1. 1
BAGIAN KEDUA
QAWA’IDUL FIQIH
Rasulullah SAW bersabda:
َُّٔإِتَـاِِّٚهاِب ُيَاٌِعَأِها َاٌـَُّٔإَٗ ،٠ََُ٘ َـاً ٕ٥ٔسًِا ٍُّىلِه َاٌـٜهبدازا ٖزٗا .
Sesungguhnya setiap perbuatan adalah tergantung pada niatnya. Dan
sesungguhnya masing-masing individu akan memperoleh apa yang dia
niatkan. (HR. Bukhari)
MATERI QAWA’IDUL FIQHIYYAH
Qa’idah Ke-1
ِصَاكٌَِب ُزًُُِ٘أِهَأَآِد
SETIAP PERKARA TERGANTUNG PADA NIATNYA
a) Di dalam wudhu’ terdapat kewajiban untuk niat. Demikian juga di dalam
mandi besar, shalat dan puasa.
b) Seseorang melakukan perbuatan yang sebenarnya mubah, akan tetapi dia
berkeyakinan bahwasanya perbuatan yang sedang dia lakukan tadi adalah
tidak halal baginya. Semisal: orang yang berhubungan intim dengan
istrinya, akan tetapi dia berkeyakinan bahwa wanita yang dia gauli itu
adalah wanita lain (bukan istrinya), dan ternyata wanita itu adalah istrinya
sendiri, maka hukumnya adalah haram.
c) Jika seseorang makan dan minum dengan diniati untuk memperoleh energi
demi menunaikan ibadah, maka dia akan memperoleh pahala. Sedangkan
jika tidak berniat apapun, maka tidak ada pahala baginya.
d) Orang yang memeras anggur hukumnya tergantung pada tujuannya, apakah
dia bertujuan untuk membuat cuka atau membuat khamar (minuman
keras).
e) Tidak bertegur-sapa atau nyatru (dengan orang tertentu) selama 3 hari
adalah haram jika dia memang berniat demikian, namun jika tidak berniat
nyatru, maka hukumnya tidak haram.
f) Wanita yang tidak memakai wewangian dan perhiasan selama 3 hari
dengan niat sebagai bentuk bela sungkawa atas kematian orang lain (bukan
2. 2
suaminya), maka perbuatan itu adalah haram. Sedangkan jika dia tidak
mempunyai maksud seperti itu, maka hukumnya tidak haram.
g) Si pemiutang (orang yang menghutangi) mengambil harta si penghutang.
Jika si pemiutang bermaksud bahwa uang yang diambil itu sebagai
pelunasan hutang, maka dia tidak dihukum potong tangan. Sedangkan jika
si pemiutang memang berniat untuk mencuri, maka dia terkena hukum
potong tangan.
h) Suami menceraikan istrinya dengan kata-kata kinayah (majaz), semisal;
“Engkau adalah wanita yang kesepian”. Apabila si suami memang
bermaksud menceraikan istrinya, maka jatuhlah thalaq. Sedangkan jika si
suami tidak bermaksud demikian, berarti tidak terjadi thalaq.
Qa’idah Ke-2
ِطِبًُ ِِِٕٚف ُأَطَدِهاَف ،ُِِِّٚٚعَّهتَا ِِِٕٚف ُطَسَتِػُٙ َاًْى
SUATU AMALAN YANG DISYARATKAN ADANYA PENENTUAN NIAT DI DALAMNYA,
MAKA KESALAHAN DI DALAM MENENTUKAN NIAT BISA MEMBATAL AMALAN
TERSEBUT
a) Salah niat di dalam shalat zhuhur dengan menggunakan niat shalat ashar,
atau sebaliknya. Maksudnya: bila seseorang shalat zhuhur dengan niat
shalat ashar, maka shalatnya tidak sah.
b) Tersalah di dalam menentukan kifarat (sumpah) zhihar dengan
menggunakan kiffarat pembunuhan.
c) Salah niat di dalam shalat rawatib zhuhur dengan menggunakan niat shalat
rawatib ashar.
d) Salah niat di dalam shalat ‘Idul Fitri dengan menggunakan niat shalat ‘Idul
Adha, atau sebaliknya.
e) Salah niat di dalam shalat dua roka’at Ihram dengan menggunakan niat
shalat dua roka’at Thawaf, atau sebaliknya.
f) Salah niat di dalam puasa ‘Arafah dengan menggunakan niat puasa
‘Asyuraa’, atau sebaliknya.
3. 3
Qa’idah Ke-3
ََّسض َأَطِخَأَٗ َََُِّٕٚع َاذٔإ ،ّالِِٚصِفَت ُُِِِِٕٚٚعَت ُطَسَتِػُٙ َالَٗ َّٞوٌُِد َُٕه ُضَُّسعَّهتَا ُطَسَتِػُٙ َاً
SUATU AMALAN YANG DISYARATKAN ADANYA PENENTUAN NIAT DI DALAMNYA
SECARA GARIS BESAR, TIDAK SECARA TERPERINCI. JIKA SESEORANG
MENENTUKAN NIAT, KEMUDIAN DIA SALAH NIAT, MAKA BISA MEMBATALKAN
AMALAN ITU
a) Seseorang niat makmum kepada Zaid, ternyata orang yang menjadi imam
itu bernama Umar, maka makmumnya orang itu tidak sah, karena dia tidak
niat makmum kepada Umar. Sebab lainnya adalah dikarenakan dia niat
makmum kepada Zaid, padahal orang yang dia makmumi itu bernama
Umar. Di dalam shalat jama’ah tidak disyaratkan menyebutkan (nama)
imam, akan tetapi yang disyaratkan hanyalah niat jama’ah.
b) Seseorang niat menshalati Bakar, ternyata si jenazah itu bernama Khalid,
atau niat menshalati jenazah laki-laki, padahal jenazah itu adalah wanita,
begitu juga sebaliknya, maka shalat jenazahnya tidak sah. Di dalam shalat
jenazah tidak disyaratkan menentukan (menyebutkan) nama si jenazah,
akan tetapi cukup dengan niat menshalati jenazah saja.
c) Barang siapa menshalati jenazah-jenazah (yang banyak), maka dia tidak
diwajibkan untuk menentukan jumlah mereka di dalam niat shalat. Jika dia
berniat menshalati 10 jenazah, ternyata jumlah jenazah-jenazah tersebut
lebih dari 10 orang, maka orang itu harus mengulangi shalat jenazahnya
secara keseluruhan, karena di antara jenaza-jenazah tersebut terdapat
beberapa jenazah yang ‘dihukumi’ belum dishalati dan tidak jelas siapa
jenazah yang dimaksud.
d) Tidak disyaratkan menentukan jumlah roka’at, apabila seseorang niat
shalat zhuhur dengan menyebutkan 5 atau 3 roka’at, maka shalatnya tidak
sah.
e) Seseorang berniat mengeluarkan zakat untuk harta yang berada di luar
rumahnya (harta ghaib), padahal harta tersebut rusak (tidak ada), maka
zakatnya tidak bisa dialihkan sebagai zakat untuk harta yang berada di
rumahnya (harta hadhir).
4. 4
Qa’idah Ke-4
َأَٗ َََُِّٕٚع َاذٔإ ،ّالِِٚصِفَت َالَٗ َّٞوٌُِد َُٕه ُضَُّسعَّهتَا ُطَسَتِػُٙ َال َاًَُّسضَٙ ٍَِه َأَطِخ
SUATU AMALAN YANG TIDAK MENYARATKAN ADANYA SUATU KETENTUAN
SECARA GARIS BESAR MAUPUN SECARA TERPERINCI. JIKA SESEORANG
MENENTUKAN NIAT, KEMUDIAN DIA SALAH NIAT, MAKA TETAP TIDAK
MEMBATALKAN AMALAN TADI
a) Salah dalam menentukan tempat shalat. Misalnya; seseorang niat shalat
zhuhur di Mesir, padahal dia sedang berada di Makkah, maka shalatnya
tidak batal, karena niatnya sudah dianggap cukup. Sedangkan penyebutan
tempat shalat dalam niat orang tadi, tidak termasuk kategori niat, baik
ditinjau secara garis besar maupun secara terperinci.
b) Kesalahan dalam menentukan waktu shalat, semisal: seseorang yang niat
shalat ashar pada hari kamis, padahal saat itu adalah hari jum’at, maka
shalatnya tetap tidak batal.
c) Kesalahan Imam dalam menentukan makmum yang berada di belakangnya,
semisal; seorang imam niat menjadi imam bagi Zaid, padahal orang yang
makmum di belakangnya adalah Umar, maka shalatnya tidak batal, karena
seorang imam tidak disyaratkan untuk menyebutkan nama makmumnya
serta tidak disyaratkan untuk niat menjadi imam.
