Teks tersebut membahas tentang kaidah "Ad-Dhararu Yuzalu" yang berarti kemudharatan harus dihilangkan. Kaidah ini berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis yang menyatakan larangan membuat kerusakan dan kemudharatan. Kaidah ini menegaskan bahwa kemudharatan, seperti ancaman terhadap nyawa, agama, atau harta, dapat mengizinkan tindakan yang biasanya dilarang. Teks tersebut juga membedakan antara
2. Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.[5] (Q.S al-Qashash 28: 77)
Hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas:
َارَر ِض َال َو َرَرَضَال
"Tidak diperbolehkan membuat kemadharatan pada diri sendiri dan kemadharatan pada orang
lain".[6]
Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini banyak sekali, diantaranya:
khiyar, syuf’ah, hudud, kafarat, memilih pemimpin, fasakh dalam nikah karena ada aib dan
sebagainya.[7]
C. Perbedaan antara Masyaqqat dan Dharar
1. Masyaqqat adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang
sesuatu, dan jika tidak terpenuhi tidak akan mempengaruhi eksistensi manusia,
sedang Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika
tidak terselesaikan akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan manusia.
2. Masyaqqat waktu terjadinya relative lama dan bias terjadi terus-menerus,
sedangkan Dharar relative singkat
3. Masyaqqat solusi alternativenya banyak, sedangkan Dharar hanya ada satu
4. Dengan adanya Masyaqqat akan mendatangkan kemudahan dan adanya Dharar akan ada
penghapusan hukum.
Dengan demikian adanya Rukhsoh (keringanan) dan penghapusan Dharar akan
mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak
mempunyai perbedaan. (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 218)
D. Uraian Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”
Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus
dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:
َارَر ِض َال َو َرَرَضَال
“ tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan ”[8]
Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1. Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada
mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi
orang lain memudaratkan”.
3. 2. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar diartikan
membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.
Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang menyebabkan
kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga dapat membuatnya roboh, maka
pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang
begitu jelas di dalamnya.
Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam perhubungan
bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya
dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak
tetangganya.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan haknya
yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain (tetangganya) jika memang ia
lebih dahulu ada sebelum Sitetangga. Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun
rumah disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun
rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek
negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya
dengan keinginan dan pilihannya sendiri.
“ Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat ” artinya, apabila suatu
perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali
dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar
dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil.
Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh
dilakukan.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah
penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya
ini harus dihilangkan. Contohnya barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan
umum atau membangun jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat
diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.[9]
Ada juga contoh lainnya mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu antara lain:
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut
mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2. Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan
orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk
menghilangkan kemudaratan.
3. Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
4. Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan
kemudaratan.[10]
4. E. Cabang-Cabang Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”
Sebagai kaidah pokok, ada beberapa kaidah yang menginduk pada kaidah ini, yaitu:
Kaidah pertama:
1.المحظورات تبيح الضرورات
"Madharat itu dapat memperbolehkan yang diharamkan"
Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:
اليه االمااضطررتم عليكم حرم ما لكم فصل وقد
Artinya: “Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya
atasmukecualiapa yang terpaksa kamu memakannya”[11](.QS. al-An’am:119)
عليه اثم فال عاد وال باغ غير اضطر فمن
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak
menginginkannya, serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”[12].(QS. Al-
Baqarah : 173)
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram,
namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain
kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan
memakainya. Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali
babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan
sebatas keperluannya.
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait
dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan, dan memelihara kehormatan atau harta benda. Dengan demikian
Dharar itu terkait dengan dharuriyah, bukan hajiyah dan tahsiniyah. Sedangkan hajat
(kebutuhan) terkait dengan hajiyah dan tahsiniyah. Karena itu terdapat kaidah:
الحاجة مع كراهة وال الضرورات مع حرام ال
“Tiada keharaman baagi Dharar dan tidak ada kemakruhan bagi kebutuhan”(Abdul Hamid
Hakim, 1956:81).
Kaidah kedua:
2.بقدرها َّرديق للضرورة ماابيح
“Apa yang diperbolehkan karena Dharar maka diukur menurut kadar kemadharatannya” (as-
Suyuthi, TT:60).
