1. Anemia masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia termasuk pada anak sekolah dasar. Faktor penyebabnya antara lain defisiensi zat besi, protein, vitamin A, dan asupan makanan yang tidak seimbang.
2. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi ibu, asupan zat gizi, inhibitor dan enhancer besi dengan kadar hemoglobin pada anak sekolah dasar di Kota Yogyakarta.
asuhan keperawatan jiwa dengan diagnosa keperawatan resiko perilaku kekerasan
anemia
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anemia adalah suatu keadaan tubuh yang ditandai dengan
defisiensi pada ukuran dan jumlah eritrosit atau pada kadar hemoglobin
yang tidak mencukupi untuk fungsi pertukaran O2 dan CO2 di antara
jaringan dan darah. Hingga saat ini anemia masih menjadi masalah
kesehatan utama di Indonesia selain masalah kurang energi protein,
kurang vitamin A dan gangguan akibat kurang iodium (GAKI) (Subagio,
2007).
Prevalensi anemia digunakan sebagai indikator alternatif untuk
defisiensi zat besi pada tatanan kesehatan masyarakat yang diukur
berdasarkan nilai kadar hemoglobin. Anemia merupakan masalah
kesehatan masyarakat dunia karena prevalensinya masih tinggi pada
semua kelompok umur, terutama di negara-negara sedang berkembang
termasuk Indonesia.
Villalpando, et al. (2002) prevalensi anemia pada anak menurun
seiring bertambahnya usia. Penelitian yang dilakukan di Mexico prevalensi
anemia tertinggi pada anak usia 12 – 24 bulan (48,9%). Sedangkan pada
anak usia sekolah 5-11 tahun prevalensinya berkisar antara 14,6 – 22%.
Pada anak usia 11 tahun prevalensi anemia ditemukan sebesar 14,6%.
Departemen Kesehatan (Depkes) (2008) dalam Riset Kesehatan
Dasar menyatakan bahwa prevalensi anemia di Indonesia adalah 14,8%,
dengan jenis anemia terbanyak adalah anemia mikrositik hipokromik
(60,2%). Jika dibandingkan antara anak-anak dan dewasa, anemia
mikrositik hipokromik ini lebih besar proporsinya pada anak-anak (70,1%),
sedangkan pada laki-laki dewasa 33,4%, dan pada wanita dewasa 59,9%.
Anemia mikrositik-hipokromik, dapat terjadi karena kekurangan zat
besi, penyakit kronis tingkat lanjut, atau keracunan timbal, sedangkan
anemia normositik normokromik biasanya terjadi karena penyakit kronis
2. 2
fase awal atau perdarahan akut. Anemia makrositik biasanya karena
kekurangan vitamin B12 (Baldy, 2006).
Anemia merupakan suatu sindrom, dengan banyak penyebab
(Bakta, 2007). McLean (2007) menyatakan bahwa penyebab anemia
adalah akibat faktor gizi dan non gizi. Faktor gizi terkait dengan defisiensi
vitamin dan mineral, sedangkan faktor non gizi terkait infeksi dan
hemoglobinophathies. International Nutritional Anemia Consultative Group
(INACG) (2002) dalam Subagio (2007), anemia disebabkan oleh defisiensi
zat gizi makro dan mikro. Pada negara berkembang anemia disebabkan
oleh asupan makanan yang tidak adekuat, khususnya zat gizi yang
diperlukan untuk sintesis eritrosit (protein, besi, asam folat, vitamin B12,
vitamin C, vitamin A, dan zink), adanya bahan penghambat penyerapan
besi (fitat, oksalat dan tanin), rendahnya asupan makanan enhancer besi
dan infeksi parasit seperti malaria dan kecacingan. Almatsier (2002)
menyatakan penyebab masalah anemia gizi besi adalah kurangnya daya
beli masyarakat, untuk mengkonsumsi makanan sumber zat besi,
terutama dengan ketersediaan biologi zat besi yang tinggi. Lucas (2004)
beberapa faktor yang berhubungan dengan defisiensi besi dengan atau
tanpa anemia, termasuk tingkat pendidikan orang tua, dan akses terhadap
pelayanan kesehatan sama eratnya dengan asupan gizi.
