Makalah ini membahas potensi sumber daya perikanan kepiting bakau di Segara Anakan, Cilacap. Kepiting bakau merupakan komoditas bernilai ekonomi tetapi produksinya menurun akibat berbagai faktor seperti kerusakan habitat dan polusi. Budidaya kepiting bakau dianggap sebagai alternatif untuk meningkatkan produksi dengan mengelola jumlah, ukuran, dan jenis komoditas yang dihasilkan."
Potensi Perikanan Berdasarkan "Concern Organisme" di Segara Anakan, Cilacap (Perikanan Kepiting)
1. POTENSI PERIKANAN BERDASARKAN “CONCERN
ORGANISME” DI SEGARA ANAKAN, CILACAP
(PERIKANAN KEPITING)
Potential of fisheries “an organism concern” in Segara Anakan,
Cilacap (Mud Crabs Fisheries)
OTO PRASADI
Teknik Mesin Perikanan. Politeknik Negeri Cilacap (PNC)
Jl. Dr. SoetomoNo. 1 Sidakaya, Cilacap 53212. Jawa Tengah
E-mail: oto.prasadi@gmail.com
ABSTRACT
Mud crabs (Scylla sp.) are payau organism have economic value. As a resource needs to
be managed can be performed optimally and sustainably. The production of mud crabs in
Cilacap today still rely caught from the wild. The decline in the production of mud crabs are the
main problems, i.e., natural factors, arrest and the damage habitat of mangrove ecosystem and
water pollution. Aquaculture of Mud crabs form first alternative for commodities. Aquaculture of
mud crabs can be managed production well, because quantity, type and the size of commodity
to be produced can be certainly. This paper contains about of the management mud crabs with
focused on aspects aquaculture activities. Some aquaculture technology mubs crab have
evolved presented in this paper. Prospective mub crabs resource management is of particular
concern in order to provide an explanation for the sustainability of commodity.
Keywords: Mud crabs, Scylla sp., Mangrove, Potential of cilacap fisheries
ABSTRAK
Kepiting bakau (Scylla sp.) merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai
ekonomis. Sumberdaya kepiting bakau perlu dikelola dengan baik supaya pemanfaatannya
dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Produksi kepiting bakau di Kabupaten
Cilacap saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Penurunan produksi kepiting
bakau merupakan masalah utama yang saat ini terjadi akibat dari berbagai faktor, baik faktor
alami, faktor penangkapan dan faktor kerusakan dan kehilangan habitat akibat rusaknya
ekosistem mangrove dan pencemaran perairan. Kegiatan budidaya kepiting bakau merupakan
alternatif utama guna memenuhi kebutuhan komoditas tersebut. Melalui usaha budidaya,
produksi kepiting bakau dapat dikelola dengan baik, karena jumlah dan ukuran serta jenis
komoditasnya yang akan dihasilkan dapat ditentukan dengan pasti. Makalah ini memuat
bahasan mengenai pengelolaan kepiting bakau yang ditekankan pada aspek pemanfaatan
sumberdaya melalui kegiatan budidaya. Beberapa teknologi budidaya kepiting bakau yang telah
berkembang disampaikan dalam makalah ini. Prospektif pengelolaan sumberdaya kepiting
bakau menjadi perhatian khusus guna memberikan penjelasan terhadap keberlanjutan dalam
pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau.
Kata Kunci: Kepiting Bakau, Scylla sp., Mangrove, Potensi perikanan cilacap.
1. PENDAHULUAN
Cilacap sebagai salah satu kabupaten bahari
di Jawa Tengah, cilacap memiliki potensi di
bidang perikanan yang sangat besar, baik di
bidang perikanan budidaya, perikanan tangkap
maupun pengolahan perikanan. Bahkan,
Kabupaten Cilacap telah dijadikan sebagai
kawasan minapolitan perikanan tangkap
percontohan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan (promojatengpemprovjateng.com).
Segara Anakan merupakan kawasan
perairan estuaria (pertemuan perairan darat dan
2. perairan/payau) yang terletak disebelah barat
wilayah kabupaten cilacap yang berbatasan
langsung dengan wilayah Jawa Barat.
Karakteristik khas dari kawasan ini adalah
terdapatnya ekosistem mangrove (bakau) yang
menurut interprestasi Citra Satelit merupakan
kawasan hutan mangrove yang paling luas di
pesisir Pulau Jawa (cilacapmedia.com).
Ekosistem mangrove merupakan area
pengasuhan utama bagi banyak spesies udang
dan kepiting komersial penting, termasuk kepiting
bakau. Ada 4 jenis kepiting bakau, yaitu : Scylla
serrata, Scylla paramamosain, Scylla olivacea,
dan Scylla tranquebarica. Kepiting bakau yang
dominan dijumpai adalah dari jenis Scylla
serrata. Kepiting bakau tersebut juga merupakan
jenis yang mendominasi perairan Indonesia.
Kepiting bakau (Scylla sp.) merupakan salah
satu dari sekian banyak komoditas perikanan
pantai yang mempunyai nilai ekonomis cukup
penting dan sangat disenangi masyarakat karena
rasa dagingnya yang lezat serta kandungan
proteinnya banyak, terutama kepiting cangkang
lunak (kepiting soka), kepiting yang matang
gonad atau sudah bertelur, seperti 65,72 %
protein dan 0,88 % lemak, 7,5 % mineral,
sedangkan ovarium (telur) kepiting mengandung
88,55 % protein dan 8,16 lemak..
Pada awal mulanya kepiting bakau hanya
dianggap sebagai hama oleh para petani tambak,
karena kepiting seringkali membuat kebocoran
pada pematang tambak. Namun, ketika kepiting
mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, kini
keberadaannya banyak diburu dan ditangkap
oleh para nelayan, bahkan sekarang ini kepiting
bakau juga sudah banyak dibudidayakan secara
tradisional di tambak.
Penurunan produksi kepiting bakau
merupakan masalah utama yang saat ini terjadi
akibat dari berbagai faktor, baik faktor alami,
faktor penangkapan dan faktor kerusakan dan
kehilangan habitat akibat rusaknya ekosistem
mangrove dan pencemaran perairan.