Contoh kaidah di atas adalah: kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya
sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
Kaidah ketiga:
3.الغير حق يبطل ال االضطرار
“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” (Wahbah az-Zuhaili 1982:259)
Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika ia tidak makan, dan
jalan satu-satunya mendapat makanan adalah mencuri, maka ia tidak boleh melakukannya,
5. karena pengguguran terhadap keterpaksaan ini mengganggu hak orang lain, maka jalan keluar
orang tersebut adalah boleh makan makanan yang haram seperti babi, bangkai dan
sebagainya.
Kaidah keempat:
4.بالضرر اليزال الضرار
“kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain” (as-Suyuthi,TT:61)
Kaedah ini semakna dengan kaedah:
ِهِلْثِمَب ُلاَُزيَال ُرَرَضْلا
“ kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding”
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara
melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak
mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak
boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
Contoh lain seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke
orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang
menerima donor.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena Dharar adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili
membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:
a. Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang,
karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan
maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang
diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan
sebagainya.
b. Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan
kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram.
Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan
makanan halal, bukan makanan haram.
c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum
diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat.
Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan
sebagainya.
d. Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
e. Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan
hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan
mafsadah. (Wahbah az-Zuhaili, 1982:246-247)
6. Contoh kaidah di atas adalah kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya
sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
Kaidah kelima :
5.بزواله بطل لعذر ماجاز
“Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya
hilan.” (wahbah az-Zuhaili, 1982:245)
Misalnya kebolehan tayammum bagi seseorang yang lagi sakit, maka ketika sudah
sembuh kebolehan tayammum itu hilang atau tidak perlaku lagi.
Kaidah keenam:
6.الميسوربالمعسور اليسقط
“Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:257)
Kaidah tersebut menurut Ibnu Subki diambil dari sabda nabi SAW:
مااستطعتم منه فأتوا بامر اذاامرتكم
“Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah perintah itu
semampu kalian”
Misalnya seorang yang buntung tangan atau kakinya maka cara wudhunya cukup
membasuh yang ada, kalau tidak ada sama sekali maka cukup membasuh anggota yang
paling ujung sendiri.
Kaidah ketujuh:
7.غالبا المفسدة دفع قدم ومصلحة ممفسدة فاذاتعارض المصالح جلب من اولى درءالمفاسد
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila
berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62)
Kaidah tersebut diilhami oleh hadits nabi SAW:
فاجتنبوه شئ عن واذانهيتكم مااستطعتم توا بامرفأ اذاامرتكم
“Apabila aku telah memerinahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu
semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”.(HR.
Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"
Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak
mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring.
Menolak madharat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat.
Misalnya minum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-
hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan , walaupun demikian maka
yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.
Kaidah kedelapan:
8.هماِِّفاخ بارتكاب ضررا اعظمهما روعى مفسدتان تعارض اذا
7. “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya
dengan memilih yang lebih ringan madharatnya” (Abdul Hamid Hakim, 1956:82)
Misalnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika
dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan. Demikian juga boleh shalat
denga bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.
Kaidah kesembilan:
9.تنز اوالخاصة مة العا الحاجةالضرورة منزلة ل
“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat Dharar” (Wahbah az-Zuhaili,
1982:261)
Kaidah diatas menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi
kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa
keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas
kemadharatan, karena itu hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudharat.
Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan
syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam
(pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.
Perbedan Dharar dan Hajat:
a. Dharar lebih berat keadaanya sedangkan hajat hanya sekedar butuh.
b. Hukum Dharar dalam mengecualikan terhadap hukum yang sudah diterapkan walaupun
terbatas waktu dan kadarnya, misalnya wajib menjadi mubah, haram menjadi mubah. Sedang
hukum hajat tidak dapat mengubah hukum nash yang sudah jelas.(Wahbah az-Zuhaili,
1982:273-274)
Sedang syarat adanya hajat adalah sebagai berikut :
a. ia membutuhkan atas ketidak berlakuan hukum asal karena adanya kesulitan (hajat atau
masyaqqat) yang tidak bisa terjadi.
b. Sesuatu yang dihajati itu patut menggunakan hukum istisna’(pengecualian) bagi individu
menurut kebiasaan.
c. Hajat yang dihadapi merupakan hajat yang jelas untuk suatu tujuan bagi hukum syara’.
d. Kedudukan hajat sama dengan Dharar dalam aspek penggunaan kadar yang dibutuhkan.
(Wahbah az-Zuhaili, 1982:275-276)
Jumhur ulama menggunakan keringanan-keringanan dalam hajat atau Dharar jika
ternyata hajat dan Dharar itu memenuhi syarat-syaratnya.
