1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
NEGERI ini kembali berada di ambang krisis konstitusi (baca : UUD 1945).
Begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan realitas kehidupan
ketatanegaraan yang ada dan sedang terjadi di Indonesia saat ini. Hasil amandemen
UUD 1945 (1998-2002) yang pada awalnya oleh banyak kalangan diharapkan dapat
menjadi problem solving bagi penyelesaian berbagai persoalan ketatanegaraan yang
diderita oleh bangsa Indonesia selama lebih kurang enam dasawarsa di bawah sistem
ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 pra amandemen, ternyata tak banyak
memberikan efek positif bagi kehidupan ketatanegaraan di Indonesia.
Bahkan kenyataan yang ada saat ini cenderung menunjukan bahwa UUD 1945
hasil amandemen telah menjadi penyebab utama pemicu mencuatnya berbagai
persoalan ketatanegaraan yang dalam beberapa waktu terakhir sering terjadi di negeri
ini. Berbagai persoalan ketatanegaraan tersebut di antaranya, lemahnya kedudukan
dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) khususnya dalam proses
pembentukan Undang-Undang (law making process), dan konflik kewenangan antar
lembaga negara seperti yang pernah terjadi antara Mahkamah Agung (MA) dan
Komisi Yudisial (KY) beberapa waktu yang lalu. Selain itu, bila dikaji secara lebih
mendalam, sistem ketatanegaraan yang terbentuk berdasarkan UUD 1945 hasil
amandemen tak ubahnya “sama” dengan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD
1945 pra amandemen. Yakni sama-sama melahirkan sistem ketatanegaraan yang
memusatkan kekuasaan secara dominan pada satu lembaga negara. Bedanya, kalau
dulu berdasarkan UUD 1945 pra amandemen pendulum supremasi institusi berada di
lembaga eksekutif (Presiden heavy), kini pascaamandemen UUD 1945 pendulum
supremasi institusi tersebut telah berpindah ke lembaga parlemen (DPR heavy). Hal
ini setidaknya dapat dibuktikan dari begitu banyaknya rumusan pasal-pasal dalam
UUD 1945 hasil amandemen yang mengatur secara dominan kekuasaan DPR bila
dibandingkan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga negara lainnya.
Anggria Septariani 1
2. Berbagai kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 hasil amandemen
merupakan refleksi dari buruknya hasil kinerja Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) dalam melakukan proses amandemen UUD 1945. Bila ditelaah lebih
mendalam setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab buruknya kinerja MPR
dalam melakukan proses amandemen UUD 1945 (1998-2002) lalu. Ketiga faktor
tersebut yaitu : Pertama, MPR sebagai satu-satunya institusi negara yang mendapat
mandat dari rakyat dan memiliki kewenangan untuk melakukan amademen UUD
1945 sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945, pada waktu melakukan amandemen UUD
1945 tidak memiliki kejelasan paradigma perubahan, kerangka kerja (framework) dan
pegangan konsep ketatanegaraan yang hendak dicapai, sehingga menyebabkan hasil
amandemen UUD 1945 menjadi bersifat parsial, sepotong-sepotong dan tambal
sulam. Kedua, kuatnya tarik-menarik kepentingan politik (political interest) dan
tawar-menawar politik (bargaining politic) para elit politik dalam melakukan
perumusan kaidah-kaidah yang akan dituangkan ke dalam pasal-pasal perubahan
UUD 1945.
Pengedepanan kepentingan politik ini, tampak dalam lobi-lobi politik yang
tidak transparan yang dilakukan oleh elit-elit politik tertentu untuk menentukan hasil
akhir beberapa pasal yang akan diubah. Ketiga, minimnya keikutsertaan rakyat
(public participation) dalam proses amandemen UUD 1945. Hal ini tampak dari
kinerja MPR yang tidak maksimal dan sungguh-sungguh dalam memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam proses amandemen UUD 1945.
Kalaupun ada, proses sosialisasi dan penjaringan/penyerapan aspirasi rakyat,
semuanya hanya sekedar formalitas guna memenuhi mekanisme dan prosedur yang
ada. Padahal, hal ini menjadi bagian paling penting dalam suatu proses amandemen
UUD 1945 terutama dalam membangun keyakinan rakyat kepada hukum dasarnya.
Selain itu, tidak diberikannya kesempatan bagi masyarakat secara maksimal untuk
berpartisipasi dalam proses amademen UUD 1945 merupakan bentuk pengingkaran
terhadap prinsip kedaulatan rakyat (Volks-souvereiniteit). Lalu persoalannya, langkah
dan strategi apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari
ancaman badai krisis konstitusi?
