Artificial Ground Freezing (AGF) adalah teknik stabilisasi tanah yang melibatkan pembekuan tanah dengan mengalirkan bahan pendingin seperti air garam atau nitrogen cair melalui pipa yang tertanam di tanah. Teknik ini digunakan untuk mengendalikan air tanah, memperkuat tanah, dan memungkinkan konstruksi struktur di atas tanah yang tidak stabil. Tanah yang membeku memiliki sifat seperti kekuatan yang lebih tinggi, kekakuan yang lebih
Metode uji ini merupakan acuan dan pegangan bagi pelaksana, teknisi laboratorium atau produsen dalam melakukan pengujian jumlah bahan dalam agregat yang lolos saringan Nomor 200 (0,075 mm) Secara garis besar metode uji ini untuk memperoleh persentase jumlah bahan yang lebih
->Siphon adalah bangunan pembawa yang melewati bawah saluran lain (biasanya pembuang) atau jalan. Siphon bersifat saluran bertekanan atau tertutup.
->Bangunan terjun atau got miring diperlukan jika kemiringan permukaan tanah lebih curam daripada kemiringan maksimum saluran yang diizinkan. Bangunan terjunan dapat berupa terjunan tegak atau terjunan miring.
-> Gorong-gorong dipakai untuk membawa aliran air melewati bawah jalan air lainnya atau bawah jalan, serta jalan kereta api. Gorong-gorong mempunyai potongan melintang yang lebih kecil daripada luas basah saluran hulu maupun hilir.
Metode uji ini merupakan acuan dan pegangan bagi pelaksana, teknisi laboratorium atau produsen dalam melakukan pengujian jumlah bahan dalam agregat yang lolos saringan Nomor 200 (0,075 mm) Secara garis besar metode uji ini untuk memperoleh persentase jumlah bahan yang lebih
->Siphon adalah bangunan pembawa yang melewati bawah saluran lain (biasanya pembuang) atau jalan. Siphon bersifat saluran bertekanan atau tertutup.
->Bangunan terjun atau got miring diperlukan jika kemiringan permukaan tanah lebih curam daripada kemiringan maksimum saluran yang diizinkan. Bangunan terjunan dapat berupa terjunan tegak atau terjunan miring.
-> Gorong-gorong dipakai untuk membawa aliran air melewati bawah jalan air lainnya atau bawah jalan, serta jalan kereta api. Gorong-gorong mempunyai potongan melintang yang lebih kecil daripada luas basah saluran hulu maupun hilir.
Pengantar
Perencanaan struktur yang tertanam harus mempertimbangkan karakteristik pembentuknya yaitu Struktur dan tanah dimana struktur tersebut ditanam
Deformasi struktur besarnya tergantung kepada kekakuan tanah disekeliling struktur, jenis tanah pengisi dan ada tidaknya galian
Pengantar
Tanah akan memberikan tekanan terhadap struktur. Tanah akan membentuk busur (arc) diatas struktur.
bentuk busur ini akan mengurangi tekanan pada struktur.
Gaya busur ini tergantung kepada kekuatan tanah dan koefisien gesekan antara tanah pengisi dan tanah disekitarny
Artificial Ground freezing, AGF, Metode Thermal, Perbaikan Tanah
1. ARTIFICIAL GROUND FREEZING (JURNAL METODE PERBAIKAN TANAH 2021) 1
I. PENDAHULUAN
Artificial Ground Freezing (AGF) adalah teknik perbaikan tanah
di mana massa tanah dari geometri tertentu dibekukan menggunakan
proses pendinginan yang melibatkan bahan pendingin seperti garam-
garaman atau nitrogen cair, yang diedarkan melalui pipa yang
tertanam di tanah. AGF biasanya digunakan untuk stabilisasi
berbagai tanah dan pengendalian air. Metode Ground freezing ini
kerap juga disebut Soil freezing adalah teknik stabilisasi tanah yang
melibatkan penghilangan panas dari tanah untuk membekukan udara
pori tanah. Konsep tanah beku pertama kali diperkenalkan di Prancis,
dan aplikasi industri dimulai pada tahun 1862 di mana ia digunakan
sebagai metode konstruksi mine shaft construction di South Wales
(Schmidt 1895). Metode ini akhirnya dipatenkan oleh insinyur
pertambangan Jerman FH Poetsch pada tahun 1883 (kadang-kadang
disebut Proses Poetsch). Metode ini melibatkan sistem pipa yang
terdiri dari outer pipe dan concentric inner feed-pipes di mana
pendingin bersirkulasi (biasanya kalsium klorida). Melalui system
pipa, pendingin dipompa ke pipa dalam dan kembali ke pipa luar.
