1. Kata-kata Haji Mahbub
Print
Download
Send
Share7
Senin, 03/10/2011 11:26
Tags:
Kata kata
Haji
Mahbub
Space Iklan
300 x 80 Pixel
1 Oktober 1995, H Mahbub Djunaidi menghembuskan nafas
terakhir. Enam belas tahun Mahbub meninggalkan kita,
batang hidungnya tak akan pernah muncul kembali. Tapi
kata-katanya masih hidup. Siapa yang hendak belajar
bahasa? Mahbub salah satu rujukannya.
BAGI saya H. Mahbub Djunaidi adalah jawaranya esais. Misal
ada kategori lima orang esais terbaik dalam sejarah
Indonesia, saya ngotot menominasikannya sebagai salah
2. satu. Kalau definisi mutakhir teks mengatakan sia-sia
membuat pembedaan antara gaya dengan isi tulisan, Mahbub
adalah contoh sempurna.
Gagasan dan kejutan yang diajukan dalam esai-esainya sulit
dibayangkan bisa di tulis dalam gaya penulisan lain. Pendek
kata, bagi saya Mahbub adalah penyihir kata-kata.
Sebutan penyihir boleh jadi terlalu mistik, tapi biarlah. Lalu
bagaimana menjelaskan sesuatu yang mistik? Meski tentu
banyak sisi positifnya, gara-gara birokrasi logika modern,
sebentar-sebentar orang menuduh hal-hal tak terjelaskan
secara rasional sebagai mistik. Toh, sihir punya mantra
seperti pesawat terbang punya karcis. Kalau demikian
adanya, macam apa mantranya Mahbub itu? Apakah hal-hal
yang jadi kekuatan dalam esai-esainya?
Cara pandang terhadap realitas
Orang tentu mafhum Mahbub adalah kolumnis politik. Hampir
di tiap kolom dia menulis perkara tersebut beserta aspek-aspeknya.
Sekurang-kurangnya membahas dampak
kebijakan pemerintah pada orang banyak. Penulis yang
model begini amat banyak jumlahnya. Namun yang
membedakan dengan penulis lain adalah cara Mahbub
memandang persoalan politik, terutama berkaitan posisi
rakyat berhadapan dengan negara.
Ia hampir selalu memulai tulisan dengan memosisikan rakyat
dan negara di atas kertas, menggunakan kerangka teoretik
ideal. Teorinya, negara merupakan organisasi yang dibangun
demi kemaslahatan rakyatnya. Namun dalam struktur tata
negara yang bagaimanapun macamnya, termasuk demokrasi,
mustahil pendapat rakyat yang banyak itu diaplikasikan
3. secara keseluruhan orang per orang. Maksimal, negara
hanya bisa meratakan kesejahteraan dan menjamin
kebebasan berpendapat. Karenanya, rakyat dalam beberapa
hal harus mengerti jika negara yang tugasnya masya Allah
banyak itu, kadang belum sanggup memuaskan mereka.
Namun posisi teoretik Mahbub ini boleh dibilang unik. Ia tak
pernah mengungkapkannya dengan bahasa yang teknis.
Untuk kepentingan ini digunakanlah cerita, anggapan umum,
peristiwa populer, humor, atau macam-macam perabot
lainnya, yang dalam hal ini perlengkapan Mahbub amat
lengkap. Sama sekali tak berpretensi ilmiah.
Silakan cek esai Dinamisasi via Binatang yang ditulisnya
menyambut ide Menteri Agama Mukti Ali untuk
memodernisasi pesantren lewat pemberian binatang ternak.
Pada awalnya Mahbub seperti mengikuti jalan pikiran Mukti
Ali, bahkan terkesan menjelaskannya. Namun belakangan, ia
justru bertanya, kenapa cuma pesantren yang dituding
sekadar konsumen? Bukankah perilaku institusi pendidikan
lainnya juga kurang-lebih demikian adanya?
Sekarang silakan teliti juga esai berjudul Demokrasi: Martabat
dan Ongkosnya. Dalam esai ini akan terjelaskan bagaimana
Mahbub bisa memiliki cara pandang demikian. Sumbernya
tak lain keluguan. Dia menceritakan perihal rancangan
kenaikan anggaran buat anggota DPR sambil menceritakan
betapa logisnya alasan mereka mengusulkan hal tersebut,
persis orang awam yang hanya paham perkara teknis tanpa
menangkap motif lainnya. Mendadak di paragraf akhir,
setelah kita diajak tamasya sambil tertawa-tawa, lewat
pergeseran perspektif yang sublime, ia meledek dengan
lembut, bahwa tuah hak Budget legislatif tiada gigi.
4. Dalam esai, aku-esai yang mewakili pengarang bercerita
lewat medium bahasa, terwujud dalam cara pandang, cara
mengajukan gagasan, cara ajukan pertanyaan, cara
menyimpulkan, dan hal-hal lain yang bersifat unik.
Sebagaimana dimaklumi dalam filsafat bahasa mutakhir, tak
ada realitas di luar bahasa. Secara umum boleh dikatakan
bahwa kemampuan seseorang untuk berpikir logis dan jernih,
akan terefleksi dalam tulisannya, dalam bahasanya. Hal yang
demikian bias kita lihat pada Mahbub.
Mahbub pernah bilang, dirinya lebih senang digantungi merk
sebagai sastrawan. Kenyataannya memang demikian. Tapi
perkara ini di luar fakta bahwa ia pernah menulis beberapa
novel. Perspektif keluguan membuatnya bisa mengeker
kenyataan dengan perspektif unik, sebagaimana umumnya
dipraktikkan para sastrawan. Bertebaranlah di esai-esainya,
pameran hasil pengamatan yang sering bikin kita terlonjak
keheranan. Ada dikatakan orang yang selalu membicarakan
cuaca tak ubahnya orang Inggris. Dia menyebut perihal
berisiknya orang Cina, karena empat orang yang berkumpul
sanggup berbicara bersama-sama. Di lain waktu, ia
menceritakan anak-anak di bulan puasa yang mulai siang
tidur menelungkup menekan perut keras-keras ke ubin
langgar hingga hampir maghrib. Satu dua ada juga yang
diam-diam menggigit mangga muda di belakang kakus.
Dengan pengamatan sekuat ini, tak heran Mahbub seperti
tukang dongeng yang bisa menggubah peristiwa apa saja
menjadi cerita yang mengesankan. Saya menduga
kemampuan mendongeng ini diwariskan Mahbub dari
khazanah tradisi Betawi yang melahirkan beberapa tukang
cerite yang legendaris, seperti Zahid bin Muhammad.
5. Dalam khazanah sastra Indonesia, tradisi menulis dengan
gaya kocak dan lugu ini bisa dilacak dalam karya-karya Idrus,
sebagaimana terlihat dalam kumpulan cerita terbaiknya, Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Saat ini kemampuan
Mahbub mendongeng barangkali hanya bisa disejajarkan
dengan sastrawan Putu Wijaya. Dengan kemampuan
mendongeng ini, Pak Haji Mahbub mampu menyajikan
persoalan dengan ringan. Pembaca paham duduk persoalan
tanpa melewati penjelasan konseptual yang bikin kepala
serasa berlipat.
Pemberontakan literer
Menurut para ahli, kaum sastrawan, terutama penyair, punya
kedudukan istimewa terhadap bahasa, yang dipresentasikan
dalam licentia poetica. Singkatnya, dengan istilah yang konon
pertama kali diajukan oleh Aristoteles ini, dimaksudkan bahwa
demi mencapai tingkat estetika tertentu sastrawan boleh
mengutak-atik bahasa sedemikian rupa layaknya montir
mesin. Dalam hemat saya ini merupakan mantra Mahbub
selanjutnya.
Mahbub sepertinya tak pernah ambil pusing apakah istilah
dan kata-kata yang digunakannya masuk hitungan kebakuan
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Makanya kita bisa capek
sendiri menghitung pelanggaran EYD yang dilakukan dalam
esai-esainya. Biasanya ia memakai istilah dan struktur
bahasa Betawi yang di Indonesia sering dipakai dalam
bahasa percakapan. Beberapa kali ia juga memakai istilah
dari bahasa Jawa. Alih-alih ditegur karena kebandelannya,
Goenawan Mohamad yang dikenal apik berbahasa malah
memujinya sebagai penerobos bahasa. Ya, boleh jadi dalam
hal ini Mahbub memang keblinger, tapi justru dari sinilah esai-
6. esainya mencerminkan karakter yang khas. Dia menemukan
sendiri capaian estetikanya.
Kebandelan Mahbub dalam berbahasa bukanlah sembarang
pelanggaran. Jika ukurannya adalah pencapaian estetik, ia
sanggup memenuhi tagihan sertifikat licentia poetica dengan
impas, barangkali berikut bunganya. Barangkali sifat sastrawi
dalam karya-karya Mahbub bukanlah yang melankolis,
sensitif, mendayu-dayu sifatnya. Tapi, toh, John Steinbeck
yang menulis cerita-cerita yang menyanyikan humor dan
kesintingan pun akhirnya harus datang ke Stockholm,
Swedia, buat menerima Nobel Sastra sambil ditepuktangani
banyak orang.
Humor
Barangkali tak ada segi paling digandrungi dari esai Mahbub
ketimbang humornya. Konon ada orang yang sampai kebelet
kencing lantaran membaca tulisan-tulisannya. Saya sih tak
ekstrem begitu. Paling-paling hanya menyebabkan durasi
membaca jadi lebih lama lantaran sering diselingi cekikikan
dan cekakakan. Celakanya, humor-humor Mahbub sering
terbawa ingatan saat saya melakukan aktivitas lain. Boleh jadi
orang yang kurang paham duduk persoalannya menganggap
saya sinting atau semacamnya.
Mahbub sering menyajikan humor satir. Hal ini bisa kita simak
antara lain pada Sepatu, di mana ia mengejek banyaknya
koleksi sepatu Imelda Marcos. Kadang ia bercerita yang baik-baik
saja perihal lembaga negara atau individu dengan
demikian sempurnanya, sampai-sampai pembaca akhirnya
sadar bahwa Mahbub nyata-nyata tengah mengejek dengan
menyebut nilai-nilai yang justru tak dimiliki pihak
bersangkutan. Hal yang demikian, misalnya muncul pada
7. Kota.
Teknik humor Mahbub yang paling umum adalah metafora
dan celetukan yang bukan alang-kepalang mengejutkannya.
Silakan disimak sendiri sebagian kecil contoh berikut:
- Futurolog itu…semacam dukun juga, tapi keluaran
sekolahan
- Anak-anak saya…patuh sepatuh-patuhnya bagaikan anak
anjing ras
- Sedangkan masuk kamar mandi saja ada risiko
terpelanting, apalagi jadi bendaharawan
- Tidak sedikit orang beli koran dan langsung membaca
iklan-iklan kematian, mencari tahu umur berapakah orang
yang meninggal itu, sekadar membanding-bandingkan
dengan umurnya sendiri
- Maka dari itu, nyonya sehat bagaikan ikan bandeng
- Yoga, melipat badan berlama-lama seperti kelelawar
- Pemerintah mana saja tidak suka penduduknya cerewet
seperti sekandang burung parkit
- Abdurrahman Wahid…bertubuh gempal, ibarat jambu
kelutuk yang ranum…punya kebolehan humor yang
mengejutkan, seakan-akan dia jambret begitu saja dari laci
Penemuan metafora-metafora yang begitu orisinal dan sublim
semacam inilah yang menurut hemat saya menjadi kekuatan
utama dari esai-esai Mahbub. Teknik metafor ini dipadukan
dengan mantra-mantra sihir yang disebut sebelumnya,
membuat esai-esainya lincah. Sering kita temukan beberapa
asosiasi ditumpuk sekaligus dalam satu pernyataan.
Tak jarang demi memberi tempat buat dorongan humornya,
Mahbub harus melenceng barang sebentar dari persoalan
utama. Sering juga berlama-lama. Tapi memang kerapkali
8. pada karya-karya bermutu tinggi, irisan-irisan
“ketidaksempurnaan” semacam inilah yang justru
membumbui estetika. Coba Saudara simak musikus-musikus
hebat yang secara teoretik bakal lebih bagus lagunya
didengarkan di hasil rekaman, karena celah-celahnya telah
disempurnakan lewat bantuan teknologi. Tapi pendengar
musik yang paham duduk persoalan bakal lebih memilih
mendengarkan suara live-nya di panggung, meski lewat
medium perantara.
MAHBUB, seperti yang diakui sendiri dalam sebuah esainya,
adalah seorang generalis. Ia mencomot sembarang persoalan
yang menarik perhatiannya buat dibahas, tanpa peduli batas-batas
spesialisasi keilmuan. Bagaimana Mahbub mau bicara
spesialisasi, wong sarjana saja bukan?
Ia memang unggul dalam hal menyajikan persoalan dengan
sederhana melalui generalisasi yang cerdas. Tapi untuk itu
kadang ia tak sempat menengok ke celah-celah persoalan,
menakar barang sebentar, barangkali ada satu hal atau dua
yang tak masuk dalam kategori generalisasinya. Ia juga
sering membahas masalah hanya dari aspek spesifik tertentu.
Dengan begini, ia tak pernah membahasnya untuk
menyajikan solusi dengan tuntas, mulai ujung kepala sampai
jempol kaki.
Tapi kelihatannya memang bukan pembahasan lengkap
model demikian yang diinginkan Mahbub. Ia ikut berbaur
dengan berbagai macam manusia, lengkap bersama
pluralitas persoalannya, tanpa bermaksud menarik sebuah
rumus deduktif buat setiap masalah. Tapi jangan sekali-kali
menganggap Mahbub tak bisa menulis dengan gaya
konvensional, artinya nirbumbu-bumbu humor di sembarang
9. tempat, tanpa hilang kejernihan. Kalau tak percaya, sila
dibaca, "Soal Pilihan".
Konon, beberapa orang berpendapat, Mahbub memilih teknik
menulis demikian lantaran kondisi sosial-politik Orde Baru
yang tidak memungkinkan orang mengkritik dengan keras.
Maka humor jadi siasatnya untuk menyelubungi perbedaan-perbedaan
pandangannya dengan pihak otoritas. Barangkali
anggapan ini ada benarnya.
Tapi bagi saya sih, peduli setan! Dengan atau tanpa Orde
Baru, Mahbub tetaplah Mahbub yang menyihir kita lewat kata-kata.
Dan kata-kata Mahbub, masih hidup. (Ahmad
Makki, Kontributor Majalah Historia Online]
Lucunya Asal-Usul Mahbub Djunaidi
HL | 29 May 2010 | 11:20 Dibaca: 636 Komentar: 36 3 dari 6 Kompasianer menilai
Bermanfaat
10. Asal-Usul Mahbub Djuaidi: seringkali penuh humor, lucu, satire, menyindir: tapi satu penuh
(auto) kritik bagi bangsanya (sumber:www.jurnalismewarga.com)
SAYA KENAL Mahbub Djunaidi setelah dia wafat.
