Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan dimana pengetahuan dibangun melalui pengalaman siswa dan interaksinya dengan lingkungan
2. Guru berperan sebagai fasilitator, expert teacher, dan mediator untuk memandu proses belajar siswa
3. Konsepsi alternatif siswa dapat berasal dari pengalaman sebelumnya dan sulit diubah, metode perubahan konseptual perlu digunakan
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Belajar sebagai konstruksi pengetahuan
1. Belajar sebagai konstruksi pengetahuan
Belajar sebagai konstruksi pengetahuan (Santyasa, 2004). pengetahuan dibangun dalam
pikiran pelajar. Pengetahuan itu dibangun (dikonstruksi) sambil pebelajar mengatur pengalaman-
pengalamannya yang terdiri atas struktur-struktur mental atau skemata-skemata yang sudah ada
padanya (Suastra, 2004) Konstruktivisme merupakan landasan berpikir, bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat. Manusialah harus mengkonstruksinya dan memberi makna melalui
pengalaman nyata (Darma, 2007). Menurut Dahar, yang dikenal sebagai konstruktivis bahwa,
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang melalui proses asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skemata yang dimilikinya (dalam Darma, 2007). Pada proses asimilasi seseorang
menggunakan struktur kognitif dan kemampuan yang sudah ada untuk beradaptasi dengan
masalah atau informasi baru yang datang dari lingkungannya. Sedangkan pada proses akomodasi
merupakan proses pembentukan skemata baru atau memodifikasi struktur yang ada supaya
struktur kognitif tersebut dapat menyerap informasi baru yang sedang dihadapi. Ketidaksesuaian
struktur kognitif yang dimiliki seseorang dengan informasi baru yang dihadapi menyebabkan
ketidakseimbangan (disquibrium) dalam struktur kognitifnya. Dalam kondisi seperti ini orang
menyadari bahwa cara berpikirnya bertentangan dengan kejadian yang ada disekitarnya, ia akan
berusaha untuk mereorganisasi struktur kognitifnya agar sesuai dengan informasi baru yang
dihadapinya.
Guru sebagai fasilitator dan mediator
Santyasa (2005b) menyatakan, guru sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi
langsung sebagai perancang model, pelatih dan pembimbing. Di samping sebagai fasilitator,
secara spesifik peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai expert learner, manager, dan
mediator. Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang
materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan
alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit
mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor
siswa. Sebagai manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan masalah-
masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan
memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, guru
berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi prosesproses
kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan siswa. Sebagai mediator,
2. guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa memformulasikan pertanyaan
atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para siswa
mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru
dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para siswa,
pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada siswa ikut berpikir kritis.
Pembelajaran yang sesuai
Nashon (2006), menurut Von Weizsacker dan Juilfs bahwa fisika didasarkan pada percobaan,
keaktifan, keingintahuan, dan keahlian dalam pengahayatan alam.
Sumber-sumber konsepsi alternatif
pembelajaran sebelumnya, dari buku bacaan atau buku ajar yang mereka baca, dan dari fakta
yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008) hasil proses
asimilasi dari pengetahuan awal dan pengalamannya, (Hirca, dkk., 2008). Pinker (dalam
Simamora & Redhana, 2007) mengemukakan bahwa siswa hadir di kelas umumnya tidak dengan
kepala kosong, melainkan mereka telah membawa sejumlah pengalaman-pengalaman atau ide-
ide yang dibentuk sebelumnya, ketika mereka berinteraksi dengan lingkungannya. Konsepsi
alternatif timbul disebabkan oleh beberapa factor, yaitu: siswa telah mengetahui sebelumnya dari
pengalaman hidup sehari-hari, kurangnya motivasi, guru tidak cukup kompeten, lebih
mengutamakan konten daripada konsep-konsep, buku-buku pelajaran yang mengandung
kesalahan, menggunakan bahasa sehari-hari, bahasa budaya yang sama dengan penyebutan
ilmiah namun mengandung makna yang berbeda dalam berbagai budaya. Bentuk-bentuk
miskonsepsi yang ditemukan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa ada ketimpangan antara pengetahuan guru secara teoretis dengan praktiknya (Urey &
Calik, 2008).
Sifat-sifat konsepsi alternatif
Siswa berpikir dan mengkonsep fenomena alam yang baru, yang mereka temui pada pelajaran
sains, semakin berbeda dari yang diterima oleh komunitas ilmiah (Hirca, Calik, & Akdeniz,
2008). mencoba menanggulanginya lebih sulit daripada mengenalinya. Karena konsepsi
alternatif diperoleh sendiri oleh siswa sebagai hasil proses asimilasi dari pengetahuan awal dan
pengalamannya, siswa enggan menampakkan konsepsi alternatif mereka (Hirca, dkk., 2008). Hal
ini berarti bahwa konsep yang benar dan dipahami akan melahirkan pemahaman yang lebih baik.