Keterangan:
Menurut Abdul Qadir Audah seorang tokoh Ihwanul Muslimin dan seorang qadi
Mesir, Dharar bisa diperhitungkan bila mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Dikhawatirkan membahayakan jiwa, raga, agama seseorang.
2. Dalam keadaan serius hingga tidak bisa ditunda.
3. Tidak ada jalan lain.
8. 4. Dilakukan seperlunya saja.[13]
Izzuddin bin Abdissalam dalam al Qawaid Li al-Maqasid membagi maslahah dan
mafsadah menjadi tiga:
1. Afdhal (seperti al Wajibat)
2. Fadl (seperti al Mandubat)
3. Mutawassith (seperti al Ibahah)
[1] Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm17.
[2] pondok pasantren islam nirul iman, Dhorurat dalam Perspektif
Islam, http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-
islam.html, 10/10/2012, 02.19 WIB
[3] Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-
kemudharatan-itu.html, 10/10/2012, 02.23 WIB
[4] Q.S al-a’raf 7: 56
[5] Q.S al-Qashash 28: 77
[6] Muchlis Usman, kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada,
2002), hal.132
[7] Abdul hamid hakim, as-sullam, juz II, Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra, hlm 59
[8] Ibid., hlm 132
[9] Ibid., hlm.19
[10] Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.2, h.68
[11] QS. al-An’am:119
[12] QS. Al-Baqarah : 173
[13] Musbik imam, qawa’id al-fiqfiyah, Jakarta:PT rajagrafindopersada, 2001, hlm 70
by Majelis Penulis at 23.41 on Kamis, 12 September 2013
ُلا َزُي ُرَرَّضلَا
Disusun Oleh: Abdurrahman Abu Aisyah
A. Definisi
Menurut etimologi, kata ضرر (dharar) berarti kekurangan yang terdapat pada sesuatu,
batasan ضرر adalah keadaan yang membahayakan yang dialami manusia atau masyaqqah
yang parah yang tak mungkin mampu dipikul olehnya. [1] Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa kemudaratan adalah sesuatu yang tidak menguntungkan, rugi
atau kerugian secara adjectiva ia berarti merugikan dan tidak berguna.[2] Maka
kemudharatan dapat dipahami sebagai sesuatu yang membahayakan dan tidak memiliki
kegunaan bagi manusia.
Kata ضرر dhirar menurut bahasa adalah balasan yang sengaja dilakukan sebagai
balasan atas kemudharatan yang menimpanya. Dengan kata lain dia membalas atau
menimpakan kemudharatan kepada orang lain sesuai dengan kemudharatan yang menimpa
dirinya. Sedangkan kita semua mengetahui bahwa kata mudharat itu sendiri menurut bahasa
adalah kebalikan dari manfaat, atau dapat juga dikatakan bahaya.[3] Shalih Ibn Ghanim as-
Sadlan mencatat makna dari ضرر dharar dalam kaidah ini adalah tidak bolehnya
menimpakan mudharat kepada orang lain, baik hal tersebut menyebabkan kemudaharatan
atau tidak.[4]
Kata ُلاَُزي (yuzaal) berasal dari kata zaala-yaziilu-zaalatan kata ini dalam bentuk majhul
dengan wazan fu’al yang berarti dihilangkan.[5] Maka setiap kemudharatan yang ada harus
dihilangkan. Jadi secara garis besar kaidah fikih ini melarang segala sesuatu perbuatan yang
9. mendatangkan mudharat/bahaya tanpa alasan yang benar serta tidak boleh membalas
kemudharatan/bahaya dengan kemudharatan yang serupa juga, apalagi dengan yang lebih
besar dari kemudharatan yang menimpanya.
B. Dasar Kaidah
Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mengandung kata adh-dharurat serta
derivasinya sangat banyak. Ayat-ayat tersebut sekaligus menjadi dasar bagi kaidah ini
diantaranya adalah:
ُوادَتْعَتِِّل ا ًۭار َر ِض َّنُهوُكِسْمُت َالَو
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. QS. Al-Baqarah: 231.
َّنِهْيَلَع واُقِِّيَضُتِل َّنُهوُّآرَضُت َالَو
….dan janganlah kamu menyusahkan (memudharatkan) mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. QS. Ath-Thalaaq: 6.
َالِهِدَل َوِب ُهَّل ًۭودُل ْوَم َالَو َاهِدَل َوِب ةَدِل َو َّآرَضُت
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya. QS. Al-Baqarah: 233.