Peningkatan permintaan pasar terhadap
komoditas kepiting bakau dengan harga yang
tinggi telah menyebabkan upaya penangkapan
yang berlebih di beberapa tempat dan selama ini
poduksi kepiting bakau masih mengandalkan
hasil tangkapan dari alam baik yang berukuran
juvenil untuk dibesarkan maupun indukan.
Mengantisipasi permintaan pasar yang tinggi
dan menjaga kelestarian sumber daya hayati,
maka diperlukan usaha budidaya yang
terkendali. Di Indonesia beberapa daerah usaha
budidaya kepiting sudah mulai dirintis,
diantaranya usaha pembesaran kepiting,
penggemukan dan produksi kepiting cangkang
lunak (kepiting soka).
Usaha yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi dan tetap mempertahankan sifat
pemanfaatan sumberdaya yang optimal dan
berkelanjutan adalah usaha pembesaran kepiting
soka. Kepiting soka adalah kepiting yang sedang
ganti kulit (molting) sehingga mempunyai tubuh
lunak, mulai dari daging hingga karapasnya
sehingga harganya bisa mencapai 3-4 kali
dibanding kepiting biasa (tidak molting).
Keberhasilan usaha budidaya pembesaran
kepiting sangat ditentukan ketersediaan bibit,
kualitas air dan keterampilan petani.
Pembesaran kepiting bakau lunak atau
kepiting dalam kondisi sedang molting, sangat
potensial untuk dikembangkan di kawasan hutan
bakau karena fungsi ekologis ekosistem hutan
mangrove sebagai tempat pemijahan dan
pembesaran biota laut, termasuk kepiting bakau.
Dengan latar belakang tersebut penulis tertarik
terhadap studi waktu molting pada pembesaran
kepiting bakau bercangkang lunak.
Makalah ini membahas mengenai
pengelolaan sumberdaya kepiting bakau.
Bahasan yang disampaikan terdiri dari
penjelasan umum dan permasalahan yang
terjadi, aspek budidaya, serta prospektif dari
pemanfaatan sumberdaya tersebut. Dari makalah
ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
tentang upaya pengelolaan yang dapat dilakukan
terhadap pemanfaatan sumberdaya kepiting
bakau.
2. METODE DAN OBJEK LOKASI
Metode yang digunakan dalam penyusunan
makalah ini adalah deskriptif komparatif dengan
teknik studi referensi dari beberapa sumber.
Gambar 1. Vegetasi Hutan Mangrove Segara
Anakan (Prasadi 2012).
3. PEMBAHASAN
3. 3.1 Moulting dan Kanibalisme pada Kepiting
Bakau
Moulting atau yang dikenal dengan ganti
kulit merupakan proses penting bagi hewan-
hewan krustacea. Seperti halnya kepiting bakau,
proses moulting sangat penting karena berperan
dalam proses pertumbuhan dan reproduksinya.
Proses moulting pada kepiting bakau dipengaruhi
oleh faktor eksternal seperti salinitas, suhu dan
faktor internal seperti nutrisi dan kinerja hormone.
Menurut Warner 1977 dalam Karim (2005)
proses pergantian kulit pada kepiting terdiri dari 5
fase yaitu persiapan ganti kulit (premoult),
eksdisis, ganti kulit (moulting), pasca ganti kulit
(postmoult) dan periode waktu antar ganti kulit
(intermoult). Pada saat ganti kulit terjadi
merupakan fase kritis pada kepiting bakau, tubuh
kepiting menjadi lunak dan sangat rentan
terhadap pemangsaan baik dari hewan predator
maupun pada kepiting bakau lainnya. Pada saat
moulting biasanya kepiting bakau akan
bersembunyi dengan membenamkan tubuhnya
pada substrat dasar yang lunak atau di dalam
lubang-lubang sampai karapasnya mengeras
kembali.
Kepiting bakau memiliki sifat kanibalisme,
dan sifat kanibalismenya ini menjadi masalah
utama dalam kegiatan budidaya. Ketersediaan
makanan yang cukup dan padat penebaran yang
tidak terlalu padat menjadi faktor penting yang
harus diperhatikan dalam kegiatan budidaya.
Pada saat makanan kurang tersedia dan
kepadatan yang tinggi akan memicu terjadinya
kanibalisme antar kepiting bakau. Christensen et
al. (2004), menjelaskan dari hasil penelitiannya
bahwa padat penebaran, ketersediaan pakan
dan adanya shelter pelindung merupakan faktor
utama dalam mengurangi kanibalisme dalam
kegiatan budidaya.
3.2 Aspek Budidaya Kepiting Bakau
Budidaya kepiting bakau merupakan salah
satu peluang usaha di sektor perikanan yang
sangat potensial. Tingginya permintaan pasar
dan harga serta ketersediaan lahan dan
sumberdaya, menjadikan usaha ini memberikan
peluang yang menjanjikan. Di Negara Asia,
kegiatan budidaya kepiting bakau sudah
dilakukan sejak 30 tahun terakhir dengan
memanfaatkan lahan tambak di daerah pesisir.
Saat ini telah berkembang beberapa metode
dalam budidaya kepiting bakau seperti budidaya
pembesaran dan penggemukan kepiting bakau,
budidaya kepiting bakau bertelur dan budidaya
kepiting bakau cangkang lunak. Berikut
dijelaskan beberapa aspek dalam budidaya
kepiting bakau.
3.2.1 Aspek Kesesuaian Lahan
Kepiting bakau merupakan organisme
akuatik yang hidup dilingkungan muara, pesisir
dan banyak dijumpai di ekosistem mangrove.
Lahan budidaya kepiting bakau haruslah
merupakan interpretasi dari habitat alaminya
sehingga didapatkan kondisi yang optimum untuk
menunjang kehidupan kepiting bakau yang
dipelihara. Di Indonesia, Vietnam dan Philipina
area mangrove diintegrasikan menjadi area
budidaya kepiting bakau, dengan target utama
produksi kepiting bakau dengan tetap menjaga
keberlangsungan ekosistem mangrove (Shelley
& Lovatelli 2011).
