SlideShare a Scribd company logo
1 of 60
Kata-kata Haji Mahbub 
Print 
Download 
Send 
Share7 
Senin, 03/10/2011 11:26 
Tags: 
Kata kata 
Haji 
Mahbub 
Space Iklan 
300 x 80 Pixel 
1 Oktober 1995, H Mahbub Djunaidi menghembuskan nafas 
terakhir. Enam belas tahun Mahbub meninggalkan kita, 
batang hidungnya tak akan pernah muncul kembali. Tapi 
kata-katanya masih hidup. Siapa yang hendak belajar 
bahasa? Mahbub salah satu rujukannya. 
BAGI saya H. Mahbub Djunaidi adalah jawaranya esais. Misal 
ada kategori lima orang esais terbaik dalam sejarah 
Indonesia, saya ngotot menominasikannya sebagai salah
satu. Kalau definisi mutakhir teks mengatakan sia-sia 
membuat pembedaan antara gaya dengan isi tulisan, Mahbub 
adalah contoh sempurna. 
Gagasan dan kejutan yang diajukan dalam esai-esainya sulit 
dibayangkan bisa di tulis dalam gaya penulisan lain. Pendek 
kata, bagi saya Mahbub adalah penyihir kata-kata. 
Sebutan penyihir boleh jadi terlalu mistik, tapi biarlah. Lalu 
bagaimana menjelaskan sesuatu yang mistik? Meski tentu 
banyak sisi positifnya, gara-gara birokrasi logika modern, 
sebentar-sebentar orang menuduh hal-hal tak terjelaskan 
secara rasional sebagai mistik. Toh, sihir punya mantra 
seperti pesawat terbang punya karcis. Kalau demikian 
adanya, macam apa mantranya Mahbub itu? Apakah hal-hal 
yang jadi kekuatan dalam esai-esainya? 
Cara pandang terhadap realitas 
Orang tentu mafhum Mahbub adalah kolumnis politik. Hampir 
di tiap kolom dia menulis perkara tersebut beserta aspek-aspeknya. 
Sekurang-kurangnya membahas dampak 
kebijakan pemerintah pada orang banyak. Penulis yang 
model begini amat banyak jumlahnya. Namun yang 
membedakan dengan penulis lain adalah cara Mahbub 
memandang persoalan politik, terutama berkaitan posisi 
rakyat berhadapan dengan negara. 
Ia hampir selalu memulai tulisan dengan memosisikan rakyat 
dan negara di atas kertas, menggunakan kerangka teoretik 
ideal. Teorinya, negara merupakan organisasi yang dibangun 
demi kemaslahatan rakyatnya. Namun dalam struktur tata 
negara yang bagaimanapun macamnya, termasuk demokrasi, 
mustahil pendapat rakyat yang banyak itu diaplikasikan
secara keseluruhan orang per orang. Maksimal, negara 
hanya bisa meratakan kesejahteraan dan menjamin 
kebebasan berpendapat. Karenanya, rakyat dalam beberapa 
hal harus mengerti jika negara yang tugasnya masya Allah 
banyak itu, kadang belum sanggup memuaskan mereka. 
Namun posisi teoretik Mahbub ini boleh dibilang unik. Ia tak 
pernah mengungkapkannya dengan bahasa yang teknis. 
Untuk kepentingan ini digunakanlah cerita, anggapan umum, 
peristiwa populer, humor, atau macam-macam perabot 
lainnya, yang dalam hal ini perlengkapan Mahbub amat 
lengkap. Sama sekali tak berpretensi ilmiah. 
Silakan cek esai Dinamisasi via Binatang yang ditulisnya 
menyambut ide Menteri Agama Mukti Ali untuk 
memodernisasi pesantren lewat pemberian binatang ternak. 
Pada awalnya Mahbub seperti mengikuti jalan pikiran Mukti 
Ali, bahkan terkesan menjelaskannya. Namun belakangan, ia 
justru bertanya, kenapa cuma pesantren yang dituding 
sekadar konsumen? Bukankah perilaku institusi pendidikan 
lainnya juga kurang-lebih demikian adanya? 
Sekarang silakan teliti juga esai berjudul Demokrasi: Martabat 
dan Ongkosnya. Dalam esai ini akan terjelaskan bagaimana 
Mahbub bisa memiliki cara pandang demikian. Sumbernya 
tak lain keluguan. Dia menceritakan perihal rancangan 
kenaikan anggaran buat anggota DPR sambil menceritakan 
betapa logisnya alasan mereka mengusulkan hal tersebut, 
persis orang awam yang hanya paham perkara teknis tanpa 
menangkap motif lainnya. Mendadak di paragraf akhir, 
setelah kita diajak tamasya sambil tertawa-tawa, lewat 
pergeseran perspektif yang sublime, ia meledek dengan 
lembut, bahwa tuah hak Budget legislatif tiada gigi.
Dalam esai, aku-esai yang mewakili pengarang bercerita 
lewat medium bahasa, terwujud dalam cara pandang, cara 
mengajukan gagasan, cara ajukan pertanyaan, cara 
menyimpulkan, dan hal-hal lain yang bersifat unik. 
Sebagaimana dimaklumi dalam filsafat bahasa mutakhir, tak 
ada realitas di luar bahasa. Secara umum boleh dikatakan 
bahwa kemampuan seseorang untuk berpikir logis dan jernih, 
akan terefleksi dalam tulisannya, dalam bahasanya. Hal yang 
demikian bias kita lihat pada Mahbub. 
Mahbub pernah bilang, dirinya lebih senang digantungi merk 
sebagai sastrawan. Kenyataannya memang demikian. Tapi 
perkara ini di luar fakta bahwa ia pernah menulis beberapa 
novel. Perspektif keluguan membuatnya bisa mengeker 
kenyataan dengan perspektif unik, sebagaimana umumnya 
dipraktikkan para sastrawan. Bertebaranlah di esai-esainya, 
pameran hasil pengamatan yang sering bikin kita terlonjak 
keheranan. Ada dikatakan orang yang selalu membicarakan 
cuaca tak ubahnya orang Inggris. Dia menyebut perihal 
berisiknya orang Cina, karena empat orang yang berkumpul 
sanggup berbicara bersama-sama. Di lain waktu, ia 
menceritakan anak-anak di bulan puasa yang mulai siang 
tidur menelungkup menekan perut keras-keras ke ubin 
langgar hingga hampir maghrib. Satu dua ada juga yang 
diam-diam menggigit mangga muda di belakang kakus. 
Dengan pengamatan sekuat ini, tak heran Mahbub seperti 
tukang dongeng yang bisa menggubah peristiwa apa saja 
menjadi cerita yang mengesankan. Saya menduga 
kemampuan mendongeng ini diwariskan Mahbub dari 
khazanah tradisi Betawi yang melahirkan beberapa tukang 
cerite yang legendaris, seperti Zahid bin Muhammad.
Dalam khazanah sastra Indonesia, tradisi menulis dengan 
gaya kocak dan lugu ini bisa dilacak dalam karya-karya Idrus, 
sebagaimana terlihat dalam kumpulan cerita terbaiknya, Dari 
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Saat ini kemampuan 
Mahbub mendongeng barangkali hanya bisa disejajarkan 
dengan sastrawan Putu Wijaya. Dengan kemampuan 
mendongeng ini, Pak Haji Mahbub mampu menyajikan 
persoalan dengan ringan. Pembaca paham duduk persoalan 
tanpa melewati penjelasan konseptual yang bikin kepala 
serasa berlipat. 
Pemberontakan literer 
Menurut para ahli, kaum sastrawan, terutama penyair, punya 
kedudukan istimewa terhadap bahasa, yang dipresentasikan 
dalam licentia poetica. Singkatnya, dengan istilah yang konon 
pertama kali diajukan oleh Aristoteles ini, dimaksudkan bahwa 
demi mencapai tingkat estetika tertentu sastrawan boleh 
mengutak-atik bahasa sedemikian rupa layaknya montir 
mesin. Dalam hemat saya ini merupakan mantra Mahbub 
selanjutnya. 
Mahbub sepertinya tak pernah ambil pusing apakah istilah 
dan kata-kata yang digunakannya masuk hitungan kebakuan 
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Makanya kita bisa capek 
sendiri menghitung pelanggaran EYD yang dilakukan dalam 
esai-esainya. Biasanya ia memakai istilah dan struktur 
bahasa Betawi yang di Indonesia sering dipakai dalam 
bahasa percakapan. Beberapa kali ia juga memakai istilah 
dari bahasa Jawa. Alih-alih ditegur karena kebandelannya, 
Goenawan Mohamad yang dikenal apik berbahasa malah 
memujinya sebagai penerobos bahasa. Ya, boleh jadi dalam 
hal ini Mahbub memang keblinger, tapi justru dari sinilah esai-
esainya mencerminkan karakter yang khas. Dia menemukan 
sendiri capaian estetikanya. 
Kebandelan Mahbub dalam berbahasa bukanlah sembarang 
pelanggaran. Jika ukurannya adalah pencapaian estetik, ia 
sanggup memenuhi tagihan sertifikat licentia poetica dengan 
impas, barangkali berikut bunganya. Barangkali sifat sastrawi 
dalam karya-karya Mahbub bukanlah yang melankolis, 
sensitif, mendayu-dayu sifatnya. Tapi, toh, John Steinbeck 
yang menulis cerita-cerita yang menyanyikan humor dan 
kesintingan pun akhirnya harus datang ke Stockholm, 
Swedia, buat menerima Nobel Sastra sambil ditepuktangani 
banyak orang. 
Humor 
Barangkali tak ada segi paling digandrungi dari esai Mahbub 
ketimbang humornya. Konon ada orang yang sampai kebelet 
kencing lantaran membaca tulisan-tulisannya. Saya sih tak 
ekstrem begitu. Paling-paling hanya menyebabkan durasi 
membaca jadi lebih lama lantaran sering diselingi cekikikan 
dan cekakakan. Celakanya, humor-humor Mahbub sering 
terbawa ingatan saat saya melakukan aktivitas lain. Boleh jadi 
orang yang kurang paham duduk persoalannya menganggap 
saya sinting atau semacamnya. 
Mahbub sering menyajikan humor satir. Hal ini bisa kita simak 
antara lain pada Sepatu, di mana ia mengejek banyaknya 
koleksi sepatu Imelda Marcos. Kadang ia bercerita yang baik-baik 
saja perihal lembaga negara atau individu dengan 
demikian sempurnanya, sampai-sampai pembaca akhirnya 
sadar bahwa Mahbub nyata-nyata tengah mengejek dengan 
menyebut nilai-nilai yang justru tak dimiliki pihak 
bersangkutan. Hal yang demikian, misalnya muncul pada
Kota. 
Teknik humor Mahbub yang paling umum adalah metafora 
dan celetukan yang bukan alang-kepalang mengejutkannya. 
Silakan disimak sendiri sebagian kecil contoh berikut: 
- Futurolog itu…semacam dukun juga, tapi keluaran 
sekolahan 
- Anak-anak saya…patuh sepatuh-patuhnya bagaikan anak 
anjing ras 
- Sedangkan masuk kamar mandi saja ada risiko 
terpelanting, apalagi jadi bendaharawan 
- Tidak sedikit orang beli koran dan langsung membaca 
iklan-iklan kematian, mencari tahu umur berapakah orang 
yang meninggal itu, sekadar membanding-bandingkan 
dengan umurnya sendiri 
- Maka dari itu, nyonya sehat bagaikan ikan bandeng 
- Yoga, melipat badan berlama-lama seperti kelelawar 
- Pemerintah mana saja tidak suka penduduknya cerewet 
seperti sekandang burung parkit 
- Abdurrahman Wahid…bertubuh gempal, ibarat jambu 
kelutuk yang ranum…punya kebolehan humor yang 
mengejutkan, seakan-akan dia jambret begitu saja dari laci 
Penemuan metafora-metafora yang begitu orisinal dan sublim 
semacam inilah yang menurut hemat saya menjadi kekuatan 
utama dari esai-esai Mahbub. Teknik metafor ini dipadukan 
dengan mantra-mantra sihir yang disebut sebelumnya, 
membuat esai-esainya lincah. Sering kita temukan beberapa 
asosiasi ditumpuk sekaligus dalam satu pernyataan. 
Tak jarang demi memberi tempat buat dorongan humornya, 
Mahbub harus melenceng barang sebentar dari persoalan 
utama. Sering juga berlama-lama. Tapi memang kerapkali
pada karya-karya bermutu tinggi, irisan-irisan 
“ketidaksempurnaan” semacam inilah yang justru 
membumbui estetika. Coba Saudara simak musikus-musikus 
hebat yang secara teoretik bakal lebih bagus lagunya 
didengarkan di hasil rekaman, karena celah-celahnya telah 
disempurnakan lewat bantuan teknologi. Tapi pendengar 
musik yang paham duduk persoalan bakal lebih memilih 
mendengarkan suara live-nya di panggung, meski lewat 
medium perantara. 
MAHBUB, seperti yang diakui sendiri dalam sebuah esainya, 
adalah seorang generalis. Ia mencomot sembarang persoalan 
yang menarik perhatiannya buat dibahas, tanpa peduli batas-batas 
spesialisasi keilmuan. Bagaimana Mahbub mau bicara 
spesialisasi, wong sarjana saja bukan? 
Ia memang unggul dalam hal menyajikan persoalan dengan 
sederhana melalui generalisasi yang cerdas. Tapi untuk itu 
kadang ia tak sempat menengok ke celah-celah persoalan, 
menakar barang sebentar, barangkali ada satu hal atau dua 
yang tak masuk dalam kategori generalisasinya. Ia juga 
sering membahas masalah hanya dari aspek spesifik tertentu. 
Dengan begini, ia tak pernah membahasnya untuk 
menyajikan solusi dengan tuntas, mulai ujung kepala sampai 
jempol kaki. 
Tapi kelihatannya memang bukan pembahasan lengkap 
model demikian yang diinginkan Mahbub. Ia ikut berbaur 
dengan berbagai macam manusia, lengkap bersama 
pluralitas persoalannya, tanpa bermaksud menarik sebuah 
rumus deduktif buat setiap masalah. Tapi jangan sekali-kali 
menganggap Mahbub tak bisa menulis dengan gaya 
konvensional, artinya nirbumbu-bumbu humor di sembarang
tempat, tanpa hilang kejernihan. Kalau tak percaya, sila 
dibaca, "Soal Pilihan". 
Konon, beberapa orang berpendapat, Mahbub memilih teknik 
menulis demikian lantaran kondisi sosial-politik Orde Baru 
yang tidak memungkinkan orang mengkritik dengan keras. 
Maka humor jadi siasatnya untuk menyelubungi perbedaan-perbedaan 
pandangannya dengan pihak otoritas. Barangkali 
anggapan ini ada benarnya. 
Tapi bagi saya sih, peduli setan! Dengan atau tanpa Orde 
Baru, Mahbub tetaplah Mahbub yang menyihir kita lewat kata-kata. 
Dan kata-kata Mahbub, masih hidup. (Ahmad 
Makki, Kontributor Majalah Historia Online] 
Lucunya Asal-Usul Mahbub Djunaidi 
HL | 29 May 2010 | 11:20 Dibaca: 636 Komentar: 36 3 dari 6 Kompasianer menilai 
Bermanfaat
Asal-Usul Mahbub Djuaidi: seringkali penuh humor, lucu, satire, menyindir: tapi satu penuh 
(auto) kritik bagi bangsanya (sumber:www.jurnalismewarga.com) 
SAYA KENAL Mahbub Djunaidi setelah dia wafat. 
Udah pasti kenal saya maksud mesti dilengkapi 
dengan tanda petik—biar tak ada salah paham. 
Satu kali, tahun 2004—saya sudah lupa tanggal dan 
bulan—ketika melihat koleksi buku di perpustakaan 
pribadi seorang rekan senior, mata saya menangkap 
sebuah kitab—kitab itu juga buku, kan?—bersampul 
hitam bergambar seorang lelaki paruh baya memegang 
kepala. Judulnya: Asal-Usul. Pengarangnya: Ya pastilah 
Mahbub Junaidi—terbitan Kompas. 
Buku itu merupakan kumpulan tulisan Mahbub Djunaidi 
ketika mengisi kolom Asal-Usul—yang hayatnya sama 
dengan Mahbub sendiri: telah marhum—di harian 
Kompas edisi Minggu.
Saya baca halaman belakangnya—udah jadi kebiasaan 
saya, kalau nengok buku itu, setelah halaman depan ke 
halaman belakang: yang biasanya berisikan testimoni 
tokoh tentang buku itu, atau keterangan lain dimana 
perlu tentang buku itu—saya langsung jatuh cinta. 
“Ini buku bagus!” pikir saya. 
Tanpa pikir panjang, saya meminjam buku itu. Rekan 
senior saya itu tak mengijinkan, karena tahu kebiasaan 
buruk saya: suka lupa memulangkan buku yang sudah 
dipinjam—lupa apa “lupa”? Tapi dengan segala cara 
saya rayu. Saya bilang kalau saya lagi butuh bahan-bahan 
dari Mahbub Djunaidi untuk skripsi. Akhirnya di 
luluh. Walaupun saya yakin dia tahu, orang ini saya ini 
mahasiswa hukum dan pernah bilang ke dia kalau saya 
meneliti tentang “Otonomi Desa”—apa hubungannya 
dengan Mahbub Djunaidi dengan kolom Asal-Usul-nya? 
[sambil lalu: dan kekhawatiran rekan saya itu benar. 
Sampai catatan ini saya buat, buku itu masih ada di 
tangan saya. Dia sendiri sepertinya udah lupa kalau 
pernah meminjamkan buku itu: wong tak pernah ditanya-tanya 
lagi, kemana buku itu? lagi pula dia sendiri pernah 
berujar: “Orang paling bodoh itu yang meminjamkan 
buku kepada orang lain. Ada yang lebih bodoh lagi. 
Siapa? Yang mengembalikan buku yang dipinjamnya 
dari orang lain”. Hahaha, tapi saya tidak sedang 
mempraktikkan ujar-ujaran kawan saya itu, sama sekali 
karena: lupa—lupa apa “lupa”?]
Kembali ke Asal-Usul Mahbub Djunaidi. Dalam 
pengantar yang dibuat seorang rekan Mahbub, Said 
Budairy, diterangkan kalau Mahbub itu kelahiran 22 Juli 
1939 (edit: yang benar berdasarkan keterangan keluarga 
adalah 1933, demikian diperbaiki)—dari keluarga yang 
kental dengan tradisi NU. Sejak kecil ia sudah terbiasa 
menulis. Saat SMP cerpennya telah dimuat di Kisah dan 
langsung mendapat komentar dari HB Jassin yang 
terkenal sebagai Paus Sastra Indonesia itu. Sewaktu 
SMA ia menjadi pemimpin redaksi majalah sekolahnya: 
Siswa—ia sendiri yang menggagas agar sekolah 
mempunyai berkala ini. 
Mahbub juga terkenal sebagai seorang politikus. 
Seorang organisator. Ia pernah menjadi wakil rakyat 
(legislatif) di DPR-GR—turut membidani kelahiran UU 
Pers pertama yang kemudian dijadikan orde baru untuk 
mengontrol kebebasan pers di negeri ini. Ia juga aktif di 
organisasi NU—bahkan sejak masih lagi bersekolah. 
Apa yang istimewa dari tulisan-tulisan (boleh baca: Asal- 
Usul) Mahbub? Ia lihai memasukkan humor, satire, 
sindiran dalam tiap tulisan. Selalu segar. Dan yang 
penting selalu berisi kritik politik, sosial, budaya, dan sisi 
kehidupan manusia lainnya. Udah pasti semua tulisan itu 
bisa begitu karena kenyangnya Mahbub akan 
pengalaman: ya menulis ya di dunia sosial-politik-budaya- 
agama-dan apa lagi itu. 
Dalam tulisan “Kecuali” misalnya Mahbub menyindir soal 
(PT) Kereta Api di Indonesia yang telah memonopoli
perkereta-apian. Karena saingan, akhirnya berpengaruh 
pada pelayanan. Mahbub bilang di Indonesia ini tak ada 
yang lestari—bahkan seorang bernama Sri Lestari 
sekalipun: pacarnya berganti-ganti (tak lestari), juga 
hobbynya dari melihara kucing sampai kadang kambing 
(tak lestari) kecuali—mungkin karena ini judulnya 
kecuali—ya kecuali: nasi goreng di restorasi kereta api. 
Nasi goreng di keretapi api itu dari dulu sampai sekarang 
rasanya tetap begitu—tak berubah-ubah (lestari). 
Mahbub Menulis: 
“… Lihat saja nasi gorengnya. Apa yang dimakan 
nenekmu dulu persis sama dengan rasa nasi goreng 
yang kamu makan sekarang ini. Tidak meleset barang 
sedikit pun. Ada gundukan nasi, ada sepotong kerupuk 
dibungkus plastik, ada acar ketimun, dan ada sebutir 
cabe rawit, ada telur mata sapi, dan ada sesendok kecil 
saus tomat.” 
“Dan rasanya?” tanyaku. 
“Netral. Artinya: tidak pedas, tidak asin, tidak manis, 
tidak pahit dan juga tidak gurih. Walhasil, singkat kata 
tidak ada rasa apa-apa.” 
“Apa maksudmu tidak ada rasa apa-apa?” 
“Ya tidak ada rasa apa-apa,” jawab kawanku. 
“Juga tidak ada rasa nasi goreng?” 
“Juga tidak ada rasa nasi goreng.”
“Tapi namanya kan nasi goreng?” 
“Ya, namanya memang nasi goreng.” 
“Kok begitu?” 
“Ya begitu. Namanya saja sudah monopoli,” jawabnya. 
“Untuk selamanya begitu?” 
“Ya untuk selamanya. Itu sebabnya kusebut lestari. 
Satu-satunya yang lestari di atas bumi ini.” 
Mahbub juga mengkritik soal kampanye pemilu. 
Tulisnya: “Berbeda dengan nasi dan roti, program itu 
tidak pernah basi-basi. Kapan saja dibaca, 
kedengarannya senantiasa baru. Apalagi, tidak ada 
program yang jelek, semua program bagus-bagus 
belaka”. 
Macamnya kritik Mahbub ini masih relevan. Sampai 
sekarang pun kampanye pemilu di negeri ini tak pernah 
ada yang jelek. Semuanya bagus. Foto-foto calon 
pemimpinnya juga bagus. Yang jelek cuma realisasi 
janji-janji kalau sudah terpilih nanti. Meminjam Harry 
Roesli: seperti tukang sepatu: janji minggu jadi rabu. 
Banyak tulisan lain yang disampaikan dengan satire, 
humor, kocak, jenaka dalam Asal-Usul. Tapi semuanya 
adalah (auto) kritik. Tentang negeri bahari misalnya— 
Mahbub seperti Pramoedya A. Toer selalu mengingatkan 
kalau Indonesia ini negeri bahari bukan agraris: yang 
merupakan warisan kolonial, untuk kepentingan kolonial
sendiri. Dan ia selalu membela orang pinggiran: 
gelandangan pengemis misalnya, ia tolak perda yang 
mengkriminalisasi gelandangan dan pengemis— 
menurutnya itu bertentangan dengan konstitusi. 
Cara ini mestinya dipilih Mahbub karena waktu Orde 
Baru masih berkuasa. Rezim yang anti-kritik. Kalau 
ditulis dengan lugas, sudah pasti ia masuk bui. Bahkan 
ini benar pernah terjadi: karena tulisannya dan 
kegiatannya pada pemilu 1977 memberikan ceramah-ceramah 
soal kritiknya terhadap sistem pemilu dengan 
[hanya] tiga partai peserta pemilu itu. ia dipenjarakan 
oleh Soeharto tanpa persidengan Meja Hijau. 
Mahbub menulis hingga akhir hayat di Asal-Usul. Ia 
wafat 1 Oktober 1995. Darinya kita bisa belajar tentang 
bagaimana seharusnya seorang penulis, masyarakat 
sipil, cendikiawan: selalu beroposisi dengan kekuasaan, 
walaupun taruhannya kemudian kebebasan diri sendiri. 
Salute untuk [alm] Bung Mahbub! [*] 
Pendekar Pena dari Betawi 
Ia mengkritik dengan humor dan membicarakan suksesi Soeharto sejak 
dini. 
OLEH: BONNIE 
NAMA Zahid bin Mahmud sebagai tukang cerite, sebutan bagi pendongeng di 
Betawi, demikian tersohor di Jakarta pada era 1960-1970-an. Saking populernya 
lelaki Tanah Abang itu sampai-sampai muncul istilah ngejaid untuk menyebut 
kegiatan mendongeng. Dongeng Zahid sangat digemari lantaran ia berkisah 
dengan menyenangkan dan kerap membumbuinya dengan humor. 
Tradisi tukang cerite memang telah lama ada di kalangan masyarakat 
Betawi. Hikayat Nyai Dasima karya G. Francis tahun 1896 sudah menyebut
perihal tukang cerite. Kisah Nyai Dasima sendiri dipercaya sebagai kejadian 
faktual di era 1820-an. Sejak masa tersebut hingga era Zahid, Betawi tak pernah 
kehabisan tukangcerite dengan gayanya masing-masing. 
Tradisi mendongeng inilah yang sepertinya menginspirasi H. Mahbub Djunaidi. 
Pria yang juga berasal dari Tanah Abang itu memang bukan tukang cerite seperti 
Zahid, melainkan jurnalis kawakan. Mahbub terkenal sebagai kolumnis yang 
mampu menulis soal politik secara ringan, menyampaikan kritik dengan halus 
dan riang. Seperti pendongeng, ia memadukan cerita dan humor yang memikat 
pembaca. 
Mahbub bukan tipe pemikir yang menuliskan bangunan paradigma secara utuh. 
Esai-esainya menggambarkan ia begitu percaya pada demokrasi berikut 
dinamika politiknya. Ia meyakini kesejahteraan masyarakat harus diperjuangkan 
lewat politik. Secara konsisten ia menampik jika pembangunan mesti 
mengorbankan bagian masyarakat tertentu, terutama lapisan bawah. 
Mahbub lahir pada 27 Juli 1933. Ayahnya K.H. Muhammad Djunaidi, tokoh NU 
yang pernah menjadi anggota DPR hasil pemilu 1955. Ketika keluarganya 
mengungsi di Solo pada awal kemerdekaan, ia masuk madrasah dan oleh 
seorang gurunya diperkenalkan dengan karya-karya modern, seperti Sutan 
Takdir Alisjahbana, Mark Twain, atau Karl May. Ketika kembali ke Jakarta, ia 
meneruskan pendidikan di SMP dan SMA yang awalnya berlokasi di Cideng, 
kemudian pindah ke Jalan Budi Utomo. 
Ia sudah rajin menulis sejak SMP. Karya-karyanya telah dimuat di berbagi media 
massa terkenal saat itu, seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Roman, Star Weekly, 
dan Cinta. Tapi pengalaman yang paling tak terlupakan Mahbub adalah ketika 
pertama kali cerpennya, Tanah Mati, dimuat majalah sastra Kisah yang 
digawangi oleh HB Jassin, paus sastra Indonesia. Di SMA ia sempat mengasah 
bakat jurnalismenya dengan memprakarsai sekaligus menjadi pemimpin redaksi 
majalah sekolah Siswa. 
Tendensi Mahbub kepada dunia politik sudah terlihat dari kegemarannya 
mengikuti bermacam organisasi pelajar, mahasiswa dan pemuda, sejak ia masih 
sekolah. Berbagai organisasi, mulai dari IPPI, IPNU, GP Ansor dan HMI. Tahun 
1960 ia meninggalkan HMI untuk menjadi Ketua Umum pertama PMII. Di setiap 
organisasi tersebut Mahbub berperan aktif. Entah sebagai ketua, atau jajaran 
pucuk pimpinan. Aktivitasnya inilah yang di kemudian hari mengantarnya ke 
struktur kepengurusan Nahdlatul Ulama. 
Karir Mahbub di dunia jurnalistik nasional bermula pada tahun 1958. Ketika itu 
K.H. Saifuddin Zuhri, mengajaknya membangkitkan lagi Duta Masyarakat, koran 
NU yang sempat bangkrut. Menurut sahabat Mahbub, almarhum Said Budairy, 
penunjukkan itu sebetulnya tanpa pertimbangan yang jelas. Namun ternyata 
Mahbub mampu bertahan di koran tersebut, bahkan menjadi pemimpin redaksi 
mulai tahun 1960, hingga koran ini kembali berhenti edar pada 1970. 
Di koran ini Mahbub mendidik para wartawannya untuk disiplin dalam menulis. 
Baginya menulis harus sekali jadi. Gagasan mesti selesai di pikiran, baru
dituliskan. Chotibul Umam yang menjadi sekretaris Duta Masyarakat di era 
tersebut, menyaksikan bagaimana atasannya ini marah jika melihat 
wartawan Duta Masyarakat merobek kertas tulisannya yang tidak jadi. Mahbub 
sendiri tiap hari menyelesaikan tajuk rencana dalam tempo 1-2 jam. 
Diceritakan oleh Said Budairy dalam pengantar buku Asal Usul Mahbub Djunaidi, 
di koran ini Mahbub mulai berkenalan dengan Soekarno secara pribadi. Ketika 
itu Presiden Pertama RI ini meminta KH Saifuddin Zuhri mengajak Mahbub ke 
istana. Soekarno tertarik karena Mahbub menulis, bahwa kedudukan Pancasila 
lebih sublim dari Declaration of Independence-nya Amerika Serikat yang disusun 
Thomas Jefferson, atau Manifesto Komunis bikinan Karl Marx dan Frederich 
Engels. 
Pertemuan itu rupanya memberi kesan mendalam pada kedua belah pihak. 
Sebagaimana diceritakan Mahbub dalam esai Jalan Pintas yang Pernah 
Dilakukan oleh DPA, Soekarno pernah berniat mengangkat Mahbub sebagai 
anggota DPA pada tahun 1966, tapi ditolaknya. Sementara Mahbub sendiri 
mengatakan, “Kalau tidak ada Bung Karno saya tidak yakin persatuan dan 
kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang.” 
Pada kurun 1960-1970-an boleh dibilang periode paling sibuk dalam hidup 
Mahbub. Selama satu dekade itu ia menjadi anggota DPR-GR/MPRS, dan 
sempat mengetuai Pansus UU Ketentuan Pokok Pers. Para anggota pansus 
antara lain Sayuti Melik, Rh. Kusnan, Soetanto Martoprasono, serta Said 
Budairy. Sementara karirnya di dunia jurnalistik kian berkibar dengan terpilih 
menjadi ketua PWI, tahun 1965 hingga tahun 1970. Hal ini berbarengan dengan 
aktivitasnya selaku Ketua Umum PMII dan Ketua II GP Ansor. 
Semua pencapaian tersebut rupanya tak membuat Mahbub puas. Antusiasme 
pada sastra mengantarnya memenangkan sayembara mengarang roman Dewan 
Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974, lewat novelnya Dari Hari ke Hari yang 
menggambarkan era revolusi kemerdekaan Indonesia di Solo melalui kacamata 
seorang bocah. 
Ia memang pernah mengaku lebih suka dianggap sebagai sastrawan dibanding 
yang lainnya. Tapi baginya menjadi jurnalis dan sastrawan saja tidak cukup. 
Perubahan mesti diperjuangkan lewat jalur politik dan kalau perlu melakoninya 
sendiri. Lain halnya dengan Mochtar Lubis, sahabat Mahbub, yang sering 
digodanya sebagai wartawan pelapor sejarah, bukan pelaku sejarah, karena 
Mochtar tak mau ikut berpolitik. 
Sejak tahun 1977 ketika pemilu pertama kali digelar dengan tiga kontestan, 
Mahbub merasa kondisi Orde Baru mesti berubah. Ia masuk ke kampus-kampus 
membicarakan suksesi kepemimpinan nasional. Akibatnya ia ditahan hampir 
setahun di Nirbaya tanpa pengadilan. Karena sakit ia dipindahkan ke RS Gatot 
Subroto, dan sejak itu ia tak pernah benar-benar sehat. Dalam masa tahanan 
inilah ia menulis novel Angin Musim. 
Pasca penahanannya, ia kembali aktif di bidang organisasi dan politik. Ia berbalik 
menggembosi suara PPP di kalangan basis massa NU, ketika unsur-unsur
ormas tersebut di PPP disingkirkan oleh Ketua Umum PPP kala itu, H. Naro. Di 
NU ia sempat menjabat Wakil Ketua Tanfidziyah PB NU ketika Gus Dur 
mengampanyekan “NU kembali ke Khittah 1926”. Namun kedua tokoh humoris 
ini akhirnya berselisih pandang soal relasi antara NU dan politik. 
Dalam dunia tulis-menulis, Mahbub tetap menyumbangkan pikirannya di 
berbagai media massa dan secara rutin mengisi kolom Asal Usul di Kompas. Ia 
juga menerjemahkan beberapa buku, di antaranya 100 Tokoh yang Paling 
Berpengaruh dalam Sejarah (Michael H. Hart) yang selama dua tahun masa 
terbitnya mengalami 16 kali cetak ulang. 
Perihal kolom Asal Usul, diceritakan J.B. Kristanto dalam pengantar antologi Asal 
Usul, kolom ini muncul sejak 1984, dan beberapa wartawan mengisinya 
bergantian. Karena dirasa kurang memuaskan, dilakukanlah evaluasi yang serta-merta 
memunculkan nama Mahbub Djunaidi, yang langsung menyatakan 
kesediaannya. Maka sejak 23 November 1986 hingga akhir hayatnya, Mahbub 
menjadi penulis tunggal Asal Usul. 
Di balik sifat humor dan riangnya, Mahbub tetap seorang berprinsip teguh. Pada 
Maret l994 ia diwawancarai tabloid Detik tentang suksesi kepemimpinan 
nasional. Ia konsisten dengan pendiriannya; "Mengapa tidak etis membicarakan 
suksesi? Suksesi bukan masalah etis tidak etis. Tapi masalah bagaimana 
kehidupan kita bersama di waktu mendatang. Saya setuju membicarakan 
pembatasan masa jabatan Presiden, karena orang yang terlalu lama menjabat, 
cendrung menyalahgunakan kekuasaannya karena terlanjur mapan," ujarnya. 
Sayangnya ketika Soeharto lengser dari kursi presiden empat tahun sesudah 
wawancara tersebut, Mahbub telah tiada. Pada 1 Oktober 1995 ia terbebas dari 
sakit yang bertahun-tahun dideritanya. Dalam sebuah surat untuk keluarganya ia 
berpesan: “Kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda 
mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan…Hanya kejujuran, kepolosan, 
apa adanya yang bisa memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan." 
Apa yang dikatakannya dalam surat tersebut kiranya tak berlebihan. Segala 
aktivitasnya tak dimanfaatkan untuk mencari kelimpahan materi. Sebuah VW 
kodok bekas berwarna kebiruan yang digunakannya mengarungi kesibukan 
sejak era 1960-an, merupakan aset yang dipinjamkan Duta Masyarakat. Begitu 
pun dengan tempat tinggalnya di Kebayoran Baru. 
Selama hidupnya, selain Soekarno, Mahbub juga mengagumi Pramoedya 
Ananta Toer. Kepada Ridwan Saidi, Mahbub mengungkapkan kekesalannya 
karena dua kali tulisannya perihal Pramoedya ditolak media. “Orang yang seperti 
Pramoedya cuma satu dimusuhi terus-menerus. Padahal secara bahasa Pram 
mendidik kita,” katanya. Ketika tetralogi Pram dilarang oleh Kejaksaan Agung, ia 
bersikeras memberikan empat karya tersebut kepada Mendikbud Fuad Hasan. 
Sebaliknya, Pram pun mengagumi Mahbub. Menurut Koesalah Toer 
dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, pada peluncuran buku Sketsa 
Kehidupan dan Surat-surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi tahun 
1996, Pram yang biasanya enggan diminta sambutan, kali ini maju ke depan
forum. Dikatakannya, di kala ia diserang dari segala penjuru, hanya Mahbub 
yang membela.[AHMAD MAKKI/KONTRIBUTOR] 
Mahbub Junaidi Sang Ketum PMII dengan Senjata 
Pena-nya 
Mahbub Junaidi namanya “Pendekar Pena” 
panggilannya. Sosok kelahiran 27 juli 1993 ini begitu gemar menulis, bahkan ia 
pernah bersatement “Saya akan menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu 
lagi menulis”. Tokoh kelahiran jakarta ini memulai karier menulisnya ketiaka Ia 
duduk di bangku Sekolah, sebagai Redaktur majalah Sekolah. 
Ia adalah anak pertama dari 13 Saudara kandungnya, mengenyam pendidikan SD 
di Solo. Keluarganya harus mengungsi di SOLO karena kondisi yang belum aman 
pada saat awal kemerdekaan. Pemahaman Ke-Islamannya nya Ia tempuh di 
madrasah Mabaul Ulum. Di pesantrenlah Mahbub diperkenalkan tulisan-tulisan 
Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain. “Masa-masa itulah 
yang sangat mempengaruhi perkembangan hidup saya,” cerita Mahbub. 
Ayahandanya H. Djunaidi adalah tokoh NU dan pernah jadi anggota DPR hasil 
Pemilu 1955. 
Saat Belanda menduduki Solo, Mahbub Junaidi muda dan keluarganya kembali ke 
Jakarta, 1948. kemudian ia menjadi siswa SMA Budi Utomo,Sejak itulah ia menulis 
sajak, cerpen, dan esei. Tulisan-tulisannya banyak dimuat majalah Siasat, Mimbar 
Indonesia, Kisah, Roman dan Star Weekly. Melanjutkan perjuangan ayahandanya ia 
juga menjadi anggota Ikatan Pelajar NU (IPNU). Kuliahnya di UI terhenti hanya 
sampai tingkat II. Kegiatannya dalam organisasi mengantarkan Mahbub ke jabatan 
pemimpin harian Duta Masyarakat (1958), dan Ketua Umum Persatuan Wartawan 
Indonesia (PWI) pada 1965, kemudian Ketua Dewan Kehormatan PWI, sejak 1979. 
Terakhir, di samping sebagai Wakil Ketua PB NU, ia juga duduk di DPP PPP.
Sebagai kolumnis, tulisan Ketua Umum PB PMII Tiga Periode Ini kerap dimuat 
harian Kompas, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Pelita, dan TEMPO. Kritik sosial 
yang tajam tanpa kehilangan humor adalah ciri khas tulisan Sang Pendekar Pena 
ini. Akibat tulisannya yang tajam, Ia pernah ditahan selama satu tahun di tahun 
1978. jeruji besi dan gelapnya penjara tak menghambat nalar menulisnya di dalam 
penjara ia menerjemahkan Road to Ramadhan, karya Heikal, dan menulis sebuah 
novel Maka Lakulah Sebuah Hotel. Jaya, 1975. 
Sosok yang memimpin PMII sejak tahun 19960-1967 ini mengagumi pengarang 
Rusia Anton Chekov dan Nikolai Gogol. Sedang Penulis Dalam Negri yang Ia 
kagumi adalah Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer. Meski sering berkunjung 
ke luar negeri, pengalaman yang menarik baginya adalah , ” bergaul dan berdiskusi 
dengan Bung Karno,Sang Revolusioner RI,” Ujar ayah tujuh anak, yang sudah dua 
kali naik haji ini. Baginya tanpa Soekarno, Indonesia tak mungkin bersatu di era 
Revolusi 1945. 
Profil Singkat Beliau: Ketua Umum PP.PMII tiga periode, yaitu periode 1960–1961, 
hasil Musyawarah Mahasiswa Nahdliyin pada saat PMII pertama kali didirikan di 
Surabaya Jawa Timur. Periode 1961-1963, Hasil Kongres I PMII di Tawangmangu 
Jawa Barat. Dan Periode 1963-1967, hasil Kongres PMII II di Kaliurang Yogjakarta. 
Pada masa kepemimpinan sahabat Mahbub Junaidi inilah PMII secara politis 
menjadi sangat populer di dunia kemahasiswaan dan kepemudaan, sampai pada 
periode pertama sahabat Zamroni. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum PWI 
pusat dan pimpinan Redaksi harian Duta Masyarakat (1965–1967), ketua dewan 
kehormatan PWI (1979 – 1983), anggota DPR GR (1967-1971), Wakil Ketua PB NU 
(1984-1989), Wakil sekjen DPP PPP, Anggota DPR/MPR RI (1971-1982), Pencetus 
“Khittah Plus” , Ketua Majlis Pendidikan Soekarno dan anggota mustasyar PB NU 
(1989-1994). 
AHBUB JUNAIDI TOKOH MULTI TALENTA 
Jumat, 11 November 2011 
Adriansyah 
Dalam sejarah republik ini, pernah muncul seorang tokoh aktivis 
mahasiswa yang sangat multi talenta,bahkan hampir jarang ditemukan
sosok yang lengkap seperti beliau saat ini, beliau adalah Mahbub 
Junaidi (Jakarta, 27 Juli 1933). Mahbub adalah seorang tokoh satrawan, 
jurnalis, organisatoris, agamawan dan politisi. Dalam hal tulis-menulis 
Mahbub temasuk sangat piawai pada masanya, misalnya beliau yang 
menerjemahkan buku 100 tokoh yang berpengaruh di dunia karangan 
Michael H. Hart. 
Dalam menulis kolom, Mahbub sangat terkenal dengan bahasa satire 
dan bahasanya yang humoris. Bahkan, Bung Karno samapai terkesan 
dengan tulisan beliau, karena Mahbub mengatakan Pancasila lebih 
agung dari Declaration of Independence, sehingga Bung Karno sempat 
mengundang Mahbub ke Istana Bogor, dari situlah Mahbub Junaidi 
menjadi sangat dekat dengan Bung Karno, dan Mahbub sangat kagum 
dengan “sang penyambung lidah rakyat tersebut.” 
Ajaran Bung Karno, memang cukup mempengaruhi nasionalisme 
Mahbub. Pada sebuah pertemuan wartawan di Vietnam, Mahbub 
menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi kendati ia 
cukup fasih berbahasa Inggris atau Prancis. Inilah sikap 
nasionalismenya. “Bahasa Prancis bukan bahasa elu, dan bahasa Inggris 
juga bukan bukan bahasa gua.”Kalau istilah bahasa Ciputat dan 
sekitarnya, Mahbub sosok yang bebahasa nyablak. 
Humor adalah cara dari Mahbub untuk mengajak seseorang masuk 
kedalam suatu masalah, karena salah satu kebiasaan dari orang 
Indonesia adalah suka tertawa, maka untuk mengkritik dengan cara 
yang enak adalah lewat humor. Sebagaimana yang pernah dikatakan 
Gus Dur, “dengan humor kita dapat sejenak melupakan kesulitan 
hidup.”
Dalam kariernya sebagai aktivis mahasiswa, Mahbub Junaidi pernah 
menjadi ketua PP. HMI, kemudian mengundurkan diri dan bersama 
sahabat-sahabatnya membentuk Pergerakan Mahasiswa Islam 
Indonesia (PMII) pada 17 April 1960, dan pada saat itu juga Mahbub 
Junaidi terilih sebagai ketua umum PMII yang pertama. 
Saat HMI pernah ingin di bubarkan oleh Bung Karno, dikarenakan 
tokoh-tokoh Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI PERMESTA 
di Sumatera Barat,Mahbub langsung berangkat ke Istana Bogor unuk 
berdialog langsung dengan Bung Karno, dan pemintaan Mahbub sangat 
tegas, yaitu “HMI jangan di bubarkan.” Dan akhirnya tuntutannya itu 
terkabul. 
Di masa pemerintahan Orde baru adalah masa pesakitan bagi Mahbub 
Junaidi, beliau merasa kariernya sebagai wartawan yang kritis dan lugas 
terasa dibungkam pada saat itu, bahkan beliau pernah dipenjara oleh 
rezim tersebut karena dituduh terlibat dalam peristiwa G 30 
S/PKI,padahal itu sesat setelah beliau terpilih sebagai ketua PWI. 
Saat menjadi aktivis mahasiswa, Mahbub juga ahli dalam membuat 
lagu, mars PMII dan mars Gerakan Pemuda Ansor juga ciptaan dari 
Mahbub Junaidi. Dari kariernya sebagai ketua umum PB PMII, membuat 
kaiernya melesat ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dan 
terakhir juga dipercaya sebagai salah satu ketua di PPP (Partai 
Persatuan Pembangunan). Di PPP beliau dalam kampanye dibantu oleh 
Rhoma Irama, Zainudin MZ dan Nurcholis Majid, sehingga suara PPP di 
daerah meningkat dan menang di DKI Jakarta pada saat itu.
Tokoh multi talenta ini kini telah tiada, sejarah pergerakannya yang 
sempat dibenam oleh rezim berkuasa,namun karya-karyanya dan jasa-jasanya 
telah tertoreh dalam tinta emas dunia pergerakan dan 
jurnalis ,sehingga para aktivis mahasiswa bisa mengambil pelajaran 
besar dari sosok tokoh multi talenta seperti Mahbub Junaidi. 
Referensi 
1. http://pmiikomfuspertum.blogspot.com/2009/01/mah 
bub-junaedi-pmii-legend.html 
2. http://pwi.or.id/index.php/Pressedia/M-dari- 
Ensiklopedia-Pers-Indonesia-EPI.html 
Dipos k a n oleh Intelek tua l Muda Mus lim di 2 3 : 5 8 
Catatan: Mahbub Djunaidi mungkin satu-satnya penulis kolom dengan gaya jenaka 
yang tidak atau sulit tergantikan hingga sekarang. Saat membaca kembali kolomnya 
yang pernah dimuat di rubrik Asal Usul Kompas berikut ini, saya tak henti-hentinya 
untuk terpingkal-pingkal. Silahkan dinikmati kolom Mahbub di bawah ini. 
Ulil 
----- 
Kolumnis 
Mahbub Djunaidi 
TIAP KTP punya baris "pekerjaaan" yang mesti diisi. Seorang Dirjen akan dengan 
mantap mengisinya karena yakin betul tiap orang mafhum belaka apakah makhluk 
dirjen itu. Seorang makelar pun sekarang ini tidak usah kikuk mencantumkan 
profesinya, karena dunia makelar pun sudah sah jadi penunjang pembangunan 
seperti halnya juga komisioner. Sekarang, apa yang harius diisi seorang penganggur 
yang banyak sekali jumlahnya di negeri ini? Demi harga diri dan demi supaya tidak 
dicurigai, mustahil seorang penganggur mengisi apa adanya dalam KTP. Karena 
jenis pekerjaan mesti jelas tercantum, maka apa yang mesti ditulis oleh penganggur 
yang tidak punya pekerjaan? 
Biasanya mereka isi dengan perkataan "swasta" atau "wiraswasta. Saya berani
bertaruh, tidak ada penganggur yang berterus terang menulis apa adanya. Selain 
demi harga diri dan demi jangan dicurigai, juga mereka menghindar dari mengaku 
penganggur itu karena merasa kurang enak kepada pihak pemerintah, takut 
dianggap menyindir. Mengapa menyindir? Karena bunyi pasal 27 UUD berbunyi 
"Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi 
kemanusiaan". Jika penganggur mengaku terus terang keadaanya, apa itu bukannya 
bisa dianggap menyindir, seakan-akan pemerintah sudah tidak mampu 
menyediakan pekerjaan yang layak? 
Hal serupa dialami oleh para pengemis. Jika pemerintah berpegang teguh secara 
murni dan konsekwen pada bunyi pasal 34 UUD yang berbunyi "Fakir miskin dan 
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara", maka tidak mungkin bergelombang-gelombang 
pengemis masuk kota. Anehnya, ada kotamadya yang mengancam akan 
merazia dan menangkap pengemis. Apakah memang pantas dipersoalkan kenapa 
sampai melalaikan pasal 34 UUD itu hingga berdasar Pancasila ini bila orang 
diperbolehkan sekaya-kayanya, tapi para fakir miskin malahan diuber-uber? 
PEKERJAAN Dirjen orang tahu. Begitu juga makelar atau komisioner. Bahkan 
profesi dukun pun orang paham. Tapi profesi "kolumnis" masih asing dan belum 
banyak yang maklum. Jika saya mencantumkan perkataan "kolumnis" sebagai jenis 
pekerjaan, banyak yang bertanya-tanya binatang apa sih kolumnis itu? Kolumnis itu 
bagian pekerjaan malam apa siang? Bahkan ada yang bertanya, apa beda antara 
kolumnis dengan komunis? Tentu beda. Komunis itu sudah musnah sedangkan 
kolumnis itu masih ada, setidaknya sampai hari ini. Perkara besok akan lenyap juga, 
nantilah kita lihat saja. 
Apa yang ditulis kolumnis itu memang fakta? Bisa fakta dan bisa juga bukan fakta. 
Sebab, jika semua fakta mesti ditulis secara terbuka dan apa adanya, dalam tempo 
tiga hari dunia ini akan terbolak-balik. Bahwa koran mesti menyiarkan yang faktual, 
itu benar. Tetapi tidak semua fakta layak disiarkan. Sebab, apa jadinya jika semua 
fakta disiarkan oleh koran? Apa jadinya jika korupsi mulai teri hingga kakap 
dibeberkan apa adanya? 
Saya punya contoh, bagaimana seorang kolumnis menulis bukan atas dasar fakta, 
melainkan imajinasinya yang diharapkan bisa ditarik manfaatnya oleh pembaca. 
Misalnya kolumnis Ajip Rosidi yang sudah bertahun-tahun bermukim di Jepang. 
Dalam Kompas terbitan 6 Juni 1986, ia menurunkan tulisan berjudul Sendok, 
Garpu dan lain-lain. Tulisan itu menyebut ihwal makanan, cara makannya, apa 
pakai sendok apa pakai sumpit, apakah itu makanan Jepang atau Barat. 
Sebagai orang yang kenal baik Ajip Rosidi, saya tahu persis ia sama sekali bukan 
gastronom, bukan pakar makan-memakan, bahkan mirip pun tidak. Ia bukan 
tukang makan, melainkan tukang telan apa saja yang lewat di depan hidung. 
Bagaimana mungkin seorang awam makanan seperti Ajip berani menulis artikel 
ihwal makanan, kalau bukan semata-mata atas dorongan imajinasinya? Bagaimana
mungkin seorang yang tidak bisa membedakan mana kroket dan mana combro 
mampu menulis soal makanan? Ini sama saja anehnya dengan orang asal Indihiang 
yang berdiam di kaki Gunung Galunggung bicara soal taman laut dan rahasia 
samudera. 
Saya punya kisah pribadi yang mendukung pendapat saya. Pada tahun 1982 saya 
mampir di Kyoto naik kereta api., Ajip Rosidi persis menunggu di pintu gerbong. 
Sesudah bersalam-salaman sebagaimana layaknya, sesudah tanya ihwal masing-masing 
dan bertanya ihwal Tanah Air yang saat itu menjelang saat pemilu, Ajip pun 
berbaik hati menawarkan apa saya mau makan siang, dan makanan apa yang saya 
sukai. 
Saya bilang, memang saya belum makan, dan makan apa pun 
jadilah. Sukiyaki boleh, steak Kobe pn jadi, pokoknya asal cepat. Maka Ajip pun 
mengajak berjalan kaki masuk keluar lorong, ada barangkali satu jam sehingga 
bukan saja perut makin lapar, tapi kaki pun sudah kaku. Di dalam hati saya berpikir, 
kok [di] kota semacam Kyoto yang cukup besar itu, susah betul cari restoran? 
Sesudah kaki tidak kuat lagi melangkah, tahulah saya bahwa Ajip sebetulnya tidak 
tahu persis, di mana letak restoran yang menjual makanan [yang] saya sebut itu, 
bahkan Ajip malahan tidak bisa baca huruf Kanji. Tentu saja ia tidak bisa 
membedakan mana restoran dan mana toko potret. 
Sesudah tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan, saya pun pasrah dan 
mengusulkan supaya makan makanan apa saja yang tampak oleh mata. Maka, kami 
pun menghampiri depot penjual hamburger, makanan yang bisa ditemui siapa saja 
dengan mudah, baik oleh nenek-nenek maupun orang buta.**** 
Kompas, 17 Juli 1988. 
Sulitnya Mencari Mahbub Djunaidi 
Posted on Desember 3, 2008 | 5 Komentar
Karya terjemahan Mahbub Djunaidi 
Tak bisa mungkir, awal ketertarikan saya kepada Mahbub Djunaidi dipicu oleh 
kesamaan organisasi yang kami geluti; PMII. Butuh waktu lama bagi saya untuk 
sedikit demi sedikit menyerap kabar tentang tokoh kelahiran Betawi ini, baik 
yang lebih bersifat kabar burung, maupun yang bisa dipertanggungjawabkan 
kebenarannya. Sampai pada satu waktu saya mulai akrab dengan internet dan 
mendapat ide untuk menanyakan perihal Mahbub Djunaidi kepada Google. 
Namun hingga kini saya selalu dibuat kecewa karena sedikitnya informasi terkait 
yang bisa saya dapatkan. Hal yang sama saya jumpai dari mesin pencari lain 
seperti Yahoo dan sejenisnya. 
Kenyataan ini cukup membuat kening saya berkerut karena heran, kenapa ia 
sampai dibuat lunta sedemikian rupa? Padahal dari sedikit data yang bisa 
didapatkan, saya menganggap ia bisa dikategorikan sebagai tokoh besar nasional, 
baik sebagai aktivis, wartawan, maupun tokoh masyarakat. Saya kira orang-orang 
yang bergelut intens di tiga wilayah ini tak akan mengesampingkan nama 
Mahbub Djunaidi dari ingatannya. Jika menelisik rekam jejaknya, tentu kita bisa 
melihat alasan-alasannya 
Sebagai aktivis 
Konon Mahbub Djunaidi, yang terlahir dalam tradisi pesantren, bukanlah santri 
yang berhasil, bahkan ayahnya yang juga seorang kiai sempat dibuat malu oleh 
hal ini. Sebagai hukumannya kala itu Mahbub diwajibkan menghafal Barzanji di 
luar kepala (Emmy Kuswandari, 2008). Namun catatan ini berubah ketika ia 
memasuki dunia kemahasiswaan yang akrab dengan aktivisme. Memang, sebagai 
aktor perkuliahan catatan studinya tidak menggembirakan, hanya sampai tingkat 
dua di Fakultas Hukum UI, tetapi jika melihat perannya sebagai aktivis, kita bisa 
dibikin tak berkedip membaca catatannya. 
Karirnya sebagai aktivis dimulai dari IPNU. Ketika itu, era akhir 50-60an, 
kondisi politik Indonesia tengah semrawut, kedudukan Soekarno mulai goyah. 
Mahbub yang ketika itu berstatus mahasiswa dan menjadi kader HMI -satu-satunya 
organisasi mahasiswa Islam kala itu, tergabung dalam kelompok yang
tidak puas dengan keputusan HMI menjadi underbow Masyumi. Bersama 
kelompoknya, Mahbub memutuskan keluar dari organisasi ini. Dan setelah 
melalui berbagai liku perjalanan, akhirnya pada tanggal 17 April 1960, ditandai 
dengan Deklarasi Tawangmangu, lahirlah organisasi PMII yang hingga kini 
menjadi salah satu organisasi terbesar dan termasif di Indonesia. Dalam 
kesempatan tersebut Mahbub Djunaidi sekaligus terpilih sebagai ketua umum 
pertama PB PMII (1960-1967) (M. Afifudin, 2008). 
Aktivitasnya di PMII ini berbarengan dengan kegiatannya di GP Ansor. Ketika itu 
ia menjabat Ketua II (1964-1968). Lepas dari dua posisi ini, ia langsung 
merangsek ke PBNU untuk mengakuisisi kursi Wakil Sekretaris Jenderal sejak 
1970 sampai 1979. Catatan ini terus diperbaikinya dengan dipercaya menjadi 
Ketua II PBNU (1979-1984), lalu Wakil Ketua PBNU Tanfidziyah (1984-1989). 
(NU Online, 2008). 
Sebagai penulis dan wartawan 
Melalui Tetralogi Pulau Buru, alm. Pramoedya “menegur” kita untuk mengingat 
kembali Raden Mas Tirto Adhi Surjo yang menerbitkan Medan Prijaji. Tokoh ini 
ini akhirnya diinaugurasi sebagai Bapak Pers Nasional pada tahun 1973 (Jurnal 
Nasional, 2008). Namun nama Mahbub Djunaidi juga mesti ikut dicatat dalam 
sejarah pers kita, karena ialah yang memberi landasan hukum bagi pers nasional 
dengan menyurun RUU tentang ketentuan pokok pers ketika ia menjadi anggota 
DPR-GR/MPRS pada tahun 1965. Dalam tim pansus tersebut ia dibantu oleh 
Sayuti Melik, RH Kusman, Soetanto Martoprasonto, dan Said Budairi (M. 
Afifudin, 2008). 
Sosok Mahbub memang dikenal sangat kental dengan dengan dunia jurnalistik. 
Dalam dunia berita ini Mahbub pun sempat menjabat posisi-posisi penting 
seperti pemimpin harian Duta Masyarakat (1958), dan Ketua Umum Persatuan 
Wartawan Indonesia (PWI) pada 1965, kemudian Ketua Dewan Kehormatan 
PWI, sejak 1979 (Tempo, 2008). Sebagai seorang kolumnis pun ia menunjukkan 
stamina yang patut diteladani. Tercatat selama sembilan tahun ia mengasuh 
rubrik Asal-Usul di Kompas, yang kemudian diterbitkan dalam buku 
berjudulMahbub Djunaidi Asal-Usul (M. Afifudin, 2008). Selain itu ia juga rutin 
menulis di majalah Tempo yang juga kemudian dibukukan dengan judul Kolom 
demi Kolom (Sobron Aidit, 2008). Selain dua media di atas, tulisan-tulisan Mahbub 
Djunaidi kerap dimuat oleh Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, dan Pelita. 
Namun konon Mahbub lebih merasa akrab dengan dunia sastranya, paling tidak 
begitulah yang pernah didengar langsung Sobron Aidit dari mulut tokoh yang 
dianggap salah satu pembaharu NU ini. Memang Mahbub pernah menerbitkan 
novel berjudul Dari Hari ke Hari, serta Maka Lakulah Sebuah Hotel yang dituliis 
dalam penjara, bersamaan dengan terjemahannya atas Road to Ramadhan karya 
Haikal. Konon Mahbub mengidolai penulis-penulis realis seperti Anton Chekov, 
Nikolai Gogol, Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer (Tempo, 2008). Karya 
terjemahannya yang lain dan sempat mendapat sukses besar berjudul 100 Tokoh 
yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
Sebagai tokoh masyarakat 
Gambaran pribadi Mahbub Djunaidi yang terrekam oleh Jakob Oetama adalah 
seorang yang berprinsip, demokratis, moderat, dan tak pernah mencerca lawan-lawannya. 
Sedangkan Rosihan Anwar berpendapat bahwa Mahbub berjasa besar 
atas keutuhan PWI, dan menghindarinya dari kooptasi orde baru (Kompas, 2008). 
Pendapat dua orang tokoh senior pers ini paling tidak sedikit menggambarkan 
sosoknya yang relatif bersih dari konflik, meski ia telah aktif di masa orde lama, 
di mana kerap terjadi diskusi-diskusi ofensif, bahkan hingga taraf menyerang 
pribadi. 
Memang pada masa orde baru ia sempat kena kurung selama dua bulan di rutan 
Nirbaya, bersama dengan Soebandrio, Omar Dhani dan beberapa nama lain, itu 
pun karena alasan yang pada saat ini sangat tidak masuk akal; dianggap 
menghasut karena mengusulkan pencalonan Ali Sadikin sebagai Presiden RI di 
depan forum mahasiswa. Namun Mahbub menganggap penahanannya tersebut 
sebagai peristiwa enteng. Hal ini terbaca dalam petikan sebuah surat kepada 
temannya yang dikirim dari dalam penjara; “Rasanya bui bukan apa-apa buat 
saya. Apalagi bukankah ditahan itu suatu ‘resiko bisnis’? Kata orang, penjara itu 
ibaratnya perguruan tinggi terbaik, asal saja kita tidak dijebloskan karena 
mencuri! Saya merasakan benar kebenaran misal itu…Sedangkan nonton bioskop 
perlu ongkos, apalagi demokrasi. Dan ongkos itu perlu dibayar! Iuran saya 
sebenarnya sedikit sekali. Jalan masih panjang, apapun yang terjadi mesti 
ditempuh…” (Emmy Kuswandari, 2008). Tokoh yang meninggal pada 1 Oktober 
tahun 1995 ini membuktikan kebenaran perkataannya itu dengan menghasilkan 
sebuah novel dan satu karya terjemahan seperti yang dibahas di atas. 
*** 
Melihat fakta perjalanan hidupnya, memang terasa aneh jika kita mengalami 
kesulitan untuk mendapatkan data-data seputar Mahbub Djunaidi dari dunia 
maya yang konon bisa memberikan kita segalanya. Namun saya tak ingin 
menjadikan ini sebagai penyulut kecurigaan, apalagi sampai menisbahkannya ke 