Anggria Septariani 2
3. Adapun langkah dan strategi yang dapat dilakukan saat ini sebagai solusi guna
menyelamatkan bangsa ini dari ancaman badai krisis konstitusi adalah dengan cara
membentuk sebuah konstitusi (UUD) baru untuk menggantikan keberadaan UUD
1945 yang sedang berlaku saat ini. Konstitusi baru harus dibentuk sesegera mungkin,
agar berbagai agenda reformasi 1998 yang selama ini terhambat dapat segera
dituntaskan. Selain itu, pembentukan konstitusi baru sangat mutlak diperlukan untuk
mengatasi berbagai persoalan mismanajemen dan ketidakteraturan sistem
pemerintahan serta dalam rangka menata kembali sistem perwakilan, format lembaga
kepresidenan, susunan dan kedudukan parlemen, sistem pemilu, dan sistem
kepartaian.
Untuk menghindari terulangnya kembali hasil buruk amandemen UUD 1945,
sebaiknya proses penyusunan konstitusi baru tersebut bukan dilakukan oleh MPR
melainkan dilakukan oleh sebuah lembaga khusus yang dibentuk dan bekerja secara
khusus untuk mendesain konstitusi baru. Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh
Thailand atau Filipina misalnya, untuk mengakhiri masa pemerintahannya yang
otoritarian dan dalam membangun pemerintahan yang lebih demokratis, kedua negara
tersebut mengawalinya dengan menyusun sebuah konstitusi baru. Proses penyusunan
konstitusi baru tersebut dilakukan oleh sebuah komisi khusus yang dibentuk dan
bekerja secara khusus untuk itu. Komisi itu mempunyai legitimasi yang kuat dengan
persetujuan yang kuat dan komitmen politik bersama dengan pemerintah serta
mempunyai kewenangan penuh untuk itu.
Terakhir, kita berharap konstitusi baru yang akan menggantikan UUD 1945
nantinya harus memuat klausul yang didasarkan pada paradigma yang jelas, tidak
multi-interpretasi dan dapat memenuhi aspirasi masyarakat semaksimal mungkin.
Selain itu, konstitusi baru tersebut harus dibuat sesuai dengan prinsip-prinsip
partisipatif, transparan dan efisien baik dari segi waktu maupun biaya. Alasannya,
kita tidak ingin bangsa ini terus-menerus terkungkung dalam bingkai kemelut krisis
konstitusi (constitutional crisis) yang panjang tanpa ada ujung pangkal
penyelesaiannya. Semua ini demi mewujudkan kehidupan ketatanegaraan yang stabil
dan harmonis di Indonesia.
Anggria Septariani 3
4. Pengamat politik menilai sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia tak
efisien dan perlu dilakukan pembaruan untuk menyederhanakannya. Sistem
multipartai tidak dapat lagi dipertahankan. Pasalnya, pada kenyataannya banyak
partai belum mampu mengelola masyarakat dengan baik. Pendukung sistem
multipartai telah mengabaikan fungsi lembaga politik dan pemerintahan sebagai
pengelola masyarakat secara efisien dan efektif. Banyak yang mengatakan multipartai
dianggap sebagai bentuk demokrasi karena memberi kesempatan untuk berpartisipasi
tetapi ini anggapan yang salah, Semakin banyak partai, katanya, justru tidak lagi
berfungsi untuk mengintegrasikan bangsanya melainkan "memecah belah"
masyarakat karena masing-masing memiliki ideologi yang berbeda. Arbi
beranggapan, penyederhanaan sistem kepartaian harus segera dilakukan.
Sistem multipartai belum memberikan kontribusi dan intensif bagi efektifitas
dan produktifitas sistem politik. Sistem kepartaian seharusnya mendukung
terbentuknya sistem pemerintahan yang kuat dan bersih, namun kenyataannya setiap
partai lebih mementingkan kepentingan masing-masing. Ideologi partai ternyata
hanya tameng atau alat untuk merebut kekuasaan dan jabatan politik. Parpol lebuh
merupakan `broker` politik ketimbang wadah seleksi dalam pembentukan pemimpin
politik. Perubahan sistem multipartai menjadi sistem yang lebih sederhana, termasuk
jumlahnya serta peningkatan kualitas. Namun, penyederhanaan sistem partai ini,
belum tentu diperlukan oleh Indonesia. Bangsa Indonesia harus memiliki kemauan
dan kemampuan untuk membangun sistem kekuasaan yang dianggap cocok sebagai
sarana mewujudkan tujuan bangsa dan negara.
