3. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan
penyusunan buku yang berjudul Administrasi Perpajakan.
Buku ini berisi tentang pengetahuan umum yang berkaitan dengan
soal Administrasi Perpajakan, dan bertujuan agar pembaca/
mahasiswa memahami arti, pentingnya/ manfaat serta tugas dan
fungsi Perpajakan bagi perusahaan dan perorangan. Hal yang
demikian ini administrasi pajak memiliki posisi yang sangat
penting, tidak hanya pada pelayanan, pengawasan, dan
pembinaan namun juga menyangkut hak-hak wajib pajak yang
yakin benar bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakannya
dilindungi dengan administrasi yang baik. Oleh karena itu
administrasi pajak sebagai instrumen pelaksanaan hokum formal
haruslah disusun dan dikerjakan sedemikian rupa sehingga mampu
meningkatkan citra Direktorat Jenderal Pajak c.q. Kantor
Pelayanan Pajak sebagai kantor yang bertanggung jawab terhadap
pemungutan pajak, demikian pula mampu meningkatkan motivasi
wajib pajak di dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan
buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis
mengharapkan saran-saran dari pembaca.
Buku ini Penulis persembahkan untuk kedua Orang tuaku,
yang selalu memberikan curahan kasih sayang, nasehat-nasehat
dan dukungan, my honey Sanda serta my S&A.
Mudah-mudahan buku ini bisa memberi manfaat plus bagi
pembaca/Mahasiswa. Kepada pihak penerbit dan pembaca,
penulis ucapkan terima kasih.
Palembang, Januari 2014
Penulis
4. DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………….................i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………ii
Daftar Isi..........................................................................................iii
BAB I ADMINISTRASI PERPAJAKAN………………………………….......... 1
A. Pengertian Administrasi……………………………………………… 1
B. Pajak/Perpajakan………………………………………………………… 5
C.Administrasi Perpajakan…….……………………………………….. 25
BAB II NPWP DAN PKP……………………………………………….…………… 30
A. NPWP………………………….……………………………………………… 30
B. Pengusaha Kena Pajak………………………………………………… 46
BAB III PEMBAYARAN PAJAK……………………………………………………..50
A. Pengertian Umum ……………………………………………………… 50
B. Ketentuan Yang Mengatur..………………………………………… 51
C.Sistem Pembayaran Pajak….……………………………………….. 55
D.Surat Setoran Pajak (SSP)….……………………………………….. 56
BAB IV SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)………….………………………. 70
A.Pengertian SPT…….…………………………………………………… 70
B.Pengisian dan Penyampaian SPT…………………………………77
C.Fungsi SPT…………………………….………………………………….. 78
D.Pengelompokan SPT..………………………………………………. 79
E.Alur Pengelolaan SPT..…………………………………………………94
F.Tempat Pengambilan SPT.………………………………………… 94
G.Ketentuan Tentang Pengisian SPT..…………………………… 94
H.Ketentuan Tentang Penyampaian SPT……………………….. 95
5. ii
I.Penyampaian SPT Melalui Elektronik (E-Filling)…………. 97
J.Perpanjangan Waktu Penyampaian SPT Tahunan……… 97
K.Alur Pengelolaan SPT..…………………………………………… 98
L.Tempat Pengambilan SPT.………………………….…………… 99
M.Pembetulan SPT………………………………………………………101
N.Batas Waktu Pembayaran Pajak….…………………………. 103
O.Saksi Keterlambatan Bayar Pajak…………………………….. 103
BAB V SPT MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)…………….. 104
A.PPN………..……………………………………………………………….. 104
B.Faktur Pajak..………………………………………………………..…. 114
BAB VI SPT MASA PENGHASILAN (PPh)……………………………….... 126
A.Objek Pajak Penghasilan…………………………….……………. 126
B.Subjek Pajak Penghasilan…………………………………………. 131
C.Pajak Penghasilan Pasal 21………….………………………….. 135
D.Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2…………………………….. 138
E.Pajak Penghasilan Pasal 15………………………………………… 140
F.Pajak Penghasilan Pasal 26…………………………………….…. 143
G.Pajak Penghasilan Pasal 23………………………………………… 147
H.Pajak Penghasilan Pasal 22…………………………………..…. 156
BAB VII KETENTUAN UMUM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN .… 163
A.Objek PBB…………………………………………….…………………. 163
B. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB………………..…….164
C. Subjek Pajak dan Wajib Pajak…………………………….…….. 164
D. Cara Mendaftarkan Objek PBB…………….…………………… 165
E. Dasar Pengenaan PBB…………….………………….………………165
F. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)….... 165
G. Dasar Perhitungan PBB…………….……………………………… 166
H. Tarif PBB …………………………………………………………………. 166
6. iii
I. Rumus Perhitungan PBB………………………………………..... 166
J. Tempat Pembayaran PBB……….…..…………………………… 167
K. Saat Yang Menentukan pajak Terutang ……………..…… 167
BAB VIII BEA MATERAI ………………………………………………………….. 168
A. Definisi Bea Materai………….………………….…………………. 168
B. Dasar Hukum…………………………………………………....……. 168
C. Objek Bea Materai…………………………..……………….…….. 170
D. Tarif Bea Materai……………………………….…………………… 173
E. Subjek Bea Materai…………..….………………….……………… 174
F. Jenis-jenis Pemateraian………………………………………..... 175
G. Pemenuhan Dalam Bea Materai……………………………… 175
H. Sanksi ………….…………………………………………………………. 176
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................179
7. 1
BAB I
ADMINISTRASI PERPAJAKAN
A. PENGERTIAN ADMINISTRASI
Ilmu administrasi adalah cabang atau disiplin ilmu sosial yang
melakukan studi terhadap”administrasi” sebagai salah satu
fenomena masyarakat modern. Administrasi sebagai objek studi
Ilmu Administrasi paling sedikitnya mempunyai 10 (sepuluh) aspek
yang penting yakni administrasi merupakan suatu fenomena
sosial, suatu perwujudan tertentu di dalam masyarakat (modern).
Eksistensi daripada “Administrasi” ini berkaitan dengan “organisasi
(dalam arti modern…), artinya: “administrasi” itu terdapat di
dalam suatu “organisasi”. Jadi, barang siapa hendak mengetahui
adanya “administrasi” dalam masyarakat dia harus mencari
terlebih dahulu suatu “organisasi” yang masih hidup; di situ
terdapat “administrasi”. Administrasi merupakan suatu hayat atau
kekuatan yang memberikan hidup atau gerak kepada suatu
“organisasi”. Tanpa “administrasi”, maka setiap “organisasi” akan
mati, dan tanpa “administrasi” yang sehat, maka “organisasi” itu
pun tidak sehat pula. Pembangkit daripada “administrasi” sebagai
“kekuatan” atau “energi” atau “hayat” ini adalah Administrator,
yang harus pandai menggerakkan seluruh sistemnya yang terdiri
atas para manager, staffer, dan personil lainnya. Administrasi
8. 2
merupakan suatu fungsi yang tertentu untuk mengendalikan,
menggerakkan, mengembangkan dan mengarahkan suatu
“organisasi”, yang dijalankan oleh Administrator dibantu oleh tim
bawahannya, terutama para manager dan staffer. Administrasi
merupakan kelompok orang-orang yang secara bersama-sama
merupakan “badan pimpinan” (the governing body) daripada
suatu “organisasi”, yang merupakan pimpinan atau tim pimpinan.
Dalam pengertian ini orang di Amerika Serikat berbicara
tentang “The Ford Administration”, The Carter Administration”,
The Reagen Administration”. Administrasi merupakan suatu seni
(art, kunst) yang memerlukan bakat, dan ilmu (science, knowledge,
wetenschap, kennis) yang selain pengetahuan memerlukan pula
pengalaman.
Administrasi merupakan proses penyelenggaraan bersama
atau proses kerjasama, antara sekelompok orang-orang secara
tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah
ditentukan dan direncanakan sebelumnya. Kerjasama antara
orang-orang tersebut berlangsung secara dan melalui “organisasi”.
Administrasi merupakan suatu jenis tingkah laku atau sikap
kelakuan sosial yang tertentu (administative behaviour or
“administration” as a special type of social behaviour) yang
memerlukan sikap serta kondisi mental yang tertentu, dan
9. 3
merupakan suatu tipe tingkah laku manusia yang tertentu (special
type of human behaviour). Administrasi merupakan suatu praktik
(practice) atau teknik (technique) yang tertentu, suatu tata cara
melakukan atau mengerjakan sesuatu, yang memerlukan
kemampuan, kemahiran, keterampilan (skills) atau kebiasaan yang
tertentu yang hanya dapat diperoleh melalui pendidikan dan
latihan. Administrasi merupakan suatu sistem (system) atau
sistema (systems) yang tertentu, yang memerlukan input,
trasportasi, pengolahan dan output yang tertentu. Administrasi
merupakan suatu tipe manajemen (management) tertentu yang
merupakan “overall management” daripada suatu organisasi.
Administrasi dalam arti sempit berasal dari kata administratie
(Bahasa Belanda) yang diartikan sebagai pekerjaan tulis menulis
atau ketatusahaan/kesekretarisan. Pekerjaan ini berkaitan dengan
kegiatan menerima, mencatat, menghimpun, mengolah,
menggandakan, mengirim, menyimpan, dan sebagainya.
Administrasi dalam arti luas merupakan proses kerjasama individu
dengan cara efisien dalam mencapai tujuan sebelumnya.
Pengertian administrasi ini kadang-kadang terdapat dalam
bentuk lembaga misalnya Lembaga Administrasi Negara (LAN),
dan dalam bentuk badan, mialnya Badan Administrasi Kepegawaian
(BAKN). Di Amerika Serikat misalnya suatu badan yang mengurusi
10. 4
keantariksaan nasional atau disebut sebagai National Aeronoutics
and Space Administration (Nasa), dan Food and Drugs
Administration (FDA) administrasi yang khusus mengurusi
makanan, minuman dan obat-obatan, demikian juga misalnya
Federal Aviation Administrasion (FAA) administrasi yang menangani
urusan penerbangan sipil. Namun juga dapat dalam bentuk lain
misalnya Institut Ilmu Pemerintahan, dan juga misalnya
administrasi kepegawaian, administrasi kepolisian. Jadi pada
dasarnya pengertian administrasi ini juga merupakan sistem dan
juga dapat berupa organisasi. Tampilan administrasi yang beraneka
ragam ini cukup membingungkan untuk menjelaskan perbedaan
dan pengertian dari Administrasi, dengan Governance, dengan
Birokrasi, dan dengan Manajemen Publik. Prajudi Atmosudirdjo
dalam bukunya Teori Administrasi menjelaskan dalam praktek
administrasi dapat dilihat dari tempat yang mewadahinya
(wadah administrasi, wadah urusan) yaitu yangmeliputi:
Administrasi Negara atau Administrasi Publik; dan
Administrasi Niaga atau Administrasi Bisnis.
Selanjutnya yang menyangkut administrasi publik dikatakan
yang nampak dalam praktek kenegaraan, meliputi:
1. Jika berfokus pada dinamikanya adalah Public Governence
(OpenbaarBestuur);
11. 5
2. Jika berfokus pada public policy atau kebijaksanaan publik
yangnampakadalah birokrasi; dan
3. Jika berfokus kepada kegiatan operasionalnya di
dalam melayani permohonan warga masyarakat
adalah Public Management atau Manajemen Publik.
B. PAJAK / PERPAJAKAN
I. Definisi Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara
berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan
dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung (Aristanti
Widyaningsih, 2011:2). Pajak dipungut pengusaha
berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya
produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai
kesejahteraan umum. Adapun beberapa pengertian Pajak
menurut para ahli sebagai berikut :
- Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran kepada Negara
(dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan
tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan
12. 6
tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
- Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH. Mengemukakan
definisi pajak sebagai peralihan kekayaan dari pihak
rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran
rutin dan surplusnya digunana untuk Public saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai Public
Investment.
- Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock
Horace R, Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari
sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat
pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan,
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu,
tanpa mendapat imbalan yang langsung dan
proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan
tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Dari Pengertian-pengertian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa pajak merupakan iuran wajib yang
bersifat memaksa masyarakat melalui proses peralihan
kekayaan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran
rutin Negara dengan imbalan secara tidak langsung.
Adapun ciri-ciri pajak secara garis besar adalah
sebagai berikut :
13. 7
1. Pemungutan pajak dapat dipaksakan karena didasarkan
atas undang-undang.
2. Pihak yang membayar pajak tidak mendapat kontra
prestasi langsung.
3. Pajak dipungut oleh Negara, baik oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.
4. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran pemerintah, dimana jika terjadi kelebihan
(surplus) maka akan dipergunakan untuk membiayai
public investment.
5. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter,
yaitu fungsi mengatur.
II. Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan bernegara, khususnya sebagai sumber
pembiayaan dan pembangunan Negara. Berdasarkan hal di
atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Fungsi ini sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi
pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Dalam APBN, pajak merupakan sumber penerimaan
dalam negeri.
14. 8
2. Fungsi Mengatur (regulator)
Fungsi ini sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.
Misalnya PPnBM untuk barang-barang mewah, hal ini
diterapkan pemerintah dalam upaya mengatur agar
tingkat konsumsi barang-barang mewah dapat
dikendalikan.
3. Fungsi Stabilitas
Fungsi ini berhubungan dengan kebijakan untuk menjaga
stabilitas harga (melalui dana yang diperoleh dari pajak)
sehingga laju inflasi dapat dikendalikan.
4. Fungsi Redistribusi
Dalam fungsi redistribusi, lebih ditekankan unsure
pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Fungsi ini
terlihat dari adanya lapisan tariff dalam pengenaan pajak.
Contohnya dalam pajak penghasilan, semakin besar
jumlah penghasilan maka akan semakin besar pula jumlah
pajak yang terutang.
5. Fungsi Demokrasi
Pajak dalam fungsi demokrasi merupakan wujud sistem
gotong royong. Fungsi ini dikaitakn dengan tingkat
pelayanan pemerintah kepada masyarakat pembayar
pajak.
15. 9
III. Jenis-Jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat
dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat
adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang
dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak
– Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah
pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di
tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh direktorat Jenderal
Pajak meliputi :
a. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi
atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan
penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu
dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium,
hadiah, dan lain sebagainya.
16. 10
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.
Orang Pribadi, Perusahaan, maupun pemerintah yang
mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa
adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN
adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tariff
PPN adalah 0%.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang
meliputi wilayah Darat, perairan, dan ruang udara
diatasnya.
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak
tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM.
Yang dimaksud denga Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah adalah :
- Barang tersebut bukan merupakan barang
kebutuhan pokok; atau
- Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarat tertentu;
atau
- Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh
masyarat berpenghasilan tinggi; atau
17. 11
- Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan
status; atau
- Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan
moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban
masyarakat.
d. Bea Materai
Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen,
seperti surat perjanjian, akta notaries, serta kuitansi
pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat
jumlah uang atau nominal di atas jumlah tertentu sesuai
dengan ketentuan.
e. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau
pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan
Pajak Pusat namun demikian hamper seluruh realisasi
penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah
baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik
Provinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi:
a. Pajak Provinsi
- Pajak Kendaraan Bermotor;
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
18. 12
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
- Pajak Air Permukaan; dan
- Pajak Rokok.
b. Pajak Kabupaten/Kota
- Pajak Hotel;
- Pajak Restoran;
- Pajak Hiburan;
- Pajak Reklame;
- Pajak Penerangan Jalan;
- Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
- Pajak Parkir;
- Pajak Air Tanah;
- Pajak Sarang Burung Walet;
- Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan;
dan
- Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
Pembagian Pajak Pusat dan Pajak daerah dapat dilihat
dalam bagan berikut :
19. 13
PEMBAGIAN PAJAK
PUSAT
DJP
PPh, PPN,
PPnBM,
PBB, Bea
Materai
DJB &
Cukai
Bea dan
Cukai
DAERAH
PEMROV
- Pajak Kendaraan Bermotor
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
- Pajak Air Permukaan
- Pajak Rokok
Kab/Kota
Pajak Hotel, Pajak Restoran,
Pajak Hiburan, Pajak Reklame,
Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Mineral Bukan Logam dan
Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air
Tanah, Pajak Sarang Burung
Walet, PBB Perdesaan dan
Perkotaan, BPHTB
20. 14
IV. Perbedaan Pajak Dengan Jenis Pungutan Lainnya
Pungutan adalah peralihan sumber daya dari sektor
swasta ke sektor publik, berdasarkan Undang-undang yang
ditujukan untuk membiayai pengeluaran negara. Pungutan
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
a. Pajak
Pajak adalah jenis pungutan yang tidak memiliki jasa
timbal balik secara langsung. Misalnya : PPh, PPN,
PPnBM, dan lain-lain.
b. Retribusi
Retribusi adalah jenis pungjutan yang memiliki jasa timbal
balik. Misalnya: Retribusi parkir, retribusi pasar, rekening
telepon, rekening listrik, uang ujian dan lain-lain.
c. Sumbangan
Sumbangan adalah jenis pungutan yang juga memiliki jasa
timbal balik namun hanya untuk sekelompok orang,
misalnya : sumbangan bencana nasional, sumbangan
fasilitas pendidikan, dan lain-lain.
Untuk lebih memahami perbedaan dari ketiga jenis
pungutan tersebut, dapat dilihat dalam bagan berikut :
21. 15
Perbedaan Pajak, Retribusi dan Sumbangan
Pajak :
- Tidak memiliki kontra prestasi
secara langsung
- Bersifat memaksa, dan unsur
paksaan bersifat pidana dan
administratif
- Tidak diketahui pihak yang
secara langsung menikmati
atau menerima
- Dikenakan kepada semua
orang-orang yang memenuhi
persyaratan untuk dikenakan
pajak
Retribusi :
- Memiliki kontra prestasi
secara langsung dan bersifat
individual
- Unsur paksaan bersifat
ekonomis
- dikenakan pada orang yang
menikmat i atau menerima
jasa retribusi dari Pemerintah
Sumbangan:
- Memiliki kontra
prestasi langsung
kepada individu
- Dapat diketahui
oleh yang menerima
22. 16
V. Teori Pemungutan Pajak
Teori pemungutan pajak memberikan penjelasan
mengenai hak negara untuk memungut pajak. Teori-teori
tersebut antara lain :
1. Teori Asuransi
Teori ini mengibaratkan pembayaran pajak seperti
pembayaran premi dalam perjanjian asuransi. Hal
tersebut ditujukan untuk mengganti biaya yang
dikeluarkan negara dalam melaksanakan kewajibannya
yaitu, melindungi keselamatan dan harta benda warga
negaranya. Teori ini banyak ditentang, karena negara
tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
2. Teori Kepentingan
Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah
adanya kepentingan dari masing-masing warga negara,
termasuk kepentingan dalamperlindungan jiwa dan harta.
Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka
semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak yang harus dibayar harus disesuaikan dengan
daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya
pikul dapat digunakan dua pendekatan:
- Unsur Objektif, dilihat dari besarnya penghasilan
dan kekayaan yang dimiliki seseorang;
- Unsur Subjektif, dengan memperhatikan besarnya
kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada
hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga
negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari
23. 17
bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu
kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak.
Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli
dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga
negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya
kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian
kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
VI. Asas Pengenaan Pajak
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara
sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk
mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak
penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh
negara sebagai landasan untuk mengenak pajak adalah :
1. Asas Domisili (Asas kependudukan domicile/residence
principle)
Berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas
suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan
perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk
(resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila
badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.
2. Asas Sumber
Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan
pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau
diterima oleh orang pribadi atau badan yang
24. 18
bersangkutan dari sumber –sumber yang berada di
negara itu.
Contoh : Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia, maka
dari penghasilan yang diperoleh di Indonesia akan
dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3. Asas Kebangsaan/Asas Nasionalitas/
Asas Kewarganegaraan (Nationality/citizenship principle)
Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
status kewarganegaraan dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah
menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan
pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem
pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan
dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep
pengenaan pajak atas World wide Income.
VII. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga
jenis yaitu :
a. Official Assessment System
Sistem ini merupakan system pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri Official Assessment System :
- Wewenang untuk menentukan besarnya pajak
terutang berada pada fiskus.
- Wajib pajak bersifat pasif.
- Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat
ketetapan pajak oleh fiskus.
Untuk lebih jelasnya, sistem pemungutan Official
Assessment System, dapat dilihat pada bagan berikut :
25. 19
Sumber : Muhammad Zain 2008
Keterangan:
STP = Surat Tagihan Pajak
SKPLB = Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
SKPN = Surat Ketetapan Pajak Nihil
SKPKB = Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
SKPKBT = Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
Surat Pemberitahuan
Direktur Jendral Pajak
Penelitian Pemeriksaan
Sesuai
Kriteria
Penyidikan
Penuntut
Umum
Benar
Lengkap
Jelas
Lebih
Bayar
Kesalahan
Formil/
Materiil
SKPNSKPLB
ST
P
Teguran
Surat
Paksa
Sita
Lelang
STPFile PengadilanSKPKB
Data Baru
SKPKBT
Tidak Dilunasi
Restitusi
Kompensassi
Hukum
Kurungan/
Penjara
&SKPKB/
SKPKBT
26. 20
b. Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan
dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, meyetor dan melaporkan sendiri pajak
terutang. Sistem ini memebrikan peluang kepada wajib pajak
untuk jujur dan bertanggaung jawab akan kewajiban
pajaknya. Petugas perpajakan hanya berfungsi sebagai
pembina dan pengawas pelaksanaan kewajiban perpajakan
wajib pajak.
Untuk lebih jelasnya, sistem pemungutan Self Assessment
System dapat dilihat pada bagan berikut :
Sumber : Mohammad Zain :2008
Self
Assessment
Menghitung Tarif x DPP Pajak
Terhutang
Memperhit
ungkan
Pajak
Dilunasi
dalam Tahun
Berjalan
Kredit Pajak
(PT-KP)
PT>KP
Nihil
Bayar
Lebih
Bayar
PT=KP PT<KP
Kurang
Bayar
Membayar
Masa dan
TahunanSurat
Pemberitahuan
Melapor
Restitusi &
Kompensasi
27. 21
Keterangan :
- PT = Pajak Terutang
- KP = Kredit Pajak
C. Withholding System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan
pajak memberi wewenanga kepada pihak ketiga untuk
memotong atau memungut besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak.
VIII. Syarat Pemungutan Pajak
Adapun syarat-syarat pemungutan pajak adalah
sebagai berikut :
1. Pemungutan pajak harus adil
Pajak mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan
dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-
undangan maupun adil dalam pelaksanaannnya.
2. Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi : ”Pajak
dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara
diatur dengan Undang-Undang”, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak,
yaitu :
- Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang
berdasarkan UU tersebut harus dijamin
kelancarannya.
- Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak
diperlakukan secara umum.
- Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi
para wajib pajak.
28. 22
3. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajakharus diusahakan sedemikian rupa
agar tidak menganggu kondisi perekonomian, baik
kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa.
4. Pemungutan pajak harus efisien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan
pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang
diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak
tersebut.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak
dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai
sehingga akan memberikan dampak positif bagi para
wajib pajak.
IX. Jenis-Jenis Tarif Pajak
Secara struktural tarif pajak dibagi dalam empat jenis
yaitu :
1. Tarif Proporsional (a proportionl tax rate structure) yaitu
tarif pajak yang persentasenya tetap meskipun terjadi
perubahan dasar pengenaan pajak. Contohnya adalah
Pajak Pertambahan Nilai/PPN dimana semua harga
barang di tingkat akhir dikenakan pajak PPN adalah sama
sebesar 10%
Dasar Pengenaan Tarif Tarif PPN Pajak Terutang
Rp. 10.000.000,- 10% Rp. 1.000.000,-
Rp. 5.000.000,- 10% Rp. 500.000,-
Rp. 15.000.000,- 10% Rp. 1.500.000,-
29. 23
2. Tarif Regresif ( a regressive tax rate structure) yaitu tarif
pajak menurun ketika dasar pengenaan pajak meningkat.