mana-mana. Paling tidak saya berharap kita, bangsa Indonesia, khususnya 
orang-orang yang pernah mengecap kaderisasi PMII dan Nahdatul Ulama, 
merasa bersedih melihat kenyataan ini. 
Semoga kesedihan kita menghasilkan sesuatu, sebagaimana Mahbub Djunaidi 
menghasilkan karya dari kesepiannya di penjara. 
Ciputat, 3 Desember 2008 
KISAH SERBA-SERBI ( H. Mahbub Djunaidi )
by sobrona at ... » Sat Apr 03, 2004 3:35 am 
Sobron Aidit : 
KISAH SERBA-SERBI 
( H. Mahbub Djunaidi - 
bagian dua ) 
Ketika kami berdua bertamu di rumahnya, ada yang dia tanyakan 
kepada saya, 
sehingga saya agak kikuk menjawabnya. Sebab katanya " Saya dengar 
ada 
anaknya bung Aidit yang tinggal di Bandung ini....apa benar begitu?". 
Saya 
agak mencubit Ilham dan dengan isyarat mata yang saling tahu, lalu 
saya 
katakan. : Nah, ini dia, sengaja saya minta temani agar dia mau datang 
juga 
kepada sampeyan..buat berkenalan..." Tadinya ketika saya 
bersalamanmula-mula saya hanya mengatakan saya dengan keluarga 
saya - 
ponakan, tetapi tidak saya katakan siapa diaini. Dan belakangan 
menurut 
Ilham, anaknya mas Mahbub juga berkenalan dengan Ilham, jauh 
sebelumnya, 
tetapi ketika itu belum 
begitu akrab. Dan mas Mahbub tampaknya gembira dengan pertemuan 
kami ini.
Dan kami belum 
bisa pulang buat minta diri sebelum makan-siang. Sekeluarga mas 
Mahbub 
sangat baik - ramah-tamah dan terbuka. Diam-diam dalam hati saya 
yang jauh 
terpendam.....saya bertambah mengagumi kepribadian mas Mahbub. 
Seorang tokoh 
Islam yang penting - yang salah seorang pimpinan NU - yang seorang 
jurnalis 
senior yang sangat dikagumi banyak orang - ya - kok nggak anti-komunis 
ya! 
Buku mas Mahbub yang terbit sesudah dia meninggal dan dalam 
memperingati 100 
hari meninggalnya almarhum, adalah yang berjudul ASAL-USUL, di 
kolom tetap 
KOMPAS. Kolom ini dikerjakannya selama hampir sembilan tahun. 
Tanpa henti 
selama rentang waktu itu. Dan saya kira tidak hanya saya sendiri yang 
secara 
sengaja mencari Kompas yang hari itu ada kolom ASAL-USUl tulisan 
Mahbub. 
Mahbub Djunaidi lahir pada tanggal 22 Juli 1933 di Jakarta. Lebih jelas 
lagi 
mas Mahbub mengakui orang Jakarta asli - dan orang TanahAbang 
Petamburan! 
Mahbub meninggal pada tanggal 1 Oktober 1995. Berarti dia meninggal
dua 
bulan lebih sedikit ketika kami ngobrol di rumahnya itu. Ketika itupun 
dia 
sudah tampak tidak begitu sehat dan dalam kedaan istirahat di rumah. 
Kata 
teman-teman dekat 
Mahbuib, dia ini punya tiga ciri menonjol, sebagai politikus - sebagai 
jurnalis dan sebagai humoris. Saya ingin menambahkan sesuai juga 
dengan yang 
pernah dikatakannya bahwa dia merasa lebih dekat ke sastrawanannya 
daripada 
kewartawanannya. Saya kira memang bergandeng eratlah itu. Ada juga 
orang 
yang agak sama-mirip menyerupai kedua-duanya, yalah seorang 
Mochtar Lubis. 
Mochtar Lubis itu, ya jurnalis hebat ya sastrawan yang bagus. Saya kira 
begitulah mas Mahbub. 
Saya masih ingat - satu istilah yang berasal dari kata-katanya. Maafkan 
saya 
kalau salah. Istilah itu yalah gembos - penggembosan. Gembos dan 
penggembosan mula-mulanya buat menggembosi PPP yang dikuasai 
oleh Naro 
dengan kawan-kawannya. Politikus Naro yang dengan berani pernah 
menawarkaniri buat jadi presiden - dan juga banyak mau 
mempengaruhi partai 
PPP yang juga mau menggembosi NU agar orang NU mau pindah ke 
PPP, dengan
keras dan ligat Mahbub melahirkan istilah menggembosi ini. Ini dalam 
rangka 
agar Naro jangan sampai tepilih menjadi orang pertama di PPP yang 
menurut 
banyak orang NU, banyak bikin susah dan bikin rugi NU dan orang-orang 
NU. 
Dua buku Mahbub, yang satu KOLOM DEMI KOLOM, adalah tulisannya 
di TEMPO 
secara teratur. Buku ini dikata-pengantari Goenawan Mohamad. Mas 
Goen 
termasuk orang atau penulis yang saya selalu cari buat membacainya - 
misalnya Catatan Pinggir-nya. Buku kedua, yang terakhir adalah 
MAHBUB 
DJUNAIDI - ASAL-USUL, semua tulisan yang secara teratur ada di 
Kompas. Ini 
bukunya yang tertebal, sebab dikerjakannya selama hampir sembilan 
tahun 
secara teratur dan tetap. Buku yang satu ini bagi saya sangat 
mengingatkan 
pergaulan kami dengan keluarganya. Ketika hari pertama mas Mahbub 
meninggal 
itu, saya berkesempatan nilpun keluarganya - yang diterima istri mas 
Mahbub, 
yang langsung saya tilpun dari Paris ke Bandung. Dan ketika buku 
terakhir 
ini terbit - secara khusus ibu Mahbub, istrinya ini mengirimkan buku 
yang
baru terbit ini kepada saya, dengan kata-kata "Terima kasih atas 
kesediaan 
menerima buku ini. Kami mohon dengan segala kerendahan hati doa 
bagi 
almarhum,- tertanda Ny. Mahbub Djunaidi dan Keluarga,- Bandung, 20 
maret 
1996,- 
----------------------------- 
Paris,- 3 april 04,- 
sobrona at ... 
SAH SERBA-SERBI ( H. Mahbub Djunaidi - bagian tiga ) 
by sobrona at ... » Sun Apr 04, 2004 5:11 am 
Sobron Aidit : 
KISAH SERBA-SERBI 
( H. Mahbub Djunaidi - 
bagian tiga ) 
Mahbub Djunaidi sebagaimana pribadi dan karakter seorang jurnalis, 
selalu 
suka bergaul - sangat komunikative - mudah didekati dan jauh daripada
angker. Katanya dalam suatu tulisan...."saya gemar berkelompok. 
Misalnya 
saya senang campur di tengah para politisi, yang katanya sejenis 
binatang 
juga...Walaupun saya tidak merasa pensiunan sama sekali ( karena 
wartawan 
itu pekerjaan yang tidak ada ujungnya...." ( Pensiunan KOMPAS 7 - 12 - 
1986 
) 
Salah seorang temannya adalah Benigno ( Ninoy ) Simeon Aquino, Jr 
jurnalis 
The Manila Times yang kemudian menjadi politikus, dan yang Marcos 
merasa 
tersaingi. Lalu Ninoy terbunuih di bandara internasional Manila pada 
tanggal 21 April 1983, dan begitulah sejarah. Justru istri Ninoy alm, 
yang 
menggantikan Marcos atau naik kekuasaan menjadi presiden Filipina, 
Corry 
Aquino. 
Mengenai pekerjaan sehari-hari Mahbub, dia pernah secara lincah 
menggambarkannya, katanya... 
"Pekerjaan Dirjen orang tahu. Begitu juga makelar atau komisioner. 
Bahkan 
profesi dukun pun orang paham. Tapi profesi "kolomnis" masih asing 
dan belum 
banyak yang maklum. Jika saya mencantumkan perkataan "kolomnis"
sebagai 
jenis pekerjaan, banyak orang bertanya-tanya binatang apa sih 
kolumnis itu? 
Kolumnis itu bagian pekerjaan malam atau siang? Bahkan ada yang 
bertanya, 
apa beda antara kolumnis dan komunis?" ( Komunis, KOMPAS 17 - 7 - 
1988 ) 
Tentang pemerintah, banyak pekerjaan yang disinggungnya. Dalam satu 
tulisan 
ada dikatakannya.... 
"Jika pemerintah suka bikin susah, jika masalah gampang dibikin jadi 
ruwet, 
jika jalan lempeng berganti dengan jalan berbelat-belit, maka hal ini 
disebut involusi, perbuatan bikin susah orang, dan merasa lega jika 
orang 
lain tersandung-sandung dan jadi sengsara", katanya lagi. 
Contohnya? 
"Kenapa dan apa perlunya KTP diganti dua tahun sekali. Kenapa 
seragam anak 
sekolah musti ganti baru tiap tahun ajaran! Kenapa penduduk disiksa 
dengan 
isian rupa-rupa formulir? Kenapa ongkos bikin KTP juga berbeda-beda. 
Untuk 
WNI Asli Rp 1500, untuk WNI Keturunan Cina dan Arab Rp 10.000. 
Untuk WNI
Keturunan Eropa dan WNA Rp 25.000?" ( Involusi, Kompas 7 - b - 1988 
) 
Tulisan Mahbub selalu berisi hal baru - yang terkadang kita jarang 
terpikirkan, tetapi disajikan begitu rupa oleh Mahbub, lalu menjadi 
hangat - 
makanan sedap - bacaan yang sangat menarik - dan berita yang 
seharusnya 
setiap orang menjadi lalu peduli. Saya ingin menuliskan surat Mahbub 
yang 
ditujukan kepada saya dan saya mengerti juga kepada teman-teman 
saya yang 
sejenis saya. Semoga pembaca tahulah maksud saya dengan arti sejenis 
itu - 
bukan pengertian biologis, tapi politis,- 
Surat ini saya terima dengan perasaan terharu. Sebab samasekali diluar 
sangkaan saya bahwa Mahbub akan menulis begitu rupa kepada saya 
dan kepada 
orang yang berjenis saya. 
Bandung 15 
Agustus 1993,- 
Bung Sobron Yang Baik,-
Surat berikut "ARENA" yang antara lain berisi cerpen bung " RAZIA 
AGUSTUS" 
sudah sampai dan langsung saya baca. 
Gaya bung begitu sederhana, tidak "kenes". tidak genit dan ruwet 
seperti 
layaknya cerpen di Indonesia sekarang. Tulisan bung bagaikan 
reportase 
jurnalistik yang lancar dan enak. 
Macam begitulah yang saya sukai, tidak sayup-sayup, tidak 
memantulkan 
hal-hal abstrak. 
Bersama ini saya kirim pula buku-buku saya tahun 1982 dan 1986. 
Tentang 
novel "anak-anak" saya nanti menyusul, saya carikan. 
Banyak terimakasih atas usaha bung mendapatkan Guy de Maupassant. 
Saya juga 
senang sama Maupassant. Ayip tiap ke Indonesia selalu mampir di 
rumah. Dia 
banyak cerita tentang bung. Alamatnya sbb : Ajip Rosidi........ 
Selamat berkorespondensi, salam sama kawan-kawan di sini,- 
Wassalam - tertandatangan Mahbub Djunaidi,- 
Sedikit penjelasan, buku kumpulan cerpen Razia Agustus yang disebut 
Mahbub 
itu sudah terkumpul dan dijadikan satu buku kumpulan dengan judul
yang sama 
RAZIA AGUSTUS diterbitkan oleh Gramedia dan diedarkan awal tahun 
ini 2004. 
Yang menjadi perhatian saya dan perhatian kami yalah, dalam begitu 
sibuknya 
pekerjaan mas Mahbub, dan sedang menghadapi begitu banyak 
persoalan dan 
perkara negara dan politik, dia tetap masih bisa ambil peduli terhadap 
saya 
dan terhadap kami yang diluarnegeri ini. Betapa saya dan kami begitu 
terharu. Seorang tokoh Islam - tokoh jurnalis - seorang teman yang 
sangat 
komunikative dan bersih dari kebencian adanya warna perbedaan 
dalam bentuk 
apapun. Saya sangat kangen akan sejenis orang seperti Mahbub ini. 
Saya ingin 
sekali agar Indonesia ada beberapa orang seperti Mahbub ini - 
Semogalah,- 
-- 
Paris,- 4 april 04,- 
sobrona at ... 
ULER IJOH CONTO BINATANGISME 
by godamlima at ... » Wed Aug 03, 2005 4:15 pm
ULER IJOH CONTO BINATANG ISME 
CONTO BINATANGISME ULER IJOH? 
Justru merekalah pendukung utama jalan-jalan 'liar'. 
Sebab atas nama kebebasan, mereka tak lagi pernah 
berani mengatakan haq dan batil. 
Untuk itu, tak ada kata yang tepat bagi mereka selain 
ucapan, "Ahlan Wa Sahlan 'Binatangisme'." 
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 
Hehehe,daku menungrunkan tunglisan 
Di bawah inih,dengan judul 
CONTO BINATANGISME ADALAH ULER IJOH. 
Heheheh,memang manungsa ituh unik. 
Mengliat buasnyah dan liarnyah orang laen,gampang. 
Tatapi dirinyah begituh beracun,dan 
Meninggalkan moral yang amburadul,enggaklah sadar. 
Sakperti uler ijoh, 
Pigihmana daku enggak jadi muak. 
Bukankah prilakunyah sanget buas,biadab dan ganas? 
INIH KUDU KUKAJIH MELALUIN UNGKAPAN 
YANG PALING JELAS DARI UM JEQIH.' 
Nah,pigihmana ituh bisak disebutkan manungsa2 
Ugamak yang bakalan melahirkan satu peradaban manungsa 
Yang bebas dari kemaksiatan serta kebinatangannyah? 
Lalu perhatiken tingkah laku terrorist moslim yang
LAGAKNYAH PERSIS BINATANG ITUH. 
Jadi termasup si Mahbud Junaedih. 
YANG MANA YANG COCOK DIGELARIN 
MENDEKETIN KEBINATANGANISME ITUH? 
Cubalah kalian membukah mata dengan kejujuran 
Yang bening nan jernih. 
Bukan bening bening nan Fei Hung yang jorok di ati ituh! 
Sementara daku baru hajah menungrunkan 
Tunglisan satu binatang Moslim yang bernama Tuan, 
Baru hajah disiremin aer keras oleh bininyah Moslimah, 
YANG ENGGAK MAOK SUAMINYAH 
JADI BINATANG MACEM BABI YANG SUKA KAWIN!! 
Wake up man! Who is the worst beast ituh? 
Tragedi di masa depan, adalah semakin banyaknya kaum 
nihilis. Mereka bukan hanya kalangan ilmuwan bahkan 
kaum agamawan yang liar. Itulah saat yang layak 
disebut 'binatangisme' 
Hidayatullah.com, Rabu, 3 Agustus 2005 
Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi 
Anda mungkin pernah melihat tayangan acara Fenomena di 
Trans TV pada Jumat tengah malam pukul 24.00 WIB 9 
Juli 2005. Dalam program itu diekspos seputar bisnis 
esek-esek di Makassar; seperti seks becak lambat, tari 
erotik, dan karaoke plus.
Beberapa waktu sebelumnya, dalam acara Good Morning, 
Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, Trans TV telah 
melakukan kampanye legalisasi perkawinan sejenis. 
Seorang lesbian digambarkan sebagai pejuang atau 
bahkan pahlawan. Trans TV melakukan kampanye 
legalisasi perkawinan sesama jenis. 
Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbian bernama 
Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama 
pasangannya yang juga seorang wanita. Praktik hubungan 
seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah 
sesuatu yang baik. 
Program serupa itu juga ada di TV lain. Lativi 
misalnya, pernah mengangkat liputan esek-esek seperti; 
Jakarta Underground, Cucak Rawa, dan Bunglon. Belum 
lagi tarian-tarian yang sangat vulgar seperti fenomena 
Inul Daratista dan Annisa Bahar yang sudah tergolong 
penari-penari pornoaksi yang amoral. 
Program-program murahan ini umumnya digemari semua 
kalangan produsen TV. Ada acara jual goyangan seperti 
Digoda, Joged, Duet Maut, dan Kawasan Dangdut. 
Perilaku yang kita anggap amoral dan tidak normal 
(dissorder) justru oleh media TV disajikan sebagaimana 
biasa, seolah-olah sesuatu yang sah saja.
Hampir banyak kita temukan figur-figur yang bergaya 
waria. Entah dia waria sungguhan atau hanya pura-pura. 
Rasanya, seolah kurang lengkap jika TV tak mengontrak 
seorang presenter waria alias banci. Liputan kehidupan 
kaum gay atau lesbian. Yang juga diangkat melalui film 
layar lebar berjudul Arisan. 
Alih-alih berbisnis, pemutaran film seperti ini seolah 
ingin mengkampanyekan bahwa perilaku laknat seperti 
itu adalah hal yang lumrah, sah-sah saja, dan tak 
perlu dipersoalkan. 
Sering pula kita jumpai tayangan bejat lainnya seperti 
kehidupan komunitas para penjaja seks, baik wanita 
maupun laki-laki (gigolo), pelacuran anak-anak di 
bawah umur, fenomena 'ayam kampus', kehidupan 
tante-tante girang dan oom-oom senang, pesta seks 
(orgy), fenomena tukar pasangan (swinger), serta 
berbagai gejala penyimpangan seksual lainnya. 
Menuju Liberalisme 
Ada tiga fenomena mendasar yang kita saksikan dalam 
perkembangan menghawatirkan sehubungann liarnya media 
massa di Indonesia belakangan ini. Pertama, secara 
sosial, telah terjadi proses rekayasa sosial (social 
engineering) yang disengaja untuk mentransformasikan
masyarakat kita menuju masyarakat sekuler-liberal. 
Kedua, secara ekonomi membuktikan kaum kapitalis 
(pemodal) telah menguasai media demi uang semata tanpa 
peduli moral masyarakat. Ketiga, secara politik 
menunjukkan pemerintah kita tidak punya tanggung jawab 
dalam urusan moral umat. 
Fenomena media liberal (saya lebih senang menyebutnya 
liar) membuktikan bahwa masyarakat kita sekarang 
sedang digiring oleh kekuatan kapitalisme global untuk 
bertransformasi menuju masyarakat sekuler dan liberal, 
sebagaimana masyarakat Barat. 
Tayangan-tayangan TV yang liar seperti secara halus 
akan menyusup pada rana publik dan secara sengaja pula 
menjajakan nilai kebebasan (freedom, liberty). Melalui 
ruang publik (public sphere) itulah kemudian 
melahirkan opini umum (public opinion), dan 
selanjutnya berproses menjadi shared values, yaitu 
acuan nilai kultural yang disepakati bersama. 
Jika dulu kalangan ahli psikologi memasukkan gay dan 
lesbianisme sebagai salah satu diantara bentuk 
kelainan seks (sexual-dissorder), tetapi kini orang 
biasa memandangnya, karena media massa –lah yang 
mengkampanyekanya.
Kebebasan tanpa batas adalah mind-set kaum 
sekuler-liberal. Bahwa kebebasan adalah nilai ideal 
yang harus diujudkan dalam suatu masyarakat. 
Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden tanggal 20 
Januari 2005 lalu, George W. Bush mengatakan ,"When 
you stand for your liberty, we will stand for you." 
(Jika Anda berjuang untuk kebebasan Anda, maka kami 
akan bersama Anda). 
Bush juga menegaskan, "The best hope for peace is the 
expansion of freedom." (Harapan terbaik untuk 
perdamaian, adalah melakukan ekspansi kebebasan) 
(Newsweek, 31 Januari 2005). Perhatikan pilihan kata 
Bush, yang menggunakan "ekspansi kebebasan" (expansion 
of 
freedom). Jelas, mengindikasikan bahwa kebebasan 
adalah nilai asing yang dicekokkan secara paksa ke 
dalam tubuh masyarakat kita yang mayoritas muslim. 
Tentu ekspansi kebebasan ini jangan diartikan harfiyah 
bahwa yang mengusung nilai-nilai kebebasan haruslah 
orang kulit putih seperti orang Amerika atau Eropa. 
Bisa jadi, dan ini memang sudah terjadi, yang 
mengusungnya justru orang kita sendiri yang berkulit 
sawo matang dan bahkan, beragama Islam. Namun pikiran 
mereka tentu telah terkotori oleh paham liberal gaya 
kapitalis.
Anti Moralitas 
Secara ekonomi, eksistensi media liberal membuktikan 
kaum kapitalis adalah pihak yang sungguh tak 
bertanggung jawab. Karena mereka hanya memikirkan 
bagaimana mengeruk keuntungan pribadi dengan cara 
nista. 
Ketika banyak pihak mengecam goyang Inul justru media 
mengangkatnya tinggi-tinggi hanya untuk mengejar 
rating dan iklan. Uang, adalah Tuhan bagi industri 
hiburan. 
Kata Adam Smith, dalam The Wealth of Nations (1776), 
jika tukang daging menjual dagingnya kepada Anda, itu 
bukan karena dia berbelas kasihan atau bersimpati 
kepada Anda, melainkan karena dia mengejar 
keuntungannya sendiri. Bicaralah uang karena hidup 
adalah uang. Itulah cita-cita kapitalisme dan kaum 
liberalis. 
Ciri berkembangnya fenomena sekulerime-liberalisme 
adalah hadirnya kaum nihilis. Alih-alih sebagai 
pejuang keadilan, mereka selalu menempatkan kata 
'netral' sebagai penyelamat moral. Kaum seperti ini 
tak pernah bisa membedakan mana yang benar menurut 
hati nurani dan 
mana yang salah.
Karena itu, jangan heran bila kemudian muncul 
jawaban-jawaban seperti; "Kalau tak suka acaranya, 
matikan saja TV yang Anda tonton." 
Logika nihilisi seperti ini tak hanya milik produser 
TV. Hampir semua orang, para seniman, artis, 
selebritis dan tak terkecuali para ilmuwan ikut 
terserat ke dalamnya. Tatkala muncul pro kontra pose 
bikini Artika Sari Devi --wakil Indonesia dalam Miss 
Universe— dengan entengnya seniman Sujowo Tejo santai 
mengomentari,"...Yang bikin porno itu pikiran kita." 
Jadi, bagi orang seperti Sujiwo Tejo, atau para pemuja 
liberalisme, yang salah itu otak kita. Artika tidak 
salah, media juga tak salah, pemerintah juga tak 
berdosa. Inilah logika kaum nihilis. 
Logika kaum nihilis membolehkan orang bertelanjang 
berlenggang-kangkung di jalan-jalan, di pasar, di 
panggung hiburan. Boleh saja di film dan layar TV 
menjajakan 'ketelanjangan' asalkan otak bisa sopan.. 
Ketika umat Islam –yang juga mayoritas pemilik negeri 
ini—dan menjerit-jerit untuk menghentikan 'media liar' 
melalui RUU Pornografi dan Pornoaksi, para LSM dan 
suara kaum nihilis justru melawannya beramai-ramai.
Mereka yang menamakan diri "Jaringan Program Legislasi 
Nasional" (Prolegnas) Pro Perempuan, yang 
beranggotakan 35 organisasi perempuan --termasuk 
Komnas Perempuan, Kowani, Puan Amal Hayati, Muslimat 
NU, Cetro, Aliansi Pelangi Antarbangsa, Kalyanamitra, 
Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusumo, LBH 
Jakarta, dan LBH APIK Jakarta-- menilai RUU tersebut 
justru berpotensi melahirkan kekerasan aru, 
menempatkan korban menjadi pelaku, terutama pada 
korban perempuan dan anak, melanggar kebebasan 
berekspresi, dan membakukan standar kesusilaan 
berdasarkan pemahaman satu kelompok saja (Kompas, 
2/7/2005). 
Seorang anggota jaringan tersebut hanya mempersoalkan 
salah satu isi pasal pornoaksi berpotensi 
mengkriminalkan semua perempuan hanya karena ada 
istilah "dilarang memperlihatkan payudara di muka 
umum." "Tidak dijelaskan payudara siapa." Katanya 
sinis. "Bagaimana dengan ibu-ibu yang menyusui bayinya 
di muka umum? Bagaimana dengan kebiasaan masyarakat 
mandi dan buang air di kali?" Demikian pertanyaan 
rewel aktivis itu. 
Seorang pengelola pesantren, Abdul Moqsith Ghazali 
bahkan terkesan menghalang-halangi RUU yang dibutuhkan 
umat Islam tersebut. Pria yang juga aktifis Islam 
liberal itu mengugat pasal "dilarang
mempertontonkan alat kelamin di muka umum" dengan 
mengatakan , "Lalu bagaimana dengan orang yang mandi 
di sungai?" (Kompas, 2/7/2005). 
Selera kaum liberalis (sebut saja kaum nihilis) pada 
akhirnya membolehkan apa saja secara bebas dan liar 
tanpa adanya otoritas pelarangan baik atas nama pihak 
berkuasa atau kaum yang sering mereka ledek sebagai 
kaum moralis. Semua boleh hidup bebas meski itu liar. 
Saya teringat George Orwell, pengarang novel "Animal 
Farm" yang oleh mendiang Mahbub Djunaidi 
diindonesiakan menjadi novel "Binatangisme". Dalam 
kehidupan 'Binatangisme' orang boleh hidup semau-gue. 
Undang-undang kaum 'Binatangisme" adalah 'siapa yang 
kuat itulah yang menang'. 
Bahkan dalam kehidupan 'Binatangisme', seorang anak 
boleh saja menggauli ibundanya sendiri tanpa harus 
takut agama atau ditangkap polisi. Ituklah makna 
kebebasan!. 
Tragedi di masa depan, adalah semakin banyaknya 
kelahiran kaum nihilis berselera 'binatangisme'. 
Mereka bukan hanya kalangan ilmuwan bahkan kaum 
agamawan. Mereka bahkan fasih terhadap ayat suci 
tetapi lupa 'hati-nurani'.
Justru merekalah pendukung utama jalan-jalan 'liar'. 
Sebab atas nama kebebasan, mereka tak lagi pernah 
berani mengatakan haq dan batil. 
Untuk itu, tak ada kata yang tepat bagi mereka selain 
ucapan, "Ahlan Wa Sahlan 'Binatangisme'." 
godamlima at ... 
CHALLENGING THE QURAN" 
by guaran at ... » Mon Aug 15, 2005 11:12 am 
Kalau kita jalan-jalan ketoko buku,paling mudah untuk 
mendapatkan buku KRITIKAN DAN PENGHUJATAAN terhadap 
agama Kristen,buku tersebut secara legal dijual dan 
siapapun yang mau tinggal ambil terus bayar,salah satu-nya 
buku karya Ahmed Deedad,Mahsyud SM dll. 
Tapi anda tidak mungkin mendapatkan apa bila mencari 
buku KRITIKAN terhadap umat Islam,memang inilah agama 
Islam satu-satunya agama yang tidak mau/tidak boleh 
dikritik karena Quran adalah satu-satunya yang paling 
benar(menurut mereka),tapi anehnya mereka boleh bebas 
mengritik agama Kristen sesukanya. 
Dan ini terbukti,contohnya di tahun 2003 setelah beredar majalah 
Newsweek edisi 28-juli-03 mereka kebakaran jenggot,dalam majalah 
terbitan New York ini pada hal.49 menulis artikel yang 
berjudul"CHALLENGING THE QURAN" penulisnya seorang il-
muwan Jerman yang bernama samaran Prof.Christhop Luxen-berg. 
Penulisnya mengatakan bahwa Muhammad bukan Rasul 
yang terakhir,dan menemukan bukti bahwa Quran bukan di-tulis 
dalam bahasa Arab melainkan Aramaik. 
Reaksi dari MUI buru-buru menghentikan peredaran maja-lah 
tersebut,dan Din Syamsudin segera bereaksi keras 
dengan mengirim surat permohonan kekejaksaan untuk meng 
hentikan peredaran majalah Newsweek. 
guaran at ... 
Top 
Hahaha… Lucu Kali Kurasa… 
REP | 31 May 2011 | 12:03 
257 4 1 dari 2 Kompasianer menilai menarik
Karena orang suka humor lah Charlie Chaplin bisa tenar seantero dunia (sumber:ekof ebrian.blogspot.com) 
Oleh JEMIE SIMATUPANG 
TIAP ORANG—yang bukan orang boleh angkat tangan—suka humor. Suka lelucon. Dan tentunya suka tertaw a. Kalau tidak, 
mengapa sampai ada profesi yang bernama pelaw ak, komedian, atau badut, yang karena kerjanya bisa hidup layak—bahkan 
sebagian kaya raya dan menjadi orang terkenal di seantero jagat. Di Indonesia kita kenal Jojon dengan tampang bloon dan kumis 
Hitlernya, ada kelompok Warkop DKI, atau sekarang siapa yang tak tahu Parto, Aziz, Nunung, dkk dalam Opera van Java? Ya 
sudah pasti mereka ada untuk memuaskan selera humor manusia. 
Ada yang bilang orang yang suka humor pada dasarnya adalah seorang humanis. Bahkan yang lebih ekstrim bilang, “Orang yang 
tak bisa menertaw akan dirinya sendiri pada dasarnya telah kehilangan kemanusiaannya!” 
Sejurus dengan itu tentu orang juga suka membaca tulisan yang ada humornya—maksud saya bukan tulisan full humor (yang juga 
pasti disukai banyak orang). Kadang orang bosan membaca tulisan yang terlalu serius, terlalu penuh data-data, atau istilah-istilah 
yang bikin puyeng, kehadiran humor bisa semacam pemecah kebekuan. Semacam ice breaker. Yang bisa membaw a orang tertawa 
membacanya—atau paling tidak tersenyum. Humor bisa saja hadir dalam tulisan-tulisan serius populer, saya belum 
membayangkan ada karya tulis ilmiah yang penuh humor, w alau tak tertutup kemungkinan: semisal desertasi yang membahas grup 
law ak Warkop DKI. Seorang penulis yang suka humor biasanya bisa menghadirkan kejenakaan di sela-sela hal yang dibahasnya— 
bahkan hal yang sedang aktual: politik, sosial, budaya … 
Di negeri ini kita punya banyak penulis yang suka memasukkan humor dalam tulisan-tulisannya. Ada Umar Kayam yang pada masa 
hidupnya rutin menulis kolom “Mangan Ora Mangan Kumpul” di harian Kedaulatan Rakyat—sebuah prosa yang penuh humor w alau 
kadang membehas hal-hal yang sedang pelik di negeri ini pada masa itu—bahkan persoalan-persoalan di dunia internasional. 
Dalam “Mangan Ora Mangan…” Umar Kayam menghadirkan tokoh-tokoh utama: Pak Ageng, si pencerita (sahibul hikayat) yang 
juga majikan, Mr. Rigen dan Ms. Nansiyem, pembantu, Beny dan Tolo-tolo, anak-anak Mr. Rigen, dan seorang pedagang panggang 
ayam keliling: Pak Jayabaya. 