Kejadian kurang gizi dan anemia pada anak dapat disebabkan
kurangnya pemahaman dan persepsi ibu yang kurang tepat terhadap
pemberian makan anak dan tentang kejadian anemia itu sendiri. UNICEF
(1998) kurangnya pendidikan dan pengetahuan akan mempengaruhi
ketersediaan makanan kaya zat gizi. Salah satu penelitian di masyarakat
India menyebutkan bahwa kejadian kurang gizi yang paling banyak
ditemui di masyarakat India karena kurangnya pemahaman ibu terhadap
kebutuhan gizi anak (Kanani et al., 2009).
Usia anak sekolah merupakan golongan yang rentan terhadap
masalah gizi karena anak berada dalam masa pertumbuhan dan aktivitas
yang tinggi, sehingga memerlukan asupan gizi yang tinggi pula. Masalah
3. 3
gizi yang sering dihadapi anak sekolah dasar adalah kurang energi protein
dan anemia. Penelitian Hashizume, et al. (2004) di Kazakhstan
mendapatkan bahwa tingginya intake zat besi berhubungan dengan
rendahnya prevalensi anemia. Sedangkan penelitian Spodaryk (1999)
pada anak usia 10 -12 tahun mendapatkan tidak ada hubungan antara
status besi anak dengan asupan zat besi dan vitamin C, namun terdapat
hubungan yang signifikan antara asupan besi hem dengan status besi
anak.
Dampak anemia pada anak balita dan anak sekolah adalah
meningkatnya angka kesakitan dan kematian, terhambatnya pertumbuhan
fisik dan otak, terhambatnya perkembangan motorik, mental dan
kecerdasan. Anak-anak yang menderita anemia terlihat lebih penakut, dan
menarik diri dari pergaulan sosial, tidak bereaksi terhadap stimulus, lebih
pendiam (Vijayaraghavan, 2009). Anemia pada anak menurunkan prestasi
belajarnya di sekolah serta memberikan ancaman lost generation (Taha,
2005)
Depkes (2008) melaporkan bahwa prevalensi anemia di DIY adalah
20,9% pada wanita dewasa, 11,6% pada laki-laki dewasa dan, pada anak
<14 tahun adalah 8,7%. Melihat dampak anemia dan tingginya prevalensi
anemia pada anak sekolah dasar di berbagai daerah, peneliti tertarik
untuk melihat hubungan antara pengetahuan ibu, asupan zat gizi, asupan
enhancer dan inhibitor Fe dengan kadar Hb pada anak sekolah dasar di
Kota Yogyakarta.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka
perumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Apakah pengetahuan gizi ibu berhubungan dengan kadar Hb anak
sekolah dasar di Kota Jogjakarta?
2. Apakah intake zat gizi (protein, Fe, vitamin A, dan Zn) berhubungan
dengan kadar Hb anak sekolah dasar di Kota Yogyakarta?
4. 4
3. Apakah konsumsi bahan makanan inhibitor Fe berhubungan dengan
kadar Hb anak sekolah dasar di kota Yogyakarta?
4. Apakah konsumsi bahan makanan enhancer Fe berhubungan dengan
kadar Hb anak sekolah dasar di kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu, intake zat gizi,
inhibitor dan enhancer Fe terhadap kadar Hb anak sekolah dasar di
Kota Yogyakarta
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisa hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan kadar
Hb anak sekolah dasar di Kota Yogyakarta.
b. Menganalisa hubungan antara asupan zat gizi ( protein, Fe, Vitamin
A dan Zn) terhadap kadar Hb anak sekolah dasar di Kota
Yogyakarta
c. Menganalisa hubungan antara asupan inhibitor Fe terhadap kadar
Hb anak sekolah dasar di Kota Yogyakarta.
d. Menganalisa hubungan antara asupan enhancer Fe terhadap kadar
Hb anak sekolah dasar di Kota Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi masyarakat, memberikan informasi tentang asupan anak sekolah
dan gambaran kejadian anemia
2. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan penanganan anemia anak sekolah
3. Bagi peneliti, memberikan pengalaman dan keterampilan dalam
melakukan penelitian.