Udah pasti kenal saya maksud mesti dilengkapi
dengan tanda petik—biar tak ada salah paham.
Satu kali, tahun 2004—saya sudah lupa tanggal dan
bulan—ketika melihat koleksi buku di perpustakaan
pribadi seorang rekan senior, mata saya menangkap
sebuah kitab—kitab itu juga buku, kan?—bersampul
hitam bergambar seorang lelaki paruh baya memegang
kepala. Judulnya: Asal-Usul. Pengarangnya: Ya pastilah
Mahbub Junaidi—terbitan Kompas.
Buku itu merupakan kumpulan tulisan Mahbub Djunaidi
ketika mengisi kolom Asal-Usul—yang hayatnya sama
dengan Mahbub sendiri: telah marhum—di harian
Kompas edisi Minggu.
11. Saya baca halaman belakangnya—udah jadi kebiasaan
saya, kalau nengok buku itu, setelah halaman depan ke
halaman belakang: yang biasanya berisikan testimoni
tokoh tentang buku itu, atau keterangan lain dimana
perlu tentang buku itu—saya langsung jatuh cinta.
“Ini buku bagus!” pikir saya.
Tanpa pikir panjang, saya meminjam buku itu. Rekan
senior saya itu tak mengijinkan, karena tahu kebiasaan
buruk saya: suka lupa memulangkan buku yang sudah
dipinjam—lupa apa “lupa”? Tapi dengan segala cara
saya rayu. Saya bilang kalau saya lagi butuh bahan-bahan
dari Mahbub Djunaidi untuk skripsi. Akhirnya di
luluh. Walaupun saya yakin dia tahu, orang ini saya ini
mahasiswa hukum dan pernah bilang ke dia kalau saya
meneliti tentang “Otonomi Desa”—apa hubungannya
dengan Mahbub Djunaidi dengan kolom Asal-Usul-nya?
[sambil lalu: dan kekhawatiran rekan saya itu benar.
Sampai catatan ini saya buat, buku itu masih ada di
tangan saya. Dia sendiri sepertinya udah lupa kalau
pernah meminjamkan buku itu: wong tak pernah ditanya-tanya
lagi, kemana buku itu? lagi pula dia sendiri pernah
berujar: “Orang paling bodoh itu yang meminjamkan
buku kepada orang lain. Ada yang lebih bodoh lagi.
Siapa? Yang mengembalikan buku yang dipinjamnya
dari orang lain”. Hahaha, tapi saya tidak sedang
mempraktikkan ujar-ujaran kawan saya itu, sama sekali
karena: lupa—lupa apa “lupa”?]
12. Kembali ke Asal-Usul Mahbub Djunaidi. Dalam
pengantar yang dibuat seorang rekan Mahbub, Said
Budairy, diterangkan kalau Mahbub itu kelahiran 22 Juli
1939 (edit: yang benar berdasarkan keterangan keluarga
adalah 1933, demikian diperbaiki)—dari keluarga yang
kental dengan tradisi NU. Sejak kecil ia sudah terbiasa
menulis. Saat SMP cerpennya telah dimuat di Kisah dan
langsung mendapat komentar dari HB Jassin yang
terkenal sebagai Paus Sastra Indonesia itu. Sewaktu
SMA ia menjadi pemimpin redaksi majalah sekolahnya:
Siswa—ia sendiri yang menggagas agar sekolah
mempunyai berkala ini.
Mahbub juga terkenal sebagai seorang politikus.
Seorang organisator. Ia pernah menjadi wakil rakyat
(legislatif) di DPR-GR—turut membidani kelahiran UU
Pers pertama yang kemudian dijadikan orde baru untuk
mengontrol kebebasan pers di negeri ini. Ia juga aktif di
organisasi NU—bahkan sejak masih lagi bersekolah.
Apa yang istimewa dari tulisan-tulisan (boleh baca: Asal-
Usul) Mahbub? Ia lihai memasukkan humor, satire,
sindiran dalam tiap tulisan. Selalu segar. Dan yang
penting selalu berisi kritik politik, sosial, budaya, dan sisi
kehidupan manusia lainnya. Udah pasti semua tulisan itu
bisa begitu karena kenyangnya Mahbub akan
pengalaman: ya menulis ya di dunia sosial-politik-budaya-
agama-dan apa lagi itu.
Dalam tulisan “Kecuali” misalnya Mahbub menyindir soal
(PT) Kereta Api di Indonesia yang telah memonopoli
13. perkereta-apian. Karena saingan, akhirnya berpengaruh
pada pelayanan. Mahbub bilang di Indonesia ini tak ada
yang lestari—bahkan seorang bernama Sri Lestari
sekalipun: pacarnya berganti-ganti (tak lestari), juga
hobbynya dari melihara kucing sampai kadang kambing
(tak lestari) kecuali—mungkin karena ini judulnya
kecuali—ya kecuali: nasi goreng di restorasi kereta api.
Nasi goreng di keretapi api itu dari dulu sampai sekarang
rasanya tetap begitu—tak berubah-ubah (lestari).
Mahbub Menulis:
“… Lihat saja nasi gorengnya. Apa yang dimakan
nenekmu dulu persis sama dengan rasa nasi goreng
yang kamu makan sekarang ini. Tidak meleset barang
sedikit pun. Ada gundukan nasi, ada sepotong kerupuk
dibungkus plastik, ada acar ketimun, dan ada sebutir
cabe rawit, ada telur mata sapi, dan ada sesendok kecil
saus tomat.”
“Dan rasanya?” tanyaku.
“Netral. Artinya: tidak pedas, tidak asin, tidak manis,
tidak pahit dan juga tidak gurih. Walhasil, singkat kata
tidak ada rasa apa-apa.”
“Apa maksudmu tidak ada rasa apa-apa?”
“Ya tidak ada rasa apa-apa,” jawab kawanku.
“Juga tidak ada rasa nasi goreng?”
“Juga tidak ada rasa nasi goreng.”
14. “Tapi namanya kan nasi goreng?”
“Ya, namanya memang nasi goreng.”
“Kok begitu?”
“Ya begitu. Namanya saja sudah monopoli,” jawabnya.
“Untuk selamanya begitu?”
“Ya untuk selamanya. Itu sebabnya kusebut lestari.
Satu-satunya yang lestari di atas bumi ini.”
Mahbub juga mengkritik soal kampanye pemilu.
Tulisnya: “Berbeda dengan nasi dan roti, program itu
tidak pernah basi-basi. Kapan saja dibaca,
kedengarannya senantiasa baru. Apalagi, tidak ada
program yang jelek, semua program bagus-bagus
belaka”.
Macamnya kritik Mahbub ini masih relevan. Sampai
sekarang pun kampanye pemilu di negeri ini tak pernah
ada yang jelek. Semuanya bagus. Foto-foto calon
pemimpinnya juga bagus. Yang jelek cuma realisasi
janji-janji kalau sudah terpilih nanti. Meminjam Harry
Roesli: seperti tukang sepatu: janji minggu jadi rabu.
Banyak tulisan lain yang disampaikan dengan satire,
humor, kocak, jenaka dalam Asal-Usul. Tapi semuanya
adalah (auto) kritik. Tentang negeri bahari misalnya—
Mahbub seperti Pramoedya A. Toer selalu mengingatkan
kalau Indonesia ini negeri bahari bukan agraris: yang
merupakan warisan kolonial, untuk kepentingan kolonial
15. sendiri. Dan ia selalu membela orang pinggiran:
gelandangan pengemis misalnya, ia tolak perda yang
mengkriminalisasi gelandangan dan pengemis—
menurutnya itu bertentangan dengan konstitusi.
Cara ini mestinya dipilih Mahbub karena waktu Orde
Baru masih berkuasa. Rezim yang anti-kritik. Kalau
ditulis dengan lugas, sudah pasti ia masuk bui. Bahkan
ini benar pernah terjadi: karena tulisannya dan
kegiatannya pada pemilu 1977 memberikan ceramah-ceramah
soal kritiknya terhadap sistem pemilu dengan
[hanya] tiga partai peserta pemilu itu. ia dipenjarakan
oleh Soeharto tanpa persidengan Meja Hijau.
Mahbub menulis hingga akhir hayat di Asal-Usul. Ia
wafat 1 Oktober 1995. Darinya kita bisa belajar tentang
bagaimana seharusnya seorang penulis, masyarakat
sipil, cendikiawan: selalu beroposisi dengan kekuasaan,
walaupun taruhannya kemudian kebebasan diri sendiri.
Salute untuk [alm] Bung Mahbub! [*]
Pendekar Pena dari Betawi
Ia mengkritik dengan humor dan membicarakan suksesi Soeharto sejak
dini.
OLEH: BONNIE
NAMA Zahid bin Mahmud sebagai tukang cerite, sebutan bagi pendongeng di
Betawi, demikian tersohor di Jakarta pada era 1960-1970-an. Saking populernya
lelaki Tanah Abang itu sampai-sampai muncul istilah ngejaid untuk menyebut
kegiatan mendongeng. Dongeng Zahid sangat digemari lantaran ia berkisah
dengan menyenangkan dan kerap membumbuinya dengan humor.
Tradisi tukang cerite memang telah lama ada di kalangan masyarakat
Betawi. Hikayat Nyai Dasima karya G. Francis tahun 1896 sudah menyebut
16. perihal tukang cerite. Kisah Nyai Dasima sendiri dipercaya sebagai kejadian
faktual di era 1820-an. Sejak masa tersebut hingga era Zahid, Betawi tak pernah
kehabisan tukangcerite dengan gayanya masing-masing.
Tradisi mendongeng inilah yang sepertinya menginspirasi H. Mahbub Djunaidi.
Pria yang juga berasal dari Tanah Abang itu memang bukan tukang cerite seperti
Zahid, melainkan jurnalis kawakan. Mahbub terkenal sebagai kolumnis yang
mampu menulis soal politik secara ringan, menyampaikan kritik dengan halus
dan riang. Seperti pendongeng, ia memadukan cerita dan humor yang memikat
pembaca.
Mahbub bukan tipe pemikir yang menuliskan bangunan paradigma secara utuh.
Esai-esainya menggambarkan ia begitu percaya pada demokrasi berikut
dinamika politiknya. Ia meyakini kesejahteraan masyarakat harus diperjuangkan
lewat politik. Secara konsisten ia menampik jika pembangunan mesti
mengorbankan bagian masyarakat tertentu, terutama lapisan bawah.
Mahbub lahir pada 27 Juli 1933. Ayahnya K.H. Muhammad Djunaidi, tokoh NU
yang pernah menjadi anggota DPR hasil pemilu 1955. Ketika keluarganya
mengungsi di Solo pada awal kemerdekaan, ia masuk madrasah dan oleh
seorang gurunya diperkenalkan dengan karya-karya modern, seperti Sutan
Takdir Alisjahbana, Mark Twain, atau Karl May. Ketika kembali ke Jakarta, ia
meneruskan pendidikan di SMP dan SMA yang awalnya berlokasi di Cideng,
kemudian pindah ke Jalan Budi Utomo.
Ia sudah rajin menulis sejak SMP. Karya-karyanya telah dimuat di berbagi media
massa terkenal saat itu, seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Roman, Star Weekly,
dan Cinta. Tapi pengalaman yang paling tak terlupakan Mahbub adalah ketika
pertama kali cerpennya, Tanah Mati, dimuat majalah sastra Kisah yang
digawangi oleh HB Jassin, paus sastra Indonesia. Di SMA ia sempat mengasah
bakat jurnalismenya dengan memprakarsai sekaligus menjadi pemimpin redaksi
majalah sekolah Siswa.
Tendensi Mahbub kepada dunia politik sudah terlihat dari kegemarannya
mengikuti bermacam organisasi pelajar, mahasiswa dan pemuda, sejak ia masih
sekolah. Berbagai organisasi, mulai dari IPPI, IPNU, GP Ansor dan HMI. Tahun
1960 ia meninggalkan HMI untuk menjadi Ketua Umum pertama PMII. Di setiap
organisasi tersebut Mahbub berperan aktif. Entah sebagai ketua, atau jajaran
pucuk pimpinan. Aktivitasnya inilah yang di kemudian hari mengantarnya ke
struktur kepengurusan Nahdlatul Ulama.
Karir Mahbub di dunia jurnalistik nasional bermula pada tahun 1958. Ketika itu
K.H. Saifuddin Zuhri, mengajaknya membangkitkan lagi Duta Masyarakat, koran
NU yang sempat bangkrut. Menurut sahabat Mahbub, almarhum Said Budairy,
penunjukkan itu sebetulnya tanpa pertimbangan yang jelas. Namun ternyata
Mahbub mampu bertahan di koran tersebut, bahkan menjadi pemimpin redaksi
mulai tahun 1960, hingga koran ini kembali berhenti edar pada 1970.
Di koran ini Mahbub mendidik para wartawannya untuk disiplin dalam menulis.
Baginya menulis harus sekali jadi. Gagasan mesti selesai di pikiran, baru
17. dituliskan. Chotibul Umam yang menjadi sekretaris Duta Masyarakat di era
tersebut, menyaksikan bagaimana atasannya ini marah jika melihat
wartawan Duta Masyarakat merobek kertas tulisannya yang tidak jadi. Mahbub
sendiri tiap hari menyelesaikan tajuk rencana dalam tempo 1-2 jam.
Diceritakan oleh Said Budairy dalam pengantar buku Asal Usul Mahbub Djunaidi,
di koran ini Mahbub mulai berkenalan dengan Soekarno secara pribadi. Ketika
itu Presiden Pertama RI ini meminta KH Saifuddin Zuhri mengajak Mahbub ke
istana. Soekarno tertarik karena Mahbub menulis, bahwa kedudukan Pancasila
lebih sublim dari Declaration of Independence-nya Amerika Serikat yang disusun
Thomas Jefferson, atau Manifesto Komunis bikinan Karl Marx dan Frederich
Engels.
Pertemuan itu rupanya memberi kesan mendalam pada kedua belah pihak.
Sebagaimana diceritakan Mahbub dalam esai Jalan Pintas yang Pernah
Dilakukan oleh DPA, Soekarno pernah berniat mengangkat Mahbub sebagai
anggota DPA pada tahun 1966, tapi ditolaknya. Sementara Mahbub sendiri
mengatakan, “Kalau tidak ada Bung Karno saya tidak yakin persatuan dan
kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang.”
Pada kurun 1960-1970-an boleh dibilang periode paling sibuk dalam hidup
Mahbub. Selama satu dekade itu ia menjadi anggota DPR-GR/MPRS, dan
sempat mengetuai Pansus UU Ketentuan Pokok Pers. Para anggota pansus
antara lain Sayuti Melik, Rh. Kusnan, Soetanto Martoprasono, serta Said
Budairy. Sementara karirnya di dunia jurnalistik kian berkibar dengan terpilih
menjadi ketua PWI, tahun 1965 hingga tahun 1970. Hal ini berbarengan dengan
aktivitasnya selaku Ketua Umum PMII dan Ketua II GP Ansor.