Contoh :
Dasar Pengenaan Tarif Tarif Pajak Terutang
Rp. 15.000.000,- 25% Rp. 3.750.000,-
Rp. 20.000.000,- 15% Rp. 3.000.000,-
Rp. 35.000.000,- 5% Rp. 1.750.000,-
3. Tarif progresif (a progressive tax rate structure) yaitu tarif
pajak akan semakin naik sebanding dengan naiknya dasar
pengenaan pajak.
Contoh : Tarif PPh untuk menghitung nilai Pendapatan
Kena Pajak (PKP)
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
(Dasar Pengenaan Pajak )
Tarif
Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 5%
Di atas Rp. 50.000.000,00-Rp. 250.000.000,00 15%
Di atas Rp. 250.000.000,00-Rp. 500.000.000,00 25%
Di atas Rp. 500.000.000,00 30%
4. Tarif Degresif ( a degresive tax rate structure) yaitu
kenaikan persentase tarif pajak akan semakin rendah
ketika dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif
Pajak
Sampai dengan Rp. 10.000.000,00 30%
Di atas Rp. 10.000.000,00-Rp. 50.000.000,00 28%
Di atas Rp. 50.000.000,00-Rp. 100.000.000,00 26%
Di atas Rp. 100.000.000,00 24%
30. 24
Tarif pajak yang berlaku untuk Pajak Penghasilan di
Indonesia adalah tarif progresif sebagaimana diatur dalam
Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan. Sedangkan
untuk Pajak Pertambahan Nilai berlaku tarif pajak
proporsional yaitu 10%.
X. Tahun Pajak
Tahun Pajak menurut Undang-undang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 1 ayat 7
adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender (tahun takwim)
kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak
sama dengna kalender. Tahun kalender atau tahun takwim
dimulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Pada umumnya tahun pajak = tahun takwim = tahun
kalender. Wajib pajak dapat mengguankan tahun buku yang
tidak sama dengan tahun takwim dengan syarat harus
konsisten selama 12 bulan dan harus melalui persetujuan
Dirjen Pajak melalui permohonan Wajib pajak yang
bersangkutan. Berikut ini adalah contoh tahun pajak dan
tahun buku :
a.
1 Januari 2014 31 Desember 2014
Pembukuan dimulai dari 1 Januari 2010 sampai dengan
31 Desember 2010, maka tahun pajaknya adalah tahun 2010.
b.
1 Juli 2014 30 Juni 2015
Pembukuan dimulai dari 1 Juli 2014 sampai dengan 30
Juni 2015, maka tahun pajaknya adalah tahun 2014.
31. 25
c.
1 April 2014 31 Maret 2015
Pembukuan dimulai dari 1 April 2014 sampai dengan
30 Maret 2015, maka tahun pajaknya adalah tahun 2014.
d.
1 Oktober 2014 30 September 2015
Pembukuan dimulai dari 1 Oktober 2014 sampai
dengan 30 September 2011. Maka tahun pajaknya adalah
tahun 2015, karena 6 bulan lebih jatuh pada tahun 2011
C. ADMINISTRASI PERPAJAKAN
Administrasi yang mengatur hubungan hukum antara
negara dan masyarakat Wajib Pajak maka didalamnya tidak hanya
mengandung unsur-unsur kepentingan dan tujuan administrasi
untuk kepentingan negara saja akan tetapi lebih dari itu juga
meliputi administrasi tentang hak-hak dan kepentingan dari Wajib
Pajak, atau dengan kata lain administrasi pajak adalah suatu
bentuk “legal administration” yang sebagai akibatnya tidak hanya
menimbulkan diterbitkannya sanksi administrasi dan sanksi pidana
yang ditimpakan kepada Wajib Pajak dan yang harus dipatuhinya,
namun juga dapat menimbulkan sengketa pajak yang diajukan ke
pengadilan pajak maupun gugatan hukum yang diajukan oleh
Wajib Pajak. Dalam hal yang demikian maka administrasi pajak
harus menjamin tidak sekedar keseksamaan, wajar dan
berkeadilan, namun juga harus disusun sedemikian rupa sehingga
32. 26
ada kesetaraan di depan hokum (equility before the law) antara
pelaksana hukum (aparat pajak) dengan Wajib Pajak.
Administrasi pajak sebagai legal administrasi memiliki
tugas-tugas meliputi administrasi penatausahaan dokumen yang
tidak bernilai uang, dan administrasi penatausahaan dokumen
yang bernilai uang sebagai manivestasi bentuk pelayanan,
Pengawasan dan pembinaan. Oleh karena itu, penatausahaan
dokumen yang bernilai uang seyogyanya dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan. Namun demikian, karena Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 tersebut yang penetapannya melalui Peraturan
Pemerintah tersebut baru diterbitkan bulan Juni Tahun 2005, dan
sampai dengan saat ini pelaksanaan administrasi Penerimaan dan
Piutang Pajak masih dilakukan secara single entry, sebagaimana
dikehendaki oleh Standar Akuntansi Pemerintahan yang ada.
I. Syarat-syarat Administrasi Pajak
Self assessment sebagai suatu sistem perpajakan
membutuhkan persyaratandari pihak Wajib Pajak agar dapat
berhasil, yaitu antara lain:
1. Wajib Pajak harus memahami terlebih dahulu arti
pentingnya pajak. Dalam kasus ini kendala terbesar yang
dialami administrasi pajak nasional adalah tingginya
tingkat korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam
pemerintahan, sehingga Wajib Pajak merasa tidak perlu
membayar pajak yang benar sebab pembayaran yang
benar akan menjadi penerimaan pajak berhasil dan
keberhasilan penerimaan pajak hanya akan menjadi pupuk
dari kegiatan KKN tersebut;
33. 27
2. Memiliki pengetahuan perundang-undangan perpajakan.
Dalam kasus ini hukum pajak sebagai ilmu memang benar-
benar belum berkembang dengan baik di Indonesia.
Perguruan-Perguruan Tinggi lebih terpancang pada studi
perpajakan daripada studi hukum pajak. Bukan mustahil
kadangkala melakukan pembenaran dari suatu kesalahan
pelaksanaan hukum, apabila para pengajarnya adalah dari
aparat Direktorat Jenderal Pajak. Pembenaran yang tidak
disadari itu kadangkala menimbulkan konflik dengan Wajib
Pajak sebagai pelaku pelaksanaan kewajiban perpajakan;
3. Memiliki pengetahuan perundang-undangan perpajakan.
Dalam kasus ini hukum pajak sebagai ilmu memang benar-
benar belum berkembang dengan baik di Indonesia.
Perguruan-Perguruan Tinggi lebih terpancang pada studi
perpajakan daripada studi hukum pajak. Bukan mustahil
kadangkala melakukan pembenaran dari suatu kesalahan
pelaksanaan hukum, apabila para pengajarnya adalah dari
aparat Direktorat Jenderal Pajak. Pembenaran yang tidak
disadari itu kadangkala menimbulkan konflik dengan Wajib
Pajak sebagai pelaku pelaksanaan kewajiban perpajakan;
4. Dapat mengaplikasikan metode akuntansi untuk
pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan;
5. Adanya kesadaran membayar pajak yang menjadi
tanggung jawabnya. Sebenarnya kesadaran Wajib Pajak
untuk membayar pajak adalah sejalan dengan bagaimana
administrasi publik dilaksanakan.
Administrasi pajak merupakan suatu bagian administrasi
Negara yang Untuk lebih memelihara dan memahami
hubungan antara pemerintah yaitu Direktorat Jenderal Pajak
dengan masyarakatnya yaitu Wajib Pajak, yang memiliki ciri-ciri
khusus karena sebagai manifestasi dari pelaksanaan ketentuan
34. 28
formal perpajakan dalam ketatausahaan. Beberapa ciri dari
pelaksanaan tata usaha perpajakan tersebut antara lain:
1. Bahwa administrasi pajak adalah suatu pekerjaan yang
memiliki ciri-ciri sebagai pelayanan yang sekaligus
pengawasan dan juga pembinaan kepada para Wajib Pajak
dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu
tata usaha perpajakan haruslah disusun sedemikian rupa
sehingga dalam rangkaian ketiga kegiatan tugas tersebut
dapat meningkatkan motivasi Wajib Pajak untuk dapat
dengan mudah serta penuh kesadaran melaksanakan
kewajiban perpajakan;
2. Administrasi pajak juga menyangkut pelaksanaan kegiatan
administrasi piutang pajak sebagai akibat dari timbulnya
surat ketetapan pajak yaitu bentuk Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dan Surat Tagihan Pajak sebagai salah satu
bagian dari hasil proses pembinaan yang dilaksanakan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Maka dalam kasus yang demikian
ini tugas administrasi penerimaan pajak dan piutang pajak
haruslah disusun sebagaimana Standar Akuntansi
Pemerintahan yang telah dibakukan.
3. Tata usaha perpajakan juga meliputi tata usaha
pelaksanaan penyelesaian dalam rangka upaya hukum
Wajib Pajak dalam mencari keadilan melalui proses
pengajuan keberatan yang diselesaikan melalui suatu quasi
peradilan. Di sini tata usaha perpajakan juga seolah-olah
sebagai pelaksanaan dari “hukum acara peradilan”.
4. Sarana di dalam tata usaha perpajakan meliputi
penggunaan:
a. Buku-buku Register, adalah buku yang berisi kolom-
kolom atau lajur daftar-daftar dan catatan-catatan
35. 29
tentang segala yang bersangkutan dengan hal-hal yang
ditentukan oleh nama Buku Register tersebut;
b. Daftar, tulisan dalam lajur atau kolom-kolom yang
dimaksudkan untuk mencatat data tertentu baik
berupa angka maupun peristiwa;
c. Formulir, yakni lembaran kertas yang harus diisi dan
telah tersedia diatasnya ruangan-ruangan tempat
pengisian, serta telah ada pula petunjuk pengisian
mengenai apa yang harus diisikan dalam ruangan
tersebut; Administrasi Pajak 21;
d. Blangko, yakni lembaran kertas yang telah ditentukan
bentuk dan sistematikanya, sedangkan isi, maksud dan
kegunaan tidak ditegaskan, tergantung kepada
tujuannya;
e. Atau mungkin dengan cara elektronik yaitu
diselenggarakan melalui komputerisasi ketatausahaan,
misalnya e-SPT, e-Regestration, e- Filling dan SI DJP.
Administrasi termasuk pula administrasi pajak hanya
dapat timbul dan dikembangkan dalam kondisi manusia
pelaku administrasi yang modern yaitu manusia pelaku
administrasi yang demokratis, berpikir rasional dan penuh
dengan kewajaran, tidak ego serta profesional.
Administrasi pajak memerlukan persyaratan antara lain
adalah transparan, sederhana, menjamin adanya kepastian
hukum, efisien, ekonomis, berkeadilan serta penyelesaian
tepat waktu.
36. 30
BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN
PENGUSAHA KENA PAJAK
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang
perpajakan, Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak merupakan
pihak yang melaksanakan berbagai kewajiban perpajakan sesuai
ketentuan yang berlaku. Secara umum, Wajib Pajak merupakan
pihak yang melaksanakan kewajiban perpajakan untuk seluruh
jenis pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), dan Pajak Lainnya (PL, seperti: Bea
Materai), sedangkan Pengusaha Kena Pajak merupakan pihak yang
melaksanakan kewajiban perpajakan terkait PPN.
A. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
Untuk melaksanakan administrasi perpajakan, Direktorat
Jenderal Pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
sebagai sarana administrasi sekaligus sebagai tanda pengenal atau
identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya (Pasal 1 angka 6 UU KUP). Setiap Wajib Pajak akan
diberikan NPWP pada saat melakukan pendaftaran, sehingga
seluruh administrasi perpajakan terkait dengan Wajib Pajak
tersebut akan menggunakan NPWP yang dimaksud.
