Dampak terapi dengan panduan procalcitonin pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit dalam mengurangi konsumsi dan biaya antibiotik di jepang
EFIKASI DAN KEAMANAN DIHIDROARTEMISININPIPERAKUIN PADA PENDERITA PLASMODIUM V...Ryan Pratama
Penelitian ini menilai efikasi dan keamanan kombinasi obat Dihidroartemisinin-Piperaquine (DHP) untuk mengobati pasien malaria vivax di Kalimantan dan Sulawesi. Hasilnya menunjukkan efikasi DHP sebesar 94,3% pada hari ke-28 dan 92% pada hari ke-42 sesuai kriteria WHO. DHP juga aman digunakan karena hanya menimbulkan efek samping ringan seperti berkeringat, tidak nafsu makan,
Dokumen tersebut membahas tentang Tuberkulosis yang resisten terhadap obat (TB-MDR) yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang tahan terhadap dua obat penting, yaitu isoniazid dan rifampin. Dokumen ini juga membahas definisi, kelompok obat, dan strategi pengobatan TB-MDR.
Pemakaian obat secara rasional melibatkan berbagai faktor, termasuk diagnosis yang tepat, pemilihan obat yang sesuai indikasi, dosis dan cara pemberian yang benar, serta evaluasi berkelanjutan terhadap respons pasien. Ketidakrasionalan dalam pengobatan dapat berdampak buruk pada mutu pelayanan, biaya pengobatan, dan timbulnya efek samping seperti resistensi antibiotik.
Dokumen tersebut membahas pedoman manajemen terpadu pengendalian tuberkulosis resistan obat di Indonesia. Pedoman ini menjelaskan latar belakang, definisi, faktor-faktor penyebab, kebijakan, dan strategi penanganan kasus TB resistan obat secara nasional.
Dokumen tersebut membahas pengembangan obat herbal, mulai dari definisi obat herbal menurut WHO, penggunaan obat herbal di berbagai negara, tahapan pengembangan obat herbal meliputi seleksi, uji preklinik, standarisasi, uji klinik, serta contoh beberapa obat herbal.
EFIKASI DAN KEAMANAN DIHIDROARTEMISININPIPERAKUIN PADA PENDERITA PLASMODIUM V...Ryan Pratama
Penelitian ini menilai efikasi dan keamanan kombinasi obat Dihidroartemisinin-Piperaquine (DHP) untuk mengobati pasien malaria vivax di Kalimantan dan Sulawesi. Hasilnya menunjukkan efikasi DHP sebesar 94,3% pada hari ke-28 dan 92% pada hari ke-42 sesuai kriteria WHO. DHP juga aman digunakan karena hanya menimbulkan efek samping ringan seperti berkeringat, tidak nafsu makan,
Dokumen tersebut membahas tentang Tuberkulosis yang resisten terhadap obat (TB-MDR) yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang tahan terhadap dua obat penting, yaitu isoniazid dan rifampin. Dokumen ini juga membahas definisi, kelompok obat, dan strategi pengobatan TB-MDR.
Pemakaian obat secara rasional melibatkan berbagai faktor, termasuk diagnosis yang tepat, pemilihan obat yang sesuai indikasi, dosis dan cara pemberian yang benar, serta evaluasi berkelanjutan terhadap respons pasien. Ketidakrasionalan dalam pengobatan dapat berdampak buruk pada mutu pelayanan, biaya pengobatan, dan timbulnya efek samping seperti resistensi antibiotik.
Dokumen tersebut membahas pedoman manajemen terpadu pengendalian tuberkulosis resistan obat di Indonesia. Pedoman ini menjelaskan latar belakang, definisi, faktor-faktor penyebab, kebijakan, dan strategi penanganan kasus TB resistan obat secara nasional.
Dokumen tersebut membahas pengembangan obat herbal, mulai dari definisi obat herbal menurut WHO, penggunaan obat herbal di berbagai negara, tahapan pengembangan obat herbal meliputi seleksi, uji preklinik, standarisasi, uji klinik, serta contoh beberapa obat herbal.
Journal Reading THT RSPAD Gatot Subroto Periode 25 Mei 2015 - 26 Juni 2015Lailatul Faradila
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Studi ini mengevaluasi kelayakan dan efisiensi kemoradioterapi konkuren dengan cisplatin untuk pasien karsinoma nasofaring. Hasilnya menunjukkan bahwa kemoradioterapi dapat ditoleransi dengan efek samping akut yang dapat dikendalikan dan memberikan angka kelangsungan hidup 70% dalam 5 tahun. Faktor risiko buruk termasuk usia >40 tahun, stadium T4
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang farmakoterapi yang mencakup pengantar, materi-materi seperti nyeri, sistem syaraf, gangguan jiwa, dan infeksi. Juga dibahas proses, tujuan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil terapi seperti diagnosis, pemilihan obat, dan kepatuhan pasien.
Studi toksisitas dilakukan untuk mengetahui dampak zat kimia terhadap organisme hidup. Terdapat beberapa fase uji toksisitas mulai dari uji in vitro, uji pada hewan percobaan, hingga uji klinik pada manusia untuk menilai keamanan zat sebelum diaplikasikan sebagai obat. Prosedur uji harus mematuhi etika penelitian untuk melindungi subjek uji.
[Ringkasan]
Penelitian ini bertujuan menganalisis intervensi edukasi asuhan kefarmasian oleh apoteker di puskesmas Surabaya terhadap respon pasien tuberkulosis. Populasi penelitian adalah 63 apoteker puskesmas di Surabaya dan sampelnya adalah seluruh populasi. Penelitian akan menggunakan desain kuasi eksperimental dengan kelompok kontrol dan perlakuan sebelum dan sesudah pelatihan.
Petunjuk teknis ini membahas manajemen terpadu pengendalian tuberculosis resistan obat di Indonesia. Dokumen ini menjelaskan latar belakang, pengertian, faktor-faktor penyebab, kebijakan, strategi, organisasi pelaksana, jejaring penatalaksanaan, penatalaksanaan pasien, pengelolaan logistik, pencegahan dan pengendalian infeksi, monitoring dan evaluasi, pengembangan sumber daya manusia, advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial, serta
Journal reading (tht kl) - comparative efficacy and safety of various anti-mic...Bob Sindunata
Journal reading ini membahas perbandingan khasiat dan keamanan beberapa obat anti-mikroba yaitu amoxicillin, azithromycin, dan gatifloxacin untuk pengobatan rhinosinusitis akut. Pasien dibagi secara acak menjadi 3 kelompok dan diberikan masing-masing obat selama 10 hari untuk amoxicillin dan gatifloxacin, serta 5 hari untuk azithromycin. Hasilnya menunjukkan ketiga obat efektif mengurangi gejala nam
Modul ini membahas epidemiologi dan proses keperawatan komunitas. Topik utama meliputi pengertian epidemiologi, tujuan penelitian epidemiologi, metode epidemiologi seperti studi deskriptif dan studi analitis, serta konsep sehat, sakit, dan penyakit. Modul ini bertujuan membantu mahasiswa memahami aspek-aspek epidemiologi dalam konteks keperawatan komunitas."