Kemudian didinginkan kembali melalui proses pendinginan dan
disirkulasi kembali,
Perkembangan lebih lanjut pada teknik AGF terjadi di Prancis pada
tahun 1962, ketika nitrogen cair (LN2) dipompa ke dalam pipa
pembekuan sebagai ganti air garam kalsium klorida dingin. Hal ini
mendukung pembekuan tanah lebih cepat jika perlu. Nitrogen cair
mengalir melalui pipa beku dan dibiarkan menguap ke atmosfer
(Sanger dan Sayles 1979). Saat ini, AGF telah diterapkan pada
berbagai macam proyek geoteknik di mana stabilitas, kondisi air
tanah, dan perkuatan menjadi masalah. Sebagai contoh adalah
konstruksi vertical shaft untuk tambang atau pembuatan terowongan,
pengendalian air tanah cut off (Dapat mengikat bedrock) dan
stabilisasi kondisi darurat menggunakan LN2 (Schmall dan Braun
2006).
II. EFEK PADA SIFAT TANAH
Terdapat beberapa efek AFG pada sifat tanah, yaitu
A.Konduktifitas Hidraulik Tanah Beku
Tanah yang membeku praktis kedap air sehingga banyak
diterapkan untuk pengendalian air pada proyek. Patahan es juga
memiliki kecenderungan untuk pulih sendiri dengan membeku
kembali. Masalah permeabilitas muncul ketika prosedur pembekuan
tidak dilakukan dengan benar, dan tanah tidak membeku sepenuhnya
sebagai satu massa yang dapat mengganggu kemampuan barrier
untuk menahan dan mengendalikan udara atau mengisolasi
kontaminan di dalam tanah. Fase tanah beku sering ditemukan dan
diukur menggunakan metode pengukuran ultrasonik (Jessberger
1980).
B. Perilaku Kekuatan Tanah Beku
Perilaku tanah beku, seperti tanah lainnya, bergantung pada
sejumlah faktor, termasuk jenis tanah, suhu, confining stress,
kepadatan relatif, dan laju regangan. Tanah beku menunjukkan
kekuatan yang lebih tinggi dari tanah yang tidak membeku. Secara
umum, kekuatan tanah beku meningkat seiring dengan penurunan
suhu dan peningkatan confining stress. Da Re dkk. 2003 melakukan
studi tentang kekuatan triaksial Pasir Halus Manchester (Manchester
Fine Sand/MFS) beku, di mana spesimen disiapkan pada berbagai
kerapatan relatif (20 - 100%), confining pressure (0,1 - 10 MPa), laju
regangan (3 x 10-6 - 5 x 10-4 s-1), dan suhu (-2 hingga -25 ° C).
Hasilnya, ditunjukkan secara grafis pada Gambar 1, menunjukkan
dua daerah regangan yang berbeda untuk tanah beku. Regangan kecil
(kurang dari 1% aksial) meningkatkan kekuatan secara linier yang
memiliki kemiringan (modulus) yang tidak tergantung pada
kerapatan relatif atau tegangan pembatas (Confining Stress).
Besarnya titik leleh awal (pada regangan aksial 0,5-1% dalam semua
kasus) meningkat dengan laju regangan dan penurunan suhu. Perilaku
membesarnya regangan termasuk Strain Softening, ditunjukkan oleh
spesimen yang dengan kerapatan relatif rendah dan di bawah
confining stress rendah, dan strain hardening ditunjukkan oleh
spesimen yang ditempatkan pada kerapatan relatif tinggi dan
confining pressure tinggi
Dalam penelitian Da Re et al 2003 yang dijelaskan oleh Kornfield
dan Zubeck 2013. Mereka menyatakan bahwa penurunan tegangan
melewati titik leleh awal disebabkan oleh peningkatan penghancuran
dan pelelehan tekanan udara pori yang membeku. Yang et al. 2009
dan Xu dkk. 2011 juga menunjukkan bahwa confining pressure
meningkat , kekuatan geser mencapai puncaknya kemudian menurun
karena penghancuran es dan pelelehan . Umumnya, pada suhu -10 °
C pasir beku dan lempung beku memiliki kuat tekan masing-masing
15 MPa dan 3 MPa (Klein 2012).
Kuat tekan lempung beku dianalisis oleh Li et al. di bawah variabel
suhu, kecepatan regangan, kepadatan kering. Tanah liat dipadatkan
menjadi tiga kepadatan kering yang berbeda dan memiliki batas cair
(LL) 28,8% dan batas plastik (PL) 17,7%. Uji uniaxial Compression
dilakukan pada suhu yang berbeda (-2 hingga -15 ° C) dan laju
regangan yang berbeda (kira-kira 1 x 10-6 hingga 6 x 10-4 s-1) pada
setiap kerapatan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kuat
tekan tanah yang diuji meningkat dengan laju regangan, penurunan
suhu, dan peningkatan kepadatan kering, hal ini serupa dengan
perilaku MFS yang diuji dalam study yang dilakukan Da Re et al.
