Kajian perekayasaan untuk menghasilkan teknologi produksi baby crab rajungan di hapa dan bak terkendali telah dilakukan. Pada kajian ini, pemeliharaan benih Crab 5 hingga menghasilkan ukuran berat 1,5 – 1,8 gram (ukuran baby crab) dilakukan dengan 2 perlakuan kepadatan yaitu 250 ekor/m2 dan 500 ekor/m2. Pemeliharaan baby crab di bak dengan memberi substrat pasir setebal ± 5 cm dan shelter berupa tali rafia yang dibuat menyerupai rumput laut (artificial sea weed), sedangkan pemeliharaan di hapa dengan pemberian shelter artificial sea weed. Pemberian pakan ikan rucah sebesar 200 – 300 gram/1000 ekor crab/hari (> 200% berat biomass). Dari kajian didapatkan, hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) belum didapatkan berat baby crab yang diharapkan (< 0,5 gr) sehingga pemeliharaan ditambah menjadi 24 hari (C-29). Hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) tidak ada perbedaan kelulushidupan pada pemeliharaan di hapa maupun di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 atau pun kepadatan 500 ekor/m2. Terdapat perbedaan sangat nyata (P<0,01) pada umur pemeliharaan hingga 24 hari (C-29) terhadap nilai kelulushidupan pemeliharaan baby crab di bak dan di hapa baik dengan kepadatan 250 ekor/m2 maupun dengan kepadatan 500 ekor/m2. Nilai kelulushidupan yang lebih baik dihasilkan pada pemeliharaan di bak sebesar 30,3% pada kepadatan 250 ekor/m2 dan 26,8% pada kepadatan 500 ekor/m2. Dari hasil analisa proximat, baby crab yang dipelihara pada hapa mengandung protein yang lebih tinggi sebesar 27,5% dibandingkan baby crab yang dipelihara di bak sebesar 20,5%. Sedangkan dari tes organoleptik yang dilakukan, tidak ada perbedaan antara baby crab yang dipelihara di hapa maupun di bak terhadap rasa, warna, aroma maupun tekstur. Biaya produksi baby crab di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 sebesar Rp. 135.000/kg merupakan yang termurah dibandingkan yang lainnya.
MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
PRODUKSI BABY CRAB RAJUNGAN DI HAPA DAN BAK TERKENDALI
1. PRODUKSI BABY CRAB RAJUNGAN DI HAPA
DAN BAK TERKENDALI1
Oleh:
Lisa Ruliaty
Maskur Mardjono
Ujang Komarudin
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU
JEPARA
2007
PRODUKSI BABY CRAB RAJUNGAN DI HAPA
1
Makalah dipersentasikan pada Pertemuan Indo Aqua 2007, tanggal 30 Juli – 2 Agustus 2007 di Hotel
Inna Grand Bali Beach, Sanur – Bali.
2. DAN BAK TERKENDALI
Oleh:
Lisa Ruliaty, Maskur Mardjono dan Ujang Komarudin
ABSTRAK
Kajian perekayasaan untuk menghasilkan teknologi produksi baby crab rajungan di
hapa dan bak terkendali telah dilakukan. Pada kajian ini, pemeliharaan benih Crab 5
hingga menghasilkan ukuran berat 1,5 – 1,8 gram (ukuran baby crab) dilakukan dengan 2
perlakuan kepadatan yaitu 250 ekor/m2 dan 500 ekor/m2. Pemeliharaan baby crab di bak
dengan memberi substrat pasir setebal ± 5 cm dan shelter berupa tali rafia yang dibuat
menyerupai rumput laut (artificial sea weed), sedangkan pemeliharaan di hapa dengan
pemberian shelter artificial sea weed. Pemberian pakan ikan rucah sebesar 200 – 300 gram/
1000 ekor crab/hari (> 200% berat biomass). Dari kajian didapatkan, hingga umur
pemeliharaan 14 hari (C-19) belum didapatkan berat baby crab yang diharapkan (< 0,5 gr)
sehingga pemeliharaan ditambah menjadi 24 hari (C-29). Hingga umur pemeliharaan 14
hari (C-19) tidak ada perbedaan kelulushidupan pada pemeliharaan di hapa maupun di bak
dengan kepadatan 250 ekor/m2 atau pun kepadatan 500 ekor/m2. Terdapat perbedaan sangat
nyata (P<0,01) pada umur pemeliharaan hingga 24 hari (C-29) terhadap nilai
kelulushidupan pemeliharaan baby crab di bak dan di hapa baik dengan kepadatan 250
ekor/m2 maupun dengan kepadatan 500 ekor/m2. Nilai kelulushidupan yang lebih baik
dihasilkan pada pemeliharaan di bak sebesar 30,3% pada kepadatan 250 ekor/m 2 dan 26,8%
pada kepadatan 500 ekor/m2. Dari hasil analisa proximat, baby crab yang dipelihara pada
hapa mengandung protein yang lebih tinggi sebesar 27,5% dibandingkan baby crab yang
dipelihara di bak sebesar 20,5%. Sedangkan dari tes organoleptik yang dilakukan, tidak ada
perbedaan antara baby crab yang dipelihara di hapa maupun di bak terhadap rasa, warna,
aroma maupun tekstur. Biaya produksi baby crab di bak dengan kepadatan 250 ekor/m 2
sebesar Rp. 135.000/kg merupakan yang termurah dibandingkan yang lainnya.
