Dokumen tersebut membahas tentang masalah-masalah khusus dalam hukum waris Islam, yaitu persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian biasa. Terdapat tiga masalah khusus yang dibahas yaitu Al-Gharawain, Al-Musyarakah, dan Akdariyah beserta penjelasan singkat mengenai ketiganya.
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
Masalah Khusus Dalam Hukum Kewarisan Islam
1. BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Didalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah khusus. Adapun masalah-
masalah khusus yang dimaksud adalah persoalan-persoalan kewarisan yang
penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain
pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya
Masalah-masalah khusus ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan apabila
penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan/dibagi secara biasa.
Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta
warisan itu dilakukan secara khusus, dengan kata lain penyelesaian khusus ini
hanya berlaku untuk persoalan-persoalan hokum pewarisan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Al-Gharawain (Umariyatin) ?
2. Apa yang dimaksud Al-Musyarakah (Musyarikah) ?
3. Apa yang dimaksud Masalah kakek bersama saudara (Akdariyah) ?
C. Tujuan Masalah
1. Agar dapat mengetahui pengertian dari Al-Gharawain.
2. Agar dapat mengetahui pengertian dari Al-Musyarakah.
3. Agar dapat mengetahui pengertian dari Akdariyah.
2. BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Gharawain (umariyatin) dan Penjelasannya
Gharawain, bentuk tasniyah dari lafadz ghara (binatang cemerlang). Itu
disebut demikian karena kemasyhurannya bagaikan bintang yang cemerlang.
Nama lain dari gharawain adalah Umariyatin karena cara penyelesaiannya tersebut
diperkenalakan oleh Umar bin Khattab r.a.1
Masalah gharawain adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan
yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan
diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa
furudh dalam satu kesus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan beberapa
pihak.2
Masalah gharawain terjadi hanya dalam dua kemungkinan, yaitu sebagai
berikut:
1. Jika seorang yang meninggaldunia memiliki ahli waris suami, ibu, dan ayah.
2. Jika seorang meninggal memiliki ahli waris istri, ibu, dan ayah.
Yang dimaksud ahli waris disini adalah ahli waris yang tidak terhijab
karena boleh jadi ahli waris lain masih ada tetapi terhijab oleh ayah.
Dengan demikian, untuk menentukan apakah suatu kasus warisan itu
merupakan kasus gharawain atau tidak, terlebih dahulu harus ditentukan siapa saja
yang menjadi ahli waris orang yang meninggal, kemudian siapa yang terhijab, dan
ternyata ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan, yaitu suami, ibu, dan
ayah, atau istri, ibu, dan ayah.
Apabila ahli waris yang berhak untuk mendapatkan bagian warisan hanya
terdiri atas suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah, dapat dipastikan bahwa
1 Prof. DR. H. R. Otje Salman S.,S.H dan Mustafa Haffas,S.H. Hukum Waris Islam.(Bandung: Refika
Aditama, 2006) hal.75
2 Prof. DR. Amir Syarifuddin.Hukum Kewarisan Islam.(Jakarta:Kencana,2005 ) hal.108
3. persoaln warisan tersebut adalah persoalan yang khusus yang diistilahkan dengan
gharawain.3
Penyelesaian kasus gharawain tidaklah seperti penyelesaian kasus-kasus
kewarisan pada umumnya. Apabila diselesaikan secara biasa, hasilnya sebagai
berikut: Ahli Waris Fard Asal masalah:
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 6 = 2
Ayah ¼ ¼ x 6 = 1 (asabah: 6-5 = 1)
Apabila penyelesaian dengan seperti diatas, terlihat bahwa hasilnya untuk
ibu adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan ayah hanya memperolah 1. Padahal semestinya
pendapatan ayah harus lebih besar daripada pendapatan ibu. Disamping itu, ayah
selain sebagai ashabul furud juga merupakan ahli waris yang berhak menerima
bagian dengan asabah.
Jadi, persoalan gharawain ini terletak pada penerimaan ibu yang lebih
besar daripada penerimaan ayah. Untuk menghilangkan kejanggalan ini, haruslah
diselesaikan secara khusus, yaitu penerimaan ibu bukanlah 1/3 harta peninggalan,
melainkan hanya 1/3 dari sisa harta peninggalan.
B. Al-Musyarakah dan Penjelasannya
Persoalan musyarakah juga merupakan persoalan yang khusus untuk
menyelesaikan persoalan warisan antara saudara-saudara seibu (baik laki-laki
maupun perempuan sama saja) dengan saudara laki-laki sekandung. Untuk lebih
jelasnya dapat dikemukakan bahwa kasus Al-Musyarakah ini terjadi apabila ahli
waris terdiri atas:
1. Suami
2. Ibu atau nenek
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara seibu lebih dari seorang
3 Drs.Dian Khairul Umam. Fiqh Mawaris.(Bandung: Pustaka Setia,1999) hal.189
4. Untuk menyelesaikan masalah musyarakah4, perhatikanlah contoh berikut:
a) Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas suami, ibu, dua saudara
perempuan seibu, dan lima saudara laki-laki sekandung.