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
37. 31
2. Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan,
meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam
bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah
pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa
dari luar daerah pabean.
5. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan perubahannya.
38. 32
a) Fungsi NPWP
Fungsi NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) memiliki fungsi
sebagai berikut :
1. Sarana dalam administrasi perpajakan;
2. Tanda pengenal diri atau identitas WP dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya;
3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan;
4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan
pengawasan administrasi perpajakan.
b) Pencantuman NPWP
NPWP harus ditulis dalam setiap dokumen
perpajakan,antara lain pada:
1. Formulir pajak yang dipergunakan Wajib Pajak;
2. Surat menyurat dalam hubungan dengan perpajakan;
3. Dalam hubungan dengan instansi tertentu yang
diwajibkan menggunakan NPWP.
c) Kewajiban Mempunyai NPWP bagi Wajib Pajak
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuanperaturan perundangan-undangan perpajakan
(Pasal 1 angka 2 UU KUP).
Wajib Pajak yang diwajibkan mempunyai NPWP
dibedakan menjadi:
1. Orang Pribadi mempunya penghasilan di atas PTKP,
Wajib Pajak adalah orang pribadi yang mempunyai
penghasilan sampai dengan batasan Penghasilan
39. 33
Tidak Kena Pajak (PTKP) belum terutang PPh,
sehingga WP tersebut tidak wajib memiliki NPWP.
1. Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas;
2. Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas, yang memperoleh penghasilan
diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
setahun adalah :
a. Wajib Pajak sendiri : Rp 15.840.000,-;
b. Wajib Pajak kawin : Rp 17.160.000,-;
c. Wajib Pajak kawin & Memiliki 1 tanggungan :
Rp 18.480.000,-;
d. Wajib Pajak kawin & Memiliki 2 tanggungan :
Rp 19.800.000,-;
e. Wajib Pajak kawin & Memiliki 3 tanggungan :
Rp 21.120.000,-.
Misalnya, Budi (statusnya sendiri) karyawan di PT
A memiliki penghasilan setiap bulannya Rp 2 juta
atau setahun Rp 24 juta, dengan demikian Budi
wajib memiliki NPWP.
2. Badan usaha dalam segala bentuk termasuk BUT.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal
yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau
Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk Kontrak Investasi
Kolektif dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). (Pasal 1 huruf
3 UU.KUP) setiap bentuk badan usaha termasuk BUT
40. 34
diwajibkan memiliki NPWP, tanpa dikaitkan dengan
penghasilannya diatas PTKP atau tidak.
3. Bendaharawan Pemerintah Pusat maupun Daerah.
Bendaharawan pemerintah pusat maupun daerah,
baik bendaharwan rutin maupun proyek diwajibkan
mempunyai NPWP berkaitan dengan pemungutan
maupun pemotongan PPh dan PPN bagi pembayaran
gaji, maupun pengadaan barang dan jasa terhadap
rekanan.
d) Pendaftaran Untuk Mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak
1. Berdasarkan sistem self assessment setiap WP yang
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan wajib mendaftarkan diri utuk memiliki
NPWP dengan cara :
a. Datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
atau melalui Kantor Pelayanan Penyuluhan dan
Konnsultasi Pajak (KP2KP) yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat
kependudukan WP, untuk diberikan NPWP.
b. Melalui internet di situs Direktorat Jenderal Pajak
(www.pajak.go.id) pada aplikasi e-Registration
(ereg.pajak.go.id).
2. Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap
wanita kawin yang ingin dikenakan pajak secara
terpisah dengan suaminya, karena hidup terpisah
berdasarakan keputusan hakim atau dikehendaki
secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan
penghasilan dan harta.
41. 35
3. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang
mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat
tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang
wilayahnya kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga
diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
4. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan
usahanya atau pekerjaan bebas, bila sampai dengan
suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya
telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada
akhir bulan berikutnya.
5. WP orang pribadi lainnya yang memerlukan NPWP
dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh
NPWP.
Untuk mendapatkan NPWP WP mengisi formulir
pendaftaran dan menyampaikan secara langsung atau
melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor
Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4)
setempat dengan melampirkan:
1. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan : Fotokopi
Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau
fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat
tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah
atau Kepala Desa bagi orang asing.
2. Untuk WP OP Usahawan :
a. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau
fotokopi paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari instansi yang berwenang
minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing;
42. 36
b. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang
minimal Lurah atau Kepala Desa.
3. Untuk WP Badan:
a. Fotokopi akte pendirian dan perubahan terakhir
atau surat keterangan penunjukan dari kantor
pusat bagi BUT;
b. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau
fotokopi paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari instansi yang berwenang
minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing,
dari salah seorang pengurus aktif;
c. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari
instansi yang berwenang minimal Lurah atau
Kepala Desa.
4. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong:
a. Fotokopi KTP Bendaharawan;
b. Fotokopi surat penunjukkan sebagai
bendaharawan.
5. Untuk Joint Operation sebagai wajib pajak
Pemotong/pemungut:
a. Fotokopi perjanjian kerjasama sebagai Joint
operation:
b. Fotokopi NPWP masing-masing anggota joint
operation;
c. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau
fotokopi paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari instansi yang berwenang
minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing,
dari salah seorang pengurus joint operation.
43. 37
6. Wajib Pajak dengan status cabang, orang pribadi
pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah
harta harus melampirkan foto kopi surat keterangan
terdaftar.
7. Apabila permohonan ditandatangani orang lain harus
dilengkapi dengan surat kuasa khusus.
Berikut contoh formulir pendaftaran NPWP :
DEPERTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
KANTOR WILAYAH……………………………..
KANTOR PELAYANAN PAJAK…………………. NPWP di isi petugas
SEMUA INFORMASI HARAP DI ISI DENGAN HURUF CETAK. Isi
atau beri tanda x pada kotak jawaban yang sesuai.
PERMOHONAN PENDAFTARAN DAN PERUBAHAN DATAWAJIB
PAJAK
Pendaftaran Perubahan data
Pilih JenisWajib Pajak Untuk pendaftaran WP yang status
usaha 2, 4 dan 5 sebutkan NPWP
Pusat/domisili/suami, untuk
perubahan Data tulis NPWP.
Orang Pribadi Badan Pemungut
A. IDENTITAS UMUM
1. Titel/ Gelar (WP.OP) : ……………………………………………
2. Nama Wajib Pajak (lengkap) : ……………………………………………
3. Nama Wajib Pajak (sesuai KTP) : ……………………………………………
44. 38
4. Alamat tempat kedudukan/tinggal : ……………………………………………
…………….RT/RW………
Kelurahan/Kecamatan/Kota/
Kabupaten : ……………………………Kode pos…….
5. Usaha/Pekerjaan Bebas/
Status usaha : 1.Pusat. 2.Cabang. 3.Tunggal.
4.Isteri/Jo 5. Orang Pribadi tertentu
Jenis Usaha/ Pekerjaan bebas : ………………………….. (di isi
petugas)
Alamat tempat Usaha kegiatan : …………………………………………….
……………………………………………
Kelurahan/Kecamatan/Kota/Kab.: ……………………………………………
………………………RT/RW…………..
6. Kewajiban Pajak (di isi petugas): PPh.Ps.25 PPh Ps.21 PPh Ps.22
PPh.Ps23 PPh.Ps.26 PPh.Ps.29 PPh. Ps.4(2) PPh.Ps.15.
B. KORESPODENSI
7. Alamat (di isi berbeda dengan alamat tempat kedudukan/ tinggal
di Indentitas Umum jalan : ………………………………….
……………………RT/RW……………
8. Telepon/ Faksimile dan E-mail : ……………………./ ………………….
Nomor HP : ……………………..
Nomor E-mail : …………………….
C. WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
9. Tempat/Tanggal Lahir : ……………………………./ …………….
10. No.KTP/Paspor : ………………………………………
11. Kebangsaan Indonesia Asing …………………
12. Merk Dagang/Usaha : ………………………………….……….
D. WAJIB PAJAK BADAN
13. Bentuk Hukum : …………………………………………
14. Status Modal : …………………………………………
15. Akte Pendirian/ Perubahan terakhir:
Nomor Akte : ………………
Tempat/Tanggal Akte :…………………./ ……………………
Nama Notaris : ………………………………………..
Nomor Akte Perubahan : ………………
16. Akhir Tahun Buku : ………………….
17. Identitas Pimpinan/Penanggung Jawab:
Nama : ………………………………………
45. 39
Jabatan : ………………………………………
No.KTP/Paspor : ………………………………………
Kebangsaan : Indonesia Asing ………………
NPWP : ………………………………………
Alamat Tempat Tinggal : ………………………………………..
…………………RT/RW……………..
Kelurahan/Kecamatan : ………………………………………
Kota/Kabupaten : …………………Kode Pos…………
E. WAJIB PAJAK PEMUNGUT:
18. Instansi/Proyek
Nama : ………………………………………..
Alamat Instansi/Proyek : ……………………………………….
Kelurahan/Kecamatan : ……………………………………….
Kode Pos : ……………………….
19. Nomor Surat Penunjukan : ………………………………………
20. Jadwal Proyek : ……………………………………….
F. PERMOHONAN UNTUK DIKUKUHKAN SEBAGAI
PENGUSAHA KENA PAJAK
21. Mengajukan permohonan penghapusan NPWP ya/tidak
22. Menentukan kegiatan usaha yang wajib melaporkan SPT PPN
ya/tidak
NPWP : …………………………………..
Jalan : ………………………………….
Kota/Kabupaten : …………………………………
G. PERMOHONAN PENGHAPUSAN NPWP/ PENCABUTAN PKP
23. Mengajukan Permohonan Penghapusan NPWP ya/tidak
24. Mengajukan Permohonan Pencabutan PKP ya/tidak
25. Mengajukan Permohonan Pencabutan ya/tidak
H. PERNYATAAN
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibat termasuk sanksi
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya
menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan diatas beserta
lampiran-lampirannya adalah benar dan lengkap.
………………….., …………….
Petugas Pemohon
(…….…………………..)
(…………………………..)
NIP ……………………
46. 40
e) Penghapusan NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat terhapus
apabila:
1. WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan,
diisyaratkan adanya fotokopi akte kematian atau
laporan kematian dari instansi yang berwenang;
2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan diisyaratkan adanya surat
nikah/akte perkawinan dari catatan sipil;
3. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan
sebagai Subjek Pajak. Apabila sudah selesai dibagi,
disyaratkan adanya keterangan tentang selesainya
warisan tersebut dibagi oleh para ahli waris;
4. WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi,
diisyaratkan adanya akte pembubaran yang
dikukuhkan dengan surat keterangan dari instansi
yang berwenang;
5. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal
kehilangan statusnya sebagai BUT, diisyaratkan
adanya permohonan WP yang dilampiri dokumen
yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak
memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan
sebagai WP;
6. WP Orang Pribadi lainnya yang tidak memenuhi
syarat lagi sebagai WP.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri
atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, sehingga dapat
merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
bayar.
47. 41
f) Format NPWP
NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 (sembilan) digit
pertama yang merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 (enam) digit
berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.
Formatnya adalah sebagai berikut : XX. XXX. XXX. X – XXX.
XXX
Catatan :
a. Wajib Pajak yang tidak diwajibkan mendaftarkan diri
apabila memerlukan NPWP, dapat mendaftarakan diri dan
kepadanya akan diberikan NPWP;
b. Setiap Wajib Pajak hanya mempunyai satu NPWP untuk
semua jenis pajak;
c. Untuk perusahaan perseorangan, NPWP atas nama
pemiliknya;
d. Untuk badan (misalnya PT) yang baru berdiri sebaiknya
tetap mempunyai NPWP karena apabila rugi dapat
dikompensasi dengan tahun berikutnya.