Humor selalu muncul dalam dialog maupun narasi yang disampaikan Sang Sahibul Hikayat. Misalnya saja dalam kolomnya 
tertanggal 7 Juli 1987, di baw ah judul: “Hidup Bagaikan…”, Umar Kayam diakhir tulisannya sesukanya menjabarkan: Mr. Rigen 
yang malang. Kalau kau ke New York mungkin kau masih bisa mupus, menghibur diri, dengan w ell, life is but a bow l of cherry. 
Hidup hanya bagaikan semangkuk buah cherry. Kadang-kadang nyeplus yang kecut, kadang-kadang dapat yang manis. Celakanya 
ini Yogya! Di sini lif e is but sak kreneng salak Sleman. Kadang dapat yang manis, kebanyakan sepet terusss… 
Akh, sesiapun yang membaca perumpamaan yang dibuat Umar Kayam mestilah tertaw a—paling tidak tersenyum, bisa jadi sepet, 
sesepet salak Sleman. 
Penulis dengan selera humor tinggi yang lain adalah Mahbub Djunaidi yang pernah mengisi kolom “Asal Usul” di Kompas Minggu— 
kolom itu sudah tidak ada lagi. Ia selalu memasukkan metafor-metafor lucu dalam tulisan-tulisannya. Satu kali misalnya dalam
tulisan “Gaya Bandung” ia menulis: “Tak seorang pun bisa membayangkan jika sebuah kampung tak punya RT sama sekali. Ini 
persis seperti ban tanpa pentil!”. 
Hahaha… bayangkan saja metaf oranya yang cerdas—dan segar—“ban tanpa pentil!” 
Di tulisan lain di baw ah judul “Evolusi” Mahbub membuka tulisannya dengan: “Seorang revolusioner tidak sempat membuka prop 
(tutup) botol. Ia pecahkan leher botol dan tenggak isinya masuk mulut. Seorang revolusioner adalah seorang tidak sabaran karena 
gejolak hatinya. Ia seorang yang ingin membangun seraya menjebol. Di Indonesia ini, praktis sudah habis orang revolusioner itu. 
Akibatnya, kalau orang mau minum, ia musti baik-baik buka prop botol dan pelan-pelan minum isinya. Ia tak boleh lagi 
memecahkan leher botol. Ia mesti jadi orang penuh sabar, penuh pertimbangan, mesti jadi orang balanced. 
Mahbub w aktu itu tentu sedang menyinggung orang-orang yang hidup di rezim Orde Baru dengan candaan (karena kalau 
disinggung dengan keras, mestilah ia harus berhadapan dengan tangan besi Soeharto, dan ia juga akhirnya tak selamat dengan 
itu). Lihatlah metaf oranya: “Seorang revolusioner tidak sempat membuka tutup botol. Ia pecahkan leher botol dan tenggak isiny a 
masuk mulut!” sebuah pembuka tulisan yang penuh kelucuan namun juga cerdas menohok. 
*** 
Saya sendiri w alau tak seberapa lihai, suka memasukkan humor dalam tulisan-tulisan. Sangking sukanya tulisan penuh humor saya 
membuat tokoh Cok Kompas dan Mat Tanduk, dua orang dari Medan yang juga kompasianer. Mereka kerap menyampaikan 
pikiran-pikiran mereka yang kadang—lebih tepatnya kerap—asal-asalan saja. Bolah jadi khas Medan. Satu kali misalnya di baw ah 
judul: “Pajak, Film, dan Hantu!” saya menjabarkan tentang kesamaan antara pajak dan f ilm: sama-sama hantu. Pajak rakyat hilang 
entah kemana layaknya hantu, sedang f ilm kita penuh dengan cerita-cerita hantu. Tulisan ini saya angkat ketika pembicaraan 
tentang f ilm hollyw ood yang ngancam hengkang dari Indonesia karena keberatan membayar pajak yang ditetapkan pemerintah. 
Beberapa tulisan serial CokKompas pernah headline di kompasiana—termasuk tulisan tentang f ilm dan hantu tadi. Ini semakin 
menguatkan bahw a orang masih suka dengan tulisan humor—termasuk (bisa jadi) admin. 
Tapi kalau ditanya: “Cemana caranya menulis dengan humor?” Saya sendiri tak tahu jaw aban pastinya, kalau Anda memang suka 
humor, saya yakin Anda bisa melakukannya! Apa saja bisa dijadikan humor, tiap peristiw a mestilah mempunyai sisi humor —yang 
kadang tak bisa dilihat oleh orang lain. Nah, itulah peluang bagi penulis yang suka humor, mengangkat sisi-sisi lucu dari satu 
peristiw a. 
Tapi kalau Cok Kompas yang jaw ab: “Akh, mati sajalah kita, kalau membuat orang tertaw a pun sudah tak bisa!” hahaha… [*] 
JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal(-asalan) Medan. 
AMERIKA ITU TIDAK ADA 
FERDI / October 11, 2011 / No comments 
Berbicara masalah ngobrol, saya ngobrol semalam dengan beberapa sahabat. Dua diantaranya Fian dan Arif. Mereka ini orang-orang yang cukup unik dan 
kreatif ketika melemparkan ide-ide atau gagasan. Meski unik dan kreatif, mereka kadang juga iseng mengeluarkan gagasan yang nyeleneh atau ngawur tapi 
berisi. Pernah suatu ketika mereka berdiskusi dengan topik apakah Amerika itu ada? Mereka menyimpulkan dengan gaya mereka sendiri. Mereka ti dak 
percaya kalau Amerika itu ada. Nah lho? Saya bertanya-tanya, juga teman-teman yang lain. Mengapa Amerika tidak ada? Mereka beralasan bahwa 
Amerika ada karena hanya cerita di televisi saja. Atau dari tulisan-tulisan di lembaran koran harian disertai foto-foto (yang katanya juga “ ..katanya saja 
jepretan wartawan..!”). ??? 
Tanpa dijelaskan pun saya paham dan tertawa kecil atas keisengan cara berpikir mereka. Tentu saja dua sahabat saya tersebut tidak sebodoh itu 
menganggap Amerika tidak ada. Seperti waktu Arief berkata bahwa Sumatera tidak ada, dia kemudian mengklarifikasi bahwa Sumatera itu ada setelah dia 
melakukan perjalanan suci guna melamar kekasihnya untuk dijadikan istri di sebuah kota di Jambi.
“ Sekarang aku percaya, kalo Sumatera itu ada. Aku sudah kesana, ujarnya.”, hahaha, lagi -lagi saya tertawa kecil. 
Meski iseng, sebenarnya cara berpikir seperti ini bisa menjadi bahan pemikiran untuk kita. Mereka sebenarnya mewacanakan secara sederhana bahwa 
segala sesuatu yang kita dapat dari media massa perlu pembuktian. Buktinya pun harus dirasakan dengan segenap panca indera. T idak hanya sekedar dari 
cerita. Apalagi cerita tersebut pun tidak pasti selalu benar. Bahkan seringkali dibesar-besarkan supaya laku beritanya. 
Lalu siapakah yang bercerita dan mengabarkan berita? Tentu saja yang terdekat dengan kita sehari -hari adalah media massa. Media massa telah menjadi 
kebutuhan kita sehari-hari. Begitu dekat, bahkan kadang lebih dekat daripada anak-anak kita atau orang tua kita. Media massa banyak bercerita dengan 
jutaan kata hal setiap hari. Ceritanya pun sangat berpengaruh. Hampir segenap sendi kehidupan dipengaruhi olehnya. 
Dalam Ilmu Komunikasi, ada teori klasik yang bernama teori jarum suntik (hypodermic needle theory). Teori ini mengatakan bahwa efek dari media massa 
kepada masyarakat adalah bersifat langsung. Begitu terkena berita atau tayangannya, masyarakat langsung terkena pengaruhnya. Persis seperti jarum 
suntik yang ditusukkan dokter kepada pasien: langsung menembus kulit, lalu segera menyebarkan cairan obatnya ke seluruh bagian tubuh. Meski teori ini 
dikritisi, karena menganggap masyarakat sebagai pihak pasif dan tidak punya daya tolak, tetapi fakta di masyarakat kita banyak menunjukkan kebenaran 
teori itu (Hidayatullah edisi Januari 2005, hal 19). Mereka banyak terpengaruh cerita yang menjadi berita. 
Seringkali pula tanpa sadar alam pikiran masyarakat mengunyah berita sehari -hari dengan nikmatnya. Seperti dinamika politik yang terjadi beberapa bulan 
terakhir ini menjadi cerita yang sangat menarik dan produk media massa yang ampuh untuk selalu up to date. Padahal konon kabarnya berita dalam sebuah 
media massa bisa menjadi kendaraan sebuah partai politik untuk membangun opini publik. Namun saya tidak menuduh setiap jurnalis tidak objektif dan 
membohongi publik. Hanya sejak menjadi pendengar dan bersahabat dengan seorang senior di Aliansi Jurnalis Independen, pikiran saya menjadi sedikit 
lebih terbuka dengan cerita dan fakta-fakta. 
Lebih parah lagi ketika sebuah media massa yang suka bercerita menganut aliranscandalous newspaper yang membeberkan “ kaleng rombeng”, tak peduli 
skandal itu menyangkut ihwal yang terlalu pribadi. Keamanan pribadi, privacy yang tadinya dihormati kini diinjak-injak batang lehernya. (Mahbub 
Djunaidi, Asal Usul, Penerbit Kompas,1996). Newspaper diatas bermakna luas sekarang, karena gaya tersebut diadopsi televisi. Lihat saja, 
mengapa infotainment yang (KATANYA) sudah diharamkan oleh MUI, masih laris manis dan tinggi rating siarannya. Padahal benarkah isi beritanya? 
Atau perlukah kebenaran skandal yang sangat pribadi dan menjadi ghibah terlarang, di suarakan keseluruh penjuru negeri? Perlukah anak-anak kita atau 
kita sendiri dicekoki cerita sinetron yang penuh intrik, kebencian dan pengkhianatan sebagai tayangan sebuah media yang selalu suka bercerita? 
Lebih dekat lagi adalah pengalaman kita sehari-hari. Media sesungguhnya adalah diri kita dan orang-orang yang sehari-hari beraktifitas bersama kita. Bisa 
jadi cerita seperti scandalous newspaper banyak menghinggapi hubungan kita dan pembicaraan kita bersama orang lain. Maka bukan hanya keamanan 
pribadi dan privacy yang diinjak-injak batang lehernya, tetapi yang lebih mengerikan adalah pembunuhan karakter. Maka percaya atau tidak percaya adalah 
tergantung pada kecerdasan anda menyikapinya. 
Jangan-jangan anda juga tidak percaya cerita saya ini.
Sekitar Peranan Mulut 
Lidah lebih tajam dari pedang. Karena itu jangan omong sembarangan, bikin luka dan sengsara. Mendingan diam, 
karena diam itu emas. Sebab, hanya tong kosong yang nyaring bunyinya. Lagi pula diam itu bukan berarti dungu. Tengoklah 
perawan yang lagi dipinang, diam saja tertunduk-tunduk, memilin-milin ujung rambut, itu artinya dia betul-betul mau. 
Ada masa, tidak semua mulut dianggap jelek. Lihat -lihat mulutnya dulu, tidak bisa pukul rata. Mulut siapa yang jelek? 
”Perempuan? Bah. Kalau sebelah kakiku sudah di lubang kubur, barangkali baru bisa kupercaya omongan mereka itu, yang tak 
punya bakat seni ataupun politik”, kata Nietzsche. Untungnya, di negeri kita ini ada bait nyanyian: ”Terang bulan terang di k ali, 
buaya timbul disangka mati. Jangan percaya mulut lelaki, berani sumpah takut mati”. Dengan begitu menjadi tidak jelas lagi, 
siapa sebetulnya yang lebih lancung. 
Tapi, ada masa semua orang tak kecuali, lelaki atau perempuan, boleh bicara sepuas hati sampai mulut berbusa. Yang 
satu lebih keras dari yang lain, seperti lelang ikan. Namanya masa liberal. Hanya orang-orang bisa dan tuli yang mampu terbebas 
dari keriuhan ini. Kalau sekadar mulut berbusa saja, masa bodohlah. Tapi kalau sebentar -sebentar kabinet terpelanting dari 
kursinya, tak ubahnya seperti piring-mangkuk, nanti dulu. Orang toh tidak bisa jadi menteri cuma sebentar. 
Maka ada Kabinet Kerja di bawah PM Djuanda itu, teriring semboyan: ”Sedikit bicara, banyak kerja”. Semua orang yang 
bermodal mulut semata-mata menyempit lapangannya. Bursa mulut turun, dan keringat naik derajat. Kegaduhan sedikit demi 
sedikit berkurang, orang makin lama bicara makin pelan, sehingga mau tidak mau coraknya berganti jadi kasak -kusuk. Padahal, 
ditilik dari sudut kebajikan, omong besar dan kasak-kusuk sama-sama bukan tabiat yang layak dipuji, seperti halnya orang 
kegemukan atau kekurusasan. 
Melihat gelagat ini, semboyan ditinjau kembali. Bukannya ”Sedikit bicara banyak kerja”, melainkan ”Banyak bicara 
banyak kerja”. Akur, kata K.H. I dham Chalid waktu itu. Mengapa? Sebab, bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja 
tanpa bicara itu namanya maling. Perumpamaan ini membuat para pendengar tertawa terpingkal-pingkal, baik yang merasa 
dirinya memang beo, atau yang merasa dirinya memang maling. 
Di zaman pembangunan seperti sekarang ini, sudah barang tentu yang pertama-tama harus dilakukan orang adalah kerja. 
Kalau semata-mata kerja saja, tanpa bicara sepatah pun, apa ini artinya seperti maling? Oh tidak, tidak maling. Walau sekarang 
bicara bukan pekerjaan terhormat, bukan berarti orang tidak diperkenankan bicara. Cuma namanya yang ganti, bukan bicara 
melainkan berdialog, berkomunikasi, berseminar, bersimposium, berlokakarya, berdiskusi, dan sarasehan. Kesemua ini memang 
via mulut juga, tapi lain sedikitlah. Bahkan Parlemen, yang menurut riwatnya justru tempat bicara, tidaklah gemar lagi membuk a 
mulut selebar-lebarnya, seperti mbah guru mereka Montesquieu yang meraung-raung di mimbar bagaikan keledai, melainkan 
memilih kecermatan di atas segala-galanya. 
Kalau toh perlu bicara, harap dengan data, seperti nona Spanyol dengan kipas dan sinyo Prancis dengan bunga. Orang 
zaman sekarang suka angka-angka, makin banyak makin bagus. Pimpinan yang baik adalah pimpinan yang hafal angka-angka di 
luar kepala, angka apa saja dan kapan saja. Misalnya, orang harus bicara seperti ini: Di tahun 2000, pendapatan per kapita per 
tahun orang Indonesia yang sekarang Rp 37.350,00 bisa naik jadi Rp 172.750,00. Di tahun 2010 naik jadi 15.000 juta. Cucu dari 
orang yang hidup tahun itu bisa menyaksikan orang di dunia 60.000 juta. Dan d tahun 2625, tiap manusia cuma kebagian tempat 
berdiri sekaki persegi, tak ubanya seperti kita naik bus kota sekarang. Itu kata Robert S. McNamara. Itu kalau migrasi tidak 
digalakkan, atau KB macet, atau angka kematian tidak dipertinggi, misalnya lewat perang agar mereka saling tikam sesamanya, 
atau beri fasilitas orang yang bermaksud bunuh diri, bagaikan fasilitas Dinas Pariwisata buat kaum turis. 
(Majalah Tempo, 5 April 1975) 
R A B U , 1 2 M A R E T 2 0 0 8 
Mengenang Mahbub Djunaidi 
Oleh M. Said Budairy 
L ebih 12 tahun sudah, tanggal 1 O ktober l995 yang lalu, H. Mahbub Djunaidi meninggalkan kita semua kembali ke haribaan 
T uhannya. Banyak kenangan yang dia tinggalkan. Seperti keperibadiannya yang ringan ceria, kocak berolok-olok, menganggap 
semua orang adalah sesamanya. Juga pandangan-pandangan dan s ikap-sikapnya di banyak bidang kehidupan.
.. 
Mahbub tadinya berkeinginan menjadi sastrawan. Ia tertarik pada sastra Rus ia. T api perjalanan hidupnya mengantarkan dirinya 
menjadi wartawan dengan gaya tulisannya yang khas. Mengantarkannya menjadi politisi dan tokoh organisasi profesi dan ormas 
keagamaan. 
Sebagai wartawan ia pernah memimpin sebuah suratkabar. P ernah menjabat sebagai Ketua Umum P ersatuan Wartawan Indonesia 
(PWI ). Dia juga kolomnis di banyak penerbitan pers. Salah satunya dan yang paling is tiqomah di harian Kompas. 
Jakob O etama, P emimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kompas yang kenal secara pribadi, mengamati Mahbub mencapai formatnya 
yang optimal sebagai wartawan, jus tru ketika ia bebas dari beban-beban menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat dan sebagai 
aktivis partai atau keorganisasian lainnya. Mahbub menulis untuk rubrik Asal -Usul harian Kompas selama 9 tahun tanpa jedah, 
sambil mas ih juga diminta penerbitan pers lainnya menulis topik -topik tertentu. Sebagian tulisan-tulisannya, lebih dari 100 judul 
telah diterbitkan menjadi buku 'Mahbub Djunaidi Asal Usul'. Memberikan pengantar pada buku tersebut Jakob Oetama menulis, 
pengalaman dan pertumbuhan Mahbub Djunaidi itu mengajarkan kepada masyarakat pers . Wartawa n dan kewartawanan tumbuh 
bukan karena seseorang menjadi pimpinan sebuah penerbitan pers, melainkan karena ia menulis berita dan membuat ulasan atas 
kejadian serta permasalahan, karena kreativitas dan karya tulis serta produk jurnalistik lainnya. Ia berhar ap buku tersebut ikut 
memperkaya kepustakaan jurnalisme Indonesia serta sekaligus membangun tradisi bahwa warisan yang berharga adalah karya. 
Maret l994, satu setengah tahun sebelum ia meninggal dunia, tabloid Detik mengirim wartawannya Saifullah Y usuf (se karang Ketua 
Umum P P P emuda Ansor dan anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI) bersama seorang seorang wartawan lainnya untuk mewawancarai 
Mahbub. Dia ditanya tentang masalah suksesi kepemimpinan nasional, "Mengapa tidak etis membicarakan suksesi?. Suksesi bukan 
masalah etis tidak etis. T api masalah bagaimana kehidupan kita bersama di waktu mendatang. Saya setuju membicarakan 
pembatasan masa jabatan P residen, karena orang yang terlalu lama menjabat, cendrung menyalahgunakan kekuasaannya karena 
terlanjur mapan," ujarnya. Waktu itu, 5 tahun sebelum memasuki era reformasi, amat tabu bicara perkara suksesi kepemimpinan 
nas ional. Mahbub tidak perduli, kendati sudah pernah masuk rumah tahanan.. 
Mahbub Djunaidi salah seorang yang dikenal baik oleh P residen Soekarno. Dialah yang mula-mula menulis, bahwa P ancasila lebih 
sublim dari Dec laration of Independence-nya T homas Jefferson dan Manifesto Komunis-nya Karl Marx dan Friedrich Engels. Bung 
Karno memidatokan di banyak kesempatan, bahwa P ancasila adalah sublimasi dari deklaras i dan manifesto tersebut. 
T entang kedekatannya dengan Bung Karno, dia bilang Bung Karno memang dekat dengan banyak orang. Beliau orangnya terbuka, 
tidak birokratis. Maka dulu, kapan saja kita bisa berdiskusi dengan beliau berjam-jam. Ia mengagumi Bung Karno karena presiden 
yang satu ini memiliki vis i yang jelas. Jangkauan pemikirannya jauh ke depan. Dan mampu mengkomunikasikan gagasan - 
gagasannya secara luar biasa. Dan gagasan Bung Karno yang terpenting menurut Mahbub, komitmen yang kuat terhadap kesatuan 
dan persatuan bangsa. "Kalau tidak ada Bung Karno saya tidak yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang. 
Selain itu Bung Karno memiliki keperdulian yang besar terhadap kehidupan rakyat kecil. Beliau itu dekat dengan rakyat," ujar 
Mahbub. Dia tidak melihat Soekarno otoriter. Hanya gaya kepemimpinannya berapi -api. 
Kepada anak-anak Soekarno, Mahbub menyatakan sesekali ia bersurat -suratan dengan Guntur, tapi tidak intens. Menurutnya, di
antara anak-anak Bung Karno, yang paling kuat potensi kepemimpinannya adalah Guntur. Sayangnya dia tidak mau terjun ke 
politik. Dengan Rachmawati dia sering berkomunikasi melalui surat atau bertemu langsung jika sedang ke Jakarta (Mahbub terakhir 
berdomis ili dan meninggal dunia di Bandung). Menurut Mahbub, dari segi pemikiran Rachmawati paling dekat dengan pemikiran 
bapaknya. Sampai sekarang dengan Y PS (Y ayasan P endidikan Soekarno)-nya, dia mas ih terus konsisten dengan ideologinya itu. 
Barangkali secara politis kelihatannya dia kaku. I tu karena keteguhannya terhadap prinsip-prinsip yang diyakininya. T api secara 
pemikiran ideologis dia paling matang. 
Mahbub sempat ditanya oleh pewawancara, apakah ia melihat Megawati bisa sebesar Bung Karno. Menurut Mahbub, kalau melihat 
kemampuannya Mega tidak bisa disamakan dengan Bung Karno. Juga, Mega itu lemah lembut sedangkan Bung Karno berapi -api. 
Mahbub memasuki lingkungan Nahdlatul Ulama pertama-tama karena ayahnya seorang tokoh NU DKI Jakarta. Dia bergabung 
melalui organisasi pelajarnya, Ikatan P elajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Berlanjut menjadi Ketua Umum (pertama) P ergerakan 
Mahas iswa I s lam Indonesia (PMII) Kemudian menjadi salah seorang Ketua Pucuk Pimpinan Gerakan P emuda Ansor. Ke tiga 
organisasi tersebut merupakan organisasi-organisasi kader yang melahirkan pemimpin-pemimpin organisasi NU, di pusat maupun 
daerah-daerah. Dari P P P emuda Ansor Mahbub masuk ke dalam jajaran pimpinan NU menjadi Wakil Sekjen, kemudian menjadi 
salah seorang Ketua P BNU dan terakhir sebagai salah seorang Mustasyar/Penasehat P BNU. Dia tetap diingat oleh generasi-generasi 
sesudahnya, karena karya-karyanya yang konkrit dalam berbagai posisi dan jabatan keorganisasian tersebut. 
Mahbub tergolong tokoh NU yang menginginkan NU kembali menjadi partai politik. Ia termasuk tokoh penggembos PPP, karena 
melihat orang NU dalam P PP dipojok-pojokkan terus oleh H.J. Naro, ketua umum P P P dari MI waktu itu. Ia menyatakan s iap terjun 
kembali ke dunia politik praktis jika NU kembali jadi partai. Ini diucapkannya menjawab pertanyaan wartawan yang 
mewawancarainya, pada bulan Maret l994. 
Ketika menjelang Muktamar P PP terdengar bahwa A bdurrahman Wahid banyak dapat dukungan untuk menjadi Ketua umum P PP 
dan reaks i Gus Dur-pun tidak serta merta menolak, Mahbub bilang, Gus Dur jangan jadi Ketua Umum P PP. Sebab kalau itu 
dilakukan , dia tidak kons isten. Kan dulu dia juga yang menentang Y usuf Hasyim jadi ketua umum P PP. 
A lasannya kenapa dia berkeinginan agar NU kembali menjadi partai politik, karena NU jumlah umatnya sangat besar. I tu 
merupakan potens i politik yang penting. Juga, s ejak kelahirannya NU selalu bersentuhan dengan politik. Karena itu mengapa NU 
tidak berpolitik secara langsung saja ?. Mahbub, dalam kaitan kembali ke khittah NU l926, menginginkan kembali ke Khittah NU 
l926 plus. Dan plusnya ya politik itu. 
Di sekitar waktu P emilu l977, Mahbub banyak menerima undangan untuk berbicara di Jakarta dan daerah-daerah. Dia juga keluar 
masuk kampus , memenuhi undangan para mahas iswa. Iapun banyak bicara tentang suksesi kepemimpinan nasional menjelang SU - 
MP R l978. Dan akibatnya Mahbub ditangkap, ia dis impan di rumah tahanan Nirbaya. Dari Nirbaya dilanjutkan menjadi pasien 
tahanan di Rumah Sakit A ngkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Hampir setahun mendekam tanpa diproses lewat pengadilan, 
sehingga tidak jelas pula kesalahannya apa. Dia mulai terus sakit-sakitan sekeluarnya dari tahanan pemerintahan Soeharto 
tersebut. 
Mahbub Djunaidi telah tiada ketika A bdurrahman Wahid (ketika itu menjabat Ketua Umum P BNU) bersama beberapa orang tokoh
NU mendeklarasikan lahirnya P artai Kebangkitan Bangsa. Gus Dur tidak menjadi ketua umumnya, tapi Matori Abdul Jalil. Dalam 
muktamar pertama P KB, Gus Dur juga tidak mnyediakan diri menjadi ketua umum, melainkan memilih menjadi ketua Dewan Syuro 
P KB, yang bewenang menunjuk s iapa yang menjadi ketua umum P KB . 
Sementara tokoh NU lainnya, K.H. Y usuf Hasyim, mendeklarasikan Partai Kebangkitan Umat (P KU) dan K.H. Syukron Makmun 
mendirikan P artai Nahdlatul Umat (PNU). Ketiga partai tersebut, P KB, P KU dan PNU berbasis warga NU. O rmas Nahdlatul Ulama 
sendiri, jika berpegang teguh pada khittahnya, seharusnya tidak punya hubungan organisatoris, terselubung atau terang -terangan 
dengan ketiga partai politik tersebut. Sebaliknya, NU harus merelakan warganya memasuki partai -partai yang manapun. 
Kalau saja Mahbub memperoleh kesempatan dan bersedia menduduki suatu jabatan resmi pemerintahan, agaknya dia akan terjauh 
dari berbagai libatan skandal atau gate-gate itu. P andangan Mahbub tentang kebendaan, tercermin dalam surat kepada 
keluarganya yang dikirim dari Rumah Sakit Gatot Subroto. Mahbub menulis, "Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu 
semua, walaupun tidur berdesakan di lantai (kamar rumah sakit -pen).Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan 
pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan. Benda sama sekali tidak menjamin kebahagiaan hati. C intaku 
kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun juga. P apa orang yang banyak makan 
garam hidup. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat ha tiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan." (M. Said 
Budairy, wartawan/Direktur Lakpesdam P BNU 1989 - 1995). 
D I P O S K AN O L E H M . S A ID B U D AI RY D I 2 2 : 1 2 
2 KOMENT A R : 
hna mengatakan... 
AMAZING! aku kagum sma bapak yang di us ia ini mas ih bisa bikin satu tulisan yang 'hidup', bahkan bikin blog. Satu lagi.. 
bapak, kakeknya shaqina kan? x) 
2 4 M A R E T 2 0 0 8 1 0 : 2 4 
A nonim mengatakan... 
pak said kalo bisa tolong artikel, tulisan mahbub djunaidi yang belum dicetak, cetak saja. gak pa pa ada kesamaan 
dengan yang telah dibukukan moga moga bisa terima kasih 
1 4 M E I 2 0 1 0 1 6 : 3 6 
P oskan Komentar
P os ting LamaBeranda 
Langganan: P oskan Komentar (A tom) 
S E L A M A T D A T A N G D I M A N U L A 
Usia Lanjut dan Bermanfaat 
Jadi Idaman Setiap Manusia 
Bapakku dan A ku -- 1938 
Selesai SMA di Malang 
Menginjak Usia 70-an
C H A Y A T U N N U F U S I S T R I K U 
51 th. Mendampingiku 
M E N G E N A I S A Y A 
M . S A I D B U D AI R Y 
Lahir ketika Indonesia mas ih dijajah Belanda. Kakek dan bapakku orang pergerakan. Kakek anggota Majelis Konstituante, 
bapak anggota DP RD. Gara-gara lingkungan rasanya jalan hidupku terbentuk. Nyatanya, mas ih amat muda sudah aktif 
berorganisasi. Masuk kepanduan mulai jadi kurcaci sampai jadi Komisaris Latihan. Lalu masuk organisasi pelajar IPNU, 
bersama yang lain mendirikan PMII, masuk Gerakan Pemuda Ansor, aktif di NU membangun Lakpesdam dan jadi 
direkturnya selama 8 tahun. Jadi Bendahara P BNU. Jadi pengurus PWI P usat. Jadi anggota DPR -GR/MPRS dari Fraksi NU, 
jadi anggota MP R-RI (Badan P ekerja) fraks i P PP, ikut mendirikan koran Pelita,jadi pemimpin perusahaan koran P edoman, 
jadi ombudsman majalah P antau. Mulainya dulu ikut memimpin koran Duta Masyarakat. T erakhir jadi Staf Khusus Wakil 
P res iden RI . Sekarang aktif sebagai Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI dan KIP3 Menjelang us ia 72 tahu n 
sekarang ini, punya 8 cucu dari 4 anak 2 laki 2 perempuan. Melalui blog ini ingin mensyukuri us ia lanjut dengan cara 
berbagi pengalaman.Makanya akan senang sekali kalau orang-orang muda mau bertegur sapa. 
L I H A T P R O F I L L E N G K APK U 
A R S I P B L O G 
S A K I N A H S A I D , C U C U , P U T E R I H I S Y A M
Menyajikan Musik Menghibur Keluarga