Kata Kunci : Baby crab rajungan, hapa, bak terkendali.
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Rajungan (Portunus pelagicus Linn) termasuk dalam klas Krustase, famili
Portunidae, penyebarannya meliputi perairan Indo-Pasifik. Rajungan banyak
ditemukan pada daerah dengan kondisi perairan yang sama seperti Kepiting Bakau
(Scylla serrata). Rajungan dikenal dengan nama blue swimming crab atau Kepiting
Pasir dan merupakan hasil samping dari tambak tradisional pasang surut di Asia
(Cowan, 1992 dalam Susanto et al., 2005).
Rajungan merupakan komoditas perikanan yang banyak diminati, memiliki
nilai ekonomis tinggi dan mulai dikembangkan pembudidayaannya. Rajungan telah
banyak diekspor di berbagai negara dalam bentuk rajungan segar maupun olahan,
dimana rajungan segar banyak diminta oleh negara Singapura dan dalam bentuk beku
ke negara Jepang dan Amerika. Informasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan, Jawa
3. Tengah bahwa rajungan pada tahun 2003 masih mendominasi nilai ekspor hasil
perikanan. Sampai Juni 2003 nilai ekspornya sekitar 7,4 juta dolar AS. Komoditas
rajungan merupakan komoditas ekspor urutan ketiga dalam arti jumlah, setelah udang
dan ikan. Sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan
hasil tangkapan dari laut, sehingga akan mempengaruhi populasi di alam (Susanto et
al., 2005).
Selain rajungan ukuran konsumsi sebagai komoditas ekspor unggulan. Dewasa
ini rajungan ukuran kecil (berat ± 1,8 gram/ekor) telah menjadi jenis makanan baru
yang banyak di minati oleh orang Jepang sebagai camilan ketika minum sake. Hal ini
menjadi peluang baru dalam usaha budidaya rajungan. Namun peluang ini, belum
diikuti dengan teknologi untuk memproduksi baby crab rajungan tersebut dalam skala
massal. Salah satu kendala dalam pengembangan teknologi pemeliharaan baby crab
rajungan adalah rendahnya tingkat kelangsungan hidup. Berdasarkan data
pemeliharaan di bak tanpa pemberian substrat, tingkat kelangsungan hidup Crab 10
hingga Crab 30 hanya sebesar 30% dengan kepadatan 10 ekor/m2 (Ruliaty, 2005).
Rajungan dikenal sebagai hewan omnivora yang cenderung bermusuhan dan
memangsa organisme sejenis. Variasi ukuran (besar-kecil), kondisi molting, atau
keterbatasan suplai pakan akan merangsang terjadinya kanibalisme, yang pada
akhirnya meningkatkan mortalitas. Pakan merupakan komponen utama yang
dibutuhkan oleh rajungan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhannya.
Kelengkapan nutrisi dalam pakan mutlak diperlukan untuk menjaga agar
pertumbuhan rajungan dapat berlangsung secara normal. Kebutuhan nutrisi yang
meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral untuk pertumbuhan ikan
berbeda menurut jenis dan ukurannya (Nur dan Zaenal, 2004).
Perekayasaan produksi massal baby crab rajungan relatif masih baru,
teknologi yang dihasilkan berupa kajian perekayasaan yang masih terus
dikembangkan. Di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara kajian
teknologi produksi baby crab rajungan terus dilakukan sampai sekarang. Tingkat
kelulushidupan yang dihasilkan diharapkan akan terus mengalami kenaikan dengan
perbaikan pada teknik pemeliharaan yang dilakukan.