ِهْيَلَع َمْثِإ ََلَف ادَع َالَو اغَب َرْيَغ َّرُطْضٱ ِنَمَف
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. QS. Al-Baqarah : 173.
ْمُتْيَدَتْهٱ اَذِإ َّلَض نَّم مُكُّرُضَي َال
Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah
mendapat petunjuk. QS. Al-Maaidah: 105.
Istilah mudharat dalam ayat-ayat tersebut bermakna kemudharatan, kesempitan,
kesengsaraan dan setiap hal yang mendatangkan bahaya. Ayat-ayat tersebut juga menjadi
sumber hukum yang menunjukan bahwasanya kemudharatan itu harus dihindari dan
dihilangkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi jika kemudharatan tersebut mengancam
kehidupan manusia maka ia harus dihilangkan.
Dalam ayat yang lainnya Allah ta’ala telah memberikan batasan-batasan yang harus
diikuti oleh umat Islam, namun jika dalam keadaan darurat atau terpaksa maka hal tersebut
boleh saja dilakukan sebagaimana firmanNya:
ِهْيَلِإ ْمُت ْر ِرُطْضٱ اَم َّالِإ ْمُكْيَلَع َمَّرَح اَّم مُكَل َلَّصَف ْدَق َو
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya. QS. Al-An’am: 119.
Adapun hadits Nabi yang menjadi dasar kaidah ini diantaranya :
َرْيَالخ اال َّنُظَيال ْنَا َو ُهَضرِع َو ُهَلاَمَو ُهَمَد َنْيِنِم ؤُمال َنِم ُهللا َمَّرَح
Allah mengharamkan dari orang mukmin, darahnya, hartanya dan kehormatannya, dan tidak
menyangka kecuali dengan sangkaan yang baik. HR. Muslim.
Dalam riwayat lainnya Rasulullah bersabda:
مَرَح مُكَضا َاعر َو ْمُكَلا َوْمَا َو ْمُكَءاَمِد َِّنا
Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan kehormatan kamu
semua adalah haram di antara kamu semua. HR. Muslim.
Kedua hadits tersebut menunjukan bahwasanya harta, darah dan kehormatan seorang
muslim itu tidak boleh untuk dilanggar sehingga memunculkan kemudharatan kepada
seorang muslim sangat dilarang dalam Islam. Sebagaimana disebutkan pula dalam sebuah
hadits beliau bersabda:
َار َر ِالضَو َرَرَضال
Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan. HR. Hakim dan lainnya dari
Abu Sa’id Al-Khudri, HR. Ibnu Majjah dari Ibnu ‘Abbas.
10. Hadits-hadits tersebut menunjukan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam telah
memberikan pedoman mengenai sifat kemudharatan yang harus dihindari dan dihilangkan.
Apalagi jika kemudharatan tersebut mengancam nyawa, harta, kehormatan dan darah seorang
muslim.[6]
[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. 14,
Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997, hal. 819.
[2] Poerwadarminta, W.J.S. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
[3] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-‘Arab Jilid I, Kairo: Darul Ma’arif, tt, hal. 2573.
[4] Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah al-Kubra, Riyadh: Dar al-
Balansiyyah, 1417 H, hal. 498.
[5] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-‘Arab, hal. 1901.
[6] Abdurrahman bin Abu Bakr Ash-Shuyuti, Al-Asybah Wa Nadzair Fi Qawa’id Wal
Furu’ Fiqh Syafi’iyyah, hal. 83.
TUGAS MAKALAH
ل يزا ر لضر ا
Oleh:
Muslim :20090730012
M.Handoko :20090730022
Dosen pengampu : Homaidi Hamid, S.Ag, M.Ag.
13. syuf’ah (jual-beli utama) bagi seorang tetangga dan lain sebagainya adalah sekian contoh-
contoh untuk menghindarkan kemudharatan para pihak yang mengadakan mu’amalat
bersama.
Syara’ mengadakan hukuman qishash, hudud, kafarat, ganti rugi, menghalalkan
kepada penguasa untuk memerangi kaum pemberontak dan lain sebagainya untuk membuat
kemaslahatan bersama dan menghindari kemudharatan.
