Hadis Arbain ke-7 membahas pentingnya nasihat dalam agama Islam. Nasihat diperuntukkan untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan manusia pada umumnya. Nasihat memiliki peran besar sebagai penopang agama Islam agar nilai-nilainya terus termanifestasi dalam kehidupan umat.
1. Hadits Arbain ke-7 : Agama Adalah Nasihat
▬▬•◇✿◇•▬▬
بِسْمِِ ب
ِ ه
ِ بِرَّحْمهن ِ لا َّر حِمي
ا
لْحَمْح ُ ا
ّ ٰ ّ
ِ احَِّّي ُ مهدٰىْما اُِمِ ّاى همم ما هيدلا امَّّْمتحامدّ ا
َ م
ْ حَم احنمُ مهدٰىْما ا
ل ٰ
ُ ا
ا
لا م
صيَل ُ ما ا
لا م
صيَل ُ ما عملمى اّش مرحفمِ اَّهمبّيحام ُ حامابّلمْ حرلَي ُ ما ، مهدّيبّيما مهدّيحبّيمن ما اُْيَمْيلم عملمى ما ا
ِّّ ِ ا
ّيْحمب ماا
ِّ حامابَّمَينحمِ ،
احامم ما احبلامَّيمْ اُهنمَلنحّنٍّ عم ّى اّا حَمِ اّحاِّيْ ُ ، هيممِ ا
لْحَمٍ
ا
ّي مِّ ُ رحا مرحف احيّ اّ
ِّحْمب احيّ حّريَلمِ ما احَّ ّ
رحممِ احاللُنح ما ا
ُامْحةلى احاّم احيّاهمَلّ احَلامةحومِ احيّ حَمْ
Nasihat secara bahasa berasal dari kata an-nushu yang berarti al-khulush (murni). Secara
istilah, nasihat ialah suatu ungkapan untuk menyatakan keinginan berbuat baik kepada orang
yang dinasihati.
Allah SWT mensyariatkan kaum Muslimin untuk saling menasihati, sebagaimana tertulis dalam
firman-Nya: ''... dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya
menetapi kesabaran.'' (QS Al-Ashr [103]: 3).
Ayat-ayat lain tentang nasihat juga terdapat dalam Alquran, misalnya, dalam QS Al-A'raf [7]
ayat 62 dan 69.
Surat Al-A’raf Ayat 62
رَّبِبحِّسَّكْمَّ َِّبْسِّلَّ ِّبرَّب َّ َِّأبِنَِِّبنلََّكََّم ِ
بنْسِّلِّمِنكَِِّّ بٱ
ِ ه
ِِرَّببِّحَّكْعَّلب َّ
ُنبَّح
Arab-Latin: Uballigukum risālāti rabbī wa anṣaḥu lakum wa a'lamu minallāhi mā lā ta'lamụn
Artinya: "Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasehat
kepadamu. dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui".
Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI / Surat Al-A’raf Ayat 62
Nabi nuh kemudian menegaskan tugasnya sebagai utusan Allah dengan berkata, aku tak kenal
lelah menyampaikan kepadamu amanat tuhanku, yakni perintah dan larangan-Nya, memberi
nasihat dan tuntunan kepadamu untuk kebahagiaanmu di dunia dan di akhirat, dan aku
mengetahui persoalan agama dan hal-hal yang gaib melalui wahyu dari Allah apa yang tidak
bisa kamu ketahui. Selanjutnya nabi nuh berkata, dan herankah, tidak percayakah, kamu
bahwa ada peringatan yang datang dari tuhanmu melalui perantaraan seorang laki-laki dari
kalanganmu sendiri, yakni dari anggota masyarakatmu yang kamu tahu keturunan dan
kejujurannya, untuk memberi peringatan kepadamu dengan azab apabila kamu ingkar dan agar
kamu bertakwa mengikuti perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, sehingga kamu
mendapat rahmat dari Allah dan terhindar dari siksa-Nya. Tidaklah pantas kamu heran, bahkan
meragukan kebenaran ajaran yang aku bawa setelah datang bukti dan keterangan yang jelas
kepadamu.
Surat Al-A’raf Ayat 69
ْمُكَءۤاَج ْنَا ْمُتْب َِجعَوَا
ُن ِم ْوَق ِدْعَب ْْۢنِم َءۤاَفَلُخ ْمُكَلَعَج ْذِا ا ْْٓوُُركْذاَو ْْۗمُكَِرذْنُيِل ْمُكْنِِّم ٍلُجَر ىَٰلع ْمُكِِّبَّر ْنِِّم ٌْركِذ
ْمُكََاَََّو ٍٍ ْو
َن ْوُحِلْفُت ْمُكَّلَعَل ِ ه
ّٰللا َءَۤ
َلٰا ا ْْٓوُُركْذاَفۚ ًةَطْصَب ِقْلَخْلا ىِف
Terjemahan
Dan herankah kamu bahwa ada peringatan yang datang dari Tuhanmu melalui seorang laki-laki dari
kalanganmu sendiri, untuk memberi peringatan kepadamu? Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu
sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan
perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung. ”
2. Tafsir Ringkas Kemenag RI
Melihat kaumnya masih tidak percaya, Nabi Hud mempertanyakan sikap mereka. Dan herankah,
tidak percayakah, kamu bahwa ada peringatan yang datang, yakni diturunkan dari Tuhanmu melalui
seorang laki-laki dari kalangan masyarakat-mu sendiri, untuk memberi peringatan kepadamu
menyangkut azab yang akan menimpamu karena kedurhakaanmu? Ini bukanlah hal yang pantas
untuk diragukan dan diherankan. Kemudian Nabi Hud mengingatkan mereka dengan nikmat yang
telah Allah berikan. Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah yang berkuasa
setelah kaum Nuh yang telah dibinasakan akibat mendustakan rasulnya, dan Dia lebihkan kamu
dalam kekuatan tubuh dan perawakan sehingga kamu lebih kuat, besar, dan tegar secara fisik,
cerdas, dan memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding umat-umat sebelum kamu. Maka
ingatlah dengan penuh rasa syukur dan kerendahan hati akan nikmat-nikmat Allah yang telah
diberikan kepadamu agar kamu termasuk orang-orang beruntung, memperoleh apa yang kamu
inginkan, sebagai balasan atas segala usaha keras kamu dengan menaati perintah dan menjauhi
larangan Allah.”