Semua pencapaian tersebut rupanya tak membuat Mahbub puas. Antusiasme
pada sastra mengantarnya memenangkan sayembara mengarang roman Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974, lewat novelnya Dari Hari ke Hari yang
menggambarkan era revolusi kemerdekaan Indonesia di Solo melalui kacamata
seorang bocah.
Ia memang pernah mengaku lebih suka dianggap sebagai sastrawan dibanding
yang lainnya. Tapi baginya menjadi jurnalis dan sastrawan saja tidak cukup.
Perubahan mesti diperjuangkan lewat jalur politik dan kalau perlu melakoninya
sendiri. Lain halnya dengan Mochtar Lubis, sahabat Mahbub, yang sering
digodanya sebagai wartawan pelapor sejarah, bukan pelaku sejarah, karena
Mochtar tak mau ikut berpolitik.
Sejak tahun 1977 ketika pemilu pertama kali digelar dengan tiga kontestan,
Mahbub merasa kondisi Orde Baru mesti berubah. Ia masuk ke kampus-kampus
membicarakan suksesi kepemimpinan nasional. Akibatnya ia ditahan hampir
setahun di Nirbaya tanpa pengadilan. Karena sakit ia dipindahkan ke RS Gatot
Subroto, dan sejak itu ia tak pernah benar-benar sehat. Dalam masa tahanan
inilah ia menulis novel Angin Musim.
Pasca penahanannya, ia kembali aktif di bidang organisasi dan politik. Ia berbalik
menggembosi suara PPP di kalangan basis massa NU, ketika unsur-unsur
18. ormas tersebut di PPP disingkirkan oleh Ketua Umum PPP kala itu, H. Naro. Di
NU ia sempat menjabat Wakil Ketua Tanfidziyah PB NU ketika Gus Dur
mengampanyekan “NU kembali ke Khittah 1926”. Namun kedua tokoh humoris
ini akhirnya berselisih pandang soal relasi antara NU dan politik.
Dalam dunia tulis-menulis, Mahbub tetap menyumbangkan pikirannya di
berbagai media massa dan secara rutin mengisi kolom Asal Usul di Kompas. Ia
juga menerjemahkan beberapa buku, di antaranya 100 Tokoh yang Paling
Berpengaruh dalam Sejarah (Michael H. Hart) yang selama dua tahun masa
terbitnya mengalami 16 kali cetak ulang.
Perihal kolom Asal Usul, diceritakan J.B. Kristanto dalam pengantar antologi Asal
Usul, kolom ini muncul sejak 1984, dan beberapa wartawan mengisinya
bergantian. Karena dirasa kurang memuaskan, dilakukanlah evaluasi yang serta-merta
memunculkan nama Mahbub Djunaidi, yang langsung menyatakan
kesediaannya. Maka sejak 23 November 1986 hingga akhir hayatnya, Mahbub
menjadi penulis tunggal Asal Usul.
Di balik sifat humor dan riangnya, Mahbub tetap seorang berprinsip teguh. Pada
Maret l994 ia diwawancarai tabloid Detik tentang suksesi kepemimpinan
nasional. Ia konsisten dengan pendiriannya; "Mengapa tidak etis membicarakan
suksesi? Suksesi bukan masalah etis tidak etis. Tapi masalah bagaimana
kehidupan kita bersama di waktu mendatang. Saya setuju membicarakan
pembatasan masa jabatan Presiden, karena orang yang terlalu lama menjabat,
cendrung menyalahgunakan kekuasaannya karena terlanjur mapan," ujarnya.
Sayangnya ketika Soeharto lengser dari kursi presiden empat tahun sesudah
wawancara tersebut, Mahbub telah tiada. Pada 1 Oktober 1995 ia terbebas dari
sakit yang bertahun-tahun dideritanya. Dalam sebuah surat untuk keluarganya ia
berpesan: “Kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda
mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan…Hanya kejujuran, kepolosan,
apa adanya yang bisa memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan."
Apa yang dikatakannya dalam surat tersebut kiranya tak berlebihan. Segala
aktivitasnya tak dimanfaatkan untuk mencari kelimpahan materi. Sebuah VW
kodok bekas berwarna kebiruan yang digunakannya mengarungi kesibukan
sejak era 1960-an, merupakan aset yang dipinjamkan Duta Masyarakat. Begitu
pun dengan tempat tinggalnya di Kebayoran Baru.
Selama hidupnya, selain Soekarno, Mahbub juga mengagumi Pramoedya
Ananta Toer. Kepada Ridwan Saidi, Mahbub mengungkapkan kekesalannya
karena dua kali tulisannya perihal Pramoedya ditolak media. “Orang yang seperti
Pramoedya cuma satu dimusuhi terus-menerus. Padahal secara bahasa Pram
mendidik kita,” katanya. Ketika tetralogi Pram dilarang oleh Kejaksaan Agung, ia
bersikeras memberikan empat karya tersebut kepada Mendikbud Fuad Hasan.
Sebaliknya, Pram pun mengagumi Mahbub. Menurut Koesalah Toer
dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, pada peluncuran buku Sketsa
Kehidupan dan Surat-surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi tahun
1996, Pram yang biasanya enggan diminta sambutan, kali ini maju ke depan
19. forum. Dikatakannya, di kala ia diserang dari segala penjuru, hanya Mahbub
yang membela.[AHMAD MAKKI/KONTRIBUTOR]
Mahbub Junaidi Sang Ketum PMII dengan Senjata
Pena-nya
Mahbub Junaidi namanya “Pendekar Pena”
panggilannya. Sosok kelahiran 27 juli 1993 ini begitu gemar menulis, bahkan ia
pernah bersatement “Saya akan menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu
lagi menulis”. Tokoh kelahiran jakarta ini memulai karier menulisnya ketiaka Ia
duduk di bangku Sekolah, sebagai Redaktur majalah Sekolah.
Ia adalah anak pertama dari 13 Saudara kandungnya, mengenyam pendidikan SD
di Solo. Keluarganya harus mengungsi di SOLO karena kondisi yang belum aman
pada saat awal kemerdekaan. Pemahaman Ke-Islamannya nya Ia tempuh di
madrasah Mabaul Ulum. Di pesantrenlah Mahbub diperkenalkan tulisan-tulisan
Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain. “Masa-masa itulah
yang sangat mempengaruhi perkembangan hidup saya,” cerita Mahbub.
Ayahandanya H. Djunaidi adalah tokoh NU dan pernah jadi anggota DPR hasil
Pemilu 1955.
Saat Belanda menduduki Solo, Mahbub Junaidi muda dan keluarganya kembali ke
Jakarta, 1948. kemudian ia menjadi siswa SMA Budi Utomo,Sejak itulah ia menulis
sajak, cerpen, dan esei. Tulisan-tulisannya banyak dimuat majalah Siasat, Mimbar
Indonesia, Kisah, Roman dan Star Weekly. Melanjutkan perjuangan ayahandanya ia
juga menjadi anggota Ikatan Pelajar NU (IPNU). Kuliahnya di UI terhenti hanya
sampai tingkat II. Kegiatannya dalam organisasi mengantarkan Mahbub ke jabatan
pemimpin harian Duta Masyarakat (1958), dan Ketua Umum Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) pada 1965, kemudian Ketua Dewan Kehormatan PWI, sejak 1979.
Terakhir, di samping sebagai Wakil Ketua PB NU, ia juga duduk di DPP PPP.
20. Sebagai kolumnis, tulisan Ketua Umum PB PMII Tiga Periode Ini kerap dimuat
harian Kompas, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Pelita, dan TEMPO. Kritik sosial
yang tajam tanpa kehilangan humor adalah ciri khas tulisan Sang Pendekar Pena
ini. Akibat tulisannya yang tajam, Ia pernah ditahan selama satu tahun di tahun
1978. jeruji besi dan gelapnya penjara tak menghambat nalar menulisnya di dalam
penjara ia menerjemahkan Road to Ramadhan, karya Heikal, dan menulis sebuah
novel Maka Lakulah Sebuah Hotel. Jaya, 1975.
Sosok yang memimpin PMII sejak tahun 19960-1967 ini mengagumi pengarang
Rusia Anton Chekov dan Nikolai Gogol. Sedang Penulis Dalam Negri yang Ia
kagumi adalah Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer. Meski sering berkunjung
ke luar negeri, pengalaman yang menarik baginya adalah , ” bergaul dan berdiskusi
dengan Bung Karno,Sang Revolusioner RI,” Ujar ayah tujuh anak, yang sudah dua
kali naik haji ini. Baginya tanpa Soekarno, Indonesia tak mungkin bersatu di era
Revolusi 1945.
Profil Singkat Beliau: Ketua Umum PP.PMII tiga periode, yaitu periode 1960–1961,
hasil Musyawarah Mahasiswa Nahdliyin pada saat PMII pertama kali didirikan di
Surabaya Jawa Timur. Periode 1961-1963, Hasil Kongres I PMII di Tawangmangu
Jawa Barat. Dan Periode 1963-1967, hasil Kongres PMII II di Kaliurang Yogjakarta.
Pada masa kepemimpinan sahabat Mahbub Junaidi inilah PMII secara politis
menjadi sangat populer di dunia kemahasiswaan dan kepemudaan, sampai pada
periode pertama sahabat Zamroni. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum PWI
pusat dan pimpinan Redaksi harian Duta Masyarakat (1965–1967), ketua dewan
kehormatan PWI (1979 – 1983), anggota DPR GR (1967-1971), Wakil Ketua PB NU
(1984-1989), Wakil sekjen DPP PPP, Anggota DPR/MPR RI (1971-1982), Pencetus
“Khittah Plus” , Ketua Majlis Pendidikan Soekarno dan anggota mustasyar PB NU
(1989-1994).
AHBUB JUNAIDI TOKOH MULTI TALENTA
Jumat, 11 November 2011
Adriansyah
Dalam sejarah republik ini, pernah muncul seorang tokoh aktivis
mahasiswa yang sangat multi talenta,bahkan hampir jarang ditemukan
21. sosok yang lengkap seperti beliau saat ini, beliau adalah Mahbub
Junaidi (Jakarta, 27 Juli 1933). Mahbub adalah seorang tokoh satrawan,
jurnalis, organisatoris, agamawan dan politisi. Dalam hal tulis-menulis
Mahbub temasuk sangat piawai pada masanya, misalnya beliau yang
menerjemahkan buku 100 tokoh yang berpengaruh di dunia karangan
Michael H. Hart.
Dalam menulis kolom, Mahbub sangat terkenal dengan bahasa satire
dan bahasanya yang humoris. Bahkan, Bung Karno samapai terkesan
dengan tulisan beliau, karena Mahbub mengatakan Pancasila lebih
agung dari Declaration of Independence, sehingga Bung Karno sempat
mengundang Mahbub ke Istana Bogor, dari situlah Mahbub Junaidi
menjadi sangat dekat dengan Bung Karno, dan Mahbub sangat kagum
dengan “sang penyambung lidah rakyat tersebut.”
Ajaran Bung Karno, memang cukup mempengaruhi nasionalisme
Mahbub. Pada sebuah pertemuan wartawan di Vietnam, Mahbub
menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi kendati ia
cukup fasih berbahasa Inggris atau Prancis. Inilah sikap
nasionalismenya. “Bahasa Prancis bukan bahasa elu, dan bahasa Inggris
juga bukan bukan bahasa gua.”Kalau istilah bahasa Ciputat dan
sekitarnya, Mahbub sosok yang bebahasa nyablak.
Humor adalah cara dari Mahbub untuk mengajak seseorang masuk
kedalam suatu masalah, karena salah satu kebiasaan dari orang
Indonesia adalah suka tertawa, maka untuk mengkritik dengan cara
yang enak adalah lewat humor. Sebagaimana yang pernah dikatakan
Gus Dur, “dengan humor kita dapat sejenak melupakan kesulitan
hidup.”
22. Dalam kariernya sebagai aktivis mahasiswa, Mahbub Junaidi pernah
menjadi ketua PP. HMI, kemudian mengundurkan diri dan bersama
sahabat-sahabatnya membentuk Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) pada 17 April 1960, dan pada saat itu juga Mahbub
Junaidi terilih sebagai ketua umum PMII yang pertama.
Saat HMI pernah ingin di bubarkan oleh Bung Karno, dikarenakan
tokoh-tokoh Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI PERMESTA
di Sumatera Barat,Mahbub langsung berangkat ke Istana Bogor unuk
berdialog langsung dengan Bung Karno, dan pemintaan Mahbub sangat
tegas, yaitu “HMI jangan di bubarkan.” Dan akhirnya tuntutannya itu
terkabul.
Di masa pemerintahan Orde baru adalah masa pesakitan bagi Mahbub
Junaidi, beliau merasa kariernya sebagai wartawan yang kritis dan lugas
terasa dibungkam pada saat itu, bahkan beliau pernah dipenjara oleh
rezim tersebut karena dituduh terlibat dalam peristiwa G 30
S/PKI,padahal itu sesat setelah beliau terpilih sebagai ketua PWI.
Saat menjadi aktivis mahasiswa, Mahbub juga ahli dalam membuat
lagu, mars PMII dan mars Gerakan Pemuda Ansor juga ciptaan dari
Mahbub Junaidi. Dari kariernya sebagai ketua umum PB PMII, membuat
kaiernya melesat ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dan
terakhir juga dipercaya sebagai salah satu ketua di PPP (Partai
Persatuan Pembangunan). Di PPP beliau dalam kampanye dibantu oleh
Rhoma Irama, Zainudin MZ dan Nurcholis Majid, sehingga suara PPP di
daerah meningkat dan menang di DKI Jakarta pada saat itu.
23. Tokoh multi talenta ini kini telah tiada, sejarah pergerakannya yang
sempat dibenam oleh rezim berkuasa,namun karya-karyanya dan jasa-jasanya
telah tertoreh dalam tinta emas dunia pergerakan dan
jurnalis ,sehingga para aktivis mahasiswa bisa mengambil pelajaran
besar dari sosok tokoh multi talenta seperti Mahbub Junaidi.
Referensi
1. http://pmiikomfuspertum.blogspot.com/2009/01/mah
bub-junaedi-pmii-legend.html
2. http://pwi.or.id/index.php/Pressedia/M-dari-
Ensiklopedia-Pers-Indonesia-EPI.html
Dipos k a n oleh Intelek tua l Muda Mus lim di 2 3 : 5 8
Catatan: Mahbub Djunaidi mungkin satu-satnya penulis kolom dengan gaya jenaka
yang tidak atau sulit tergantikan hingga sekarang. Saat membaca kembali kolomnya
yang pernah dimuat di rubrik Asal Usul Kompas berikut ini, saya tak henti-hentinya
untuk terpingkal-pingkal. Silahkan dinikmati kolom Mahbub di bawah ini.