Kondisi lingkungan yang diperlukan dalam
kegiatan budidaya kepiting bakau juga sangat
penting untuk diketahui. Sebagai hewan yang
hidup di sistem intertidal yang terpengaruh oleh
pasang surut air laut. Kepiting bakau hidup pada
kondisi salinitas yang luas (5-40 ppt) namun
untuk kebutuhan hidup optimumnya kepiting
bakau dapat dipelihara pada kisaran salinitas
antara 10-25 ppt (Shelley & Lovatelli 2011). pH
berkisar anatar 7,5-8,5, suhu air 29-30o
C (Cholik
1999), di Australia kepiting bakau umumnya
dipelihara pada kisaran suhu 30-35o
C (Shelley &
Lovatelli 2011). Oksigen terlarut diperlukan untuk
respirasi dengan suplai pergantian air yang baik
kebutuhan oksigen dapat terjaga, kepiting bakau
memerlukan oksigen untuk hidupnya pada
kisaran >3 mg/L, dan untuk pertumbuhan yang
optimum >5 mg/L.
3.2.2 Pakan dan Pemberian Pakan
Dalam kegiatan budidaya ikan dan
udang pakan adalah faktor utama yang sangat
menentukan keberhasilan produksi budidaya
selain kesesuaian lahan. Pakan kepiting bakau
yang dibudidaya dapat bersumber dari berbagai
macam jenis, seperti ikan rucah, limbah rumah
potong ternak, kerang dan hewan crustacea kecil
yang banyak terdapat di daerah mangroves.
Menuru Sulaeman & Tenriulo (2010) penggunaan
ikan-ikan rucah (trash fish atau fish bycatch) atau
makanan segar dan segar beku yang belum
mengalami proses telah banyak digunakaan
pada budidaya kepiting di tambak.
Manajemen pemberian paka pada
budidaya kepiting bakau merupakan faktor utama
yang menentukan keberhasilan budidaya.
Beberapa hal yang mendasar dalam pemberian
pakan adalah kuantitas pakan, kualitas/nilai
nutrisi pakan, bentuk dan ukuran, daya tarik dan
ketahanan/stabilitas di dalam air. Tujuan
pemberian pakan yang baik adalah agar kepiting
bakau yang dipelihara dapat tumbuh secara
optimum sehingga kelangsungan hidupnya tinggi.
Jumlah pemberian pakan dalam budidaya
kepiting bakau tergantung dari metode budidaya
dan target kepiting yang akan dihasikan. Untuk
penggemukan dan produski kepiting bertelur
4. diperlukan pakan dengan kandungan protein
yang tinggi. Ikan rucah termasuk salah satu
pakan dengan kandungan protein yang tinggi
yaitu sekitar 26,31% (Tabel 1)
Tabel 1. Nilai nutrisi ikan rucah dan pakan
buatan untuk kepiting bakau
Komposisi (%) Ikan Rucah Pelet udang
Protein 26,31 27,43
Lemak 3,43 6,53
Serat fiber 0,6 1,45
Debu - 7,79
Kelembaban 62,63 -
Lainnya 7,3 56,8
Total 100 100
Sumber: Sulaeman et al. (1993) dalam Sulaeman
dan Tenriulo (2010)
Umumnya pemberian pakan dilakukan
sebanyak 5-10% dari bobot rata-rata tubuh
kepiting bakau. Pemberian pakan dilakukan
sebanyak 2 kali yaitu pagi dan sore atau
menjelang malam hari. Pemberian pakan dapat
saja ditambah apabila pakan yang diberikan
sudah habis sbelum waktu pemberian berikutnya
atau dapat dikurangi bila pakan yang diberikan
terdapat sisa. Pakan yang tidak di makan akan
mengalami pembusukan dan selanjutnya dapat
menurunkan kondisi kualitas perairan.
3.3.3 Manajemen Kualitas Lingkungan
Selama proses budidaya, pengelolaan
kualitas lingkungan sangat diperlukan guna
menjaga kondisi kehidupan kepiting bakau tetap
dalam kondisi optimum. Kondisi lingkungan dari
beberapa parameter kualitas air dapat di lihat
pada Tabel 2. Lingkungan yang sehat akan
menyebabkan kepiting bakau hidup dengan baik
sehingga terhindar dari penyakit. Sirkulasi pada
tambak kepiting bakau atau menjaga alur air
pasang surut pada tambak dapat memberikan
perbaikan kualitas air budidaya dengan syarat
kualitas air yang baru lebih baik kondisinya dari
kualitas air yang ada di dalam area budidaya.
Sirkulasi air yang baik dapat meningkatkan
kandungan oksigen terlarut disamping adanya
penambahan unit aerasi. Menurut Shelley &
Lovatelli (2011) kualitas air dan kualitas dari
benih menentukan 70% dari keberhasilan
budidaya.
Tabel 2. Nilai kualitas air untuk kegiatan
budidaya kepiting bakau (Shelley & Lovatelli
2011).
3.3.4 Panen dan Pasca panen
Kepiting bakau dapat hidup lama pada
kondisi tanpa air. Hal inilah yang menjadi salah
satu faktor yang menguntungkan dalam
penanganan kepiting setelah dipanen. Namun
demikian, penanganan yang kurang baik tetap
saja akan menurunkan kondisi kesehatannya dan
dapat menyebabkan kematian. Pemanenan
kepiting pada sistem pemeliharaan terbuka
dilakukan secara selektif, dimana kepiting yang
sudah sesuai dengan ukuran pasar lah yang di
panen. Kepiting yang ukurannya belum sesuai
ukuran pasar dikembalikan lagi untuk dipelihara
selanjutnya. Sistem panen secara selektif ini juga
membantu mengurangi pemangsaan oleh
kepiting yang ukurannya lebih besar. Alat
tangkap dalam memanen kepiting biasanya
menggunakan perangkap yang diberi umpan.