Kami (para sahabat) bertanya, ''Untuk siapa?''
Beliau menjawab, ''Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan
manusia pada umumnya.'' (HR Muslim).
Hadis ini sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar, karena di dalamnya terkandung
bahwa tiang agama Islam dan penopangnya adalah nasihat. Dengan adanya nasihat maka
agama Islam akan senantiasa termanifestasi dalam jiwa kaum Muslimin, namun apabila nasihat
itu tidak ada, maka kekurangan akan menimpa kaum Muslimin dalam setiap aspek
kehidupannya.
Bila kita perhatikan pula, dalam hadis di atas terdapat lima peruntukan nasihat, yaitu nasihat
untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan manusia pada
umumnya.
Pertama, nasihat untuk Allah. Maksudnya adalah beriman kepada-Nya, mengesakan-Nya,
menjadikan niat ikhlas semata karena-Nya di dalam mengamalkan perbuatan baik, dan
beribadah kepada-Nya dengan penuh ketaatan dan pengagungan.
Kedua, nasihat untuk kitab-Nya. Maksudnya adalah beriman kepada semua kitab-kitab samawi
(langit) yang diturunkan dari sisi Allah SWT secara global.
Ketiga, nasihat untuk Rasul-Nya (Muhammad). Maksudnya adalah membenarkan
kenabiannya, menaati perintahnya, menjauhi segala larangannya, menghidupkan sunahnya,
memahami, mempraktikkan dan menyiarkannya, serta berakhlak sesuai dengan akhlak beliau
yang mulia.
Keempat, nasihat untuk pemimpin kaum Muslimin. Maksudnya adalah membantu mereka atas
kewajiban yang mereka emban, memberikan masukan, dan mengingatkan tatkala mereka lupa.
Juga mencegah mereka dari perbuatan zalim dengan cara yang baik.
Dan terakhir, nasihat untuk manusia pada umumnya. Maksudnya adalah dengan mengajak
pada kebaikan, menutup aib mereka, dan tidak berbuat ghibah (menggunjing) kepada sesama
manusia. Wallahu a'lam.
3. Agama adalah nasihat. Begitulah hadits ketujuh dari Hadits Arbain An-Nawawiyyah.
ْ
ن َع
َ
و ِهِآلَ
و ِهْي
َ
ل َع ُهللا
ى
َّل َ
ص َّ
ي ِ
ب
َّ
الن
َّ
ن
َ
أ
ُ
ه
ْ
ن َع
َ
اَل َع
َ
ت ُهللا َ
ي ِ
ض َ
ر يِ
ار
َّ
الد ٍ
س ْ
و
َ
أ ِ
نْب ٍ
مْي ِ
م
َ
ت
َ
ةَّي
َ
ق ُ
ر ي ِ
ب
َ
أ
َال
َ
ق ؟ ْ
ن َمِل : ا
َ
ن
ْ
ل
ُ
ق
ُ
ة َ
حْي ِ
ص
َّ
الن ُ
نْي
ِّ
الد َال
َ
ق َ
م
ى
ل َ
س
ِل
ا َع َ
و َ ْ
ي ِ
مِل ْ
س ُالم ِة َّمِئ
َ
ِ
ِل َ
و ِهِل ْ
و ُ
سَ
رِل َ
و ِهِاب
َ
ت ِ
كِل َ
و
ْ
م ِهِت َّم
–
مِل ْ
س ُم ُاه َ
و َ
ر
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk
siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin
kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 55]
Penjelasan Hadits
Sebagaimana kata Al-Khatthabi rahimahullah,
ْ
ْ ِ
َب
َ
الخ
ُ
ة
َ
ادَ
رِإ َ
ي ِ
ه ٍة
َ
ل ْم ُ
ج ْ
ن َع ا َ
هِب ُ َّ
َب َعُي ة َمِل
َ
ك
ُ
ة َ
حْي ِ
ص
َّ
الن
ُ
ه
َ
ل ِ
حْ
و ُ
ص
ْ
ن َم
ْ
لِل
“Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna mewujudkan kebaikan kepada yang
ditujukan nasihat.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:219)
Faedah Hadits
Pertama: Ad-diin dalam hadits maksudnya adalah diin dengan artian agama. Sedangkan ad-
diin lainnya bermakna al-jazaa’ (pembalasan) seperti pada ayat ‘maaliki yaumiddiin’ (Yang
Menguasai Hari Pembalasan).
Kedua: Nasihat itu begitu penting karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya
bagian dari agama.
Ketiga: Bagusnya pengajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyampaikan sesuatu
secara umum (global) terlebih dahulu, lalu menyebutkan rinciannya.
Keempat: Para sahabat haus akan ilmu, apa yang butuh dipahami dengan baik, mereka selalu
menanyakannya agar jelas.
Kelima: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai penyebutan dengan hal terpenting lalu yang
penting lainnya karena beliau menyebutkan nasihat bagi Allah, lalu kitab-Nya, lalu rasul-Nya,
lalu kepada imam kaum muslimin, lalu kepada kaum muslimin secara umum. Sedangkan kitab
Allah didahulukan daripada Rasul, karena kitab itu langgeng, sedangkan Rasul telah tiada.
Namun nasihat kepada keduanya saling terkait.
Keenam: Nasihat bagi Allah mencakup dua hal yaitu:
Mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah.
Bersaksi bahwa Allah itu Esa dalam rububiyah, uluhiyyah, juga dalam nama dan sifat-Nya.
Ketujuh: Nasihat bagi kitab Allah mencakup:
Membela Al-Qur’an dari yang menyelewengkan dan mengubah maknanya.
Membenarkan setiap yang dikabarkan tanpa ada keraguan.
Menjalankan setiap perintah dalam Al-Qur’an.
Menjauhi setiap larangan dalam Al-Qur’an.
Mengimani bahwa hukum yang ada adalah sebaik-baik hukum, tidak ada hukum yang sebaik Al-Qur’an.