Bangsa yang ingin membangun kekuasaan yang demokratis tetapi tidak
mempunyai kemampuan mengontrol elit penguasanya, maka penyederhanaan sistem
kepartaian hanya akan menjerumuskan kita pada tatanan kekuasaan yang lalim dan
otoriter. Penyederhanaan sistem kepartaian, jelasnya, menjadi pilihan bangsa dalam
menentukan salah model sistem yang dipakai yaitu untuk meningkatkan efektifitas
pemerintahan atau tingkat keterwakilan.
Anggria Septariani 4
5. Rumusan Masalah
Bagaimana menyikapi tentang maraknya Partai Politik di Indonesia dalam
Perebutan Kursi Legislatif di Indonesia Tahun 2009-2014?
Tujuan
Mencari jalan keluar dalam menyikapi tentang maraknya Partai Politik di
Indonesia dalam Perebutan Kursi Legislatif di Indonesia Tahun 2009-2014.
Anggria Septariani 5
6. PEMBAHASAN
Arti kata politik selama ini belum memiliki definisi yang seragam. Walaupun
ilmu politik masih bergulat dalam menciptakan konsep tunggal tentang politik, hal ini
bukan berarti kita perlu menyesalinya. Bahkan kita patut bersyukur bila mengingat
kembali akan hakekat keberadaan ilmu sosial dan humanis merupakan pembuktian
bahwa tidak ada satupun kebenaran mutlak dalam menjawab suatu masalah.
Kebenaran mutlak yang selalu diagung-agungkan ilmu sains murni seperti ilmu
biologi, fisika, dan lainnya. Artinya, sangatlah wajar bila kita berbicara politik dengan
melibatkan berbagai definisi berdasarkan sudut pandang kita tentang politik, misalnya
melalui tinjauan konflik, perdamaian, kontrol, kekuasaan, atau lainnya. Pada akhirnya
sudut pandang yang paling memungkinkan, meliputi segala definisi tentang politik
akan membutuhkan pendekatan menyeluruh dengan menggabungkan keseluruhan
tinjauan tersebut. Munculnya pendekatan sistem merupakan upaya paling
komprehensif dalam melibatkan berbagai definisi politik yang ada secara interaktif.
Sementara itu, pendekatan sistem berusaha menimbulkan pemahaman
terhadap politik bukan hanya dari perspektif kelembagaan atau institusi yang ada saja.
Akan tetapi, sistem politik selalu bergerak dinamis, melibatkan fungsi dan lingkungan
internal dan eksternal. Akibatnya, sistem politik di suatu negara akan bersinggungan
dengan sistem politik di negara lain, begitu pula sebaliknya. Indonesia merupakan
bagian dari sistem politik dunia, dimana sistem politik Indonesia akan berpengaruh
pada sistem politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih luas. Struktur
kelembagaan atau institusi khas Indonesia akan terus berinteraksi secara dinamis,
saling mempengaruhi, sehingga melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh
Indonesia. Namun demikian, kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat
dikatakan unggul bila kemampuan positif struktur dan fungsinya belum
diperhitungkan sistem politik negara lain.
Salah satu syarat penting dalam memahami bagaimana sistem politik
Indonesia adalah melalui pengembangan wawasan dengan melibatkan institusi-
institusi nasional dan internasional. Artinya lingkungan internal dan eksternal sebagai
batasan atau boundaries dari suatu sistem politik Indonesia harus dipahami terlebih
Anggria Septariani 6
7. dahulu. Lingkungan internal akan sangat dipengaruhi oleh budaya politik bangsa
Indonesia. Sedangkan budaya politik sendiri merupakan wujud sintesa peristiwa-
peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat, diwariskan
turun temurun berupa tatanan nilai dan norma perilaku. Sementara itu, lingkungan
eksternal sedikit banyak mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi
budaya berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial maupun
bentuk “penjajahan” budaya pop (pop culture) di era globalisasi.
Mempelajari sistem politik suatu negara tidak dapat dan tidak pernah berdiri
sendiri dari sistem politik negara lain, setidaknya itulah maksud implisit yang
diutarakan David Easton melalui pendekatan analisa sistem terhadap sistem politik.
