansi dalam bekerja dan bagian yang bertanggung jawab
yaitu membagi-bagi pekerjaan kepada operator yang tepat dan terlatih.
3. Klasifikasi Kesalahan Manusia (Human Error)
Dengan adanya pembagian klasifikasi error, kita dapat lebih mudah
melakukan identifikasi karena memiliki karakteristik yang lebih spesifik.
Beberapa klasifikasi mengenai error adalah sebagai berikut:
a. Design-induced and operator-induced
Berdasarkan penyebab terjadinya, kelalaian dibagi menjadi dua, Design-
induced and operator-induced. Design-induced berhubungan dengan sistem,
mekanisme atau fasilitas pendukung operasional. Sebagai contoh adalah
desain cockpit yang tidak disesuaikan dengan karakteristik tubuh pilot.
Sedangkan operator-induced disebabkan ketidakmampuan individu dalam
melakukan operasi, misalnya karena kurangnya jam terbang dalam
mengoperasikan pesawat Airbus A320.
b. Random, systematic and sporadic
Berdasarkan letak kesalahannya, kelalaian dibagi menjadi tiga, Random,
systematic and sporadic (Gambar 2.4). Random error adalah kesalahan yang
terjadi secara acak, misalnya ketika pilot mendaratkan pesawat, terkadang
tepat pada daerah yang ditentukan, terkadang undershoot dan terkadang
overshoot. Kesalahan ini biasanya terjadi karena kurangnya keterampilan.
Untuk mengatasi masalah ini diperlukan latihan untuk meningkatkan
keterampilan.
53