Mengimani bahwa Al-Qur’an itu kalamullah (firman Allah) secara huruf dan makna, bukan makhluk.
Kedelapan: Nasihat bagi rasul-Nya mencakup:
Ittiba’ kepada beliau, mengikuti setiap tuntunan-Nya.
Mengimani bahwa beliau adalah utusan Allah, tidak mendustakannya, beliau adalah utusan yang jujur dan
dibenarkan.
Menjalankan setiap perintah beliau.
Menjauhi setiap larangan beliau.
Membela syari’atnya.
Mengimani bahwa segala sesuatu yang datang dari beliau sama seperti yang datang dari Allah dalam hal
mengamalkannya.
Membela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidup dan ketika beliau telah tiada, termasuk pula
membela ajaran beliau.
Kesembilan: Imam kaum muslimin itu ada dua macam. Yang pertama adalah ulama rabbaniyyun yang
mewarisi ilmu, amal, akhlak, dan dakwah dari nabi. Yang pertama inilah ulil amri hakiki. Yang kedua
adalah penguasa yang melaksanakan syari’at Allah, mereka terapkan pada diri mereka dan pada para
hamba Allah.
Kesepuluh: Nasihat kepada ulama kaum muslimin mencakup:
Mencintai mereka.
Menolong mereka dalam menjelaskan kebenaran seperti dengan menyebarkan tulisan dan karya para
ulama.
4. Membela kehormatan mereka.
Meluruskan kesalahan mereka dengan cara yang baik.
Mengingatkan mereka dalam kebaikan dengan mengarahkan cara yang pas ketika menyampaikan
dakwah kepada yang lain.
Kesebelas: Nasihat kepada penguasa mencakup:
Meyakini mereka adalah pemimpin.
Menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka kepada rakyat sehingga membuat rakyat mencintainya dan ia
bisa menjalankan kepemimpinan dengan baik. Hal ini jauh berbeda jika yang disebar adalah aib-aib
penguasa.
Menjalankan perintah dan menjauhi setiap hal yang dilarang dari penguasa selama bukan dalam rangka
bermaksiat kepada Allah karena tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Allah. Sedangkan kalau maksiat itu dilakukan oleh diri penguasa itu sendiri (mereka zalim), tetaplah
mereka ditaati dalam perintahnya, bukan dalam mengikuti maksiat yang mereka lakukan.
Menutup aib mereka sebisa mungkin, bukan mudah-mudahan menyebarnya. Namun tetap ada nasihat
langsung kepada mereka atau lewat orang-orang yang dekat dengan mereka, tanpa mesti diketahui
orang banyak.
Tidak boleh memberontak kepada mereka kecuali melihat ada kekufuran yang nyata dengan dalil pasti
dan ada kemaslahatan yang besar.
Keduabelas: Dalam masyarakat Islam, pemimpin atau penguasa mesti ada, baik yang memimpin
masyarakat banyak maupun masyarakat yang lebih khusus.
Ketigabelas: Nasihat kepada orang awam berbeda kepada penguasa.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menasihati sesama muslim (selain ulil amri) berarti adalah
menunjuki berbagai maslahat untuk mereka yaitu dalam urusan dunia dan akhirat mereka, tidak menyakiti
mereka, mengajarkan perkara yang mereka tidak tahu, menolong mereka dengan perkataan dan
perbuatan, menutupi aib mereka, menghilangkan mereka dari bahaya dan memberikan mereka manfaat
serta melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2:35).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata bagaimanakah cara menasihati sesama
muslim, maka beliau katakan hal itu sudah dijelaskan dalam hadits Anas, “Tidaklah sempurna iman
seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri.” Kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, “Nasihat adalah engkau suka jika saudaramu memiliki apa yang kau
miliki. Engkau bahagia sebagaimana engkau ingin yang lain pun bahagia. Engkau juga merasa sakit ketika
mereka disakiti. Engkau bermuamalah (bersikap baik) dengan mereka sebagaimana engkau pun suka
diperlakukan seperti itu.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:400)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan,
ا
ُ ِّ
عَبُوي يهتك ُ
والفاجر ،
ُ
ح َ
ص
ْ
نَوي ُ ُُ
َب ْ
سَي لمؤمن
“Seorang mukmin itu biasa menutupi aib saudaranya dan menasihatinya. Sedangkan orang fajir (pelaku
dosa) biasa membuka aib dan menjelek-jelekkan saudaranya.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1:225)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
اِلرض ي
ف ويسعون ، هللا إَل هللا عباد حببونُوي عباده إَل هللا حببونُي الذين هللا إَل هللا ِ
عباد َّ
أحب
َّ
إن
بالنصيحة
“Sesungguhnya hamba yang dicintai di sisi Allah adalah yang mencintai Allah lewat hamba-Nya dan
mencintai hamba Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasihat kepada lainnya.” (Jaami’ Al-
‘Ulum wa Al-Hikam, 1:224)
Semoga Allah memberikan kita sifat saling mencintai sesama dengan saling menasihati dalam kebaikan
dan takwa.
Kedudukan Hadits Ini:
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang sangat agung kedudukannya, karena dia mencakup
seluruh ajaran agama Islam, entah itu yang berkaitan dengan hak-hak Allah, hak-hak rasul-Nya
maupun hak-hak umat manusia pada umumnya. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh
Shalih Alu Syaikh, hal 54).
Penjelasan Hadits:
«الحاِّيْ ُ ا
لنمْحب ّ
َليد ُ»
“Agama itu nasihat.”
Kata ad-dien dalam bahasa Arab mempunyai dua makna:
1. Pembalasan, contohnya firman Allah ta’ala, َاَمِكِ مَو ْمِ َِلاِّيِن Artinya: “Yang menguasai hari pembalasan“.
(QS. Al-Fatihah [1]: 4)
2. Agama, contohnya firman Allah ta’ala, ِرَم َ
ِتم م
َوَمِ م
ِْوَْ ْ ن م
ِكَِني Artinya: “Dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah [5]: 3)
5. Adapun dalam hadits kita ini, yang dimaksud dengan kata ad-dien adalah: agama (Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal: 135-136).