Kepiting yang tertangkap dan sesuai ukuran
kemudian di ikat pada kaki-kakinya agar tidak
saling mencapit. Apabila kaki-kaki kepiting tidak
diikat maka dapat menimbulkan kerusakan
secara fisik pada tubuh kepiting dan
mempengaruhi kondisi fisiologis yang akhirnya
dapat mengakibatkan kematian.
Gambar 2. Kepiting bakau yang diikat pada
bagian capit dan kaki renangnya
(Triyanto et al. 2014)
3.3.5 Model-model Budidaya Kepiting Bakau
Saat ini telah berkembang berbagai
teknologi budidaya kepiting bakau. Hampir
semua ukuran kepiting dewasa laku di pasaran,
hanya saja semakin besar dan ada tidaknya telur
yang terdapat dalam tubuh kepiting memberikan
5. harga yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
kepiting dengan ukuran biasa. Kepiting dengan
kondisi tubuh yang tidak lengkap (terputus kaki
atau capitnya) dan kepiting kosong (empty crabs)
memiliki harga yang relative rendah. Hasil
penelitian Triyanto et al. (2014), menunjukan
bahwa hasil tangkapan nelayan 22-40% dalam
katagori kualitas rendah, dimana ukurannya
masih relative kecil atau ada bagian tubuhnya
yang hilang dan kondisi daging yang tidak berisi.
Kondisi hasi tangkapan kepiting bakau yang yang
masih tidak sesuai untuk keperluan pasar tentu
saja dapat ditingkatkan kualitasnya melalui
beberapa pemeliharaan lanjutan seperti melalui
proses pembesaran, penggemukan maupun
peningkatan menjadi kepiting bertelur.
3.3.6 Pembesaran dan Penggemukan
Kepiting Bakau
Pembesaran dan penggemukan kepiting
bakau merupakan salah satu metode budidaya
kepiting yang sangat praktis dan sudah dilakukan
para pembudidaya kepiting. Budidaya dapat
dilakukan pada tambak atau kolam dengan diberi
pagar keliling dari jaring agar kepiting tidak keluar
dari area budidaya atau dengan menggunakan
sistem batre cell (Gambar 3). Menurut Cholik
(1999) pembesaran dan penggemukan kepiting
bakau dapat menggunakan tambak/kolam
dengan ukuran 12x8 m dengan padat penebaran
1-3 ekor/m2
, sedangkan menurut Sulaeman dan
Tenriulo (2010) pembesaran kepiting bakau pada
ukuran crablet benih yang ditebar sebanyak 200
ekor yang dipelihara pada tambak berukuran 250
m2
dan dipelihara selama 3 bulan dapat
menghasilkan ukuran kepiting mencapai 58-90
gram/ekor.
Gambar 3. Pembesaran dan penggemukan
kepiting bakau (Triyanto et al. 2014)
Duraisamy et al. (2009), menjelaskan
penggemukan kepiting bakau yang dilakukan di
Philiphina menghasilkan penambahan bobot
tubuh mencapai 40-50 gram/ekor selama 20-30
hari pemeliharaan pada kelompok ukuran
kepiting bakau 500-750 gram. Pakan yang
diberikan berupa molluska kecil, kepiting kecil,
ikan-ikan kecil dan udang. Pakan diberikan
sebanyak 10% dari bobot tubuh kepiting,
sedangkan di Bangladesh penggemukan kepiting
bakau dalam sistem kompartemen dari bambu
dalam pen culture penambahan bobot kepiting
mencapai 10,81-16,24 gram. Pakan yang
diberikan berasal dari daging ikan nila dengan
pemberian 8% (Shah et al. 2009). Menurut
Effendie (1997) makanan merupakan faktor
penting yang harus tersedia dalam suatu
perairan. Ketersediaan makanan merupakan
faktor yang menentukan kepadatan populasi,
pertumbuhan, reproduksi, dan dinamika populasi
serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan.
3.3.7 Produksi Kepiting Bakau Bertelur
Kepiting bertelur merupakan salah satu
komoditas dari kepiting bakau yang sangat
digemari karena cita rasa dan kandungan gizinya
yang sangat tinggi. Budidaya kepiting bakau
untuk menghasilkan produksi kepiting bertelur
dapat dilakukan dan saat ini menjadi peluang
usaha yang sangat menguntungkan karena hasil
jualnya memiliki nilai ekonmis yang tinggi dan
waktu pemeliharaan yang relative siingkat.
Untuk menghasilkan kepiting bertelur, kepiting
betina dewasa dipelihara dalam sistem batre cell,
dimana setiap satu ekor kepitng dipelihara dalam
1 ruang tersendiri dan diberi makan secukupnya
sampai kepiting tersebut bertelur.
Sistem batre cell yang digunakan sebaga
wadah pemeliharaan dapat berasal dari bambu
atau bilah kayu yang disusun sedemikian rupa
menjadi ruang ruang bersekat dengan ukuran
25x25x20 cm, atau dengan media khusus berupa
keranjang plastik berlubang yang sudah tersedia
dan dijual sebagai sarana budidaya keipting
bakau (Gambar 4). Batre cell sebagai wadah
pemeliharaan ditempatkan dalam tambak
budidaya atau pada saluran-saluran di area
mangrove yang sudah disiapkan menjadi area
budidaya. Ukuran kepiting yang dipelihara
berkisar antara 100-300 gram, yang berasal dari
hasil tangkapan di alam, maupun dari hasil
pembesaran sendiri. Pakan yang diberikan
berupa ikan rucah dengan pemberian pakan
sebanyak 5-10% dari bobot tubuh. Kepiting
tersebut dipelihara selama 20-30 hari sampai
kepiting tersebut bertelur. Untuk mengetahui
kepiting sudah bertelur dilakukan dengan melihat
celah pada bagian abdomen kepiting. Telur
kepiting akan terlihat pada celah tersebut dengan
warna kuning ke merahan. Semakin banyak
warna kuning yang ada artinya kematangan
gonad sudah berlangsung. Di daerah tropis
umumnya kepiting betina mencapai ukuran
pertama kali matang gonad adalah pada ukuran
lebar karapas 120-240 mm. Hasil penelitian
Rusdi et al. (1994) dalam Cholik (1999)
melaporkan bahwa kepiting betina dengan
ukuran 170-208 g dipelihara selama 10-12 hari
6. kandungan telurnya mencapai 900.000 –
2.000.000 butir telur.