Qa’idah Ke-5
ِظِفٖالها َُِِٞٚ َٟوَع ِظِفٖوها ُدِصَاكًَ
MAKSUD SUATU PERNYATAAN DIKEMBALIKAN PADA MAKSUD ORANG YANG
BERBICARA (SI MUTAKALLIM)
a) Jikalau seseorang mempunyai istri yang bernama Thaliq (wanita yang
diceraikan) atau Hurroh (wanita yang dimerdekakan), kemudian si suami
berkata; “Wahai Thaliq!”, maka apabila dia bermaksud untuk menceraikan
istrinya, maka jatuhlah thalaq pada sang istri. Atau dia berkata pada
budaknya; “Wahai Hurroh”, maka apabila dia bermaksud untuk
memerdekakan budaknya, maka si budak menjadi merdeka pada saat itu
juga. Sedangkan jika pernyataan-pernyataan tersebut hanya sekedar
memanggil saja, maka tidak jatuh thalaq pada sang istri dan si budak juga
tidak jadi merdeka.
5. 5
b) Apabila seseorang mengucapkan kata-kata thalaq sebanyak 3 kali tanpa
kata sambung (huruf ‘athaf), maka jika pernyataan itu dimaksudkan sebagai
thalaq tiga, maka jatuhlah thalaq tiga. Sedangkan jika pernyataan itu hanya
dimaksudkan sebagai pengukuhan (taukid) semata, maka hanya jatuh
thalaq satu.
c) Apabila seseorang melafalkan Ayat Al-Qur'an dengan niat sekedar
membaca, maka hukumnya jelas tidak membatalkan shalat. Sedangkan jika
pelafalan Ayat Al-Qur'an dimaksudkan untuk memberi pemahaman kepada
orang lain, maka shalatnya menjadi batal. Sedangkan jika berniat membaca
Ayat Al-Qur'an sekaligus niat memberi pemahaman kepada orang lain,
maka shalatnya tidak batal. Sedangkan jika dia memutlakkan niat, maka
menurut pendapat yang Ashah, shalatnya menjadi batal. Contoh: Melafalkan
Al-Hijr: 46 atau Surat Maryam: 12
(Dikatakan kepada mereka): "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi
aman
ٍَُّٝ٘كِب َبَاتِلِها ِرُخ َاِٚخَٙاَٙ
Hai Yahya! Ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.
d) Apabila seseorang niat dan mengiringinya dengan kalimat ُهللا َ١َاغ ِْٔإ, maka
niatnya menjadi batal jika lafadz itu dimaksudkan sebagai Ta’liq
(penggantungan niat), sedangkan jika lafadz itu dimaksudkan sekedar
untuk mencari barokah, maka niatnya tetap sah. Sedangkan jika dia
memutlakkan niatnya, maka menurut pendapat yang Ashah, niatnya
menjadi batal.
Rasulullah SAW bersabda:
ِِٛف ٍُِكُدَـحَأ ٖمَغ َاذإَٟوَع ِِّبَِٚهَٗ ٖمَّهػا ٔحَسِـطَِٚوَف ،ّـاعِبَاز ََِأ ّاثَالَـث ٟٖوَصَأ ٔزِدَٙ ٍَِوَف ِِٕـتَالَص
ًٍطو ٖزٗا . ََّكَِٚتِضا َاً
“Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu mengenai (jumlah
rokaat) dalam shalatnya, dia tidak mengetahui apakah dia berada dalam
roka’at ke-3 atau ke-4, maka hendaklah dia menyingkirkan keragu-raguan
itu dan meneruskan shalatnya sesuai dengan (jumlah roka'at) yang dia
yakini". (HR. Muslim).
6. 6
Qa’idah Ke-6
َِّّمهػاِب ُيَاصُٙ َال ُِِّٚكَِٚهَا
KEYAKINAN TIDAK BISA DIHILANGKAN OLEH KERAGU-RAGUAN
a) Barang siapa ragu-ragu apakah sudah shalat sebanyak 3 roka’at atau 4
roka’at, maka hendaklah dia meneruskan shalatnya pada roka’at ke-3,
karena memang roka’at itulah yang menjadi keyakinannnya (karena
disebut lebih awal).
b) Barang siapa yakin dalam keadaan suci, dan ragu-ragu sedang berhadats,
maka orang itu dihukumi suci.
c) Barang siapa yakin dalam keadaan berhadats, dan ragu-ragu dalam
keadaan suci, maka orang itu dihukumi berhadats.
Selain qo'idah di atas, sebenarnya ada lagi qo'idah yang mirip dengan
qo'idah ke-6 ini, yaitu:
َِّٕٚكِٚب ٖالٔإ ُعِفَتِسَٙ َال َِّٕٚكِٚب َتَبَث َاً َْإ
Sesungguhnya sesuatu yang ditetapkan dengan keyakinan, tidak bisa
dihilangkan selain dengan keyakinan pula
Qa’idah Ke-7
َاً َٟوَع ََْاك َاً ُ١َاكَب ُىِصَأِهَأََْاك
MENURUT HUKUM ASHAL ADALAH TETAPNYA BERLAKUNYA SESUATU YANG
SUDAH TERJADI DAN MENGABAIKAN PERISTIWA YANG (SEDANG ATAU AKAN)
TERJADI
a) Orang yang makan sahur di penghujung malam, dan dia meragukan
terbitnya fajar, maka puasanya dianggap sah, karena menurut hukum ashal
adalah masih tetapnya waktu malam.
b) Seseorang berbuka puasa di penghujung siang dengan tanpa perhitungan
(ijtihad), dan dia ragu apakah matahari sudah tenggelam atau belum, maka
puasa orang itu dihukumi batal, karena menurut hukum ashal adalah
tetapnya siang.
c) Dua orang suami-istri sudah menjalani rumah tangga mereka dalam
beberapa waktu, kemudian si istri mengaku bahwa dia tidak diberi pakaian
dan nafkah (oleh suaminya), maka perkataan istri ini dibenarkan, karena
7. 7
pakaian dan nafkah merupakan tanggung-jawab suami, dan menurut
hukum ashal, si suami dianggap tidak memberikan pakaian maupun nafkah
kepada istrinya.
d) Dua orang suami istri bersengketa perihal ‘kepatuhan istri kepada suami
(tamkiin)’, maka pernyataan yang dibenarkan adalah pernyataan si suami,
karena menurut hukum ashal adalah tidak adanya kepatuhan istri pada si
suami. Oleh karena itu, si suami tidak wajib memberi nafkah, karena
kewajiban memberi nafkah bergantung pada adanya kepatuhan dari pihak
istri.
e) Seorang pembeli membeli air, kemudian dia mengaku kalau air itu terkena
najis, maka pernyataan yang dibenarkan adalah pernyataan si penjual,
karena menurut hukum ashal adalah pada dasarnya air itu suci
f) Seseorang ragu-ragu akan kesucian air yang berubah
(warna/rasa/baunya), apakah air itu termasuk kategori air yang banyak
(dua qullah) atau air yang sedikit (kurang dari dua qullah), maka menurut
hukum ashal adalah tetapnya kesucian air itu.
Qa’idah Ke-8
ًَِِّّٞهرا َُٝ١َاسَب ُىِصَأِهَأ
MENURUT HUKUM ASHAL ADALAH (SETIAP ORANG) BEBAS DARI TANGGUNG
JAWAB
a) Seorang terdakwa disuruh untuk bersumpah, kemudian dia berbohong,
maka si terdakwa itu tidak bisa dijatuhi hukuman jika mengacu pada
pernyataan si terdakwa saja, karena menurut hukum ashal adalah
terbebasnya si terdakwa dari segala tanggung jawab. Oleh karena itu, si
pendakwa harus memberikan kesaksian maupun bukti lain.
b) Seseorang berkata: "saya memberikan barang ini kepadamu, dan kamu
harus menggantinya di lain hari". Pada saat si penerima barang itu ditagih,
dia mengingkari pernyataan si pemberi yang menyatakan bahwa
pemberian itu harus diganti di lain hari. Maka pernyataan si penerima-lah
yang dibenarkan, karena menurut hukum ashal adalah si penerima
terbebas dari segala bentuk tanggung jawab
c) Jika dua orang bersengketa mengenai biaya ganti rugi atas barang yang
dirusakkan, di mana kewajiban ganti rugi itu dibebankan kepada orang
yang merusak barang itu, semisal; si peminjam (dan orang yang
meminjami). Maka pernyataan yang dibenarkan adalah pernyataan dari
8. 8
orang yang meminjami, karena menurut hukum ashal adalah orang yang
meminjami tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada barang
tersebut sesudah dia meminjamkannya kepada si peminjam.