Kata an-nashihah berasal dari kata an nush-hu yang secara etimologi mengandung dua makna:
1. Bersih dari kotoran-kotoran dan bebas dari para sekutu.
2. Merapatnya dua sesuatu sehingga tidak saling berjauhan.
Adapun definisi an-nashihah secara terminologi dalam hadits ini adalah: Mengharapkan kebaikan
orang yang dinasihati, definisi ini berkaitan dengan nasihat yang ditujukan kepada pemimpin umat
Islam dan rakyatnya. Adapun jika nasihat itu diarahkan kepada Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya,
maka yang dimaksud adalah merapatnya hubungan seorang hamba dengan tiga hal tersebut di
atas, di mana dia menunaikan hak-hak mereka dengan baik.
Dalam memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “agama itu nasihat”, para ulama berbeda
pendapat; ada yang mengatakan bahwa semua ajaran agama Islam tanpa terkecuali adalah
nasihat. Sebagian ulama yang lain menjelaskan maksud dari hadits ini adalah bahwa sebagian
besar ajaran agama Islam terdiri dari nasihat, menurut mereka hal ini senada dengan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« َْىه ُ َا يهدا َ ُ »
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud (II/109 no. 1479), at-Tirmidzi (V/456 no. 3372) dan Ibnu Majah
(V/354 no. 3828), At-Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih, Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, (I/49)
berkata, sanadnya jayyid (bagus), Al-Albani berkata: shahih.)
Juga semisal dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« ْج ُ ن ىرف »
“Haji adalah Arafah.” (HR. At-Tirmidzi (III/228 no. 889), an-Nasai (V/256), Ibnu Majah (IV/477 no.
3015), Ahmad (IV/309) dan Ibn Khuzaimah (IV/257). Al-Albani berkata: shahih.)
Bukan berarti bahwa ibadah dalam agama Islam itu hanya berbentuk doa saja, juga bukan berarti
bahwa ritual ibadah haji hanya wukuf di Arafah saja, yang dimaksud dari kedua hadits adalah:
menerangkan betapa pentingnya kedudukan dua macam ibadah tersebut.
Akan tetapi jika kita amati dengan seksama hal-hal yang memiliki hak untuk mendapatkan nasihat -
yang disebutkan dalam hadits ini- akan kita dapati bahwa betul-betul ajaran agama Islam semuanya
adalah nasihat, tanpa terkecuali. Entah itu yang berkenaan dengan akidah, ibadah, maupun
muamalah. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 54-55)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja tidak langsung menjelaskan dari awal siapa saja yang
berhak mendapatkan nasihat ini, agar para sahabat sendiri yang bertanya untuk siapakah nasihat
itu. Tujuan metode ini -yakni metode melemparkan suatu masalah secara global kemudian setelah
itu diperincikan-, adalah agar ilmu tersebut membekas lebih dalam. Hal itu dikarenakan tatkala
seseorang mengungkapkan suatu hal secara global, para pendengar akan mengharap-harap
perincian hal tersebut, kemudian datanglah perincian itu di saat kondisi jiwa berharap serta menanti-
nantikannya, sehingga membekaslah ilmu itu lebih dalam di dalam jiwa. Hal ini berbeda jika
perincian suatu ilmu sudah disampaikan kepada pendengar sejak awal pembicaraan. (Syarh al-
Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 136)
ده ل ْ: لحيامَّ
Kami(مparaمsahabat)مbertanya,“مHakمsiapaمnasihatمituمwahaiمRasulullah?”
Huruf lam dalamمperkataanمparaمsahabat مَِْاِ fungsinya adalah untuk istihqaq (menerangkan milik
atau hak), yang berarti: nasihat ini haknya siapa wahai Rasulullah? (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah,
oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 55).
هل ْ: هلل , ِ ٍته ك ا, ِ َْ ر ا, َن ئ با َل َل َ ُ تاب اىهم
Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan
rakyatnya (kaum muslimin)”.
Dalam jawaban beliau ini diterangkan bahwa yang berhak untuk mendapatkan nasihat ada lima:
Pertama: Nasihat untuk Allah ta’ala
Nasihat untuk Allah ta’ala artinya: menunaikan hak-hak Allah baik itu hak yang wajib maupun yang
sunnah (Ibid, lihat pula: Ta’dzim Qadr ash-Shalah, karya Muhammad bin Nashr al-Marwazy, II/691-
692).
Hak-hak Allah yang wajib mencakup antara lain:
1.Beriman terhadap rububiyah Allah ta’ala, yang berarti: meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya
Rabb segala sesuatu, satu-satunya pencipta, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan dan
mematikan, Yang mendatangkan manfaat dan melindungi dari marabahaya, Yang mengabulkan
doa, Yang Maha memiliki dan menguasai segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya (Taisir al- ‘Aziz
al-Hamid, oleh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, hal 26).
Allah ta’ala berfirman,
7. Berusaha Menghindari Sumber Pendapatan yang Haram
بِسْمِِ ب
ِ ه
ِ بِرَّحْمهن ِ لا َّر حِمي
ا
لْحَمْح ُ ا
ّ ٰ ّ
ِ احَِّّي ُ مهدٰىْما اُِمِ ّاى همم ما هيدلا امَّّْمتحامدّ ا
َ م
ْ حَم احنمُ مهدٰىْما ا
ل ٰ
ُ ا
ا
لا م
صيَل ُ ما ا
لا م
صيَل ُ ما عملمى اّش مرحفمِ اَّهمبّيحام ُ حامابّلمْ حرلَي ُ ما ، مهدّيبّيما مهدّيحبّيمن ما اُْيَمْيلم عملمى ما ا
ِّّ ِ ا
ّيْحمب ماا
ِّ حامابَّمَينحمِ ،
احامم ما احبلامَّيمْ اُهنمَلنحّنٍّ عم ّى اّا حَمِ اّحاِّيْ ُ ، هيممِ ا
لْحَمٍ
ا
ّي مِّ ُ رحا مرحف احيّ اّ
ِّحْمب احيّ حّريَلمِ ما احَّ ّ
رحممِ احاللُنح ما ا
ُامْحةلى احاّم احيّاهمَلّ احَلامةحومِ احيّ حَمْ
Kebutuhan hidup manusia, kesehariannya dipenuhi melalui interaksi dan transaksi ekonomi. Dalam
berinteraksi dan bertransaksi harus didasari pemahaman terhadap ilmu bermuamalah secara
syariyyah, agar tidak terjerumus ke jalan yang salah.