Islam membolehkan adanya perceraian dalam keadaan yang sangat diperlukan demi
ketentraman rumah tangga yang sudah begitu kacau dan memberikan kuasa kepada hukum
untuk memfasakhkan nikah sesorang lantaran suami sudah tidak dapat menunaikan tugas
berumah tangga dengan baik, demi untuk menghilangkan kemudharatan bagi mereka yang
tersiksa.
Qaidah tersebut adalah erat hubungannya dan saling isi mengisi dengan qaidah-qaidah
sebelumnya.
1. Qaidah-qaidah cabang yang dapat ditarik daripadanya
Dari qaidah ini dapat ditarik beberapa qaidah, antara lain :
المظورات تبيح الضرورات .1
a. Kemudharatan itu menghalalkan larangan-larangan.8[8]
Qaidah cabang ini semakna dengan qaidah yang berbunyi :
مع الحرامالحاجة مع الضرورةوالكراهة
Tidak ada keharaman beserta darurat dan tidak ada kemakruhan bersama kebutuhan.9[9]
Perkara- perkara yang semula diharamkan oleh syari’at, tetapi karena perkara-perkara
itu sangat di hajatkan oleh manusia untuk meringankan malapetaka yang melanda padanya,
atau perkara-perkara yang semula dimakruhkan, tetapi di butuhkan oleh manusia, maka
hilanglah keharaman dan kemakruhannya untuk sementara waktu selama keadaan darurat dan
kebutuhan itu masih berlaku.
Contoh-contoh :
1. Orang yang di landa bahaya kelaparan di perkenankan makan binatang tanpa di sembelih
atau makan binatang yang di haramkan, misalnya : babi dan anjing.
8[8] Dikutipdari AbuHurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken:PesantrenPERSISAbu
Hurairah.Hal. 27.
9[9] Dikutipdari AbuHurairah Addaylami.1991.QawaidFihiyah.Sapeken:PesantrenPERSISAbu
Hurairah.Hal. 27.
14. 2. Diperbolehkan merusak gedung dan alat-alat perlengkapan perang milik musuh dalam suatu
pertempuran.
3. Diperbolehkan membongkar kuburan untuk memandikan atau menghadapkan kiblat mayat
yang berada di dalamnya yang ketika di kubur belum di mandikan atau belum di hadapkan
kiblat.
بقدرها للضرورةيقدر وماابيح .2
b. Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar kedaruratannya.10[10]
Hal ini adalah logis. Sebab yang membolehkannya itu adalah suasana itu sendiri, yaitu
suasana darurat dan krisis. Jadi,sekiranya suasana krisis sudah dapat di atasi, maka suasana
berubah menjadi normal kembali dan karenanya hukum harus kembali senormal suasana itu
pula.
Contoh-contoh:
1. Seorang diperkenankan mengambil rumput milik orang lain tanpa izinnya untuk memberikan
makanan binatangnya yang dalam keadaan kelaparan, tetapi tidak diperbolehkan
mengambilnya lagi untuk dijual kepada orang lain yang memiliki binatang yang dalam
keadaan yang sama.
2. Seorang dokter laki-laki yang karena darurat harus mengobati sebagian anggota seorang
wanita tidak diperkenankan meneliti anggota lain yang tidak perlu diobati.
بزواله وماجازلعذربطل .3
c. Sesuatu yang diperbolehkan karena “udzur” batal lantaran hilangnya “udzur”.11[11]
Misalnya : Tayammum itu batal, lantaran diketemukan air sebelum waktu sholat.
بالضرر اضرراليزال .4
d. Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.
Misalnya :
1) Seorang yang dalam keadaan terpaksa menghajatkan sekali kepada makanan tidak boleh
makan makanan milik orang lain yang dihajatkan sendiri.
10[10] Dikutipdari AbuHurairahAddaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken:PesantrenPERSISAbu
Hurairah.Hal. 28.
11[11] Dikutipdari AbuHurairahAddaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken:PesantrenPERSISAbu
Hurairah.Hal. 29.
15. 2) Dua orang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpangi pecah. Salah seorang
dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air sekedar bertahan
sampai ada team penolong datang. Tetapi kawannya juga ingin sekali menyelamatkan
jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dan karena papan itu tidak dapat
menampung dua orang ia harus mengorbankan kawannya yang sudah berada di atas papan.
Tindakan orang yang merebut karena darurat terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula
oleh kawan yang direbutnya tidak dibenarkan oleh syari’at.