Gambar 1. Perilaku kekuatan MFS (Da Re et al. 2003)
C. Kekakuan Tanah Beku
Secara umum, tanah yang membeku lebih kaku dari tanah yang
tidak membeku. Da Re et al., Dalam studi kekuatan tanah beku
mereka di MFS, melakukan studi tentang Young's Modulus. Mereka
menemukan bahwa MFS yang dibekukan memiliki modulus Young
sekitar 23 GPa hingga 30 GPa. Dalam hal ini ditemukan bahwa
akibat regangan kecil ,modulus young tidak tergantung pada variabel
Stabilisasi Tanah Menggunakan
Artificial Ground Freezing
Slamet Rohadi Budi Prasetyo (NRP.6022201026)
Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil Perencanaan dan Kebumian
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
e-mail: slametrbp20@gmail.com
2. ARTIFICIAL GROUND FREEZING (JURNAL METODE PERBAIKAN TANAH 2021) 2
yang diuji (kerapatan relatif, tegangan pembatas, laju regangan, dan
suhu). Gambar 2 dari Da Re et. al., 2003 studi menunjukkan
ketidakketergantungan modulus Young pasir beku, dengan
menormalkan tegangan geser dengan tegangan leleh awal. Pada
(Gambar 2) juga menunjukkan regangan volumetrik yang berbeda
karena sifat pengerasan regangan atau pelunakan dari tegangan leleh
awal pasca MFS beku, sebagaimana dilambangkan dengan perilaku
tegangan-regangan Tipe A, B, C, atau D.
Gambar 2. Perilaku tegangan-regangan yang dinormalisasi dari MFS (Da Re
et al. 2003)
D.Karakteristik Perubahan Volume Tanah Beku
Selama fase perubahan dari cair ke padat, volume air meningkat
sekitar 9%, yang berarti tanah terangkat di permukaan tanah (Lackner
et al. 2005). Beban karena ekspansi volume dapat merusak struktur di
sekitarnya (terowongan, struktur permukaan) selama pembekuan dan
pencairan, oleh karena itu penting untuk memahami sifat-sifat tanah
dan bagaimana mereka berkontribusi pada tanah selama AFG. Tanah
yang menunjukkan pengangkatan juga akan mengalami pengendapan
setelah pencairan, yang harus dipertimbangkan. Tanah juga dapat
mengalami perubahan volume akibat creep saat dibebani.
Pengangkatan tanah terjadi di tanah tempat lensa es terbentuk di
dalam lubang. Struktur tanah harus mendorong perpindahan air dari
ruang hampa di sekitarnya ke bagian depan lensa es yang membeku
melalui gaya kapiler. Oleh karena itu, tanah berlumpur sangat rentan
terhadap embun beku dan diperkirakan akan menjadi masalah bagi
bangunan di dekatnya (Widianto et al. 2009).
III. KLASIFIKASI TANAH BEKU DAN PENGUJIAN
LABORATORIUM
A. KLASIFIKASI TANAH BEKU
Klasifikasi dan deskripsi tanah beku saat ini diatur oleh ASTM
D4083-89 melibatkan deskripsi dari fasa tanah dan fasa material es.
Deskripsi fase tanah sama dengan tanah beku, ASTM D2488. Fase
beku kemudian diklasifikasikan menjadi salah satu dari dua
kelompok: N untuk tanah tanpa es terlihat dan V untuk tanah dengan
es terlihat signifikan. Grup ini kemudian dipecah menjadi
subkelompok yang dijelaskan dalam peraturan standarisasi. Gambar 3
dan 4 menunjukkan representasi visual dari es yang terlihat dan tidak
ada klasifikasi es yang terlihat, sesuai standar ASTM D4083-89
Es yang terlihat diwakili oleh warna hitam pada Gambar 3. Es yang
terlihat mungkin ada di dalam struktur tanah sebagai kantong es yang
terpisah (Vx), lapisan di sekitar partikel tanah (Vc), formasi tidak
teratur (Vr), atau formasi bertingkat (Vs).
Sayles dkk. Tahun 1987 memberikan beberapa rekomendasi untuk
deskripsi lengkap dari tanah yang membeku dimulai dari simbol dan
deskripsi USCS tanah tidak beku, parameternya seperti distribusi
ukuran butir, batas Atterberg, serta sifat fisik seperti kandungan es
(beku), kadar air (tidak beku), berat satuan, berat jenis tanah, saturasi
persentase, dan salinitas. Parameter ini memiliki pengaruh yang kuat
terhadap kekuatan beku dan perilaku tanah. Untuk aplikasi
pembekuan tanah buatan, direkomendasikan sistem yang dijelaskan
dalam Andersland dan Anderson 1978 digunakan (Sayles et al.