48. 42
CONTOH NPWP
Gambar 1. NPWP Pribadi/Perorangan Tampak Depan
Gambar 2. NPWP Pribadi/Perseorangan Tampak Belakang
49. 43
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan
sebagai identitas administrasi bagi Wajib Pajak yang terdiri dari 15
(lima belas) digit yaitu 9 (sembilan) digit pertama sebagai
merupakan kode Wajib Pajak dan 6 (enam) digit berikutnya adalah
Kode Nomor Pokok Wajib Pajak. Jumlah digit ini adalah
merupakan perubahan baru dari ketentuan lama yang hanya
terdiri dari 12 (duabelas) digit dan perubahan ini sesuai dengan
perkembangan ketatausahaan sebagai akibat perkembangan
jumlah kantor Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan dari kelima
belas digit tersebut digit ke 13, 14 dan 15 adalah digit sebagai
pelaksanaan ketentuan pasal 2 ayat (1) KUP bagi usaha cabang
atau perwakilan.
Tatanan Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah sebagai
berikut:
X X . XXX. XXX . X. XXX . XXX
Kode jenis pajak
Nomor urut NPWP kode KPP
Cek digit
Kode Jenis Pajak : 00 – untuk Bendahara
01,02,03 – untuk Wajib Pajak badan; dan
04 s/d 09 – untuk Wajib Pajak orang pribadi
Misalnya Ny. Indah Mawarni tinggal di daerah Ilir Barat II, , maka
Nomor Pokok dari Ny. Indah Mawarni adalah sebagai berikut:
Untuk tempat tinggal atau domisili diberikan NPWP : 67. 004. 686.
1-307.000 dengan rincian sebagai berikut:
67 : Wajib Pajak orang pribadi ;
004. 686. : Nomor Ny. Indah Mawarni ;
1 : cek digit;
50. 44
307 : Kode Kantor Pelayanan Pajak
000 : Kode pusat usaha/domisiliWajib Pajak.
Perkembangan sistem penomoran Wajib Pajak ini adalah
merupakan langkah awal pembaruan dari tata cara pemberian
Nomor Pokok Wajib Pajak di dalam sistem perpajakan sejak
Pemerintah meninggalkan sistem official assessment. Sebagai
perkembangan selanjutnya maka penomoran ini mau tidak mau
harus dikembangkan kepada bentuk Nomor Indentitas Tunggal
(NIT) atau sering disebut Single Identity Number (SIN) yang dapat
dipergunakan oleh setiap warga negara dan penduduk Indonesia
untuk segala urusannya, sehingga memudahkan pengumpulan
data perpajakan. Dengan diterapkannya Nomor Indentitas Tunggal
maka setiap warga masyarakat yang berurusan dengan Instansi
Pemerintah atau Lembaga pemerintahan lain dan Badan-badan
tertentu cukup menggunakan nomor yang sama yaitu Nomor
Indentitas tunggal tersebut, sehingga akan terkumpul data
perpajakan bagi setiap warga masyarakat.
Dengan berlakunya Nomor Indentitas Tunggal (NIT) maka
ketentuan sebagaimana dimaksud dalm Pasal 2 ayat (1) KUP
kewajiban mendaftarkan diri dan Pasal (2) ayat (4) KUP yaitu
penerbitan NPWP secara jabatan yang khusus menyangkut
pengenaan Pajak Penghasilan tidak diperlukan lagi, karena
penyeleksian pengertian Wajib Pajak telah termasuk dalam
pengertian Pengolahan Data dan Informasi Perpajakan sebagai
Pusat Tata Usaha dari setiap Kantor Pelayanan Pajak dalam satu
koordinasi dengan Pusat Pengolahan Data di Kantor Wilayah dan
di Kantor Pusat Pengolahan Data.
Untuk dapat terciptanya penggunaan Single Identity
Number perpajakan yang ideal hanyalah mungkin terjadi apabila
secara nasional sudah terbentuk Undang-Undang Administrasi
Nasional.
51. 45
Gambar 3. NPWP Perusahaan Tampak Depan
Gambar 4. NPWP Perusahaan Tampak Belakang
52. 46
B. PENGUSAHA KENA PAJAK
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk
appaun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya akan
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean (Pasal 1 angka 4
UU.KUP). Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. (Pasal 1 angka
5 UU.KUP)
a) Mendaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak
Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan sebagai PKP,
kecuali yang memenuhi syarat sebagai pengusaha kecil harus
mendaftarkan usahanya pada kantor DJP, yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha, dan
tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP.
b) Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang mempunyai
peredaran usaha sampai dengan Rp. 600.000.000,-. Pengusaha
kecil tidak perlu dikukuhkan sebagai PKP, namun dapat memilih
untuk dikukuhkan sebagai PKP untuk dapat memperoleh hak
sebagai PKP.
c) Fungsi PKP
Fungsi pengukuhan PKP adalah untuk mengetahui identitas
PKP yang sebenarnya, pelaksanaan hak dan kewajiban bidang PPN
dan PPnBM, serta pengawas administrasi perpajakan.
53. 47
d) Pengukuhan PKP Secara Jabatan
Terhadap PKP yang memenuhi persyaratan sebagai PKP,
tetapi tidak memenuhi kewajiban untuk melaporkan usahanya
dapat diterbitkan pengukuhan PKP secara jabatan. Hal ini dapat
dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki
oleh DJP ternyata pengusaha tersebut telah memenuhi syarat
untuk dikukuhkan sebagai PKP.
e) Pengusaha Tidak Memenuhi Syarat sebagai PKP
Kriteria pengusaha yang tidak memenuhi syarat sebagai PKP
adalah :
1. Sudah meninggal dunia/bubar, belum terdapat surat
keterangan resmi seperti :
- PKP Perseorangan meninggal dunia yang belum ada
pemberitahuan tertulis secara resmi dari ahli
warisnya.
- PKP Badan telah bubar, tetapi belum ada akte
pembubarannya dari in
2. Tidak ditemukan alamatnya, walaupun sudah dilakukan
penelitian lapangan.
3. Berdasarkan hasil penelitian lapangan tidak
menunjukkan adanya kegiatan usaha lagi.
4. Berdasarkan pemeriksaan, pemeriksaan bukti
permulaan, atau penyidikan pajak diduga kuat
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak PKP.
f) Pencabutan PKP
PKP dapat mengajukan permohohan untuk dilakukan
pencabutan PKP, seperti :
54. 48
1. Pindah Alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak
Lain.
2. Bubar atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai PKP.
Batas waktu penyelesaian pencabutan PKP adalah 6 bulan sejak
tanggal pemohonan diterima secara lengkap dan setelah dilakukan
pemeriksaan.
g) Pencabutan PKP Secara Jabatan
Kepala KPP dapat melakukan pencabutan PKP secara
jabatan atas PKP yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai PKP,
setelah terlebih dahulu melakukan :
1. Pengecekan terhadap Laporan Hasil Penelitian Lapangan
(LHPL) PKP.
2. Penyortiran terhadap LHPL PKP yang diusulkan untuk
dicabut Pengukuhan PKP-nya.
3. PKP yang diusulkan dicabut PKP-nya diterbitkan Surat
Pencabutan Pengukuhan PKP.
Dalam hal PKP dicabut Pengukuhan PKP-nya secara jabatan
ternyata masih memenuhi syarat sebagai PKP, maka PKP tersebut
wajib melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan kembali
sebagai PKP dengan cara mengisi, menandatangani, dan
menyampaikan formulir pendaftaran baru ke KPP. Faktur Pajak
yang diterbitkan dalam masa pajak sejak pencabutan pengukan
PKP sampai dengan pengukuhan kembali sebagai PKP tidak dapat
dikreditkan.
56. 50
BAB III
PEMBAYARAN PAJAK
A. PENGERTIAN UMUM
Setiap Wajib Pajak oleh undang-undang dipercaya untuk
melaksanakan perhitungan pajak sendiri, membayar, atau
menyetorkannya ke tempat pembayaran yang ditunjuk dan
melaporkan pembayaran tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak
dengan tidak menunggu adanya surat ketetapan pajak. Yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana Wajib Pajak membayar
pajak dan sarana apa yang akan digunakan sebagai bukti
pembayaran tersebut? Dalam ketentuan Pasal 1 angka 13 KUP
dikatakan sebagai berikut: “Surat Setoran Pajak adalah surat yang
oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau
penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos
dan atau bank badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan”.
Penjelasan:
1. Pembayaran pajak tersebut menggunakan lembar surat yang
disebut sebagai Surat Setoran Pajak. Adapun siapa yang
menentukan bentuk dan isi dari Surat Setoran Pajak tidak
dijelaskan dalam ketentuan perundang-undangan. Hanya
dalam kumpulan dokumen Surat Keputusan Direktur Jenderal
Pajak, ditemukan bentuk dan isi dari Surat Setoran Pajak yang
ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai wakil
pemerintah yang berkepentingan terhadap dokumen
pembayaran yang dilaksanakan oleh Wajib Pajak. Mungkin ini
dilandasi oleh ketentuan Pasal 10 ayat (2) KUP yang
memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan Republik
57. 51
untuk mengatur tentang tata cara pembayaran, penyetoran
pajak, dan pelaporannya. Oleh karena itu sekaligus diatur
tentang bentuk atau formulir yang dipergunakan untuk
melakukan pembayaran pajak, sekalipun bentuk dan sarana
pembayaran atau penyetoran pajak itu sendiri tidak ada
ketentuan yang mengatur dan pengaturan ini sama sekali tidak
merugi-kan siapapun juga sehingga tidak perlu
dipermasalahkan;
2. Surat Setoran Pajak (SSP) dipergunakan untuk melakukan
pembayaran pajak dan penyetoran pajak. Terminologi
pembayaran pajak adalah pajak yang dibayar atas beban
sendiri misalnya PPh Pasal 25, sedangkan terminologi
penyetoran pajak adalah pajak yang disetorkan atas beban
orang lain misalnya PPh Pasal 21 atau Pajak Pertambahan Nilai;
3. Tempat pembayaran pajak atas rekening kas negara melalui
bank-bank milik Negara atau Daerah atau Kantor Pos atau
tempat pembayaran lain yang ditunjuk.
B. KETENTUAN YANG MENGATUR
Dalam masalah pengumpulan uang pajak ada beberapa
hal yang harus dipenuhi yaitu adanya:
1. Wajib Pajak, yaitu orang atau badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk
menjalankan kewajiban perpajakan, termasuk pemotong atau
pemungut pajak tertentu. Jadi pengertian Wajib Pajak yang
diminta untuk menjalankan kewajiban perpajakan adalah Wajib
Pajak menurut ketentuan formal perpajakan bukannya Wajib
Pajak menurut ketentuan material perpajakan;
2. Timbulnya pajak yang terutang dan saat terutangnya pajak.
Dalam dunia perpajakan ada teori yang menentukan timbulnya
pajak yang terutang yaitu sejak timbulnya obyek pajak pada diri
subyek pajak. Saat timbulnya pajak yang terutang ditandai
dengan saat terjadinya suatu keadaan, peristiwa, atau
58. 52
perbuatan (taatbestand) yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan menimbulkan obyek pajak, misalnya
penyerahan Barang Kena Pajak saat timbulnya pajak yang
terutang adalah pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak, sedangkan saat terutangnya pajak adalah saat
ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan kapan
paling lambat Faktur Pajak harus dibuat, yaitu paling lambat
akhir bulan berikutnya;
3. Kapan pajak harus dibayar dan kapan pembayaran tersebut
harus dilaporkan. Dalam sistem perpajakan saat terutang
bukan berarti saat pembayaran pajak harus dilakukan, saat
pembayaran atas pajak yang terutang biasanya ditentukan saat
setelah timbulnya pajak yang terutang dan ditentukan “paling
lambat dilakukan” dan demikian juga saat pelaporan adalah
dimana “paling lambat pelaporan” atas pembayaran tersebut
harus dilaporkan kepada kantor Direktorat Jenderal Pajak.
Sebagai contoh misalnya dalam transaksi atau penyerahan
yang terutang PPN;
4.
Saat terakhir lap.