Karena langkah pertama tergantung pada pengalaman dan hitotesis, kemungkinan konsep-
3. konsep yang muncul akan berbeda dari yang diterima oleh komunitas ilmiah. Konsepsi tersebut
biasanya disebut miskonsepsi, pra-konsep, kerangka kerja alternatif, atau konsep anak-anak
(Calik & Ayas, 2005). Istilah-istilah tersebut memiliki kemiripan makna (Hirca, Calik, &
Akdeniz, 2008). Lebih lanjut, Stavy (dalam Calik & Ayas, 2005) menunjukkan bahwa terdapat
kompetisi yang dinamis dalam sistem kognitif di mana konsep paling kuat mendominasi. Ini
berarti bahwa jika sebuah konsepsi alternatif ilmiah melampaui satu dalam proses yang dinamis
ini, itu mempengaruhi pemahaman atau struktur berikutnya. Gagasan-gagasan atau ide-ide yang
telah dimiliki oleh siswa sebelumnya ini disebut dengan prakonsepsi atau konsepsi alternatif.
Konsepsi alternatif ini sering merupakan miskonsepsi (Gardner; Redhana dan Kirna, dalam
Simamora & Redhana, 2007). Kenyatan menunjukkan bahwa konsepsi alternatif siswa sangat
resisten terhadap perubahan (Ronen and Eliahu; Savinainen et al., dalam Baser, 2006b). Oleh
karena itu, konsepsi alternatif dipandang sebagai titik awal bagi pelajaran selanjutnya, banyak
penelitian telah dilaksanakan terhadap berbagai subjek bahasan seperti, gaya, gerak, energi,
daya, usaha, panas, temperatur, massa, berat dan sebagainya (Kurnaz & Çalik, 2008).
Metode perubahan konseptual sebagai solusi konsepsi alternatif siswa
Guru hendaknya menerapkan strategi pengubahan konseptual dalam pembelajaran agar dapat
mengatasi konsepsi alternatif siswa (Posnet, dkk., dalam Simamora & Redhana, 2007). Teori
perubahan konseptual merupakan salah satu metode untuk menjembatani kesenjangan antara
pengetahuan tentang fenomena keseharian dan konsep-konsep yang benar secara sains (Gail,
Otto & Zitzewitz, 2005).
Beberapa metode perubahan konseptual
Umumnya, untuk mencapai perubahan konseptual digunakan beberapa metode perubahan
konseptual, seperti teks bermuatan perubahan konseptual teks, analogi, lembar kerja, konflik
kognitif, dan peta konsep (Urey & Calik, 2008). Untuk penelitian selanjutnya, sebuah contoh
teks bermuatan perubahan konseptual disarankan sebagai model untuk memperbaiki konsepsi
alternatif yang disasar (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008).
Model pembelajaran konvensional
Pembelajaran yang bersifat regular (model pembelajaran konvensional), artinya pemilihan
pendekatan, strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajar-mengajar cenderung dimulai
dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari
siswa, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan memberikan tes (Wirtha & Rapi, 2008).
4. Nurhadi et al. (dalam Darma, 2007) memberikan beberapa karakteristik pembelajaran
konvensional, yaitu: (1) siswa adalah penerima informasi secara pasif, (2) Siswa belajar secara
individual, (3) pembelajaran sangat abstrak dan teoretis, (4) rumus yang ada diluar diri siswa
harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan, (5) siswa secara pasif menerima rumus
atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, dan menghafal) tanpa memberikan kontribusi
ide dalam proses pembelajaran, (6) keterampilan dikembangkan atas dasar latihan-latihan, (7)
guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran, (8) hasil belajar diukur dengan tes, (9)
pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa.
Akibat dari hanya memilih salah satu metode perubahan konseptual
Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya Urey & Calik (2008) merangkum,
menekankan bahwa pengalaman dalam aktivitas nyata adalah lebih efektif daripada teks-teks
perubahan konseptual. Walaupun menggunakan penalaran analogis atau model yang efisien
dalam pengajaran sains, akan tetapi sebagian besar guru tidak menggunakannya sesering
mungkin dan cenderung mengabaikan manfaatnya. Bahkan jika mereka mencoba untuk
mengeksploitasi melalui metode analogi, sering terjadi dalam cara yang tidak direncanakan.