1987).
B. PENGUJIAN LABORATORIUM
Sehubungan dengan tanah beku, ASTM dan JGS memiliki
beberapa standar untuk pengujian laboratorium. JGS 0171-2003
adalah metode pengujian untuk memprediksi gelombang es pada
suatu tanah. Standar ini menggunakan persamaan Takashi untuk
gelombang es ke arah aliran panas. Ada banyak unstandardized
laboratory dan uji lapangan yang saat ini digunakan untuk tanah beku
yaitu (Oestgaard dan Zubeck 2013) yaitu
• Direct Shear (Bennett and Nickling 1984, Yasufuku et al. 2003).
• Triaxial Compression (Baker et al. 1984, Arenson et al 2004).
• Uniaxial Tension (Zhu and Carbee 1987, Erckhardt 1981).
• Constant Creep (Andersland and Ladanyi 2004).
• Relaxation Test (Andersland and Ladanyi 2004).
• Thaw Consolidation (Morgenstern and Nixon 1971).
• Pressuremeter Creep (Ladanyi 1982).
• Pressuremeter Relaxation (Ladanyi 1982, Ladanyi and Melouki
1992).
IV. IMPLEMENTASI DI LAPANGAN
Secara garis besar pelaksanaan pembekuan tanah di lapangan
tergantung dari peralatan, bahan pendingin dan prosedurnya.
Pembekuan tanah membutuhkan plan pendingin yang dinamis
(Gambar 3a). Pabrik/plan dapat bekerja dengan bahan pendingin
seperti amonia atau CO2, dan bekerja untuk menghilangkan panas
dari cairan yang bersirkulasi, biasanya berupa kalsium klorida atau
magnesium klorida air garam (Jessberger 1980).
Suhu air garam -25 ° C atau kurang, biasanya cukup untuk sebagian
besar proyek. Air asin komersial yang dirancang khusus untuk
digunakan dengan AFG juga sudah tersedia. Sifat pendingin ini
sangat penting diselidiki untuk memastikan kompatibilitas dengan
peralatan lain (misalnya korosi pipa). Pendingin yang digunakan
mungkin bergantung pada persyaratan suhu proyek misal air garam
magnesium klorida membeku pada -34 ° dan air garam kalsium
klorida membeku pada -55 ° C. Biasanya Suhu air garam -25 ° C
sudah cukup untuk pembekuan.
LN2 mendidih pada suhu -196 ° C dan dapat digunakan sebagai
pengganti pendingin generik. Karena suhu LN2 yang sangat rendah,
pembekuan tanah dengan LN2 terjadi lebih cepat. Oleh karena itu,
pembekuan total dapat dilakukan lebih cepat dengan LN2 daripada
air garam dingin. Namun, karena biayanya yang lebih tinggi,
biasanya digunakan untuk stabilisasi darurat, pembekuan jangka
pendek, dan proyek volume kecil. LN2 diangkut ke lokasi dalam
tangki penyimpanan khusus dan dimasukkan langsung ke pipa
pembekuan. Bahan ini tidak disalurkan dengan plan pendingin.
Sebaliknya, dibiarkan menguap di permukaan (Gambar 3b), setelah
menghilangkan panas dari tanah (Jessberger 1980). Dibeberapa
proyek, mixed method kerap digunakan. Pada metode ini, LN2
digunakan untuk proses pembekuan awal saja, kemudian
maintenance suhu selanjutnya dilakukan dengan bahan pendingin
seperti garam-garaman (brine). Metode ini menghemat waktu untuk
fase pembekuan dibandingkan dengan metode brine. Di sisi lain,
biayanya bisa sangat mahal, karena memerlukan pemasangan sistem
distribusi terpisah untuk air garam dan nitrogen cair serta penggunaan
pipa tembaga di dalam pipa pembekuan baja. Setelah fase pembekuan
nitrogen, suhu pipa tembaga harus di atas -35 ° C agar air garam cair
bersirkulasi, jika tidak air garam dapat membeku ke dalam pipa.
Skemati plan pembekuan dapat dilihat (Gambar 4b).
Untuk iklim yang lebih dingin, termosifon dapat digunakan untuk
mencapai suhu yang diperlukan dalam membekukan tanah.
Termosifon menerapkan kerja konveksi fluida untuk menghilangkan
panas dari tanah dan mentransfernya ke udara di permukaan tanah.
Suhu udara sekitar harus lebih rendah dari suhu tanah agar proses ini
3. ARTIFICIAL GROUND FREEZING (JURNAL METODE PERBAIKAN TANAH 2021) 3
dapat bekerja, oleh karena itu biasanya digunakan di daerah dingin.
