2. Makna Adzan
Adzan secara bahasa berarti pemberitahuan (al-i’lam). Firman Allah
swt
ٌ
انَذَأَو
ٌ
نِم
ٌ
ِ َ
اّلل
ٌ
ِهِلوُسَرَو
Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya (At-
Taubah: 3)
ٌ
ِنذَأَو
يِف
ٌِ
اسَنال
ٌ
ِجَحالِب
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji (al-Hajj: 27)
Sedang secara istilah syar’i, adzan bermakna pemebritahuan akan
masuknya waktu shalat dengan zikir tertentu.
Sedangkan dalil tentang adzan adalah sebagai berikut:
اَهُّيَاأَي
ٌَِينذَلا
واُنَمآ
اَذِإ
ِيدوُن
ٌ
ِة َ
َلَصلِل
ٌ
نِم
ٌِموَي
ٌ
ِةَعُمُجال
ٌ
وَعاسَف
ا
ىَلِإ
ٌِ
رِكذ
ٌ
ِ َ
اّلل
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (QS al-Jumu’ah: 9)
اَذِإَو
ٌ
مُتَيداَن
ىَلِإ
ٌ
ِة َ
َلَصال
اَهوُذَخَتا
اًوُزُه
اًبِعَلَو
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang,
mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan (QS: Al-Maidah: 58)
اذاٌحضرتٌالصَلةٌفليؤذنٌلكمٌأحدكم
Jika datang waktu shalat maka hendaklah menyeru salah seorang dari
kamu untuk kamu
3. Lafadz Adzan
أكبر هللا أكبر هللا
اكبر هللا أكبر هللا
االهللا اله ال أن أشهد
االهللا اله ال أن أشهد
هلل رسول محمدا أن اأشهد
هلل رسول محمدا أن أشهد
الصالة على حي
الصالة على حي
الفالح على حي
الفالح على حي
أكبر هللا أكبر هللا
االهللا اله ال
Lafadz di atas telah disepakati oleh tiga madzhab kecuali
Madzhab Maliki, menurutnya, lafadz takbir diucapkan
dua kali, bukan empat kali
Pada adzan subuh disunnahkan setelah lafadz على حي
الفالح untuk membaca: النوم من خير الصالة, dan makruh
hukumnya meninggalkan lafadz tersebut
4. Tarji’ (Mengulang lafadz
Syahadatain Dalam Adzan)
Lafadz adzan yang telah disebutkan sebelumnya
sudah cukup, dan menurut madzhab Hanafi dan
Hambali tidak usah ditambah lagi.
Sedangkan madzhab Syafii berpendapat bahwa
disunnahkan menambah syahadatain dengan suara
yang rendah dan dapat didengar manusia sebelum
membaca kalimat tersebut dengan suara keras.
Adapun madzhab Maliki berpendapat
disunnahkannya mengulang kalimat tersebut dengan
suara keras sebagai tarji’ (pengulangan)
5. Hukum Adzan
Para ulama dari tiga madzhab selain Hambali sependapat
bahwa hukum adzan adalah sunnah muakkad (sunah yang
sangat ditekankan)
Sedangkan madzhab Hambali berpendapat bahwa adzan
hukumnya fardhu kifayah, yakni jika salah seorang telah
melakukan maka yang lain telah gugur kewajibannya.
Meskipun 3 madzhab bersepakat tentang sunnahnya adzan,
namun di antara mereka pun terdapat perbedaan:
Syafi’iyah berpendapat, bahwa adzan hukumnya sunnah kifayah
bagi jamaah, dan sunnah ain bagi munfarid jika belum ada yang
beradzan. Sunnah adzan pada 5 shalat fardhu baik saat safar
atau mukim, juga pada shalat yang sudah tertinggal. Tidak
disunnahkan adzan pada shalat jenazah, shalat sunnah, shalat
jama’ dua waktu hanya saja disunnahkan dengan sekali adzan
Hanafiyah: Hukum adzan adalah sunnah muakkad kifayah bagi
penduduk satu desa, hukum ini dikhawatirkan berdosa bagi yang
meninggalkannya. Hukum sunnah ini berlaku bagi shalat 5 waktu,
dalam perjalanan atau safar, tepat waktu (adaa) atau qodho.