Pengertian muamalah secara umum yaitu : setiap hubungan antara manusia, pergaulan antara
manusia. Secara khusus, muamalah dimaksudkan untuk transaksi jual beli, hutang piutang dan
transaksi ekonomi lainnya. Hal paling mendasar yang harus dipahami pertama kali sebelum
menjalankan muamalah dalah mentauhidkan Allah. Bahwa dalam berikhtiar mencari rezeki haruslah
didasari niat mengharapkan ridho & barakah dari Allah. Prinsip ini menjadi pondasi yang kuat dan
lurus bagi tahap berikutnya, yaitu memahami dan menerapkan konsep muamalah.
#Allah Ta’ala, berfirman :
ِ
نَّ
ّلل ٰ
َّه ّلل
وَ َّر
ِ
َّ ِ
ق َّ ذو ْ ِ
وَّ
ة
َّ ْ م
َ
تي ّلل ة
َّ
“Sungguh Allah, Dialah pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS.
Az-Zariyat 51: Ayat 58)
# Allah Ta’ala, berfirman : و ّللم ّلل
ذ
م
نم َ
ا
ِ
ََّّ
ّلل
ٍ
ْ
ي ْل
أ م
ر
ّلل م
َّ
ِ
َا ّللل
ّلل
َى
َ
َّه و
ّلل
زق
م
َّ ْل
ر
“Dan tidak ada satupun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya” (Huud: 6)
# Allah Ta’ala, berfirman : و
ّلل
ز
ـ
ا
َ
ُّو
هَ
ا
ّلل
ن
م
اْ
َ
َّ َّوَ ّللم
و
َّ َّوَّ
ِ
َّو
ّلل ٰ
َّه َّ م
ذر
ّلل
و ّلل
ذ و ّللم ّلل
ِ
ّلل
َّ
ّلل
نم َّو
رَ
بٰٓ َّ
م
نَّ ُ م
تي
م
َ ّللْ م
َ
تَم
م
ْ ـم
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang beriman.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 278).
Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak
peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah
mengatakan,
ُءْ
ر َم
ْ
ال ِ
اَلَبُي
َ
ال ان َم
َ
ز ِ
اس
َّ
الن
َ
َّل َع َّ َ
يِت
ْ
أَي
َ
ل
ٍ
امَ
ر َ
ح ْ
ن ِ
م ْ
م
َ
أ ٍ
ل
َ
ال َ
ح ْ
ن ِ
م
َ
أ ، َال َم
ْ
ال
َ
ذ
َ
خ
َ
أ ا َمِب
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta,
apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu).
Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka
yang disebut dalam hadits,
ِ
ار
َ
ين
ِّ
الد
ُ
دْب َع َ
س ِ
ع
َ
ت
ْ
م
َ
ل
َ
ط ْعُي ْ
م
َ
ل
ْ
نِإ َ
و ، َ ِ
ض َ
ر َ ِ
ِط ْع
ُ
أ
ْ
نِإ ، ِة َ
يص ِ
م
َ
خ
ْ
ال َ
و ِة
َ
يف ِ
ط
َ
ق
ْ
ال َ
و ِ
م
َ
ه ْ
ر
ِّ
الد َ
و
َ
ضْ
رَي
“Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian
berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak
rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Sumber https://rumaysho.com/22549-tujuh-dampak-harta-haram.html
8. Apa saja dampak dari harta haram.
Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.
Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,
يَا ي َ
يُّه
َ
ا ال
ين
ا
س ُ ُُ
ل
ُ
ل
ا ي ام َّ
ا ا َّ
ِ
ي اْل
أ َ
ر
َ َ
ُ ا
َ
َل
َ
ل َ
ا يَيِّب
َ
ا ا
َ
َل َ
ا ُُ لََّّي
ا
ُ
َ
ا ا َّ
ُط َ
ُ
ل
ت
ل
ِ اَّ
يش
َ
تََ
ا
ن ُاا ا
ل
ن
ا
هَُّ اَ
ك
ل
م
َ
اَ
ا
ل
و
َ
ٌّ اُِ ِ
يَّ
لا
“Haiاsekalianاmanusia,اmakanlahاyangاhalalاlagiاbaikاdariاapaاyangاterdapatاdiاbumi,اdanا
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuhاyangاnyataاbagimu.”(اQS.اAl-Baqarah: 168)
Hadits Arba'in Nawawiyah ke-6 berisi penjelasan tentang Halal, Haram, dan Syubhat. Syubhat
yaitu antara haram dan halal. Syubhat sebaiknya dihindari atau tidak diamalkan. Rasulullah juga
menerangkan tentang hati (al-qoblu) sebagai penentu perbuatan baik-buruk seseorang.
Hati-hati dengan syubhat dan jaga hatimu.