Perekayasaan pada produksi baby crab rajungan, saat ini dibatasi pada
pemeliharaan di hapa dan bak terkendali dengan harapan dapat memberdayakan bak
serta tambak idle, ke depan tidak menutup kemungkinan bahwa produksi baby crab
akan dilakukan di tambak pembesaran. Sehingga produksi baby crab akan menjadi
alternatif usaha lain yang menguntungkan, selain pembenihan dan pembesaran
rajungan.
2. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memperkenalkan dan memberikan pemahaman
serta pengetahuan teknis dan ekonomis bagi masyarakat mengenai alternatif usaha
yaitu produksi baby crab rajungan.
4. II. BAHAN DAN METODE
1. Bahan dan Alat
Adapan bahan yang dipergunakan pada pemeliharaan baby crab rajungan
adalah sebagai berikut:
Benih rajungan Crab 5
Ikan Rucah
Pasir laut
Air laut
Untuk peralatan yang dipergunakan antara lain:
Bak semen ukuran 3 x 7 x 1 m
Hapa net (mesh size 1 x 1 mm) berukuran 2 x 2 m
Tali rafia yang dibuat menyerupai rumput laut (artificial sea weed)
Mesin giling
Gunting dan pisau
Peralatan pengukuran parameter kualitas air
2. Metode
Untuk mendapatkan teknik serta kondisi biologis pada produksi baby crab
rajungan sehingga menjadi informasi dalam pelaksanaan kajian pemeliharaan,
dilakukan beberapa kajian pendahuluan antara lain:
1. Pengamatan terhadap laju moulting harian pada Crab 5 – 20.
2. Pengaruh frekuensi pemberian pakan segar terhadap sintasan benih C-5
hingga C-30 (baby crab).
3. Pengamatan terhadap sintasan benih hingga C-19 dengan kepadatan tinggi
pada bak dan hapa tanpa substrat dan shelter.
4. Pengaruh jenis substrat terhadap sintasan dan pertumbuhan benih rajungan
C-5 hingga C-30
Kemudian dilakukan kajian pemeliharaan benih rajungan dari Crab 5 hingga
mencapai ukuran baby crab (ukuran berat 1,5 – 1,8 gram) dengan 2 perlakuan
kepadatan yaitu 250 ekor/m2 dan 500 ekor/m2. Pemeliharaan dilakukan di hapa dan
bak. Benih Crab 5 yang dipakai merupakan hasil dari pembenihan rajungan BBPBAP
Jepara, dengan berat rata-rata 0,005 gram/ekor (5 mg/ekor). Pemeliharaan baik di
hapa maupun di bak dilakukan dengan 3x ulangan waktu.
Untuk pemeliharaan di bak dilakukan pada bak yang berukuran 3 x 7 x 1 m,
dengan dasar bak diberi substrat pasir setebal 5 cm dan pemberian shelter dari tali
rafia yang dibuat menyerupai rumput laut (artificial sea weed), ketinggian air pada
bak pemeliharaan sebesar 40 – 60 cm. Pemeliharaan di hapa, menggunakan hapa yang
berukuran 2 x 2 m, dengan pemberian shelter artificial sea weed, hapa dipasang pada
tambak tandon KPRI Budidaya Mina tanpa persiapan khusus seperti pada tambak
pembesaran udang maupun rajungan.
Pemberian pakan segar berupa ikan rucah diberikan 2x sehari (pagi dan sore
hari) sebanyak 200 – 300 gr/1000 Crab/hari (>200% berat biomass). Pada 10 hari
pertama pemeliharaan ikan rucah yang diberikan dihaluskan dengan cara digiling
menggunakan mesin giling dan pada pemeliharaan selanjutnya ikan rucah yang
diberikan dipotong kecil-kecil menggunakan gunting. Penggantian air sebesar 100%
5. pada pemeliharaan baby crab di bak dilakukan 2 hari sekali dengan sistem air
mengalir.