More Related Content

What's hot

Periodisasi perkembangan demokrasi pancasila
Periodisasi perkembangan demokrasi pancasilaPeriodisasi perkembangan demokrasi pancasila
Periodisasi perkembangan demokrasi pancasilaafifahdhaniyah
 
Legenda Ciung Wanara dan Unsur Intrinsiknya (Bahasa Indonesia & Sunda)
Legenda Ciung Wanara dan Unsur Intrinsiknya (Bahasa Indonesia & Sunda)Legenda Ciung Wanara dan Unsur Intrinsiknya (Bahasa Indonesia & Sunda)
Legenda Ciung Wanara dan Unsur Intrinsiknya (Bahasa Indonesia & Sunda)Lianita Dian
 
BUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJA
BUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJABUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJA
BUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJAMuhammad Rafi Kambara
 
Pancasila pada era orde baru
Pancasila pada era orde baruPancasila pada era orde baru
Pancasila pada era orde baruRiskiana Riskiana
 
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaKemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaLestari Moerdijat
 
Tugas pkn bab 7 Penegakan Hukum Berkeadilan
Tugas pkn bab 7 Penegakan Hukum BerkeadilanTugas pkn bab 7 Penegakan Hukum Berkeadilan
Tugas pkn bab 7 Penegakan Hukum Berkeadilandiarwildan96
 
1000 puisi kehidupan
1000 puisi kehidupan1000 puisi kehidupan
1000 puisi kehidupanmprieska_h
 
Hubungan Antara Sosiologi dan Ilmu Sosial Lain (Powerpoint)
Hubungan Antara Sosiologi dan Ilmu Sosial Lain (Powerpoint)Hubungan Antara Sosiologi dan Ilmu Sosial Lain (Powerpoint)
Hubungan Antara Sosiologi dan Ilmu Sosial Lain (Powerpoint)Ervina Sugianti
 
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Negara Kesatuan Republik IndonesiaNegara Kesatuan Republik Indonesia
Negara Kesatuan Republik IndonesiaNita Kurniasih
 
Tugas sosiologi (kenakalan remaja) untuk mata pelajaran Sosiologi SMA
Tugas sosiologi (kenakalan remaja) untuk mata pelajaran Sosiologi SMATugas sosiologi (kenakalan remaja) untuk mata pelajaran Sosiologi SMA
Tugas sosiologi (kenakalan remaja) untuk mata pelajaran Sosiologi SMAAgnes Yodo
 
LAPORAN PRAKTIKUM LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT
LAPORAN PRAKTIKUM LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLITLAPORAN PRAKTIKUM LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT
LAPORAN PRAKTIKUM LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLITNesha Mutiara
 
Pahlawan Nasional Indonesia
Pahlawan Nasional IndonesiaPahlawan Nasional Indonesia
Pahlawan Nasional IndonesiaHerry Fernando
 
Kumpulan 30 puisi tentang wanita
Kumpulan 30 puisi tentang wanitaKumpulan 30 puisi tentang wanita
Kumpulan 30 puisi tentang wanitaDikha Wijanarko
 
Buku Siswa Kelas 11 Seni Budaya Semester 1 Kurikulum K13
Buku Siswa Kelas 11 Seni Budaya Semester 1  Kurikulum K13Buku Siswa Kelas 11 Seni Budaya Semester 1  Kurikulum K13
Buku Siswa Kelas 11 Seni Budaya Semester 1 Kurikulum K13MuhammadAmarRahman
 
Makalah teater tradisional Sulawesi, Kalimantan dan Papua
Makalah teater tradisional Sulawesi, Kalimantan dan PapuaMakalah teater tradisional Sulawesi, Kalimantan dan Papua
Makalah teater tradisional Sulawesi, Kalimantan dan PapuaVina Widya Putri
 
Power point konstitusi
Power point  konstitusiPower point  konstitusi
Power point konstitusibyunbella
 
Makalah DEMOKRASI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT.docx
Makalah DEMOKRASI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT.docxMakalah DEMOKRASI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT.docx
Makalah DEMOKRASI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT.docxAlyaraisa Alpasha
 

What's hot (20)

Periodisasi perkembangan demokrasi pancasila
Periodisasi perkembangan demokrasi pancasilaPeriodisasi perkembangan demokrasi pancasila
Periodisasi perkembangan demokrasi pancasila
 
Legenda Ciung Wanara dan Unsur Intrinsiknya (Bahasa Indonesia & Sunda)
Legenda Ciung Wanara dan Unsur Intrinsiknya (Bahasa Indonesia & Sunda)Legenda Ciung Wanara dan Unsur Intrinsiknya (Bahasa Indonesia & Sunda)
Legenda Ciung Wanara dan Unsur Intrinsiknya (Bahasa Indonesia & Sunda)
 
Contoh Proposal Bulan Bahasa
Contoh Proposal Bulan BahasaContoh Proposal Bulan Bahasa
Contoh Proposal Bulan Bahasa
 
BUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJA
BUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJABUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJA
BUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJA
 
Pancasila pada era orde baru
Pancasila pada era orde baruPancasila pada era orde baru
Pancasila pada era orde baru
 
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaKemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
 
Tugas pkn bab 7 Penegakan Hukum Berkeadilan
Tugas pkn bab 7 Penegakan Hukum BerkeadilanTugas pkn bab 7 Penegakan Hukum Berkeadilan
Tugas pkn bab 7 Penegakan Hukum Berkeadilan
 
1000 puisi kehidupan
1000 puisi kehidupan1000 puisi kehidupan
1000 puisi kehidupan
 
Hubungan Antara Sosiologi dan Ilmu Sosial Lain (Powerpoint)
Hubungan Antara Sosiologi dan Ilmu Sosial Lain (Powerpoint)Hubungan Antara Sosiologi dan Ilmu Sosial Lain (Powerpoint)
Hubungan Antara Sosiologi dan Ilmu Sosial Lain (Powerpoint)
 
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Negara Kesatuan Republik IndonesiaNegara Kesatuan Republik Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia
 
Contoh teks biografi
Contoh teks biografiContoh teks biografi
Contoh teks biografi
 
Tugas sosiologi (kenakalan remaja) untuk mata pelajaran Sosiologi SMA
Tugas sosiologi (kenakalan remaja) untuk mata pelajaran Sosiologi SMATugas sosiologi (kenakalan remaja) untuk mata pelajaran Sosiologi SMA
Tugas sosiologi (kenakalan remaja) untuk mata pelajaran Sosiologi SMA
 
LAPORAN PRAKTIKUM LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT
LAPORAN PRAKTIKUM LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLITLAPORAN PRAKTIKUM LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT
LAPORAN PRAKTIKUM LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT
 
Pahlawan Nasional Indonesia
Pahlawan Nasional IndonesiaPahlawan Nasional Indonesia
Pahlawan Nasional Indonesia
 
Kumpulan 30 puisi tentang wanita
Kumpulan 30 puisi tentang wanitaKumpulan 30 puisi tentang wanita
Kumpulan 30 puisi tentang wanita
 
Buku Siswa Kelas 11 Seni Budaya Semester 1 Kurikulum K13
Buku Siswa Kelas 11 Seni Budaya Semester 1  Kurikulum K13Buku Siswa Kelas 11 Seni Budaya Semester 1  Kurikulum K13
Buku Siswa Kelas 11 Seni Budaya Semester 1 Kurikulum K13
 
Cerpen karya keke
Cerpen  karya keke Cerpen  karya keke
Cerpen karya keke
 
Makalah teater tradisional Sulawesi, Kalimantan dan Papua
Makalah teater tradisional Sulawesi, Kalimantan dan PapuaMakalah teater tradisional Sulawesi, Kalimantan dan Papua
Makalah teater tradisional Sulawesi, Kalimantan dan Papua
 
Power point konstitusi
Power point  konstitusiPower point  konstitusi
Power point konstitusi
 
Makalah DEMOKRASI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT.docx
Makalah DEMOKRASI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT.docxMakalah DEMOKRASI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT.docx
Makalah DEMOKRASI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT.docx
 

Viewers also liked

KONSTRUKSI NASIONALISME RELIGIUS: Relasi Cinta dan Harga Diri dalam Karya Sas...
KONSTRUKSI NASIONALISME RELIGIUS: Relasi Cinta dan Harga Diri dalam Karya Sas...KONSTRUKSI NASIONALISME RELIGIUS: Relasi Cinta dan Harga Diri dalam Karya Sas...
KONSTRUKSI NASIONALISME RELIGIUS: Relasi Cinta dan Harga Diri dalam Karya Sas...Episteme IAIN Tulungagung
 
Welcome To Inside Our Closet Presentation
Welcome To Inside Our Closet PresentationWelcome To Inside Our Closet Presentation
Welcome To Inside Our Closet Presentationdonnellascloset
 
Mu Zuan (1983) S Vgly In Vacuole
Mu Zuan (1983) S Vgly In VacuoleMu Zuan (1983) S Vgly In Vacuole
Mu Zuan (1983) S Vgly In Vacuoleguestb7beaaf
 
Coachenopoutput
CoachenopoutputCoachenopoutput
Coachenopoutputsnarf66
 
Dinamika Pesantren dan Kepemimpinan Nasional
Dinamika Pesantren dan Kepemimpinan NasionalDinamika Pesantren dan Kepemimpinan Nasional
Dinamika Pesantren dan Kepemimpinan NasionalLakpesdam NU Banten
 
Social Marketing Hub
Social Marketing HubSocial Marketing Hub
Social Marketing HubRobin Hopper
 
Psicologia Humanista
Psicologia HumanistaPsicologia Humanista
Psicologia Humanistagueste52bb1
 
Ch 16 1 Water In Atmosphere
Ch 16 1 Water In AtmosphereCh 16 1 Water In Atmosphere
Ch 16 1 Water In Atmosphereguest0020ab
 
How to tell an engaging and concise business story
How to tell an engaging and concise business storyHow to tell an engaging and concise business story
How to tell an engaging and concise business storyStuart Collins
 
基姆湖中神秘的男人島和女人島 (Chiemsee Mysterious Islands)
基姆湖中神秘的男人島和女人島 (Chiemsee Mysterious Islands)基姆湖中神秘的男人島和女人島 (Chiemsee Mysterious Islands)
基姆湖中神秘的男人島和女人島 (Chiemsee Mysterious Islands)guest00aaf61
 
Mike Tangedal Sas Solutions
Mike Tangedal Sas SolutionsMike Tangedal Sas Solutions
Mike Tangedal Sas SolutionsMinneapolisMike
 
16 3 Storms Andie
16 3 Storms Andie16 3 Storms Andie
16 3 Storms Andieguest0020ab
 
Linkedin Presentation
Linkedin PresentationLinkedin Presentation
Linkedin Presentationsimonsimfield
 
Grade 11 Art Dying Languages
Grade 11 Art Dying Languages Grade 11 Art Dying Languages
Grade 11 Art Dying Languages lauciz
 

Viewers also liked (20)

Pmii dalam perang asimetris
Pmii dalam perang asimetrisPmii dalam perang asimetris
Pmii dalam perang asimetris
 
Sherlock Holmes
Sherlock HolmesSherlock Holmes
Sherlock Holmes
 
KONSTRUKSI NASIONALISME RELIGIUS: Relasi Cinta dan Harga Diri dalam Karya Sas...
KONSTRUKSI NASIONALISME RELIGIUS: Relasi Cinta dan Harga Diri dalam Karya Sas...KONSTRUKSI NASIONALISME RELIGIUS: Relasi Cinta dan Harga Diri dalam Karya Sas...
KONSTRUKSI NASIONALISME RELIGIUS: Relasi Cinta dan Harga Diri dalam Karya Sas...
 
Welcome To Inside Our Closet Presentation
Welcome To Inside Our Closet PresentationWelcome To Inside Our Closet Presentation
Welcome To Inside Our Closet Presentation
 
Personal Finances Pathfinder
Personal Finances PathfinderPersonal Finances Pathfinder
Personal Finances Pathfinder
 
Mu Zuan (1983) S Vgly In Vacuole
Mu Zuan (1983) S Vgly In VacuoleMu Zuan (1983) S Vgly In Vacuole
Mu Zuan (1983) S Vgly In Vacuole
 
Coachenopoutput
CoachenopoutputCoachenopoutput
Coachenopoutput
 
Carlos Arturo7 C
Carlos Arturo7 CCarlos Arturo7 C
Carlos Arturo7 C
 
Dinamika Pesantren dan Kepemimpinan Nasional
Dinamika Pesantren dan Kepemimpinan NasionalDinamika Pesantren dan Kepemimpinan Nasional
Dinamika Pesantren dan Kepemimpinan Nasional
 
Social Marketing Hub
Social Marketing HubSocial Marketing Hub
Social Marketing Hub
 
Psicologia Humanista
Psicologia HumanistaPsicologia Humanista
Psicologia Humanista
 
Exec ed june '10 ss
Exec ed june '10 ssExec ed june '10 ss
Exec ed june '10 ss
 
Ch 16 1 Water In Atmosphere
Ch 16 1 Water In AtmosphereCh 16 1 Water In Atmosphere
Ch 16 1 Water In Atmosphere
 
Daniel
DanielDaniel
Daniel
 
How to tell an engaging and concise business story
How to tell an engaging and concise business storyHow to tell an engaging and concise business story
How to tell an engaging and concise business story
 
基姆湖中神秘的男人島和女人島 (Chiemsee Mysterious Islands)
基姆湖中神秘的男人島和女人島 (Chiemsee Mysterious Islands)基姆湖中神秘的男人島和女人島 (Chiemsee Mysterious Islands)
基姆湖中神秘的男人島和女人島 (Chiemsee Mysterious Islands)
 
Mike Tangedal Sas Solutions
Mike Tangedal Sas SolutionsMike Tangedal Sas Solutions
Mike Tangedal Sas Solutions
 
16 3 Storms Andie
16 3 Storms Andie16 3 Storms Andie
16 3 Storms Andie
 
Linkedin Presentation
Linkedin PresentationLinkedin Presentation
Linkedin Presentation
 
Grade 11 Art Dying Languages
Grade 11 Art Dying Languages Grade 11 Art Dying Languages
Grade 11 Art Dying Languages
 

Similar to Kata-kata Haji Mahbub

Similar to Kata-kata Haji Mahbub (20)

KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAANKONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
 
BAHASA INDONESIA MENGIDENTIFIKASI STRUKTUR TEKS NOVEL SEJARAH DAN NILAI – NIL...
BAHASA INDONESIA MENGIDENTIFIKASI STRUKTUR TEKS NOVEL SEJARAH DAN NILAI – NIL...BAHASA INDONESIA MENGIDENTIFIKASI STRUKTUR TEKS NOVEL SEJARAH DAN NILAI – NIL...
BAHASA INDONESIA MENGIDENTIFIKASI STRUKTUR TEKS NOVEL SEJARAH DAN NILAI – NIL...
 
Makalah bahasa indonesia
Makalah bahasa indonesiaMakalah bahasa indonesia
Makalah bahasa indonesia
 
GENRE KESUSATERAAN MELAYU
GENRE KESUSATERAAN MELAYUGENRE KESUSATERAAN MELAYU
GENRE KESUSATERAAN MELAYU
 
KESUSATERAAN MELAYU
KESUSATERAAN MELAYUKESUSATERAAN MELAYU
KESUSATERAAN MELAYU
 
Cerpen kelompok 2
Cerpen kelompok 2 Cerpen kelompok 2
Cerpen kelompok 2
 
Cerpen kelompok 2
Cerpen kelompok 2 Cerpen kelompok 2
Cerpen kelompok 2
 
Sastera
SasteraSastera
Sastera
 
Makalah cerpen
Makalah cerpenMakalah cerpen
Makalah cerpen
 
Kabaretisasi cerpen
Kabaretisasi cerpenKabaretisasi cerpen
Kabaretisasi cerpen
 
This is the html version of the file http
This is the html version of the file httpThis is the html version of the file http
This is the html version of the file http
 
Bahas indonesia
Bahas indonesiaBahas indonesia
Bahas indonesia
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Makalah cerpen SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA
Makalah cerpen SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA Makalah cerpen SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA
Makalah cerpen SMA 1 RAHA KABUPATEN MUNA
 
Makalah cerpen
Makalah cerpenMakalah cerpen
Makalah cerpen
 
Gumuk sandhi
Gumuk sandhiGumuk sandhi
Gumuk sandhi
 
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAANKONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
 
Makalah cerpen
Makalah cerpenMakalah cerpen
Makalah cerpen
 
Makalah cerpen
Makalah cerpenMakalah cerpen
Makalah cerpen
 
2. Fungsi Sastera Melayu.pptx
2. Fungsi Sastera Melayu.pptx2. Fungsi Sastera Melayu.pptx
2. Fungsi Sastera Melayu.pptx
 

More from Lakpesdam NU Banten

More from Lakpesdam NU Banten (11)

media monitoring
media monitoringmedia monitoring
media monitoring
 
Partisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dki
Partisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dkiPartisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dki
Partisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dki
 
Pendidikan jurnalisme aswaja
Pendidikan jurnalisme aswajaPendidikan jurnalisme aswaja
Pendidikan jurnalisme aswaja
 
Jurnal pergerakan
Jurnal pergerakanJurnal pergerakan
Jurnal pergerakan
 
Gusdur dan papua
Gusdur dan papuaGusdur dan papua
Gusdur dan papua
 
Jurnal pergerakan
Jurnal pergerakanJurnal pergerakan
Jurnal pergerakan
 
Nano
NanoNano
Nano
 
Dilema pengelolaan energy di indonesia
Dilema pengelolaan energy di indonesiaDilema pengelolaan energy di indonesia
Dilema pengelolaan energy di indonesia
 
Delapan Tipe Kecerdasan
Delapan Tipe KecerdasanDelapan Tipe Kecerdasan
Delapan Tipe Kecerdasan
 
Islam dalam tinjauan madilog
Islam dalam tinjauan madilogIslam dalam tinjauan madilog
Islam dalam tinjauan madilog
 
Declaration of Asean +9 Youth Assembly 2013
Declaration of Asean +9 Youth Assembly 2013 Declaration of Asean +9 Youth Assembly 2013
Declaration of Asean +9 Youth Assembly 2013
 