Cairan kerja termosifon terkubur di dalam tanah, di mana cairan yang
terkandung menyerap panas, menguap, dan naik ke atas sifon. Di
sana, ia didinginkan oleh udara di sekitarnya sehingga mengembun
dan kembali ke dasar termosifon. Proses ini ditunjukkan pada
(Gambar 4a). Proses ini hemat energi, namun memerlukan suhu
udara di bawah titik beku agar dapat digunakan secara efektif dalam
proses AGF.
Pipa beku dapat dibuat dari berbagai bahan. Pengaturan tipikal
dapat mencakup pipa luar baja berdiameter 5 inci dan pipa dalam
plastik berdiameter 3 inci (misalnya polietilen) (Klein 2012). Pipa
beku harus mampu berdiri tegak dan menahan tekanan lateral bumi
yang terkait dengan lokasi. Sebagai aturan praktis, pipa beku harus
mampu menahan 13 kPa per meter kedalaman penguburan poros
(Klein 2012). Integritas pipa beku harus dipantau untuk mencegah
kerusakan pada pipa akibat timbunan tanah.
Salah satu aspek terpenting dari proyek AGF adalah memantau
kondisi tanah selama pembekuan dan pencairan. Biasanya, sebuah
lubang dibor di dekat dinding beku, terdapat pengukur suhu yang
dipasang untuk memantau suhu tanah. Ini sangat penting untuk hasil
akhir (dinding pemotongan beku, massa tanah beku, dll). Selain itu,
pengangkatan tanah dan penurunan karena pembekuan dan pencairan
tanah setelah penyelesaian proyek dipantau. Jika penggalian di balik
dinding beku akan dilakukan, deflektometer, ekstensometer, dan
inklinometer dapat digunakan untuk memantau pergerakan. Akuisisi
data secara otomatis digunakan untuk pengukuran suhu dan defleksi.
Selain itu, digunakan sistem computer untuk mengatur aliran cairan
pendingin ke dalam pipa beku agar lebih akurat dalam mengontrol
suhu tanah.
(a) (b)
Gambar 3. (a)Instalasi pendingin bergerak selama AGF (SoilFreeze) (b)
Penguapan nitrogen cair selama AGF (Jessberger 1980).
(a) (b)
Gambar 4. (a) Diagram Termosifon pasif (Wagner dan Yarmak 2012); (b)
Skematik Frezzing plan (BAUER Fondation)
V. PERTIMBANGAN DESAIN
Langkah terpenting dalam memastikan keberhasilan implementasi
AGF adalah karakterisasi lokasi. Jenis tanah dan air tanah harus
dikarakterisasi secara akurat untuk memastikan tanah membeku
memenuhi spesifikasi desain. Khususnya, untuk proyek AGF, tanah
harus selalu diambil sampelnya dan diuji sifat termalnya. Air tanah
juga diuji untuk suhu dan kecepatan pembekuan. Kecepatan air tanah
yang tinggi (> 2 m / hari) menimbulkan masalah selama pembekuan
tanah, dan dapat menyebabkan diskontinuitas. Jarak pipa yang lebih
kecil, beberapa baris, atau menggunakan LN2 dapat digunakan untuk
mengimbangi kecepatan air tanah yang tinggi (FHWA 2013, Klein
2012).
Xanthakos dkk. 1994 merekomendasikan rasio jarak dan diameter
pipa beku kurang dari atau sama dengan 13 digunakan untuk pipa
berdiameter 120 mm atau lebih kecil. Salinitas air tanah juga harus
diperhatikan. Salinitas tinggi akan mempengaruhi penurunan suhu
pembekuan dan kekuatan beku yang lebih rendah. Ketika salinitas
meningkat, gelombang es, penurunan pencairan, dan gaya naik-turun
akan berkurang. Jika salinitas tidak diperhitungkan dengan benar
maka desain yang dihasilkan kurang konservatif. Selain itu, salinitas
mungkin tidak homogen di air pori. Area dengan konsentrasi yang
lebih tinggi dapat membentuk kantong air yang tidak membeku (Hu
et al. 2010).
Pertimbangan lebih lanjut di luar properti tanah dan air tanah
mencakup suhu udara, skala waktu dan risiko proyek, serta perkiraan
berat dan penurunan tanah. Jika suhu udara sekitar cukup dingin,
termosifon dapat digunakan untuk menghemat energi. Dalam situasi
darurat yang membutuhkan pembekuan tanah segera, seperti masalah
penjadwalan konstruksi, nitrogen cair dapat digunakan sebagai
pendingin. Akhirnya, desain juga harus peka terhadap kenaikan tanah
yang terjadi selama pembekuan dan penurunan selama pencairan.
Perubahan fasa dari air menjadi es dapat menyebabkan peningkatan
volume hingga 9%, yang berarti tanah naik selama pembekuan
(Lackner et al, 2005).