Sampling terhadap berat benih dilakukan seminggu setelah pemeliharaan
(C-12) dan dari data berat tersebut dilakukan konversi untuk menghitung kebutuhan
pakan. Sedangkan sampling total terhadap kelulushidupan dan berat baby crab
dilakukan setelah umur pemeliharaan 14 hari (C-19) dengan harapan ukuran berat
baby crab telah didapatkan (berat 1,5 – 1,8 gr/ekor) dan juga dapat menghasilkan
kelulushidupan >50% yang akan berpengaruh terhadap produksi nantinya. Selain itu
juga dilakukan pengukuran parameter kualitas air serta identifikasi dan penghitungan
plankton yang ditemukan pada tambak tandon yang dipergunakan. Hasil akhir berupa
baby crab rajungan yang dipelihara di hapa maupun pada bak, selanjutnya dilakukan
analisa proximat dan test organoleptik (uji kesukaan).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Produksi Baby Crab Rajungan di Hapa dan Bak Terkendali
Dari kajian pendahuluan yang dilakukan didapatkan bahwa :
1. Benih rajungan C-5 hingga C-10 akan moulting 1 – 2 hari setiap ekornya dengan
periode waktu moulting yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya
sehingga memicu terjadinya pemangsaan sesama jenisnya. Hal inilah yang
menyebabkan kehilangan yang besar pada fase tersebut.
2. Terjadi penambahan berat dan lebar karapas sebesar 35% dari ukuran awal setiap
kali moulting, dengan periode moulting yang lebih sering terjadi pada malam hari
(50% lebih sering dibandingkan pada siang hari).
3. Selain itu juga didapatkan bahwa frekuensi pemberian pakan tidak memberikan
pengaruh terhadap kelulushidupan benih pada C-5 hingga C-30, dimana
pemberian pakan yang dilakukan 3x akan memberikan sintasan yang lebih baik
dibandingkan pemberian pakan 2x.
4. Jenis substrat tidak memberikan pengaruh terhadap sintasan namun memberikan
pengaruh terhadap pertumbuhan benih. Jenis substrat dengan kandungan
persentase pasir yang lebih tinggi akan menunjang kehidupan dan pertumbuhan
benih lebih baik karena substrat pasir memiliki sirkulasi air dan udara yang baik
sehingga air dan udara bergerak melalui ruang pori-pori pada substrat pasir jadi
penyediaan air dan oksigen dapat berjalan dengan baik (Hakim et al., 1986).
5. Pemberian substrat pasir dan shelter mutlak diperlukan pada pemeliharaan benih
rajungan untuk mengurangi kehilangan akibat kanibalisme. Tanpa pemberian
substrat pasir sintasan benih yang dihasilkan pada C-19 dengan kepadatan 250
ekor/m2 dan 500 ekor/m2 hanya sebesar 13,8 % dan 10,3 %.
6. Pemberian pakan ikan rucah sebanyak 50 – 100 gram/1000 Crab/hari tidak
mampu meningkatkan sintasan benih hingga 50 % pada pemeliharaan benih di
hapa. Sehingga perlu peningkatan jumlah pakan yang diberikan pada
pemeliharaan selanjutnya.
Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kajian pendahuluan tersebut,
kemudiannya dilakukan pemeliharaan benih rajungan pada Crab-5 hingga mencapai
ukuran baby crab seperti yang sudah dijabarkan pada metode. Frekuensi pemberian
6. pakan sebanyak 2x pada pagi dan sore hari didasarkan pada efisiensi waktu, ke depan
tidak menutup kemungkinan frekuensi pemberian pakan dilakukan sebanyak 3x
dengan pemberian pagi, sore dan malam hari untuk lebih dapat meningkatkan nilai
sintasan benih hingga menjadi baby crab.
Dari kajian pemeliharaan benih rajungan dari C-5 hingga C-19 (2 minggu
pemeliharaan) dengan 3x ulangan waktu didapatkan bahwa tidak ada pengaruh (tidak
berbeda nyata) antara kepadatan 250 ekor/m2 dan 500 ekor/m2 pada pemeliharaan
benih di bak maupun di hapa hingga C-19 terhadap kelulushidupan benih.
Kelulushidupan benih tertinggi dihasilkan pada pemeliharaan dengan kepadatan 250
ekor/m2, dimana pada hapa sebesar 55,5 % ± 3,1 dan pada bak sebesar 55,0 ± 0,2.
Kemudian pada kepadatan 500 ekor/m2 didapatkan kelulushidupan pada
pemeliharaan di hapa sebesar 37,7% ± 2,0 dan di bak sebesar 40,0 ± 0,3 (Grafik 1).
