1. A. Pengertian
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang
mencangkup bronkitis kronis, bronkiestasis, emfisema, dan asma. PPOK merupakan kondisi
ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan
keluar udara paru-paru.(Brunner&Suddarth,2001)
Penyakit paru obstruktif kronis merupakan sejumlah gangguan yang mempengaruhi
pergerakan udara dari dalam dan ke luar paru. (Arif Muttaqin,2008).
Obstruksi jalan napas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam tergantung pada
penyakit. Pada bronkitis kronis dan bronkiolitis, penumpukan lendir dan sekresi yang sangat
banyak menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen dan
karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh hiperekstensi
ruang udara dalam paru. Pada asma, jalan napas bronkial menyempit dan membatasi jumlah
udara yang mengalir kedalam paru-paru. Sehingga menyebabkan gagal napas. Tipe-tipe gagal
napas terdiri dari tipe I disebut gagal nafas normokapnu hipoksemia atau kegagalan
oksigenasi ( PaO2 rendah dan PCO2 normal). Tipe II disebut gagal nafas hiperkapnue
hipoksemia atau kegagalan ventilasi (PaO2 rendah dan PCO2 Tinggi).
B. Klasifikasi
a. Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik adalah bentuk batuk kronis produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu
tahun selama 2 tahun berturut-turut. Sekresi yang menumpuk dalam bronkioles mengganggu
keefektifan pernapasan. polusi adalah penyebab utama bronkitis kronis. Pasien dengan
bronkitis kronik lebih rentan terhadap kekambuhan infeksi saluran pernapasan bawah.
Kisaran infeksi virus, bakteri, mikoplasma yang luas dapat menyebabkan episode bronkitis
akut. Eksaserbasi bronkitis kronik hampir pasti terjadi selama musim dingin. Menghirup
udara yang dingin dapat menyebabkan bronkospasme bagi mereka yang rentan.
b. Emfisema Paru
Emfisema Paru adalah sebagai suatu distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus
terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang
mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika
pasien mengalami gejala, fungsi paru sering sudah mengalami kerusakan yang ireversibel.
Dibarengi dengan bronkitis obstruksi kronik, kondisi ini merupakan penyebab utama
kecacatan.
c. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan oleh
berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda asing,
muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor,
pembuluh darah yang berdilatasi, dan persebaran nodus limfe. Individu mungkin mempunyai
predisposisi terhadap bronkiektasis sebagai akibat infeksi pernapasan pada masa kanak-
kanaknya, campak, influenza, tuberkulosis, dan gangguan imunodefisiensi. Setelah
pembedahan, bronkiektasis dapat terjadi ketika pasien tidak mampu untuk batuk secara
efektif, dengan akibat lendir menyumbat bronkial dan mengarah pada atelektasis.
C. Etiologi
PPOK disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup. Yang sebagian besar bisa dicegah.
Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus PPOK.Laki-laki dengan
2. usia antara 30-40 tahun paling banyak menderita PPOK.Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-
faktor resiko yang terdapat pada penderita antara lain:
1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi paru berulang
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi anti oksidan
D. Tanda Dan Gejala
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada
sistem pernafasan yang manifestasi awalnya berupa:
1. Sesak napas.
2. Batuk-batuk dan produksi dahak khusunya yang makin menjadi di saat pagi hari.
3. Kehilangan berat badan yang cukup drastis.
4. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari.
5. Hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah.
6. Penurunan daya kekuatan tubuh
E. Patofisiologi
Obstruksi jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang beragam bergantung pada
penyakit. Pada bronkitis kronis dan bronkiolitis, terjadi penumpukan lendir dan sekresi yang
sangat banyak sehingga menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obtruksi pada pertukaran
oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh
hiperekstensi ruang udara dalam paru. Pada asma, jalan napas bronkhial menyempit dan
membatasi jumlah udara yang mengalir ke dalam paru. Protokol pengobatan tertentu yang
digunakan dalam ksemua kelainan ini, meski patofisiologi dari masing – masing kelainan ini
membutuhkan pendekatan spesifik.
PPOM dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetik dengan
lingkungan. Merokok, polusi udara, dan paparan ditempat kerja (terhadap batubara, kapas
dan padi – padian) merupakan faktor resiko penting yang menunjang terjadinya penyakit ini.
Prosesnya dapat eterjadi dalam rentang lebih dari 20 – 30 tahun. PPOM juga ditemukan
terjadi pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal untuk mencegah
penghancuran jaringan paru oleh enzim tertentu.
PPOM merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang membutuhkan waktu bertahun –
tahun untuk menunjukkan awitan (onset) gejala klinisnya seperti kerusakan fungsi paru.
PPOM sering terjadi simptomatik selama bertahun – tahun usia baya, tetapi insidennya
meningkat sejala dengan peningkatan usia. Meski aspek – aspek fungsi paru tertentu seperti
kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun sejalan dengan peningkatan
usia, PPOMdapat memperburuk perubahan fisiologi yang berkaitan dengan penuaan dan
mengakibatkan obstruksi jalan napas misalnya pada bronkitis serta kehilangan daya
pengembangan (elstisitas) paru misalnya pada emfisema. Oleh karena itu, terdapat perubahan
dalam rasio ventilasi – perfusi pada klien lansia dengan PPOM.