3.3.8 Produksi Kepiting Bakau Cangkang
Lunak
Kepiting lunak (soft shell) atau dikenal
dengan istilah kepiting soka, merupakan kepiting
yang mengalami proses ganti kulit (moulting)
yang selanjutnya segera dibekukan menjadi
produk kepiting cangkang lunak. Pengembangan
budidaya kepiting cangkang lunak merupakan
diversifikasi produk guna memenuhi kebutuhan
pasar luar negeri. Dalam melakukan budidaya
kepiting lunak dilakukan dalam sistem batre cell
dimana kepiting dipelihara tersendiri dalam ruang
terpisah. Dalam pemeliharaannya sistem batre
cell tersebut ditempatkan pada area budidaya
dengan perlakukan yang lebih khusus seperti
penggunaan sirkulasi dan aerasi, adanya suplai
air laut dan air tawar yang baik dan ketersediaan
energy listrik sebagai sarana penunjang dalam
proses pembekuan dan penyimpanan (Shelley &
Lovatelli 2011).
Hal yang penting dalam memproduksi
kepiting cangkang lunak adalah bagaimana cara
membuat kepiting ganti kulit (moulting).
Manipulasi yang dapat dilakukan untuk
mempercepat proses ganti kulit adalah melalui
manipulasi makanan, lingkungan, penambahan
hormone moulting (ekdisteroid) dan teknik
pemotongan organ tubuh (capit dan kaki jalan).
Saat ini teknik pemotongan capit dan kaki jalan
merupakan teknik yang paling praktis dan dapat
diterapkan secara massal. Walaupun dalam
teknik ini nampaknya secara ke hewanan
dianggap tidak baik. Menurut Fujaya et al. (2007)
dalam Aslamya & Fujaya (2010), proses produksi
secara mutilasi dinilai tidak begitu layak dan
efektif untuk diterapkan karena selain mortalitas
yang sangat tinggi juga adanya penolakan oleh
negara konsumen.
Produksi kepiting cangkang lunak melalui
manipulasi makanan dilakukan terhadap kepiting
yang berada pada fase pertumbuhan maksimum
yang ditandai dengan cangkang pada bagian
abdomen bila ditekan terasa keras dan tidak ada
rongga yang kosong. Pada fase ini kepiting bila
diberi makan secara optimum terus menerus
akan memicu terjadinya proses ganti kulit
(Gambar 4). Hasil penelitian Sutrisno et al.
(2014) menjelaskan bahwa kepiting keras yang
dipelihara pada kedalaman 40 cm dan diberi
pakan ikan rucah dapat mengalami ganti kulit
dalam kurun waktu 2 minggu sebesar 50% dan
pada masa pemeliharaan 1 bulan hampir semua
kepiting yang dipelihara mengalami proses ganti
kulit. Proses ganti kulit disebabkan karena
perbedaan suhu yang terjadi antara suhu
permukaan dan mekanisme pergantian air akibat
pasang surut.
Gambar 4. Kepiting bakau cangkang lunak
(kepiting soka) dan Metode Pemeliharaannya
dalam sistem batre cell (sumber: bisnisukm.com)
Manipulasi ganti kulit dengan menggunakan
hormone, sudah dikembangkan dengan
menggunakan ekstrak tanaman bayam yang
mengandung hormone stimulant moulting yaitu
fitoekdisteroid, ekdisteroid adalah hormon
molting bagi kepiting (Fujaya 2011). Penggunaan
hormone dari ekstrak bayam awalnya dilakukan
dengan menyuntikannya ketubuh kepiting satu
persatu, namun metode ini dianggap tidak efisien
dalam budidaya massal (Aslamya & Fujaya
2010). Ekstrak bayam selanjutnya diberikan
melalui pakan buatan. Berdasarkan uji yang telah
dilakukan terbukti bahwa ekstrak bayam dapat
diberikan melalui pakan buatan, dan efektif
mempercepat molting dan meningkatkan
pertumbuhan (Fujaya et al. 2009 dalam Aslamya
& Fujaya 2010). Hasil penelitiannya
mendapatkan pakan dengan kadar protein
30,62% dan karbohidrat 49,13% yang diperkaya
ekstrak bayam dengan dosis 700 mg.
3.3.9 Budidaya Kepiting Bakau Pola
silvofishery
Silvofishery merupakan gabungan dari
dua kata yaitu silvi atau silvo yang berarti hutan
dan fishery yang berarti perikanan. Sehingga
silvofishery dapat diterjemahkan sebagai
perpaduan antara tanaman mangrove (hutan)
dengan budidaya perikanan. Menurut Quarto
(2005) dalam Gunawan et al. (2007) silvofishery
merupakan bentuk terpadu antara budidaya
hutan mangrove dengan budidaya tambak
dengan input rendah tetapi lestari. Di Indonesia
sistem silvofishery dikenal juga dengan istilah
tambak tumpangsari atau tambak wanamina
yang dijadikan sebagai salah satu konsep dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dalam menjaga
kelestarian hutan mangrove dan pemanfaatan
sumberdaya yang tersedia.
Menurut PerMenHut No. P.70/Menhut-
II/2008, pola tambak silvofishery atau wanamina
ini terdiri dari 4 (empat) macam model yaitu:
empang parit tradisional, komplangan, empang
parit terbuka, kao-kao dan model Tasik Rejo
(Gambar 5). Pola silvofishery yang diterapkan di
7. Indonesia dilakukan sejak hutan mangrove
mengalami kerusakan yang besar akibat
berbagai aktivitas manusia diantaranya alih
fungsi lahan untuk berbagai keperluan seperti
pembukaan untuk lahan tambak, dermaga, dan
pemukiman. Komposisi mangrove yang harus
tersedia dalam budidaya perikanan pola
silvofishery adalah 80% dan untuk areal
budidaya adalah 20% (Gunawan et al. 2007).