20/6’14
April’14 Mei’14 15/6’14
Bulan penyerahan saat terakhir
pembayaran
Saat terakhir FP
Dibuat
59. 53
Berdasarkan ketentuan bulan transaksi penyerahan yang
terjadi bulan April’05 maka pembuatan Faktur Pajak dapat
(tidak harus) dilakukan pada akhir Mei ’05 (catatan: kecuali
sebelum Menyerahan sudah ada pembayaran) dan penyetoran
pajak dapat dilakukan paling lambat tanggal 15 Juni ’06 dan
laporan atau Surat Pemberitahuan disampaikan tanggal 20 Mei
’06. Oleh karena itu pemeriksaan pajak dengan cara equalisasi
peredaran menurut Surat Pemberitahuan PPh dengan
penjumlahan penyerahan dalam satu tahun pajak adalah suatu
hal perlu tindakan kehati-hatian.
Dalam kaitannya dengan uraian tersebut dimuka
Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) Pasal 10 ayat (2) KUP
memerintahkan kepada Menteri Keuangan untuk mengeluarkan
keputusan tentang tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan
pelaporannya serta tata cara mengangsur atau menunda
pembayaran pajak. Kemudian sebagai koridor yang harus dipatuhi
oleh Menteri Keuangan dalam menerbitkan keputusan adalah:
1. Pasal 9 ayat (1) KUP yang menyatakan memberikan
kewenangan kepada Menteri Keuangan Untuk menentukan
tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak
yang terutang bagi masing-masing jenis pajak paling lambat
tanggal 15 setelah saat atau Masa Pajak berakhir;
2. Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) KUP yang mengatur batas
waktu pelaporan yaitu untuk Masa paling lambat tanggal
20 setelah akhir Masa Pajak dan untuk Tahunan 3 (tiga)
bulan setelah akhir Tahun Pajak berakhir.
60. 54
Beberapa Keputusan yang mengatur amanah tersebut adalah
sebagai berikut:
No
Jenis
Pajak/Jenis
Pemotongan/
Pemungutan
Pembayaran
selambat-lambatnya
tanggal
Pelaporan selambat-
lambatnya
1 PPh pasal 25 15 bulan berikutnya 20 bulan Berikutnya
2 PPh pasal 21 10 bulan berikutnya 20 bulan berikutnya
3
PPh pasal 22 Bendahara Pada hari
yang sama
14 bulan berikutnya
4
PPh pasal 22
semen/kertas/
baja/otomotif
15 bulan berikutnya 20 bulan berikutnya
5
PPh pasal 22
Bea Cukai
Satu hari setelah
pemungutan
7 hari setelah
penyetoran
6
PPh pasal 22
Migas
Sebelum DO ditebus 20 bulan berikutnya
7 PPh pasal 23 10 bulan berikutnya 20 bulan berikutnya
8 PPN/PPnBM 15 bulan berikutnya 20 bulan berikutnya
9
PPN/PPnBM
Bendahara
7 bulan berikutnya 14 hari setelah akhir
masa pajak
10
PPN/PPnBM
BC
Satu hari setelah
pemungutan
7 hari setelah
penyetoran
11
PPN atas BBM
& gas/terigu
dan gula
Sebelum DO ditebus 20 hari setelah akhir
masa pajak
61. 55
Dari uraian tersebut sebenarnya para pemotong pajak
dan/atau pemungut pajak rata-rata menerima keuntungan
penggunaan uang pajak dari saat pemungutan atau pemotongan
sampai dengan saat terakhir penyetoran harus dilakukan.
C. SISTEM PEMBAYARAN PAJAK
Tempat pembayaran pajak dilakukan melalui bank
persepsi atau bank yang ditunjuk oleh Meteri Keuangan untuk
menerima pembayaran pajak atau pada kantor pos, yang
dibedakan secara online atau offline.
1. Sistem Pembayaran Pajak Online
Pembayaran pajak melalui bank atau kantor pos dengan
sistem online dapat dilakukan dengan menggunakan SSP
biasa atau khusus. Perkembangan setiap saat pembayaran
pajak dengan system online ini secara real system selalu
dipantau oleh DJP, bahkan sampai Presiden RI.
62. 56
2. Sistem Pembayaran Pajak Offline
Pembayaran pajak pada bank atau kantor pos secara
offline baru diketahui oleh DIrjen Pajak setelah Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) memindah-
bukukan penerimaan pajak yang diterima lewat bank
maupun kantor pos.
D. SURAT SETORAN PAJAK
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan
formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Negara
melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Meteri Keuangan
(Pasal 1 angka 14 UU. KUP) SSP dapat berfungsi sebagai bukti
pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor
penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah
mendapatkan validasi dengan memberikan cap register.
63. 57
1) Surat Setoran Pajak (SSP) Standar
Adalah surat yang oleh Wajib Pajak dipergunakan untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang ke Kantor penerimaan pembayaran yaitu Bank
Persepsi/Bank Devisa Persepsi yang telah ditunjuk dan
berfungsi sebagai bukti pembayaran dengan bentuk,
ukuran dan isi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak (dikenal kode formulir F.2.0.32.01).
Adapun tata cara penggunaan SSP Standar ini adalah
sebagai berikut:
a. Dapat dipergunakan untuk semua jenis pembayaran
pajak baik pajak-pajak biasa (yang tidak bersifat final)
dan pajak-pajak yang bersifat final kecuali untuk
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea
Perolehan Atas Tanah dan atau Bangunan dimana
untuk kedua bentuk pembayaran ini menggunakan
sarana tersendiri;
b. Satu SSP standar hanya dapat dipergunakan untuk
membayar satu jenis pajak, untuk satu Masa Pajak
atau Tahun Pajak. Ini bukan berarti bahwa
pembayaran lebih dari satu jenis pembayaran hanya
dengan menggunakan satu SSP ini kemudian menjadi
batal atau tidak diakui sebagai pembayaran.
Pengertian hanya satu jenis pajak adalah bahwa
pembayaran dengan satu SSP untuk lebih dari satu
jenis pajak tersebut ditindaklanjuti dengan
pemindahbukuan oleh pihak kantor Pelayanan Pajak;
c. Berkaitan butir b tersebut dengan pertimbangan jenis
pajak dan Masa Pajak/Tahun Pajak yang berbeda maka
dalam penggunaannya menggunakan masing-masing
kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) dan Kode
64. 58
Jenis Setoran (KJS), misalnya pembayaran PPh Pasal 25
Masa atas Wajib Pajak Orang Pribadi dengan kode
MAP. 0115 KJS. 100 yang masing-masing nomor kode
tersebut tertera di lembar belakang lembar pertama
Surat Setoran Pajak (SSP);
Catatan : Kode MAP sebagaimana tersebut dimuka dapat
saja setiap saat berubah sesuai dengan kebutuhan.
d. Pembayaran pajak menggunakan SSP ini dapat
dilakukan di lokasi pembayaran (di seluruh Indonesia)
sekalipun bukan di lokasi Kantor Pelayanan Pajak.
Misalnya Wajib Pajak terdaftar di Semarang, dapat
membayar pajak dengan SSP ini misalnya di Bank
Persepsi Surabaya. Namun demikian untuk embayaran
Pajak Bumi dan Bangunan mungkin akan mengalami
kesulitan karena Pajak Bumi dan Bangunan adalah
berkaitan erat dengan Penerimaan Daerah;
e. Pembayaran dengan menggunakan SSP ini ditulis
dalam rangkap empat, sedangkan untuk penyetoran
pajak dibuat dalam rangkap lima, yang masing-masing
adalah:
lembar pertama untuk arsip Wajib Pajak;
lembar kedua untuk KPP melalui KPKN;
lembar ketiga sebagai Surat Pemberitahuan
atau sebagai lampiran
dalam Surat Pemberitahuan;
lembar keempat untuk arsip kantor penerima
pembayaran; dan
lembar kelima untuk arsip
pemungut/pemotong pajak.
65. 59
Catatan:
pengertian pembayaran adalah pajak-pajak atas
beban sendiri, sedangkan penyetoran adalah
pajak yang dipungut atau dipotong oleh pihak
lain. Jadi penyetor pajak adalah pihak yang
memotong atau memungut pajak.
f. Wajib Pajak berdasarkan kebutuhan dapat
menggandakan bentuk SSP ini selama ukuran dan
isinya tetap.
67. 61
Petunjuk Pengisian Surat Setoran Pajak (SSP)
NPWP, Nama WP dan Alamat
Diisi sesuai dengan:
1. NPWP diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP yang
dimiliki Wajib Pajak.
2. Nama WP diisi dengan Nama Wajib Pajak.
3. Alamat diisi sesuai dengan alamat yang tercantum dalam
Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Catatan : Bagi WP yang belum memiliki NPWP
1. NPWP diisi:
Untuk WP berbentuk Badan Usaha diisi dengan
01.000.000.0-XXX.000
a. Untuk WP Orang Pribadi diisi dengan 04.000.000.0-
XXX.000
2. XXX diisi dengan Nomor Kode KPP Domisili pembayar
pajak.
3. Nama dan Alamat diisi dengan lengkap sesuai dengan
Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas lainnya yang
sah.
68. 62
Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran
1. Kode Akun Pajak diisi dengan angka Kode Akun Pajak yang
terlampir untuk setiap jenis pajak yang akan dibayar atau
disetor.
2. Kode Jenis Setoran (KJS) diisi dengan angka dalam kolom
“Kode Jenis Setoran” untuk setiap jenis pajak yang akan
dibayar atau disetor pada tabel terlampir sesuai dengan
penjelasan dalam kolom “Keterangan”.
Catatan : Kedua kode tersebut harus diisi dengan benar
dan lengkap agar kewajiban perpajakan yang telah dibayar
dapat diadministrasikan dengan tepat.
Uraian Pembayaran (untuk SSP Standar)
Diisi sesuai dengan uraian dalam kolom “Jenis Setoran”
yang berkenaan dengan Kode MAP dan Kode Jenis Setoran
pada table terlampir.
Khusus PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi Pengalihan
Hak atas Tanah dan Bangunan, dilengkapi dengan nama
pembeli dan lokasi objek pajak.
69. 63
Khusus PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Persewaan Tanah
dan Bangunan yang disetor oleh yang menyewakan,
dilengkapi dengan nama penyewa dan lokasi objek sewa.
Masa Pajak
Diisi dengan memberi tanda silang pada salah satu kolom
bulan untuk masa pajak yang dibayar atau disetor.
Pembayaran atau setoran untuk lebih dari satu masa pajak
dilakukan dengan menggunakan satu SSP untuk setiap
masa pajak.
Tahun Pajak
Diisi tahun terutangnya pajak.
70. 64
Nomor Ketetapan
Diisi nomor ketetapan yang tercantum pada surat
ketetapan pajak (SKPKB, SKPKBT) atau Surat Tagihan Pajak
(STP) hanya apabila SSP digunakan untuk membayar atau
menyetor pajak yang kurang dibayar/disetor berdasarkan
surat ketetapan pajak atau STP.
Jumlah Pembayaran
Diisi dengan angka jumlah pajak yang dibayar atau disetor
dalam rupiah penuh. Pembayaran pajak dengan
menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat (bagi WP
yang diwajibkan melakukan pembayaran pajak dalam
mata uang Dollar Amerika Serikat), diisi secara lengkap
sampai dengan sen.
Terbilang (untuk SSP Standar)
Diisi jumlah pajak yang dibayar atau disetor dengan huruf
latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
71. 65
Diterima oleh Kantor Penerima Pembayaran (untuk SSP Standar)
Diisi tanggal penerimaan pembayaran atau setoran oleh
Kantor Penerima Pembayaran (Bank Persepsi/Devisa
Persepsi atau PT. Pos Indonesia), tanda tangan, dan nama
jelas petugas penerima pembayaran atau setoran, serta
cap/stempel Kantor Penerima Pembayaran.
Wajib Pajak/Penyetor (untuk SSP Standar)
Diisi tempat dan tanggal pembayaran atau penyetoran,
tanda tangan, dan nama jelas Wajib Pajak/Penyetor serta
stempel usaha.