Qa’idah Ke-9
ََُدَعِهَأ ُىِصَأِهَأ
HUKUM ASAL DARI SEGALA SESUATU ADALAH TIDAK ADA
a) Pihak yang bekerja dalam akad qiradh (bagi hasil) berkata; "Saya tidak
memperoleh keuntungan". Maka perkataan ini dibenarkan, karena menurut
hukum ashal adalah tidak adanya keuntungan.
b) Pihak yang bekerja dalam akad qiradh (bagi hasil) berkata; "Saya hanya
memperoleh keuntungan sekian saja". Maka perkataan ini dibenarkan,
karena menurut hukum ashal adalah tidak adanya keuntungan lebih.
c) Seseorang berkata : "Tidak seorangpun bisa melarangku untuk membeli
barang itu", maka pernyataan ini dibenarkan, karena menurut hukum ashal
adalah tidak adanya larangan apapun.
d) Seseorang makan makanan orang lain, kemudian dia berkata kepada si
pemilik makanan: "Engkau telah memberikan makanan ini kepadaku",
kemudian si pemilik makanan itu mengingkari pernyataan tersebut, maka
pernyataan si pemilik makanan-lah yang dibenarkan, karena menurut
hukum ashal adalah tidak adanya kebolehan memakan makanan orang lain
e) Seseorang mempunyai tanggungan hutang berdasarkan pengakuannya
sendiri atau melalui bai'at/sumpah, kemudian dia mengaku bahwa
hutangnya sudah dia lunasi atau dia mengaku bahwa si pemiutang sudah
membebaskan hutangnya. Maka penyataan yang dianggap benar adalah
pernyataan yang dikeluarkan oleh si pemiutang, karena menurut hukum
ashal adalah belum adanya pelunasan hutang.
f) Seseorang ragu jika dia telah meninggalkan rukun yang diperintahkan
untuk dikerjakan dalam shalat, semisal; tahiyyat awal, maka orang itu
hendaknya melakukan sujud sahwi. Sedangkan jika dia ragu telah
melakukan sesuatu yang dilarang selama shalat, semisal sujud lebih dari
dua kali, maka dia tidak perlu sujud sahwi, karena menurut hukum ashal
adalah tidak adanya pelaksanaan sujud lebih dari dua kali.
9. 9
Qa’idah Ke-10
ًََِِِٕش ِبَسِقَأِب ُُٖسِِٙدِكَت ، ٍخِدَاح ُِّىك ِِٛف ُىِصَأِهَأ
HUKUM ASAL DALAM SETIAP PERISTIWA ADALAH MENGACU PADA WAKTU YANG
TERDEKAT
a) Seseorang memukul perut ibu hamil, kemudian lahirlah bayi dalam
keadaan hidup. Bayi itu tidak mengalami sakit apapun dalam beberapa
waktu, akan tetapi bayi itu kemudian meninggal dunia, maka orang yang
memukul tadi tidak diwajibkan memberikan ganti rugi, karena secara
lahiriyah, bayi itu meninggal dunia disebabkan oleh faktor lain yang
masanya lebih dekat dari pada masa peristiwa pemukulan perut di atas
b) Seseorang membeli budak, kemudian budak itu jatuh sakit dan meninggal
dunia, maka orang itu tidak diperkenankan untuk mengembalikan si budak
kepada si penjual, karena sakit yang diderita oleh si budak tadi bertambah
parah. Sehingga yang menyebabkan kematian si budak adalah bertambah
parahnya penyakit yang dia derita, bukan disebabkan oleh penyakit yang
pertama kali dia derita
c) Seseorang melihat bercak mani pada pakaiannya, akan tetapi dia tidak ingat
kapan dia mimpi basah, maka orang itu wajib mandi besar dan wajib
mengulangi seluruh shalat yang dia laksanakan setelah tidurnya yang
terakhir kali, karena itulah yang paling dekat masanya
d) Seseorang berwudhu' dari air sumur serta melaksanakan shalat, kemudian
suatu hari dia menemukan bangkai tikus di sumur tadi, maka dia tidak
wajib melakukan qadha' shalat, selain shalat-shalat yang dia yakini
dikerjakan dengan memakai wudhu' dari air sumur yang terkena najis
bangkai tikus tadi
e) Apabila seseorang membuka sangkar burung, dan burung yang di dalamnya
langsung terbang saat itu juga, maka orang itu wajib memberikan ganti
rugi. Sedangkan jika burung itu diam beberapa saat, kemudian baru terbang
keluar dari sarangnya, maka orang itu tidak wajib memberi ganti rugi atas
lepasnya burung tersebut. Akan tetapi menurut satu pendapat, orang itu
tetap wajib memberi ganti rugi, karena terbukanya sangkar adalah
penyebab utama lepasnya burung itu.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah : 185
10. 10
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.
Qa'idah Ke-11
ٔسِِٚطَِّٚهتا ُبِوِذَت ُٖٞكَػٌَِهَا
KESULITAN BISA MENARIK ADANYA KEMUDAHAN
a) Jika seseorang sulit berdiri ketika menjalankan shalat fardhu, maka dia
diperkenankan untuk shalat dengan duduk. Dan jika dia sulit menjalankan
shalat fardhu dengan duduk, maka diperkenankan untuk shalat dengan
berbaring.
b) Jika seseorang kesulitan untuk menggunakan air (untuk wudhu' maupun
mandi besar), maka dia diperkenankan bertayammum.
c) Jika seseorang sulit untuk menjaga diri dari najis, maka najis itu akan
dima'fu. Misalnya; darah yang berasal dari luka, bisul, lumpur di jalan,
maupun bekas najis yang sulit untuk dihilangkan.
d) Imam Syafi'i RA berpendapat bahwasanya wanita yang tidak mempunyai
wali ketika dalam perjalanan, maka wanita itu diperkenankan untuk
memberi kuasa (sebagai wali) terhadap setiap urusannya kepada laki-laki
yang berhak.
e) Imam Syafi'i RA juga berpendapat: Diperkenankan untuk berwudhu'
dengan menggunakan air yang berasal dari wadah yang terbuat dari
kotoran binatang.
f) Ada pernyataan Imam Syafi'i RA yang selaras dengan qo'idah ini,:
َعَطَّإت َقَاض َاذٔإ ُسًَِأِهَأ
Ketika Suatu Perkara Sudah Sempit, Maka Perkara Itu Akan Menjadi Leluasa
Sebagian ulama' berkata:
َعَطَّٔتإ ِتَقَاض َاذإ ُ١َاِٚغَأِهَأ
"Ketika Sesuatu Itu Sempit, Maka Perkara Itu Akan Menjadi Leluasa"
FAIDAH
Keringanan di dalam Syari'at Islam ada 7 macam, yaitu:
1) Keringanan yang bersifat menggugurkan ( ففاق فإفي.)ختف Contoh; gugurnya
kewajiban menunaikan shalat jum'at, haji, dan umroh ketika ada udzur
syar'i.
11. 11
2) Keringanan yang bersifat memperpendek (يص تن .)ختفيإ Contoh; shalat qashar
3) Keringanan yang bersifat mengganti ( فلدق فإي.)ختف Contoh; mengganti wudhu'
dan mandi besar dengan tayammum. Berdiri dalam shalat (fardhu) boleh
diganti dengan duduk, berbaring, atau berisyarah saja, dan kewajiban puasa
diganti dengan (kewajiban) memberi makanan (fidyah).
4) Keringanan yang bersifat mendahulukan (فلم ت فإي.)ختف Contoh; jamak taqdim,
mendahulukan pembayaran zakat sebelum mencapai haul (satu tahun),
mendahulukan pembayaran zakat fitrah pada bulan Ramadhan, dan
membayar kifarat atas pelanggaran sumpah.
5) Keringanan yang bersifat mengakhirkan (ر فيت فإي.)ختف Contoh; jamak ta'khir,
mengakhirkan (kewajiban) puasa Ramadhan bagi orang yang sakit dan
bepergian. Mengakhirkan shalat bagi orang yang harus menyelamatkan
orang yang akan tenggelam atau udzur-udzur lainnya.
6) Keringanan yang bersifat sebagai kemurahan (يص فيت فإي.)ختف Contoh; shalat
bagi orang yang beristinja' dan masih tersisa kotorannya, meminum khamr
bagi orang yang tersedak, dan mengkonsumsi benda najis untuk tujuan
pengobatan.
7) Keringanan yang bersifat merubah (فريتي فإي.)ختف Contoh; shalat khauf (shalat
pada saat peperangan berkecamuk) yang merubah tata cara shalat yang
telah ada.
Qa'idah Ke-12
ِتَقَاض ِتَعَطَِّتا َاذٔإ ُ١َاِٚغَأِهَا
Ketika Suatu Perkara Bersifat Leluasa, Maka Perkara Itu Akan Menjadi
Sempit
a) Sedikit gerakan (yang bukan rukun shalat) yang dilakukan dengan terpaksa
ketika menjalankan shalat adalah diperbolehkan. Akan tetapi banyak
gerakan tanpa ada kepentingan (hajat) adalah tidak diperbolehkan dalam
shalat.
b) Jika air berubah disebabkan oleh lumut, hukumnya adalah suci, akan tetapi
apabila ada orang yang memeras lumut tersebut kemudian membuangnya
ke dalam air, kemudian air itu berubah sebab lumut itu, maka air dihukumi
tidak suci
12. 12
c) Jika ada bangkai hewan yang tidak mempunyai pembuluh darah terbuka
jatuh pada air, maka air itu menjadi tidak suci.
Imam Al-Ghozali RA menyatukan dua qo'idah di atas dengan pernyataannya
sebagai berikut:
ِِِّٖدض َٟهإ َظَلَعُِٔإ ، ََُّٖدح َشََّ٘ذَت َاً ُُّىك
Setiap Perkara Yang Sudah Melewati Batasannya, Maka Hukum Perkara Itu
Akan Berkebalikan Dengan Hukum Sebelumnya
Nabi Muhammad SAW bersabda:
َزَاسِض َالَٗ َزَسَض َال
"Tidak diperkenankan membahayakan diri sendiri maupun orang lain" (HR.