5. 5
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian serupa dengan penelitian ini adalah :
1. Kurniasari (2005). Hubungan Frekuensi dan Asupan Gizi Makan Pagi
dengan Kadar Hemoglobin dan Konsentrasi di Sekolah pada Murid
Kelas V dan VI SDN Jetis I dan SDN Jetishardjo I Yogyakarta.
Rancangan cross-sectional, kesimpulan: ada hubungan signifikan
antara frekuensi makan pagi, asupan energi protein dengan kadar Hb,
tidak ada hubungan signifikan anatara asupan Fe dengan kadar Hb,
ada hubungan yang signifikan antara frekuensi makan pagi, asupan
energi protein dengan konsentrasi di sekolah. Ada hubungan antara
kadar Hb dengan konsentrasi belajar. Perbedaan dengan penelitian ini
adalah pada variabel independen yang diteliti
2. Widarini (2008). Asupan Zat Gizi dan Kejadian Anemia Pada Remaja
Putri Vegetarian di Kabupaten Badung Propinsi Bali. Rancangan
penelitian cross-sectional. Hasil: korelasi positif dan signifikan antara
asupan protein, zat besi, vitamin C dan asam folat dengan kadar Hb
sebagai indikator anemia (r = 0,46; 0,52; 0,46; 0,3) kesimpulan:
semakin besar asupan protein, besi dan Vitamin C semakin tinggi
kadar Hb. Perbedaan dengan penelitian ini adalah juga melihat asupan
inhibitor Fe dan enhancer Fe
3. Susilo (2001). Hubungan intake zat besi, kalsium, tanin, fitat, dan
oksalat dengan kadar Hb ibu hamil di kabupaten bantul propinsi DIY.
Rancangan penelitian cross-sectional. Variabel yang diteliti:
karakteristik ibu hamil, data sosial ekonomi, pola konsumsi (frekuensi
makan, besar porsi, kebiasaan minum teh, jamu dan kopi), intake zat
gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C), intake inhibitor (kalsium,
oksalat, tanin). Kesimpulan makin tinggi intake Fe, makin tinggi kadar
Hb. Semakin tinggi intake Ca dan tanin makin rendah kadar Hb.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada subyek penelitian dan
menambahkan variabel pengetahuan.
6. 6
4. Suryani (2006) Hubungan malaria, kecacingan dan asupan zat besi
dengan kadar hemoglobin anak sekolah dasar di Kecamatan Teluk
Segara Kota Bengkulu. Rancangan penelitian cross-sectional. Variable
yang diteliti status malaria, status kecacingan, asupan besi, asupan
protein, vitamin A, vitamin C,tanin, fitat. Kesimpulan ada hubungan
yang bermakna atara asupan vitamin A dengan kadar Hb, tidak ada
hubungan antara malaria, kecacingan, asupan vitamin C, tanin dan
fitat dengan kadar Hb. Perbedaan dengan penelitian ini adalah adanya
variabel pengetahan ibu yang juga ikut diamati.
5. Sartono, et al. (2007) Hubungan konsumsi makanan dan kadar
hemoglobin (Hb) dengan prestasi belajar siswa SLTP Kota Palembang.
Rancangan penelitian cross-sectional. Variabel yang diteliti adalah
prestasi belajar, kadar Hb dan konsumsi makanan. Kesimpulan
didapatkan hubungan yang signifikan anatara asupan energi dengan
kadar HB sedangkan untuk asupan protein, vitamin A, vitamin B6, Fe
dan Zn tidak ditemukan hubungan yang signifikan. Perbedaan dengan
penelitian ini juga melihat asupan inhibitor dan enhancer Fe terhadap
kadar Hb.