A. Komplikasi
3. Ada tiga komplikasi pernapasan utama yang biasa terjadi pada PPOK yaitu gagal nafas akut(
Acute Respiratory Failure), pneumotorak dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak
yaitu penyakit cor-pulmonale.
a. Acute RespiratoryFailure (ARF)
Terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat
tidur. Analisa gas darah arteri bagi pasien PPOK menunjukkan tekanan oksigen aarterial
(PaO2) sebesar 55mmHg atau kurang dan tekanan kaebondioksida (PaCO2) sebesar
50mmHg atau lebuh besar. Jika pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu
kehidupan maka pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk
ventilasi secara mekanik.
b. Corpulmonal
Cor pulmonal atau dekompensasi ventrikel kanan, merupakan pembesaran ventrikel kanan
yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi
sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak bagi penderita PPOK.
Cor pulmonari merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara menyeluruh.
Apabila terjadi mafungsi pada satu sisitem organ, maka hal ini akan merembet ke siisteem
organ yang lainnya. Dalam PPOK, hipoksemia kronis menyebababkan vasokontriksi kapiler
paru-paru, yang kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek dari
perubahan fisiologis ini adalah terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan
ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama kelamaan otot ventrikel kanan
menjadi hipertropi (ukurannya membesar).
Perawatan penyakit jantung-paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah (dibatasi hingga
2liter/menit), diuretik untuk menurunkan edema perifer, dan istirahat. Edema perifer
merupakan efek domino yang lain, karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik
dipengaruhi oleh hipertropi ventrikel kanan dan peningkatan tekanan ventrikel kanan.
Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
c. Pneumothoraks
Pneumothoraks merupakan komplikasi PPOK serius lainnya. Pneumo berarti udara sehingga
pneumothoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga pleural
sesungguhnya merupakan rongga yang khusus, yakni berupa lapisan cairan tipis antara
lapisan visceral dan parietal paru-paru. Funsi cairan pleura adalah untuk membantu gerakan
paru-paru menjadi lancar selama pernapasan berlangsung. Ketika uadara terakumulasi dalam
rongga pleural, maka kapsitas paru-paru untuk pertukaran udara secara normal menjadi
melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
B. PemeriksaanDiagnostik
PemeriksaanFisik
Temuanpemeriksaanfisikmulaidariinspeksidapatberupabentuk dada seperti tong (barrel
chest), terdapatcarabernapaspurse lips breathing (seperti orang meniup),
terlihatpenggunaandanhipertrofiotot-otot bantu napas, pelebaranselaiga,
danbilatelahterjadigagaljantungkananterlihatdistensi vena jugularisdan edema tungkai.
Padaperkusibiasanyaditemukanadanyahipersonor. Pemeriksaanauskultasidapatditemukan
4. fremitus melemah, suaranapasvesikulermelemahatau normal, ekspirasimemanjang, ronki,
danmengi (PDPI, 2003).
PemeriksaanPenunjang
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksiditentukanolehnilai VEP1 prediksi (%) danatau VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan
parameter yang paling umumdipakaiuntukmenilaiberatnya PPOK
danmemantauperjalananpenyakit.
Apabilaspirometritidaktersediaatautidakmungkindilakukan, APE meter
walaupunkurangtepat,
dapatdipakaisebagaialternatifdenganmemantauvariabilitasharianpagidan sore,
tidaklebihdari 20%.
b. Radiologi (fototoraks)
Hasilpemeriksaanradiologisdapatditemukankelainanparuberupahiperinflasiatauhiperlusen,
diafragmamendatar, corakanbronkovaskuler
Universitas Sumatera Utara meningkat, jantung pendulum, danruang retrosternal melebar.
Meskipunkadang-kadanghasilpemeriksaanradiologismasih normal pada PPOK
ringantetapipemeriksaanradiologisiniberfungsijugauntukmenyingkirkan diagnosis
penyakitparulainnyaataumenyingkirkan diagnosis banding darikeluhanpasien (GOLD, 2009).
c. Laboratoriumdarahrutin
d. Analisa gas darah
e. Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)
C. ManajemenPenatalaksanaan
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,
menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara misalnya latihan batuk
efektif.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak
perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi
yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid
untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih controversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran
lambat 1 – 2 liter/menit.
8. Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
a. Fisioterapi dada yaitu drainase postural, perkusi dan vibrasi dada, terutama bertujuan
untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b. Latihan napas dalam dan latihan batuk efektif untuk melatih penderita agar bisa
melakukan pernapasan yang paling efektif.
c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu seperti jalan santai, dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmani.
5. d. Vocational guidance (bimbingan pekerjaan), yaitu usaha yang dilakukan terhadap
penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.
Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)
1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh Haemophilus Influenza dan StreptococcusPneumonia,
maka digunakan ampisilin atau eritromisin. Augmentin (amoksilin danasam klavulanat) dapat
diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalahHaemophilus Influenza. Pemberian
antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, ataudoksisiklin pada pasien yang mengalami
eksaserbasi akut terbukti mempercepatpenyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan
peak flow rate. Namun hanyadalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atautanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapata kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
c. Fisioterapi dada membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
3. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan
adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin .
4. Terapi jangka panjang di lakukan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin dapat menurunkan
kejadian eksaserbasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka
sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi dada.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
e. Mukolitik dan ekspektoran
f. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan
PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi,
untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.