70.0
Kelulushidupan pada C-19
60.0 55.5 55.0
50.0
37.7 40.0
40.0 Hapa
30.0 Bak
20.0
10.0
0.0
250 500
Kepadatan (ekor/m2)
Gambar 1. Grafik Kelulushidupan benih pada C-19 (2 minggu
pemeliharaan).
Berat yang didapatkan pada C-19 sebesar 0,14 gram ± 0,05 pada
pemeliharaan di hapa dan berat 0,28 gram ± 0,10 (lihat Tabel 1) pada pemeliharaan
di bak belum layak untuk dikatakan sebagai baby crab sehingga pemeliharaan di
lanjutkan lagi selama seminggu.
Tabel 1. Rata-rata Berat Benih Rajungan (gram)
Umur Berat (gram)
Pemeliharaa
n Hapa Bak
C-5 0.005 ± 0.001 0.005 ± 0.001
C - 12 0.022 ± 0.005 0.029 ± 0.006
C - 19 0.143 ± 0.027 0.282 ± 0.052
C - 29 1.700 ± 0.250 1.650 ± 0.247
Pada umur pemeliharaan hingga C – 29 (3 minggu pemeliharaan), didapatkan
bahwa pemeliharaan dengan kepadatan 250 ekor/m2 maupun kepadatan 500 ekor/m2
memberikan pengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kelulushidupan benih.
Kelulushidupan yang lebih baik dihasilkan pada kepadatan 250 ekor/m2 baik pada
7. pemeliharaan di hapa sebesar 22,3% ± 0,5 dan di bak sebesar 30,3% ± 0,3.
Sedangkan pada kepadatan 500 ekor/m2 didapatkan kelulushidupan benih hingga C –
29 pada pemeliharaan di hapa sebesar 16,3 ± 0,9 dan di bak sebesar 20,8% ± 0,7.
(Grafik 2).
35.0
Kelulushidupan pada C-29
30.3
30.0 26.8
25.0 22.3
20.0 16.3 Hapa
15.0 Bak
10.0
5.0
0.0
250 500
Kepadatan (ekor/m2)
Gambar 2. Grafik Kelulushidupan Benih hingga C – 29 (3 minggu
pemeliharaan.
Pemeliharaan baby crab hingga C – 29 memberikan nilai kelulushidupan yang
lebih tinggi baik pada kepadatan 250 ekor/m2 maupun pada kepadatan 500 ekor/m2
bila dibandingkan dengan pemeliharaan yang dilakukan di hapa. Berat ideal untuk
bisa dipanen sebagai baby crab dapat dicapai pada umur pemeliharaan C – 29 (3
minggu pemeliharaan) dengan berat rata-rata sebesar 1,70 gram pada pemeliharaan di
hapa dan berat rata-rata sebesar 1,65 gram pada pemeliharaan di bak (lihat Tabel 1).
Terjadi kehilangan sebesar 58% pada pemeliharaan di hapa dari umur C – 19
hingga C – 29, sedangkan pada pemeliharaan di bak terjadi kehilangan sebesar 39%.
Besarnya nilai kehilangan benih selama seminggu pemeliharaan diduga diakibatkan
karena kanibalisme antar sesamanya, dimana dari kajian pendahuluan diketahui
bahwa moulting pada Crab 5 – Crab 30 terjadi hampir setiap hari sehingga
meningkatkan kanibalisme. Selain itu, di duga tidak tersedianya pakan pada malam
hari yang frekuensi moulting sering terjadi turut memberi pengaruh terjadinya
kehilangan benih yang besar.
Rajungan merupakan hewan omnivora yang cenderung memangsa sejenis.
Variasi ukuran, kondisi molting atau keterbatasan suplai pakan akan merangsang
terjadinya kanibalisme yang akhirnya akan meningkatkan mortalitas. Menurut
Marshal et al. (2005), kanibalisme tinggi terjadi pada saat rajungan mencapai stadia
crab, dimana salah satu penyebabnya adalah proses molting yang merupakan siklus
biologi pada hewan krustacea. Molting selalu menyebabkan kondisi tubuh lemah dan
lunak dan pada saat kondisi ini merangsang individu lain untuk memangsanya. Untuk
mengatasi kanibalisme dapat menggunakan shelter atau pelindung sebagai tempat
untuk berlindung pada saat kondisi lemah, juga dapat memperluas permukaan media
hidup sehingga peluang bertemu antar individu dapat diperkecil. Dengan demikian
peluang saling kontak fisik yang dapat berakibat terjadinya kanibalisme dapat
dikurangi. Selain shelter, pemberian pakan yang cukup dan optimal diharapkan dapat
mengurangi tingkat kanibalisme meskipun tidak menjamin sepenuhnya. Pakan yang
8. diberikan dapat berupa pakan segar seperti ikan rucah, tetapi masalah yang terjadi
adalah pemanfaatan pakan yang tidak sama antar individu sehingga ukuran pada umur
yang sama menjadi tidak sama.