Malik dan Ibnu Majah)
Qa'idah Ke-13
ُيَاصُٙ ُزَسَّهضَا
BAHAYA HARUS DIHILANGKAN
a) Pembeli diperkenankan melakukan khiyar karena adanya cacat secara jelas
pada barang dagangan yang sudah dia beli.
b) Pria dan wanita diperkenankan untuk membatalkan pernikahan
disebabkan adanya cacat pada pasangannya.
c) Seorang istri boleh membatalkan pernikahan karena suaminya tidak
mampu menafkahinya.
d) Disyari'atkannya bagian bagi budak wanita (amat), melunasi hutang,
mencegah pencuri, qishash dan kewajiban mengganti bagi orang yang
merusak hak milik orang lain.
Qa'idah Ke-14
ٔزَسَّهضِاب ُيَاصُٙ َال ُزَسَّهضَا
BAYAHA TIDAK BOLEH DIHILANGKAN DENGAN BAHAYA YANG LAIN
Karena seandainya saja bahaya boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain,
niscaya qo'idah ke-13 di atas, dianggap tidak benar.
13. 13
a) Orang yang sangat kelaparan (terpaksa) dilarang makan makanan milik
orang yang senasib dengannya. Begitu juga tidak boleh membunuh anak
maupun budak, disebabkan kelaparan
b) Apabila ada uang dinar jatuh ke tempat tinta, dan dinar itu tidak bisa
diambil kecuali dengan cara memecahkan tempat tinta tadi, maka si pemilik
dinar boleh memecahkan tempat tinta itu, akan tetapi dia harus memberi
ganti rugi. Sedangkan jika dinar tersebut kepunyaan si pemilik tempat tinta
itu sendiri, maka tidak ada kewajiban apapun baginya
Qa'idah Ke-15
َتَازُِ٘ـظِـخٌَِها ُحِـِٚبُت ُتَازُِٗسَّـهضَا
DHARURAT BISA MEMBOLEHKAN PERKARA-PERKARA YANG TERLARANG
a) Diperkenankan untuk makan bangkai dan daging babi ketika sedang sangat
kelaparan (kalau tidak makan bangkai itu dia akan mati), dan
diperkenankan untuk meneguk arak ketika seseorang tersedak (dan tidak
ada minuman lain di sekitarnya)
b) Diperkenankan untuk menyatakan diri sebagai orang kafir apabila dipaksa
c) Diperkenankan untuk mengambil harta milik orang lain tanpa seidzinnya,
sebagai pelunasan hutang dari orang lain tadi
d) Jika perkara haram sudah menyebar luas, sekira hanya ada sedikit sekali
perkara yang halal, maka seseorang boleh menggunakan barang apapun
yang sangat dia butuhkan
e) Diperkenankan untuk menggali kembali kuburan jenazah disebabkan ada
dharurat, misalnya; jenazah tersebut dikubur dengan tanpa dimandikan
terlebih dahulu atau jenazah tidak dihadapkan ke arah kiblat.
Sedangkan qo'idah yang selaras dengan qo'idah ini adalah;
َِٞـدَاخِها َعَـً َََٞٓاسَـك َالَٗ َِٝزُِٗسَّـهضا َعًَ َََسَـح َال
"TIDAK ADA HUKUM HARAM KETIKA ADA DHARURAT, DAN TIDAK ADA HUKUM
MAKRUH KETIKA ADA HAJAT"
14. 14
Qa'idah Ke-16
َآٔزَدَكِب ُزََّدكُٙ َِٝزُِٗسَِّوضه َحِِٚبُأ َاً
SESUATU YANG DIPERBOLEHKAN SEBAB DHARURAT, HARUS DISESUAIKAN
DENGAN KADARNYA
a) Orang yang dalam keadaan terpaksa tidak boleh makan makanan haram
kecuali sekedar untuk menyambung nyawa saja
b) Barang siapa dimintai pendapat dalam masalah pinangan, dan dia sudah
cukup menggunakan bahasa kinayah saja, misalnya: “Dia tidak cocok
denganmu”, maka orang itu tidak boleh menjelaskan secara detail. Begitu
juga jika seseorang sudah cukup dengan satu orang saja, dia tidak perlu
mencari orang kedua, dst.
c) Jika ada seorang laki-laki ada keperluan dengan wanita yang bukan
mahramnya (misalnya: mengobati, menyuntik, dll.), maka dia harus
menutupi seluruh lengannya dan tidak membuka bagian tubuh yang lain,
kecuali bagian tubuh yang benar-benar diperlukan
d) Tidak boleh menikahkan orang gila dengan wanita lebih dari satu demi
menghindari dampak buruk yang kemungkinan menimpa si istri
e) Jika jama’ah shalat jum’at boleh dilaksanakan lebih dari satu tempat, maka
tidak boleh mengadakan jama’ah shalat jum’at melebihi kebutuhan.
Misalnya; shalat jum’at cukup dilaksanakan di dua tempat, maka tidak
boleh mendirikan shalat pada tiga tempat.
Qa'idah Ke-17
َِٝزُِٗسَّهضا ََٞهٔصًَِِ ُيُصَِِت ِدَق َُٞدَاخِهَا
KEBUTUHAN (YANG MENDESAK) TERKADANG DISAMAKAN POSISINYA DENGAN
DHARURAT
a) Disyari’atkannya akad Ji’alah (sayembara) dan Hiwalah (pengalihan
hutang) yang bertentangan dengan Qiyas, karena tidak adanya kejelasan
dalam akad Ji’alah, dan adanya pengalihan satu hutang kepada hutang yang
lain di dalam akad Hiwalah. Kedua akad ini diperbolehkan karena memang
dibutuhkan oleh masyarakat secara umum.
b) Boleh melihat wanita yang bukan mahramnya demi alasan bermu’amalah
maupun ingin meminangnya.
15. 15
c) Pendapat sebagian ulama’ yang memperkenankan akad muzara’ah dn
mukhabarah karena keduanya memang dibutuhkan dalam perekonomian
masyarakat.
d) Menurut sebagian ulama’, boleh menjual sesuatu yang tersimpan di dalam
tanah, misalnya: buah bengkoang, lobak dan bawang merah, demi
kemashlahatan umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Seandainya dalam jual beli tadi disyaratkan harus diperlihatkan dulu
dengan mengeluarkan tanaman tersebut dari dalam tanah, niscaya hal itu
akan memberatkan dan bisa merusak tanaman itu. Begitu juga jika
seseorang tidak boleh menjual jenis tanaman di atas kecuali menjualnya
satu persatu, tentu hal itu akan sangat memberatkan dan menunda-nunda
kemashlahatan yang akan diperoleh oleh si pemilik tanaman maupun orang
yang membelinya. Adanya persyaratan yang demikian itu sama sekali tidak
diwajibkan dalam Syari’at Islam dan sama sekali tidak membawa
kemashlatan pada masyarakat.
Qa'idah Ke-18
َأٌَِّٔفخَأ ِبَالِتِزِاب ّازَسَض َأٌٌَُُظِعَأ َِٛعُِٗز َْٔاتَدَطِفًَ َضَزَاعَت َاذٔإ
JIKA ADA DUA MAFSADAT YANG BERTENTANGAN, MAKA YANG LEBIH
DIPERHATIKAN ADALAH PERKARA YANG PALING BESAR BAHAYANYA DENGAN
MENJALANKAN PERKARA YANG LEBIH SEDIKIT BAHAYANYA
a) Boleh membelah perut jenazah jika di dalam rahimnya ada janin yang
kemungkinan besar masih hidup
b) Tidak boleh minum khamr maupun berjudi karena bahayanya lebih besar
dari pada manfaatnya
c) Disyari’atkannya hukum qishash, sanksi pidana maupun kebolehan
membunuh para perampok
d) Orang yang terpaksa boleh mengambil makanan orang lain secara paksa
e) Boleh memotong tanaman milik orang lain agar rumahnya memperoleh
sinar matahari
f) Jika orang yang terpaksa menemukan bangkai dan makanan orang lain,
menurut qaul yang ashah bahwa yang paling utama dia lakukan adalah
makan bangkai, karena bangkai dihalalkan bagi orang yang terpaksa
berdasarkan dalil nash, sedangkan kebolehan memakan harta orang lain
adalah berdasarkan ijtihad.