Produksi kepiting bakau di Indonesia
umumnya berasal dari hasil tangkapan alam.
Sejak tahun 1990-an budidaya kepiting bakau
mulai dilakukan guna memenuhi kebutuhan
pasar yang sangat tinggi. Budidaya kepiting
bakau dilakukan di tambak dengan berbagai jenis
budidaya yaitu pembesaran dari ukuran juvenile
sampai ke ukuran konsumsi, penggemukan, dan
produksi kepiting bertelur serta produksi kepiting
lunak (Cholik 1999). Kepiting bakau dapat
dibudidaya secara polikultur dengan berbagai
jenis biota lain seperti ikan bandeng dan udang
dan secara monokultur. Sistem budidaya ini
banyak diterapkan di Taiwan, Philippina,
Malaysia, Banglades dan Vietnam. Di Indonesia
budidaya kepiting bakau dilakukan dengan
berbagai model silvofishery sebagai integrasi-
kombinasi antara mangrove dan akuakultur
(Mwaluma 2002).
Gambar 5. Beberapa model tambak silvofishery
(Sofiawan 2000 dalam Puspita et al. 2005).
Keterangan: A. Saluran Air; B.Tanggul/pematang
tambak; C. Pintu air; D. Empang; X. Pelataran
tambak
Budidaya silvofishery kepiting bakau
merupakan teknik budidaya pembesaran yang
dilakukan dengan cara memelihara kepiting
bakau dalam area mangrove dengan
menggunakan sistem empang parit dan
komplangan atau dengan system kurungan
tancap yang dibangun di dalam area mangrove
(Mwaluma 2002; Triyanto et al. 2012). Produksi
kepiting bakau dari kegiatan silvofishery dapat
bervariasi tergantung dari ukuran benih yang
dipelihara, pakan alami dan pakan tambahan
yang diberikan, naungan mangrove yang ada,
ada dan tidaknya pemangsaan dan konstruksi
kurungan tancap yang baik yang dapat
mencegah keluarnya kepiting yang dipelihara di
dalam kurungan tancap tersebut. Pada beberapa
kegiatan yang dilakukan produksi yang dihasilkan
seperti di Vietnam mencapai 270 kg/ha – 1,5
ton/ha (Allan & Fielder 2004)
Model silvofishery yang mungkin dapat
dikembangkan adalah dengan sistem kurungan
tancap yang dimodifikasi dengan adanya parit
keliling sebagai wilayah yang terus tergenangi
air. Ukuran kurungan tancap disesuaikan dengan
kapasitas produksi yang diinginkan dan
ketersediaan lahan serta dana investasi.
Kepiting bakau yang ditebarkan umumnya
berukuran <100 gram (Ikhwanuddin dan Oakley,
1999) dengan padat tebar 2,5 ekor/m2
atau
disesuikan dengan kondisi pemelihraan
(Genodepa, 1999). Pakan tambahan dapat
berupa ikan rucah atau kerang-kerangan yang
berasal dari sekitar kawasan mangrove.
Pemberian pakan dilakukan dua kali pada pagi
dan sore hari sebanyak 1-5% dari bobot tubuh
kepiting yang dipelihara. Masa pemeliharaan
disesuaikan dengan ukuran panen sekitar 3-5
bulan. Panen kepiting dilakukan dengan alat
perangkap, hanya kepiting yang berkualitas
bagus saja yang dipanen.
Budidaya kepiting bakau saat ini berkembang
dengan penggunaan sistem batre sel yang
ditempatkan pada area mangrove dengan model
empang parit atau komplangan. Pada sistem ini
kepiting bakau dipelihara per ekor dalam ruangan
atau kamar-kamar tersendiri. Batre sel dapat
dibuat dari bilah kayu atau bambu yang disusun
menjadi kamar-kamar dengan ukuran 20x20x15
cm, atau dengan keranjang pelastik yang dijual
khusus sebagai tempat pemeliharaan kepiting
bakau (Gambar 6). Penggunaan sistem batre sel
ini biasa digunakan dalam usaha penggemukan
dan produksi kepiting lunak. Dengan sistem ini
para pembudidaya dapat mengontrol kepiting
yang dibudidayakan sehingga kepastian produksi
dapat ditentukan, bila dibandingkan dengan
pemeliharaan kepiting bakau yang langsung
dipelihara dalam perairan mangrove karena ada
potensi hilang karena keluar dari area budidaya.
8. (a)
(b)
Gambar 6. (a) Tambak silvofishery dan (b) istem
batre sel (kompartemen) yang digunakan untuk
pembesaran/penggemukan kepiting bakau di
Bingkar, Kampung Teluk Semanting-Berau
(Triyanto et al. 2014)
4. PROSPEKTIF PEMANFAATAN DAN
PENGEMBANGAN SUMBERDAYA
KEPITING BAKAU
Kawasan Segara Anakan terletak di Pantai
Selatan Jawa Tengah di Kabupaten Cilacap.
Kawasan ini terletak diantara 70
30’-70
44’ Lintang
Selatan dan 1090
03’- 1090
42’ Bujur Timur
dengan luasan 3.401,065 ha. Segara Anakan
terlindungi oleh Pulau Nusakambangan namun
demikian Segara Anakan masih berhubungan
dengan Samudera Indonesia, kondisi ini
menyebabkan Segara Anakan masih
terpengaruhi oleh pasang dan surut air laut
(Setijanto & Sahri, 2000). Segara Anakan
merupakan perairan estuaria yang dikelilingi
hutan mangrove. Perairan ini menerima
perambatan air pasang surut dari Samudera
Hindia dan dari tiga sungai utama, yaitu Sungai
Citanduy, Cibereum dan Cikonde (Nabiel 2004).