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013Dayu Agung Dewi Sawitri
Dokumen tersebut membahas latar belakang pengendalian tuberkulosis di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan beban tuberkulosis tinggi keempat di dunia. Meskipun target Millenium Development Goals telah tercapai, penerapan strategi DOTS dan standar pelayanan ISTC belum sepenuhnya dilaksanakan di seluruh fasilitas kesehatan. Pedoman ini bertujuan menyusun panduan tatalaksana tuberkulosis berdasarkan bukti ilmiah untuk meningkatkan kualitas pengendal
Studi ini menemukan bahwa volume residu lambung rata-rata pasien setelah pemberian nutrisi enteral metode intermittent feeding adalah 2,47 ml, lebih rendah dibandingkan metode gravity drip yang mencapai 6,93 ml. Pemberian secara bertahap pada metode intermittent feeding memaksimalkan motilitas lambung sehingga pengosongan lambung lebih cepat.
Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian hipertensi pada lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Gambut Tahun 2015. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara indeks massa tubuh dengan kejadian hipertensi pada lansia. Metode penelitian survey analitik korelasi dengan seluruh lansia sebagai subjek penelitian. Variabel independen adalah indeks massa tubuh, variabel dependen adalah hipertensi. Analisis data menggun
Penelitian ini menguji efek panduan penggunaan antibiotik berdasarkan kadar procalcitonin pada pasien dengan infeksi saluran pernapasan bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa panduan procalcitonin tidak menghasilkan pengurangan eksposur antibiotik dibandingkan perawatan biasa. Walau demikian, kadar procalcitonin dapat membantu keputusan antibiotik, terutama pada pasien dengan diagnosis akut bronkitis.
Program pengobatan TB resisten obat (TB-RO) di Indonesia menggunakan paduan pengobatan tanpa injeksi sesuai rekomendasi WHO tahun 2020. Paduan pengobatan terdiri dari pengobatan jangka pendek 4-6 bulan dan jangka panjang hingga 20 bulan, yang dipilih berdasarkan hasil diagnosis dan standar nasional.
Dokumen tersebut merupakan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Keputusan ini menetapkan pedoman untuk penanganan kasus tuberkulosis di Indonesia sesuai standar medis terkini.
Journal Reading THT RSPAD Gatot Subroto Periode 25 Mei 2015 - 26 Juni 2015Lailatul Faradila
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Studi ini mengevaluasi kelayakan dan efisiensi kemoradioterapi konkuren dengan cisplatin untuk pasien karsinoma nasofaring. Hasilnya menunjukkan bahwa kemoradioterapi dapat ditoleransi dengan efek samping akut yang dapat dikendalikan dan memberikan angka kelangsungan hidup 70% dalam 5 tahun. Faktor risiko buruk termasuk usia >40 tahun, stadium T4
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang farmakoterapi yang mencakup pengantar, materi-materi seperti nyeri, sistem syaraf, gangguan jiwa, dan infeksi. Juga dibahas proses, tujuan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil terapi seperti diagnosis, pemilihan obat, dan kepatuhan pasien.
Studi toksisitas dilakukan untuk mengetahui dampak zat kimia terhadap organisme hidup. Terdapat beberapa fase uji toksisitas mulai dari uji in vitro, uji pada hewan percobaan, hingga uji klinik pada manusia untuk menilai keamanan zat sebelum diaplikasikan sebagai obat. Prosedur uji harus mematuhi etika penelitian untuk melindungi subjek uji.
[Ringkasan]
Penelitian ini bertujuan menganalisis intervensi edukasi asuhan kefarmasian oleh apoteker di puskesmas Surabaya terhadap respon pasien tuberkulosis. Populasi penelitian adalah 63 apoteker puskesmas di Surabaya dan sampelnya adalah seluruh populasi. Penelitian akan menggunakan desain kuasi eksperimental dengan kelompok kontrol dan perlakuan sebelum dan sesudah pelatihan.
Petunjuk teknis ini membahas manajemen terpadu pengendalian tuberculosis resistan obat di Indonesia. Dokumen ini menjelaskan latar belakang, pengertian, faktor-faktor penyebab, kebijakan, strategi, organisasi pelaksana, jejaring penatalaksanaan, penatalaksanaan pasien, pengelolaan logistik, pencegahan dan pengendalian infeksi, monitoring dan evaluasi, pengembangan sumber daya manusia, advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial, serta
Journal reading (tht kl) - comparative efficacy and safety of various anti-mic...Bob Sindunata
Journal reading ini membahas perbandingan khasiat dan keamanan beberapa obat anti-mikroba yaitu amoxicillin, azithromycin, dan gatifloxacin untuk pengobatan rhinosinusitis akut. Pasien dibagi secara acak menjadi 3 kelompok dan diberikan masing-masing obat selama 10 hari untuk amoxicillin dan gatifloxacin, serta 5 hari untuk azithromycin. Hasilnya menunjukkan ketiga obat efektif mengurangi gejala nam
Modul ini membahas epidemiologi dan proses keperawatan komunitas. Topik utama meliputi pengertian epidemiologi, tujuan penelitian epidemiologi, metode epidemiologi seperti studi deskriptif dan studi analitis, serta konsep sehat, sakit, dan penyakit. Modul ini bertujuan membantu mahasiswa memahami aspek-aspek epidemiologi dalam konteks keperawatan komunitas."
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013Dayu Agung Dewi Sawitri
Dokumen tersebut membahas latar belakang pengendalian tuberkulosis di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan beban tuberkulosis tinggi keempat di dunia. Meskipun target Millenium Development Goals telah tercapai, penerapan strategi DOTS dan standar pelayanan ISTC belum sepenuhnya dilaksanakan di seluruh fasilitas kesehatan. Pedoman ini bertujuan menyusun panduan tatalaksana tuberkulosis berdasarkan bukti ilmiah untuk meningkatkan kualitas pengendal
Studi ini menemukan bahwa volume residu lambung rata-rata pasien setelah pemberian nutrisi enteral metode intermittent feeding adalah 2,47 ml, lebih rendah dibandingkan metode gravity drip yang mencapai 6,93 ml. Pemberian secara bertahap pada metode intermittent feeding memaksimalkan motilitas lambung sehingga pengosongan lambung lebih cepat.
Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian hipertensi pada lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Gambut Tahun 2015. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara indeks massa tubuh dengan kejadian hipertensi pada lansia. Metode penelitian survey analitik korelasi dengan seluruh lansia sebagai subjek penelitian. Variabel independen adalah indeks massa tubuh, variabel dependen adalah hipertensi. Analisis data menggun
Similar to Dampak terapi dengan panduan procalcitonin pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit dalam mengurangi konsumsi dan biaya antibiotik di jepang
Penelitian ini menguji efek panduan penggunaan antibiotik berdasarkan kadar procalcitonin pada pasien dengan infeksi saluran pernapasan bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa panduan procalcitonin tidak menghasilkan pengurangan eksposur antibiotik dibandingkan perawatan biasa. Walau demikian, kadar procalcitonin dapat membantu keputusan antibiotik, terutama pada pasien dengan diagnosis akut bronkitis.
Program pengobatan TB resisten obat (TB-RO) di Indonesia menggunakan paduan pengobatan tanpa injeksi sesuai rekomendasi WHO tahun 2020. Paduan pengobatan terdiri dari pengobatan jangka pendek 4-6 bulan dan jangka panjang hingga 20 bulan, yang dipilih berdasarkan hasil diagnosis dan standar nasional.
Dokumen tersebut merupakan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Keputusan ini menetapkan pedoman untuk penanganan kasus tuberkulosis di Indonesia sesuai standar medis terkini.