ِهْي
َ
ل َع ُهللا
ى
َّل َ
ص ِهللا َل ْ
و ُ
س َ
ر
ُ
ت ْع ِ
م َ
س : َال
َ
ق ا َم ُ
ه
ْ
ن َع ُهللا َ
ي ِ
ض َ
ر ٍ
ْ
َب ِ
شَب ِ
نْب ان َم ْع
ُّ
الن ِهللا ِ
دْب َع ي ِ
ب
َ
أ ْ
ن َع
َ
و
َ
و ِهِآل
ُل ْ
و
ُ
قَي َ
م
ى
ل َ
س
َّ
الن َ
ن ِ
م ْ
َبِث
َ
ك َّ
ن ُ
ه ُم
َ
ل ْعَي
َ
ال ات َ
هِب
َ
ت
ْ
ش ُمر ْ
و ُم
ُ
أ ا َم ُ
ه
َ
نْيَب َ
و ِّ
يَب َ
امَ
حر
َ
ال
َّ
نِإ َ
و ِّ
يَب َل
َ
ال َ
الح
َّ
نِإ :
َ
هُب
ُّ
الش
َُ
َ
َّ
ات ِ
ن َم
َ
َ ِ
اس
ِ
د
َ
ق
َ
َ ِ
ات
ي ِ
ف َع
َ
ق َ
و ِ
ات َ
هُب
ُّ
الش ي ِ
ف َع
َ
ق َ
و ْ
ن َم َ
و ِه ِ
ضْ
ر ِع َ
و ِهِنْي ِ
دِل
َ
أَ ْ
َب
َ
ت ْ
اس
ِهْي َِ َع
َ
تْ
رَي
ْ
ن
َ
أ
ُ
ك ِ
ِ ْ
وُي َ
َ ِ
الح َل ْ
و َ
ح
َ
ِْ
رَي ي ِ
ِاَّ
الر
َ
ك ِ
امَ
ر َ
الح
َّ
ال
َ
أ
َ
ح
ُ
ل َ
ص
ْ
ت َ
ح
ُ
ل َ
ص ا
َ
ذِإ
ى
ة
َ
غ
ْ
ض ُم ِ
د َ
س َ
الج ي ِ
ف
َّ
نِإ َ
و
َ
َل
َ
أ
ُ
ه ُمِ
ار َ
ح َم ِهللا َ
َ ِ
ح
َّ
نِإ َ
و
َ
ال
َ
أ ى
َ ِ
ح ٍ
كِل َم ِّل
ُ
كِل
َّ
نِإ ِ
و
ا
َ
ذِإ َ
و
ُ
ه
ُّ
ل
ُ
ك
ُ
د َ
س َ
الج
َ
س َ
الج
َ
د َ
س
َ
َ
ْ
ت
َ
د َ
س
َ
َ
ُ
ب
ْ
ل
َ
الق َ
ي ِ
ه َ
و
َ
َل
َ
أ
ُ
ه
ُّ
ل
ُ
ك
ُ
د
–
اه َ
و َ
ر
يِ
ار
َ
خالب
مِل ْ
سم َ
و
Dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat
perkara syubhat–yang masih samar–yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang
menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.
Barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.
Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir
menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini
adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia
baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah
segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim
no. 1599]
Sumber https://rumaysho.com/17476-hadits-arbain-06-hati-hati-dengan-syubhat-dan-jaga-hati.html
(HR Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Faedah Hadits
Pertama: Ada tiga hukum yang disebutkan dalam hadits di atas, yaitu (1) halal, (2) haram, dan (3) syubhat.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Hukum itu dibagi menjadi tiga macam dan pembagian
seperti ini benar. Karena sesuatu bisa jadi ada dalil tegas yang menunjukkan adanya perintah dan
ancaman keras jika ditinggalkan. Ada juga sesuatu yang terdapat dalil untuk meninggalkan dan terdapat
ancaman jika dilakukan. Ada juga sesuatu yang tidak ada dalil tegas apakah halal atau haram. Yang
pertama adalah perkara halal yang telah jelas dalilnya. Yang kedua adalah perkara haram yang telah jelas
dalilnya. Makna dari bagian hadits “halal itu jelas”, yang dimaksud adalah tidak butuh banyak penjelasan
dan setiap orang sudah memahaminya. Yang ketiga adalah perkara syubhat yang tidak diketahui apakah
halal atau haram.” (Fath Al-Bari, 4: 291).
Sedangkan masalah (problem) dibagi menjadi empat macam:
1. Yang memiliki dalil bolehnya, maka boleh diamalkan dalil bolehnya.
2. Yang memiliki dalil pengharaman, maka dijauhi demi mengamalkan dalil larangan.
3. Yang terdapat dalil boleh dan haramnya sekaligus. Maka inilah masalah mutasyabih (yang masih samar).
Menurut mayoritas ulama, yang dimenangkan adalah pengharamannya.
4. Yang tidak terdapat dalil boleh, juga tidak terdapat dalil larangan, maka ini kembali ke kaedah hukum
asal. Hukum asal ibadah adalah haram. Sedangkan dalam masalah adat dan muamalah adalah halal dan
boleh. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar karya Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri,
hlm. 64)
9. Kedua: Kebanyakan orang tidak mengetahui perkara syubhat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan ‘kebanyakan orang tidak mengetahui perkara tersebut’. Perkaran syubhat ini sering
ditemukan oleh para ulama dalam bab jual beli karena perkara tersebut dalam jual beli amatlah banyak.
Perkara ini juga ada sangkut pautnya dengan nikah, buruan, penyembelihan, makanan, minuman dan
selain itu. Sebagian ulama sampai-sampai melarang penggunaan kata halal dan haram secara mutlak
kecuali pada perkara yang benar-benar ada dalil tegas yang tidak butuh penafsiran lagi. Jika dikatakan
kebanyakan orang tidak mengetahuinya, maka ini menunjukkan bahwa sebagian dari mereka ada yang
tahu. Demikian kami ringkaskan dari perkataan Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 4:291.
Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizahullah mengatakan, “Perkara yang syubhat (samar) itu
muncul karena beberapa sebab, bisa jadi karena kebodohan, atau tidak adanya penelusuran lebih jauh
mengenai dalil syar’i, begitu pula bisa jadi karena tidak mau merujuk pada perkataan ulama yang kokoh
ilmunya.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 63)
Ketiga: Kesamaran (perkara syubhat) bisa saja terjadi pada perselisihan ulama. Hal ini ditinjau dari
keadaan orang awam. Namun kaedah syar’iyah yang wajib bagi orang awam untuk mengamalkannya
ketika menghadapi perselisihan para ulama setelah ia meneliti dan mengkaji adalah ia kuatkan pendapat-
pendapat yang ada sesuai dengan ilmu dan kewara’an, juga ia bisa memilih pendapat yang dipilih oleh
mayoritas ulama. Karena pendapat kebanyakan ulama itu lebih dekat karena seperti syari’at. Dan
perkataan orang yang lebih berilmu itu lebih dekat pada kebenaran karena bisa dinilai sebagai syari’at.
Begitu pula perkataan ulama yang lebih wara’ (mempunyai sikap kehati-hatian), itu lebih baik diikuti
karena serupa dengan syari’at.“ Lihat penjelasan beliau dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-
Mukhtashar karya Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri, hal. 65.