16. 16
Qa'idah Ke-19
ََّدكًُ ِدِضَافٌَِها ُ١ِزَدٔحِهاَصٌَِها ِبِوَد َٟوَع َْ
MENGHINDARI KERUSAKAN LEBIH DIUTAMAKAN DARI PADA MENARIK
KEMASHLAHATAN
a) Berlebih-lebihan dalam berkumur dan istinsyaq adalah sunnah, namun
makruh bagi orang yang berpuasa demi menjaga keabsahan puasanya agar
tidak batal
b) Menyiangi rambut itu sunnah ketika bersuci, namun makruh bagi orang
yang sedang ihram demi menjaga agar rambutnya tidak gugur
c) Diperkenankan untuk meninggalkan sebagian dari kewajiban yang bisa
mendatangkan kesulitan, misalnya; berdiri ketika shalat, tidak berpuasa
maupun tidak melakukan thaharah. Namun tidak ada toleransi bagi
seseorang untuk melakukan perkara-perkara yang dilarang, terutama dosa-
dosa besar.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Mukminun : 5-7
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik (selain) itu,
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Qa'idah Ke-20
ٍُِٙٔسِخَّهتَا ٔعَاضِبَأِها ِٛف ُىِصَأِهَأ
HUKUM ASHAL DALAM MASALAH SEX ADALAH HARAM
a) Jika wanita-wanita yang menjadi mahram seorang pria bercampur-baur
dengan wanita-wanita yang jumlahnya terbatas (bisa dihitung) dalam suatu
desa, maka pria tadi tidak boleh berijtihad (untuk mencari wanita yang
ingin dia nikahi), karena di antara syarat melakukan ijtihad terhadap
sesuatu adalah sesuatu itu pada dasarnya (menurut hukum ashalnya)
adalah mubah, sehingga hukum ashal itu nantinya akan memperkuat hasil
ijtihadnya. Akan tetapi di diperkenankan untuk menikahi wanita dalam
17. 17
desa tersebut jika jumlahnya tidak terbatas (sangat banyak), hal ini
dimaksudkan agar pintu pernikahan tidak tertutup dan agar pintu
perzinahan tidak terbuka lebar-lebar.
b) Jika ada seseorang mewakilkan pembelian budak wanita kepada orang lain
berdasarkan sifat-sifat yang sudah dijelaskan. Kemudian si wakil membeli
seorang budak wanita yang sesuai dengan sifat yang dikehendaki oleh
orang yang mengutusnya. Namun si wakil mendadak meninggal dunia
sebelum sempat menyerahkan budak itu kepada muwakkil (orang yang
mewakilkan urusannya), maka si muwakkil tidak halal berhubungan badan
dengan si budak wanita tadi karena ada kemungkinan si wakil membeli
budak itu untuk dirinya sendiri. Meskipun si wakil jelas-jelas membeli
budak sesuai dengan sifat-sifat yang diinginkan oleh si muwakkil, namun
menurut hukum ashal adalah haramnya berhubungan intim dengan budak
itu sampai ada kejelasan yang membuat si muwakkil benar-benar yakin
kalau si budak itu halal baginya.
c) Tidak halal berhubungan badan dengan wanita yang menjadi tahanan
perang kecuali sudah ada penjelasan dari pimpinan tentang siapa yang
berhak memperoleh wanita tersebut dan pembagian yang dilakukan tanpa
disertai rasa takut (karena diintimidasi) maupun sikap aniaya.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-A’raaf : 199
Jadilah engkau seorang pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan ma'ruf,
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.
Yang dimaksud ma’ruf di sini adalah sesuai dengan adat.
Qa'idah Ke-21
ٌَُٖٞلَخٌُِها َُٝدَاعِهَا
ADAT BISA DIJADIKAN SEBAGAI HUKUM
a) Seseorang berjualan dengan menggunakan mata uang Bani Thayyi',
kemudian si penjual itu memutlakkan mata uang apapun boleh dipakai
(untuk membeli barang dagangannya), maka dalam hal ini yang berlaku
adalah mata uang yang berlaku di masyarakat pada umumnya.
18. 18
b) Jika pada umumnya mu'amalah menggunakan barang dagangan yang najis
atau sejenisnya, maka transaksi boleh dilakukan sebagaimana
permasalahan mata uang pada contoh di atas.
c) Masuk tempat pemandian umum dan makan makanan yang dihidangkan
sebagai jamuan bagi para tamu (pengunjung) dengan tanpa meminta izin
terlebih dulu, hukumnya dikembalikan pada adat kebiasaan yang berlaku,
apakah makanan itu gratis atau harus membayar.
d) Standar usia wanita mengalami haidh dan standar ukuran waktu minimal,
maksimal dan waktu kebiasaan haidh juga dikembalikan pada adat
kebiasaan ('urf).
e) Boleh memperkerjakan orang untuk menjahit dan menenun pakaian.
Pendapat ini dianggap shahih oleh Imam Ar-Rofi'iy. Sedangkan
prosedurnya dikembalikan pada adat kebiasaan yang berlaku.
Ketahuilah! Bahwasanya suatu kebiasaan bisa disebut sebagai adat ('urf), jika
sedang berlaku secara umum, sedangkan jika kebiasaan itu tidak berlaku secara
umum (tidak menentu atau berlaku pada golongan tertentu saja), maka tidak
perlu ada penjelasan lagi.
Qa'idah Ke-22
ِفُِٗسِعٌَِها َٟهٔإ ُعَدِسُٙ َِٞػٗوها ِٛف َالَٗ ِِِٕٚف َُٕه َطِبَاض َالَٗ ّاكَوِطًُ ُعِسَّهػَا ِِٕب َدَزَٗ َاً
PERKARA YANG BERASAL DARI SYARA’ SECARA MUTHLAQ & TIDAK ADA
BATASANNYA DI DALAM SYARA’ MAUPUN DI DALAM BAHASA, MAKA PERKARA
ITU DIKEMBALIKAN PADA 'URF (KEBIASAAN UMUM)
a) Dalam niat shalat cukup membersamakan niat (antara niat di dalam hati
dengan pelafalan niat melalui lisan) sesuai dengan standar kebiasaan,
sekiranya sudah dianggap telah menghadirkan niat melakukan shalat.
b) Standar suatu tempat bisa dianggap sebagai tempat yang layak untuk
digunakan sebagai tempat penyimpanan harta adalah disesuaikan dengan
kebiasaan umum ('urf), karena di antara syarat hukum potong tangan di
dalam masalah pencurian adalah barang yang dicuri berada di tempat yang
terjaga. Begitu juga standar ukuran waktu dalam kaitannya dengan masalah
tafarruq (perpisahan antara penjual dan pembeli) dan penerimaan (barang
yang dibeli) adalah disesuaikan dengan 'urf (kebiasaan umum yang
berlaku).
c) Diperbolehkannya jual beli mu’athah (jual beli tanpa disertai akad ijab-
qabul secara lafdziyah). Dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan
kebiasaan umum yang berlaku ('urf). Demikian ini adalah pendapat yang
19. 19
dipilih oleh Imam Nawawy RA, dan merupakan pendapat yang mu'tamad
(bisa dijadikan pegangan).
Qa'idah Ke-23
ِدَأِتِدٔإِهاِب ُضُكَِِٙ َال ُدَأِتِدٔإِهَا
IJTIHAD TIDAK BISA DIBATALKAN OLEH HASIL IJTIHAD YANG LAIN
Karena ijtihad yang kedua tidak lebih kuat dari ijtihad yang pertama (sama-
sama bersifat dzanny)
a) Jika ijtihad seseorang dalam menentukan qiblat berubah dari semula, maka
dia boleh shalat dengan menggunakan ijtihad yang kedua dan dia tidak
wajib mengqadha’ shalatnya yang pertama. Bahkan seandainya dia shalat 4
rok’at dengan menghadap empat arah qiblat pun, dia tidak wajib
mengqadha’ shalatnya
b) Jika seorang hakim sudah memutuskan hukum pada sesuatu, kemudian
ijtihadnya berubah, maka ijtihad yang kedua tidak bisa membatalkan hasil
ijtihad yang pertama
c) Jika seorang suami menjatuhkan khulu' tiga kepada istri (khulu' adalah istri
minta cerai kepada suami dengan disertai kompensasi dari istri untuk
suami), kemudian sang suami menikahi si istri tadi tanpa ada suami lain
yang menyelinginya, karena keyakinan sang suami bahwa khulu’ itu
termasuk fasakh, bukan termasuk thalaq (sehingga tidak perlu ada suami
lain yang menyelinginya). Lalu keyakinannya itu berubah pada pemahaman
bahwa khulu’ itu termasuk thalaq, maka dia boleh tetap mempertahankan
rumah tangganya dengan istri hasil pernikahan tadi. Imam Ghozali RA
berkata: Jika seorang hakim sudah memberi keputusan hukum dengan
benar (menurut hasil ijtihadnya), maka dia tidak wajib meninggalkan
keputusan itu, meskipun hasil ijtihadnya berubah, karena jika dia
meninggalkan keputusan hukum yang sudah dia putuskan, berarti akan
terjadi perubahan-perubahan hukum yang terus-menerus pada kasus-
kasus selanjutnya. Sedangkan jika si hakim belum memberi keputusan
hukum, maka di sini ada beberapa pendapat. Menurut pendapat yang
terpilih (Mukhtar) adalah wajib meninggalkan hasil ijtihad yang pertama
(dan beralih pada hasil ijtihad yang kedua), karena jika dia tetap berpegang
teguh pada hasil ijtihad yang bertama, berarti dia telah melakukan suatu
perbuatan yang haram berdasarkan keyakinannya (hasil ijtihadnya) yang
kedua.
20. 20
Peringatan !