Ulil
-----
Kolumnis
Mahbub Djunaidi
TIAP KTP punya baris "pekerjaaan" yang mesti diisi. Seorang Dirjen akan dengan
mantap mengisinya karena yakin betul tiap orang mafhum belaka apakah makhluk
dirjen itu. Seorang makelar pun sekarang ini tidak usah kikuk mencantumkan
profesinya, karena dunia makelar pun sudah sah jadi penunjang pembangunan
seperti halnya juga komisioner. Sekarang, apa yang harius diisi seorang penganggur
yang banyak sekali jumlahnya di negeri ini? Demi harga diri dan demi supaya tidak
dicurigai, mustahil seorang penganggur mengisi apa adanya dalam KTP. Karena
jenis pekerjaan mesti jelas tercantum, maka apa yang mesti ditulis oleh penganggur
yang tidak punya pekerjaan?
Biasanya mereka isi dengan perkataan "swasta" atau "wiraswasta. Saya berani
24. bertaruh, tidak ada penganggur yang berterus terang menulis apa adanya. Selain
demi harga diri dan demi jangan dicurigai, juga mereka menghindar dari mengaku
penganggur itu karena merasa kurang enak kepada pihak pemerintah, takut
dianggap menyindir. Mengapa menyindir? Karena bunyi pasal 27 UUD berbunyi
"Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan". Jika penganggur mengaku terus terang keadaanya, apa itu bukannya
bisa dianggap menyindir, seakan-akan pemerintah sudah tidak mampu
menyediakan pekerjaan yang layak?
Hal serupa dialami oleh para pengemis. Jika pemerintah berpegang teguh secara
murni dan konsekwen pada bunyi pasal 34 UUD yang berbunyi "Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara", maka tidak mungkin bergelombang-gelombang
pengemis masuk kota. Anehnya, ada kotamadya yang mengancam akan
merazia dan menangkap pengemis. Apakah memang pantas dipersoalkan kenapa
sampai melalaikan pasal 34 UUD itu hingga berdasar Pancasila ini bila orang
diperbolehkan sekaya-kayanya, tapi para fakir miskin malahan diuber-uber?
PEKERJAAN Dirjen orang tahu. Begitu juga makelar atau komisioner. Bahkan
profesi dukun pun orang paham. Tapi profesi "kolumnis" masih asing dan belum
banyak yang maklum. Jika saya mencantumkan perkataan "kolumnis" sebagai jenis
pekerjaan, banyak yang bertanya-tanya binatang apa sih kolumnis itu? Kolumnis itu
bagian pekerjaan malam apa siang? Bahkan ada yang bertanya, apa beda antara
kolumnis dengan komunis? Tentu beda. Komunis itu sudah musnah sedangkan
kolumnis itu masih ada, setidaknya sampai hari ini. Perkara besok akan lenyap juga,
nantilah kita lihat saja.
Apa yang ditulis kolumnis itu memang fakta? Bisa fakta dan bisa juga bukan fakta.
Sebab, jika semua fakta mesti ditulis secara terbuka dan apa adanya, dalam tempo
tiga hari dunia ini akan terbolak-balik. Bahwa koran mesti menyiarkan yang faktual,
itu benar. Tetapi tidak semua fakta layak disiarkan. Sebab, apa jadinya jika semua
fakta disiarkan oleh koran? Apa jadinya jika korupsi mulai teri hingga kakap
dibeberkan apa adanya?
Saya punya contoh, bagaimana seorang kolumnis menulis bukan atas dasar fakta,
melainkan imajinasinya yang diharapkan bisa ditarik manfaatnya oleh pembaca.
Misalnya kolumnis Ajip Rosidi yang sudah bertahun-tahun bermukim di Jepang.
Dalam Kompas terbitan 6 Juni 1986, ia menurunkan tulisan berjudul Sendok,
Garpu dan lain-lain. Tulisan itu menyebut ihwal makanan, cara makannya, apa
pakai sendok apa pakai sumpit, apakah itu makanan Jepang atau Barat.
Sebagai orang yang kenal baik Ajip Rosidi, saya tahu persis ia sama sekali bukan
gastronom, bukan pakar makan-memakan, bahkan mirip pun tidak. Ia bukan
tukang makan, melainkan tukang telan apa saja yang lewat di depan hidung.
Bagaimana mungkin seorang awam makanan seperti Ajip berani menulis artikel
ihwal makanan, kalau bukan semata-mata atas dorongan imajinasinya? Bagaimana
25. mungkin seorang yang tidak bisa membedakan mana kroket dan mana combro
mampu menulis soal makanan? Ini sama saja anehnya dengan orang asal Indihiang
yang berdiam di kaki Gunung Galunggung bicara soal taman laut dan rahasia
samudera.
Saya punya kisah pribadi yang mendukung pendapat saya. Pada tahun 1982 saya
mampir di Kyoto naik kereta api., Ajip Rosidi persis menunggu di pintu gerbong.
Sesudah bersalam-salaman sebagaimana layaknya, sesudah tanya ihwal masing-masing
dan bertanya ihwal Tanah Air yang saat itu menjelang saat pemilu, Ajip pun
berbaik hati menawarkan apa saya mau makan siang, dan makanan apa yang saya
sukai.
Saya bilang, memang saya belum makan, dan makan apa pun
jadilah. Sukiyaki boleh, steak Kobe pn jadi, pokoknya asal cepat. Maka Ajip pun
mengajak berjalan kaki masuk keluar lorong, ada barangkali satu jam sehingga
bukan saja perut makin lapar, tapi kaki pun sudah kaku. Di dalam hati saya berpikir,
kok [di] kota semacam Kyoto yang cukup besar itu, susah betul cari restoran?
Sesudah kaki tidak kuat lagi melangkah, tahulah saya bahwa Ajip sebetulnya tidak
tahu persis, di mana letak restoran yang menjual makanan [yang] saya sebut itu,
bahkan Ajip malahan tidak bisa baca huruf Kanji. Tentu saja ia tidak bisa
membedakan mana restoran dan mana toko potret.
Sesudah tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan, saya pun pasrah dan
mengusulkan supaya makan makanan apa saja yang tampak oleh mata. Maka, kami
pun menghampiri depot penjual hamburger, makanan yang bisa ditemui siapa saja
dengan mudah, baik oleh nenek-nenek maupun orang buta.****
Kompas, 17 Juli 1988.
Sulitnya Mencari Mahbub Djunaidi
Posted on Desember 3, 2008 | 5 Komentar
26. Karya terjemahan Mahbub Djunaidi
Tak bisa mungkir, awal ketertarikan saya kepada Mahbub Djunaidi dipicu oleh
kesamaan organisasi yang kami geluti; PMII. Butuh waktu lama bagi saya untuk
sedikit demi sedikit menyerap kabar tentang tokoh kelahiran Betawi ini, baik
yang lebih bersifat kabar burung, maupun yang bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Sampai pada satu waktu saya mulai akrab dengan internet dan
mendapat ide untuk menanyakan perihal Mahbub Djunaidi kepada Google.
Namun hingga kini saya selalu dibuat kecewa karena sedikitnya informasi terkait
yang bisa saya dapatkan. Hal yang sama saya jumpai dari mesin pencari lain
seperti Yahoo dan sejenisnya.
Kenyataan ini cukup membuat kening saya berkerut karena heran, kenapa ia
sampai dibuat lunta sedemikian rupa? Padahal dari sedikit data yang bisa
didapatkan, saya menganggap ia bisa dikategorikan sebagai tokoh besar nasional,
baik sebagai aktivis, wartawan, maupun tokoh masyarakat. Saya kira orang-orang
yang bergelut intens di tiga wilayah ini tak akan mengesampingkan nama
Mahbub Djunaidi dari ingatannya. Jika menelisik rekam jejaknya, tentu kita bisa
melihat alasan-alasannya
Sebagai aktivis
Konon Mahbub Djunaidi, yang terlahir dalam tradisi pesantren, bukanlah santri
yang berhasil, bahkan ayahnya yang juga seorang kiai sempat dibuat malu oleh
hal ini. Sebagai hukumannya kala itu Mahbub diwajibkan menghafal Barzanji di
luar kepala (Emmy Kuswandari, 2008). Namun catatan ini berubah ketika ia
memasuki dunia kemahasiswaan yang akrab dengan aktivisme. Memang, sebagai
aktor perkuliahan catatan studinya tidak menggembirakan, hanya sampai tingkat
dua di Fakultas Hukum UI, tetapi jika melihat perannya sebagai aktivis, kita bisa
dibikin tak berkedip membaca catatannya.
Karirnya sebagai aktivis dimulai dari IPNU. Ketika itu, era akhir 50-60an,
kondisi politik Indonesia tengah semrawut, kedudukan Soekarno mulai goyah.
Mahbub yang ketika itu berstatus mahasiswa dan menjadi kader HMI -satu-satunya
organisasi mahasiswa Islam kala itu, tergabung dalam kelompok yang
27. tidak puas dengan keputusan HMI menjadi underbow Masyumi. Bersama
kelompoknya, Mahbub memutuskan keluar dari organisasi ini. Dan setelah
melalui berbagai liku perjalanan, akhirnya pada tanggal 17 April 1960, ditandai
dengan Deklarasi Tawangmangu, lahirlah organisasi PMII yang hingga kini
menjadi salah satu organisasi terbesar dan termasif di Indonesia. Dalam
kesempatan tersebut Mahbub Djunaidi sekaligus terpilih sebagai ketua umum
pertama PB PMII (1960-1967) (M. Afifudin, 2008).
Aktivitasnya di PMII ini berbarengan dengan kegiatannya di GP Ansor. Ketika itu
ia menjabat Ketua II (1964-1968). Lepas dari dua posisi ini, ia langsung
merangsek ke PBNU untuk mengakuisisi kursi Wakil Sekretaris Jenderal sejak
1970 sampai 1979. Catatan ini terus diperbaikinya dengan dipercaya menjadi
Ketua II PBNU (1979-1984), lalu Wakil Ketua PBNU Tanfidziyah (1984-1989).
(NU Online, 2008).
Sebagai penulis dan wartawan
Melalui Tetralogi Pulau Buru, alm. Pramoedya “menegur” kita untuk mengingat
kembali Raden Mas Tirto Adhi Surjo yang menerbitkan Medan Prijaji. Tokoh ini
ini akhirnya diinaugurasi sebagai Bapak Pers Nasional pada tahun 1973 (Jurnal
Nasional, 2008). Namun nama Mahbub Djunaidi juga mesti ikut dicatat dalam
sejarah pers kita, karena ialah yang memberi landasan hukum bagi pers nasional
dengan menyurun RUU tentang ketentuan pokok pers ketika ia menjadi anggota
DPR-GR/MPRS pada tahun 1965. Dalam tim pansus tersebut ia dibantu oleh
Sayuti Melik, RH Kusman, Soetanto Martoprasonto, dan Said Budairi (M.
Afifudin, 2008).
Sosok Mahbub memang dikenal sangat kental dengan dengan dunia jurnalistik.
Dalam dunia berita ini Mahbub pun sempat menjabat posisi-posisi penting
seperti pemimpin harian Duta Masyarakat (1958), dan Ketua Umum Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) pada 1965, kemudian Ketua Dewan Kehormatan
PWI, sejak 1979 (Tempo, 2008). Sebagai seorang kolumnis pun ia menunjukkan
stamina yang patut diteladani. Tercatat selama sembilan tahun ia mengasuh
rubrik Asal-Usul di Kompas, yang kemudian diterbitkan dalam buku
berjudulMahbub Djunaidi Asal-Usul (M. Afifudin, 2008). Selain itu ia juga rutin
menulis di majalah Tempo yang juga kemudian dibukukan dengan judul Kolom
demi Kolom (Sobron Aidit, 2008). Selain dua media di atas, tulisan-tulisan Mahbub
Djunaidi kerap dimuat oleh Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, dan Pelita.
Namun konon Mahbub lebih merasa akrab dengan dunia sastranya, paling tidak
begitulah yang pernah didengar langsung Sobron Aidit dari mulut tokoh yang
dianggap salah satu pembaharu NU ini. Memang Mahbub pernah menerbitkan
novel berjudul Dari Hari ke Hari, serta Maka Lakulah Sebuah Hotel yang dituliis
dalam penjara, bersamaan dengan terjemahannya atas Road to Ramadhan karya
Haikal. Konon Mahbub mengidolai penulis-penulis realis seperti Anton Chekov,
Nikolai Gogol, Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer (Tempo, 2008). Karya
terjemahannya yang lain dan sempat mendapat sukses besar berjudul 100 Tokoh
yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
28. Sebagai tokoh masyarakat
Gambaran pribadi Mahbub Djunaidi yang terrekam oleh Jakob Oetama adalah
seorang yang berprinsip, demokratis, moderat, dan tak pernah mencerca lawan-lawannya.
Sedangkan Rosihan Anwar berpendapat bahwa Mahbub berjasa besar
atas keutuhan PWI, dan menghindarinya dari kooptasi orde baru (Kompas, 2008).
Pendapat dua orang tokoh senior pers ini paling tidak sedikit menggambarkan
sosoknya yang relatif bersih dari konflik, meski ia telah aktif di masa orde lama,
di mana kerap terjadi diskusi-diskusi ofensif, bahkan hingga taraf menyerang
pribadi.
Memang pada masa orde baru ia sempat kena kurung selama dua bulan di rutan
Nirbaya, bersama dengan Soebandrio, Omar Dhani dan beberapa nama lain, itu
pun karena alasan yang pada saat ini sangat tidak masuk akal; dianggap
menghasut karena mengusulkan pencalonan Ali Sadikin sebagai Presiden RI di
depan forum mahasiswa. Namun Mahbub menganggap penahanannya tersebut
sebagai peristiwa enteng. Hal ini terbaca dalam petikan sebuah surat kepada
temannya yang dikirim dari dalam penjara; “Rasanya bui bukan apa-apa buat
saya. Apalagi bukankah ditahan itu suatu ‘resiko bisnis’? Kata orang, penjara itu
ibaratnya perguruan tinggi terbaik, asal saja kita tidak dijebloskan karena
mencuri! Saya merasakan benar kebenaran misal itu…Sedangkan nonton bioskop
perlu ongkos, apalagi demokrasi. Dan ongkos itu perlu dibayar! Iuran saya
sebenarnya sedikit sekali. Jalan masih panjang, apapun yang terjadi mesti
ditempuh…” (Emmy Kuswandari, 2008). Tokoh yang meninggal pada 1 Oktober
tahun 1995 ini membuktikan kebenaran perkataannya itu dengan menghasilkan
sebuah novel dan satu karya terjemahan seperti yang dibahas di atas.