Menurut Cholik (1999) kepiting bakau merupakan
komoditas perikanan penting sejak tahun
1980an. Produksinya saat itu meningkat 14,3%
per tahun, pada tahun 1994 produksinya
mencapai 8.756 ton, dimana 66,7% produksi
kepiting berasal dari tangkapan alam. Ekspor
kepiting Indonesia pada tahun 2013 mencapai
19.786 ton atau meningkat sebesar 25,76% atau
senilai dengan Rp. 2,09 triliun (neraca.co.id).
Menurut Rukmini (2015), berdasarkan data
yang tersedia di Departemen Kelautan dan
Perikanan,permintaan kepiting dan rajungan dari
pengusaha restoran sea food Amerika Serikat
mencapai 450 ton setiap bulan. Jumlah tersebut
belum dapat dipenuhi karena keterbatasan hasil
tangkapan di alam dan produksi budidaya yang
masih sangat minim. Padahal, negara yang
menjadi tujuan ekspor kepiting bukan hanya
Amerika tetapi juga Cina, Jepang, Hongkong,
Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah
negara di kawasan Eropa. Sebuah perusahaan di
Tarakan yang menjadi pengumpul sekaligus
eksportir kepiting mengaku hanya sanggup
mengirim 20 ton kepiting per bulan ke Korea,
padahal permintaan mencapai 80 ton per bulan.
Kepiting tersebut diekspor dalam bentuk
segar/hidup, beku, maupun dalam kaleng. Di luar
negeri, kepiting merupakan menu restoran yang
cukup bergengsi. Dan pada musim-musim
tertentu harga kepiting melonjak karena
permintaan yang juga meningkat terutama pada
perayaan-perayaan penting seperti imlek dan
lain-lain. Daging kepiting, tidak saja lezat tetapi
juga menyehatkan.
Permintaan kepiting di perdagangan dunia
dan domesik serta angka konssumsi kepiting
terus mengalami kenaikan (Tabel 3). Hal ini
membawa konsekuensi terhadap upaya
penyediaan produksi agar dapat memenuhi
kebutuhan pasar dan konsumsi. Ketersediaan
area budidaya yang sangat luas di Indonesia
khususnya di Cilacap menjadikan usaha
budidaya kepiting bakau memiliki prospektif
pengembangan yang sangat besar. Segmentasi
dan komoditas yang berbeda memberikan nilai
tambah terhadap komoditas kepiting bakau baik
dalam bentuk segar maupun olahan. Permintaan
yang tinggi ini akan mendorong ketersediaan
benih yang besar agar usaha budidaya dapat
berlangsung dengan optimal. Perkembangan
ekspor kepiting Indonesia pada tahun 2000-2009
dapat dilihat pada Gambar 7.
Tabel 3. Perkembangan tingkat konsumsi
kepiting dunia Tahun 1990-2007
9. Sumber: KKP 2009
Gambar 7. Perkembangan ekspor kepiting
Indonesia tahun 2000-2009.
Teknologi budidaya kepiting bakau mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Keberhasilan
pengembangan teknologi pembenihan yang
dapat memproduksi produksi crablet (anakan
kepiting bakau) merupakan fase penting dalam
budidaya kepiting bakau (Keenan 1999).
Kebutuhan benih yang berasal dari alam dapat
digantikan dari proses pembenihan. Keberhasilan
pembenihan kepiting bakau merupakan prospek
yang baik karena dapat menyediakan kebutuhan
benih kepiting untuk kegiatan budidaya.
Ketergantungan terhadap kebutuhan benih dari
alam dapat dikurangi sehingga tekanan
penangkapan populasi kepiting di alam dapat
berkurang. Segmentasi dan model budidaya
yang cukup beragam dengan menghasilkan jenis
komoditas kepiting yang beragam dapat
memberikan pilihan terhadap para pelaku usaha.
Massa budidaya yang relative singkat dan
kebutuhan lahan yang tidak terlalu besar seperti
dalam budidaya udang dan ikan dapat
memberikan manfaat yang positif terhadap
pelaku usaha yang memiliki lahan dan modal
terbatas. Berkembangnya sistem budidaya
silvofishery yang mengintgrasikan kawasan
mangrove dalam areal budidaya membawa
manfaat terhadap hasil budidaya dan kelestarian
kawasan mangrove. Ketersediaan lahan
budidaya dengan luas daerah pesisir dan
kawasan mangrove di Indoensia menjadikan
budidaya kepiting bakau memiliki prospek
pengembangan yang sangat potensial.
5. KESIMPULAN
Kepiting bakau (Scylla sp.) merupakan salah
satu komoditas perikanan yang bernilai
ekonomis. Sumberdaya kepiting bakau perlu
dikelola dengan baik supaya pemanfaatannya
dapat dilakukan secara optimal dan
berkelanjutan. Produksi kepiting bakau di
Kabupaten Cilacap saat ini masih mengandalkan
hasil tangkapan dari alam. Penurunan produksi
kepiting bakau merupakan masalah utama yang
saat ini terjadi akibat dari berbagai faktor, baik
faktor alami, faktor penangkapan dan faktor
kerusakan dan kehilangan habitat akibat
rusaknya ekosistem mangrove dan pencemaran
perairan. Kegiatan budidaya kepiting bakau
merupakan alternatif utama guna memenuhi
kebutuhan komoditas tersebut. Melalui usaha
budidaya, produksi kepiting bakau dapat dikelola
dengan baik, karena jumlah dan ukuran serta
jenis komoditasnya yang akan dihasilkan dapat
ditentukan dengan pasti.
DAFTAR PUSTAKA
Allan G. dan D. Fielder. 2004. Mud crab
aquaculture in Australia and Southeast
Asia Proceedings of the ACIAR Crab
Aquaculture Scoping Study and Workshop
28–29 April 2003, Joondooburri
Conference Centre, Bribie Island ACIAR
Working Paper No. 54
Aslamyah S. dan Fujaya Y. 2010. Stimulasi
Molting dan Pertumbuhan Kepiting Bakau
(Scylla sp.) Melalui Aplikasi Pakan Buatan
Berbahan Dasar Limbah Pangan yang
Diperkaya dengan Ekstrak Bayam. ILMU
KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3)
170-178
Cholik F. 1999. Review of Mud Crab Culture
Research in Indonesia. ACIAR Proceeding
No. 78. Proceedings of An International
Scientific Forum Held in Darwin, australia,
21-24 April 1997. Canberra, Australia,
p:14-20
Christensen SM., Macintosh DM., Phuong NT.