Kata-kata Haji Mahbub

  • 1. Kata-kata Haji Mahbub Print Download Send Share7 Senin, 03/10/2011 11:26 Tags: Kata kata Haji Mahbub Space Iklan 300 x 80 Pixel 1 Oktober 1995, H Mahbub Djunaidi menghembuskan nafas terakhir. Enam belas tahun Mahbub meninggalkan kita, batang hidungnya tak akan pernah muncul kembali. Tapi kata-katanya masih hidup. Siapa yang hendak belajar bahasa? Mahbub salah satu rujukannya. BAGI saya H. Mahbub Djunaidi adalah jawaranya esais. Misal ada kategori lima orang esais terbaik dalam sejarah Indonesia, saya ngotot menominasikannya sebagai salah
  • 2. satu. Kalau definisi mutakhir teks mengatakan sia-sia membuat pembedaan antara gaya dengan isi tulisan, Mahbub adalah contoh sempurna. Gagasan dan kejutan yang diajukan dalam esai-esainya sulit dibayangkan bisa di tulis dalam gaya penulisan lain. Pendek kata, bagi saya Mahbub adalah penyihir kata-kata. Sebutan penyihir boleh jadi terlalu mistik, tapi biarlah. Lalu bagaimana menjelaskan sesuatu yang mistik? Meski tentu banyak sisi positifnya, gara-gara birokrasi logika modern, sebentar-sebentar orang menuduh hal-hal tak terjelaskan secara rasional sebagai mistik. Toh, sihir punya mantra seperti pesawat terbang punya karcis. Kalau demikian adanya, macam apa mantranya Mahbub itu? Apakah hal-hal yang jadi kekuatan dalam esai-esainya? Cara pandang terhadap realitas Orang tentu mafhum Mahbub adalah kolumnis politik. Hampir di tiap kolom dia menulis perkara tersebut beserta aspek-aspeknya. Sekurang-kurangnya membahas dampak kebijakan pemerintah pada orang banyak. Penulis yang model begini amat banyak jumlahnya. Namun yang membedakan dengan penulis lain adalah cara Mahbub memandang persoalan politik, terutama berkaitan posisi rakyat berhadapan dengan negara. Ia hampir selalu memulai tulisan dengan memosisikan rakyat dan negara di atas kertas, menggunakan kerangka teoretik ideal. Teorinya, negara merupakan organisasi yang dibangun demi kemaslahatan rakyatnya. Namun dalam struktur tata negara yang bagaimanapun macamnya, termasuk demokrasi, mustahil pendapat rakyat yang banyak itu diaplikasikan
  • 3. secara keseluruhan orang per orang. Maksimal, negara hanya bisa meratakan kesejahteraan dan menjamin kebebasan berpendapat. Karenanya, rakyat dalam beberapa hal harus mengerti jika negara yang tugasnya masya Allah banyak itu, kadang belum sanggup memuaskan mereka. Namun posisi teoretik Mahbub ini boleh dibilang unik. Ia tak pernah mengungkapkannya dengan bahasa yang teknis. Untuk kepentingan ini digunakanlah cerita, anggapan umum, peristiwa populer, humor, atau macam-macam perabot lainnya, yang dalam hal ini perlengkapan Mahbub amat lengkap. Sama sekali tak berpretensi ilmiah. Silakan cek esai Dinamisasi via Binatang yang ditulisnya menyambut ide Menteri Agama Mukti Ali untuk memodernisasi pesantren lewat pemberian binatang ternak. Pada awalnya Mahbub seperti mengikuti jalan pikiran Mukti Ali, bahkan terkesan menjelaskannya. Namun belakangan, ia justru bertanya, kenapa cuma pesantren yang dituding sekadar konsumen? Bukankah perilaku institusi pendidikan lainnya juga kurang-lebih demikian adanya? Sekarang silakan teliti juga esai berjudul Demokrasi: Martabat dan Ongkosnya. Dalam esai ini akan terjelaskan bagaimana Mahbub bisa memiliki cara pandang demikian. Sumbernya tak lain keluguan. Dia menceritakan perihal rancangan kenaikan anggaran buat anggota DPR sambil menceritakan betapa logisnya alasan mereka mengusulkan hal tersebut, persis orang awam yang hanya paham perkara teknis tanpa menangkap motif lainnya. Mendadak di paragraf akhir, setelah kita diajak tamasya sambil tertawa-tawa, lewat pergeseran perspektif yang sublime, ia meledek dengan lembut, bahwa tuah hak Budget legislatif tiada gigi.
  • 4. Dalam esai, aku-esai yang mewakili pengarang bercerita lewat medium bahasa, terwujud dalam cara pandang, cara mengajukan gagasan, cara ajukan pertanyaan, cara menyimpulkan, dan hal-hal lain yang bersifat unik. Sebagaimana dimaklumi dalam filsafat bahasa mutakhir, tak ada realitas di luar bahasa. Secara umum boleh dikatakan bahwa kemampuan seseorang untuk berpikir logis dan jernih, akan terefleksi dalam tulisannya, dalam bahasanya. Hal yang demikian bias kita lihat pada Mahbub. Mahbub pernah bilang, dirinya lebih senang digantungi merk sebagai sastrawan. Kenyataannya memang demikian. Tapi perkara ini di luar fakta bahwa ia pernah menulis beberapa novel. Perspektif keluguan membuatnya bisa mengeker kenyataan dengan perspektif unik, sebagaimana umumnya dipraktikkan para sastrawan. Bertebaranlah di esai-esainya, pameran hasil pengamatan yang sering bikin kita terlonjak keheranan. Ada dikatakan orang yang selalu membicarakan cuaca tak ubahnya orang Inggris. Dia menyebut perihal berisiknya orang Cina, karena empat orang yang berkumpul sanggup berbicara bersama-sama. Di lain waktu, ia menceritakan anak-anak di bulan puasa yang mulai siang tidur menelungkup menekan perut keras-keras ke ubin langgar hingga hampir maghrib. Satu dua ada juga yang diam-diam menggigit mangga muda di belakang kakus. Dengan pengamatan sekuat ini, tak heran Mahbub seperti tukang dongeng yang bisa menggubah peristiwa apa saja menjadi cerita yang mengesankan. Saya menduga kemampuan mendongeng ini diwariskan Mahbub dari khazanah tradisi Betawi yang melahirkan beberapa tukang cerite yang legendaris, seperti Zahid bin Muhammad.
  • 5. Dalam khazanah sastra Indonesia, tradisi menulis dengan gaya kocak dan lugu ini bisa dilacak dalam karya-karya Idrus, sebagaimana terlihat dalam kumpulan cerita terbaiknya, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Saat ini kemampuan Mahbub mendongeng barangkali hanya bisa disejajarkan dengan sastrawan Putu Wijaya. Dengan kemampuan mendongeng ini, Pak Haji Mahbub mampu menyajikan persoalan dengan ringan. Pembaca paham duduk persoalan tanpa melewati penjelasan konseptual yang bikin kepala serasa berlipat. Pemberontakan literer Menurut para ahli, kaum sastrawan, terutama penyair, punya kedudukan istimewa terhadap bahasa, yang dipresentasikan dalam licentia poetica. Singkatnya, dengan istilah yang konon pertama kali diajukan oleh Aristoteles ini, dimaksudkan bahwa demi mencapai tingkat estetika tertentu sastrawan boleh mengutak-atik bahasa sedemikian rupa layaknya montir mesin. Dalam hemat saya ini merupakan mantra Mahbub selanjutnya. Mahbub sepertinya tak pernah ambil pusing apakah istilah dan kata-kata yang digunakannya masuk hitungan kebakuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Makanya kita bisa capek sendiri menghitung pelanggaran EYD yang dilakukan dalam esai-esainya. Biasanya ia memakai istilah dan struktur bahasa Betawi yang di Indonesia sering dipakai dalam bahasa percakapan. Beberapa kali ia juga memakai istilah dari bahasa Jawa. Alih-alih ditegur karena kebandelannya, Goenawan Mohamad yang dikenal apik berbahasa malah memujinya sebagai penerobos bahasa. Ya, boleh jadi dalam hal ini Mahbub memang keblinger, tapi justru dari sinilah esai-
  • 6. esainya mencerminkan karakter yang khas. Dia menemukan sendiri capaian estetikanya. Kebandelan Mahbub dalam berbahasa bukanlah sembarang pelanggaran. Jika ukurannya adalah pencapaian estetik, ia sanggup memenuhi tagihan sertifikat licentia poetica dengan impas, barangkali berikut bunganya. Barangkali sifat sastrawi dalam karya-karya Mahbub bukanlah yang melankolis, sensitif, mendayu-dayu sifatnya. Tapi, toh, John Steinbeck yang menulis cerita-cerita yang menyanyikan humor dan kesintingan pun akhirnya harus datang ke Stockholm, Swedia, buat menerima Nobel Sastra sambil ditepuktangani banyak orang. Humor Barangkali tak ada segi paling digandrungi dari esai Mahbub ketimbang humornya. Konon ada orang yang sampai kebelet kencing lantaran membaca tulisan-tulisannya. Saya sih tak ekstrem begitu. Paling-paling hanya menyebabkan durasi membaca jadi lebih lama lantaran sering diselingi cekikikan dan cekakakan. Celakanya, humor-humor Mahbub sering terbawa ingatan saat saya melakukan aktivitas lain. Boleh jadi orang yang kurang paham duduk persoalannya menganggap saya sinting atau semacamnya. Mahbub sering menyajikan humor satir. Hal ini bisa kita simak antara lain pada Sepatu, di mana ia mengejek banyaknya koleksi sepatu Imelda Marcos. Kadang ia bercerita yang baik-baik saja perihal lembaga negara atau individu dengan demikian sempurnanya, sampai-sampai pembaca akhirnya sadar bahwa Mahbub nyata-nyata tengah mengejek dengan menyebut nilai-nilai yang justru tak dimiliki pihak bersangkutan. Hal yang demikian, misalnya muncul pada
  • 7. Kota. Teknik humor Mahbub yang paling umum adalah metafora dan celetukan yang bukan alang-kepalang mengejutkannya. Silakan disimak sendiri sebagian kecil contoh berikut: - Futurolog itu…semacam dukun juga, tapi keluaran sekolahan - Anak-anak saya…patuh sepatuh-patuhnya bagaikan anak anjing ras - Sedangkan masuk kamar mandi saja ada risiko terpelanting, apalagi jadi bendaharawan - Tidak sedikit orang beli koran dan langsung membaca iklan-iklan kematian, mencari tahu umur berapakah orang yang meninggal itu, sekadar membanding-bandingkan dengan umurnya sendiri - Maka dari itu, nyonya sehat bagaikan ikan bandeng - Yoga, melipat badan berlama-lama seperti kelelawar - Pemerintah mana saja tidak suka penduduknya cerewet seperti sekandang burung parkit - Abdurrahman Wahid…bertubuh gempal, ibarat jambu kelutuk yang ranum…punya kebolehan humor yang mengejutkan, seakan-akan dia jambret begitu saja dari laci Penemuan metafora-metafora yang begitu orisinal dan sublim semacam inilah yang menurut hemat saya menjadi kekuatan utama dari esai-esai Mahbub. Teknik metafor ini dipadukan dengan mantra-mantra sihir yang disebut sebelumnya, membuat esai-esainya lincah. Sering kita temukan beberapa asosiasi ditumpuk sekaligus dalam satu pernyataan. Tak jarang demi memberi tempat buat dorongan humornya, Mahbub harus melenceng barang sebentar dari persoalan utama. Sering juga berlama-lama. Tapi memang kerapkali
  • 8. pada karya-karya bermutu tinggi, irisan-irisan “ketidaksempurnaan” semacam inilah yang justru membumbui estetika. Coba Saudara simak musikus-musikus hebat yang secara teoretik bakal lebih bagus lagunya didengarkan di hasil rekaman, karena celah-celahnya telah disempurnakan lewat bantuan teknologi. Tapi pendengar musik yang paham duduk persoalan bakal lebih memilih mendengarkan suara live-nya di panggung, meski lewat medium perantara. MAHBUB, seperti yang diakui sendiri dalam sebuah esainya, adalah seorang generalis. Ia mencomot sembarang persoalan yang menarik perhatiannya buat dibahas, tanpa peduli batas-batas spesialisasi keilmuan. Bagaimana Mahbub mau bicara spesialisasi, wong sarjana saja bukan? Ia memang unggul dalam hal menyajikan persoalan dengan sederhana melalui generalisasi yang cerdas. Tapi untuk itu kadang ia tak sempat menengok ke celah-celah persoalan, menakar barang sebentar, barangkali ada satu hal atau dua yang tak masuk dalam kategori generalisasinya. Ia juga sering membahas masalah hanya dari aspek spesifik tertentu. Dengan begini, ia tak pernah membahasnya untuk menyajikan solusi dengan tuntas, mulai ujung kepala sampai jempol kaki. Tapi kelihatannya memang bukan pembahasan lengkap model demikian yang diinginkan Mahbub. Ia ikut berbaur dengan berbagai macam manusia, lengkap bersama pluralitas persoalannya, tanpa bermaksud menarik sebuah rumus deduktif buat setiap masalah. Tapi jangan sekali-kali menganggap Mahbub tak bisa menulis dengan gaya konvensional, artinya nirbumbu-bumbu humor di sembarang
  • 9. tempat, tanpa hilang kejernihan. Kalau tak percaya, sila dibaca, "Soal Pilihan". Konon, beberapa orang berpendapat, Mahbub memilih teknik menulis demikian lantaran kondisi sosial-politik Orde Baru yang tidak memungkinkan orang mengkritik dengan keras. Maka humor jadi siasatnya untuk menyelubungi perbedaan-perbedaan pandangannya dengan pihak otoritas. Barangkali anggapan ini ada benarnya. Tapi bagi saya sih, peduli setan! Dengan atau tanpa Orde Baru, Mahbub tetaplah Mahbub yang menyihir kita lewat kata-kata. Dan kata-kata Mahbub, masih hidup. (Ahmad Makki, Kontributor Majalah Historia Online] Lucunya Asal-Usul Mahbub Djunaidi HL | 29 May 2010 | 11:20 Dibaca: 636 Komentar: 36 3 dari 6 Kompasianer menilai Bermanfaat
  • 10. Asal-Usul Mahbub Djuaidi: seringkali penuh humor, lucu, satire, menyindir: tapi satu penuh (auto) kritik bagi bangsanya (sumber:www.jurnalismewarga.com) SAYA KENAL Mahbub Djunaidi setelah dia wafat. Udah pasti kenal saya maksud mesti dilengkapi dengan tanda petik—biar tak ada salah paham. Satu kali, tahun 2004—saya sudah lupa tanggal dan bulan—ketika melihat koleksi buku di perpustakaan pribadi seorang rekan senior, mata saya menangkap sebuah kitab—kitab itu juga buku, kan?—bersampul hitam bergambar seorang lelaki paruh baya memegang kepala. Judulnya: Asal-Usul. Pengarangnya: Ya pastilah Mahbub Junaidi—terbitan Kompas. Buku itu merupakan kumpulan tulisan Mahbub Djunaidi ketika mengisi kolom Asal-Usul—yang hayatnya sama dengan Mahbub sendiri: telah marhum—di harian Kompas edisi Minggu.
  • 11. Saya baca halaman belakangnya—udah jadi kebiasaan saya, kalau nengok buku itu, setelah halaman depan ke halaman belakang: yang biasanya berisikan testimoni tokoh tentang buku itu, atau keterangan lain dimana perlu tentang buku itu—saya langsung jatuh cinta. “Ini buku bagus!” pikir saya. Tanpa pikir panjang, saya meminjam buku itu. Rekan senior saya itu tak mengijinkan, karena tahu kebiasaan buruk saya: suka lupa memulangkan buku yang sudah dipinjam—lupa apa “lupa”? Tapi dengan segala cara saya rayu. Saya bilang kalau saya lagi butuh bahan-bahan dari Mahbub Djunaidi untuk skripsi. Akhirnya di luluh. Walaupun saya yakin dia tahu, orang ini saya ini mahasiswa hukum dan pernah bilang ke dia kalau saya meneliti tentang “Otonomi Desa”—apa hubungannya dengan Mahbub Djunaidi dengan kolom Asal-Usul-nya? [sambil lalu: dan kekhawatiran rekan saya itu benar. Sampai catatan ini saya buat, buku itu masih ada di tangan saya. Dia sendiri sepertinya udah lupa kalau pernah meminjamkan buku itu: wong tak pernah ditanya-tanya lagi, kemana buku itu? lagi pula dia sendiri pernah berujar: “Orang paling bodoh itu yang meminjamkan buku kepada orang lain. Ada yang lebih bodoh lagi. Siapa? Yang mengembalikan buku yang dipinjamnya dari orang lain”. Hahaha, tapi saya tidak sedang mempraktikkan ujar-ujaran kawan saya itu, sama sekali karena: lupa—lupa apa “lupa”?]
  • 12. Kembali ke Asal-Usul Mahbub Djunaidi. Dalam pengantar yang dibuat seorang rekan Mahbub, Said Budairy, diterangkan kalau Mahbub itu kelahiran 22 Juli 1939 (edit: yang benar berdasarkan keterangan keluarga adalah 1933, demikian diperbaiki)—dari keluarga yang kental dengan tradisi NU. Sejak kecil ia sudah terbiasa menulis. Saat SMP cerpennya telah dimuat di Kisah dan langsung mendapat komentar dari HB Jassin yang terkenal sebagai Paus Sastra Indonesia itu. Sewaktu SMA ia menjadi pemimpin redaksi majalah sekolahnya: Siswa—ia sendiri yang menggagas agar sekolah mempunyai berkala ini. Mahbub juga terkenal sebagai seorang politikus. Seorang organisator. Ia pernah menjadi wakil rakyat (legislatif) di DPR-GR—turut membidani kelahiran UU Pers pertama yang kemudian dijadikan orde baru untuk mengontrol kebebasan pers di negeri ini. Ia juga aktif di organisasi NU—bahkan sejak masih lagi bersekolah. Apa yang istimewa dari tulisan-tulisan (boleh baca: Asal- Usul) Mahbub? Ia lihai memasukkan humor, satire, sindiran dalam tiap tulisan. Selalu segar. Dan yang penting selalu berisi kritik politik, sosial, budaya, dan sisi kehidupan manusia lainnya. Udah pasti semua tulisan itu bisa begitu karena kenyangnya Mahbub akan pengalaman: ya menulis ya di dunia sosial-politik-budaya- agama-dan apa lagi itu. Dalam tulisan “Kecuali” misalnya Mahbub menyindir soal (PT) Kereta Api di Indonesia yang telah memonopoli
  • 13. perkereta-apian. Karena saingan, akhirnya berpengaruh pada pelayanan. Mahbub bilang di Indonesia ini tak ada yang lestari—bahkan seorang bernama Sri Lestari sekalipun: pacarnya berganti-ganti (tak lestari), juga hobbynya dari melihara kucing sampai kadang kambing (tak lestari) kecuali—mungkin karena ini judulnya kecuali—ya kecuali: nasi goreng di restorasi kereta api. Nasi goreng di keretapi api itu dari dulu sampai sekarang rasanya tetap begitu—tak berubah-ubah (lestari). Mahbub Menulis: “… Lihat saja nasi gorengnya. Apa yang dimakan nenekmu dulu persis sama dengan rasa nasi goreng yang kamu makan sekarang ini. Tidak meleset barang sedikit pun. Ada gundukan nasi, ada sepotong kerupuk dibungkus plastik, ada acar ketimun, dan ada sebutir cabe rawit, ada telur mata sapi, dan ada sesendok kecil saus tomat.” “Dan rasanya?” tanyaku. “Netral. Artinya: tidak pedas, tidak asin, tidak manis, tidak pahit dan juga tidak gurih. Walhasil, singkat kata tidak ada rasa apa-apa.” “Apa maksudmu tidak ada rasa apa-apa?” “Ya tidak ada rasa apa-apa,” jawab kawanku. “Juga tidak ada rasa nasi goreng?” “Juga tidak ada rasa nasi goreng.”
  • 14. “Tapi namanya kan nasi goreng?” “Ya, namanya memang nasi goreng.” “Kok begitu?” “Ya begitu. Namanya saja sudah monopoli,” jawabnya. “Untuk selamanya begitu?” “Ya untuk selamanya. Itu sebabnya kusebut lestari. Satu-satunya yang lestari di atas bumi ini.” Mahbub juga mengkritik soal kampanye pemilu. Tulisnya: “Berbeda dengan nasi dan roti, program itu tidak pernah basi-basi. Kapan saja dibaca, kedengarannya senantiasa baru. Apalagi, tidak ada program yang jelek, semua program bagus-bagus belaka”. Macamnya kritik Mahbub ini masih relevan. Sampai sekarang pun kampanye pemilu di negeri ini tak pernah ada yang jelek. Semuanya bagus. Foto-foto calon pemimpinnya juga bagus. Yang jelek cuma realisasi janji-janji kalau sudah terpilih nanti. Meminjam Harry Roesli: seperti tukang sepatu: janji minggu jadi rabu. Banyak tulisan lain yang disampaikan dengan satire, humor, kocak, jenaka dalam Asal-Usul. Tapi semuanya adalah (auto) kritik. Tentang negeri bahari misalnya— Mahbub seperti Pramoedya A. Toer selalu mengingatkan kalau Indonesia ini negeri bahari bukan agraris: yang merupakan warisan kolonial, untuk kepentingan kolonial
  • 15. sendiri. Dan ia selalu membela orang pinggiran: gelandangan pengemis misalnya, ia tolak perda yang mengkriminalisasi gelandangan dan pengemis— menurutnya itu bertentangan dengan konstitusi. Cara ini mestinya dipilih Mahbub karena waktu Orde Baru masih berkuasa. Rezim yang anti-kritik. Kalau ditulis dengan lugas, sudah pasti ia masuk bui. Bahkan ini benar pernah terjadi: karena tulisannya dan kegiatannya pada pemilu 1977 memberikan ceramah-ceramah soal kritiknya terhadap sistem pemilu dengan [hanya] tiga partai peserta pemilu itu. ia dipenjarakan oleh Soeharto tanpa persidengan Meja Hijau. Mahbub menulis hingga akhir hayat di Asal-Usul. Ia wafat 1 Oktober 1995. Darinya kita bisa belajar tentang bagaimana seharusnya seorang penulis, masyarakat sipil, cendikiawan: selalu beroposisi dengan kekuasaan, walaupun taruhannya kemudian kebebasan diri sendiri. Salute untuk [alm] Bung Mahbub! [*] Pendekar Pena dari Betawi Ia mengkritik dengan humor dan membicarakan suksesi Soeharto sejak dini. OLEH: BONNIE NAMA Zahid bin Mahmud sebagai tukang cerite, sebutan bagi pendongeng di Betawi, demikian tersohor di Jakarta pada era 1960-1970-an. Saking populernya lelaki Tanah Abang itu sampai-sampai muncul istilah ngejaid untuk menyebut kegiatan mendongeng. Dongeng Zahid sangat digemari lantaran ia berkisah dengan menyenangkan dan kerap membumbuinya dengan humor. Tradisi tukang cerite memang telah lama ada di kalangan masyarakat Betawi. Hikayat Nyai Dasima karya G. Francis tahun 1896 sudah menyebut
  • 16. perihal tukang cerite. Kisah Nyai Dasima sendiri dipercaya sebagai kejadian faktual di era 1820-an. Sejak masa tersebut hingga era Zahid, Betawi tak pernah kehabisan tukangcerite dengan gayanya masing-masing. Tradisi mendongeng inilah yang sepertinya menginspirasi H. Mahbub Djunaidi. Pria yang juga berasal dari Tanah Abang itu memang bukan tukang cerite seperti Zahid, melainkan jurnalis kawakan. Mahbub terkenal sebagai kolumnis yang mampu menulis soal politik secara ringan, menyampaikan kritik dengan halus dan riang. Seperti pendongeng, ia memadukan cerita dan humor yang memikat pembaca. Mahbub bukan tipe pemikir yang menuliskan bangunan paradigma secara utuh. Esai-esainya menggambarkan ia begitu percaya pada demokrasi berikut dinamika politiknya. Ia meyakini kesejahteraan masyarakat harus diperjuangkan lewat politik. Secara konsisten ia menampik jika pembangunan mesti mengorbankan bagian masyarakat tertentu, terutama lapisan bawah. Mahbub lahir pada 27 Juli 1933. Ayahnya K.H. Muhammad Djunaidi, tokoh NU yang pernah menjadi anggota DPR hasil pemilu 1955. Ketika keluarganya mengungsi di Solo pada awal kemerdekaan, ia masuk madrasah dan oleh seorang gurunya diperkenalkan dengan karya-karya modern, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Mark Twain, atau Karl May. Ketika kembali ke Jakarta, ia meneruskan pendidikan di SMP dan SMA yang awalnya berlokasi di Cideng, kemudian pindah ke Jalan Budi Utomo. Ia sudah rajin menulis sejak SMP. Karya-karyanya telah dimuat di berbagi media massa terkenal saat itu, seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Roman, Star Weekly, dan Cinta. Tapi pengalaman yang paling tak terlupakan Mahbub adalah ketika pertama kali cerpennya, Tanah Mati, dimuat majalah sastra Kisah yang digawangi oleh HB Jassin, paus sastra Indonesia. Di SMA ia sempat mengasah bakat jurnalismenya dengan memprakarsai sekaligus menjadi pemimpin redaksi majalah sekolah Siswa. Tendensi Mahbub kepada dunia politik sudah terlihat dari kegemarannya mengikuti bermacam organisasi pelajar, mahasiswa dan pemuda, sejak ia masih sekolah. Berbagai organisasi, mulai dari IPPI, IPNU, GP Ansor dan HMI. Tahun 1960 ia meninggalkan HMI untuk menjadi Ketua Umum pertama PMII. Di setiap organisasi tersebut Mahbub berperan aktif. Entah sebagai ketua, atau jajaran pucuk pimpinan. Aktivitasnya inilah yang di kemudian hari mengantarnya ke struktur kepengurusan Nahdlatul Ulama. Karir Mahbub di dunia jurnalistik nasional bermula pada tahun 1958. Ketika itu K.H. Saifuddin Zuhri, mengajaknya membangkitkan lagi Duta Masyarakat, koran NU yang sempat bangkrut. Menurut sahabat Mahbub, almarhum Said Budairy, penunjukkan itu sebetulnya tanpa pertimbangan yang jelas. Namun ternyata Mahbub mampu bertahan di koran tersebut, bahkan menjadi pemimpin redaksi mulai tahun 1960, hingga koran ini kembali berhenti edar pada 1970. Di koran ini Mahbub mendidik para wartawannya untuk disiplin dalam menulis. Baginya menulis harus sekali jadi. Gagasan mesti selesai di pikiran, baru
  • 17. dituliskan. Chotibul Umam yang menjadi sekretaris Duta Masyarakat di era tersebut, menyaksikan bagaimana atasannya ini marah jika melihat wartawan Duta Masyarakat merobek kertas tulisannya yang tidak jadi. Mahbub sendiri tiap hari menyelesaikan tajuk rencana dalam tempo 1-2 jam. Diceritakan oleh Said Budairy dalam pengantar buku Asal Usul Mahbub Djunaidi, di koran ini Mahbub mulai berkenalan dengan Soekarno secara pribadi. Ketika itu Presiden Pertama RI ini meminta KH Saifuddin Zuhri mengajak Mahbub ke istana. Soekarno tertarik karena Mahbub menulis, bahwa kedudukan Pancasila lebih sublim dari Declaration of Independence-nya Amerika Serikat yang disusun Thomas Jefferson, atau Manifesto Komunis bikinan Karl Marx dan Frederich Engels. Pertemuan itu rupanya memberi kesan mendalam pada kedua belah pihak. Sebagaimana diceritakan Mahbub dalam esai Jalan Pintas yang Pernah Dilakukan oleh DPA, Soekarno pernah berniat mengangkat Mahbub sebagai anggota DPA pada tahun 1966, tapi ditolaknya. Sementara Mahbub sendiri mengatakan, “Kalau tidak ada Bung Karno saya tidak yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang.” Pada kurun 1960-1970-an boleh dibilang periode paling sibuk dalam hidup Mahbub. Selama satu dekade itu ia menjadi anggota DPR-GR/MPRS, dan sempat mengetuai Pansus UU Ketentuan Pokok Pers. Para anggota pansus antara lain Sayuti Melik, Rh. Kusnan, Soetanto Martoprasono, serta Said Budairy. Sementara karirnya di dunia jurnalistik kian berkibar dengan terpilih menjadi ketua PWI, tahun 1965 hingga tahun 1970. Hal ini berbarengan dengan aktivitasnya selaku Ketua Umum PMII dan Ketua II GP Ansor. Semua pencapaian tersebut rupanya tak membuat Mahbub puas. Antusiasme pada sastra mengantarnya memenangkan sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974, lewat novelnya Dari Hari ke Hari yang menggambarkan era revolusi kemerdekaan Indonesia di Solo melalui kacamata seorang bocah. Ia memang pernah mengaku lebih suka dianggap sebagai sastrawan dibanding yang lainnya. Tapi baginya menjadi jurnalis dan sastrawan saja tidak cukup. Perubahan mesti diperjuangkan lewat jalur politik dan kalau perlu melakoninya sendiri. Lain halnya dengan Mochtar Lubis, sahabat Mahbub, yang sering digodanya sebagai wartawan pelapor sejarah, bukan pelaku sejarah, karena Mochtar tak mau ikut berpolitik. Sejak tahun 1977 ketika pemilu pertama kali digelar dengan tiga kontestan, Mahbub merasa kondisi Orde Baru mesti berubah. Ia masuk ke kampus-kampus membicarakan suksesi kepemimpinan nasional. Akibatnya ia ditahan hampir setahun di Nirbaya tanpa pengadilan. Karena sakit ia dipindahkan ke RS Gatot Subroto, dan sejak itu ia tak pernah benar-benar sehat. Dalam masa tahanan inilah ia menulis novel Angin Musim. Pasca penahanannya, ia kembali aktif di bidang organisasi dan politik. Ia berbalik menggembosi suara PPP di kalangan basis massa NU, ketika unsur-unsur