Sampai kemudian, Gabriel Almond meneruskannya ke dalam turunan teori sistem
politik yang lebih konkrit, yaitu menggabungkan teori sistem ke dalam struktural-
fungsional, barulah kita mendapatkan pemahaman bagaimana sistem politik seperti di
Indonesia berinteraksi dengan sistem politik lainnya. Akhirnya, mengingat sebegitu
luas pembicaraan mengenai sistem politik, maka layaknya suatu sistem, saya akan
ciptakan terlebih dahulu batasan-batasannya, yaitu mengenalkan kedua pendekatan
terhadap sistem politik baru kemudian menganalisis sistem politik Indonesia.
Sistem Pemerintahan
Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang
mempunyai hubungan fungsional. Dan Pemerintahan dalam arti luas adalah
pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala tugas pemerintah
baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif.
# Pengelompokkan system pemerintahan:
1. system pemerintahan Presidensial, merupakan system pemerintahan di
mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak
bertanggung jawab kepada parlemen (legislative). Menteri bertanggung jawab
kepada presiden karena presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus
Anggria Septariani 7
8. kepala pemerintahan. Contoh Negara: AS, Pakistan, Argentina, Filiphina,
Indonesia. Ciri-ciri system pemerintahan Presidensial:
a. Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan
kekuasaan.
b. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan
Legislatif.
c. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden.
d. eksekutif dipilih melalui pemilu
2. system pemerintahan Parlementer, merupakan suatu system pemerintahan
di mana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam
system pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang besar dan
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif.
Menteri dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Contoh
Negara: Kerajaan Inggris, Belanda, India, Australia, Malaysia. Ciri-ciri dan syarat
system pemerintahan Parlementer:
a. Pemerintahan Parlementer didasarkan pada prinsip pembagian
kekuasaan.
b. Adanya tanggung jawab yang saling menguntungkan antara legislatif
dengan eksekutif, dan antara presiden dan kabinet.
c. Eksekutif dipilih oleh kepala pemerintahan dengan persetujuan
legislatif.
3. system pemerintahan Campuran, dalam system pemerintahan ini diambil
hal-hal yang terbaik dari system pemerintahan Presidensial dan system
pemerintahan Parlemen. Selain memiliki presiden sebagai kepala Negara, juga
memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Contoh Negara: Perancis.
# Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia
1. Tahun 1945 – 1949 , Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara
lain:
Anggria Septariani 8
9. a. Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu
presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
b. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet
parlementer berdasarkan usul BP – KNIP.
2. Tahun 1949 – 1950, Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang
diterapkan saat itu adalah system parlementer cabinet semu (Quasy
Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukan
cabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni, parlemen
mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.
3. Tahun 1950 – 1959, Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS
’49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan
demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri:
a. presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
b. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c. Presiden berhak membubarkan DPR.
d. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
4. Tahun 1959 – 1966 (Demokrasi Terpimpin), Presiden mempunyai kekuasaan
mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang
menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang
diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat.
5. Tahun 1966 – 1998, Orde baru pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk
melakukan koreksi terpimpin pada era orde lama. Namun lama kelamaan banyak
terjadi penyimpangan-penyimpangan. Soeharto mundur pada 21 Mei ’98.
6. Tahun 1998 – Sekarang (Reformasi), Pelaksanaan demokrasi pancasila pada
era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR
untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
# Sistem Pemerintahan menurut UUD ’45 sebelum diamandemen:
1. Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
Anggria Septariani 9
10. 2. DPR sebagai pembuat UU.
3. Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
4. DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
5. MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
6. BPK pengaudit keuangan.
# Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002)
1. MPR bukan lembaga tertinggi lagi.
2. Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih
oleh rakyat.
3. Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
4. Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
5. Kekuasaan Legislatif lebih dominan.
# Perbandingan SisPem Indonesia dengan SisPem Negara Lain
Berdasarkan penjelasan UUD ’45, Indonesia menganut sistem Presidensia. Tapi
dalam praktiknya banyak elemen-elemen Sistem Pemerintahan Parlementer.
Jadi dapat dikatakan Sistem Pemerintahan Indonesia adalah perpaduan antara
Presidensial dan Parlementer.
# kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia
1. Presiden dan menteri selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan DPR.
2. Pemerintah punya waktu untuk menjalankan programnya dengan tidak
dibayangi krisis kabinet.
3. Presiden tidak dapat memberlakukan dan atau membubarkan DPR.
# Kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia
Anggria Septariani 10
11. 1. Ada kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di
tangan Presiden.
2. Sering terjadinya pergantian para pejabat karena adanya hak perogatif
presiden.
3. Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh.