Evaluation of tuberculosis control programs in indonesian communityDoel Hadji Fadly
Evaluasi program penanggulangan tuberkulosis di dua puskesmas di Jakarta Timur menunjukkan bahwa angka kesembuhan di Puskesmas Jatinegara Kaum adalah 91,60% dan di Puskesmas Pisangan Timur adalah 82,35%, namun angka deteksi kasus yang rendah merupakan masalah prioritas untuk kedua puskesmas. Solusi utama yang diidentifikasi adalah pelatihan penemuan kasus baru untuk kader di Jatinegara Kaum dan pendidikan ke
1. Pneumonia pada lansia membutuhkan perhatian khusus karena sering tidak menunjukkan gejala pernapasan dan bermanifestasi sebagai delirium, kebingungan, atau risiko terjatuh.
2. Diagnosis dan perawatan yang tepat dipengaruhi oleh kondisi komorbid, nutrisi, dan fungsi organ pasien.
3. Pencegahan episode berulang melalui vaksinasi dan posisi tidur yang tepat sangat penting.
1. IGD memberikan pelayanan kegawatdaruratan untuk menangani kondisi akut dan menyelamatkan nyawa serta merujuk kasus yang tidak dapat ditangani.
2. Terdapat pedoman dan regulasi pelayanan IGD seperti pedoman organisasi, pelayanan, program kerja, indikator mutu, dan struktur organisasi.
3. Terdapat layanan khusus seperti PONEK, penanganan TB, rujukan, dan program gizi.
KOMUNIKASI EFEKTIF ANTAR PEMBERI ASUHAN - Copy.pptxZhillu
Dokumen tersebut membahas pentingnya komunikasi efektif antar tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan berfokus pada pasien untuk mencapai koordinasi yang baik dan mencegah kesalahan medik. Metode komunikasi seperti SBAR digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan keselamatan pasien, khususnya saat serah terima antar shift.
TB-2021-Sosialisasi SE Alur dan Pengobatan TBC_3 Mei 2021.pdfPutraBams
Surat edaran ini memperkenalkan perubahan alur diagnosis dan pengobatan tuberkulosis di Indonesia, yang meliputi:
1. Diagnosis menggunakan tes cepat molekuler sebagai alat utama untuk menentukan status resistensi terhadap rifampisin.
2. Pengobatan menggunakan obat anti-tuberkulosis kategori 1 dosis harian untuk semua kasus, terutama pasien HIV dan yang dirawat di rumah sakit.
3. Pemantauan pengobatan pasien tuberkulosis sensitif men
Similar to Dampak terapi dengan panduan procalcitonin pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit dalam mengurangi konsumsi dan biaya antibiotik di jepang (20)
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIFratnawulokt
Peningkatan status kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu hal prioritas di Indonesia. Status derajat kesehatan ibu dan anak sendiri dapat dinilai dari jumlah AKI dan AKB. Pemerintah berupaya menerapkan program Sustainable Development Goals (SDGs) dengan harapan dapat menekan AKI dan AKB, tetapi kenyataannya masih tinggi sehingga tujuan dari penyusunan laporan tugas akhir ini untuk memberikan asuhan kebidanan secara komprehensif dari ibu hamil trimester III sampai KB.
Metode penelitian menggunakan Continuity of Care dengan pendokumentasian SOAP Notes. Subjek penelitian Ny. “H” usia 34 tahun masa kehamilan Trimester III hingga KB di PMB E Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung.
Hasil asuhan selama masa kehamilan trimester III tidak ada komplikasi pada Ny. “E”. Masa persalinan berjalan lancar meskipun terdapat kesenjangan dimana IMD dilakukan kurang dari 1 jam. Kunjungan neonatus hingga nifas normal tidak ada komplikasi, metode kontrasepsi memilih KB implant.
Kesimpulan asuhan pada Ny. “H” ditemukan kesenjangan antara kenyataan dan teori di penatalaksanaan, tetapi dalam pemberian asuhan ini kesenjangan masih dalam batas normal. Asuhan kebidanan ini diberikan untuk membantu mengurangi kemungkinan terjadi komplikasi pada saat masa kehamilan hingga KB.
Dampak terapi dengan panduan procalcitonin pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit dalam mengurangi konsumsi dan biaya antibiotik di jepang
1. Dampak terapi dengan panduan procalcitonin pada pasien pneumonia
komunitas yang dirawat di rumah sakit dalam mengurangi konsumsi dan
biaya antibiotik di Jepang
Abstraksi
Latar belakang dan tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat dari
penggunaan terapi dengan panduan procalcitonin pada pasien pneumonia komunitas yang
dirawat di rumah sakit dalam mengurangi durasi penggunaan dan biaya antibiotik tanpa
memperburuk prognosis.
Metode : Sebanyak 352 pasien pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit
dimasukkan ke dalam penelitian kohort observasional, di mana procalcitonin diukur
sebanyak 3 kali secara berturut-turut yaitu pada saat admisi (Hari ke-1), hari ke-2 hingga ke-3
setelah admisi (Hari ke-3), serta hari ke-6 hingga hari ke-8 setelah admisi (Hari ke -7), yang
dilakukan pada bulan Oktober 2010 hingga bulan Februari 2016 yang kemudian dilakukan
pengkajian secara retrospektif. Pemberian antibiotik dapat dihentikan jika procalcitonin pada
Hari ke-7 mempunyai nilai < 0,25 ng mL-1 atau ≤ 10% dari nilai procalcitonin yang tinggi
pada Hari ke-1 dan ke-3. Durasi penggunaan dan biaya antibiotik, tingkat kekambuhan, serta
tingkat mortalitas dievaluasi pada pneumonia ringan hingga sedang atau berat dengan
menggunakan panduan procalcitonin teoritis pada pengobatan pneumonia komunitas.
Hasil : Dengan menggunakan panduan procalcitonin teoritis, durasi penggunaan antibiotik
bisa dikurangi dari 12,6 hari hingga menjadi 8,6 hari (P < 0,001), sedangkan biaya antibiotik
dapat dikurangi dari 45.833 yen menjadi 38.952 yen (P = 0,005). Di antara pasien yang mana
panduan procalcitonin teoritis dapat diterapkan, tingkat kekambuhan (5,6% vs. 8,1%, P =
0,15) dan tingkat mortalitas (0% vs. 5,1%, P = 0,07) tidak menjadi lebih buruk baik pada
kelompok yang mempunyai durasi penggunaan antibiotik dalam praktek nyata yang sama
dengan durasi pada panduan procalcitonin teoritis (N = 71) maupun pada kelompok dengan
durasi penggunaan antibiotik dalam praktek nyata yang lebih dari 2 hari lebih lama
dibandingkan dengan durasi pada panduan proclcitonin teoritis (N = 198). Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada tingkat keparahan pneumonia untuk kedua kelompok tersebut
baik ketika menggunakan sistem A-DROP, CURB-65, maupun PSI.
Kesimpulan : Terapi dengan panduan procalcitonin ini bisa bermanfaat bagi pasien
pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit dalam mengurangi durasi penggunaan dan
biaya antibiotik tanpa memperburuk prognosis.
2. 1. Pengantar
Pneumonia komunitas (community-acquired penumonia/CAP) merupakan penyebab
utama dari terjadinya rawat inap pasien dan mortalitas [1]. Infeksi saluran pernapasan
termasuk CAP merupakan indikasi yang paling umum terhadap adanya penggunaan
antibiotik [2]. Penggunaan antibiotik yang sesuai sangat penting untuk dilakukan agar bisa
mengurangi bakteri yang resisten terhadap antibiotik serta mengurangi efek yang tidak
diinginkan (adverse effect) yang berkaitan dengan penggunaan antibiotik. Untuk mencapai
hal ini, pengobatan menggunakan antibiotik yang sesuai dengan dosis yang mencukupi serta
durasi yang pendek perlu dilakukan dalam penanganan antimikroba. Procalcitonin (PCT)
adalah biomarker yang nilainya akan meningkat ketika terjadi sepsis maupun infeksi bakteri
[3]. Laporan sebelumnya menyatakan bahwa nilai PCT ketika admisi pada pasien CAP
mempunyai korelasi dengan tingkat keparahan dan prognosis pneumonia [4-6], dan
pengukuran PCT yang berturut-turut juga bisa berguna dalam memprediksi prognosis [7-10].