***
Melihat fakta perjalanan hidupnya, memang terasa aneh jika kita mengalami
kesulitan untuk mendapatkan data-data seputar Mahbub Djunaidi dari dunia
maya yang konon bisa memberikan kita segalanya. Namun saya tak ingin
menjadikan ini sebagai penyulut kecurigaan, apalagi sampai menisbahkannya ke
mana-mana. Paling tidak saya berharap kita, bangsa Indonesia, khususnya
orang-orang yang pernah mengecap kaderisasi PMII dan Nahdatul Ulama,
merasa bersedih melihat kenyataan ini.
Semoga kesedihan kita menghasilkan sesuatu, sebagaimana Mahbub Djunaidi
menghasilkan karya dari kesepiannya di penjara.
Ciputat, 3 Desember 2008
KISAH SERBA-SERBI ( H. Mahbub Djunaidi )
29. by sobrona at ... » Sat Apr 03, 2004 3:35 am
Sobron Aidit :
KISAH SERBA-SERBI
( H. Mahbub Djunaidi -
bagian dua )
Ketika kami berdua bertamu di rumahnya, ada yang dia tanyakan
kepada saya,
sehingga saya agak kikuk menjawabnya. Sebab katanya " Saya dengar
ada
anaknya bung Aidit yang tinggal di Bandung ini....apa benar begitu?".
Saya
agak mencubit Ilham dan dengan isyarat mata yang saling tahu, lalu
saya
katakan. : Nah, ini dia, sengaja saya minta temani agar dia mau datang
juga
kepada sampeyan..buat berkenalan..." Tadinya ketika saya
bersalamanmula-mula saya hanya mengatakan saya dengan keluarga
saya -
ponakan, tetapi tidak saya katakan siapa diaini. Dan belakangan
menurut
Ilham, anaknya mas Mahbub juga berkenalan dengan Ilham, jauh
sebelumnya,
tetapi ketika itu belum
begitu akrab. Dan mas Mahbub tampaknya gembira dengan pertemuan
kami ini.
30. Dan kami belum
bisa pulang buat minta diri sebelum makan-siang. Sekeluarga mas
Mahbub
sangat baik - ramah-tamah dan terbuka. Diam-diam dalam hati saya
yang jauh
terpendam.....saya bertambah mengagumi kepribadian mas Mahbub.
Seorang tokoh
Islam yang penting - yang salah seorang pimpinan NU - yang seorang
jurnalis
senior yang sangat dikagumi banyak orang - ya - kok nggak anti-komunis
ya!
Buku mas Mahbub yang terbit sesudah dia meninggal dan dalam
memperingati 100
hari meninggalnya almarhum, adalah yang berjudul ASAL-USUL, di
kolom tetap
KOMPAS. Kolom ini dikerjakannya selama hampir sembilan tahun.
Tanpa henti
selama rentang waktu itu. Dan saya kira tidak hanya saya sendiri yang
secara
sengaja mencari Kompas yang hari itu ada kolom ASAL-USUl tulisan
Mahbub.
Mahbub Djunaidi lahir pada tanggal 22 Juli 1933 di Jakarta. Lebih jelas
lagi
mas Mahbub mengakui orang Jakarta asli - dan orang TanahAbang
Petamburan!
Mahbub meninggal pada tanggal 1 Oktober 1995. Berarti dia meninggal
31. dua
bulan lebih sedikit ketika kami ngobrol di rumahnya itu. Ketika itupun
dia
sudah tampak tidak begitu sehat dan dalam kedaan istirahat di rumah.
Kata
teman-teman dekat
Mahbuib, dia ini punya tiga ciri menonjol, sebagai politikus - sebagai
jurnalis dan sebagai humoris. Saya ingin menambahkan sesuai juga
dengan yang
pernah dikatakannya bahwa dia merasa lebih dekat ke sastrawanannya
daripada
kewartawanannya. Saya kira memang bergandeng eratlah itu. Ada juga
orang
yang agak sama-mirip menyerupai kedua-duanya, yalah seorang
Mochtar Lubis.
Mochtar Lubis itu, ya jurnalis hebat ya sastrawan yang bagus. Saya kira
begitulah mas Mahbub.
Saya masih ingat - satu istilah yang berasal dari kata-katanya. Maafkan
saya
kalau salah. Istilah itu yalah gembos - penggembosan. Gembos dan
penggembosan mula-mulanya buat menggembosi PPP yang dikuasai
oleh Naro
dengan kawan-kawannya. Politikus Naro yang dengan berani pernah
menawarkaniri buat jadi presiden - dan juga banyak mau
mempengaruhi partai
PPP yang juga mau menggembosi NU agar orang NU mau pindah ke
PPP, dengan
32. keras dan ligat Mahbub melahirkan istilah menggembosi ini. Ini dalam
rangka
agar Naro jangan sampai tepilih menjadi orang pertama di PPP yang
menurut
banyak orang NU, banyak bikin susah dan bikin rugi NU dan orang-orang
NU.
Dua buku Mahbub, yang satu KOLOM DEMI KOLOM, adalah tulisannya
di TEMPO
secara teratur. Buku ini dikata-pengantari Goenawan Mohamad. Mas
Goen
termasuk orang atau penulis yang saya selalu cari buat membacainya -
misalnya Catatan Pinggir-nya. Buku kedua, yang terakhir adalah
MAHBUB
DJUNAIDI - ASAL-USUL, semua tulisan yang secara teratur ada di
Kompas. Ini
bukunya yang tertebal, sebab dikerjakannya selama hampir sembilan
tahun
secara teratur dan tetap. Buku yang satu ini bagi saya sangat
mengingatkan
pergaulan kami dengan keluarganya. Ketika hari pertama mas Mahbub
meninggal
itu, saya berkesempatan nilpun keluarganya - yang diterima istri mas
Mahbub,
yang langsung saya tilpun dari Paris ke Bandung. Dan ketika buku
terakhir
ini terbit - secara khusus ibu Mahbub, istrinya ini mengirimkan buku
yang
33. baru terbit ini kepada saya, dengan kata-kata "Terima kasih atas
kesediaan
menerima buku ini. Kami mohon dengan segala kerendahan hati doa
bagi
almarhum,- tertanda Ny. Mahbub Djunaidi dan Keluarga,- Bandung, 20
maret
1996,-
-----------------------------
Paris,- 3 april 04,-
sobrona at ...
SAH SERBA-SERBI ( H. Mahbub Djunaidi - bagian tiga )
by sobrona at ... » Sun Apr 04, 2004 5:11 am
Sobron Aidit :
KISAH SERBA-SERBI
( H. Mahbub Djunaidi -
bagian tiga )
Mahbub Djunaidi sebagaimana pribadi dan karakter seorang jurnalis,
selalu
suka bergaul - sangat komunikative - mudah didekati dan jauh daripada
34. angker. Katanya dalam suatu tulisan...."saya gemar berkelompok.
Misalnya
saya senang campur di tengah para politisi, yang katanya sejenis
binatang
juga...Walaupun saya tidak merasa pensiunan sama sekali ( karena
wartawan
itu pekerjaan yang tidak ada ujungnya...." ( Pensiunan KOMPAS 7 - 12 -
1986
)
Salah seorang temannya adalah Benigno ( Ninoy ) Simeon Aquino, Jr
jurnalis
The Manila Times yang kemudian menjadi politikus, dan yang Marcos
merasa
tersaingi. Lalu Ninoy terbunuih di bandara internasional Manila pada
tanggal 21 April 1983, dan begitulah sejarah. Justru istri Ninoy alm,
yang
menggantikan Marcos atau naik kekuasaan menjadi presiden Filipina,
Corry
Aquino.
Mengenai pekerjaan sehari-hari Mahbub, dia pernah secara lincah
menggambarkannya, katanya...
"Pekerjaan Dirjen orang tahu. Begitu juga makelar atau komisioner.
Bahkan
profesi dukun pun orang paham. Tapi profesi "kolomnis" masih asing
dan belum
banyak yang maklum. Jika saya mencantumkan perkataan "kolomnis"
35. sebagai
jenis pekerjaan, banyak orang bertanya-tanya binatang apa sih
kolumnis itu?
Kolumnis itu bagian pekerjaan malam atau siang? Bahkan ada yang
bertanya,
apa beda antara kolumnis dan komunis?" ( Komunis, KOMPAS 17 - 7 -
1988 )
Tentang pemerintah, banyak pekerjaan yang disinggungnya. Dalam satu
tulisan
ada dikatakannya....
"Jika pemerintah suka bikin susah, jika masalah gampang dibikin jadi
ruwet,
jika jalan lempeng berganti dengan jalan berbelat-belit, maka hal ini
disebut involusi, perbuatan bikin susah orang, dan merasa lega jika
orang
lain tersandung-sandung dan jadi sengsara", katanya lagi.
Contohnya?
"Kenapa dan apa perlunya KTP diganti dua tahun sekali. Kenapa
seragam anak
sekolah musti ganti baru tiap tahun ajaran! Kenapa penduduk disiksa
dengan
isian rupa-rupa formulir? Kenapa ongkos bikin KTP juga berbeda-beda.
Untuk
WNI Asli Rp 1500, untuk WNI Keturunan Cina dan Arab Rp 10.000.
Untuk WNI
36. Keturunan Eropa dan WNA Rp 25.000?" ( Involusi, Kompas 7 - b - 1988
)
Tulisan Mahbub selalu berisi hal baru - yang terkadang kita jarang
terpikirkan, tetapi disajikan begitu rupa oleh Mahbub, lalu menjadi
hangat -
makanan sedap - bacaan yang sangat menarik - dan berita yang
seharusnya
setiap orang menjadi lalu peduli. Saya ingin menuliskan surat Mahbub
yang
ditujukan kepada saya dan saya mengerti juga kepada teman-teman
saya yang
sejenis saya. Semoga pembaca tahulah maksud saya dengan arti sejenis
itu -
bukan pengertian biologis, tapi politis,-
Surat ini saya terima dengan perasaan terharu. Sebab samasekali diluar
sangkaan saya bahwa Mahbub akan menulis begitu rupa kepada saya
dan kepada
orang yang berjenis saya.
Bandung 15
Agustus 1993,-
Bung Sobron Yang Baik,-
37. Surat berikut "ARENA" yang antara lain berisi cerpen bung " RAZIA
AGUSTUS"
sudah sampai dan langsung saya baca.
Gaya bung begitu sederhana, tidak "kenes". tidak genit dan ruwet
seperti
layaknya cerpen di Indonesia sekarang. Tulisan bung bagaikan
reportase
jurnalistik yang lancar dan enak.
Macam begitulah yang saya sukai, tidak sayup-sayup, tidak
memantulkan
hal-hal abstrak.
Bersama ini saya kirim pula buku-buku saya tahun 1982 dan 1986.
Tentang
novel "anak-anak" saya nanti menyusul, saya carikan.
Banyak terimakasih atas usaha bung mendapatkan Guy de Maupassant.
Saya juga
senang sama Maupassant. Ayip tiap ke Indonesia selalu mampir di
rumah. Dia
banyak cerita tentang bung. Alamatnya sbb : Ajip Rosidi........
Selamat berkorespondensi, salam sama kawan-kawan di sini,-
Wassalam - tertandatangan Mahbub Djunaidi,-
Sedikit penjelasan, buku kumpulan cerpen Razia Agustus yang disebut
Mahbub
itu sudah terkumpul dan dijadikan satu buku kumpulan dengan judul
38. yang sama
RAZIA AGUSTUS diterbitkan oleh Gramedia dan diedarkan awal tahun
ini 2004.
Yang menjadi perhatian saya dan perhatian kami yalah, dalam begitu
sibuknya
pekerjaan mas Mahbub, dan sedang menghadapi begitu banyak
persoalan dan
perkara negara dan politik, dia tetap masih bisa ambil peduli terhadap
saya
dan terhadap kami yang diluarnegeri ini. Betapa saya dan kami begitu
terharu. Seorang tokoh Islam - tokoh jurnalis - seorang teman yang
sangat
komunikative dan bersih dari kebencian adanya warna perbedaan
dalam bentuk
apapun. Saya sangat kangen akan sejenis orang seperti Mahbub ini.
Saya ingin
sekali agar Indonesia ada beberapa orang seperti Mahbub ini -
Semogalah,-
--
Paris,- 4 april 04,-
sobrona at ...
ULER IJOH CONTO BINATANGISME
by godamlima at ... » Wed Aug 03, 2005 4:15 pm
39. ULER IJOH CONTO BINATANG ISME
CONTO BINATANGISME ULER IJOH?
Justru merekalah pendukung utama jalan-jalan 'liar'.
Sebab atas nama kebebasan, mereka tak lagi pernah
berani mengatakan haq dan batil.
Untuk itu, tak ada kata yang tepat bagi mereka selain
ucapan, "Ahlan Wa Sahlan 'Binatangisme'."
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Hehehe,daku menungrunkan tunglisan
Di bawah inih,dengan judul
CONTO BINATANGISME ADALAH ULER IJOH.
Heheheh,memang manungsa ituh unik.
Mengliat buasnyah dan liarnyah orang laen,gampang.
Tatapi dirinyah begituh beracun,dan
Meninggalkan moral yang amburadul,enggaklah sadar.
Sakperti uler ijoh,
Pigihmana daku enggak jadi muak.
Bukankah prilakunyah sanget buas,biadab dan ganas?
INIH KUDU KUKAJIH MELALUIN UNGKAPAN
YANG PALING JELAS DARI UM JEQIH.'
Nah,pigihmana ituh bisak disebutkan manungsa2
Ugamak yang bakalan melahirkan satu peradaban manungsa
Yang bebas dari kemaksiatan serta kebinatangannyah?
Lalu perhatiken tingkah laku terrorist moslim yang
40. LAGAKNYAH PERSIS BINATANG ITUH.
Jadi termasup si Mahbud Junaedih.
YANG MANA YANG COCOK DIGELARIN
MENDEKETIN KEBINATANGANISME ITUH?
Cubalah kalian membukah mata dengan kejujuran
Yang bening nan jernih.
Bukan bening bening nan Fei Hung yang jorok di ati ituh!
Sementara daku baru hajah menungrunkan
Tunglisan satu binatang Moslim yang bernama Tuan,
Baru hajah disiremin aer keras oleh bininyah Moslimah,
YANG ENGGAK MAOK SUAMINYAH
JADI BINATANG MACEM BABI YANG SUKA KAWIN!!
Wake up man! Who is the worst beast ituh?
Tragedi di masa depan, adalah semakin banyaknya kaum
nihilis. Mereka bukan hanya kalangan ilmuwan bahkan
kaum agamawan yang liar. Itulah saat yang layak
disebut 'binatangisme'
Hidayatullah.com, Rabu, 3 Agustus 2005
Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi
Anda mungkin pernah melihat tayangan acara Fenomena di
Trans TV pada Jumat tengah malam pukul 24.00 WIB 9
Juli 2005. Dalam program itu diekspos seputar bisnis
esek-esek di Makassar; seperti seks becak lambat, tari
erotik, dan karaoke plus.
41. Beberapa waktu sebelumnya, dalam acara Good Morning,
Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, Trans TV telah
melakukan kampanye legalisasi perkawinan sejenis.