Hanya saja tidak dikenai makruh bagi orang yang shalat di
rumahnya jika tidak adazan. Tidak disunahkan adzan pada
shalat-shalat sunnah
6. Hukum Adzan
Malikiyah berkata, adzan hukumnya sunnah kifayah bagi
suatu jamaah yang menunggu orang lain yang akan
shalat berjamaah dengannya di sebuah tempat yang
biasa dilakukannya shalat bersama, dan sunnah pada
tiap mesjid, meskipun berdekatan baik ke samping atau
ke atas. Hanya saja disunnahkan adzan di waktu shalat
fardhu ain, dan tidak disunnahkan pada shalat fardhu
kifayah dan shalat sunnah, serta waktu dharurat dan
tempat yang biasa jamaah tidak menunggu orang yang
akan shalat
Hambaliyah berkata, Adzan adalah fardhu kifayah di desa
atau kota pada lima shalat fardhu yang hadir (dikerjakan
pada waktunya ) atas laki-laki merdeka yang mukim. Dan
hukumnya sunnah beradazan bagi shalat yang tertinggal
(bukan pada waktunya), juga bagi munfarid (shalat
sendiri) baik dalam keadaan mukim atau safar
(perjalanan)
7. Syarat-syarat Adzan
1. Niat, jika seseorang beradzan tanpa niat maka adzannya tidak sah
menurut madzhab Maliki dan Hanafi. Sedangkan madzhab Syafii
dan Hambali tidak mensyaratkan niat dalam adzan
2. Lafadz adzan diucapkan berturut-turut, yakni tidak disela dengan
diam atau ucapan lain yang lama. Hal ini dsepakati oleh 3
madzhab, sedangkan madzhab Hambali berpendapat disela
dengan ucapan lain sedikitpun dapat membatalkan adzan.
3. Menggunakan bahasa Arab, kecuali bagi non Arab yang akan
memanggil sesamanya. Ini disepakati oleh 3 madzahab kecuali
mazhab Hanafi yang berpendapat harus menggunakan bahasa
Arab apapun kondisinya.
4. Dilakukan setelah masuk waktu shalat. Jika adzan dilakukan
sebelum masuk waktu dzuhur, ashar, maghrib dan isya maka tidak
sah menurut kesepakatan ulama. Adapun jika hal itu adalah adzan
subuh maka hal itu sah menurut 3 madzhab, kecuali madzhab
Hanafi
5. Kalimat adzan harus tertib, jika tidak tertib maka harus diulang
pada kalimat tersebut, seperti membalik ” hayya alas shalah”
dengan “hayya alal falah”, Ini menurut 3 madhzab kecuali Hanafi
yang berpendapat sah tetapi makruh
8. Adzan Bergantian
Salah satu syarat yang disepakati ulama madzhab adalah
bahwa yang beradzan harus satu orang. Jika seorang
muadzin beradzan sebagian lalu dilanjutkan oleh orang lain,
maka adzannya tidak sah, baik oleh dua orang atau lebih.
Jika adzan dilakukan seperti di atas, maka adzan tidak sah
dan hilang pahala kesunahan adzan
Namun jika dua atau tiga orang beradzan yang masing-
masing beradzan secara sempurna, maka adzan itu sah dan
mendapat pahala kesunahannya, akan tetapi itu bid’ah yang
tidak perlu. Bahkan bisa tidak jika dilakukan di satu tempat.
Hal ini dihukumkan mubah karena tidak ada hadits yang
melarangnya. Sedangkan Kaidah Umum tidak melarang
adazan dua kali atau lebih di satu tempat seperti halnya di
tempat yang berbeda. Akan tetapi ruh syariat Islam
memerintahkan berhenti pada batas yang diperintahkan
agama dalam masalah ibadah. Maka untuk lebih hati-hati
meninggalkan adzan berkali-kali.