4. Pengaruh rakyat terhadap kebijaksanaan politik kurang mendapat perhatian.
Ketidakstabilan pemerintahan sistem presidensial di Indonesia semakin
menguatkan tesis politik Scott Mainwaring dan Matthew S Shugart bahwa sistem
presidensial yang diterapkan dalam konstruksi politik multipartai akan menyebabkan
ketidakstabilan pemerintahan dan cenderung melahirkan presiden minoritas dan
pemerintahan terbelah.Penerapan sistem presidensial di tengah-tengah sistem
multipartai memang cenderung menimbulkan instabilitas politik dan kedudukan
presiden yang lemah. Karena dalam sistem multipartai yang terfragmentasi seperti
Indonesia saat ini, akan sulit melahirkan satu partai yang cukup kuat untuk
membentuk suatu pemerintahan sendiri sehingga diharuskan untuk membentuk
koalisi dengan partai-partai lain.
Ketidakstabilan pemerintahan semakin kompleks ketika bangunan koalisi
parpol yang terbentuk sangat rapuh dan pragmatis. Kebijakan pemerintah kerap
diinterpelasi DPR. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan selalu menjadi alat
bagi parpol untuk berkompromi dengan presiden. Fenomena politik itu menjadi
catatan penting sepanjang perjalanan pemerintahan Indonesia era reformasi.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Politik yang sedang dibahas di DPR merupakan
salah satu momentum bagi pemerintah dan DPR untuk dijadikan proyek stabilisasi
politik Indonesia. RUU itu mestinya didesain dalam rangka menopang sistem
pemerintahan presidensial yang stabil dan efektif melalui beberapa strategi, di
antaranya adalah desain mutipartai sederhana, pengaturan koalisi permanen, dan
pemberian hak veto bagi presiden.
Multipartai sederhana
Anggria Septariani 11
12. Selain batas ambang perolehan suara di pemilu (electoral threshold),
penerapan ambang batas perolehan kursi di parlemen (parliamentary threshold)
melalui pembagian daerah pemilihan (dapil) juga akan mendorong terciptanya sistem
multipartai sederhana. Ketika daerah pemilihan ditetapkan, sebenarnya dapat
langsung terbaca adanya ambang batas terselubung yang menjadi penentu bisa
tidaknya partai politik meloloskan wakilnya ke parlemen.
Semakin rendah besaran dapil dan semakin sedikit jumlah kursi yang
diperebutkan dalam satu dapil, pada umumnya semakin kecil pula peluang bagi partai
gurem untuk mendapatkan kursi. Partai politik baru dan partai gurem akan mengecil
peluangnya ketika harus bertarung di dapil kecil yang kursi di parlemennya hanya
sedikit. Karena itu, memperbanyak jumlah dapil dengan memperkecil besaran dapil
atau memperkecil jumlah kursi yang diperebutkan dalam dapil tersebut akan
mengurangi peluang munculnya partai gurem.
Desain sistem pemilu juga bisa menjadi instrumen menuju multipartai
sederhana. Sistem pemilu yang dibutuhkan Indonesia dengan konteks multipartai
yang sangat terfragmentasi itu adalah sistem yang mendukung stabilitas dan
efektivitas sistem pemerintahan presidensial. Untuk kebutuhan itu, pilihan terhadap
sistem distrik relatif lebih tepat ketimbang sistem proporsional. Sistem distrik,
tepatnya menggunakan sistem first past the post (FPTP). Sistem itu didasarkan pada
distrik-distrik tunggal, satu wakil dipilih dari setiap daerah pemilihan. Sistem distrik
FPTP dapat mengonsolidasi dan membatasi jumlah partai biasanya menjadi dua
partai yang memiliki jangkauan luas. Sistem itu juga berpotensi menahan laju jumlah
partai yang sangat banyak sekaligus mendorong terbentuknya sistem multipartai
sederhana yang akan menghasilkan pemerintahan yang kuat dan berasal dari satu
partai. Sementara itu, untuk mengakomodasi kelompok minoritas di masyarakat, tetap
diperlukan penggunaan sistem proporsional. Karena itu, jalan tengahnya adalah
mengabungkan kedua sistem tersebut.
Desain sistem pemilu dan sistem pembagian dapil dalam UU Pemilu nanti
secara evolutif akan menjadi katalisator menuju sistem multipartai sederhana yang
Anggria Septariani 12
13. akan menopang beroperasinya sistem pemerintahan presidensial yang lebih kuat dan
stabil.