Dalam kasus tersebut, fard masing-masing adalah :
Suami ½
Ibu 1/6 (ada saudara lebih dari seorang) 2 sdri pr seibu
4 = 1/3 (karena lebih dari seorang)
5 sdr lk sekandung 2 sdr lk seibuasabah binnafsih
Kalau didasarkan pembagian secara biasa, hasilnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah:
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
2 sdri pr seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
2 sdr lk seibu
5 sdr lk sekandung asabah binafsih = habis
Dari penyelesaian diatas, tampak terlihat bahwa saudara seibu
memperoleh warisan, sedangkan saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh
bagian karena tidak ada sisa pembagian.
C. Akdariyah dan Penjelasannya
Dinamakan Akdariyah karenamenurut suatu pendapat yang mengajukan
persoalan ini bernama Akdar. Dalam kasus akdariyah ini, susunan ahli waris
adalah suami, kakek, saudara perempuan dan ibu. Dalam hal ini juga yang
dipertimbangkan adalah hak yang akan diterima oleh kakek jangan sampai ia
mendapat sedikit.
Jika kakek ditempatkan sebagai ashobah karena ia satu-satunya kerabat
laki-laki maka ia tidak akan dapat apa-apa karena harta habis terbagi di kalangan
dzawil furud. Suami mendapat ½ karena pewaris tidak meninggalkan anak, ibu
4 Drs.Dian Khairul Umam. Fiqh Mawaris.(Bandung: Pustaka Setia,1999) hal.190-194
5. menerima 1/3 karena tidak ada anak dan demikian pula seorang saudara
perempuan mendapat ½ karena pewaris adalah kalalah. Jumlah furudh akan
menjadi ½ + ½
+ 1/3 = 3/6 + 3/6 + 2/6 = 8/6. Kalau kakek diberi hak sebagai furudh 1/6
maka hal ini juga berbenturan dengan prinsip sebagai ayah, kakek harus menerima
banyak lebih dari ibu, sedangkan dalam kedudukan sebagai seoarang laki-laki
tentu tidak mungkin ia menerima lebih kecil dari saudara perempuan. Dalam hal
ini kakek berada dalam posisi yang serba tidak enak.
Menurut cara Abu Bakar, penyelesaiannya adalah sebagai berikut: suami
mendapat ½ sebagai furudh, ibu menerima 1/3 sebagai furudh dan kakek
menerima sisanya yaitu 1/6 sebagai asobah. Sedangkan saudara perempuan
terhalang oleh kakek dan dengan demikian tidak mendapatkan warisan. Karena
kakek sudah menerima kemungkinan terbaik, maka masalah dianggap selesai.
Umar dan Ibnu Mas’ud memeberikan solusi sebagai berikut: suami 1/2 ,
saudara perempuan ½, untuk kakek 1/6 sebagai furudh dan untuk ibu 1/6.
Kemudian pembagiannya diselesaikan secara ‘aul. Ibu diberi 1/6 dengan
pertimbangan supaya haknya tidak melebihi hak kakek. Namun alasan perubahan
persentase bagian yang di dapat ibu (1/6) dari yang telah ditetapkan oleh Al-
Qur’an, tidak pernah dijelaskan baik oleh Umar maupun Ibnu Mas’ud. Dalam
kasus ini, berarti keduanya lebih mementingkan perasaan daripada tuntutan
hokum.
Zaid bn Tsabit memberikan penyelesaian yang jenius dan memberikan
porsi yang lebih besar kepada kakek meskipun membentur beberapa prinsip
lainnya. Metode yang dilakukannya adalah sebagai berikut: Setiap orang
ditentukan furudhnya, yaitu:
Suami ½ = 3/6 Ibu 1/3 = 2/6 Saudara perempuan ½ = 3/6 · Kakek 1/6 = 1/6
Jumlah: 9/6
Setelah dilakukan ‘aul hak masing-masing adalah:
· Suami menjadi 3/9
· Ibu menjadi 2/9
· Saudara perempuan menjadi 3/9
6. · Kakek menjadi 1/9
Masing-masing ibu dan suami sebagai orang luar yang mendampingi kakek
dan saudara perempuan diberikan haknya, sudah itu hak saudara perempuan dan
kakek digabung menjadi 3/9 + 1/9 = 4/9. Jumlah ini dibagikan kepada kakek dan
saudara perempuan dengan perbandingan 2:1. Dengan demikian:
· Hak kakek menjadi 2/3 x 4/9 = 8/27
· Bagian saudara perempuan 1/3 x 4/9 = 4/27
Dari penyelesaian menurut Zaid tersebut memang telah terpenuhi
keinginan untuk menjadikan hak kakek (8/27) lebih besar dari saudara perempuan
(4/27) dan ibu. Namun saudara perempuan yang semestinya mendapatkan ½ atau
setelah di’aulkan menjadi 3/9 atau 9/27 menjadi 4/27. Hal ini berarti menjadi
korban dari kebijakan diatas.
7. DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak. 1995. Hukum Waris Islam
Lengkap dan Praktis. Jakarta: Sinar Grafika
Salman, Otje dan Mustafa Haffas . 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika
Aditama.
Syarifuddin, Amir. 2005. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.
Umam, Dian Khairul. 1999. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.