72. 66
Ruang Validasi Kantor Penerima Pembayaran (untuk SSP
Standar)
Diisi Nomor Transaksi Pembayaran Pajak (NTPP) dan atau
Nomor Transaksi Bank (NTB) atau Nomor Transaksi Pos
(NTP) hanya oleh Kantor Penerima Pembayaran yang telah
mengadakan kerja sama Modul Penerimaan Negara (MPN)
dengan Direktorat Jenderal Pajak.
Pemberlakuan SSP Baru
SSP dan kode akun pajak sebagaimana terlampir ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Juli 2009 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009.
2) Surat Setoran Pajak (SSP) Khusus
Surat Setoran Pajak ini merupakan hasil cetakan khusus
dari Kantor penerima pembayaran yaitu Bank Persepsi atau Bank
Devisa Persepsi yang telah melakukan perjanjian kerja sama
Monitoring Pelaporan Penerimaan Pajak (MP3) dengan Direktorat
Jenderal Pajak. Adapun tata cara pembayaran dengan SSP khusus
ini adalah sebagai berikut:
a. Pembayaran pajak ini hanya dapat dilakukan pada Bank-
bank yang telah On Line dengan cara melakukan perjanjian
kerja sama MP3 dengan Direktorat Jenderal Pajak;
73. 67
b. Wajib Pajak mengisi formulir yang telah ditentukan oleh
kantor penerima pembayaran (Bank), setelah diteliti oleh
teller kantor penerima pembayaran kemudian dicetak SSP
Khusus oleh kantor penerima pembayaran dengan
menggunakan mesin transaksi atau alat lain yang telah
ditetapkan dalam perjanjian;
c. SSP Khusus ini mempunyai fungsi dan sifat yang sama
dengan SSP Standar dan hanya dapat untuk membayar
satu jenis pembayaran, satu Masa Pajak atau satu tahun
Pajak;
d. SSP Khusus ini hanya dapat untuk membayar pajak oleh
Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP, kecuali
pembayaran sebagai berikut:
Fiskal Luar Negeri (Kode MAP 0118-100) yang dibayar
pada countercounter di bandara atau pelabuhan laut;
PPh Pasal 26 Subyek Pajak Luar Negeri (kode MAP
0117 untuk semua jenis setoran pajak);
PPN yang terutang atas pengalihan aktiva dalam
rangka restrukturisasi perusahaan (kode MAP 0131-
104);
PPN atas pemanfaatan BKP tak berwujud atau JKP
dari luar Daerah Pabean (kode MAP 0131-101 atau
0131-104);
PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor (MAP 0113 dan
0132) atas barang bawaan penumpang, awak sarana
pengangkut, pelintas batas dan kiriman pos
sebagaimana diatur oleh DJBC;
PPh Pasal 22 dan PPN DN yang dipungut Bendahara;
PPh Pasal 4 ayat (2) atas Persewaan Tanah dan atau
Bangunan yang dilakukan oleh Orang Pribadi tanpa
NPWP (kode MAP 0118-402 dan 0118-403) ;
PPN untuk kegiatan membangun sendiri oleh OP
(0113- 403).
74. 68
e. Khusus untuk pembayaran PPh Pasal 25 maka pembayaran
dengan SSP khusus ini sekaligus dianggap sebagai Laporan
ke Kantor Pelayanan Pajak, sesuai dengan tanggal
pembayaran yang tertera dalam SSP khusus
(Keputusan Bersama DJA dan DJP No.Kep-76/A/2002
dan No.288/PJ/2002 Tanggal 19 Mei 2002);
f. Pembayaran pajak secara On Line dengan SSP khusus
dianggap sebagai bukti pembayaran yang sah
manakala telah diberikan Nomor Transaksi Bank atau
Pos (NTB) dan atau Nomor Transaksi Pembayaran
Pajak (NTPP).
Catatan :
NTPP adalah nomor bukti pembayaran/ penyetoran
pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak
dengan menggunakan sistem penomoran secara
otomatis yang dicantumkan dalam SSP khusus pada
saat penyetoran pajak dilaksanakan.
3) Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak-Pajak dalam
rangka Impor (SSPCP)
Surat Setoran Pajak (SSCP) hanya dipergunakan untuk
penyetoran penerimaan negara berupa cukai atas
Barang Kena Cukai dan Pajak Pertambahan Nilai atas
tembakau buatan dalam negeri. Adapun tata cara
penggunaan Surat Setoran Pajak ini adalah sebagai
berikut:
a. Surat Setoran Pajak ini dibuat rangkap 8 (delapan)
dengan peruntukan sebagai berikut:
Lembar 1a untuk KPBC melalui Penyetor/ Wajib
Lajak;
Lembar 1b untuk Penyetor/ Wajib Pajak;
75. 69
Lembar 2a dan 2b untuk KPBC melalui KPKN;
Lembar 3 untuk KPP melalui Wajib Pajak; dan
Lembar 4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos.
b. Pembayaran dianggap sah manakala telah
dicantumkan dalam Daftar Nominatif Pembayaran
(DNP) dari kantor penerima pembayaran (bank) dan
disahkan oleh pejabat KPKN;
c. Surat Setoran ini dapat dipergunakan untuk
membayar semua jenis pembayaran atau penyetoran
pajak, kecuali untuk membayar PBB dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan.
76. 70
BAB IV
SURAT PEMBERITAHUAN
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan
kewajiban, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. (Pasal 1 angka 11 UU. KUP)
A. PENGERTIAN SURAT PEMBERITAHUAN
Pasal 1 angka 10 KUP mengatakan:
“ Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau
pembayaran pajak, obyek pajak dan atau bukan obyek
pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Pasal 1 ayat (12) KUP mengatakan:
“Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat
Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak”.
Pembahasan pengertian Surat Pemberitahuan:
Definisi Surat Pemberitahuan ini telah mengalami
perubahan dari bunyi aslinya yaitu dengan ditambahkannya
redaksi “dan atau” serta redaksi “obyek dan bukan obyek pajak”
yang akibatnya merubah total pengertian dasar dari Surat
Pemberitahuan, dan yang menjadi pertanyaan adalah dengan
alasan apa bukan obyek pajak dilaporkan serta apa akibatnya
apabila bukan obyek tersebut tidak dilaporkan? Dari pengertian
umum sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan tersebut maka
Surat Pemberitahuan adalah Surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan:
77. 71
a. Penghitungan dan atau pembayaran pajak. Sejalan dengan
sistem self assessment maka setiap Wajib Pajak oleh undang-
undang diminta untuk menghitung sendiri jumlah pajak yang
terutang dan membayarnya sendiri serta melaporkan
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
KUP. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan maka perhitungan
pajak tersebut adalah perhitungan pajak terutang tahunan,
atau Bagian Tahun Pajak bagi Wajib Pajak yang mengenal
Bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal 2 ayat (3) huruf a UU Pajak Penghasilan.
b. Pembayaran saja. Adakalanya ada pembayaran pajak yang
tidak memerlukan perhitungan sebelumnya misalnya
pembayaran PPh. Pasal 25, pembayaran atas utang pajak
dalam surat ketetapan pajak, dan inipun harus dilaporkan
menurut ketentuan undang-undang;
c. Obyek pajak dan atau bukan obyek pajak. Pengertian bukan
obyek pajak adalah juga termasuk didalamnya penghasilan
yang telah dikenakan pajak final, sekalipun tidak ditambahkan
dalam perhitungan penghasilan kena pajak namun tetap
harus dilaporkan untuk mengantisipasi pembuktian ketentuan
Pasal 4 ayat (1) huruf p UU. PPh. Demikian pula dalam kasus
Surat Pemberitahuan Pajak ada kemungkinan penyerahan
atau perolehan barang atau jasa yang bukan merupakan
barang kena pajak atau jasa kena pajak yang tercampur dalam
satu kegiatan usaha;
d. Bukan obyek pajak. Suatu pertanyaan timbul yaitu mengapa
bukan obyek pajak harus dilaporkan? Pelaporan bukan obyek
pajak ini ada dalam Surat Pemberitahuan PPN yang
seharusnya tidak perlu dilaporkan karena tidak ada kaitannya
dengan jumlah pajak yang terutang. Permintaan pelaporan ini
timbul ada kemungkinan karena pihak Direktorat Jenderal
Pajak sebagai yang melaksanakan penanganan pajak hanya
menerima data bersih untuk dapat dilaksanakan konfirmasi
antara Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan dengan Surat
78. 72
pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai. Dan ini pun
sebenarnya sangat sulit dilakukan karena dua hal yaitu:
· Pajak Pertambahan Nilai tidak mengenal Surat
Pemberitahuan Tahunan;
· Pengertian saat terutangnya pajak adalah berbeda antara
pengaturan di dalam Pajak Pertambahan Nilai dengan
Pajak Penghasilan;
· Dalam kasus tertentu ada penyerahan barang kena pajak
yang menurut UU PPN adalah terutang pajak, sedangkan
menurut ketentuan Pajak Penghasilan adalah bukan
sebagai penyerahan atau penjualan atau omset misalnya
penyerahan untuk dijual atau konsinyasi.
Pelaporan bukan obyek pajak dalam Surat Pemberitahuan
PPN ini sebenarnya selain tidak bermanfaat untuk
kepentingan Pajak Pertambahan Nilai juga hanya akan
memberatkan administrasi Wajib Pajak saja. Berbeda dengan
Pajak Pertambahan Nilai dalam hal menyangkut Pajak
Penghasilan memang ada bentuk penghasilan yang bukan
merupakan obyek pajak yang dalam pembukuan atau
pencatatan tidak dapat dipisahkan begitu saja dari
penghasilan usaha yang dijalankannya. Misalnya adalah
penghasilan dari hibah, bantuan atau sumbangan, iuran dan
penghasilan tertentu yang diterima dana pensiun,
dividen/pembagian laba yang diterima oleh Perseroan
Terbatas tertentu, bunga obligasi yang diterima perusahaan
reksadana, bagian laba yang diterima perusahaan Modal
Ventura dan masih ada yang lain sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 4 ayat (3) PPh.
e. Harta dan kewajiban. Pelaporan ini adalah hal wajar karena
setiap penghasilan selalu akan terlihat di pengeluaran
konsumsi dan pertambahan harta (dalam istilah ekonomi
Investasi) dan juga utang yang membebani harta tersebut;
79. 73
Pelaporan kegiatan menghitung sendiri, membayar pajak
yang terutang dari hasil perhitungannya adalah sebagai tuntutan
lebih lanjut dari ketentuan Pasal 12 ayat (1) KUP yaitu bahwa
setiap Wajib Pajak wajib menghitung dan membayar pajak yang
terutang dengan tidak menggantungkan adanya surat ketetapan
pajak. Perhitungan yang dilaksanakan oleh Wajib Pajak tersebut
haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jadi filosofi
yang mendasari kewajiban menyampaikan pelaporan dari hasil
perhitungan pajak yang terutang dan membayar pajak yang
terutang tersebut adalah ketentuan pasal 12 ayat (3) KUP yaitu
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan fungsi
pengawasan dan pembinaan maka dapat menetapkan jumlah
pajak yang semestinya terutang apabila perhitungan pajak yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan adalah tidak benar.
Catatan:
Pengertian Pasal 12 ayat (3) KUP tersebut jangan di
mengerti sebagai suatu keharusan bagi Direktur Jendral
Pajak untuk melakukan pemeriksaan. Redaksi ”apabila”
yang mendahului ayat ini memberikan pengertian bahwa
kasus pemeriksaan penghitungan pajak sendiri yang
dilakukan oleh Wajib Pajak adalah suatu bentuk kasualitas
yang dilandaskan pada adanya dugaan bahwa Surat
Pemberitahuan adalah tidak benar, bukan suatu tugas rutin
dari Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan
atas setiap Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan
Wajib Pajak. Penafsiran yang salah dari ketentuan ini akan
bertabrakan dengan pengertian sebagaimana dikandung
dalam Pasal 29 ayat (1) KUP.
Ketentuan yang Mengatur
Dalam rangka menampung pelaksanaan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) KUP tersebut
ditentukan kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan bagi
setiap Wajib Pajak yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
80. 74
dan ayat (2) KUP, kurang lebih menyatakan bahwa Setiap Wajib
Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan huruf latin, angka Arab satuan mata uang
Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikan ke Kantor
Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau
dikukuhkan.