Parameter desain yang ditentukan dari karakterisasi sering
dimodelkan menggunakan program komputer metode elemen hingga
(FEM), seperti Ansys. Program tambahan seperti GeoStudio's SEEP /
W dan AIR / W dapat memodelkan kondisi batas permukaan
konvektif. TEMP / W digunakan di GeoStudio untuk memodelkan
perubahan termal di tanah. Karena sifatnya yang kedap air, tanah
yang membeku menjadi bahan pemisah air tanah yang sangat baik.
Pembekuan tanah telah digunakan untuk membuat lapisan kedap air
di sekitar penggalian. Ia juga memiliki kemampuan untuk mengikat
dengan batuan dasar dan bagian bawah permukaan lainnya (Schmall
dan Braun 2006). Konduktivitas hidraulik batuan juga dapat
meningkat setelah pencairan.
VI. WAKTU PEMBEKUAN DAN BIAYA
Pembekuan tanah buatan bisa menjadi proses yang memakan
waktu. Air garam dingin lebih cocok untuk proyek dengan kerangka
waktu yang lebih lama dalam urutan minggu hingga bulan (Tabel 1).
Air garam disiklus melalui sistem perpipaan selama fase pembekuan
sampai tanah benar-benar beku. Setelah tanah cukup beku, suhu
dijaga agar tetap konstan selama fase pemeliharaan. Nitrogen cair
dapat digunakan untuk pembekuan cepat di tanah karena suhunya
jauh lebih rendah dan pembekuan dapat dicapai dalam hitungan hari.
Waktu pembekuan merupakan fungsi dari beberapa faktor, di
antaranya adalah jarak pipa dan suhu. Kolom pembekuan menyebar
secara radial di sekitar setiap pipa.Tanah dianggap sepenuhnya beku
jika kolom pembekuan telah tumpang tindih dan semua ruang di
antara keduanya telah dibekukan. Jarak yang lebih besar berkorelasi
dengan waktu pembekuan yang lebih lama (Johansson 2009). Pada
Gambar 5 mengilustrasikan hubungan time dan jarak pemberkuan
tanah berpasir dan tanah liat. Tanah liat umumnya membutuhkan
waktu pembekuan yang lebih lama daripada tanah berpasir untuk
jarak pipa yang sama. Kandungan air yang lebih banyak
membutuhkan waktu pembekuan yang lebih lama karena lebih
banyak air yang harus dibekukan. Suhu air garam yang lebih rendah
akan menurunkan waktu pembekuan yang dibutuhkan.
Biaya proyek AGF dapat sangat bervariasi tergantung pada
kebutuhan energi, ukuran area pembekuan, kesulitan spesifik lokasi,
4. ARTIFICIAL GROUND FREEZING (JURNAL METODE PERBAIKAN TANAH 2021) 4
pendingin (nitrogen cair jauh lebih mahal daripada air garam), dan
skala waktu. Pembekuan tanah menjadi hemat biaya dibandingkan
metode lain ketika AGF cocok untuk proyek (Schmall dan Braun
2006). AGF dapat menjadi metode yang diinginkan karena kondisi
tanah yang sulit (misalnya lapisan yang lemah, filler yang tidak
direkayasa) atau ketika rangkaian teknik perbaikan diperlukan (van
Dijk dan Bouwmeester-van der Bos 2001).
Sebuah studi rekayasa pada proyek di terowongan di boston,
menunjukkan bahwa AGF dapat memberikan stabilitas yang
dibutuhkan melalui setiap lapisan tanah di lokasi dengan biaya yang
lebih rendah daripada menerapkan empat metode perbaikan tanah
yang berbeda (grouting kimiawi, penghilangan air, grouting jet
horizontal, dan soil nailing). Oleh karena itu AGF dipilih untuk
memberikan stabilitas permukaan terowongan untuk penggalian dan
support jacking pada proyek ini.
Saat ini, pembekuan tanah menjadi metode yang semakin
kompetitif berdasarkan biaya bahkan untuk aplikasi geoteknik dasar.
Biasanya, dinding tanah beku dapat menghabiskan biaya di mana saja
dalam kisaran $ 30- $ 60 per kaki persegi tanah beku (Daniel
Mageau, komunikasi pribadi, 14 April 2014).