9. Syarat Seorang Muazdin
1. Muslim, tidak sah adzan yang dilakukan seorang yang kafir
2. Berakal, tidak sah adzan yang dilakukan oleh orang gila, orang
mabuk dan ayan.
3. Laki-laki, tidak sah azdan dilakukan oleh seorang wanita dan
waria.
Ketiga syarat di atas telah disepakati oelh tiga mazdhab. Sedang
madzhab Hanafi berpendapat bahwa ketiga hal di atas tidak
disyaratkan, sehingga jika mereka melakukan adzan, maka
adzannya sah. Akan tetapi meskipun demikian tidak boleh kita
mempercayai masuknya sholat dengan adzan yang dilakukan oleh
kafir, orang gila dan orang fasik. Adapun adzan wanita dapat
dilarang jika dapat menimbulkan syahwat bagi orang yang
mendengarnya.
Sedangkan syarat baligh tidak disyaratkan, sehingga jika anak
kecil beradzan baik sendiri maupun ikut orang lain maka hal itu
sah menurut 3 madzhab selain Malikiayah yang mengharuskan
mengikuti orang baligh.
Tidak disayaratkan juga sukun (berhenti) pada setiap kalimat
menurut madzahab Maliki dan Syafii, tetapi disunahkan berhenti
pada setiap ujung kalimat
10. Sunah-sunah Adzan
1. Muadzain suci dari dua hadast (kecil dan besar)
2. Suara muadzin bagus dan tinggi
3. Muadzin berada di tempat yang tinggi
4. Muadzin berdiri kecuali ada udzur sakit atau lainnya
5. Muadzin menghadap kiblat, kecuali untuk memperdengarkan pada
orang maka dibolehkan membelakangi kiblat menurut sebagian
madzhab
a. Malikiyah: Muadzin boleh berputar dengan tujuan
memperdengarkannya orang
b. Syafiiyah: Sunah tetap menghadap kiblat jika kampungnya kecil,
namun disunahkan berputar jika kampungnya luas untuk
memperdengarkan pada orang.
c. Hanafiyah: Sunah tetap menghadap kibal jika di dalam mesjid.
Sedang jika berada di menara disunnahkan berputar agar orang dapat
mendengarnya.
d. Tetap disunnahkan menghadap kiblat di setiap kondisi, meskipun
berada di menara
6. Menengok ke arah kanan saat mengucapkan “Hayya alas Sholah”
dan ke arah kiri saat mengucapkan “Hayya alal Falah” dengan
menggerakkan kepala dan lehernya, tanpa dadanya.
7. Berhenti (wukuf) pada setiap lafadz kalimat kecuali kalimat “Allahu
Akbar”, padanya berhenti setiap dua kalimat tersebut.
11. Menjawab Adzan
Disunnahkan menjawab adzan meskipun atas orang yang junub, haidh atau
nifas.
Caranya: mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin, kecuali lafadz:
“Hayya ‘alas sholah” dan “Hayya alal Falah” , maka dijawab dengan lafadz
“Laa haula wala Quwwata illa billah”
Madzhab Hanafi mensyaratkan tidak dalam keadaan haid atau nifas, jika
haid dan nifas maka tidak disunnahkan menjwab adzan.
Sedangkan Madzhab Hambali berpendapat bahwa yang disunnahkan
menjawab adalah orang yang dipanggil melaksanakan sholat fardhu
berjamaah pada adzan tersebut, sedangkan wanita tidak diwajibkan shlat
berjamaah.
Pada lafadz “Ash-holatu khoirum minannaum” jawabannya adalah
“Shodaqta wa barorta” (engkau benar dan engkau telah berbuat baik)
Tidak disunnahkan menjawab adzan bagi orang yang sedang shalat,
meskipun shalat sunnah atau shalat jenazah, bahkan hal itu dimakruhkan
namun tidak menjadi batal shalatnya jika menjawab kecuali jika menjawab
dengan lafadz “Shodaqta wa barorta”, dan “Hayya alas shola”h serta “Hayya
alal Falah”
Tidak disunnahkan juga menjawab adzan bagi yang sedang berkhutbah.