Makna qa'idah ini adalah suatu ijtihad tidak bisa membatalkan hasil ijtihad
di masa lalu, akan tetapi harus ada perubahan keputusan hukum pada kasus-
kasus selanjutnya, karena pada saat itu sudah tidak ada alasan lagi untuk tetap
mengunggulkan hasil keputusan ijtihad yang pertama. Oleh karena itu, hasil
ijtihad yang kedua ini diterapkan pada kasus-kasus selanjutnya, namun tidak
bisa membatalkan keputusan hukum yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah : 148
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana
saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada
hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Qa'idah Ke-24
ٔإِهَاْعًٌَُِِِ٘ َِٝدَابِعِهاِب ُزَاجِٙ
MEMPRIORITASKAN ORANG LAIN DALAM IBADAH ADALAH DILARANG
a) Memprioritaskan orang lain untuk memperoleh shaf yang pertama
b) Memprioritaskan orang lain untuk memperoleh air untuk bersuci maupun
pakaian untuk menutup aurat
c) Memprioritaskan orang lain untuk menjadi ganti dirinya dalam membaca
pelajaran
d) Memprioritaskan orang lain untuk memenuhi kebutuhan orang yang
membutuhkan. Misalnya; memberi makan orang miskin dan akan yatim.
Allah SWT Berfirman dalam Surat Al-Hasyr : 9
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka
21. 21
(Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-
orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah
orang orang yang beruntung.
Qa'idah Ke-25
ْبُِ٘وِطًَ َِٝدَابِعِها ٔسَِٚػِب ُزَاجِٙٔإِهَا
MEMPRIORITASKAN ORANG LAIN PADA SELAIN IBADAH ADALAH DIANJURKAN
a) Memprioritaskan orang lain dalam masalah tempat
b) Memprioritaskan orang lain dalam masalah pakaian
c) Memprioritaskan orang lain dalam masalah makanan
d) Tidak mengambil harta shadaqah demi memberi kesempatan orang lain
untuk mengambilnya
e) Tidak berdagang barang dagangan yang kemungkinan besar bisa
mendatangkan laba demi memberi kesempatan orang lain untuk
memperoleh laba dari barang yang serupa
Nabi Muhammad SAW bersabda:
ِِٕتَِّٚعَز َِّع ْيُِ٘٣ِطًَ ٍُِلٗوُكَٗ ٕعَاز ٍُِلٗوُك
“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan dimintai
pertanggung-jawaban atas apa yang ia pimpin”
Qa'idah Ke-26
َِٞخَوِصٌَِهاِب ْطًَُِِ٘ َِِّٞٚعَّهسا َٟوَع ََٔأًإِها ُفَُّسصَت
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP RAKYATNYA ADALAH BERDASARKAN
KEMASHLAHATAN
a) Di dalam pembagian zakat kepada mustahiq zakat, Pemerintah haram
melebihkan bagian pada sebagian golongan ketika mereka sama-sama
membutuhkan
b) Pemerintah tidak boleh mengangkat imam shalat yang fasiq, meskipun kita
sah shalat (makmum) di belakangnya, karena shalat yang demikian itu
hukumnya makruh
22. 22
c) Pemerintah tidak boleh memberikan harta Baitul Maal kepada orang yang
tidak membutuhkan, namun mengabaikan orang yang membutuhkan.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
ِتَأُبُّهػاِب َدُِٗدُخِها ِاُٗ١َزِدَا
Cegahlah (pelaksanaan) hukum-hukum had (pidana),sebab adanya ketidak-
jelasan. (HR. Ibnu 'Addiy dari Ibnu 'Abbas RA)
Qa'idah Ke-27
ِتَأِبُّهػاِب ُطُكِطَت ُدُِٗدُخِهَا
PERKARA PIDANA BISA GUGUR SEBAB ADANYA KESYUBHATAN (KETIDAK-
JELASAN)
a) Barang siapa berhubungan badan dengan wanita lain yang disangka
sebagai istrinya, maka tiada hukum had (hukum pidana) baginya
b) Barang siapa bersetubuh dengan wanita yang menurut satu kaum dianggap
halal, dan menurut kaum yang lain dianggap haram, misalnya; nikah
mut’ah, nikah tanpa wali, nikah tanpa saksi, dan setiap pernikahan yang
hukumnya masih diperselisihkan oleh para ulama’. Mereka ini tidak bisa
dikenai hukum had
c) Barang siapa mencuri sesuatu yang dianggap sebagai hak miliknya atau
milik orang tuanya atau milik anaknya, maka dia tidak terkena had, karena
adanya kesamaran hak kepemilikan harta itu
d) Orang yang minum khamr sebagai pengobatan. Meskipun menurut qaul
yang ashah hal itu termasuk haram, namun hal itu tidak mendatangkan had
bagi pelakunya karena hukumnya masih diperselisihkan oleh para ulama’.
Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imron : 102
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar
takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam.
23. 23
Qa'idah Ke-28
ْبِدَاٗ ََُ٘ٔف ِِٕب ٓالإ ُبِدَاِ٘ها ٍُِّتَٙ َال َاً
SESUATU YANG MENJADI PENYEMPURNA PERKARA WAJIB MERUPAKAN
PERKARA YANG WAJIB
a) Wajib membasuh bagian dari leher dan kepala ketika sedang membasuh
wajah (dalam wudhu')
b) Wajib membasuh bagian dari lengan ketika membasuh tangan, dan wajib
membasuh bagian dari betis ketika membasuh kaki
c) Wajib menutup bagian dari lutut karena termasuk aurat, dan wajib
menutup bagian dari wajah yang dekat dengan kepala karena termasuk
aurat bagi wanita.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
ِِٕضِسِعَٗ ِِِِِٕٙدِه َأَسِبَتِضا ِدَكَف ِتَأِبُّهػا ًَِّ َٟكَّات ٌََّٔف
Barang siapa menjauhi syubhat, maka sungguh dia telah membebaskan
agama dan harga dirinya. (HR. Bukari-Muslim)
Qa'idah Ke-29
ٌَّبخَتِطًُ ِفَالِدِها ًَِّ ُجُِٗسُدِهَا
KELUAR DARI PERBEDAAN (PENDAPAT) ADALAH SUNNAH
a) Sunnah menggosok anggota badan ketika bersuci (wudhu’ ataupun mandi
besar) dan meratakan air ke seluruh bagian kepala dengan cara mengusap
agar tidak menyalahi pendapat Imam Malik RA yang mewajibkan semua itu
b) Sunnah membasuh air mani, karena Imam Malik RA menyatakan bahwa hal
itu hukumnya wajib
c) Sunnah mengqashar shalat dalam perjalanan yang mencapai 3 marhalah
agar tidak bertentangan dengan pendapat Imam Hanafi RA yang
mewajibkan hal itu
d) Tidak menghadap qiblat maupun membelakanginya (ketika sedang buang
hajat), meskipun berada di tempat yang tertutup, agar tidak bertentangan
dengan pendapat Imam Sufyan Ats-Tsaury RA yang melarang perbuatan
tersebut
24. 24
e) Makruh shalat sendirian di belakang shaf agar tidak bertentangan dengan
pendapat Imam Ahmad ibnu Hanbal RA yang menyatakan perbuatan itu
bisa membatalkan shalat
f) Makruh mufaraqah (memisahkan diri) dari Imam dengan tanpa udzur agar
tidak bertentangan dengan pendapat Imam Daud Adz-Dzahiri RA yang
menyatakan perbuatan itu bisa menyebabkan batalnya shalat
Peringatan!
Di dalam kaitannya dengan "keluar dari khilaf" (baca: menyalahi pendapat
ulama' tertentu) ini terdapat beberapa syarat:
a) Jika seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu karena ingin keluar
dari khilaf (menyalahi pendapat ulama' tertentu), maka dia tidak boleh
terjerumus pada khilaf (menyalahi pendapat ulama') yang lain. Dari sini
bisa diketahui bahwa memisah roka'at witir adalah lebih utama dari pada
menyambung shalat witir (misalnya dalam kasus shalat witir 3 roka'at).
Seseorang tidak perlu menyambung witir semata-mata agar tidak
menyalahi pendapat Imam Hanafi RA, karena di antara para ulama, ada
ulama' yang tidak memperbolehkan menyambung shalat witir
b) Tindakan ingin keluar dari khilaf tidak boleh bertentangan dengan sunnah
yang sudah valid (berlaku). Dari sini bisa dipahami bahwasanya
disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan di dalam shalat, dan tidak
perlu memperdulikan pendapat ulama' Hanafiyah yang menyatakan
batalnya shalat yang dilakukan dengan cara mengangkat kedua tangan.
Alasanya; karena kesunahan mengangakat kedua tangan di dalam shalat
adalah berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW dengan diriwayatkan
oleh sekitar 50 Shahabat RA
c) Pendapat-pendapat yang menjadi sumber khilaf (perbedaan pendapat)
haruslah kokoh (bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya), dan bukan
sekedar pendapat yang tersalah (lemah). Oleh karena itu, berpuasa ketika
dalam perjalanan musafir adalah lebih utama bagi orang yang kuat
menjalankannya, dan dia tidak perlu memperdulikan pendapat sebagian
ulama' Madzhab Dzahiriyah yang menyatakan puasa orang seperti itu
dinilai tidak sah.