Koalisi permanen
Koalisi partai yang ada saat ini hanya berdasarkan oportunisme kepentingan
politik belaka dan belum pada tahap koalisi atas dasar kesamaan ide atau platform.
Koalisi yang terbentuk sangat cair dengan ikatan yang sangat rapuh. Parpol perlu
melakukan koalisi permanen agar terbentuk kekuatan mayoritas yang akan menopang
pemerintahan yang kuat. Hal itu telah banyak dipraktikkan di berbagai negara,
misalnya Koalisi Barisan Nasional antara UMNO dan beberapa partai lainnya dan
koalisi LDP dengan beberapa partai lainnya di Jepang terbukti telah mampu
membentuk pemerintah yang kuat dan stabil.
Stabilitas dan efektivitas pemerintahan mesti didukung oleh koalisi permanen
yang tidak bisa dicabut atau bubar di tengah jalan. Parlemen harus menciptakan
sistem koalisi permanen yang mendukung jalannya pemerintahan. Regulasi mengenai
koalisi di parlemen semestinya dilembagakan dalam UU Politik. Misalnya, koalisi
parpol yang kandidatnya menang harus menjadi pendukung pemerintah, sebaliknya
koalisi parpol yang kalah calonnya harus menjadi oposisi.
Hak veto presiden
Kekuasaan DPR di era demokrasi Indonesia dewasa ini sangat kuat untuk
menyeimbangkan posisi presiden dalam aktivitas demokratis checks and balances
dengan DPR, presiden perlu dilengkapi dengan hak veto. Hak veto merupakan hak
presiden di bidang legislatif yang dipergunakan untuk mengesahkan atau menolak
rancangan undang-undang yang dikirim oleh parlemen kepada presiden. Dengan
konsepsi itu, presiden dapat menggunakan hak veto untuk menolak rancangan
undang-undang yang telah diputuskan parlemen. Tetapi, parlemen juga dapat
menganulir veto (override) dengan dukungan mayoritas DPR (sekitar dua pertiga
suara di parlemen). Gagasan desain multipartai sederhana, pengaturan koalisi dan
pemberian hak veto bagi presiden dalam RUU Politik, perlu didukung dengan
Anggria Septariani 13
14. personalitas presiden yang kuat (strong president) yaitu presiden yang memiliki
karakter politik yang tangguh, memiliki kemampuan personal dan kompromi yang
baik, kemampuan membangun koalisi, serta memiliki keberanian untuk
menggunakan hak prerogatif sesuai dengan konstitusi.
Mengapa stabilitas politik dan pemerintahan era reformasi ini terkesan lemah
dan tidak efektif? Jawabannya, mungkin akan mengacu pada konsep Scott
Mainwaring dan Matthew S Shugart berdasar pengalaman beberapa negara di
Amerika Latin bahwa sistem presidensial yang diterapkan dalam konstruksi
multipartai akan menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan.
Kata kuncinya terletak pada keseriusan DPR menjadikan paket UU Politik
sebagai proyek stabilisasi politik. Tanpa itu, agenda stabilisasi sistem politik dan
efektivitas pemerintahan akan menjadi agenda reformasi yang tak kunjung tuntas.
Ketentuan electoral threshold yang membatasi hak partai politik untuk ikut
pemilu mendatang mestinya tidak perlu. Selain membingungkan mekanisme
pertanggungjawaban partai kepada konstituen kalau partai harus ganti nama,
kebijakan itu juga terbukti tidak bisa menyederhanakan partai. Kalau ingin
menyederhanakan sistem kepartaian, ada banyak cara yang bisa dilakukan selain
electoral threshold. Electoral threshold menyebabkan parpol kehilangan jati dirinya,
sebab partai yang tidak melewati batas 3 persen sebagaimana ditentukan pasal 9 ayat
(1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003 diharuskan mengganti nama dan tanda gambar.
Penggantian itu dinilai Indra sebagai pemaksaan dalam berdemokrasi. Keharusan
mengganti lambang, nama dan identitas partai bukan saja membingungkan
konstituen, tetapi juga menghabiskan sumber dana yang tidak sedikit.
Anggota DPR Nursyahbani Katjasungkana berpendapat electoral threshold
dibutuhkan untuk menyederhanakan partai politik. Dua pemilu terakhir membuktikan
hanya sedikit partai yang bisa mendudukkan wakilnya di Senayan. Partai yang
wakilnya sedikit dalam realitas kurang efektif memperjuangkan banyak hal di
parlemen. “Penyederhanaan partai secara bertahap tetap harus dilakukan,” ujar
politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Anggria Septariani 14
15. Kalau memang tujuannya untuk menyederhanakan partai, bisa digunakan
model parliamentary threshold yang dianut Jerman. Pada sistem ini, partai yang tidak
mencapai jumlah wakil tertentu, maka wakil partai tersebut tidak duduk di parlemen.