Kembali lagi di sini undang-undang mengatakan ”setiap
Wajib Pajak” apabila ketentuan ini kita kaitkan dengan ketentuan
pasal 2 ayat (1) tentang pendaftaran maka pengertiannya dapat
berupa Wajib Pajak baik yang telah terdaftar maupun yang belum
terdaftar. Namun demikian bukan berarti bahwa setiap Wajib
Pajak dengan bebasnya melaksanakan pelaporan dengan
modelnya sendiri-sendiri dan dengan bentuk-bentuk pelaporan
sebagaimana yang dikehendakinya. Apabila kondisi ini dibiarkan
maka dapat dibayangkan bagaimana kacaunya sistem kearsipan
Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menampung atau
mengarsipkan Laporan Wajib Pajak yang beragam tadi.
Berkaitan dengan uraian tersebut, ketentuan formal
perpajakan sebagaimana dalam Pasal 3 ayat (6) yang menyatakan
bahwa bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan
atau dokumen yang harus dilampirkan ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dan setiap Wajib Pajak diwajibkan
mengambil sendiri formulir Surat Pemberitahuan yang telah
ditentukan bentuk dan isinya tersebut – Pasal 3 ayat (2) KUP.
Namun demikian bukan berarti bahwa Menteri Keuangan
dapat menentukan bentuk dan isi yang harus dilaporkan tersebut
secara bebas lepas dari konteks kemauan peraturan perundang-
undangan, bentuk pelaporan melalui Surat Pemberitahuan harus
sesederhana mungkin dengan tidak banyak faktor kesulitan
apalagi bernuansa jebakan. Beberapa hal yang harus diperhatikan
oleh Menteri Keuangan dalam menentukan bentuk dan isi Surat
Pemberitahuan serta yang harus dilampirkan adalah:
81. 75
a. Ketidaklengkapan Wajib Pajak dalam menyampaikan laporan
melalui Surat Pemberitahuan yang karena kurang atau tidak
lengkapnya formulir Surat Pemberitahuan adalah bukan
kesalahan Wajib Pajak dan tidak dapat ditimpakan kesalahan
tersebut kepada Wajib Pajak;
b. Undang-undang pajak sekalipun dinyatakan dalam Pasal 2
ayat (1) PPh mengenal tiga macam bentuk Subyek Pajak yaitu
bentuk Orang pribadi, bentuk Badan dan Bentuk Usaha Tetap,
namun dari sudut pandang pelaksanaan kewajiban
perpajakan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
hanya mengenal dua bentuk yaitu Wajib Pajak yang
menyelenggarakan pembukuan dan Wajib Pajak yang
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dan
apabila ini diperluas maka ditambah dengan Wajib Pajak yang
memiliki penghasilan dari pemberi kerja dan penghasilan
tidak tetap lainnya serta ”apabila masih diperlukan” adalah
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 (pemberi kerja);
c. Surat Pemberitahuan harus disampaikan oleh Wajib Pajak
yaitu subyek pajak yang padanya melekat obyek pajak dengan
tidak memasalahkan apakah dia sudah terdaftar atau belum
terdaftar dan dengan karakteristik ciri-ciri penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari masing-masing jenis subyek yang
tidak sama antara satu dan lainnya dan tidak dapat di
generalisir begitu saja. Oleh karena itu kenyataan ini harus
dapat di tampung dalam penyusunan formulir Surat
Pemberitahuan. Sebagai contoh adalah penghasilan antara
Wajib Pajak orang pribadi atau badan dengan Wajib Pajak
Bentuk Usaha Tetap;
d. Tata cara perhitungan besarnya pajak penghasilan yang
terutang secara self assessment system sebagaimana diatur
dalam mekanisme pelaksanaan Undang-undang Pajak
Penghasilan adalah antara lain:
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) PPh, yaitu
dengan cara membandingkan penghasilan dengan biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh biaya tersebut atau
82. 76
matching revenue and cost. Kemudian dari itu pengertian
dari:
- Revenue adalah sebagaimana disebut dalam Pasal 4
ayat (1) PPh (kecuali sebagaimana yang tersebut
dalam Pasal 4 ayat (3) PPh) untuk Wajib Pajak orang
pribadi dan badan dalam negeri dan ditambah
dengan pengertian Pasal 5 ayat (1) UU.PPh untuk
Bentuk Usaha Tetap (BUT);
- cost adalah cost sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d dan
huruf e, dan Pasal 5 ayat (3) huruf a UU. PPh untuk
Bentuk Usaha Tetap;
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) PPh, yaitu bagi
Wajib Pajak orang pribadi yang menghitung besarnya
penghasilan neto dengan Norma Penghasilan penghasilan
neto;
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU. PPh bagi
Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT);
Khusus untuk Wajib Pajak orang pribadi tertentu yaitu
yang mengenal Bagian Tahun Pajak maka perhitungan
penghasilan kena pajak tahunan harus diperhatikan
pengertian Pasal 16 ayat (4) jo Pasal 17 ayat (5) dan ayat
(6) UU. Pajak Penghasilan.
e. Dalam kasus Wajib Pajak tertentu maka harus diperhatikan
pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
UU.PPh yaitu pemberian kompensasi kerugian dan atau Pasal
7 ayat (1) UU. PPh yaitu Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
f. Dalam perhitungan pajak tahunan juga harus dilampirkan
perhitungan kredit pajak yaitu pembayaran PPh Pasal 25 dan
atau jumlah besarnya pemotongan dan atau pemungutan
dalam tahun pajak yang bersangkutan;
g. Surat Pemberitahuan Tahunan juga harus dinyatakan besarnya
pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 ayat (1) dan sekaligus
dilampirkan perhitungan PPh Pasal 21 menurutWajib Pajak;
83. 77
h. Ada ketentuan lain yang sebenarnya bukan kemauan undang-
undang namun wajib atau pantas dilaporkan sebagai
pendukung laporan yang diwajibkan menurut ketentuan
undang-undang, dan dapat dimasukkan sebagai lampiran
Surat Pemberitahuan atau dokumen yang harus dilampirkan;
i. Dilaporkan pula dalam Surat Pemberitahuan Tahunan antara
lain:
Stelsel yang dipakai dalam pembukuan (Acrual atau Kas);
Bahasa yang dipakai dalam pembukuan (Bahasa
Indonesia atau Asing yang diizinkan). Penafsiran dari
ketentuan ini seharusnya juga dilaporkan bahasa program
yang dipergunakan serta dokumentasi program
seandainya Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan
dengan komputer;
Sistem pembukuan yang dipergunakan (Manual atau
Komputer), berikut dengan dokumentasi programnya;
Mata uang yang dipergunakan dalam pembukuan (Rp atau
US $);
Cara penilaian persediaan barang dagangan (Rata-rata
atau Fifo);
Metode penyusutan dan amortisasi (Garis lurus atau saldo
menurun);
Dokumen-dokumen yang dianggap penting untuk
dilaporkan.
B. PENGISIAN DAN PENYAMPAIAN SPT
1. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan
dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
84. 78
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau
tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan
untuk menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah,
wajib menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dan
mata uang selain Rupiah yang diizinkan.
C. FUNGSI SPT
1. Wajib Pajak PPh
Sebagai sarana WP untuk melaporkan dan
mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah
pajak yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan
atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau
bukan objek pajak;
c. Harta dan kewajiban;
d. Pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan
lain dalam 1 (satu) Masa Pajak.
2. Pengusaha Kena Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah
PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran;
85. 79
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak
dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa
Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
3. Pemotong/ Pemungut Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggung-jawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkan.
D. PENGELOMPOKAN SPT
SPT yang telah diterima DJP dikelompokkan menurut : Jenis
SPT, Jenis WP, Jenis Pajak dan menurut criteria SPT.
1. Pengelompokan SPT sesuai Jenis SPT
a) SPT Tahunan, Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu)
tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender. (Pasal 1 huruf 8 UU.KUP). Bagian tahun Pajak
adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
(Pasal 1 huruf 9 UU.KUP). Surat Pemberitahuan Tahunan
adalah surat pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak
atau Bagian Tahun Pajak. (Pasal 1 huruf 13 UU. KUP).
Jenis Pajak yang harus dilaporkan melalui SPT Tahunan
adalah: PPh Badan Rp. PPh Badan US $, PPh Orang
Pribadi dan PPh Orang Pribadi Karyawan.
b) SPT Masa,
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar
bagi Wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka
waktu tertentu- sebagaimana ditentukan dalam Undang-
undang ini (Pasal 1 huruf 7 UU. KUP).
86. 80
Surat Pemberitahuan Masa adalah surat pemberitahuan
untuk suatu masa pajak (Pasal 1 huruf 12 UU. KUP) masa
pajak yang berlaku adalah 1 bulan kalender atau paling
lama 3 bulan kalender. Jenis Pajak yang dilaporkan
melalui SPT masa adalah : PPh Pasal 21/26, PPh pasal 22,
PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 25, PPh Pasal 4(2), PPh Pasal
15, PPN dan PPnBM.
SPT Masa Wajib Pajak Kriteria Tertentu, seperti WP
Usaha Kecil dapat dilakukan menggunakan 1 SPT untuk
beberapa masa-masa pajak, dengan syarat pembayaran
pajak dilakukan untuk:
- SPT masa PPh pasal 25 dibayar semuanya pada saat
SPT dilakukan, sampai dengan masa pajak yang
digabung dengan SPT.
- SPT lainnya, pembayaran pajaknya tidak melebihi
batas waktu setiap masanya.
Contoh :
CV. SANDA STORE termasuk WP kecil melakukan
pembayaran PPh pasal 25 untuk masa Januari sampai
dengan Desember 2014 sebesar Rp. 120.000,00 yang
dilunasi pada tanggal 10 Februari 2014. Atas SSP pasal
25 masa Januari samapai dengan Desember 2014
tersebut dilaporkan tanggal 19 Februari 2014
87. 81
Rekaan Formulir Surat Pemberitahuan Yang Ditetapkan Oleh
Menteri Keuangan RI
Surat Pemberitahuan Tahunan Orang Pribadi (Kode Formulir 1770)
89. 83
Kemudian dari Surat Pemberitahuan Induk tersebut disertakan
lampiran untuk di isi antara lain:
1. Lampiran 1770-I yaitu lampiran penghitungan neto dalam
negeri, yang terdiri dari kolom-kolom:
o Penghasilan Neto dalam negeri dari usaha atau pekerjaan
bebas bagi yang menggunakan pembukuan- pelaksanaan
Pasal 16 ayat (1) UU.PPh; b. Penghasilan neto dari dalam
negeri dari usaha atau pekerjaan bebas yang
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto –
pelaksanaan Pasal 14 ayat (2) UU.PPh;
o Penghasilan Neto dari dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan – penghasilan dari hubungan kerja;
o Penghasilan neto dalam negeri lainnya;
2. Lampiran 1770-II yaitu daftar pemotongan atau pemungutan
oleh pihak lain, PPh yang ditanggung pemerintah, penghasilan
neto dan pajak penghasilan yang dibayar/dipotong/terutang di
luar negeri, yang terdiri dari:
o Daftar pemotongan/pemungutan oleh pihak lain dan PPh
yang ditanggung pemerintah;
o Penghasilan neto dan pajak penghasilan yang
dibayar/dipotong/ terutang di luar negeri.
3. Lampiran1770-III yaitu penghasilan yang telah dikenakan pajak
bersifat final, dikenakan pajak tersendiri, penghasilan
pengusaha tertentu serta penghasilan yang tidak termasuk
obyek pajak, yang terdiri dari:
- Penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final,
dikenakan pajak tersendiri dan penghasilan pengusaha
tertentu; dan
- Penghasilan yang tidak termasuk obyek pajak.
4. Daftar harta dan kewajiban Wajib Pajak akhir tahun, yang
terdiri dari daftar harta dan daftar kewajiban.
Penjelasan:
a. Dalam rekaan Formulir Surat Pemberitahuan untuk Wajib
Pajak orang pribadi tersebut seolah-olah dilupakan bahwa