ّاسَبَتِعًُ َ١َاد ٍفَالِخ ُُّىك َظَِٚهَٗ#ٔسَظَِّها ًَِّ ٌَّظح َُٕه ْفَالِخ ٖالٔإ
Tidak semua khilaf (pendapat-pendapat ulama) berstatus mu'tabar (bisa
dijadikan pedoman), kecuali khilaf yang mempunyai dasar argumentasi
(yang bisa dipertanggung-jawabkan)
25. 25
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah : 173
Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Qa'idah Ke-30
ِٛصَاعٌَِهاِب ُطَاُِت َال ُصَخُّهسَا
KEMURAHAN TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN KEMAKSIATAN
a) Orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat tidak
memperoleh keringanan sama sekali, baik qashar, jamak maupun boleh
tidak berpuasa wajib
b) Orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat tidak boleh
makan bangkai ataupun daging babi meskipun dalam keadaan terpaksa
c) Jika seseorang beristinja’ dengan menggunakan benda-benda yang
dimulyakan atau dengan menggunakan makanan, maka menurut qaul yang
ashah, istinja’-nya belum sempurna, karena istinja’ dengan batu merupakan
keringanan. Demikian juga tidak dianggap cukup istinja' dengan
menggunakan benda-benda yang sejenis, yakni benda padat yang bisa
menghilangkan kotoran namun termasuk benda yang dimulyakan.
Qa'idah Ke-31
َُِت َال ُصَخُّهسَآمَّهػاِب ُطا
KEMURAHAN TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN KERAGUAN
a) Wajib membasuh kaki bagi orang yang masih meragukan kebolehan
mengusap muzah baginya (NB: Yang dimaksud dengan mengusap muzah
adalah seseorang diperbolehkan wudhu' dengan tanpa membasuh kedua
kakinya, melainkan cukup dengan mengusap muzah yang dia pakai. Namun
26. 26
dalam hal ini harus memenuhi syarat-syarat yang bisa dilihat pada kitab-
kitab fiqih)
b) Wajib mengerjakan shalat secara sempurna bagi orang yang ragu-ragu
diperbolehkan qashar baginya.
Dalam contoh-contoh ini masih bisa diperjelas lagi, yaitu:
c) Jika seseorang ragu-ragu apakah dia mengusap muzah di rumah atau ketika
dalam perjalanan musafir? Maka dalah hal ini dia dihukumi telah mengusap
muzah di rumah, dan dia tidak boleh mengusap muzah ketika itu, karena
pada dasarnya (menurut hukum ashal) yang diwajibkan adalah mengusap
kedua kaki, sedangkan kebolehan mengusap muzah adalah rukhshah
(keringanan) yang didasarkan pada syarat tertentu, dan jika seseorang
belum yakin sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka
hukumnya kembali pada hukum ashal, yaitu wajib membasuh kedua kaki
(dalam wudhu').
d) Jika seseorang ragu-ragu apakah dia hadats pada waktu zhuhur atau ashar?,
maka dia dihukumi berhadats pada waktu zhuhur. Karena berdasarkan
hukum ashal, dia diwajibkan untuk membasuh kedua kakinya (dalam
wudhu'), maka dia tidak diperkenankan untuk mengusap muzah (sebagai
ganti membasuh kedua kaki), kecuali pada hal-hal yang sudah dia yakini
e) Jika seseorang ragu-ragu apakah dia takbiratul ihram untuk shalat di dalam
perjalanan musafir ataukah untuk shalat di rumah? Atau apakah dia sudah
niat qashar atau tidak? Atau apakah imam yang dia ikuti itu seorang
musafir ataukah orang muqim?. Maka dalam kasus-kasus seperti ini, dia
diharuskan untuk melakukan shalat secara sempurna (sebagaimana
biasanya). Karena pada dasarnya (menurut hukum ashal) adalah
diwajibkan shalat secara sempurna, sedangkan shalat qashar
diperbolehkan dengan disertai syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat
tersebut belum terpenuhi, maka permasalahannya dikembalikan pada
hukum ashal (yaitu shalat secara sempurna atau itmaam)
Nabi Muhammad SAW bersabda:
.ِمَبِصَُ ٔزِدَق َٟوَع ِنُسِدَأ : َأَِِع ُهللا َِٛضَز ََٞػِ٢اَعِه ٍَٖوَضَٗ َِِٕٚوَع ُهللا ٟٖوَص ُِّيبَِّها َيَاق
ًٍطو ٖزٗا
Nabi SAW bersabda kepada 'Aisyah RA: Pahalamu adalah sesuai dengan apa
yang engkau lakukan. (HR. Muslim)
27. 27
Qa'idah Ke-32
َاًّالِضَف َسَجِكَأ ََْاك ،ّالِعِف َسَجِكَأ ََْاك
SESUATU YANG LEBIH BANYAK PERBUATANNYA ADALAH LEBIH BANYAK
KEUTAMAANNYA
a) Memisahkan shalat witir adalah lebih utama dari pada menyambungnya,
karena (jika memisah, akan) ada tambahan perbuatan berupa niat,
takbiratul ihram dan salam.
b) Barang siapa shalt sunnah dengn duduk, maka pahalanya setengah dari
pahala orang yang melakukannya dengan berdiri. Begitu juga orang yang
shalat sunnah dengan terlentang, pahalanya setengah dari pahala orang
yang melakukannya dengan duduk
c) Haji ifrad (melaksanakan haji saja) adalah lebih utama dari pada haji qiran
(melaksakan haji dan umrah sekaligus).
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
ٍُِتِعَطَتِضا َاً ًُِِِٕ ِاُ٘تِأَف ِِٕب ٍُِلُتِسًََأ َاًَٗ
Dan apapun yang aku perintahkan kepada kamu semua, maka laksanakanlah
sesuai dengan kemampuan kalian. (HR. Bukhari-Muslim)
Qa'idah Ke-33
ُٕٗوُك َنَسِتُٙ َال ُٕٗوُك ُنَزِدُٙ َال َاً
SESUATU YANG TIDAK BISA DILAKUKAN SECARA KESELURUHAN, TIDAK BOLEH
DITINGGALKAN SEMUANYA
a) Barang siapa tidak mampu berbuat baik dengan uang satu dinar, dan dia
mempunyai satu dirham, maka sebaiknya dia berbuat baik dengan uang
dirham yang dia miliki
b) Barang siapa tidak mampu mengajar maupun mempelajari seluruh disiplin
ilmu, maka dia tidak boleh meninggalkan semuanya
c) Barang siapa berat melaksanakan shalat malam sebanyak 10 roka’at, maka
sebaiknya dia melakukan 4 roka’at saja.
Ada juga pendapat para ulama’ fiqih yang selaras dengan makna qa’idah ke-
33 ini, yaitu:
28. 28
ُُٕضِعَب ُنَزِدُٙ َال ُٕٗوُك ُنَزِدُٙ َال َاً
Sesuatu Yang Tidak Bisa Dilakukan Secara Keseluruhan, Maka Yang Tidak
Dilakukan Sebagian Saja
Qa'idah Ke-34
ِهاِب ُطُكِطَٙ َال ُزُِ٘طٌَِِٚهَأزُِ٘طِعٌَ
SESUATU YANG MUDAH (DIKERJAKAN) TIDAK BISA GUGUR SEBAB SESUATU
YANG MENYULITKAN
a) Jika sebagian anggota badan terpotong, maka tetap wajib membasuh
anggota badan lain yang masih tersisa
b) Seseorang harus menutupi auratnya sesuai dengan kemampuannya
c) Barang siapa tidak mampu rukuk dan sujud, namun dia mampu berdiri,
maka dia wajib berdiri (ketika shalat)
d) Barang siapa mempunyai (kelebihan) makanan pokok yang kurang dari
ukuran zakat fitrah, yaitu 1 sho', maka dia tetap wajib mengeluarkan zakat
fitrah
e) Barang siapa hanya mampu membaca sebagian Surat Fatihah, maka dia
harus membaca bagian yang dia hafal itu
f) Barang siapa mempunyai harta yang sudah mencapi satu nishab, namun
sebagian harta ada pada dirinya, sedangkan sebagian yang lain di tangan
orang lain (ghaib), maka dia harus mengeluarkan zakat dari harta yang ada
pada dirinya saat itu
g) Para ulama’ Irak menukil dari pendapat Imam Syafi'i RA bahwasanya orang
yang bisu wajib menggerak-gerakkan lisannya, sebagai ganti dari
melafalkan melalui lisan. Demikian juga wajib berisyarah melakukan rukuk
atau sujud (bagi yang tidak mampu melakukannya)
h) Barang siapa menderita luka di tubuhnya yang tidak boleh terkena air,
maka menurut pendapat Madzhab Imam Syafi'i RA adalah dia diwajibkan
membasuh anggota tubuh yang sehat serta melakukan tayammum sebagai
ganti dari anggota tubuh yang terluka tadi yang tidak boleh terkena air
(baik dalam wudhu' maupun mandi besar)
29. 29
Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imron: 104
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.