Tetapi partainya tetap bisa mengikuti pemilu mendatang tanpa harus mengganti
identitas. Bagi Indra, suatu partai politik seharusnya bisa hidup lama, seratus, dua
ratus tahun, bukan seperti sekarang ini dimana kehidupan partai hanya untuk satu dua
musim pemilu.
Asal mula penetapan prosentase 2 persen (1999) dan 3 persen (2004) electoral
threshold. Apa dasar pemikirannya? Apakah ini diibaratkan kenaikan prosentase itu
seperti kenaikan harga BBM. Apalagi, yang menentukan syarat minimal itu adalah
partai-partai yang memang sudah memenuhinya. Sebaliknya, mengabaikan
keberadaan partai-partai kecil. Korelasi antara electoral threshold dengan
penyederhanaan partai juga mendapat kritik dari hakim konstitusi H.A. Mukhtie
Fadjar. Batas minimal perolehan suara baru dikenal dalam dua pemilu terakhir. Pada
1999 ditentukan sebesar 2 persen, dan pemilu 2004 sebesar 3 persen. Ternyata,
sepanjang dua kali pemilu tersebut jumlah partai yang ikut pemilu tetap banyak.
Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM, Ramly Hutabarat, menegaskan bahwa
aturan dan besaran prosentase electoral threshold merupakan pilihan kebijakan (legal
policy) yang tak bisa diuji. “Kecuali pilihan itu dilakukan dengan sewenang-wenang,”
ujarnya. Menurut Ramly, electoral threshold tidak mengurangi hak warga negara
untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu. Faktanya, pengurus partai masih bisa ikut
pemilu walaupun partainya tidak lolos batas minimal 3 persen suara. Apalagi, UU
Pemilu masih memungkinkan partai-partai itu bergabung membentuk koalisi atau
mengganti identitas agar bisa ikut pemilu lagi.
Perlementary threshold (PT), sebanarnya bukan merupakan terminologi baru dalam
khasana ilmu politik, terminologi ini mulai ramai diperbincangkan tatkala para
ilmuan politik dari beberapa Universitas besar di tanah air, turut serta bersama
Departemen Dalam Negeri (Depdagri), merancang naskah akademik paket undang-
undang politik beberapa bulan yang lalu. Bahkan umumnya partai politik maupun
politikus di tanah air, masih asing dengan terminologi parlementary treshold.
Anggria Septariani 15
16. Selama ini lebih dikenal adalah electoral threshold (ET), yang biasanya digunakan
sebagai ambang batas perolehan suara partai-partai politik untuk dapat tampil sebagai
kontestan dalam pemilihan umum (pemilu). Mekanisme ini diterapkan sejak
diundangkannya Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 1999, dan Undang-
Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002. Sehingga wajar kalau kemudian
terminologi electoral treshold lebih populer di indra dengar para politikus ketimbang
terminologi parlementary threshold.
Sistem Parlementary Threshold
Sistem parlementary treshold memang tidak pernah diterapkan dalam pemilu-pemilu
yang pernah diselenggarakan di republik ini, sejak pemilu 1955 hingga pemilu 2004.
Namun sistem parlementary threshold sendiri sudah lama dipraktekkan di Jerman.
Dimana digunakan untuk mengatur ambang batas perolehan kursi; Partai Sosialis
Demokrat (SPD), Partai Demokrat Bebas (FDP), Partai Uni Demokratik Kristen
(CDU), dan B90/Gruene (Partai Hijau) peserta pemilu Jerman di parlemen.
Beberapa waktu yang lalu, terdapat usulan yang dilontarkan oleh Partai Golongan
Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), agar sistem
parlementary threshold dapat diterapkan di parlemen kita, baik itu dilevel DPR,
DPRD I dan DPRD II di seluruh tanah air berdasarkan hasil pemilu 2009. Usulan
penerapan parlementary threshold tersebut guna mengatur jatah ambang batas
perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilevel DPR, DPRD I dan DPRD II.