Adapun bagi guru atau murid yang sedang mengajar dan belajar tetap
disunnahkan
Orang yang sedang makan tidak disunahkan menjawab adzan menurut
Syaffiiyah dan Hanafiyah, namun menurut Hambali dan Malikiyah hal itu
12. Menjawab Adzan
Tidak disunnahkan menjawab adzan bagi orang
yang sibuk ‘mendatangi’ isterinya, atau sedang
buang hajat.
Demikian pula tidak disunnahkan menjawab adzan
bagi orang yang sedang mndengar khutbah
Hukum diatas telah disepakati oleh madzhab Syafii
dan Hambali, sedangkan Maliki berpendapat
bahwa orang yang sholat sunnah disunnahkan
menjawab adzan, dan pada saat “hayya ‘ala
sholah..falah...dijawab dengan hauqolah bukan
dengan lafadz yang sama karena hal itu dapat
membatalkan sholat. Adapaun madzhab Hanafi
berpendapat bahwa orang yang sedang sholat jika
menjawab adzan maka batal shalatnya, baik berupa
shalat sunnah maupun wajib.
13. Adzan bagi Shalat yang Tertinggal
Disunnahkan adzan dengan suara keras bagi shalat
yang tertinggal jika dilaksanakan secara berjamaah, baik
di rumahnya maupun di lapangan. Berbeda jika dilakukan
di rumahnya secara sendiri maka tidak boleh dikeraskan
suaranya. Adapun shalat qadha di masjid maka tidak
boleh ada adzan secara mutlak meskipun dilakukan
berjamaah. Hukum ini disepakati tiga madzhab,
sedangkan Malikiyah berpendapat makruh melakukan
adzan bagi shalat yang tertinggal secara mutlak.
Sedangkan jika akan melaksanakan shalat qadha yang
banyak dalam satu majlis, maka cukup adzan sekali saja.
Ini merupakan pendapat Madzhab Hanafi dan Hambali.
Sedangkan Malikiyah berpendapat hal itu makruh seperti
pendapatnya di atas. Adapun Syafiiyah berpendapat
haram adzan untuk shalat qodho lainnya selain yang
pertama
14. Melambatkan Adzan (Tarasul)
Yang dimaksud tarasul (melambatkan adzan) adalah
berhenti panjang antara lafadz-lafadz adzan.
Hanafiyah berkata, Tarasul adalah pelan-pelan, dimana
muadzin mengucapkan kalimat adzan lalu diam seukuran
orang menjawab adzannya, namun diam disini antara
dua takbir bukan antara satu takbir.
Malikiyah berkata, tarasul adalah tidak melambai-
lambaikan adzan, melambaikan-lambaikan tidak makruh
jika tidak keluar dari sekedar keperluan, namun jika
kelebihan maka haram hukumnya. Oleh lagu adzan yang
ada sekarang ini hukumnya haram
Hanballiyah dan Syafiiyah berkata, tarasul adalah
melambat-lambatkan dalam adzan, hukumnya sunnah
15. Makruh-makruh Adzan
Tidak menghadap kiblat, kecuali untuk memperdengarkan orang dari
arah lain.
Adzan dalam keadaan berhadats, baik hadast kecil maupun besar.
Adzan untuk sholat wanita, menurut 3 madzhab. Sedangkan
Syafiiyah berkata, jika adzan untuk sholat wanita namun yang
beradzan adalah laki-laki tidaklah dimakruhkan. Dan jika dilakukan
oleh salah seorang wanita maka hukumnya batal. Jika ia meniru laki-
laki maka haram hukumnya. Dan diperbolehkan jika tidak
meninggikan suaranya.