المصالح جلب على درءالمفاسدمقدم .5
e. Menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
Kandungan qaidah ini menjelaskan bahwa jika terjadi perlawanan antara kerusakan
dan kemaslahatan pada suatu perbuatan, dengan kata lain jika satu perbuatan ditinjau dari
satu segi terlarang karena mengandung kerusakan dan ditinjau dari segi yang lain
mengandung kemaslahatan, maka segi larangannya yang harus didahulukan untuk di
tinggalakan. Hal itu disebabkan karena perintah untuk melaksanakan kemaslahatan, sesuai
dengan sabda Rasulullah saw:
)ومسلم البخاري (روه فاجتنبوه شيئ عن واذانهيتكم ،مااستطعتم بأمرفأتوامنه ٍذاأمرتكما
“apabila aku memerintahkan kepadamu suatu perintah, kerjakanlah semampumu dan apabila
aku melarang kamu sesuatu perbuatan tinggalkanlah”.12[12](HR.Bukhari dan Muslim)
Disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan perintah, sedang dalam
meninggalkan larangan tidak disyaratkan demikian, menunjukkan bahwa tuntutan
meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat dari pada tuntutan menjalankan perintah.
Contoh-contoh :
1) Berkumur dengan mengocok air yang berada didalam mulut sampai kepangkal tenggorokan
dan menghirup air lewat hidung dalam melaksanakan wudhu adalah disunnahkan. Tetapi hal
itu dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa dimakruhkan, sebab untuk menjaga jangan
sampai air tersebut terus masuk sampai keperut hingga membatalkan puasa.
2) Bersuci dengan menekan-nekankan jari basah di sela-sela pangkal rambut disunnahkan.
Tetapi hal itu dimakruhkan bagi orang yang sedang menjalankan ihram, untuk menjaga
jangan sampai menggugurkan rambut yang menjadi pantangan dalam ihram.
أخفهما أعظمهماصررابارتكاب روعى مفسدتان اذاتعارض .6
12[12] (HR.Bukhari danMuslim)
16. f. Apabila dua buah kerusakan saling berlawanan, maka haruslah dipelihara yang lebih berat
mudharatnya dengan melaksanakan yang lebih ringan daripadanya.13[13]
Menurut qaidah ini jika satu perbuatan mempunyai dua kemudharatan atau lebih,
hendaklah dipilih manakah diantara kemudharatan-kemudharatan itu yang lebih ringan.
Walaupun sebenarnya kemudharatan itu ringan maupun berat harus dihindarkan, sesuai
dengan firman Allah SWT (QS. Al-A’raf: 56)
Ÿwur(#r߉šøÿè?†ÎûÇÚö‘F{$#ÇÎÏÈ
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.14[14]
Namun karena tidak ada jalan lain untuk menghindarkannya selain dengan memilih
yang paling sedikit mudharatnya, maka itulah yang tepat.
Contoh-contoh:
1) Seorang dokter diperbolehkan membedah perut seorang mayat, apabila ia berkeyakinan
bahwa didalam perut itu terdapat seorang bayi yang diharapkan akan hidup apabila ia
berhasil dikeluarkan. Membedah perut adalah perbuatan merusak sebagaimana halnya
membiarkan mati bayi didalam perut. Tetapi kerusakan akibat dari membedah perut masih
dipandang lebih ringan dibandingkan membiarkan bayi mati lantaran tidak dikeluarkannya.
2) Seorang memotong pohon orang lain adalah perbuatan merusak. Tetapi seandainya hal itu
tidak dilakukannya, maka pohon yang meliuk dijendelanya akan mengganggu bergantinya
udara di kamarnya hingga membuat kelembaban udara yang sangat membahayakan
kesehatan. Oleh karena itu, memotong tanaman orang lain yang mengganggu diperkenankan.
أرحجهما والمفسدةروعى المصلحة اذاتعارض .7
g. Apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan, maka harus diperhatikan
mana yang lebih rajih (kuat) diantara keduanya.15[15]
Contoh-contoh :
13[13] Dikutipdari AbuHurairahAddaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken:PesantrenPERSISAbu
Hurairah.Hal. 30.
14[14] (QS. Al-A’raf: 56)
15[15] Dikutipdari AbuHurairahAddaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken:PesantrenPERSISAbu
Hurairah.Hal. 32.