Intinya, kalau orang awam tidak bisa menguatkan pendapat ketika menghadapi perselisihan ulama, maka
hendaknya ia tinggalkan perkara yang masih samar tersebut. Jika ia sudah yakin setelah menimbang-
nimbang dan melihat dalil, maka ia pilih pendapat yang ia yakini.
Keempat: Ada dua manfaat meninggalkan perkara syubhat. Disebutkan dalam hadits, “Barangsiapa yang
menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” Dari
dua faedah ini, Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah mengatakan, “Dari sini menunjukkan bahwa
janganlah kita tergesa-gesa sampai jelas suatu perkara.” Lihat Al-Minhah Ar-Rabbaniyah fii Syarh Al-
Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 106.
Kelima: Hadits ini menunjukkan bahwa jika seseorang bermudah-mudahan dan seenaknya saja memilih
yang ia suka padahal perkara tersebut masih samar hukumnya, maka ia bisa jadi terjerumus dalam
keharaman.
Ibnu Daqiq Al-‘Ied mengatakan bahwa orang yang terjerumus dalam syubhat bisa terjatuh pada yang
haram dilihat dari dua sisi: (1) barangsiapa yang tidak bertakwa pada Allah lalu ia mudah-mudahan
memilih suatu yang masih syubhat (samar), itu bisa mengantarkannya pada yang haram, (2) kebanyakan
orang yang terjatuh dalam syubhat, gelaplah hatinya karena hilang dari dirinya cahaya ilmu dan cahaya
sifat wara’, jadinya ia terjatuh dalam keharaman dalam keadaan ia tidak tahu. Bisa jadi ia berdosa karena
sikapnya yang selalu meremehkan. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, penjelasan Ibnu Daqiq Al ‘Ied,
hlm. 49.
Namun catatan yang perlu diperhatikan, sebagian orang mengatakan bahwa selama masih ada khilaf
(perselisihan ulama), maka engkau boleh memilih pendapat mana saja yang engkau suka. Kami katakan,
“Tidak demikian”. Khilaf ulama tidak menjadikan kita seenaknya saja memilih pendapat yang kita suka.
Namun hendaknya kita pilih mana yang halal atau haram yang kita yakini. Karena jika sikap kita semacam
tadi, dapat membuat kita terjatuh dalam keharaman. Lihat Al-Minhah Ar-Rabbaniyah fii Syarh Al-Arba’in
An-Nawawiyyah, hlm. 107.
Keenam: Jika perkaranya syubhat (samar), maka sepatutnya ditinggalkan. Karena jika seandainya
kenyataan bahwa perkara tersebut itu haram, maka ia berarti telah berlepas diri. Jika ternyata halal, maka
ia telah diberi ganjaran karena meninggalkannya untuk maksud semacam itu. Karena asalnya, perkara
tersebut ada sisi bahaya dan sisi bolehnya.” (Fath Al-Bari, 4:291)
11. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush
sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah
ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-
Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).
Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
ي ِ
ف
َ
ون ُعِ
ار َ
سُي ْ
م ُ
ه
ْ
ن ِ
م اً
َبِث
َ
ك ٰ
ى َ
ر
َ
ت َ
و
َ
ون
ُ
ل َم ْعَي وا
ُ
ان
َ
كا َم َ
س
ْ
ئِب
َ
ل ۚ
َ
ت ْ
ح ُّ
الس ُ
م ِهِل
ْ
ك
َ
أ َ
و ِ
ان َ
و
ْ
د ُع
ْ
ال َ
و ِ
م
ْ
ث ِ
ْ
اْل
وا
ُ
ان
َ
كا َم َ
س
ْ
ئِب
َ
ل ۚ
َ
ت ْ
ح ُّ
الس ُ
م ِهِل
ْ
ك
َ
أ َ
و َ
م
ْ
ث ِ
ْ
اْل ُ
م ِهِل ْ
و
َ
ق ْ
ن َع ُ
ارَب ْ
ح
َ ْ
اِل َ
و
َ
ونُّيِانَّب َّ
الر ُ
م
ُ
اه َ
ه
ْ
نَي
َ
َل ْ
و
َ
ل
َ
ون ُع
َ
ن ْ
صَي
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa,
permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan
perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan
itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan
melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.
Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,
ى
َبِث
َ
ك ِ
ى
اَّلل ِ
يلِب َ
س ْ
ن َع ْ
م ِ
ه
ِّ
د َ
صِب َ
و ْ
م ُ
ه
َ
ل
ْ
ت
ى
ل ِ
ح
ُ
أ ٍ
اتَبِّي
َ
ط ْ
م ِهْي
َ
ل َع ا
َ
ن ْمَّ
ر َ
ح وا
ُ
اد
َ
ه َ
ين ِ
ذ
ى
ال َ
ن ِ
م ٍ
م
ْ
ل
ُ
ظِب
َ
َ
ِّ
الر ُ
م ِ
ه ِ
ذ
ْ
خ
َ
أ َ
و ,
َب
ْ
د
َ
ق َ
و ا
ا ًيمِل
َ
أ اًاب
َ
ذ َع ْ
م ُ
ه
ْ
ن ِ
م َ
ينِ
ر َِا
َ
ك
ْ
لِل ا
َ
ن
ْ
د
َ
ت ْع
َ
أ َ
و ۚ ِ
ل ِ
اطَب
ْ
الِب ِ
اس
َّ
الن َال َ
و ْم
َ
أ ْ
م ِهِل
ْ
ك
َ
أ َ
و
ُ
ه
ْ
ن َع وا ُ
ه
ُ
ن
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-
baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari
jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-
161)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka
menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa
menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal,
berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ
ر ِ
ذِب ا ًاع َ
ر ِ
ذ َ
و ٍ
ْ
َب ِ
شِب اً ْ
َب ِ
ِ ، ا َ
ه
َ
لْب
َ
ق ِ
ون ُ
ر
ُ
ق
ْ
ال ِ
ذ
ْ
خ
َ
أِب ِ
ُ
ب َّم
ُ
أ
َ
ذ
ُ
خ
ْ
أ
َ
ت َُّ
ب َ
ح
ُ
ة َاع َّ
الس ُ
وم
ُ
ق
َ
ت
َ
ال
ٍ
اع
ِ
ى
اَّلل َول ُ
س َ
ر اَي َيل ِ
ق
َ
َ .