Berbicara saat adzan, kecuali jika menjawab salam, menjawab
orang bersin, maka menurut
Hanafiyah: dimakruhkan berbicara walau untuk menjawab salam atau
bersin
Syafiiyah: menjawab salam dan bersin bukanlah makruh, wajib menjawab
salam setelah adzan dan sunnah menjawab bersin usai adzan
Hanabilah: menjawab salam dan bersin hukumnya mubah meskipun tidak
diwajinbkan menjawab salam bagi yang sedang adzan
Malikiyah: berbica dan menjawb orang bersin hukumnya makruh, tapi
menjawab salam hukumnya wajib.
16. Iqomah
Iqomah adalah pemberitahuan akan segera didirikannya
sholat dengan lafadz-lafadz tertentu
Lafadz iqomah adalah:
أكبر هللا أكبر هللا
-
االهللا اله ال أن أشهد
-
هلل رسول محمدا أن اشهد
-
على حي
الصالة
الفالح على حي
-
الصالة قامت قد الصالة قامت قد
-
أكبر هللا أكبر هللا
-
اال الاله
هللا
Lafadz itu sudah disepakati oleh Madzhab Syafii dan
Hambali, adapun Madzhab Hanafi berpendapat bahwa
jumlah takbir pertama sebanyak 4 takbir, dan takbir
terakhir sebanyak 2 takbir, dan lainnya dua kali-dua kali.
Sedangkan Madzhab Maliki berpendapat, bahwa iqomah
semuanya witir (ganjil)/sekali-sekali), kecuali takbir
pertama dan terakhir maka dibaca dua kali
17. Syarat Iqomah
Syarat Iqomah sama dengan syarat adzan, kecuali
dalam dua hal:
laki-laki, hal ini bukan menjadi syarat pada iqomah,
sehingga iqomah seorang wanita sah jika untuk dirinya.
Namun jika ia sholat bersama laki-laki maka iqomahnya
untuk sholat mereka tidak sah menurut Syafiiyah dan
Malikiyah. Sedangkan menurut Hanafiyah bahwa syarat
di atas bukanlah syarat sah akan tetapi syarat
kesempurnaan. Sehingga iqomah wanita untuk laki-laki
adalah makruh. Sedangkan Malikiyah berpendapat
bahwa iqomah bagi laki-laki adalah sunnah ain dan bagi
wanita hukumnya mandub
Iqomah harus bersambung dengan pelaksanaan shalat,
sedangkan adzan tidak.
18. Sunnah-sunnah Iqomah
Sunnah iqomah seperti sunnah-sunnah adzan,
kecuali pada beberapa hal yang berbeda:
Adzan di tempat yang tinggi, sedangkan iqomah tidak.
Kecuali madzahab Hambali yang men-sunnahkan iqomah
di tempat tinggi jika tidak ada kesulitan.
Disunnahkan tarji’ (mengulang lafadz syahadat (pada
adzan, sedangkan iqomah tidak.
Disunnahkan membaca lambat pada adzan, sedangkan
pada iqomah disunnahkan membaca cepat. Kecuali
Malikiyah yang berpendapat sunnah dilambatkan bacaan
iqomah.
Disunnahkan meletakan ujung jaring telunjuk di lubang
kuping pada saat adzan. Sedangkan pada iqomah tidak
disunnahkan, kecuali Hanafiyah yang berpendapat hak itu
disunnahkan pada iqomah.
19. Jeda Antara Adzan dan Iqomah
Disunnahkan bagi muadzin untuk duduk di antara adzan dan iqomah
seukuran orang yang biasa sholat berdatangan ke masjid sambil
memperhatikan keutamaan sholat di awal waktu. Kecuali pada
shalat maghrib, maka sebaiknya tidak ditunda, kecuali diberi jeda
sedikit saja seperti ukuran membaca tiga ayat al-Quran. Hukum ini
menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi
Malikiyah berpendapat bahwa bagi jamaah yang menunggu orang
shalat, boleh melaksanakan shalat di awal waktu setelah shalat
sunah qobliyah, kecuali waktu Dzuhur maka sebaiknya ditunda
seukuran orang shalat, dan hal itu ditambah jika cuaca siang panas
hingga pertengahan waktu shalat. Adapun jamaah yang tidak
sedang menunggu dan munfarid maka afdholnya adalah
melaksanakan shalat setelah shalat qabliyah
Hanabilah berpendapat bahwa sebaiknya muadzin duduk menunggu
antara adzan dan iqomah seukuran orang telah menyelesaikan
buang hajatnya, selesainya orang berwudhu, dan sholat dua rakaat.