Sebagai tambahan, terdapat beberapa laporan yang menyatakan bahwa panduan PCT pada
pengobatan CAP bisa menurunkan durasi penggunaan antibiotik tanpa memperburuk
mortalitas dan tingkat kekambuhan [11-14]. Baru-baru ini, dilaporkan bahwa terapi yang
dipandu oleh PCT dalam mengobati CAP bisa menurunkan biaya antibiotik, termasuk biaya
untuk pengukuran menggunakan biomarker [15]. Akan tetapi, laporan-laporan yang sudah
ada hampir semuanya berasal dari Eropa, dan belum terdapat laporan yang berasal dari Asia,
termasuk Jepang. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti apakah durasi penggunaan dan biaya
antibiotik dapat dikurangi tanpa memperburuk outcome apabila panduan PCT teoritis
diterapkan pada pasien CAP yang dirawat di rumah sakit di Jepang.
2. Pasien dan metode
2.1. Populasi penelitian
Penelitian ini menganalisis secara retrospektif pasien rawat inap CAP yang
dimasukkan ke dalam penelitian kohort prospektif dan observasional di Rumah Sakit Pusat
Kurashiki dari bulan Oktober 2010 hingga bulan Februari 2016. Pasien didiagnosis dengan
CAP jika pasien tersebut mempunyai setidaknya satu di antara gejala-gejala klinis berikut:
batuk, adanya sputum, demam, nyeri dada pleuritik, atau dyspnea; ditambah setidaknya satu
dari temuan berikut ini: adanya krekel kasar (coarse crackles) pada auskultasi, biomarker
inflamasi yang meningkat, serta adanya bayangan infiltrasi baru pada radiografi dada.
Kriteria penolakan adalah : usia ≤ 15 tahun, adanya acquired immune deficiency syndrome,
adanya hospital-acquired pnemonia, serta adanya healthcare-associated pneumonia [16].
3. Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari penelitian klinis pada pneumonia
(UMIN000004353), serta telah disetujui oleh kelembagaan dewan peninjau dari Rumah Sakit
Pusat Kurashiki (nomor persetujuan 1946). Semua pasien telah memberikan persetujuan
tindakan medis untuk berpartisipasi di dalam penelitian ini.
2.2. Desain dan pengaturan penelitian
Tingkat keparahan pneumonia dinilai pada semua pasien yang melakukan admisi
dengan menggunakan skor A-DROP (dengan parameter : usia ≥ 70 tahun untuk laki-laki atau
usia ≥ 75 tahun untuk perempuan, nitrogen urea darah ≥ 21 mgdL-1 atau dehidrasi, saturasi
oksihemoglobin yang diukur menggunakan pulse oksimetri ≤ 90% atau tekanan parsial
oksigen pada darah arteri ≤ 60 Torr, kebingungan, dan tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg)
[17], menggunakan skor CURB-65 (dengan parameter : kebingungan, urea > 7 mmol L-1,
tingkat pernapasan ≥ 30 napas menit-1, tekanan darah rendah (sistolik ≤ 90 mmHg atau
diastolik ≤ 60 mmHg), dan usia ≥ 65 tahun) [18], menggunakan skor Pneumonia Severity
Index (PSI) [19], dan menggunakan kriteria dari Infectious Diseases Society of America
(IDSA) / American Thoracic Society (ATS) untuk melihat pneumonia komunitas yang parah
(IDSA/ATS CAP parah) [1]. Mereka menjalani pemeriksaan darah untuk menilai efektivitas
dari antimikroba dan menjalani pemeriksaan dengan sinar-X pada bagian dada untuk melihat
kekambuhan dari pneumonia. PCT yang diukur pada saat admisi didefinisikan sebagai PCT
H1, sedangkan PCT yang diukur dalam 48-72 jam setelah admisi didefinisikan sebagai PCT
H3, dan PCT yang diukur dalam 120-168 jam setelah admisi didefinisikan sebagai PCT H7.
Pasien yang nilai PCT dari H1, H3, hingga H7 tersedia kemudian dimasukkan ke dalam
analisis.
2.3. Pengukuran PCT
Level serum PCT ditentukan dengan menggunakan imunoassay otomatis Elecsys
B·R·A·H·M·S® PCT (Roche Diagnostic GmbH, Mannheim, Jerman). Uji PCT ini
mempunyai limit deteksi sebesar 0,02 ng mL-1.
2.4. Kriteria untuk terapi dengan panduan PCT teoritis
Semua pasien diberikan antimikroba berdasarkan pada keputusan dari dokter yang
menangani pasien tersebut dan mengikuti rekomendasi dari pedoman pengobatan CAP yang
dibuat oleh Japanese Respiratory Society [17], sedangkan durasi dari terapi antibiotik juga
diputuskan oleh dokter yang menangani pasien tersebut dan tidak memperhatikan nilai PCT.
Setiap dokter yang memutuskan untuk menghentikan penggunaan antimikroba menggunakan
rujukan yang ada pada pedoman untuk CAP yang diterbitkan oleh IDSA/ATS pada tahun
2007 [1] yaitu : afebris selama 48-72 jam dan memenuhi semua tanda stabilitas klinis yang
4. berkaitan dengan CAP atau memenuhi hampir semua tanda stabilitas klinis yang berkaitan
dengan CAP dengan satu pengecualian (suhu ≤ 37,8°C, denyut jantung ≤ 100 denyut/menit,
tingkat pernapasan ≤ 24 napas/menit, tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg, saturasi oksigen
arteri ≥ 90% atau pO2 ≥ 60 mmHg pada udara ruangan, kemampuan untuk mempertahankan
asupan oral, status mental normal). Untuk menilai kegunaan dari terapi dengan panduan PCT
teoritis (t-PCT-guided therapy), maka terapi ini didefinisikan sebagai terapi di mana
penggunaan antibiotik untuk CAP bisa dihentikan jika nilai PCT H7 < 0,25 ng mL-1 atau
≤10% nilai PCT yang tinggi pada H1 atau H3. Kriteria ini dikembangkan berdasarkan pada
laporan-laporan yang ada sebelumnya [12] .
2.5. Terapi dengan panduan PCT teoritis dan tingkat keparahan pneumonia
Pasien yang diresepkan terapi antibiotik dengan durasi yang sama dengan durasi pada
terapi dengan panduan PCT teoritis (perbedaan durasi ± 1 hari diperbolehkan) dimasukkan ke
dalam Kelompok A (yaitu kelompok yang sesuai dengan terapi dengan panduan PCT teoritis
atau disebut t–PCT-guided-therapy-compliant). Pasien yang mempunyai durasi penggunaan
antibiotik yang berbeda dengan durasi pada terapi dengan panduan PCT teoritis kemudian
dibagi ke dalam Kelompok B (durasi antibiotik ≥ 2 hari lebih lama dibandingkan dengan
durasi pada terapi dengan panduan PCT teoritis ; disebut juga sebagai kelompok yang tidak
sesuai dengan terapi dengan panduan PCT teoritis atau t-PCT-guided-therapy-non-compliant)
dan Kelompok C (durasi antibiotik ≥ 2 hari lebih pendek dibandingkan dengan durasi pada
terapi dengan panduan PCT teoritis). Sedangkan pasien yang tidak dapat diterapkan terapi
dengan panduan PCT teoritis kemudian dimasukkan ke dalam Kelompok C (durasi antibiotik
≥ 2 hari lebih pendek dibandingkan dengan durasi pada terapi dengan panduan PCT teoritis)
atau Kelompok D (penggunaan antibiotik berkelanjutan berdasarkan pada terapi dengan
panduan PCT teoritis). Lama periode terapi antibiotik pada pasien di Kelompok D ditentukan
oleh dokter yang menangani pasien tersebut, dan oleh karena itu periode ini berbeda-beda
untuk setiap pasien. Tingkat keparahan pneumonia dievaluasi dengan menggunakan A-
DROP, CURB-65, PSI, dan berdasar IDSA/ATS pada keempat kelompok tersebut.