B. Analisa Proximat
Hasil analisa proximat terhadap hasil akhir berupa baby crab menunjukkan
bahwa nilai protein yang lebih tinggi pada pemeliharaan baby crab yang dilakukan di
hapa sebesar 27,53% dibandingkan baby crab yang dipelihara di bak sebesar 20,47%
(Tabel 2). Lebih tingginya kandungan protein baby crab yang dipelihara di hapa
tambak di duga karena lebih bervariasinya plankton yang ditemukan serta udang kecil
(jambret) dan ikan-ikan kecil yang masuk ke dalam hapa sebagai pakan tambahan
bagi baby crab yang dipelihara. Dari hasil identifikasi plankton yang ditemukan di
dapatkan jenis plankton dari klas Chlorophyceae (jenis Chlorella sp) mendominasi
pada perairan tambak tersebut dan plankton dari klas Baccillariaceae (9 jenis), Ciliata
(1 jenis) dan Dinoflagellata (1 jenis).
Tabel 2. Hasil analisa Proximat
Hasil Analisis
Asal Kadar Kadar Protein Lem Serat BETN
Baby Air (%) Abu (%) (%) ak (%) (%)
Crab (%)
Hapa 15.73 29.62 27.53 2.58 3.39 21.15
Bak 14.97 28.73 20.47 2.57 2.9 30.36
C. Tes Organoleptik (Uji Kesukaan)
Dari hasil penyebaran formulir uji kesukaan terhadap sampel baby crab yang
telah di olah sehingga siap dimakan (snack baby crab) didapatkan bahwa tidak ada
perbedaan antara baby crab yang dipelihara di hapa maupun yang dipelihara di bak
terhadap rasa, aroma, warna, tekstur maupun penampakannya.
Sebagian besar responden (35% - 50%) memberi nilai 5 (suka) terhadap
parameter rasa, aroma, warna dan tekstur serta penampakan dari snack baby crab yang
disajikan. Dimana skor penilaian menunjukkan angka (1) sangat tidak suka, (2) tidak
suka, (3) agak tidak suka, (4) agak suka, (5) suka, (6) sangat suka dan (7) amat sangat
suka (Gambar 3 – Gambar 7).
9. 35.0
50.0
30.0
40.0
25.0
Persentase (%)
30.0 Bak
20.0 Bak
Persentase (%)
20.0 Hapa
15.0 Hapa
10.0
10.0
5.0 0.0
0.0 1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6 7 Nilai kesukaan terhadap Aroma
Nilai Kesukaan terhadap Rasa
Gambar 3. Grafik nilai kesukaan terhadap Gambar 4. Grafik nilai kesukaan terhadap
rasa aroma
50.0
40.0
40.0
30.0
Persentase (%)
Bak
Persentase (%)
30.0 Bak
20.0
Hapa 20.0 Hapa
10.0
10.0
0.0
1 2 3 4 5 6 7 0.0
1 2 3 4 5 6 7
Nilai kesukaan terhadap Warna
Nilai kesukaan terhadap Tekstur
Gambar 5. Grafik nilai kesukaan Gambar 6. Grafik nilai kesukaan terhadap
terhadap warna tekstur
40.0
Persentase (%)
30.0
Bak
20.0
Hapa
10.0
0.0
1 2 3 4 5 6 7
Nilai Kesukaan terhadap Penampakan
Gambar 7. Grafik nilai kesukaan terhadap penampakan
D. Biaya Produksi
Dari penghitungan terhadap komponen pakan (ikan rucah) dan biaya benih
pada crab 5, didapatkan bahwa biaya produksi untuk menghasilkan sebanyak 1 kg
baby crab di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 memberikan biaya yang paling
murah dibandingkan yang lainnya (Tabel 3). Dimana biaya pembelian benih crab 5 di
10. hitung sebesar @Rp.50,- dan pakan ikan rucah Rp.5.000/kg sedangkan berat akhir
baby crab sebesar 1,8 gram/ekor.