Tabel 1. Ringkasan sifat air garam kalsium klorida dan nitrogen cair untuk
AGF (Anderslon 2004)
Gambar 5. AGF dengan brine, waktu pembekuan yang dibutuhkan sebagai
fungsi jarak pipa (Setelah Jessberger dan Vyalov 1978)
VII. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
A. Keuntungan
Pembekuan tanah adalah metode yang sangat serbaguna untuk
perbaikan atau penghentian sementara tanah. Ini berlaku untuk
seluruh kisaran tanah, asalkan tanah hampir jenuh atau benar-benar
jenuh. Jika kandungan air tidak memenuhi, air dapat ditambahkan,
asalkan air tidak akan cepat keluar dari tanah (Schmall dan Braun
2006). Selain itu metode ini dapat diterapkan pada seluruh lapisan
tanah, metode ini juga bisa untuk kondisi tanah yang sulit termasuk
batu besar dan kerikil. Selain itu, pembekuan tanah dapat membuat
dinding pembeku atau massa tanah yang membeku dalam berbagai
geometri (Gambar 9), cukup dengan memodifikasi penempatan dan
jarak pipa beku. Hal ini sangat penting selama aplikasi pembuatan
terowongan, di mana pipa beku dipasang secara horizontal pada
berbagai sudut untuk menciptakan tanah beku yang stabil saat
penggalian terowongan. Selain itu, pembekuan tanah kemungkinan
akan hemat biaya jika kondisi tanah yang membutuhkan stabilitas
dan / atau penahanan yang harus dicapai dengan berbagai metode
seperti pada proyek CA / T Boston.
B. Kekurangan
Pembekuan tanah adalah proses yang sangat intensif energi,
membutuhkan pendinginan tanah dalam jumlah besar selama periode
waktu yang lama dan sangat mahal. Biaya hanya meningkat jika
nitrogen cair dibutuhkan untuk pembekuan tanah yang lebih cepat.
Selain itu, menerapkan pembekuan tanah memerlukan banyak
pemantauan seperti suhu air asin, suhu tanah, defleksi struktur yang
berdekatan, pengangkatan dan penurunan di permukaan tanah,
salinitas air tanah, tekanan dalam pipa beku (deteksi kebocoran),
ketebalan dinding beku, dan lokasi. Kemungkinan kegagalan proyek
AGF dapat terjadi karena pemantauan atau pemasangan yang tidak
memadai. Jarak dari pipa beku mungkin tidak diatur dengan baik
sehingga menyebabkan ketebalan dinding beku tidak terkontrol, dan
tumbuh terlalu besar. Hal ini menyebabkan tekanan yang tidak perlu
pada struktur dan tanah di dekatnya. Selain itu, pengamanan pipa
beku yang tidak baik dapat menyebabkan kebocoran air garam.
Kerugian dapat terjadi pada peningkatan volume air selama
pembekuan, yang menyebabkan tanah naik dan mencair, sehingga
merusak bangunan yang berdekatan jika tidak dipantau dan
diperhitungkan dengan pemeliharaan struktur secara teratur.
Pengangkatan dan penurunan tanah juga dapat merusak peralatan
AGF, paling sering pipa beku, menyebabkan kebocoran dan
membutuhkan perawatan.
VIII. KESIMPULAN
Pembekuan tanah buatan adalah teknik serbaguna untuk perbaikan
dan stabilitas tanah. Penerapan AGF mencakup sebagian besar jenis
tanah termasuk tanah yang tidak direkayasa, bongkahan batu dan
penghalang besar lainnya, dan tanah berbutir halus lemah. Metode ini
telah digunakan untuk konstruksi shaft/poros vertikal untuk
penambangan, stabilisasi timbunan tanah yang banyak puing,
stabilisasi horizontal untuk pembuatan terowongan, penahanan
kontaminan vertikal dan / atau lateral, pengalihan kontaminan,
pemutusan air tanah yang diikat ke batuan dasar, dan stabilisasi
darurat menggunakan nitrogen cair.
AGF menciptakan penghalang/barrier atau massa tanah yang tidak
dapat ditembus dan membeku, yang memiliki kekuatan dan kekakuan
yang lebih tinggi daripada tanah yang tidak membeku. Akan tetapi
memiliki kapasitas untuk mengangkat/heave tanah saat pencairan
yang dapat menjadi masalah bagi struktur di dekatnya terutama jika
dekat pemukiman. Karakterisasi lokasi yang tepat adalah kunci untuk
mengantisipasi efek pembekuan tanah pada tanah di lokasi tertentu.
Standar pengujian laboratorium tersedia dari ASTM dan JGS.
Standar klasifikasi untuk tanah beku didokumentasikan oleh ASTM.
AGF diterapkan di lapangan dengan menggunakan plan/pabrik
pendingin yang dapat bergerak, yang mengedarkan air garam kalsium
klorida dingin melalui pipa pembeku, menghilangkan panas dari
tanah dan membekukan air pori tanah. Nitrogen cair juga dapat
digunakan, namun dibiarkan menguap ke atmosfer daripada
disirkulasi ulang. Sejumlah pertimbangan desain harus
dipertimbangkan seperti jarak pipa beku, waktu pembekuan,
kecepatan air tanah, kejenuhan, salinitas air pori, perkiraan berat
tanah, dan biaya.