2.6. Kalkulasi biaya antibiotik dan biomarker
Biaya untuk antibiotik dihitung sebagai hasil perkalian dari biaya satu hari untuk
setiap penggunaan antibiotik yang diresepkan selama periode waktu tertentu, baik untuk
kasus terapi dengan panduan PCT teoritis maupun pada kasus peresepan antibiotik dalam
praktek nyata. Di Jepang, biaya untuk satu kali pengukuran PCT adalah sebesar 3.200 yen.
Pada penelitian ini, karena pengukuran PCT dilakukan tiga kali pada terapi dengan panduan
PCT teoritis, maka biaya biomarker naik menjadi 9.600 yen lebih mahal jika dibandingkan
5. pada praktek biasanya. Biaya biomarker ini kemudian ditambahkan pada biaya antibiotik
untuk menilai keuntungan bersihnya.
2.7. Terapi dengan panduan PCT teoritis serta outcome klinis
Penelitian ini meneliti manfaat dari terapi dengan panduan PCT dengan menggunakan
kriteria dari terapi dengan panduan PCT teoritis dan bukan merupakan penelitian intervensi
terapi dengan panduan PCT. Setelah kriteria terapi dengan panduan PCT teoritis diterapkan
pada semua pasien CAP yang dirawat di rumah sakit, peneliti kemudian mengevaluasi
apakah biaya dan durasi terapi antibiotik bisa dikurangi tanpa memperburuk mortalitas dan
tingkat kekambuhan. Tingkat mortalitas dan tingkat kekambuhan kemudian dibandingkan di
antara Kelompok A dan Kelompok B untuk menentukan apakah prognosis dari pasien akan
menjadi lebih buruk jika terapi dengan panduan PCT tersebut diterapkan pada pasien CAP.
2.8. Analisis stastistik
Variabel kontinyu dinyatakan sebagai nilai rata-rata dan deviasi standar (SD),
sedangkan variabel kategori dinyatakan sebagai jumlah (persentase). Variabel kategori
kemudian diuji dengan menggunakan uji Fisher, dan variabel kontinyu diuji dengan
menggunakan Student's t-test. Analisis varian digunakan untuk membandingkan keempat
kelompok. Untuk mengevaluasi apakah durasi penggunaan dan biaya antibiotik dapat
dikurangi dengan menggunakan terapi dengan panduan PCT teoritis pada pasien CAP, maka
durasi penggunaan dan biaya antibiotik pada praktek nyata dibandingkan dengan durasi
penggunaan dan biaya antibiotik yang diperoleh jika terapi dengan panduan PCT teoritis
diterapkan pada semua pasien. Untuk mengetahui apakah prognosis pasien akan menjadi
lebih buruk jika menggunakan terapi dengan panduan PCT, maka peneliti melakukan
evaluasi dengan cara membandingkan kelompok A yaitu kelompok yang sesuai dengan terapi
dengan panduan PCT teoritis (t-PCT-guided-therapy-compliant) dengan kelompok B yaitu
kelompok yang tidak sesuai dengan terapi dengan panduan PCT teoritis (t-PCT-guided-
therapy-non-compliant). Semua uji statistik yang dilakukan bersifat dua arah (two-tailed) dan
nilai P < 0,05 dianggap signifikan. Analisis dilakukan dengan menggunakan R (versi 3.0.3,
Vienna, Austria).
3. Hasil
3.1. Karakteristik pasien
Pada penelitian kohort ini, sebanyak 352 pasien CAP (kelompok yang dilakukan
pengukuran PCT) dimasukkan bersama total 1052 pasien lainnya ke dalam penelitian
prospektif. Diagram alir penelitian ini bisa dilihat pada Gambar 1. Total sebanyak 700 pasien
yang tidak mempunyai data pengukuran PCT pada Hari ke-1, ke-3, dan ke-7 (kelompok yang
6. tidak dilakukan pengukuran PCT) dikeluarkan dari penelitian ini. Lampiran Tabel 1
menunjukkan karakteristik dasar dari kelompok yang dilakukan pengukuran PCT dan dari
kelompok yang tidak dilakukan pengukuran PCT. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
terhadap komorbiditas, temuan laboratoris, serta skor keparahan pneumonia kecuali untuk
usia, penyakit ginjal kronis, biomarker inflamasi (nilai WBC dan CRP), serta admisi ICU.
Pada kelompok yang dilakukan pengukuran PCT, karakteristik dasar keempat kelompok bisa
dilihat pada Tabel 1. Di antara keempat kelompok tersebut, terdapat perbedaan yang
signifikan dalam hal jenis kelamin, biomarker inflamasi (nilai CRP dan PCT), albumin (Alb),
skor keparahan pneumonia seperti A-DROP, CURB-65, dan kriteria keparahan IDSA/ATS,
serta admisi ICU. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kekambuhan
dan tingkat mortalitas 30 hari di antara keempat kelompok tersebut.
3.2. Terapi dengan panduan PCT teoritis, tingkat keparahan pneumonia, tingkat
kekambuhan, serta tingkat mortalitas
Untuk melihat apakah terapi yang dipandu oleh PCT bisa digunakan pada kasus-kasus
pneumonia ringan hingga berat tanpa memperburuk prognosis, maka peneliti melakukan
evaluasi dengan cara membandingkan Kelompok A yaitu kelompok yang mempunyai durasi
nyata penggunaan antibiotik yang sama dengan durasi antibiotik pada terapi dengan panduan
PCT teoritis (perbedaan ± 1 hari) dengan kelompok B yaitu kelompok yang durasi
penggunaan antibiotik pada praktek nyata lebih dari 2 hari lebih lama dari durasi pada terapi
dengan panduan PCT teoritis. Dari 273 pasien di mana terapi dengan panduan PCT teoritis
bisa diterapkan, terdapat 71 pasien di dalam Kelompok A, 198 pasien di dalam Kelompok B,
dan 4 pasien di dalam Kelompok C (Gambar 1). Pada semua sistem penilaian keparahan
pneumonia (kriteria A-DROP, CURB-65, PSI, dan IDSA/ATS), tingkat keparahan
pneumonia tidak berbeda secara signifikan antara Kelompok A yaitu kelompok yang sesuai
dengan terapi dengan panduan PCT teoritis dan Kelompok B yaitu kelompok yang tidak
sesuai dengan terapi dengan panduan PCT teoritis (Tabel 2). Pada kedua kelompok ini,
tingkat kekambuhannya adalah sebesar 5,6% untuk Kelompok A dan sebesar 8,1% untuk
Kelompok B (P = 0,15), sedangkan tingkat mortalitas 30 hari untuk Kelompok A adalah
sebesar 0% dan untuk Kelompok B adalah sebesar 5,1% (P = 0,07), serta tidak terjadi
pemburukan pada tingkat kekambuhan maupun pada tingkat mortalitas (Tabel 2). Jenis
kelamin, penyakit jantung kronis, biomarker inflamasi (nilai CRP dan PCT), Alb, dan admisi
ICU berbeda secara signifikan di antara kedua kelompok ini (Lampiran Tabel 2).