Tabel 3. Biaya produksi baby crab di hapa dan bak.
Kepadatan SR Biaya Biaya
2 2
Awal akhir Produksi/m Total produksi/m produksi/kg
(ekor/m2) (%) (gram) pakan (kg) (Rp) (Rp)
Hapa
250 22,3 100,35 1,2 18.000 184.355
500 16,3 146,70 2,4 37.000 252.215
Bak
250 30,3 136,35 1,2 18.500 135.680
500 26,0 234,00 2,4 37.000 158.120
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari kajian produksi baby crab yang dilakukan dapat disimpulkan
beberapa hal:
1. Hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) belum didapatkan berat baby crab
yang diharapkan (< 0,5 gr) sehingga pemeliharaan ditambah menjadi 24 hari
(C-29).
2. Sampai umur pemeliharaan 14 hari (C-19) tidak ada perbedaan kelulushidupan
pada pemeliharaan di hapa maupun di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 atau
pun kepadatan 500 ekor/m2. Namun, pada umur pemeliharaan hingga 24 hari
(C-29) terdapat perbedaan sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai kelulushidupan
pemeliharaan baby crab di bak dan di hapa baik dengan kepadatan 250 ekor/
m2 maupun dengan kepadatan 500 ekor/m2.
3. Nilai kelulushidupan yang lebih baik dihasilkan pada pemeliharaan di bak
sebesar 30,3% pada kepadatan 250 ekor/m2 dan 26,8% pada kepadatan 500
ekor/m2.
4. Dari hasil analisa proximat, baby crab yang dipelihara pada hapa mengandung
protein yang lebih tinggi sebesar 27,5% dibandingkan baby crab yang
dipelihara di bak sebesar 20,5%.
5. Sedangkan dari tes organoleptik yang dilakukan, tidak ada perbedaan antara
baby crab yang dipelihara di hapa maupun di bak terhadap rasa, warna, aroma
maupun tekstur.
6. Biaya produksi baby crab di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 sebesar Rp.
135.000/kg merupakan yang termurah dibandingkan yang lainnya.
B. Saran
Perlu dilakukan kajian lebih mendalam dengan menambah frekuensi
pemberian pakan hingga 3x sehari sehingga diharapkan dapat meningkatkan nilai
kelulushidupan benih hingga menjadi baby crab. Peningkatan kelulushidupan pada
produksi baby crab hingga >50% dapat mengurangi biaya produksi perkg baby crab
11. yang dihasilkan. Hal ini, kedepannya akan menjadikan produksi baby crab sebagai
alternatif usaha baru yang lebih menguntungkan bagi masyarakat.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kapada rekan-rekan
di tim rajungan (Sdr. Nur Hamid, Rudi Prastowo dan Jasmo) atas kerjasama yang
solid selama ini di dalam pengembangan teknologi rajungan di produksi pembenihan
maupun di produksi baby crab. Serta kepada Sdr.Agus Basyar yang membantu di
dalam pengemasan produk akhir (snack baby crab).
Daftar Pustaka
Hakim, N.Yusuf, Lubis, Sutopo, Amin,D. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Badan
Penerbit Universitas Lampung. 448 hal.
Marshall, S., Kevin.W, Brian P. and David. M. 2005. Cannibalism in Juvenile Blue
Swimmer Crabs Portunus pelagicus: effect of body size, moult stage and refug
availability. Applied Animal Behaviour Science No.90 (2005) 65 – 82.
Nur, Abidin dan Z.Arifin. 2004. Nutrisi dan Formulasi Pakan Ikan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. BBPBAP Jepara. Hal 2 – 40.
Ruliaty, L., M. Mardjono dan R. Prastowo 2005. Pertumbuhan dan Sintasan Juvenile
Rajungan pada Bak Terkendali. Prosiding Pertemuan Lintas UPT Payau dan
Laut di Makasar tgl 2 – 5 Juli 2005. Dirjen Perikanan Budidaya DKP.
Susanto, Bambang, I.Setyadi, Heyanti dan A.Hanafi, 2005. Pedoman teknis Teknologi
Perbenihan Rajungan (Portunus pelagicus). Pusat Riset Perikanan Budidaya.
Jakarta. Hal. 2-17.