2004. Pond Production of The Mud Crabs
Scylla paramamosain (Estampador) and
S. Olivacea (Herbin The Mekong Delta,
Vietnam, Using Two
Differensupplementary Diets. Aquaculture
Research (35): 1013-1024
Duraisamy S., Senthil K.V., Nagaraja C.,
Sanjeeviraj G., Vijay R.S., and Sudha N.
2009. Crab Fattening Alternative Livelihood
for Fisher Women. MS Swaminathan
Research Fondation. [internet].[diunduh
pada 3 Agustus 2012]. Tesedia pada
www.mssrf.org.
Effendie M. I. 1997. Biologi Perikanan Yayasan
Pustaka Nusatama Yogyakarta.
Fujaya Y. 2011. Growth And Molting Of Mud
Crab Administered By Different Doses
Of Vitomolt Jurnal Akuakultur Indonesia
Vol. 10 (1)
Genodepa J.G. 1999. Pen Culture Experiments
of the Mud Crab Scylla serrata in
Mangrove Areas. In Mud Crab Aquaculture
and Biology. ACIAR Proceedings N0.78.
Canberra. Australia.
Gunawan H., Anwar C., Sawitri R., Karlina E.
2007. Peranan Silvofishery Dalam
Peningkatan Pendapatan Masyarakat Dan
10. Konservasi Mangrove. Di Bagian
Pemangkuan Hutan Ciasem-Pamanukan,
Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta.
Info Hutan Vol. IV No. 2: 153-163
Keenan C.P. 1999. Aquaculture of the Mud Crab,
Genus Scylla Past, Present and Future. In
Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR
Proceedings No. 78 : 9-13
Karim M.Y. 2005. Kinerja Pertumbuhan Kepiting
Bakau Bentina (Scylla serrate Forsskal)
pada Berbagai Salinitas Media dan
Evaluasinya pada Salinitas Optimum
dengan Kadar Protein Pakan Berbeda.
[Disertasi] Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
KKP. 2010. Kelautan dan Perikanan dalam Angka
2009, Jakarta.
Mwaluma J. 2002. Pen Culture of the Mud Crab
Scylla serrata in Mtwapa Mangrove
System, Kenya. Western Indian Ocean
J.Mar.Sci. Vol. 1 No. 2 :127-133
Nabiel M. 2004. Baku Mutu Air Laut untuk Biota
Laut, Keputusan Mentri Negara
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004.
Prasadi O. 2012. Kajian Bioekologi Kepiting
Bakau (Scylla serrata) dengan Kepiting
Laut (Scylla oceanica) di Kawasan Segara
Anakan, Cilacap. Kerja Praktek(KP). P 38.
Puspita L., Eka R., Suryadiputra I.N.N., Meutia
A.A. 2005. Buku Lahan Basah Buatan di
Indonesia. Wetlands Indonesia
Programme. Bogor. p 74-76.
PERPRES 73 (2012). Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 73 Tahun 2012
tentang Strategi Nasional Pengelolaan
Ekosistem Mangrove.
Rukmini. 2015. Prospek dan Teknologi
Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla spp).
[Internet].[diunduh 12 Januari 2016].
Tersediapada:http://eprints.unlam.ac.id/344
/1/Prospek%20dan%20Teknologi
%20Pembesaran%20Kepiting
%20Bakau.pdf
Setijanto dan A. Sahri. 2000. Studi Populasi
Kepiting Bakau di Segara Anakan: Acuan
untuk konservasi dan pemanfaatan yang
berkelanjutan. Fakultas Biologi, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto, Laporan
Penelitian (tidak dipublikasikan).
Shah M. B. M. M. R., Abdullah-Al Mamun and M.
J. Alam. 2009. Comparative Study of Mud
Crab (Scylla serrata) Fattening Practices
Between Two Different Systems in
Bangladesh. J. Bangladesh Agril. Univ.
7(1): 151–156
Sulaeman H. dan Tenriulo A. 2010. Pembesaran
Kepiting Bakau (Scylla serrate) di Tambak
dengan Pemberan Pakan Berbeda.
Proseding Forum Inovasi teknologi
Akuakultur 169-174.
Shelley C. and Lovatelli A. 2011. Mud crab
aquaculture A practical manual Fao
Fisheries And Aquaculture Technical Paper
567.
Sutrisno, Agus Hamdani dan Triyanto. 2014.
Budidaya Kepiting Bakau (Scylla Serrata)
Triyanto, Wijaya N.I., Widiyanto T., Yuniarti I.,
Setiawan F., dan Lestari F.S. 2012.
Pengembangan Silvofishery Kepiting
Bakau (Scylla Serrata) dalam
Pemanfaatan Kawasan Mangrove di
Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi V
Tahun 2012. Pusat Penelitian Limnologi-
LIPI
Triyanto, Wijaya N.I., Widiyanto T., Yuniarti I.,
Setiawan F., Sutrisno, Sudarso Y., dan
Lestari F.S. 2014. Model Pengembangan
Silvofishery dalam Pemanfaatan Kawasan
Mangrove untuk Pemberdayaan
Masyarakat di Kabupaten Berau,
Kalimantan Timur. Laporan Akhir Kumulatif
Kegiatan Kompetitif LIPI. Pusat Penelitian
Limnologi, dan Pusat Penelitian Ekonomi-
LIPI. Bogor (ID): LIPI
www.cilacapmedia.com/index.php/rubrik/sains-a-
teknologi/754-budidaya-kepiting-di-segara-
anakan.html (diakses pada tanggal 11
September 2016).
www.neraca.co.id/article/36450/indonesiaeksporti
r-kepiting-terbesar-di-dunia-perikanan
budidaya (diakses pada tanggal 11
September 2016).
www.promojatengpemprovjateng.com/detail.php?
id=1381 (diakses pada tanggal 11
September 2016).