Qa'idah Ke-35
ُُٕبَوَط ََُسَح ُُٕوِعِف ََُسَح َاً
PERKARA YANG HARAM DIGUNAKAN, BERARTI HARAM DICARI
a) Mencari uang riba dan tarif PSK
b) Mencari uang hasil praktek perdukunan dan hasil suap
c) Mencari uang hasil gaji sebagai orang yang menangisi jenazah
Qa'idah Ke-36
ُُٖ٦َاطِعٔإ ََُسَح ُُٖرِخَأ ََُسَح َاً
PERKARA YANG HARAM DIAMBIL, BERARTI HARAM DIBERIKAN KEPADA ORANG
LAIN
a) Memberi uang hasil riba ataupun uang hasil perzinahan kepada orang lain
b) Memberi uang hasil praktek perdukunan ataupun uang hasil suap kepada
orang lain
c) Memberi uang hasil kerja menangisi jenazah kepada orang lain
Allah SWT berfirman dalam Surat Yasiin:12
Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan
apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.
dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh
mahfuzh).
30. 30
Qa'idah Ke-37
ٔسِصَاكِها ًَِّ ُىَضِفَأ َِّٜدعَتٌُِهَا ُسَِٚدِهَا
KEBAIKAN YANG MANFAATNYA MENYEBAR ADALAH LEBIH BAIK DARI PADA
IBADAH YANG MURNI
a) Mengajar ilmu pengetahuan adalah lebih utama dari shalat sunnah
b) Orang yang melakukan amalan yang sifatnya fardhu kifayah adalah lebih
istimewah dari pada orang yang melakukan amalan yang fardhu ‘ain,
karena orang itu telah menggugurkan kewajiban umat Islam yang lainnya.
c) Imam As-Suyuthy membuat nadzam berkenaan dengan qo’idah ini:
َدَأ ُِّبا َتَاً َاذإِٜٔسِذَٙ َظَِٚه ََ#ٔسِػَع ُسُِٚغ ٕيَاعِف ًِِّ َِِٕٚوَع
Ketika manusia wafat, tiada amalan yang berguna baginya selain 10 amalan
ٕىِذَُ ُ١َاعُدَٗ َأََّجب َُِْ٘وُع#ِٜٔسِذَت ُتَاقَدَّهصاَٗ ٔىِدَِّها ُعِسَغَٗ
Ilmu yang dia sebarkan, do’a yang ikhlas, menanam buah-buahan,
Bersedekah,
ٕسِػَث ُطَابٔزَٗ ٍفَخِصًُ َُٞثِزَاٗ#ٕسَُِٔ ُ١َاسِدٔإ َِٗأ ٔسِ٣ِبِها ُسِفَحَٗ
Mewariskan mushhaf Al-Qur’an, Mengunci mulut, Menggali sumur,
Mengalirkan air sungai
ِِٜٔٗأَٙ َُٖاَِب ِبِٙٔسَػِوِه ْتَِٚبَٗ#َأ َِِٕٚهٔإٕسِكِذ ََّىخًَ َُٖاَِب ِٗ
Membangun rumah persinggahan untuk musafir, Membangun rumah untuk
majlis dzikir
ٍِِٕٙسَك َْٕأِسُكِه ٍِِْٚوِعَتَٗ#ٕسِصَخِب َحِِٙدَاحَأ ًِِّ َآِرُدَف
Belajar Al-Qur’an. Laksanakanlah 10 hal di atas yang disarikan dari Hadits-
hadits secara ringkas
31. 31
Nabi Muhamamad SAW bersabda:
ًُِِِٕ ٕظِفَُ ِبَِٚط ٔسَِٚػِب ِِِٕٚخَأ َاصَع َرُخِأَٙ َِْأ ٍِٕوِطٌُِه ُِّىخَٙ َال
Orang muslim tidak boleh mengambil tongkat saudaranya tanpa ada
kerelaan dari saudaranya tadi. (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Qa'idah Ke-38
ًُِِِٕ ُدٖهََ٘تَٙ َاٌِب َٟضٔز ٔ٤َِّٚهػاِب َٟضِّهسَا
RELA TERHADAP SUATU PERKARA, BERARTI RELA TERHADAP APAPUN YANG
BERASAL DARI PERKARA ITU
a) Sepasang suami-istri rela terhadap cacat yang diderita oleh pasangannya,
kemudian cacat itu menjadi semakin parah, maka menurut pendapat yang
shahih, dia harus rela menerima itu dan tidak ada alasan baginya untuk
menuntut cerai pada pasangannya
b) Orang yang menggadaikan hamba sahaya memperbolehkan perima gadai
untuk memukul hamba sahayanya, kemudian hamba sahaya itu meninggal
dunia sebab dipukul oleh si penerima gadai, maka dia tidak wajib
mengganti, karena hamba sahaya tadi meninggal dunia disebabkan suatu
hal (yakni memukul) yang sebelumnya sudah diizinkan oleh orang yang
menggadaikan
c) Ada orang berkata kepada temannya: “Potonglah tanganku”. Lalu temannya
mengabulkan permintaan itu, kemudian penyakit orang itu semakin parah
dan menjalar ke seluruh tubuh, maka dia tidak boleh menuntut pada
temannya yang telah memotong tangannya
d) Orang yang haji memakai wewangian sebelum ihram, lalu baunya masih
melekat sampai dia selesai melakukan ihram, berarti dia tidak perlu
mengeluarkan fidyah (yang menjadi kifarat bagi orang yang memakai
wewangian ketika ihram)
e) Bagian yang sudah diistinja’i adalah dima’fu, meskipun kemudian bagian
berkeringat dan menjadi basah, karena menurut hukum ashal, bagian itu
sudah dima’fu.
f) Seseorang berkumur ataupun memasukkan air ke dalam hidung (istinsyaq)
secara normal, lalu airnya terlanjur masuk ke dalam perutnya, maka
puasanya tetap sah menurut qaul yang ashah. Namun jika dia berkumur
atau istinsyaq dengan cara berlebih-lebihan yang dilarang oleh syari’at,
maka puasanya batal.
32. 32
Ada lagi qo’idah yang selaras maknanya dengan qoidah ke-38 ini, yaitu:
َُٕه َسَثَأ َال ِِِٕٚف ُِْٕٗذِأًَ ًِِّ ُدٖهََ٘تٌُِهَا
Sesuatu yang berasal dari perkara yang sudah diizini tidak membawa
pengaruh apapun
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
ََْاسَح ٕسٌَِخ ُُّىكَٗ ،ْسٌَِخ ٕسِلِطًُ ُُّىك
Setiap perkara yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah
haram (HR. Muslim)
NB: Makna khamr secara bahasa adalah sesuatu yang bisa menutupi akal.
Qa'idah Ke-39
ّاًَدَعَٗ ّادُِ٘دُٗ ِِٕتٖوِع َعًَ ُزُِٗدَٙ ٍُِلُخِهَا
HUKUM ITU BERGANTUNG DENGAN ADA-TIDAKNYA SUATU ‘ILLAT
a) Khamr diharamkan karena memabukkan. Jika suatu saat khamr itu tidak
memabukkan, maka hukumnya menjadi halal diminum
b) Seseorang masuk ke dalam rumah orang lain atau memakai pakaian orang
lain adalah haram jika tidak memperoleh izin dari pemiliknya. Apabila
orang tersebut yakin kalau si pemilik memperbolehkan dia untuk
melakukan hal di atas, maka hukum masuk rumah ataupun menggunakan
pakaian orang lain tadi menjadi boleh
c) Seseorang haram mengkonsumsi racun, karena mematikan. Jika ada racun
yang tidak mematikan, maka halal untuk mengkonsumsinya
Nabi Muhammad SAW bersabda:
ًٌَِّ ََُ٘ٔف َُِِٕع َتَلَض َاًَٗ ،ِِٕبَاتِك ِِٛف ُهللا ََََّسح َاً ََُاسَخِهاَٗ ،ِِٕبَاتِك ِِٛف ُهللا ََّىحَأ َاً ُيَالَخِهَاا
) ًٕاد ّٗاب ٜهرتًرا ٖ(زٗا َُِِٕع َِٛفُع
Perkara yang halal adalah perkara yang telah dihalalkan oleh Allah SWT di
dalam kitab-Nya. Perkara yang haram adalah perkara yang telah diharamkan
oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya. Sedangkan perkara yang tidak disinggung
33. 33
di dalam kitab-Nya, berarti perkara itu dima’fu (boleh). (HR. At-Tirmidzi dan
Ibnu Majah)
Qa'idah Ke-40
َُٞحَابٔإِهَا ِ١َاِٚغَأِها ِٛف ُىِصَأِهَا
HUKUM ASHAL DALAM SEGALA SESUATU ADALAH BOLEH
a) Jika seseorang ragu mengenai binatang yang belum pernah dia ketahui
sebelumnya, apakah binatang tersebut haram atau tidak (menurut Islam),
berarti binatang tadi dihukumi boleh (berdasarkan hukum ashal)
b) Jikalau seseorang memasuki pemandian dalam suatu benteng, dan dia tidak
tahu apakah dia boleh memasukinya atau tidak? dan dia juga ragu apakah
pemandian itu dimiliki oleh orang lain atau tidak?, maka dia lebih berhak
menggunakan pemandian itu dan memanfaatkannya
c) Menurut Imam As-Subky, binatang jerapah itu halal karena menurut hukum
ashal, segala sesuatu adalah boleh