Selain itu, literatur terkait menyatakan bahwa menggunakan hanya satu metode perubahan
konseptual mungkin akan membosankan bagi siswa. Dengan demikian, hal ini dapat mencegah
tercapainya hasil yang efektif. Taylor and Coll (dalam Kurnaz & Çalik, 2008), mengkritik bahwa
konflik kognitif mungkin penyebab mengurangi keyakinan siswa, meskipun memiliki banyak
keuntungan untuk mencapai perubahan konseptual. Hal yang sama, jika teknik konseptual seperti
teks bermuatan perubahan konseptual, analogi, lembar kerja (LKS), dll. Seringkali dalam
pengerjaannya dilakukan sendiri oleh siswa, siswa bisa bosan. Oleh karena hanya menggunakan
salah satu teknik, mungkin memiliki harapan kecil mencapai hasil yang efektif (Çalık; Dole;
Huddle, White & Rogers, dalam Kurnaz & Çalik, 2008). Selain itu, walaupun kenyataan
menyatakan bahwa teks perubahan konseptual adalah efektif dalam perbaikan konsepsi alternatif
siswa, kegiatan langsung atau pengalaman belajar secara langsung bisa lebih efektif (Chambers
& Andre, 1997 dalam Kurnaz & Çalik, 2008).
Model 5E
Sebagai mana disarankan oleh Kurnaz & Calik (2008), karena aktivitas mengajar dapat
dipandang sebagai fase penguraian konseptual, mereka mengasumsikan bahwa penerapan teknik
perubahan konseptual melalui model 5E bisa sepenuhnya mengurangi konsepsi alternatif siswa.
Dinama model pembelajaran ini dilaksanakan dalam tahapan yang membantu siswa belajar
5. mengalami dengan urutan yang sesuai dalam menghubungkan pengetahuan awal dengan konsep
baru. Model 5E merupakan versi constructivism yang populer (e.g. Hanuscin & Lee, dalam
Kurnaz & Çalik, 2008), karena setiap "E" mengandung bagian dari proses yang membantu siswa
belajar mengalami dengan urutan yang sesuai dalam menghubungkan pengetahuan awal dengan
konsep baru, model ini terdiri dari: engagement, exploration, explanation, elaboration, dan
evaluation (e.g. Abell & Volkman; Boddy, Watson & Aubusson; Bybee, Taylor, Gardner,
Scotter, Powell, Westbrook & Landes, dalam Kurnaz & Çalik, 2008).
Bybee et al. (dalam Kurnaz & Çalik, 2008) telah meringkas fase-fase pembelajaran dalam model
5E, sebagai berikut.
1. Engagement/keterlibatan: untuk mengakses pengetahuan awal siswa, guru menyuruh siswa
terlibat dalam konsep baru dengan perantaraan aktivitas pendek atau pertanyaan yang
menampilkan keganjilan dan merangsang keluarnya pengetahuan awal. Aktivitas atau
pertanyaan diperkirakan membuat sebuah hubungan antara pengetahuan awal dan
pengalaman belajar saat ini, sehingga guru mampu mengorganisir pemikiran siswa ke arah
hasil belajar dari aktivitas tersebut.
2. Exploration/penjajakan: siswa menyelesaikan aktivitas lab atau diskusi kelompok atau
bermain peran atau analogi yang memungkinkan mereka mengekploitasi sendiri pengetahuan
awal untuk menghasilkan ide-ide baru, pertanyaan penjajakan, perkiraan dan implementasi
sebuah penyelidikan yang bersifat tentatif.
3. Explanation/penjelasan: fase ini dibutuhkan guru untuk penjajakan lebih lanjut, juga
memberi kesempatan bagi guru secara langsung memperkenalkan sebuah konsep, proses atau
keahlian. Selanjutnya, siswa menyampaikan pemahaman mereka tentang konsep atau jalan
yang benar dan penegasan pengetahuan yang tidak benar. Selanjutnya, guru menuntun
mereka untuk memegang pemahaman yang lebih mendalam, yang merupakan bagian
terpenting dari fase ini.
4. Elaboration/penguraian: untuk meneliti pemahaman dan keahlian konseptual siswa, siswa
mencoba memperluas pengetahuan tersetruktur yang baru untuk mempertahankan dan
memperluas pemahaman, informasi yang lebih banyak, dan keahlian yang cukup. Juga,
mereka dapat menerapkan pemahaman mereka tentang konsep untuk aktivitas tambahan.
5. Evaluation/mengevaluasi: fase ini mendidik siswa mengakses pemahaman dan kemampuan
mereka dan memberikan kesempatan bagi guru untuk mengevaluasi bagaimana
perkembangan siswa terhadap pencapaian tujuan pendidikan.