7. 3.3. Durasi penggunaan dan biaya antibiotik berdasarkan pada terapi dengan panduan PCT
teoritis
Tabel 3 menunjukkan durasi penggunaan dan biaya secara teoritis, termasuk biaya
biomarker untuk terapi antibiotik bagi CAP jika terapi dengan panduan PCT teoritis
digunakan pada semua pasien di dalam penelitian ini. Durasi penggunaan antibiotik dapat
berkurang secara signifikan sebanyak 4,0 hari dengan menggunakan terapi dengan panduan
PCT teoritis (P < 0,001), dan biaya antibiotik termasuk biaya untuk biomarker dapat
berkurang sebesar 6.881 yen untuk setiap pasien (P = 0,005). Berkaitan dengan tingkat
keparahan pneumonia, maka durasi penggunaan dan biaya antibiotik bisa berkurang pada
semua tingkat keparahan mulai dari pneumonia ringan hingga pneumonia berat, walaupun
jika sistem penilaian tingkat keparahan pneumonia yang digunakan berbeda maka hasilnya
akan berbeda pula.
4. Diskusi
Penelitian ini menunjukkan kegunaan dari terapi dengan panduan PCT teoritis pada
pasien CAP yang dirawat di rumah sakit dalam mengurangi durasi penggunaan dan biaya
antibiotik. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang melaporkan bahwa durasi
penggunaan dan biaya antibiotik bisa dikurangi dengan menggunakan terapi dengan panduan
PCT teoritis di Jepang, sebagai mana yang telah dilaporkan di Eropa.
Chirst-Crain et al. [12] melaporkan bahwa terapi dengan panduan PCT dapat
mengurangi paparan antibiotik total (resiko relatif = 0,52 ; 95% CI = 0,48 – 0,55 ; P < 0,001),
mengurangi peresepan antibiotik pada saat admisi (85% vs. 99%; P < 0,001), dan
mengurangi durasi pengobatan dengan menggunakan antibiotik (nilai tengah 5 vs. 12 hari ; P
< 0,001) jika dibandingkan dengan terapi yang sesuai dengan pedoman (guideline-concordant
therapy) [20-22], tanpa meningkatkan kekambuhan dan kematian. Penelitian ini merupakan
penelitian yang pertama yang melaporkan kegunaan dari terapi menggunakan panduan PCT
pada pasien CAP dalam uji coba intervensif yang teracak. Penelitian ini juga menilai biaya
yang dikeluarkan untuk antibiotik dan biomarker PCT dengan menggunakan analisis
sensitivitas. Hasilnya menunjukkan bahwa biaya untuk antibiotik bisa berkurang dari 190
dolar Amerika menjadi 100 dolar Amerika pada kelompok yang dilakukan pengukuran PCT,
akan tetapi jumlah biaya total untuk antibiotik dan PCT lebih tinggi pada kelompok ini jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol karena biaya satu kali pengukuran PCT adalah
sebesar 50 dolar Amerika. Schuetz et al. juga telah melaporkan bahwa panduan dengan
menggunakan PCT dapat mengurangi durasi penggunaan antibiotik dari 10,7 hari menjadi 7,2
hari (perubahan relatif = -32,4% ; 95% CI = - 37,6% hingga -26,9%) jika dibandingkan
8. dengan durasi antibiotik pada terapi yang mengikuti pedoman standar pada sebanyak 925
pasien CAP dalam sebuah uji coba teracak dan terkontrol yang dilakukan pada beberapa
rumah sakit [14].
Penelitian kami menunjukkan bahwa jika terapi dengan panduan PCT digunakan pada
pasien CAP di dalam penelitian kohort ini, maka durasi penggunaan antibiotik dapat
berkurang dari 12,6 hari hingga 8,6 hari. Laporan yang telah ada sebelumnya menunjukkan
bahwa panduan PCT ini bisa memperpendek durasi penggunaan antibiotik selama 3,5 – 7,1
hari [11,13]. Penelitian yang kami lakukan juga mempunyai hasil yang mirip.
Gambar 1. Diagram alir penelitian
Untuk biaya antibiotik, penelitian yang kami lakukan menunjukkan bahwa terapi
dengan panduan PCT teoritis bisa secara signifikan mengurangi biaya antibiotik, termasuk
biaya untuk pengukuran menggunakan biomarker (biaya pada kelompok terapi dengan
panduan PCT teoritis = 38.952 ± 33.949 yen vs. biaya pada kelompok dalam praktek nyata =
45.833 ± 60.805 yen, P = 0,005). Pengurangan biaya antibiotik ini diteliti pada semua tingkat
keparahan pneumonia mulai dari yang ringan hingga yang berat, meskipun terdapat hasil
yang berbeda yang tergantung dengan sistem penilaian tingkat keparahan pneumonia yang
digunakan. Christ-Crain et al. melaporkan bahwa biaya untuk terapi menggunakan antibiotik
9. bisa secara signifikan berkurang dengan menggunakan panduan PCT, walaupun tidak
terdapat pengurangan biaya yang signifikan ketika biaya pengukuran PCT ikut dimasukkan
[11]. Di samping itu, Schuetz et al. melaporkan bahwa pada bagian bangsal dan bagian
emergensi di rumah sakit, untuk satu juta pasien CAP anggota penelitian kohort, diperoleh
perbandingan antara biaya terapi dengan panduan PCT dengan biaya terapi yang umumnya
dilakukan adalah sebesar 1.627.391 dolar Amerika berbanding 2.085.285 dolar Amerika,
yang mana hal ini memberikan penghematan bersih yang hampir mendekati 450.000 dolar
Amerika [14]. Karena biaya dari terapi antibiotik dan biaya pengukuran menggunakan
biomarker berbeda pada setiap negara, maka keuntungan biaya yang diperoleh dari
penggunaan panduan PCT ini perlu diteliti pada setiap negara yang berbeda.
Tabel 1. Karakteristik pasien pada setiap kelompok.