Temperatur tanah dan pendingin, serta beban tanah, penurunan, dan
tekanan pada struktur eksisting serta pipa beku penting untuk
dipantau saat melaksanakan proses pembekuan tanah buatan. Secara
keseluruhan, pembekuan tanah buatan memiliki berbagai macam
aplikasi, dan sejarah penerapan yang berhasil di lapangan. Hal
menjadi kompetitif secara ekonomi dengan metode stabilisasi tanah
pada umumnya dan memiliki kemampuan untuk diterapkan pada
berbagai macam proyek.
Untuk Lokasi Di Indonesia , metode ini kecil kemungkinan bisa
dilakukan dengan melihat iklim dan kondisi geografis di Indonesia.
Apabila dipaksakan akan menjadi sangat sulit dan kemungkinan
terjadinya kegagalan besar serta akan menelan biaya yang sangat
besar. Sehingga metode ini praktis digunakan untuk daerah beriklim
sub tropis.
5. ARTIFICIAL GROUND FREEZING (JURNAL METODE PERBAIKAN TANAH 2021) 5
DAFTAR PUSTAKA
Andersland, O.B., and Anderson, D.M. (1978). “Geotechnical
Engineering for Cold Regions.” McGraw Hill, New York, NY.
Andersland, O. and Ladanyi, B. (2004). Frozen Ground Engineering,
2nd ed., Wiley and Sons, Hoboken, NJ.
Da Re, G. et al. (2003). “Triaxial Testing of Frozen Sand: Equipment
and Example Results.” Journal of Cold Regions Engineering, 17(3),
90-118.
Dijk, P. and Bouwmeester-van den Bos, J. (2001). “Large Scale
Application of Artificial Ground Freezing.” Soft Ground Technology,
315-330.
Hu, X. et al. (2010). “Safety Problem of Freezing Projects in Saline
Soils.” Ground Improvement and Geosynthetics, 255-262.
Jessberger, H. (1980). “Theory and Application of Ground Freezing
in Civil Engineering.” Cold Regions Science and Technology, 3
(1980), 3-27
Jessberger, H. and Vyalov, S. (1978). “1st Init Symp on Ground
Freezing.” Bochum, vol (2).
JGS Standard 0171-2003, "Test Method for Frost Heave Prediction
of Soils"
Johansson, T. (2009). “Artificial Ground Freezing in Clayey Soils -
Laboratory and Field Studies of Deformations During Thawing at the
Bothnia Line.” Doctoral thesis, KTH, Div of Soil and Rock Mech.
Klein, J. (2012). “FAQs for Brine Freezing of Shafts.”
Geoengineer.org, engineer.org/multimedia-virtual/item/257-faqs-for-
brine-freezing-of-shafts> (March 18, 2014).
Lackner, R. et al. (2005). “Artificial Ground Freezing of Fully
Saturated Soil: Thermal Problem.” J. Eng. Mech., 131(2), 11–220.
Mageau, Daniel. (2013). "I-405 Stormwater Detential Vault."
SoilFreeze
Sanger, F.J. and Sayles, F.H. (1979). “Thermal and theological
computations for artificially frozen ground construction.” Eng. Geol.,
13, 311-337.
Sayles, F. et al. (1987). “Classification and Laboratory Testing of
Artificially Frozen Ground.” Journal of Cold Regions Engineering,
1(1), 22–48.
Schmall, P. and Braun, B. (2006). “Ground Freezing — A Viable and
Versatile Construction Technique.” Cold Regions Engineering 2006,
1-11.
Wagner, A. and Yarmak Jr., E. (2013). “The Performance of
Artificial Frozen Barriers.” ISCORD 2013, 116-127.
Xanthakos, P.P., Abramson, L.W., and Bruce, D.A. (1994). “Ground
Control and Improvement.” John Wiley & Sons, New York, NY.
Yang, Y., Lai, Y., and Li, J. (2009). “Laboratory Investigation on the
Strength Characteristics of Frozen Sand Considering Effect of
Confining Pressure.” Cold Regions Sci. Technol., 60, 245-250.
Yang, Y., Lai, Y., and Li, J. (2009). “Laboratory Investigation on the
Strength Characteristics of Frozen Sand Considering Effect of
Confining Pressure.” Cold Regions Sci. Technol., 60, 245-250.
Yasufuku, N., Springman, S.M., Arenson, L.U., and Ramholt, T.
(2003). “Stress-Dilatancy Behavior of Frozen Sand in Direct Shear.”
Permafrost, Swets and Zeitlinger, Amsterdam, p. 1253.
Zhu, Y., and Carbee, D.L. (1987). “Tensile Strength of Frozen Silt.”
CRREL Report 87-15: Cold Regions Research and Engineering
Laboratory, Hanover, NH.