Usulan itu, pernah dikemukakan politikus Partai Golkar, Andi Matalata bahwa, alasan
penerapan perlementary threshold agar tercipta keterwakilan yang kredibel dan
aspiratif. Partai tidak bisa menempatkan kadernya di parlemen, apabila jumlah
perolehan kursinya tidak mencapai batasan parlementary treshold. Perolehan suara
dari partai tersebut akan dilimpahkan ke partai pemenang pemilu. Menurutnya Partai
Anggria Septariani 16
17. Golkar mengusulkan parlementary treshold sebesar 1% dari jumlah anggota DPR.
Pertimbanganya dengan 1%, partai masih bisa hidup.Tempo, 2007).
Senada dengan itu, Pramono Anung Wibowo salah seorang politikus PDI-P
mengatakan, bahwa parlementary treshold sebesar 3%. Dengan 3%, partai akan
menempatkan 22 kadernya di parlemen. Paling tidak setiap fraksi menempatkan dua
kader di setiap komisi. Sehingga bisa memperkuat fraksi di komisi. (Tempo, 2007).
Namun sayangnya usulan yang pernah dilontarkan oleh kedua partai politik besar
tersebut, tidak diresponi secara serius oleh partai-partai politik kecil calon kontestan
pemilu 2009.
Pasalnya jika parlementary treshold diadopsi dalam paket revisi undang-undang
partai politik dan undang-undang pemilu. Sehingga akhirnya benar-benar ralisasikan
dalam pemilu 2009, maka dipastikan partai-partai politik kecil akan sulit
menempatkan wakilnya di parlemen. Tidak mengherankan partai-partai kecil lebih
setuju kalau sistem electoral treshold tetap dipertahankan, karena partai-partai politik
kecil yang tidak mencapai electoral treshold dalam pemilu 1999 dan 2004 tetap dapat
mendudukkan wakilnya di parlemen. Bahkan kemungkinan untuk pemilu 2009
mekanisme serupa dapat tetap dipertahankan.
Menurut Urbaningrum (2007), thershold sendiri memiliki dua jenis yang
berbeda. Yakni, threshold untuk bisa ikut pemilu berikutnya (electoral threshold), dan
threshold untuk bisa masuk di parlemen (parlementary threshold). Sedangkan secara
lebih spesifik Erawan (2006) mendefenisikan, parlementary threshold adalah hak
partai politik di parlemen yang diukur dari banyaknya jumlah kursi yang diperoleh.
Di samping pendefinisian itu, paling minimalis, ada tiga hal yang patut
dipahami dalam membincangkan parlementary threshold. Pertama, supaya partai
politik bisa efektif dalam memainkan perannya di parlemen. Kedua, supaya
mempunyai hak di parlemen untuk membentuk fraksi. Ketiga, mempunyai hak untuk
mengajukan calon sebagai presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur serta
bupati/wakil bupati.
Anggria Septariani 17
18. Penerapan Parlementary Threshold
Upaya untuk menerapkan sistem parlementary treshold di negara kita, bukan
sesuatu yang gampang-gampang saja, pasalnya ide penerapan parlementary tershold
sering mendapat tantangan dari partai-partai politik kecil. Dimana mereka sering
beranggapan bahwa, ide penerapan parlementary treshold senantiasa datang dari
partai-partai politik besar. Bahkan ide ini kerap dinilai oleh partai-partai politik kecil
hanya menghambat hak-hak politik mereka selaku warga negara, untuk dapat terlibat
di parlemen.
Padahal mekanisme parlementary threshold merupakan sesuatu yang realistis,
guna menempatkan wakil-wakil partai politik di parlemen berdasarkan ambang batas
minimal perolehan kursi yang ditentukan melalui aturan main. Pasalnya melalui
penerapan parlementary threshold, partai politik akan mampu menempatkan anggota
yang dicalonkan melalui pemilu dikursi parlemen, yang disesuaikan dengan ambang
batas minimal. Tentu mekanisme demikian, akan berimplikasi positif terhadap
kemampuan anggota partai diparlemen, untuk dapat menjalankan fungsinya selaku
anggota parlemen, sehingga dapat memiliki kekuatan yang memadai di parlemen.
Oleh karena guna meningkatkan kualitas demokrasi kita, kedepan perlu
diadopsi sistem parlementary threshold di parlemen. Agar penerapan sistem
parlementary threshold dapat benar-benar direalisasikan, tentu membutuhkan aturan
main baru, yang dapat digunakan oleh partai-partai politik, dalam setiap kali
penyelenggaraan pemilu direpublik ini. Namun semua itu terpulang kepada kehendak
partai politik, untuk dapat menerima penggunaan sistem parlementary threshold.
Sumber: dari berbagai sumber yang ada di : www.google.com
Anggria Septariani 18