Kelompok A
N = 71
Kelompok B
N = 198
Kelompok C
N = 15
Kelompok D
N = 68
Nilai
a
P
Usia (t) 78,0 [69,0 –
84,5]
75,0 [68,0 –
81,0]
81,0 [71,0 –
86,5]
73,5 [67,0 –
82,0]
0,10
Laki-laki 39 (54,9) 141 (71,2) 12 (80,0) 55 (80,9) 0,006
Komorboditas
Penyakit jantung
kronis
30 (42,3) 54 (27,3) 7 (46,7) 26 (38,2) 0,05
COPB 15 (21,1) 46 (23,2) 2 (13,3) 19 (27,9) 0,61
Asma bronkitis 13 (18,3) 27 (13,6) 3 (20,0) 8 (11,8) 0,63
Diabetes mellitus 12 (16,9) 37 (18,7) 2 (13,3) 16 (23,5) 0,70
Penyakit hati kronis 4 (5,6) 12 (6,1) 1 (6,7) 2 (2,9) 0,79
Penyakit ginjal
kronis
4 (5,6) 12 (6,1) 1 (6,7) 8 (11,8) 0,42
Penyakit malignant 5 (7,0) 27 (13,6) 1 (6,7) 9 (13,2) 0,45
Penyakit
serebrovaskular
6 (8,5) 31 (15,7) 5 (33,3) 12 (17,6) 0,09
Terapi oksigen di
rumah
6 (8,5) 17 (8,6) 0 (0) 10 (14,7) 0,26
Tterapi antibiotik
sebelumnya
19 (26,8) 58 (29,3) 5 (33,3) 13 (19,1) 0,40
WBC 103
µL-1 10,8 [8,1 –
13,8]
11,7 [8,6 –
15,8]
11,2 [7,8 –
14,0]
12,0 [9 – 15,2] 0,30
CRP mg L-1 127 [70 - 165] 145 [82 - 235] 48 [20 - 132] 141 [58 - 200] 0,002
10. PCT ng mL-1 0,36 [0,10 -
1,35]
0,64 [0,18 –
3,69]
1,11 [0,10 –
3,09]
1,99 [0,43 –
4,20]
0,001
TP g dL-1 6,6 [6,3 – 7,0] 6,5 [6,0 - 6.9] 6,7 [6,3 – 7,0] 6,5 [6,0 – 6,9] 0,33
Alb g dL-1 3,3 [3,0 – 3,5] 3,0 [2,7 – 3,4] 3,4 [3,3 – 3,8] 3,2 [2,9 – 3,6] 0,003
BUN mg dL-1 18,0 [14,0 –
24,0]
19,0 [14,3 –
26,8]
19,0 [13,5 –
27,5]
22,5 [16,0 –
32,3]
0,15
Kelas A-DROP 0,04
0 5 (7,0) 20 (10,1) 1 (6,7) 5 (7,4)
1 24 (33,8) 43 (21,7) 2 (13,3) 15 (22,1)
2 27 (38,0) 81 (40,9) 9 (60,0) 16 (23,5)
3 11 (15,5) 40 (20,2) 1 (6,7) 27 (39,7)
4 4 (5,6) 12 (6,1) 2 (13,3) 4 (5,9)
5 0 (0) 2 (1,0) 0 (0) 1 (1,5)
Kelas CURB-65 0,03
0 4 (5,6) 17 (8,6) 1 (6,7) 5 (7,4)
1 25 (35,2) 64 (32,3) 5 (33,3) 13 (19,1)
2 27 (38,0) 64 (32,3) 5 (33,3) 23 (33,8)
3 14 (19,7) 39 (19,7) 4 (26,7) 23 (33,8)
4 1 (1,4) 12 (6,1) 0 (0) 3 (4,4)
5 0 (0) 2 (1,0) 0 (0) 1 (1,5)
Kelas PSI 0,13
I 1 (1.4) 1 (0.5) 0 (0) 0 (0)
II 8 (11.3) 27 (13.6) 1 (6,7) 7 (10,3)
III 26 (36.6) 52 (26.3) 4 (26,7) 7 (10,3)
IV 28 (39.4) 85 (42.9) 7 (46,7) 38 (55,9)
V 8 (11.3) 33 (16.7) 3 (20,0) 16 (23,5)
Tingkat keparahan
IDSA/ATS
18 (25.4) 65 (32.8) 2 (13,3) 34 (50,0) 0,004
Admisi ICU 1 (1.4) 19 (9.6) 0 (0) 14 (20,6) 0,001
Tingkat kekambuhan 4 (5.6) 16 (8.1) 1 (6,7) 6 (8,8) 0,10
Mortalitas 30 hari 0 (0) 10 (5.1) 0 (0) 5 (7,4) 0,13
Data disajikan sebagai nilai tengah (rentang interkuartil) atau n (%).
CPOD = chronic pulmonary disease/penyakit paru kronis ; WBC = white blood cell/sel darah putih ;
CRP = C-reactive protein/protein C-reaktif ; PCT = procalcitonin ; TP = total protein ; Alb =
albumin ; BUN = blood urea nitrogen/nitrogen urea darah ; A- DROP = usia ≥ 70 tahun pada laki-
laki atau usia ≥ 75 pada wanita, nitrogen urea darah ≥ 21 mg dL-1
atau dehidrasi, pengukuran
saturasi oksihemoglobin yang menggunakan pulse oksimetri ≤ 90% atau tekanan parsial oksigen
11. pada darah arteri ≤ 60 Torr, kebingungan, dan tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg ; CURB-65 =
kebingungan, urea >7 mmol L-1
, tingkat pernapasan ≥ 30 napas·menit-1
, tekanan darah rendah
(sistolik <90 mmHg or diastolik ≤ 60 mmHg) dan usia ≥ 65 tahun ; PSI = Pneumonia Severity Index;
IDSA = Infectious Diseases Society of America ; ATS = American Thoracic Society ; ICU =
intensive care unit/unit perawatan intensif.
a
= Variabel kontinyu diuji dengan analisis varian, dan variabel kategori dibandingkan menggunakan
uji Fisher.
Tabel 2. Tingkat keparahan, kekambuhan, dan mortalitas pnemonia pada kelompok
yang sesuai dengan terapi dengan panduan PCT teoritis dan pada kelompok yang tidak
sesuai dengan terapi dengan panduan PCT teoritis.
Kelompok A
Sesuai dengan terapi
dengan panduan PCT
teoritis
N = 71
Kelompok B
Tidak sesuai dengan
terapi dengan panduan
PCT teoritis
N =198
Nilai P
Kelas A-DROP 0,48
0-2 56 (78,9) 144 (72,7)
3.5 15 (21,1) 54 (27,3)
Kelas CURB-65 0,59
0-2 56 (78,9) 145 (73,2)
3-5 15 (21,1) 53 (26,8) 0,37
Kelas PSI
I – III 35 (49,3) 80 (40,4)
IV – V 36 (50,7) 118 (59,6)
Tingkat keparahan IDA/ATS 0,30
Ya 18 (25,4) 65 (32,8)
Tidak 53 (74,6) 133 (67,2)
Tingkat kekambuhan 4 (5,6) 16 (8,1) 0,15
Mortalitas 30 hari 0 (0) 10 (5,1) 0,07
Data disajikan sebagai n (%).
PCT = procalcitonin ; A- DROP = usia ≥ 70 tahun pada laki-laki atau usia ≥ 75 pada wanita,
nitrogen urea darah ≥ 21 mg dL-1
atau dehidrasi, pengukuran saturasi oksihemoglobin yang
menggunakan pulse oksimetri ≤ 90% atau tekanan parsial oksigen pada darah arteri ≤ 60 Torr,
kebingungan, dan tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg ; CURB-65 = kebingungan, urea >7 mmol L-1
,
tingkat pernapasan ≥ 30 napas·menit-1
, tekanan darah rendah (sistolik <90 mmHg or diastolik ≤ 60
mmHg) dan usia ≥ 65 tahun ; PSI = Pneumonia Severity Index ; IDSA = Infectious Diseases Society
of America ;ATS = American Thoracic Society
12. Tabel 3. Jumlah hari penggunaan antibiotik dan biaya antibiotik ketika dibandingkan
antara terapi dengan panduan PCT teoritis dan terapi pada praktek nyata.