  • 18. ormas tersebut di PPP disingkirkan oleh Ketua Umum PPP kala itu, H. Naro. Di NU ia sempat menjabat Wakil Ketua Tanfidziyah PB NU ketika Gus Dur mengampanyekan “NU kembali ke Khittah 1926”. Namun kedua tokoh humoris ini akhirnya berselisih pandang soal relasi antara NU dan politik. Dalam dunia tulis-menulis, Mahbub tetap menyumbangkan pikirannya di berbagai media massa dan secara rutin mengisi kolom Asal Usul di Kompas. Ia juga menerjemahkan beberapa buku, di antaranya 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Michael H. Hart) yang selama dua tahun masa terbitnya mengalami 16 kali cetak ulang. Perihal kolom Asal Usul, diceritakan J.B. Kristanto dalam pengantar antologi Asal Usul, kolom ini muncul sejak 1984, dan beberapa wartawan mengisinya bergantian. Karena dirasa kurang memuaskan, dilakukanlah evaluasi yang serta-merta memunculkan nama Mahbub Djunaidi, yang langsung menyatakan kesediaannya. Maka sejak 23 November 1986 hingga akhir hayatnya, Mahbub menjadi penulis tunggal Asal Usul. Di balik sifat humor dan riangnya, Mahbub tetap seorang berprinsip teguh. Pada Maret l994 ia diwawancarai tabloid Detik tentang suksesi kepemimpinan nasional. Ia konsisten dengan pendiriannya; "Mengapa tidak etis membicarakan suksesi? Suksesi bukan masalah etis tidak etis. Tapi masalah bagaimana kehidupan kita bersama di waktu mendatang. Saya setuju membicarakan pembatasan masa jabatan Presiden, karena orang yang terlalu lama menjabat, cendrung menyalahgunakan kekuasaannya karena terlanjur mapan," ujarnya. Sayangnya ketika Soeharto lengser dari kursi presiden empat tahun sesudah wawancara tersebut, Mahbub telah tiada. Pada 1 Oktober 1995 ia terbebas dari sakit yang bertahun-tahun dideritanya. Dalam sebuah surat untuk keluarganya ia berpesan: “Kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan…Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan." Apa yang dikatakannya dalam surat tersebut kiranya tak berlebihan. Segala aktivitasnya tak dimanfaatkan untuk mencari kelimpahan materi. Sebuah VW kodok bekas berwarna kebiruan yang digunakannya mengarungi kesibukan sejak era 1960-an, merupakan aset yang dipinjamkan Duta Masyarakat. Begitu pun dengan tempat tinggalnya di Kebayoran Baru. Selama hidupnya, selain Soekarno, Mahbub juga mengagumi Pramoedya Ananta Toer. Kepada Ridwan Saidi, Mahbub mengungkapkan kekesalannya karena dua kali tulisannya perihal Pramoedya ditolak media. “Orang yang seperti Pramoedya cuma satu dimusuhi terus-menerus. Padahal secara bahasa Pram mendidik kita,” katanya. Ketika tetralogi Pram dilarang oleh Kejaksaan Agung, ia bersikeras memberikan empat karya tersebut kepada Mendikbud Fuad Hasan. Sebaliknya, Pram pun mengagumi Mahbub. Menurut Koesalah Toer dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, pada peluncuran buku Sketsa Kehidupan dan Surat-surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi tahun 1996, Pram yang biasanya enggan diminta sambutan, kali ini maju ke depan
  • 19. forum. Dikatakannya, di kala ia diserang dari segala penjuru, hanya Mahbub yang membela.[AHMAD MAKKI/KONTRIBUTOR] Mahbub Junaidi Sang Ketum PMII dengan Senjata Pena-nya Mahbub Junaidi namanya “Pendekar Pena” panggilannya. Sosok kelahiran 27 juli 1993 ini begitu gemar menulis, bahkan ia pernah bersatement “Saya akan menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu lagi menulis”. Tokoh kelahiran jakarta ini memulai karier menulisnya ketiaka Ia duduk di bangku Sekolah, sebagai Redaktur majalah Sekolah. Ia adalah anak pertama dari 13 Saudara kandungnya, mengenyam pendidikan SD di Solo. Keluarganya harus mengungsi di SOLO karena kondisi yang belum aman pada saat awal kemerdekaan. Pemahaman Ke-Islamannya nya Ia tempuh di madrasah Mabaul Ulum. Di pesantrenlah Mahbub diperkenalkan tulisan-tulisan Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain. “Masa-masa itulah yang sangat mempengaruhi perkembangan hidup saya,” cerita Mahbub. Ayahandanya H. Djunaidi adalah tokoh NU dan pernah jadi anggota DPR hasil Pemilu 1955. Saat Belanda menduduki Solo, Mahbub Junaidi muda dan keluarganya kembali ke Jakarta, 1948. kemudian ia menjadi siswa SMA Budi Utomo,Sejak itulah ia menulis sajak, cerpen, dan esei. Tulisan-tulisannya banyak dimuat majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Roman dan Star Weekly. Melanjutkan perjuangan ayahandanya ia juga menjadi anggota Ikatan Pelajar NU (IPNU). Kuliahnya di UI terhenti hanya sampai tingkat II. Kegiatannya dalam organisasi mengantarkan Mahbub ke jabatan pemimpin harian Duta Masyarakat (1958), dan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1965, kemudian Ketua Dewan Kehormatan PWI, sejak 1979. Terakhir, di samping sebagai Wakil Ketua PB NU, ia juga duduk di DPP PPP.
  • 20. Sebagai kolumnis, tulisan Ketua Umum PB PMII Tiga Periode Ini kerap dimuat harian Kompas, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Pelita, dan TEMPO. Kritik sosial yang tajam tanpa kehilangan humor adalah ciri khas tulisan Sang Pendekar Pena ini. Akibat tulisannya yang tajam, Ia pernah ditahan selama satu tahun di tahun 1978. jeruji besi dan gelapnya penjara tak menghambat nalar menulisnya di dalam penjara ia menerjemahkan Road to Ramadhan, karya Heikal, dan menulis sebuah novel Maka Lakulah Sebuah Hotel. Jaya, 1975. Sosok yang memimpin PMII sejak tahun 19960-1967 ini mengagumi pengarang Rusia Anton Chekov dan Nikolai Gogol. Sedang Penulis Dalam Negri yang Ia kagumi adalah Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer. Meski sering berkunjung ke luar negeri, pengalaman yang menarik baginya adalah , ” bergaul dan berdiskusi dengan Bung Karno,Sang Revolusioner RI,” Ujar ayah tujuh anak, yang sudah dua kali naik haji ini. Baginya tanpa Soekarno, Indonesia tak mungkin bersatu di era Revolusi 1945. Profil Singkat Beliau: Ketua Umum PP.PMII tiga periode, yaitu periode 1960–1961, hasil Musyawarah Mahasiswa Nahdliyin pada saat PMII pertama kali didirikan di Surabaya Jawa Timur. Periode 1961-1963, Hasil Kongres I PMII di Tawangmangu Jawa Barat. Dan Periode 1963-1967, hasil Kongres PMII II di Kaliurang Yogjakarta. Pada masa kepemimpinan sahabat Mahbub Junaidi inilah PMII secara politis menjadi sangat populer di dunia kemahasiswaan dan kepemudaan, sampai pada periode pertama sahabat Zamroni. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum PWI pusat dan pimpinan Redaksi harian Duta Masyarakat (1965–1967), ketua dewan kehormatan PWI (1979 – 1983), anggota DPR GR (1967-1971), Wakil Ketua PB NU (1984-1989), Wakil sekjen DPP PPP, Anggota DPR/MPR RI (1971-1982), Pencetus “Khittah Plus” , Ketua Majlis Pendidikan Soekarno dan anggota mustasyar PB NU (1989-1994). AHBUB JUNAIDI TOKOH MULTI TALENTA Jumat, 11 November 2011 Adriansyah Dalam sejarah republik ini, pernah muncul seorang tokoh aktivis mahasiswa yang sangat multi talenta,bahkan hampir jarang ditemukan
  • 21. sosok yang lengkap seperti beliau saat ini, beliau adalah Mahbub Junaidi (Jakarta, 27 Juli 1933). Mahbub adalah seorang tokoh satrawan, jurnalis, organisatoris, agamawan dan politisi. Dalam hal tulis-menulis Mahbub temasuk sangat piawai pada masanya, misalnya beliau yang menerjemahkan buku 100 tokoh yang berpengaruh di dunia karangan Michael H. Hart. Dalam menulis kolom, Mahbub sangat terkenal dengan bahasa satire dan bahasanya yang humoris. Bahkan, Bung Karno samapai terkesan dengan tulisan beliau, karena Mahbub mengatakan Pancasila lebih agung dari Declaration of Independence, sehingga Bung Karno sempat mengundang Mahbub ke Istana Bogor, dari situlah Mahbub Junaidi menjadi sangat dekat dengan Bung Karno, dan Mahbub sangat kagum dengan “sang penyambung lidah rakyat tersebut.” Ajaran Bung Karno, memang cukup mempengaruhi nasionalisme Mahbub. Pada sebuah pertemuan wartawan di Vietnam, Mahbub menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi kendati ia cukup fasih berbahasa Inggris atau Prancis. Inilah sikap nasionalismenya. “Bahasa Prancis bukan bahasa elu, dan bahasa Inggris juga bukan bukan bahasa gua.”Kalau istilah bahasa Ciputat dan sekitarnya, Mahbub sosok yang bebahasa nyablak. Humor adalah cara dari Mahbub untuk mengajak seseorang masuk kedalam suatu masalah, karena salah satu kebiasaan dari orang Indonesia adalah suka tertawa, maka untuk mengkritik dengan cara yang enak adalah lewat humor. Sebagaimana yang pernah dikatakan Gus Dur, “dengan humor kita dapat sejenak melupakan kesulitan hidup.”
  • 22. Dalam kariernya sebagai aktivis mahasiswa, Mahbub Junaidi pernah menjadi ketua PP. HMI, kemudian mengundurkan diri dan bersama sahabat-sahabatnya membentuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 17 April 1960, dan pada saat itu juga Mahbub Junaidi terilih sebagai ketua umum PMII yang pertama. Saat HMI pernah ingin di bubarkan oleh Bung Karno, dikarenakan tokoh-tokoh Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI PERMESTA di Sumatera Barat,Mahbub langsung berangkat ke Istana Bogor unuk berdialog langsung dengan Bung Karno, dan pemintaan Mahbub sangat tegas, yaitu “HMI jangan di bubarkan.” Dan akhirnya tuntutannya itu terkabul. Di masa pemerintahan Orde baru adalah masa pesakitan bagi Mahbub Junaidi, beliau merasa kariernya sebagai wartawan yang kritis dan lugas terasa dibungkam pada saat itu, bahkan beliau pernah dipenjara oleh rezim tersebut karena dituduh terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI,padahal itu sesat setelah beliau terpilih sebagai ketua PWI. Saat menjadi aktivis mahasiswa, Mahbub juga ahli dalam membuat lagu, mars PMII dan mars Gerakan Pemuda Ansor juga ciptaan dari Mahbub Junaidi. Dari kariernya sebagai ketua umum PB PMII, membuat kaiernya melesat ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dan terakhir juga dipercaya sebagai salah satu ketua di PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Di PPP beliau dalam kampanye dibantu oleh Rhoma Irama, Zainudin MZ dan Nurcholis Majid, sehingga suara PPP di daerah meningkat dan menang di DKI Jakarta pada saat itu.
  • 23. Tokoh multi talenta ini kini telah tiada, sejarah pergerakannya yang sempat dibenam oleh rezim berkuasa,namun karya-karyanya dan jasa-jasanya telah tertoreh dalam tinta emas dunia pergerakan dan jurnalis ,sehingga para aktivis mahasiswa bisa mengambil pelajaran besar dari sosok tokoh multi talenta seperti Mahbub Junaidi. Referensi 1. http://pmiikomfuspertum.blogspot.com/2009/01/mah bub-junaedi-pmii-legend.html 2. http://pwi.or.id/index.php/Pressedia/M-dari- Ensiklopedia-Pers-Indonesia-EPI.html Dipos k a n oleh Intelek tua l Muda Mus lim di 2 3 : 5 8 Catatan: Mahbub Djunaidi mungkin satu-satnya penulis kolom dengan gaya jenaka yang tidak atau sulit tergantikan hingga sekarang. Saat membaca kembali kolomnya yang pernah dimuat di rubrik Asal Usul Kompas berikut ini, saya tak henti-hentinya untuk terpingkal-pingkal. Silahkan dinikmati kolom Mahbub di bawah ini. Ulil ----- Kolumnis Mahbub Djunaidi TIAP KTP punya baris "pekerjaaan" yang mesti diisi. Seorang Dirjen akan dengan mantap mengisinya karena yakin betul tiap orang mafhum belaka apakah makhluk dirjen itu. Seorang makelar pun sekarang ini tidak usah kikuk mencantumkan profesinya, karena dunia makelar pun sudah sah jadi penunjang pembangunan seperti halnya juga komisioner. Sekarang, apa yang harius diisi seorang penganggur yang banyak sekali jumlahnya di negeri ini? Demi harga diri dan demi supaya tidak dicurigai, mustahil seorang penganggur mengisi apa adanya dalam KTP. Karena jenis pekerjaan mesti jelas tercantum, maka apa yang mesti ditulis oleh penganggur yang tidak punya pekerjaan? Biasanya mereka isi dengan perkataan "swasta" atau "wiraswasta. Saya berani
  • 24. bertaruh, tidak ada penganggur yang berterus terang menulis apa adanya. Selain demi harga diri dan demi jangan dicurigai, juga mereka menghindar dari mengaku penganggur itu karena merasa kurang enak kepada pihak pemerintah, takut dianggap menyindir. Mengapa menyindir? Karena bunyi pasal 27 UUD berbunyi "Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Jika penganggur mengaku terus terang keadaanya, apa itu bukannya bisa dianggap menyindir, seakan-akan pemerintah sudah tidak mampu menyediakan pekerjaan yang layak? Hal serupa dialami oleh para pengemis. Jika pemerintah berpegang teguh secara murni dan konsekwen pada bunyi pasal 34 UUD yang berbunyi "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara", maka tidak mungkin bergelombang-gelombang pengemis masuk kota. Anehnya, ada kotamadya yang mengancam akan merazia dan menangkap pengemis. Apakah memang pantas dipersoalkan kenapa sampai melalaikan pasal 34 UUD itu hingga berdasar Pancasila ini bila orang diperbolehkan sekaya-kayanya, tapi para fakir miskin malahan diuber-uber? PEKERJAAN Dirjen orang tahu. Begitu juga makelar atau komisioner. Bahkan profesi dukun pun orang paham. Tapi profesi "kolumnis" masih asing dan belum banyak yang maklum. Jika saya mencantumkan perkataan "kolumnis" sebagai jenis pekerjaan, banyak yang bertanya-tanya binatang apa sih kolumnis itu? Kolumnis itu bagian pekerjaan malam apa siang? Bahkan ada yang bertanya, apa beda antara kolumnis dengan komunis? Tentu beda. Komunis itu sudah musnah sedangkan kolumnis itu masih ada, setidaknya sampai hari ini. Perkara besok akan lenyap juga, nantilah kita lihat saja. Apa yang ditulis kolumnis itu memang fakta? Bisa fakta dan bisa juga bukan fakta. Sebab, jika semua fakta mesti ditulis secara terbuka dan apa adanya, dalam tempo tiga hari dunia ini akan terbolak-balik. Bahwa koran mesti menyiarkan yang faktual, itu benar. Tetapi tidak semua fakta layak disiarkan. Sebab, apa jadinya jika semua fakta disiarkan oleh koran? Apa jadinya jika korupsi mulai teri hingga kakap dibeberkan apa adanya? Saya punya contoh, bagaimana seorang kolumnis menulis bukan atas dasar fakta, melainkan imajinasinya yang diharapkan bisa ditarik manfaatnya oleh pembaca. Misalnya kolumnis Ajip Rosidi yang sudah bertahun-tahun bermukim di Jepang. Dalam Kompas terbitan 6 Juni 1986, ia menurunkan tulisan berjudul Sendok, Garpu dan lain-lain. Tulisan itu menyebut ihwal makanan, cara makannya, apa pakai sendok apa pakai sumpit, apakah itu makanan Jepang atau Barat. Sebagai orang yang kenal baik Ajip Rosidi, saya tahu persis ia sama sekali bukan gastronom, bukan pakar makan-memakan, bahkan mirip pun tidak. Ia bukan tukang makan, melainkan tukang telan apa saja yang lewat di depan hidung. Bagaimana mungkin seorang awam makanan seperti Ajip berani menulis artikel ihwal makanan, kalau bukan semata-mata atas dorongan imajinasinya? Bagaimana
  • 25. mungkin seorang yang tidak bisa membedakan mana kroket dan mana combro mampu menulis soal makanan? Ini sama saja anehnya dengan orang asal Indihiang yang berdiam di kaki Gunung Galunggung bicara soal taman laut dan rahasia samudera. Saya punya kisah pribadi yang mendukung pendapat saya. Pada tahun 1982 saya mampir di Kyoto naik kereta api., Ajip Rosidi persis menunggu di pintu gerbong. Sesudah bersalam-salaman sebagaimana layaknya, sesudah tanya ihwal masing-masing dan bertanya ihwal Tanah Air yang saat itu menjelang saat pemilu, Ajip pun berbaik hati menawarkan apa saya mau makan siang, dan makanan apa yang saya sukai. Saya bilang, memang saya belum makan, dan makan apa pun jadilah. Sukiyaki boleh, steak Kobe pn jadi, pokoknya asal cepat. Maka Ajip pun mengajak berjalan kaki masuk keluar lorong, ada barangkali satu jam sehingga bukan saja perut makin lapar, tapi kaki pun sudah kaku. Di dalam hati saya berpikir, kok [di] kota semacam Kyoto yang cukup besar itu, susah betul cari restoran? Sesudah kaki tidak kuat lagi melangkah, tahulah saya bahwa Ajip sebetulnya tidak tahu persis, di mana letak restoran yang menjual makanan [yang] saya sebut itu, bahkan Ajip malahan tidak bisa baca huruf Kanji. Tentu saja ia tidak bisa membedakan mana restoran dan mana toko potret. Sesudah tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan, saya pun pasrah dan mengusulkan supaya makan makanan apa saja yang tampak oleh mata. Maka, kami pun menghampiri depot penjual hamburger, makanan yang bisa ditemui siapa saja dengan mudah, baik oleh nenek-nenek maupun orang buta.**** Kompas, 17 Juli 1988. Sulitnya Mencari Mahbub Djunaidi Posted on Desember 3, 2008 | 5 Komentar
  • 26. Karya terjemahan Mahbub Djunaidi Tak bisa mungkir, awal ketertarikan saya kepada Mahbub Djunaidi dipicu oleh kesamaan organisasi yang kami geluti; PMII. Butuh waktu lama bagi saya untuk sedikit demi sedikit menyerap kabar tentang tokoh kelahiran Betawi ini, baik yang lebih bersifat kabar burung, maupun yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sampai pada satu waktu saya mulai akrab dengan internet dan mendapat ide untuk menanyakan perihal Mahbub Djunaidi kepada Google. Namun hingga kini saya selalu dibuat kecewa karena sedikitnya informasi terkait yang bisa saya dapatkan. Hal yang sama saya jumpai dari mesin pencari lain seperti Yahoo dan sejenisnya. Kenyataan ini cukup membuat kening saya berkerut karena heran, kenapa ia sampai dibuat lunta sedemikian rupa? Padahal dari sedikit data yang bisa didapatkan, saya menganggap ia bisa dikategorikan sebagai tokoh besar nasional, baik sebagai aktivis, wartawan, maupun tokoh masyarakat. Saya kira orang-orang yang bergelut intens di tiga wilayah ini tak akan mengesampingkan nama Mahbub Djunaidi dari ingatannya. Jika menelisik rekam jejaknya, tentu kita bisa melihat alasan-alasannya Sebagai aktivis Konon Mahbub Djunaidi, yang terlahir dalam tradisi pesantren, bukanlah santri yang berhasil, bahkan ayahnya yang juga seorang kiai sempat dibuat malu oleh hal ini. Sebagai hukumannya kala itu Mahbub diwajibkan menghafal Barzanji di luar kepala (Emmy Kuswandari, 2008). Namun catatan ini berubah ketika ia memasuki dunia kemahasiswaan yang akrab dengan aktivisme. Memang, sebagai aktor perkuliahan catatan studinya tidak menggembirakan, hanya sampai tingkat dua di Fakultas Hukum UI, tetapi jika melihat perannya sebagai aktivis, kita bisa dibikin tak berkedip membaca catatannya. Karirnya sebagai aktivis dimulai dari IPNU. Ketika itu, era akhir 50-60an, kondisi politik Indonesia tengah semrawut, kedudukan Soekarno mulai goyah. Mahbub yang ketika itu berstatus mahasiswa dan menjadi kader HMI -satu-satunya organisasi mahasiswa Islam kala itu, tergabung dalam kelompok yang
  • 27. tidak puas dengan keputusan HMI menjadi underbow Masyumi. Bersama kelompoknya, Mahbub memutuskan keluar dari organisasi ini. Dan setelah melalui berbagai liku perjalanan, akhirnya pada tanggal 17 April 1960, ditandai dengan Deklarasi Tawangmangu, lahirlah organisasi PMII yang hingga kini menjadi salah satu organisasi terbesar dan termasif di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut Mahbub Djunaidi sekaligus terpilih sebagai ketua umum pertama PB PMII (1960-1967) (M. Afifudin, 2008). Aktivitasnya di PMII ini berbarengan dengan kegiatannya di GP Ansor. Ketika itu ia menjabat Ketua II (1964-1968). Lepas dari dua posisi ini, ia langsung merangsek ke PBNU untuk mengakuisisi kursi Wakil Sekretaris Jenderal sejak 1970 sampai 1979. Catatan ini terus diperbaikinya dengan dipercaya menjadi Ketua II PBNU (1979-1984), lalu Wakil Ketua PBNU Tanfidziyah (1984-1989). (NU Online, 2008). Sebagai penulis dan wartawan Melalui Tetralogi Pulau Buru, alm. Pramoedya “menegur” kita untuk mengingat kembali Raden Mas Tirto Adhi Surjo yang menerbitkan Medan Prijaji. Tokoh ini ini akhirnya diinaugurasi sebagai Bapak Pers Nasional pada tahun 1973 (Jurnal Nasional, 2008). Namun nama Mahbub Djunaidi juga mesti ikut dicatat dalam sejarah pers kita, karena ialah yang memberi landasan hukum bagi pers nasional dengan menyurun RUU tentang ketentuan pokok pers ketika ia menjadi anggota DPR-GR/MPRS pada tahun 1965. Dalam tim pansus tersebut ia dibantu oleh Sayuti Melik, RH Kusman, Soetanto Martoprasonto, dan Said Budairi (M. Afifudin, 2008). Sosok Mahbub memang dikenal sangat kental dengan dengan dunia jurnalistik. Dalam dunia berita ini Mahbub pun sempat menjabat posisi-posisi penting seperti pemimpin harian Duta Masyarakat (1958), dan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1965, kemudian Ketua Dewan Kehormatan PWI, sejak 1979 (Tempo, 2008). Sebagai seorang kolumnis pun ia menunjukkan stamina yang patut diteladani. Tercatat selama sembilan tahun ia mengasuh rubrik Asal-Usul di Kompas, yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudulMahbub Djunaidi Asal-Usul (M. Afifudin, 2008). Selain itu ia juga rutin menulis di majalah Tempo yang juga kemudian dibukukan dengan judul Kolom demi Kolom (Sobron Aidit, 2008). Selain dua media di atas, tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi kerap dimuat oleh Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, dan Pelita. Namun konon Mahbub lebih merasa akrab dengan dunia sastranya, paling tidak begitulah yang pernah didengar langsung Sobron Aidit dari mulut tokoh yang dianggap salah satu pembaharu NU ini. Memang Mahbub pernah menerbitkan novel berjudul Dari Hari ke Hari, serta Maka Lakulah Sebuah Hotel yang dituliis dalam penjara, bersamaan dengan terjemahannya atas Road to Ramadhan karya Haikal. Konon Mahbub mengidolai penulis-penulis realis seperti Anton Chekov, Nikolai Gogol, Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer (Tempo, 2008). Karya terjemahannya yang lain dan sempat mendapat sukses besar berjudul 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
  • 28. Sebagai tokoh masyarakat Gambaran pribadi Mahbub Djunaidi yang terrekam oleh Jakob Oetama adalah seorang yang berprinsip, demokratis, moderat, dan tak pernah mencerca lawan-lawannya. Sedangkan Rosihan Anwar berpendapat bahwa Mahbub berjasa besar atas keutuhan PWI, dan menghindarinya dari kooptasi orde baru (Kompas, 2008). Pendapat dua orang tokoh senior pers ini paling tidak sedikit menggambarkan sosoknya yang relatif bersih dari konflik, meski ia telah aktif di masa orde lama, di mana kerap terjadi diskusi-diskusi ofensif, bahkan hingga taraf menyerang pribadi. Memang pada masa orde baru ia sempat kena kurung selama dua bulan di rutan Nirbaya, bersama dengan Soebandrio, Omar Dhani dan beberapa nama lain, itu pun karena alasan yang pada saat ini sangat tidak masuk akal; dianggap menghasut karena mengusulkan pencalonan Ali Sadikin sebagai Presiden RI di depan forum mahasiswa. Namun Mahbub menganggap penahanannya tersebut sebagai peristiwa enteng. Hal ini terbaca dalam petikan sebuah surat kepada temannya yang dikirim dari dalam penjara; “Rasanya bui bukan apa-apa buat saya. Apalagi bukankah ditahan itu suatu ‘resiko bisnis’? Kata orang, penjara itu ibaratnya perguruan tinggi terbaik, asal saja kita tidak dijebloskan karena mencuri! Saya merasakan benar kebenaran misal itu…Sedangkan nonton bioskop perlu ongkos, apalagi demokrasi. Dan ongkos itu perlu dibayar! Iuran saya sebenarnya sedikit sekali. Jalan masih panjang, apapun yang terjadi mesti ditempuh…” (Emmy Kuswandari, 2008). Tokoh yang meninggal pada 1 Oktober tahun 1995 ini membuktikan kebenaran perkataannya itu dengan menghasilkan sebuah novel dan satu karya terjemahan seperti yang dibahas di atas. *** Melihat fakta perjalanan hidupnya, memang terasa aneh jika kita mengalami kesulitan untuk mendapatkan data-data seputar Mahbub Djunaidi dari dunia maya yang konon bisa memberikan kita segalanya. Namun saya tak ingin menjadikan ini sebagai penyulut kecurigaan, apalagi sampai menisbahkannya ke mana-mana. Paling tidak saya berharap kita, bangsa Indonesia, khususnya orang-orang yang pernah mengecap kaderisasi PMII dan Nahdatul Ulama, merasa bersedih melihat kenyataan ini. Semoga kesedihan kita menghasilkan sesuatu, sebagaimana Mahbub Djunaidi menghasilkan karya dari kesepiannya di penjara. Ciputat, 3 Desember 2008 KISAH SERBA-SERBI ( H. Mahbub Djunaidi )
  • 29. by sobrona at ... » Sat Apr 03, 2004 3:35 am Sobron Aidit : KISAH SERBA-SERBI ( H. Mahbub Djunaidi - bagian dua ) Ketika kami berdua bertamu di rumahnya, ada yang dia tanyakan kepada saya, sehingga saya agak kikuk menjawabnya. Sebab katanya " Saya dengar ada anaknya bung Aidit yang tinggal di Bandung ini....apa benar begitu?". Saya agak mencubit Ilham dan dengan isyarat mata yang saling tahu, lalu saya katakan. : Nah, ini dia, sengaja saya minta temani agar dia mau datang juga kepada sampeyan..buat berkenalan..." Tadinya ketika saya bersalamanmula-mula saya hanya mengatakan saya dengan keluarga saya - ponakan, tetapi tidak saya katakan siapa diaini. Dan belakangan menurut Ilham, anaknya mas Mahbub juga berkenalan dengan Ilham, jauh sebelumnya, tetapi ketika itu belum begitu akrab. Dan mas Mahbub tampaknya gembira dengan pertemuan kami ini.