َ
سِ
ار
َ
ف
َ
ك
َال
َ
ق
َ
َ . ِ
وم ُّ
الر َ
و
َ
كِئ
َ
ول
ُ
أ
َّ
الِإ ُ
اس
َّ
الن ِ
ن َم َ
و
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah
mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?”
(HR. Bukhari, no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ٍّ
ب
َ
ض ِ
ر ْ
ح ُ
ج ِ
ف وا
ُ
ل
َ
خ
َ
د ْ
و
َ
ل َُّ
ب َ
ح ٍ
اعَ
ر ِ
ذِب ا ًاع َ
ر ِ
ذ َ
و ٍ
ْ
َب ِ
شِب اً ْ
َب ِ
ِ ْ
م
ُ
كِلْب
َ
ق ْ
ن ِ
م َ
ين ِ
ذ
ى
ال َ َ
ي َ
س َّ
ن ُعِب
َّ
ت
َ
ت
َ
ل
ْ
ن َم
َ
َ : َال
َ
ق ى َ
ار َ
ص
َّ
الن َ
و
َ
ود ُ
هَي
ْ
آل ِ
ى
اَّلل َول ُ
س َ
ر اَي ا
َ
ن
ْ
ل
ُ
ق , ْ
م
ُ
وه ُم
ُ
ت ْعَب
َّ
ت
َ
ال
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta
demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -
pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang
diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak
Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.
12. Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api
neraka.
Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,
َ
ةَ
ر ْ
ج ُع َ
نْب ُ
ب ْع
َ
كاَي
ِهِب
َ
َل ْ
و
َ
أ ُ
ار
َّ
الن ِ
ت
َ
ان
َ
ك
َّ
الِإ ٍ
ت ْ
ح ُ
س ْ
ن ِ
م
َ
تَب
َ
ن م ْ
ح
َ
لوُب ْ
رَي
َ
ال
ُ
ه
َّ
نِإ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram
akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
sanad hadits ini hasan).
Kelima: Doa sulit dikabulkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ
ر َم
َ
أ َهللا
َّ
نِإ َ
و ،
ً
باِّي
َ
ط
َّ
الِإ ُلَب
ْ
قَي
َ
ال بِّي
َ
ط َهللا
َّ
نِإ
َ
ن ِ
م ا ْ
و
ُ
ل
ُ
ك ُل ُ
سُّ
الر ا َ
هُّي
َ
أ اَ{ي َال
َ
ق
َ
َ َ ْ
يِل َ
سْ
ر ُالم ِهِب َ
ر َم
َ
أ ا َمِب َ ْ
يِن ِ
م
ْ
ؤ ُالم
ْ
م
ُ
اك
َ
ن
ْ
ق
َ
ز َ
ر ا َم ِ
اتَبِّي
َ
ط ْ
ن ِ
م وا
ُ
ل
ُ
كوا
ُ
ن َآم َ
نْي
ِّ
الذ ا َ
هُّي
َ
أ اَ{ي
َ
اَل َع
َ
ت َال
َ
ق َ
و }ا ً
حِال َ
ص وا
ُ
ل َم ْاع َ
و ِ
اتَبِّي
َّ
الط
ُي َل ُ
جَّ
الر َ
ر
َ
ك
َ
ذ َّ
م
ُ
ث }
ُلْي ِ
ط
َّ
الس
ِ
ذ
ُ
غ َ
و امَ
ر َ
ح
ُ
ه ُ
سَب
ْ
ل َم َ
وامَ
ر َ
ح
ُ
ه ُم َع
ْ
ط َم َ
و ، ِّ
ب َ
ر اَي ِّ
ب َ
ر اَي : ِاء َم َّ
الس
َ
َلِإ ِهْي
َ
دَي
ُّ
د ُمَي َ َ
َب
ْ
غ
َ
أ
َ
ث َع
ْ
ِ
َ
أ َ
ر
َ
ف
َّ
ب
َ
أ
َ
َ ِ
امَ
ر َ
الحِب َ
ي
ه
َ
ل ُ
اب َ
ج
َ
ت ْ
سُي
‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para
Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah
amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman!
Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan
menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram,
bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:
1. Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).
2. Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).
3. Menengadahkan tangan ke langit.
4. Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut
nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan
kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-
Mu), dan lain-lain.
Sumber https://rumaysho.com/22549-tujuh-dampak-harta-haram.html
Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ى
اَّلل
َ
ط
ى
ل َ
س
َ
اد َ
ه ِ
ج
ْ
ال ُ
م
ُ
ت
ْ
كَ
ر
َ
ت َ
و ِ
عْ
ر َّ
الزِب ْ
م
ُ
يت ِ
ض َ
ر َ
و ِ
ر
َ
قَب
ْ
ال َ
اب
َ
ن
ْ
ذ
َ
أ ْ
م
ُ
ت
ْ
ذ
َ
خ
َ
أ َ
و ِة
َ
ين ِ
ع
ْ
الِب ْ
م
ُ
ت ْعَايَب
َ
ت ا
َ
ذِإ
َ
ال
ل
ال
ُ
ذ ْ
م
ُ
كْي
َ
ل َع
َُّ
ب َ
ح
ُ
ه ُعِ
ْ
َبَي
ْ
م
ُ
كِين ِ
د
َ
َلِإ وا ُع ِ
جْ
ر
َ
ت
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk
dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan
meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah
tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no.
3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).
Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِهللا َ
اب
َ
ذ َع ْ
م ِه ِ
س
ُ
ف
ْ
ن
َ
أِب ا ْ
و
ُّ
ل َ
ح
َ
أ
ْ
د
َ
ق
َ
َ ٍةَي ْ
ر
َ
ق ي ِ
ف اَب ِّ
الر َ
و
َ
ناِّ
الز َ
ر َ
ه
َ
ظ ا
َ
ذِإ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri
tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no.
1859).
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita rezeki yang halal.
Sumber https://rumaysho.com/22549-tujuh-dampak-harta-haram.html