Terapi dengan
panduan PCT
teoritis
N = 352
Terapi pada
praktek nyata
N = 352
Nilai P
Jumlah hari penggunaan antibiotik
(hari)
Semua pasien (N = 352) 8,6 ± 4,5 12,6 ± 7,1 < 0,001
Kelas A-DROP
0-2 (N = 248) 8,0 ± 3,2 12,4 ± 7,4 < 0,001
3-5 (N = 99) 10,0 ± 6,5 13,1 ± 6,5 < 0,001
Kelas CURB-65
0-2 (N = 253) 8,1 ± 3,4 12,5 ± 7,4 < 0,001
3-5 (N = 99) 9,7 ± 6,5 12,8 ± 6,3 < 0,001
Kelas PSI
I – III (N= 134) 7,7 ± 3,2 12,6 ± 8,9 < 0,001
IV- V (N= 218) 9,1 ± 5,2 12,5 ± 5,9 < 0,001
Tingkat keparahan IDSA/ATS
Ya (N – 119) 10,1 ± 6,5 13,6 ± 6,6 < 0,001
Tidak (N = 233) 7,8 ± 2,8 12,1 ± 7,4 < 0,001
Biaya antibiotik termasuk biaya
biomarkera
(yen)
Semua pasien (N = 352) 38.952 ± 33.949 45.833 ± 60.805 0,005
Kelas A-DROP
0-2 (N = 248) 36.783 ± 33.044 45.107 ± 66.658 0,01
3-5 (N = 104) 44.123 ± 35.650 47.564 ± 44.040 0,11
Kelas CURB-65
0-2 (N = 253) 37.054 ± 34.578 45.049 ± 66.494 0,01
3-5 (N = 99) 43.802 ± 31.946 47.838 ± 43.208 0,10
Kelas PSI
I – III (N = 134) 34.857 ± 35.372 40.377 ± 73.318 0,25
IV – V (N = 218) 41.468 ± 32.874 49.187 ± 51.535 0,002
Tingkat keparahan IDSA/ATS
Ya (N = 119) 47.670 ± 36.355 55.353 ± 48.760 0,007
13. Tidak (N = 233) 34.499 ± 31.822 40.971 ± 65.682 0,06
Data disajikan sebagai nilai rata-rata ± SD.
PCT = procalcitonin ; A- DROP = usia ≥ 70 tahun pada laki-laki atau usia ≥ 75 pada wanita,
nitrogen urea darah ≥ 21 mg dL-1
atau dehidrasi, pengukuran saturasi oksihemoglobin yang
menggunakan pulse oksimetri ≤ 90% atau tekanan parsial oksigen pada darah arteri ≤ 60 Torr,
kebingungan, dan tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg ; CURB-65 = kebingungan, urea >7 mmol L-1
,
tingkat pernapasan ≥ 30 napas·menit-1
, tekanan darah rendah (sistolik <90 mmHg or diastolik ≤ 60
mmHg) dan usia ≥ 65 tahun ; PSI = Pneumonia Severity Index ; IDSA = Infectious Diseases Society
of America ;ATS = American Thoracic Society.
a
= Biaya biomarker = biaya untuk kelompok yang diberikan terapi berdasarkan pada panduan PCT
teoritis yaitu seharga 9.600 yen (di mana biaya satu kali pengukuran PCT adalah 3.200 yen).
Pada penelitian ini, tingkat keparahan pneumonia pada setiap sistem penilaian yang
digunakan, tingkat kekambuhan, serta tingkat mortalitas tidak berbeda secara signifikan di
antara kelompok yang sesuai dengan terapi dengan panduan PCT teoritis maupun pada
kelompok yang tidak sesuai dengan terapi dengan panduan PCT teoritis. Hal ini
menunjukkan bahwa panduan PCT dapat digunakan dengan aman, dan mampu mengurangi
durasi penggunaan antibiotik, serta mengurangi biaya antibiotik pada pasien CAP di Jepang
jika dibandingkan dengan pengobatan standar yang biasa dilakukan tanpa memperhatikan
tingkat keparahan pneumonia pasien.
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan. Yang pertama, penelitian ini
dilakukan pada satu pusat kesehatan saja, dan tidak jelas apakah hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini bisa diterapkan di daerah lain maupun di negara lain. Seperti yang telah
disebutkan di atas, karena biaya antibiotik dan biomarker seperti PCT berbeda-beda untuk
setiap negara, maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat apakah terapi dengan
menggunakan panduan PCT tidak hanya mampu mengurangi durasi penggunaan antibiotik
saja namun juga bisa mengurangi biaya antibiotik termasuk biaya biomarker atau tidak.
Kedua, karena terapi dengan panduan PCT yang digunakan di dalam penelitian ini hanya
bersifat hipotetis, maka penting untuk menunjukkan adanya manfaat dari penggunaan
panduan PCT pada pasien CAP dalam mengurangi durasi penggunaan dan biaya antibiotik
tanpa meningkatkan mortalitas maupun tingkat kekambuhan dengan cara melakukan uji coba
yang intervensif, teracak, dan terkontrol. Akan tetapi, karena tingkat keparahan, kekambuhan,
dan mortalitas pneumonia tidak berbeda secara signifikan di antara kelompok yang sesuai
dengan terapi dengan panduan PCT dan kelompok yang tidak sesuai dengan terapi dengan
panduan PCT, maka bisa dikatakan bahwa terapi dengan panduan PCT bisa berguna untuk
mengurangi durasi penggunaan dan biaya antibiotik tanpa memperburuk prognosis pada
semua tingkat keparahan pneumonia di Jepang. Ketiga, jumlah dan waktu pengukuran PCT
14. memang telah ditentukan pada penelitian ini, namun jika PCT diukur lebih dari tiga kali
maka jumlah kelipatan biaya pengujian yang dilakukan bisa melampaui biaya yang dihemat
secara keseluruhan. Walaupun biaya pengukuran PCT memang sewajarnya menjadi lebih
mahal ketika PCT dilakukan pengukuran beberapa kali, namun ada kemungkinan bahwa
durasi penggunaan dan biaya antibiotik akan berkurang lebih banyak dengan melakukan
pengukuran PCT yang lebih sering. Sebagai tambahan, walaupun lama waktu rawat inap di
rumah sakit serta efek yang tidak diinginkan dari penggunaan antimikroba tidak
dipertimbangkan, namun kedua hal tersebut juga bisa dikurangi dengan pemakaian panduan
PCT. Keempat, walaupun dokter yang menangani pasien pada umumnya tidak mengacu pada
nilai PCT ketika memutuskan untuk menghentikan penggunaan antibiotik pada pasien,
namun di dalam penelitian ini data nilai PCT pasien tersedia dan kemungkinan
mempengaruhi dokter dalam memutuskan untuk menghentikan penggunaan antibiotik pada
pasien. Akan tetapi, jumlah pasien pada kelompok yang sesuai dengan terapi dengan panduan
PCT teoritis sangat sedikit (N = 71), dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
tingkat keparahan pneumonia maupun prognosis di antara kelompok yang sesuai dengan
terapi dengan panduan PCT teoritis dan pada kelompok yang tidak sesuai dengan terapi
dengan panduan PCT teoritis.
Sebagai kesimpulan, terapi dengan menggunakan panduan PCT bisa berguna bagi
pasien CAP dalam mengurangi durasi penggunaan dan biaya antibiotik tanpa memperburuk
outcome di Jepang. Pada masa yang akan datang, uji coba yang teracak dan terkontrol perlu
dilakukan untuk menguji kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini.
Konflik kepentingan
Tadashi Ishida menerima kehormatan dari Pfizer Japan Inc. Penulis yang lainnya tidak
mempunyai konflik kepentingan untuk disampaikan.
Ucapan terima kasih
Para penulis mengucapkan terima kasih pada semua rekan mereka yang telah merekrut dan
merawat pasien CAP.
Lampiran A. Data tambahan
Data lampiran yang berkaitan dengan penelitian ini dapat diakses di
http://dx.doi.org/10.1016/j.jiac.2016.11.006