Seorang lesbian digambarkan sebagai pejuang atau
bahkan pahlawan. Trans TV melakukan kampanye
legalisasi perkawinan sesama jenis.
Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbian bernama
Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama
pasangannya yang juga seorang wanita. Praktik hubungan
seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah
sesuatu yang baik.
Program serupa itu juga ada di TV lain. Lativi
misalnya, pernah mengangkat liputan esek-esek seperti;
Jakarta Underground, Cucak Rawa, dan Bunglon. Belum
lagi tarian-tarian yang sangat vulgar seperti fenomena
Inul Daratista dan Annisa Bahar yang sudah tergolong
penari-penari pornoaksi yang amoral.
Program-program murahan ini umumnya digemari semua
kalangan produsen TV. Ada acara jual goyangan seperti
Digoda, Joged, Duet Maut, dan Kawasan Dangdut.
Perilaku yang kita anggap amoral dan tidak normal
(dissorder) justru oleh media TV disajikan sebagaimana
biasa, seolah-olah sesuatu yang sah saja.
42. Hampir banyak kita temukan figur-figur yang bergaya
waria. Entah dia waria sungguhan atau hanya pura-pura.
Rasanya, seolah kurang lengkap jika TV tak mengontrak
seorang presenter waria alias banci. Liputan kehidupan
kaum gay atau lesbian. Yang juga diangkat melalui film
layar lebar berjudul Arisan.
Alih-alih berbisnis, pemutaran film seperti ini seolah
ingin mengkampanyekan bahwa perilaku laknat seperti
itu adalah hal yang lumrah, sah-sah saja, dan tak
perlu dipersoalkan.
Sering pula kita jumpai tayangan bejat lainnya seperti
kehidupan komunitas para penjaja seks, baik wanita
maupun laki-laki (gigolo), pelacuran anak-anak di
bawah umur, fenomena 'ayam kampus', kehidupan
tante-tante girang dan oom-oom senang, pesta seks
(orgy), fenomena tukar pasangan (swinger), serta
berbagai gejala penyimpangan seksual lainnya.
Menuju Liberalisme
Ada tiga fenomena mendasar yang kita saksikan dalam
perkembangan menghawatirkan sehubungann liarnya media
massa di Indonesia belakangan ini. Pertama, secara
sosial, telah terjadi proses rekayasa sosial (social
engineering) yang disengaja untuk mentransformasikan
43. masyarakat kita menuju masyarakat sekuler-liberal.
Kedua, secara ekonomi membuktikan kaum kapitalis
(pemodal) telah menguasai media demi uang semata tanpa
peduli moral masyarakat. Ketiga, secara politik
menunjukkan pemerintah kita tidak punya tanggung jawab
dalam urusan moral umat.
Fenomena media liberal (saya lebih senang menyebutnya
liar) membuktikan bahwa masyarakat kita sekarang
sedang digiring oleh kekuatan kapitalisme global untuk
bertransformasi menuju masyarakat sekuler dan liberal,
sebagaimana masyarakat Barat.
Tayangan-tayangan TV yang liar seperti secara halus
akan menyusup pada rana publik dan secara sengaja pula
menjajakan nilai kebebasan (freedom, liberty). Melalui
ruang publik (public sphere) itulah kemudian
melahirkan opini umum (public opinion), dan
selanjutnya berproses menjadi shared values, yaitu
acuan nilai kultural yang disepakati bersama.
Jika dulu kalangan ahli psikologi memasukkan gay dan
lesbianisme sebagai salah satu diantara bentuk
kelainan seks (sexual-dissorder), tetapi kini orang
biasa memandangnya, karena media massa –lah yang
mengkampanyekanya.
44. Kebebasan tanpa batas adalah mind-set kaum
sekuler-liberal. Bahwa kebebasan adalah nilai ideal
yang harus diujudkan dalam suatu masyarakat.
Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden tanggal 20
Januari 2005 lalu, George W. Bush mengatakan ,"When
you stand for your liberty, we will stand for you."
(Jika Anda berjuang untuk kebebasan Anda, maka kami
akan bersama Anda).
Bush juga menegaskan, "The best hope for peace is the
expansion of freedom." (Harapan terbaik untuk
perdamaian, adalah melakukan ekspansi kebebasan)
(Newsweek, 31 Januari 2005). Perhatikan pilihan kata
Bush, yang menggunakan "ekspansi kebebasan" (expansion
of
freedom). Jelas, mengindikasikan bahwa kebebasan
adalah nilai asing yang dicekokkan secara paksa ke
dalam tubuh masyarakat kita yang mayoritas muslim.
Tentu ekspansi kebebasan ini jangan diartikan harfiyah
bahwa yang mengusung nilai-nilai kebebasan haruslah
orang kulit putih seperti orang Amerika atau Eropa.
Bisa jadi, dan ini memang sudah terjadi, yang
mengusungnya justru orang kita sendiri yang berkulit
sawo matang dan bahkan, beragama Islam. Namun pikiran
mereka tentu telah terkotori oleh paham liberal gaya
kapitalis.
45. Anti Moralitas
Secara ekonomi, eksistensi media liberal membuktikan
kaum kapitalis adalah pihak yang sungguh tak
bertanggung jawab. Karena mereka hanya memikirkan
bagaimana mengeruk keuntungan pribadi dengan cara
nista.
Ketika banyak pihak mengecam goyang Inul justru media
mengangkatnya tinggi-tinggi hanya untuk mengejar
rating dan iklan. Uang, adalah Tuhan bagi industri
hiburan.
Kata Adam Smith, dalam The Wealth of Nations (1776),
jika tukang daging menjual dagingnya kepada Anda, itu
bukan karena dia berbelas kasihan atau bersimpati
kepada Anda, melainkan karena dia mengejar
keuntungannya sendiri. Bicaralah uang karena hidup
adalah uang. Itulah cita-cita kapitalisme dan kaum
liberalis.
Ciri berkembangnya fenomena sekulerime-liberalisme
adalah hadirnya kaum nihilis. Alih-alih sebagai
pejuang keadilan, mereka selalu menempatkan kata
'netral' sebagai penyelamat moral. Kaum seperti ini
tak pernah bisa membedakan mana yang benar menurut
hati nurani dan
mana yang salah.
46. Karena itu, jangan heran bila kemudian muncul
jawaban-jawaban seperti; "Kalau tak suka acaranya,
matikan saja TV yang Anda tonton."
Logika nihilisi seperti ini tak hanya milik produser
TV. Hampir semua orang, para seniman, artis,
selebritis dan tak terkecuali para ilmuwan ikut
terserat ke dalamnya. Tatkala muncul pro kontra pose
bikini Artika Sari Devi --wakil Indonesia dalam Miss
Universe— dengan entengnya seniman Sujowo Tejo santai
mengomentari,"...Yang bikin porno itu pikiran kita."
Jadi, bagi orang seperti Sujiwo Tejo, atau para pemuja
liberalisme, yang salah itu otak kita. Artika tidak
salah, media juga tak salah, pemerintah juga tak
berdosa. Inilah logika kaum nihilis.
Logika kaum nihilis membolehkan orang bertelanjang
berlenggang-kangkung di jalan-jalan, di pasar, di
panggung hiburan. Boleh saja di film dan layar TV
menjajakan 'ketelanjangan' asalkan otak bisa sopan..
Ketika umat Islam –yang juga mayoritas pemilik negeri
ini—dan menjerit-jerit untuk menghentikan 'media liar'
melalui RUU Pornografi dan Pornoaksi, para LSM dan
suara kaum nihilis justru melawannya beramai-ramai.
47. Mereka yang menamakan diri "Jaringan Program Legislasi
Nasional" (Prolegnas) Pro Perempuan, yang
beranggotakan 35 organisasi perempuan --termasuk
Komnas Perempuan, Kowani, Puan Amal Hayati, Muslimat
NU, Cetro, Aliansi Pelangi Antarbangsa, Kalyanamitra,
Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusumo, LBH
Jakarta, dan LBH APIK Jakarta-- menilai RUU tersebut
justru berpotensi melahirkan kekerasan aru,
menempatkan korban menjadi pelaku, terutama pada
korban perempuan dan anak, melanggar kebebasan
berekspresi, dan membakukan standar kesusilaan
berdasarkan pemahaman satu kelompok saja (Kompas,
2/7/2005).
Seorang anggota jaringan tersebut hanya mempersoalkan
salah satu isi pasal pornoaksi berpotensi
mengkriminalkan semua perempuan hanya karena ada
istilah "dilarang memperlihatkan payudara di muka
umum." "Tidak dijelaskan payudara siapa." Katanya
sinis. "Bagaimana dengan ibu-ibu yang menyusui bayinya
di muka umum? Bagaimana dengan kebiasaan masyarakat
mandi dan buang air di kali?" Demikian pertanyaan
rewel aktivis itu.
Seorang pengelola pesantren, Abdul Moqsith Ghazali
bahkan terkesan menghalang-halangi RUU yang dibutuhkan
umat Islam tersebut. Pria yang juga aktifis Islam
liberal itu mengugat pasal "dilarang
48. mempertontonkan alat kelamin di muka umum" dengan
mengatakan , "Lalu bagaimana dengan orang yang mandi
di sungai?" (Kompas, 2/7/2005).
Selera kaum liberalis (sebut saja kaum nihilis) pada
akhirnya membolehkan apa saja secara bebas dan liar
tanpa adanya otoritas pelarangan baik atas nama pihak
berkuasa atau kaum yang sering mereka ledek sebagai
kaum moralis. Semua boleh hidup bebas meski itu liar.
Saya teringat George Orwell, pengarang novel "Animal
Farm" yang oleh mendiang Mahbub Djunaidi
diindonesiakan menjadi novel "Binatangisme". Dalam
kehidupan 'Binatangisme' orang boleh hidup semau-gue.
Undang-undang kaum 'Binatangisme" adalah 'siapa yang
kuat itulah yang menang'.
Bahkan dalam kehidupan 'Binatangisme', seorang anak
boleh saja menggauli ibundanya sendiri tanpa harus
takut agama atau ditangkap polisi. Ituklah makna
kebebasan!.
Tragedi di masa depan, adalah semakin banyaknya
kelahiran kaum nihilis berselera 'binatangisme'.
Mereka bukan hanya kalangan ilmuwan bahkan kaum
agamawan. Mereka bahkan fasih terhadap ayat suci
tetapi lupa 'hati-nurani'.
49. Justru merekalah pendukung utama jalan-jalan 'liar'.
Sebab atas nama kebebasan, mereka tak lagi pernah
berani mengatakan haq dan batil.
Untuk itu, tak ada kata yang tepat bagi mereka selain
ucapan, "Ahlan Wa Sahlan 'Binatangisme'."
godamlima at ...
CHALLENGING THE QURAN"
by guaran at ... » Mon Aug 15, 2005 11:12 am
Kalau kita jalan-jalan ketoko buku,paling mudah untuk
mendapatkan buku KRITIKAN DAN PENGHUJATAAN terhadap
agama Kristen,buku tersebut secara legal dijual dan
siapapun yang mau tinggal ambil terus bayar,salah satu-nya
buku karya Ahmed Deedad,Mahsyud SM dll.
Tapi anda tidak mungkin mendapatkan apa bila mencari
buku KRITIKAN terhadap umat Islam,memang inilah agama
Islam satu-satunya agama yang tidak mau/tidak boleh
dikritik karena Quran adalah satu-satunya yang paling
benar(menurut mereka),tapi anehnya mereka boleh bebas
mengritik agama Kristen sesukanya.
Dan ini terbukti,contohnya di tahun 2003 setelah beredar majalah
Newsweek edisi 28-juli-03 mereka kebakaran jenggot,dalam majalah
terbitan New York ini pada hal.49 menulis artikel yang
berjudul"CHALLENGING THE QURAN" penulisnya seorang il-
50. muwan Jerman yang bernama samaran Prof.Christhop Luxen-berg.
Penulisnya mengatakan bahwa Muhammad bukan Rasul
yang terakhir,dan menemukan bukti bahwa Quran bukan di-tulis
dalam bahasa Arab melainkan Aramaik.
Reaksi dari MUI buru-buru menghentikan peredaran maja-lah
tersebut,dan Din Syamsudin segera bereaksi keras
dengan mengirim surat permohonan kekejaksaan untuk meng
hentikan peredaran majalah Newsweek.
guaran at ...
Top
Hahaha… Lucu Kali Kurasa…
REP | 31 May 2011 | 12:03
257 4 1 dari 2 Kompasianer menilai menarik
51. Karena orang suka humor lah Charlie Chaplin bisa tenar seantero dunia (sumber:ekof ebrian.blogspot.com)
Oleh JEMIE SIMATUPANG
TIAP ORANG—yang bukan orang boleh angkat tangan—suka humor. Suka lelucon. Dan tentunya suka tertaw a. Kalau tidak,
mengapa sampai ada profesi yang bernama pelaw ak, komedian, atau badut, yang karena kerjanya bisa hidup layak—bahkan
sebagian kaya raya dan menjadi orang terkenal di seantero jagat. Di Indonesia kita kenal Jojon dengan tampang bloon dan kumis
Hitlernya, ada kelompok Warkop DKI, atau sekarang siapa yang tak tahu Parto, Aziz, Nunung, dkk dalam Opera van Java? Ya
sudah pasti mereka ada untuk memuaskan selera humor manusia.
Ada yang bilang orang yang suka humor pada dasarnya adalah seorang humanis. Bahkan yang lebih ekstrim bilang, “Orang yang
tak bisa menertaw akan dirinya sendiri pada dasarnya telah kehilangan kemanusiaannya!”
Sejurus dengan itu tentu orang juga suka membaca tulisan yang ada humornya—maksud saya bukan tulisan full humor (yang juga
pasti disukai banyak orang). Kadang orang bosan membaca tulisan yang terlalu serius, terlalu penuh data-data, atau istilah-istilah
yang bikin puyeng, kehadiran humor bisa semacam pemecah kebekuan. Semacam ice breaker. Yang bisa membaw a orang tertawa
membacanya—atau paling tidak tersenyum. Humor bisa saja hadir dalam tulisan-tulisan serius populer, saya belum
membayangkan ada karya tulis ilmiah yang penuh humor, w alau tak tertutup kemungkinan: semisal desertasi yang membahas grup
law ak Warkop DKI. Seorang penulis yang suka humor biasanya bisa menghadirkan kejenakaan di sela-sela hal yang dibahasnya—
bahkan hal yang sedang aktual: politik, sosial, budaya …
Di negeri ini kita punya banyak penulis yang suka memasukkan humor dalam tulisan-tulisannya. Ada Umar Kayam yang pada masa
hidupnya rutin menulis kolom “Mangan Ora Mangan Kumpul” di harian Kedaulatan Rakyat—sebuah prosa yang penuh humor w alau
kadang membehas hal-hal yang sedang pelik di negeri ini pada masa itu—bahkan persoalan-persoalan di dunia internasional.