Kecuali pada shalat maghrib maka diberi jeda antara adzan dan
iqomah seukuran duduk sebentar.
20. Mengambil Upah dari Adzan dan
lainnya
Diperbolehkan menerima upah dari adzan dan lainnya seperti
menjadi imam dan mengajar, ini menurut madzhab Syafi’i dan
Hanafi
Sedangkan madzhab Maliki berpendapat, diperbolehkan
mengambil upah atas pekerjaan adzan dan iqomah.
Sedangkan menjadi imam dibolehkan jika bersamaan dengan
tugas adzan dan iqomah. Sedangkan mengambil atas tugas
menjadi imam maka hukumnya makruh jika upah itu diambil
dari orang-orang yang shalat. Akan tetapi jika diambil dari
wakaf atau Baitul Mal maka tidak dimakruhkan.
Adapun Madzhab Hanafi berpendapat, haram hukumnya
mengambil upah dari hasil adzan dan iqomah jika masih ada
orang yang sukarela melakukannya. Jika tidak ada orang yang
sukarela, maka boleh menerima upah dari waliyul amri
(pemerintah) dari Baitul Muslimin, karena untuk kebutuhan
kaum muslimin
21. Adazan untuk kelahiran, pertempuran,
kebakaran, perang dan lainnya.
Disunnahkan adzan di telinga kanan anak yang baru
dilahirkan saat kelahirannya, dan iqomah di telinga
kirinya.
Demikian juga disunnahkan adzan saat terjadi
kebakaran, perang dan tertinggalnya musafir serta
adzan pada telinga orang sedang gelisah (bengong)
dan kesurupan.
22. Bershalawat dan Bertasbih Sebelum
Adzan
Bershalawat sesudah adzan adalah disyariatkan tanpa ada perbedaan
pendapat, baik dilakukan oleh muadzin maupun lainnya. Berdasarkan hadits
Nabi saw:
علي صلوا ثم يقول ما مثل فقولوا المؤذن سمعتم اذا
“Jika kamu mendengar muadzin, maka bacalah seperti apa yang dibacanya,
kemudian bershalwatlah kepadaku”
Kata “Kemudian bershalawatlah padaku” bersifat umum, baik yang kepada
yang mendengar maupun muadzin, dan hadits pun tidak secara jelas
mengaharuskan bershalawat dengan suara rendah, sehingga jika muadzin
bersuara keras dengan maksud mengingatkan orang maka hal itu adalah
baik.
Hanya saja yang perlu diperhatikan tujuan membaca shalawatnya karena
ibadah dan bukan tujuan lagu. Karena hal ini menjadi bida’ah. Akan tetapi
Madzhab Syafii dan Hambali mensunnahkannya, namun barangkali mereka
pun tetap menginginkannya itu adalah untuk ibadah.
Adapun membaca tasbih sebelum waktu subuh, maka sebagian ulama
mengatakan hal itu tidak diperbolehkan, karena hal itu menganggu orang
yang sedang tidur yang belum dikenai kewajiban oleh Allah swt. Namun
sebagian ulama memperbolehkannya karena terkandung maksud
mengingatkan. Hal demikian, meskipun bukan terkandung hukum syariat,
maka hukumnya bukanlah sunnah atau mandub. Akan tetaopi mengingatkan
orang untuk ibadah adalah diperbolehkan jika tidak ada dampak negatifnya.
Dan yang utama adalah meninggalkan perbuatan tersebut, kecuali pada
bulan Ramadhan karena ada azas manfaattnya