17. 1) Minum-minuman keras dan berjudi biarpun ada manfaatnya untuk kesehatan badan atau
untuk memperoleh keuntungan bila menang dalam perjudian, namun karena kerusakan yang
ditimbulkan oleh kedua perbuatan itu lebih banyak daripada kemanfaatannya, maka kedua
macam perbuatan itu dilarang oleh Islam,yang tercantum dalam firman Allah SWT (QS:Al-
Baqarah:219)
y7tRqè=t«ó¡o„ÇÆtãÌ•ôJy‚ø9$#ÎŽÅ£÷•yJø9$#ur(ö@è%!$yJÎgŠÏùÖNøOÎ)׎•Î7Ÿ2
ßìÏÿ»oYtBurĨ$¨Z=Ï9!$yJßgßJøOÎ)urçŽt9ò2r&`ÏB$yJÎgÏèøÿ¯R3šÇËÊÒÈ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat
dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya16[16]
2) Bohong adalah sifat yang tercela lagi berdosa dan diharamkan. Tetapi kalau
bohong tersebut dilakukan dengan bertujuan untuk mendamaikan suatu pertengkaran antar
seseorang dengan kawannya atau antar suami dan istri, maka diperbolehkan.
اضر منزلة تنزل الحاجةأوخاصة عامةكانت ورة .8
h. Kebutuhan itu ditempatkan pada tempat darurat baik kebutuhan itu bersifat umum atau
khusus.17[17]
Kehajatan yang mendesak, menurut qaidah ini, dapat disamakan dengan keadaan
darurat. Apalagi njika kebutuhan itu bersifat umum, niscaya berubah menjadi darurat.
Contoh kebutuhan yang bersifat umum :
1) Orang laki-laki diperkenankan berhadapan muka dengan wanita yang bukan muhrimnya
dalam pergaulan hidup sehari-hari dalam bermu’amalah, seperti : berjual beli, bekerja
dikantor-kantor atau mengajar. Karena semuanya itu merupakan kebutuhan umum dalam
bermasyarakat.
2) Untuk menjaga kebutuhan orang banyak dalam menghindari spekulasi para pedagang,
pemerintah diperbolehkan membatasi atau menetapkan harga barang-barang pokok yang
diperjual belikan, walaupun sebenarnya tindakan perintah ini membuat kerugian kepada
pihak-pihak tertentu.
Contoh yang bersifat khusus :
1) Seorang perempuan membutuhkan atu-satunya dokter laki-laki yang ahli untuk mengobati
penyakitnya yang terletak pada bagian tubuhnya, adalah diperbolehkan.
16[16] (QS:Al-Baqarah:219)
17[17] Dikutipdari AbuHurairahAddaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken:PesantrenPERSISAbu
Hurairah.Hal. 32.
18. 2) Karena suatu hajat yang mendesak dan bukan karena hiasan semata, seseorang
diperkenankan menambal bejananya yang retak dengan bahan dari perak.
3) Sewa kamar mandi/WC tanpa ditentukan waktu dan jumlah(banyaknya) air yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan terjemahan, 2005. Bandung: PT. Syamil Cipta Media.
Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren PERSIS Abu Hurairah.
Hariyanto, Muhsin. 2009. Materi kuliah Ushul Fiqih. EPI/FAI/UMY.
Muchtar Kamal. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: CV. Imaji Cipta
18[1] Hariyanto, Muhsin. 2009. Materi kuliah Ushul Fiqih. EPI/FAI/UMY.
19[2] .(QS al-Baqarah, 2: 173)
19. 20[3] (QS. al-An’âm, 6: 119)
21[4] Hariyanto, Muhsin. 2009. Materi kuliah Ushul Fiqih. EPI/FAI/UMY.
22[5] Dikutip dari Muchtar Kamal. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: CV Imaji Cipta. Hal.203.
23[6] (QS:al-Qashash:77)
24[7] Dikutip dari Muchtar Kamal. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: CV Imaji Cipta. Hal.203.
25[8] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren
PERSIS Abu Hurairah. Hal. 27.
26[9] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren
PERSIS Abu Hurairah. Hal. 27.
27[10] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren
PERSIS Abu Hurairah. Hal. 28.
28[11] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren
PERSIS Abu Hurairah. Hal. 29.
29[12] (HR.Bukhari dan Muslim)
30[13] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren
PERSIS Abu Hurairah. Hal. 30.
31[14] (QS. Al-A’raf: 56)
32[15] Dikutip dari Abu Hurairah Addaylami.1991. Qawaid Fihiyah. Sapeken: Pesantren
PERSIS Abu Hurairah. Hal. 32.