Dalam “Mangan Ora Mangan…” Umar Kayam menghadirkan tokoh-tokoh utama: Pak Ageng, si pencerita (sahibul hikayat) yang
juga majikan, Mr. Rigen dan Ms. Nansiyem, pembantu, Beny dan Tolo-tolo, anak-anak Mr. Rigen, dan seorang pedagang panggang
ayam keliling: Pak Jayabaya.
Humor selalu muncul dalam dialog maupun narasi yang disampaikan Sang Sahibul Hikayat. Misalnya saja dalam kolomnya
tertanggal 7 Juli 1987, di baw ah judul: “Hidup Bagaikan…”, Umar Kayam diakhir tulisannya sesukanya menjabarkan: Mr. Rigen
yang malang. Kalau kau ke New York mungkin kau masih bisa mupus, menghibur diri, dengan w ell, life is but a bow l of cherry.
Hidup hanya bagaikan semangkuk buah cherry. Kadang-kadang nyeplus yang kecut, kadang-kadang dapat yang manis. Celakanya
ini Yogya! Di sini lif e is but sak kreneng salak Sleman. Kadang dapat yang manis, kebanyakan sepet terusss…
Akh, sesiapun yang membaca perumpamaan yang dibuat Umar Kayam mestilah tertaw a—paling tidak tersenyum, bisa jadi sepet,
sesepet salak Sleman.
Penulis dengan selera humor tinggi yang lain adalah Mahbub Djunaidi yang pernah mengisi kolom “Asal Usul” di Kompas Minggu—
kolom itu sudah tidak ada lagi. Ia selalu memasukkan metafor-metafor lucu dalam tulisan-tulisannya. Satu kali misalnya dalam
52. tulisan “Gaya Bandung” ia menulis: “Tak seorang pun bisa membayangkan jika sebuah kampung tak punya RT sama sekali. Ini
persis seperti ban tanpa pentil!”.
Hahaha… bayangkan saja metaf oranya yang cerdas—dan segar—“ban tanpa pentil!”
Di tulisan lain di baw ah judul “Evolusi” Mahbub membuka tulisannya dengan: “Seorang revolusioner tidak sempat membuka prop
(tutup) botol. Ia pecahkan leher botol dan tenggak isinya masuk mulut. Seorang revolusioner adalah seorang tidak sabaran karena
gejolak hatinya. Ia seorang yang ingin membangun seraya menjebol. Di Indonesia ini, praktis sudah habis orang revolusioner itu.
Akibatnya, kalau orang mau minum, ia musti baik-baik buka prop botol dan pelan-pelan minum isinya. Ia tak boleh lagi
memecahkan leher botol. Ia mesti jadi orang penuh sabar, penuh pertimbangan, mesti jadi orang balanced.
Mahbub w aktu itu tentu sedang menyinggung orang-orang yang hidup di rezim Orde Baru dengan candaan (karena kalau
disinggung dengan keras, mestilah ia harus berhadapan dengan tangan besi Soeharto, dan ia juga akhirnya tak selamat dengan
itu). Lihatlah metaf oranya: “Seorang revolusioner tidak sempat membuka tutup botol. Ia pecahkan leher botol dan tenggak isiny a
masuk mulut!” sebuah pembuka tulisan yang penuh kelucuan namun juga cerdas menohok.
***
Saya sendiri w alau tak seberapa lihai, suka memasukkan humor dalam tulisan-tulisan. Sangking sukanya tulisan penuh humor saya
membuat tokoh Cok Kompas dan Mat Tanduk, dua orang dari Medan yang juga kompasianer. Mereka kerap menyampaikan
pikiran-pikiran mereka yang kadang—lebih tepatnya kerap—asal-asalan saja. Bolah jadi khas Medan. Satu kali misalnya di baw ah
judul: “Pajak, Film, dan Hantu!” saya menjabarkan tentang kesamaan antara pajak dan f ilm: sama-sama hantu. Pajak rakyat hilang
entah kemana layaknya hantu, sedang f ilm kita penuh dengan cerita-cerita hantu. Tulisan ini saya angkat ketika pembicaraan
tentang f ilm hollyw ood yang ngancam hengkang dari Indonesia karena keberatan membayar pajak yang ditetapkan pemerintah.
Beberapa tulisan serial CokKompas pernah headline di kompasiana—termasuk tulisan tentang f ilm dan hantu tadi. Ini semakin
menguatkan bahw a orang masih suka dengan tulisan humor—termasuk (bisa jadi) admin.
Tapi kalau ditanya: “Cemana caranya menulis dengan humor?” Saya sendiri tak tahu jaw aban pastinya, kalau Anda memang suka
humor, saya yakin Anda bisa melakukannya! Apa saja bisa dijadikan humor, tiap peristiw a mestilah mempunyai sisi humor —yang
kadang tak bisa dilihat oleh orang lain. Nah, itulah peluang bagi penulis yang suka humor, mengangkat sisi-sisi lucu dari satu
peristiw a.
Tapi kalau Cok Kompas yang jaw ab: “Akh, mati sajalah kita, kalau membuat orang tertaw a pun sudah tak bisa!” hahaha… [*]
JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal(-asalan) Medan.
AMERIKA ITU TIDAK ADA
FERDI / October 11, 2011 / No comments
Berbicara masalah ngobrol, saya ngobrol semalam dengan beberapa sahabat. Dua diantaranya Fian dan Arif. Mereka ini orang-orang yang cukup unik dan
kreatif ketika melemparkan ide-ide atau gagasan. Meski unik dan kreatif, mereka kadang juga iseng mengeluarkan gagasan yang nyeleneh atau ngawur tapi
berisi. Pernah suatu ketika mereka berdiskusi dengan topik apakah Amerika itu ada? Mereka menyimpulkan dengan gaya mereka sendiri. Mereka ti dak
percaya kalau Amerika itu ada. Nah lho? Saya bertanya-tanya, juga teman-teman yang lain. Mengapa Amerika tidak ada? Mereka beralasan bahwa
Amerika ada karena hanya cerita di televisi saja. Atau dari tulisan-tulisan di lembaran koran harian disertai foto-foto (yang katanya juga “ ..katanya saja
jepretan wartawan..!”). ???
Tanpa dijelaskan pun saya paham dan tertawa kecil atas keisengan cara berpikir mereka. Tentu saja dua sahabat saya tersebut tidak sebodoh itu
menganggap Amerika tidak ada. Seperti waktu Arief berkata bahwa Sumatera tidak ada, dia kemudian mengklarifikasi bahwa Sumatera itu ada setelah dia
melakukan perjalanan suci guna melamar kekasihnya untuk dijadikan istri di sebuah kota di Jambi.
53. “ Sekarang aku percaya, kalo Sumatera itu ada. Aku sudah kesana, ujarnya.”, hahaha, lagi -lagi saya tertawa kecil.
Meski iseng, sebenarnya cara berpikir seperti ini bisa menjadi bahan pemikiran untuk kita. Mereka sebenarnya mewacanakan secara sederhana bahwa
segala sesuatu yang kita dapat dari media massa perlu pembuktian. Buktinya pun harus dirasakan dengan segenap panca indera. T idak hanya sekedar dari
cerita. Apalagi cerita tersebut pun tidak pasti selalu benar. Bahkan seringkali dibesar-besarkan supaya laku beritanya.
Lalu siapakah yang bercerita dan mengabarkan berita? Tentu saja yang terdekat dengan kita sehari -hari adalah media massa. Media massa telah menjadi
kebutuhan kita sehari-hari. Begitu dekat, bahkan kadang lebih dekat daripada anak-anak kita atau orang tua kita. Media massa banyak bercerita dengan
jutaan kata hal setiap hari. Ceritanya pun sangat berpengaruh. Hampir segenap sendi kehidupan dipengaruhi olehnya.
Dalam Ilmu Komunikasi, ada teori klasik yang bernama teori jarum suntik (hypodermic needle theory). Teori ini mengatakan bahwa efek dari media massa
kepada masyarakat adalah bersifat langsung. Begitu terkena berita atau tayangannya, masyarakat langsung terkena pengaruhnya. Persis seperti jarum
suntik yang ditusukkan dokter kepada pasien: langsung menembus kulit, lalu segera menyebarkan cairan obatnya ke seluruh bagian tubuh. Meski teori ini
dikritisi, karena menganggap masyarakat sebagai pihak pasif dan tidak punya daya tolak, tetapi fakta di masyarakat kita banyak menunjukkan kebenaran
teori itu (Hidayatullah edisi Januari 2005, hal 19). Mereka banyak terpengaruh cerita yang menjadi berita.
Seringkali pula tanpa sadar alam pikiran masyarakat mengunyah berita sehari -hari dengan nikmatnya. Seperti dinamika politik yang terjadi beberapa bulan
terakhir ini menjadi cerita yang sangat menarik dan produk media massa yang ampuh untuk selalu up to date. Padahal konon kabarnya berita dalam sebuah
media massa bisa menjadi kendaraan sebuah partai politik untuk membangun opini publik. Namun saya tidak menuduh setiap jurnalis tidak objektif dan
membohongi publik. Hanya sejak menjadi pendengar dan bersahabat dengan seorang senior di Aliansi Jurnalis Independen, pikiran saya menjadi sedikit
lebih terbuka dengan cerita dan fakta-fakta.
Lebih parah lagi ketika sebuah media massa yang suka bercerita menganut aliranscandalous newspaper yang membeberkan “ kaleng rombeng”, tak peduli
skandal itu menyangkut ihwal yang terlalu pribadi. Keamanan pribadi, privacy yang tadinya dihormati kini diinjak-injak batang lehernya. (Mahbub
Djunaidi, Asal Usul, Penerbit Kompas,1996). Newspaper diatas bermakna luas sekarang, karena gaya tersebut diadopsi televisi. Lihat saja,
mengapa infotainment yang (KATANYA) sudah diharamkan oleh MUI, masih laris manis dan tinggi rating siarannya. Padahal benarkah isi beritanya?
Atau perlukah kebenaran skandal yang sangat pribadi dan menjadi ghibah terlarang, di suarakan keseluruh penjuru negeri? Perlukah anak-anak kita atau
kita sendiri dicekoki cerita sinetron yang penuh intrik, kebencian dan pengkhianatan sebagai tayangan sebuah media yang selalu suka bercerita?
Lebih dekat lagi adalah pengalaman kita sehari-hari. Media sesungguhnya adalah diri kita dan orang-orang yang sehari-hari beraktifitas bersama kita. Bisa
jadi cerita seperti scandalous newspaper banyak menghinggapi hubungan kita dan pembicaraan kita bersama orang lain. Maka bukan hanya keamanan
pribadi dan privacy yang diinjak-injak batang lehernya, tetapi yang lebih mengerikan adalah pembunuhan karakter. Maka percaya atau tidak percaya adalah
tergantung pada kecerdasan anda menyikapinya.
Jangan-jangan anda juga tidak percaya cerita saya ini.
54. Sekitar Peranan Mulut
Lidah lebih tajam dari pedang. Karena itu jangan omong sembarangan, bikin luka dan sengsara. Mendingan diam,
karena diam itu emas. Sebab, hanya tong kosong yang nyaring bunyinya. Lagi pula diam itu bukan berarti dungu. Tengoklah
perawan yang lagi dipinang, diam saja tertunduk-tunduk, memilin-milin ujung rambut, itu artinya dia betul-betul mau.
Ada masa, tidak semua mulut dianggap jelek. Lihat -lihat mulutnya dulu, tidak bisa pukul rata. Mulut siapa yang jelek?
”Perempuan? Bah. Kalau sebelah kakiku sudah di lubang kubur, barangkali baru bisa kupercaya omongan mereka itu, yang tak
punya bakat seni ataupun politik”, kata Nietzsche. Untungnya, di negeri kita ini ada bait nyanyian: ”Terang bulan terang di k ali,
buaya timbul disangka mati. Jangan percaya mulut lelaki, berani sumpah takut mati”. Dengan begitu menjadi tidak jelas lagi,
siapa sebetulnya yang lebih lancung.
Tapi, ada masa semua orang tak kecuali, lelaki atau perempuan, boleh bicara sepuas hati sampai mulut berbusa. Yang
satu lebih keras dari yang lain, seperti lelang ikan. Namanya masa liberal. Hanya orang-orang bisa dan tuli yang mampu terbebas
dari keriuhan ini. Kalau sekadar mulut berbusa saja, masa bodohlah. Tapi kalau sebentar -sebentar kabinet terpelanting dari
kursinya, tak ubahnya seperti piring-mangkuk, nanti dulu. Orang toh tidak bisa jadi menteri cuma sebentar.
Maka ada Kabinet Kerja di bawah PM Djuanda itu, teriring semboyan: ”Sedikit bicara, banyak kerja”. Semua orang yang
bermodal mulut semata-mata menyempit lapangannya. Bursa mulut turun, dan keringat naik derajat. Kegaduhan sedikit demi
sedikit berkurang, orang makin lama bicara makin pelan, sehingga mau tidak mau coraknya berganti jadi kasak -kusuk. Padahal,
ditilik dari sudut kebajikan, omong besar dan kasak-kusuk sama-sama bukan tabiat yang layak dipuji, seperti halnya orang
kegemukan atau kekurusasan.
Melihat gelagat ini, semboyan ditinjau kembali. Bukannya ”Sedikit bicara banyak kerja”, melainkan ”Banyak bicara
banyak kerja”. Akur, kata K.H. I dham Chalid waktu itu. Mengapa? Sebab, bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja
tanpa bicara itu namanya maling. Perumpamaan ini membuat para pendengar tertawa terpingkal-pingkal, baik yang merasa
dirinya memang beo, atau yang merasa dirinya memang maling.
Di zaman pembangunan seperti sekarang ini, sudah barang tentu yang pertama-tama harus dilakukan orang adalah kerja.
Kalau semata-mata kerja saja, tanpa bicara sepatah pun, apa ini artinya seperti maling? Oh tidak, tidak maling. Walau sekarang
bicara bukan pekerjaan terhormat, bukan berarti orang tidak diperkenankan bicara. Cuma namanya yang ganti, bukan bicara
melainkan berdialog, berkomunikasi, berseminar, bersimposium, berlokakarya, berdiskusi, dan sarasehan. Kesemua ini memang
via mulut juga, tapi lain sedikitlah. Bahkan Parlemen, yang menurut riwatnya justru tempat bicara, tidaklah gemar lagi membuk a
mulut selebar-lebarnya, seperti mbah guru mereka Montesquieu yang meraung-raung di mimbar bagaikan keledai, melainkan
memilih kecermatan di atas segala-galanya.
Kalau toh perlu bicara, harap dengan data, seperti nona Spanyol dengan kipas dan sinyo Prancis dengan bunga. Orang
zaman sekarang suka angka-angka, makin banyak makin bagus. Pimpinan yang baik adalah pimpinan yang hafal angka-angka di
luar kepala, angka apa saja dan kapan saja. Misalnya, orang harus bicara seperti ini: Di tahun 2000, pendapatan per kapita per
tahun orang Indonesia yang sekarang Rp 37.350,00 bisa naik jadi Rp 172.750,00. Di tahun 2010 naik jadi 15.000 juta. Cucu dari
orang yang hidup tahun itu bisa menyaksikan orang di dunia 60.000 juta. Dan d tahun 2625, tiap manusia cuma kebagian tempat
berdiri sekaki persegi, tak ubanya seperti kita naik bus kota sekarang. Itu kata Robert S. McNamara. Itu kalau migrasi tidak
digalakkan, atau KB macet, atau angka kematian tidak dipertinggi, misalnya lewat perang agar mereka saling tikam sesamanya,
atau beri fasilitas orang yang bermaksud bunuh diri, bagaikan fasilitas Dinas Pariwisata buat kaum turis.
(Majalah Tempo, 5 April 1975)
R A B U , 1 2 M A R E T 2 0 0 8
Mengenang Mahbub Djunaidi
Oleh M. Said Budairy
L ebih 12 tahun sudah, tanggal 1 O ktober l995 yang lalu, H. Mahbub Djunaidi meninggalkan kita semua kembali ke haribaan
T uhannya. Banyak kenangan yang dia tinggalkan. Seperti keperibadiannya yang ringan ceria, kocak berolok-olok, menganggap
semua orang adalah sesamanya. Juga pandangan-pandangan dan s ikap-sikapnya di banyak bidang kehidupan.
55. ..
Mahbub tadinya berkeinginan menjadi sastrawan. Ia tertarik pada sastra Rus ia. T api perjalanan hidupnya mengantarkan dirinya
menjadi wartawan dengan gaya tulisannya yang khas. Mengantarkannya menjadi politisi dan tokoh organisasi profesi dan ormas
keagamaan.
Sebagai wartawan ia pernah memimpin sebuah suratkabar. P ernah menjabat sebagai Ketua Umum P ersatuan Wartawan Indonesia
(PWI ). Dia juga kolomnis di banyak penerbitan pers. Salah satunya dan yang paling is tiqomah di harian Kompas.
Jakob O etama, P emimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kompas yang kenal secara pribadi, mengamati Mahbub mencapai formatnya
yang optimal sebagai wartawan, jus tru ketika ia bebas dari beban-beban menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat dan sebagai
aktivis partai atau keorganisasian lainnya. Mahbub menulis untuk rubrik Asal -Usul harian Kompas selama 9 tahun tanpa jedah,
sambil mas ih juga diminta penerbitan pers lainnya menulis topik -topik tertentu. Sebagian tulisan-tulisannya, lebih dari 100 judul
telah diterbitkan menjadi buku 'Mahbub Djunaidi Asal Usul'. Memberikan pengantar pada buku tersebut Jakob Oetama menulis,
pengalaman dan pertumbuhan Mahbub Djunaidi itu mengajarkan kepada masyarakat pers . Wartawa n dan kewartawanan tumbuh
bukan karena seseorang menjadi pimpinan sebuah penerbitan pers, melainkan karena ia menulis berita dan membuat ulasan atas
kejadian serta permasalahan, karena kreativitas dan karya tulis serta produk jurnalistik lainnya. Ia berhar ap buku tersebut ikut
memperkaya kepustakaan jurnalisme Indonesia serta sekaligus membangun tradisi bahwa warisan yang berharga adalah karya.
Maret l994, satu setengah tahun sebelum ia meninggal dunia, tabloid Detik mengirim wartawannya Saifullah Y usuf (se karang Ketua
Umum P P P emuda Ansor dan anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI) bersama seorang seorang wartawan lainnya untuk mewawancarai
Mahbub. Dia ditanya tentang masalah suksesi kepemimpinan nasional, "Mengapa tidak etis membicarakan suksesi?. Suksesi bukan
masalah etis tidak etis. T api masalah bagaimana kehidupan kita bersama di waktu mendatang. Saya setuju membicarakan
pembatasan masa jabatan P residen, karena orang yang terlalu lama menjabat, cendrung menyalahgunakan kekuasaannya karena
terlanjur mapan," ujarnya. Waktu itu, 5 tahun sebelum memasuki era reformasi, amat tabu bicara perkara suksesi kepemimpinan
nas ional. Mahbub tidak perduli, kendati sudah pernah masuk rumah tahanan..
Mahbub Djunaidi salah seorang yang dikenal baik oleh P residen Soekarno. Dialah yang mula-mula menulis, bahwa P ancasila lebih
sublim dari Dec laration of Independence-nya T homas Jefferson dan Manifesto Komunis-nya Karl Marx dan Friedrich Engels. Bung
Karno memidatokan di banyak kesempatan, bahwa P ancasila adalah sublimasi dari deklaras i dan manifesto tersebut.
T entang kedekatannya dengan Bung Karno, dia bilang Bung Karno memang dekat dengan banyak orang. Beliau orangnya terbuka,
tidak birokratis. Maka dulu, kapan saja kita bisa berdiskusi dengan beliau berjam-jam. Ia mengagumi Bung Karno karena presiden
yang satu ini memiliki vis i yang jelas. Jangkauan pemikirannya jauh ke depan. Dan mampu mengkomunikasikan gagasan -
gagasannya secara luar biasa. Dan gagasan Bung Karno yang terpenting menurut Mahbub, komitmen yang kuat terhadap kesatuan
dan persatuan bangsa. "Kalau tidak ada Bung Karno saya tidak yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang.
Selain itu Bung Karno memiliki keperdulian yang besar terhadap kehidupan rakyat kecil. Beliau itu dekat dengan rakyat," ujar
Mahbub. Dia tidak melihat Soekarno otoriter. Hanya gaya kepemimpinannya berapi -api.
Kepada anak-anak Soekarno, Mahbub menyatakan sesekali ia bersurat -suratan dengan Guntur, tapi tidak intens. Menurutnya, di
56. antara anak-anak Bung Karno, yang paling kuat potensi kepemimpinannya adalah Guntur. Sayangnya dia tidak mau terjun ke
politik. Dengan Rachmawati dia sering berkomunikasi melalui surat atau bertemu langsung jika sedang ke Jakarta (Mahbub terakhir
berdomis ili dan meninggal dunia di Bandung). Menurut Mahbub, dari segi pemikiran Rachmawati paling dekat dengan pemikiran
bapaknya. Sampai sekarang dengan Y PS (Y ayasan P endidikan Soekarno)-nya, dia mas ih terus konsisten dengan ideologinya itu.
Barangkali secara politis kelihatannya dia kaku. I tu karena keteguhannya terhadap prinsip-prinsip yang diyakininya. T api secara
pemikiran ideologis dia paling matang.
Mahbub sempat ditanya oleh pewawancara, apakah ia melihat Megawati bisa sebesar Bung Karno. Menurut Mahbub, kalau melihat
kemampuannya Mega tidak bisa disamakan dengan Bung Karno. Juga, Mega itu lemah lembut sedangkan Bung Karno berapi -api.
Mahbub memasuki lingkungan Nahdlatul Ulama pertama-tama karena ayahnya seorang tokoh NU DKI Jakarta. Dia bergabung
melalui organisasi pelajarnya, Ikatan P elajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Berlanjut menjadi Ketua Umum (pertama) P ergerakan
Mahas iswa I s lam Indonesia (PMII) Kemudian menjadi salah seorang Ketua Pucuk Pimpinan Gerakan P emuda Ansor. Ke tiga
organisasi tersebut merupakan organisasi-organisasi kader yang melahirkan pemimpin-pemimpin organisasi NU, di pusat maupun
daerah-daerah. Dari P P P emuda Ansor Mahbub masuk ke dalam jajaran pimpinan NU menjadi Wakil Sekjen, kemudian menjadi
salah seorang Ketua P BNU dan terakhir sebagai salah seorang Mustasyar/Penasehat P BNU. Dia tetap diingat oleh generasi-generasi
sesudahnya, karena karya-karyanya yang konkrit dalam berbagai posisi dan jabatan keorganisasian tersebut.
Mahbub tergolong tokoh NU yang menginginkan NU kembali menjadi partai politik. Ia termasuk tokoh penggembos PPP, karena
melihat orang NU dalam P PP dipojok-pojokkan terus oleh H.J. Naro, ketua umum P P P dari MI waktu itu. Ia menyatakan s iap terjun
kembali ke dunia politik praktis jika NU kembali jadi partai. Ini diucapkannya menjawab pertanyaan wartawan yang
mewawancarainya, pada bulan Maret l994.
Ketika menjelang Muktamar P PP terdengar bahwa A bdurrahman Wahid banyak dapat dukungan untuk menjadi Ketua umum P PP
dan reaks i Gus Dur-pun tidak serta merta menolak, Mahbub bilang, Gus Dur jangan jadi Ketua Umum P PP. Sebab kalau itu
dilakukan , dia tidak kons isten. Kan dulu dia juga yang menentang Y usuf Hasyim jadi ketua umum P PP.
A lasannya kenapa dia berkeinginan agar NU kembali menjadi partai politik, karena NU jumlah umatnya sangat besar. I tu
merupakan potens i politik yang penting. Juga, s ejak kelahirannya NU selalu bersentuhan dengan politik. Karena itu mengapa NU
tidak berpolitik secara langsung saja ?. Mahbub, dalam kaitan kembali ke khittah NU l926, menginginkan kembali ke Khittah NU
l926 plus. Dan plusnya ya politik itu.
Di sekitar waktu P emilu l977, Mahbub banyak menerima undangan untuk berbicara di Jakarta dan daerah-daerah. Dia juga keluar
masuk kampus , memenuhi undangan para mahas iswa. Iapun banyak bicara tentang suksesi kepemimpinan nasional menjelang SU -
MP R l978. Dan akibatnya Mahbub ditangkap, ia dis impan di rumah tahanan Nirbaya. Dari Nirbaya dilanjutkan menjadi pasien
tahanan di Rumah Sakit A ngkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Hampir setahun mendekam tanpa diproses lewat pengadilan,
sehingga tidak jelas pula kesalahannya apa. Dia mulai terus sakit-sakitan sekeluarnya dari tahanan pemerintahan Soeharto
tersebut.
Mahbub Djunaidi telah tiada ketika A bdurrahman Wahid (ketika itu menjabat Ketua Umum P BNU) bersama beberapa orang tokoh
57. NU mendeklarasikan lahirnya P artai Kebangkitan Bangsa. Gus Dur tidak menjadi ketua umumnya, tapi Matori Abdul Jalil. Dalam
muktamar pertama P KB, Gus Dur juga tidak mnyediakan diri menjadi ketua umum, melainkan memilih menjadi ketua Dewan Syuro
P KB, yang bewenang menunjuk s iapa yang menjadi ketua umum P KB .
Sementara tokoh NU lainnya, K.H. Y usuf Hasyim, mendeklarasikan Partai Kebangkitan Umat (P KU) dan K.H. Syukron Makmun
mendirikan P artai Nahdlatul Umat (PNU). Ketiga partai tersebut, P KB, P KU dan PNU berbasis warga NU. O rmas Nahdlatul Ulama
sendiri, jika berpegang teguh pada khittahnya, seharusnya tidak punya hubungan organisatoris, terselubung atau terang -terangan
dengan ketiga partai politik tersebut. Sebaliknya, NU harus merelakan warganya memasuki partai -partai yang manapun.
Kalau saja Mahbub memperoleh kesempatan dan bersedia menduduki suatu jabatan resmi pemerintahan, agaknya dia akan terjauh
dari berbagai libatan skandal atau gate-gate itu. P andangan Mahbub tentang kebendaan, tercermin dalam surat kepada
keluarganya yang dikirim dari Rumah Sakit Gatot Subroto. Mahbub menulis, "Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu
semua, walaupun tidur berdesakan di lantai (kamar rumah sakit -pen).Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan
pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan. Benda sama sekali tidak menjamin kebahagiaan hati. C intaku
kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun juga. P apa orang yang banyak makan
garam hidup. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat ha tiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan." (M. Said
Budairy, wartawan/Direktur Lakpesdam P BNU 1989 - 1995).
D I P O S K AN O L E H M . S A ID B U D AI RY D I 2 2 : 1 2
2 KOMENT A R :
hna mengatakan...
AMAZING! aku kagum sma bapak yang di us ia ini mas ih bisa bikin satu tulisan yang 'hidup', bahkan bikin blog. Satu lagi..
bapak, kakeknya shaqina kan? x)
2 4 M A R E T 2 0 0 8 1 0 : 2 4
A nonim mengatakan...
pak said kalo bisa tolong artikel, tulisan mahbub djunaidi yang belum dicetak, cetak saja. gak pa pa ada kesamaan
dengan yang telah dibukukan moga moga bisa terima kasih
1 4 M E I 2 0 1 0 1 6 : 3 6
P oskan Komentar
58. P os ting LamaBeranda
Langganan: P oskan Komentar (A tom)
S E L A M A T D A T A N G D I M A N U L A
Usia Lanjut dan Bermanfaat
Jadi Idaman Setiap Manusia
Bapakku dan A ku -- 1938
Selesai SMA di Malang
Menginjak Usia 70-an
59. C H A Y A T U N N U F U S I S T R I K U
51 th. Mendampingiku
M E N G E N A I S A Y A
M . S A I D B U D AI R Y
Lahir ketika Indonesia mas ih dijajah Belanda. Kakek dan bapakku orang pergerakan. Kakek anggota Majelis Konstituante,
bapak anggota DP RD. Gara-gara lingkungan rasanya jalan hidupku terbentuk. Nyatanya, mas ih amat muda sudah aktif
berorganisasi. Masuk kepanduan mulai jadi kurcaci sampai jadi Komisaris Latihan. Lalu masuk organisasi pelajar IPNU,
bersama yang lain mendirikan PMII, masuk Gerakan Pemuda Ansor, aktif di NU membangun Lakpesdam dan jadi
direkturnya selama 8 tahun. Jadi Bendahara P BNU. Jadi pengurus PWI P usat. Jadi anggota DPR -GR/MPRS dari Fraksi NU,
jadi anggota MP R-RI (Badan P ekerja) fraks i P PP, ikut mendirikan koran Pelita,jadi pemimpin perusahaan koran P edoman,
jadi ombudsman majalah P antau. Mulainya dulu ikut memimpin koran Duta Masyarakat. T erakhir jadi Staf Khusus Wakil
P res iden RI . Sekarang aktif sebagai Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI dan KIP3 Menjelang us ia 72 tahu n
sekarang ini, punya 8 cucu dari 4 anak 2 laki 2 perempuan. Melalui blog ini ingin mensyukuri us ia lanjut dengan cara
berbagi pengalaman.Makanya akan senang sekali kalau orang-orang muda mau bertegur sapa.
L I H A T P R O F I L L E N G K APK U
A R S I P B L O G
S A K I N A H S A I D , C U C U , P U T E R I H I S Y A M