  • 30. Dan kami belum bisa pulang buat minta diri sebelum makan-siang. Sekeluarga mas Mahbub sangat baik - ramah-tamah dan terbuka. Diam-diam dalam hati saya yang jauh terpendam.....saya bertambah mengagumi kepribadian mas Mahbub. Seorang tokoh Islam yang penting - yang salah seorang pimpinan NU - yang seorang jurnalis senior yang sangat dikagumi banyak orang - ya - kok nggak anti-komunis ya! Buku mas Mahbub yang terbit sesudah dia meninggal dan dalam memperingati 100 hari meninggalnya almarhum, adalah yang berjudul ASAL-USUL, di kolom tetap KOMPAS. Kolom ini dikerjakannya selama hampir sembilan tahun. Tanpa henti selama rentang waktu itu. Dan saya kira tidak hanya saya sendiri yang secara sengaja mencari Kompas yang hari itu ada kolom ASAL-USUl tulisan Mahbub. Mahbub Djunaidi lahir pada tanggal 22 Juli 1933 di Jakarta. Lebih jelas lagi mas Mahbub mengakui orang Jakarta asli - dan orang TanahAbang Petamburan! Mahbub meninggal pada tanggal 1 Oktober 1995. Berarti dia meninggal
  • 31. dua bulan lebih sedikit ketika kami ngobrol di rumahnya itu. Ketika itupun dia sudah tampak tidak begitu sehat dan dalam kedaan istirahat di rumah. Kata teman-teman dekat Mahbuib, dia ini punya tiga ciri menonjol, sebagai politikus - sebagai jurnalis dan sebagai humoris. Saya ingin menambahkan sesuai juga dengan yang pernah dikatakannya bahwa dia merasa lebih dekat ke sastrawanannya daripada kewartawanannya. Saya kira memang bergandeng eratlah itu. Ada juga orang yang agak sama-mirip menyerupai kedua-duanya, yalah seorang Mochtar Lubis. Mochtar Lubis itu, ya jurnalis hebat ya sastrawan yang bagus. Saya kira begitulah mas Mahbub. Saya masih ingat - satu istilah yang berasal dari kata-katanya. Maafkan saya kalau salah. Istilah itu yalah gembos - penggembosan. Gembos dan penggembosan mula-mulanya buat menggembosi PPP yang dikuasai oleh Naro dengan kawan-kawannya. Politikus Naro yang dengan berani pernah menawarkaniri buat jadi presiden - dan juga banyak mau mempengaruhi partai PPP yang juga mau menggembosi NU agar orang NU mau pindah ke PPP, dengan
  • 32. keras dan ligat Mahbub melahirkan istilah menggembosi ini. Ini dalam rangka agar Naro jangan sampai tepilih menjadi orang pertama di PPP yang menurut banyak orang NU, banyak bikin susah dan bikin rugi NU dan orang-orang NU. Dua buku Mahbub, yang satu KOLOM DEMI KOLOM, adalah tulisannya di TEMPO secara teratur. Buku ini dikata-pengantari Goenawan Mohamad. Mas Goen termasuk orang atau penulis yang saya selalu cari buat membacainya - misalnya Catatan Pinggir-nya. Buku kedua, yang terakhir adalah MAHBUB DJUNAIDI - ASAL-USUL, semua tulisan yang secara teratur ada di Kompas. Ini bukunya yang tertebal, sebab dikerjakannya selama hampir sembilan tahun secara teratur dan tetap. Buku yang satu ini bagi saya sangat mengingatkan pergaulan kami dengan keluarganya. Ketika hari pertama mas Mahbub meninggal itu, saya berkesempatan nilpun keluarganya - yang diterima istri mas Mahbub, yang langsung saya tilpun dari Paris ke Bandung. Dan ketika buku terakhir ini terbit - secara khusus ibu Mahbub, istrinya ini mengirimkan buku yang
  • 33. baru terbit ini kepada saya, dengan kata-kata "Terima kasih atas kesediaan menerima buku ini. Kami mohon dengan segala kerendahan hati doa bagi almarhum,- tertanda Ny. Mahbub Djunaidi dan Keluarga,- Bandung, 20 maret 1996,- ----------------------------- Paris,- 3 april 04,- sobrona at ... SAH SERBA-SERBI ( H. Mahbub Djunaidi - bagian tiga ) by sobrona at ... » Sun Apr 04, 2004 5:11 am Sobron Aidit : KISAH SERBA-SERBI ( H. Mahbub Djunaidi - bagian tiga ) Mahbub Djunaidi sebagaimana pribadi dan karakter seorang jurnalis, selalu suka bergaul - sangat komunikative - mudah didekati dan jauh daripada
  • 34. angker. Katanya dalam suatu tulisan...."saya gemar berkelompok. Misalnya saya senang campur di tengah para politisi, yang katanya sejenis binatang juga...Walaupun saya tidak merasa pensiunan sama sekali ( karena wartawan itu pekerjaan yang tidak ada ujungnya...." ( Pensiunan KOMPAS 7 - 12 - 1986 ) Salah seorang temannya adalah Benigno ( Ninoy ) Simeon Aquino, Jr jurnalis The Manila Times yang kemudian menjadi politikus, dan yang Marcos merasa tersaingi. Lalu Ninoy terbunuih di bandara internasional Manila pada tanggal 21 April 1983, dan begitulah sejarah. Justru istri Ninoy alm, yang menggantikan Marcos atau naik kekuasaan menjadi presiden Filipina, Corry Aquino. Mengenai pekerjaan sehari-hari Mahbub, dia pernah secara lincah menggambarkannya, katanya... "Pekerjaan Dirjen orang tahu. Begitu juga makelar atau komisioner. Bahkan profesi dukun pun orang paham. Tapi profesi "kolomnis" masih asing dan belum banyak yang maklum. Jika saya mencantumkan perkataan "kolomnis"
  • 35. sebagai jenis pekerjaan, banyak orang bertanya-tanya binatang apa sih kolumnis itu? Kolumnis itu bagian pekerjaan malam atau siang? Bahkan ada yang bertanya, apa beda antara kolumnis dan komunis?" ( Komunis, KOMPAS 17 - 7 - 1988 ) Tentang pemerintah, banyak pekerjaan yang disinggungnya. Dalam satu tulisan ada dikatakannya.... "Jika pemerintah suka bikin susah, jika masalah gampang dibikin jadi ruwet, jika jalan lempeng berganti dengan jalan berbelat-belit, maka hal ini disebut involusi, perbuatan bikin susah orang, dan merasa lega jika orang lain tersandung-sandung dan jadi sengsara", katanya lagi. Contohnya? "Kenapa dan apa perlunya KTP diganti dua tahun sekali. Kenapa seragam anak sekolah musti ganti baru tiap tahun ajaran! Kenapa penduduk disiksa dengan isian rupa-rupa formulir? Kenapa ongkos bikin KTP juga berbeda-beda. Untuk WNI Asli Rp 1500, untuk WNI Keturunan Cina dan Arab Rp 10.000. Untuk WNI
  • 36. Keturunan Eropa dan WNA Rp 25.000?" ( Involusi, Kompas 7 - b - 1988 ) Tulisan Mahbub selalu berisi hal baru - yang terkadang kita jarang terpikirkan, tetapi disajikan begitu rupa oleh Mahbub, lalu menjadi hangat - makanan sedap - bacaan yang sangat menarik - dan berita yang seharusnya setiap orang menjadi lalu peduli. Saya ingin menuliskan surat Mahbub yang ditujukan kepada saya dan saya mengerti juga kepada teman-teman saya yang sejenis saya. Semoga pembaca tahulah maksud saya dengan arti sejenis itu - bukan pengertian biologis, tapi politis,- Surat ini saya terima dengan perasaan terharu. Sebab samasekali diluar sangkaan saya bahwa Mahbub akan menulis begitu rupa kepada saya dan kepada orang yang berjenis saya. Bandung 15 Agustus 1993,- Bung Sobron Yang Baik,-
  • 37. Surat berikut "ARENA" yang antara lain berisi cerpen bung " RAZIA AGUSTUS" sudah sampai dan langsung saya baca. Gaya bung begitu sederhana, tidak "kenes". tidak genit dan ruwet seperti layaknya cerpen di Indonesia sekarang. Tulisan bung bagaikan reportase jurnalistik yang lancar dan enak. Macam begitulah yang saya sukai, tidak sayup-sayup, tidak memantulkan hal-hal abstrak. Bersama ini saya kirim pula buku-buku saya tahun 1982 dan 1986. Tentang novel "anak-anak" saya nanti menyusul, saya carikan. Banyak terimakasih atas usaha bung mendapatkan Guy de Maupassant. Saya juga senang sama Maupassant. Ayip tiap ke Indonesia selalu mampir di rumah. Dia banyak cerita tentang bung. Alamatnya sbb : Ajip Rosidi........ Selamat berkorespondensi, salam sama kawan-kawan di sini,- Wassalam - tertandatangan Mahbub Djunaidi,- Sedikit penjelasan, buku kumpulan cerpen Razia Agustus yang disebut Mahbub itu sudah terkumpul dan dijadikan satu buku kumpulan dengan judul
  • 38. yang sama RAZIA AGUSTUS diterbitkan oleh Gramedia dan diedarkan awal tahun ini 2004. Yang menjadi perhatian saya dan perhatian kami yalah, dalam begitu sibuknya pekerjaan mas Mahbub, dan sedang menghadapi begitu banyak persoalan dan perkara negara dan politik, dia tetap masih bisa ambil peduli terhadap saya dan terhadap kami yang diluarnegeri ini. Betapa saya dan kami begitu terharu. Seorang tokoh Islam - tokoh jurnalis - seorang teman yang sangat komunikative dan bersih dari kebencian adanya warna perbedaan dalam bentuk apapun. Saya sangat kangen akan sejenis orang seperti Mahbub ini. Saya ingin sekali agar Indonesia ada beberapa orang seperti Mahbub ini - Semogalah,- -- Paris,- 4 april 04,- sobrona at ... ULER IJOH CONTO BINATANGISME by godamlima at ... » Wed Aug 03, 2005 4:15 pm
  • 39. ULER IJOH CONTO BINATANG ISME CONTO BINATANGISME ULER IJOH? Justru merekalah pendukung utama jalan-jalan 'liar'. Sebab atas nama kebebasan, mereka tak lagi pernah berani mengatakan haq dan batil. Untuk itu, tak ada kata yang tepat bagi mereka selain ucapan, "Ahlan Wa Sahlan 'Binatangisme'." >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Hehehe,daku menungrunkan tunglisan Di bawah inih,dengan judul CONTO BINATANGISME ADALAH ULER IJOH. Heheheh,memang manungsa ituh unik. Mengliat buasnyah dan liarnyah orang laen,gampang. Tatapi dirinyah begituh beracun,dan Meninggalkan moral yang amburadul,enggaklah sadar. Sakperti uler ijoh, Pigihmana daku enggak jadi muak. Bukankah prilakunyah sanget buas,biadab dan ganas? INIH KUDU KUKAJIH MELALUIN UNGKAPAN YANG PALING JELAS DARI UM JEQIH.' Nah,pigihmana ituh bisak disebutkan manungsa2 Ugamak yang bakalan melahirkan satu peradaban manungsa Yang bebas dari kemaksiatan serta kebinatangannyah? Lalu perhatiken tingkah laku terrorist moslim yang
  • 40. LAGAKNYAH PERSIS BINATANG ITUH. Jadi termasup si Mahbud Junaedih. YANG MANA YANG COCOK DIGELARIN MENDEKETIN KEBINATANGANISME ITUH? Cubalah kalian membukah mata dengan kejujuran Yang bening nan jernih. Bukan bening bening nan Fei Hung yang jorok di ati ituh! Sementara daku baru hajah menungrunkan Tunglisan satu binatang Moslim yang bernama Tuan, Baru hajah disiremin aer keras oleh bininyah Moslimah, YANG ENGGAK MAOK SUAMINYAH JADI BINATANG MACEM BABI YANG SUKA KAWIN!! Wake up man! Who is the worst beast ituh? Tragedi di masa depan, adalah semakin banyaknya kaum nihilis. Mereka bukan hanya kalangan ilmuwan bahkan kaum agamawan yang liar. Itulah saat yang layak disebut 'binatangisme' Hidayatullah.com, Rabu, 3 Agustus 2005 Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi Anda mungkin pernah melihat tayangan acara Fenomena di Trans TV pada Jumat tengah malam pukul 24.00 WIB 9 Juli 2005. Dalam program itu diekspos seputar bisnis esek-esek di Makassar; seperti seks becak lambat, tari erotik, dan karaoke plus.
  • 41. Beberapa waktu sebelumnya, dalam acara Good Morning, Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, Trans TV telah melakukan kampanye legalisasi perkawinan sejenis. Seorang lesbian digambarkan sebagai pejuang atau bahkan pahlawan. Trans TV melakukan kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis. Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbian bernama Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama pasangannya yang juga seorang wanita. Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah sesuatu yang baik. Program serupa itu juga ada di TV lain. Lativi misalnya, pernah mengangkat liputan esek-esek seperti; Jakarta Underground, Cucak Rawa, dan Bunglon. Belum lagi tarian-tarian yang sangat vulgar seperti fenomena Inul Daratista dan Annisa Bahar yang sudah tergolong penari-penari pornoaksi yang amoral. Program-program murahan ini umumnya digemari semua kalangan produsen TV. Ada acara jual goyangan seperti Digoda, Joged, Duet Maut, dan Kawasan Dangdut. Perilaku yang kita anggap amoral dan tidak normal (dissorder) justru oleh media TV disajikan sebagaimana biasa, seolah-olah sesuatu yang sah saja.
  • 42. Hampir banyak kita temukan figur-figur yang bergaya waria. Entah dia waria sungguhan atau hanya pura-pura. Rasanya, seolah kurang lengkap jika TV tak mengontrak seorang presenter waria alias banci. Liputan kehidupan kaum gay atau lesbian. Yang juga diangkat melalui film layar lebar berjudul Arisan. Alih-alih berbisnis, pemutaran film seperti ini seolah ingin mengkampanyekan bahwa perilaku laknat seperti itu adalah hal yang lumrah, sah-sah saja, dan tak perlu dipersoalkan. Sering pula kita jumpai tayangan bejat lainnya seperti kehidupan komunitas para penjaja seks, baik wanita maupun laki-laki (gigolo), pelacuran anak-anak di bawah umur, fenomena 'ayam kampus', kehidupan tante-tante girang dan oom-oom senang, pesta seks (orgy), fenomena tukar pasangan (swinger), serta berbagai gejala penyimpangan seksual lainnya. Menuju Liberalisme Ada tiga fenomena mendasar yang kita saksikan dalam perkembangan menghawatirkan sehubungann liarnya media massa di Indonesia belakangan ini. Pertama, secara sosial, telah terjadi proses rekayasa sosial (social engineering) yang disengaja untuk mentransformasikan
  • 43. masyarakat kita menuju masyarakat sekuler-liberal. Kedua, secara ekonomi membuktikan kaum kapitalis (pemodal) telah menguasai media demi uang semata tanpa peduli moral masyarakat. Ketiga, secara politik menunjukkan pemerintah kita tidak punya tanggung jawab dalam urusan moral umat. Fenomena media liberal (saya lebih senang menyebutnya liar) membuktikan bahwa masyarakat kita sekarang sedang digiring oleh kekuatan kapitalisme global untuk bertransformasi menuju masyarakat sekuler dan liberal, sebagaimana masyarakat Barat. Tayangan-tayangan TV yang liar seperti secara halus akan menyusup pada rana publik dan secara sengaja pula menjajakan nilai kebebasan (freedom, liberty). Melalui ruang publik (public sphere) itulah kemudian melahirkan opini umum (public opinion), dan selanjutnya berproses menjadi shared values, yaitu acuan nilai kultural yang disepakati bersama. Jika dulu kalangan ahli psikologi memasukkan gay dan lesbianisme sebagai salah satu diantara bentuk kelainan seks (sexual-dissorder), tetapi kini orang biasa memandangnya, karena media massa –lah yang mengkampanyekanya.
  • 44. Kebebasan tanpa batas adalah mind-set kaum sekuler-liberal. Bahwa kebebasan adalah nilai ideal yang harus diujudkan dalam suatu masyarakat. Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden tanggal 20 Januari 2005 lalu, George W. Bush mengatakan ,"When you stand for your liberty, we will stand for you." (Jika Anda berjuang untuk kebebasan Anda, maka kami akan bersama Anda). Bush juga menegaskan, "The best hope for peace is the expansion of freedom." (Harapan terbaik untuk perdamaian, adalah melakukan ekspansi kebebasan) (Newsweek, 31 Januari 2005). Perhatikan pilihan kata Bush, yang menggunakan "ekspansi kebebasan" (expansion of freedom). Jelas, mengindikasikan bahwa kebebasan adalah nilai asing yang dicekokkan secara paksa ke dalam tubuh masyarakat kita yang mayoritas muslim. Tentu ekspansi kebebasan ini jangan diartikan harfiyah bahwa yang mengusung nilai-nilai kebebasan haruslah orang kulit putih seperti orang Amerika atau Eropa. Bisa jadi, dan ini memang sudah terjadi, yang mengusungnya justru orang kita sendiri yang berkulit sawo matang dan bahkan, beragama Islam. Namun pikiran mereka tentu telah terkotori oleh paham liberal gaya kapitalis.
  • 45. Anti Moralitas Secara ekonomi, eksistensi media liberal membuktikan kaum kapitalis adalah pihak yang sungguh tak bertanggung jawab. Karena mereka hanya memikirkan bagaimana mengeruk keuntungan pribadi dengan cara nista. Ketika banyak pihak mengecam goyang Inul justru media mengangkatnya tinggi-tinggi hanya untuk mengejar rating dan iklan. Uang, adalah Tuhan bagi industri hiburan. Kata Adam Smith, dalam The Wealth of Nations (1776), jika tukang daging menjual dagingnya kepada Anda, itu bukan karena dia berbelas kasihan atau bersimpati kepada Anda, melainkan karena dia mengejar keuntungannya sendiri. Bicaralah uang karena hidup adalah uang. Itulah cita-cita kapitalisme dan kaum liberalis. Ciri berkembangnya fenomena sekulerime-liberalisme adalah hadirnya kaum nihilis. Alih-alih sebagai pejuang keadilan, mereka selalu menempatkan kata 'netral' sebagai penyelamat moral. Kaum seperti ini tak pernah bisa membedakan mana yang benar menurut hati nurani dan mana yang salah.
  • 46. Karena itu, jangan heran bila kemudian muncul jawaban-jawaban seperti; "Kalau tak suka acaranya, matikan saja TV yang Anda tonton." Logika nihilisi seperti ini tak hanya milik produser TV. Hampir semua orang, para seniman, artis, selebritis dan tak terkecuali para ilmuwan ikut terserat ke dalamnya. Tatkala muncul pro kontra pose bikini Artika Sari Devi --wakil Indonesia dalam Miss Universe— dengan entengnya seniman Sujowo Tejo santai mengomentari,"...Yang bikin porno itu pikiran kita." Jadi, bagi orang seperti Sujiwo Tejo, atau para pemuja liberalisme, yang salah itu otak kita. Artika tidak salah, media juga tak salah, pemerintah juga tak berdosa. Inilah logika kaum nihilis. Logika kaum nihilis membolehkan orang bertelanjang berlenggang-kangkung di jalan-jalan, di pasar, di panggung hiburan. Boleh saja di film dan layar TV menjajakan 'ketelanjangan' asalkan otak bisa sopan.. Ketika umat Islam –yang juga mayoritas pemilik negeri ini—dan menjerit-jerit untuk menghentikan 'media liar' melalui RUU Pornografi dan Pornoaksi, para LSM dan suara kaum nihilis justru melawannya beramai-ramai.
  • 47. Mereka yang menamakan diri "Jaringan Program Legislasi Nasional" (Prolegnas) Pro Perempuan, yang beranggotakan 35 organisasi perempuan --termasuk Komnas Perempuan, Kowani, Puan Amal Hayati, Muslimat NU, Cetro, Aliansi Pelangi Antarbangsa, Kalyanamitra, Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusumo, LBH Jakarta, dan LBH APIK Jakarta-- menilai RUU tersebut justru berpotensi melahirkan kekerasan aru, menempatkan korban menjadi pelaku, terutama pada korban perempuan dan anak, melanggar kebebasan berekspresi, dan membakukan standar kesusilaan berdasarkan pemahaman satu kelompok saja (Kompas, 2/7/2005). Seorang anggota jaringan tersebut hanya mempersoalkan salah satu isi pasal pornoaksi berpotensi mengkriminalkan semua perempuan hanya karena ada istilah "dilarang memperlihatkan payudara di muka umum." "Tidak dijelaskan payudara siapa." Katanya sinis. "Bagaimana dengan ibu-ibu yang menyusui bayinya di muka umum? Bagaimana dengan kebiasaan masyarakat mandi dan buang air di kali?" Demikian pertanyaan rewel aktivis itu. Seorang pengelola pesantren, Abdul Moqsith Ghazali bahkan terkesan menghalang-halangi RUU yang dibutuhkan umat Islam tersebut. Pria yang juga aktifis Islam liberal itu mengugat pasal "dilarang
  • 48. mempertontonkan alat kelamin di muka umum" dengan mengatakan , "Lalu bagaimana dengan orang yang mandi di sungai?" (Kompas, 2/7/2005). Selera kaum liberalis (sebut saja kaum nihilis) pada akhirnya membolehkan apa saja secara bebas dan liar tanpa adanya otoritas pelarangan baik atas nama pihak berkuasa atau kaum yang sering mereka ledek sebagai kaum moralis. Semua boleh hidup bebas meski itu liar. Saya teringat George Orwell, pengarang novel "Animal Farm" yang oleh mendiang Mahbub Djunaidi diindonesiakan menjadi novel "Binatangisme". Dalam kehidupan 'Binatangisme' orang boleh hidup semau-gue. Undang-undang kaum 'Binatangisme" adalah 'siapa yang kuat itulah yang menang'. Bahkan dalam kehidupan 'Binatangisme', seorang anak boleh saja menggauli ibundanya sendiri tanpa harus takut agama atau ditangkap polisi. Ituklah makna kebebasan!. Tragedi di masa depan, adalah semakin banyaknya kelahiran kaum nihilis berselera 'binatangisme'. Mereka bukan hanya kalangan ilmuwan bahkan kaum agamawan. Mereka bahkan fasih terhadap ayat suci tetapi lupa 'hati-nurani'.
  • 49. Justru merekalah pendukung utama jalan-jalan 'liar'. Sebab atas nama kebebasan, mereka tak lagi pernah berani mengatakan haq dan batil. Untuk itu, tak ada kata yang tepat bagi mereka selain ucapan, "Ahlan Wa Sahlan 'Binatangisme'." godamlima at ... CHALLENGING THE QURAN" by guaran at ... » Mon Aug 15, 2005 11:12 am Kalau kita jalan-jalan ketoko buku,paling mudah untuk mendapatkan buku KRITIKAN DAN PENGHUJATAAN terhadap agama Kristen,buku tersebut secara legal dijual dan siapapun yang mau tinggal ambil terus bayar,salah satu-nya buku karya Ahmed Deedad,Mahsyud SM dll. Tapi anda tidak mungkin mendapatkan apa bila mencari buku KRITIKAN terhadap umat Islam,memang inilah agama Islam satu-satunya agama yang tidak mau/tidak boleh dikritik karena Quran adalah satu-satunya yang paling benar(menurut mereka),tapi anehnya mereka boleh bebas mengritik agama Kristen sesukanya. Dan ini terbukti,contohnya di tahun 2003 setelah beredar majalah Newsweek edisi 28-juli-03 mereka kebakaran jenggot,dalam majalah terbitan New York ini pada hal.49 menulis artikel yang berjudul"CHALLENGING THE QURAN" penulisnya seorang il-
  • 50. muwan Jerman yang bernama samaran Prof.Christhop Luxen-berg. Penulisnya mengatakan bahwa Muhammad bukan Rasul yang terakhir,dan menemukan bukti bahwa Quran bukan di-tulis dalam bahasa Arab melainkan Aramaik. Reaksi dari MUI buru-buru menghentikan peredaran maja-lah tersebut,dan Din Syamsudin segera bereaksi keras dengan mengirim surat permohonan kekejaksaan untuk meng hentikan peredaran majalah Newsweek. guaran at ... Top Hahaha… Lucu Kali Kurasa… REP | 31 May 2011 | 12:03 257 4 1 dari 2 Kompasianer menilai menarik
  • 51. Karena orang suka humor lah Charlie Chaplin bisa tenar seantero dunia (sumber:ekof ebrian.blogspot.com) Oleh JEMIE SIMATUPANG TIAP ORANG—yang bukan orang boleh angkat tangan—suka humor. Suka lelucon. Dan tentunya suka tertaw a. Kalau tidak, mengapa sampai ada profesi yang bernama pelaw ak, komedian, atau badut, yang karena kerjanya bisa hidup layak—bahkan sebagian kaya raya dan menjadi orang terkenal di seantero jagat. Di Indonesia kita kenal Jojon dengan tampang bloon dan kumis Hitlernya, ada kelompok Warkop DKI, atau sekarang siapa yang tak tahu Parto, Aziz, Nunung, dkk dalam Opera van Java? Ya sudah pasti mereka ada untuk memuaskan selera humor manusia. Ada yang bilang orang yang suka humor pada dasarnya adalah seorang humanis. Bahkan yang lebih ekstrim bilang, “Orang yang tak bisa menertaw akan dirinya sendiri pada dasarnya telah kehilangan kemanusiaannya!” Sejurus dengan itu tentu orang juga suka membaca tulisan yang ada humornya—maksud saya bukan tulisan full humor (yang juga pasti disukai banyak orang). Kadang orang bosan membaca tulisan yang terlalu serius, terlalu penuh data-data, atau istilah-istilah yang bikin puyeng, kehadiran humor bisa semacam pemecah kebekuan. Semacam ice breaker. Yang bisa membaw a orang tertawa membacanya—atau paling tidak tersenyum. Humor bisa saja hadir dalam tulisan-tulisan serius populer, saya belum membayangkan ada karya tulis ilmiah yang penuh humor, w alau tak tertutup kemungkinan: semisal desertasi yang membahas grup law ak Warkop DKI. Seorang penulis yang suka humor biasanya bisa menghadirkan kejenakaan di sela-sela hal yang dibahasnya— bahkan hal yang sedang aktual: politik, sosial, budaya … Di negeri ini kita punya banyak penulis yang suka memasukkan humor dalam tulisan-tulisannya. Ada Umar Kayam yang pada masa hidupnya rutin menulis kolom “Mangan Ora Mangan Kumpul” di harian Kedaulatan Rakyat—sebuah prosa yang penuh humor w alau kadang membehas hal-hal yang sedang pelik di negeri ini pada masa itu—bahkan persoalan-persoalan di dunia internasional. Dalam “Mangan Ora Mangan…” Umar Kayam menghadirkan tokoh-tokoh utama: Pak Ageng, si pencerita (sahibul hikayat) yang juga majikan, Mr. Rigen dan Ms. Nansiyem, pembantu, Beny dan Tolo-tolo, anak-anak Mr. Rigen, dan seorang pedagang panggang ayam keliling: Pak Jayabaya. Humor selalu muncul dalam dialog maupun narasi yang disampaikan Sang Sahibul Hikayat. Misalnya saja dalam kolomnya tertanggal 7 Juli 1987, di baw ah judul: “Hidup Bagaikan…”, Umar Kayam diakhir tulisannya sesukanya menjabarkan: Mr. Rigen yang malang. Kalau kau ke New York mungkin kau masih bisa mupus, menghibur diri, dengan w ell, life is but a bow l of cherry. Hidup hanya bagaikan semangkuk buah cherry. Kadang-kadang nyeplus yang kecut, kadang-kadang dapat yang manis. Celakanya ini Yogya! Di sini lif e is but sak kreneng salak Sleman. Kadang dapat yang manis, kebanyakan sepet terusss… Akh, sesiapun yang membaca perumpamaan yang dibuat Umar Kayam mestilah tertaw a—paling tidak tersenyum, bisa jadi sepet, sesepet salak Sleman. Penulis dengan selera humor tinggi yang lain adalah Mahbub Djunaidi yang pernah mengisi kolom “Asal Usul” di Kompas Minggu— kolom itu sudah tidak ada lagi. Ia selalu memasukkan metafor-metafor lucu dalam tulisan-tulisannya. Satu kali misalnya dalam
  • 52. tulisan “Gaya Bandung” ia menulis: “Tak seorang pun bisa membayangkan jika sebuah kampung tak punya RT sama sekali. Ini persis seperti ban tanpa pentil!”. Hahaha… bayangkan saja metaf oranya yang cerdas—dan segar—“ban tanpa pentil!” Di tulisan lain di baw ah judul “Evolusi” Mahbub membuka tulisannya dengan: “Seorang revolusioner tidak sempat membuka prop (tutup) botol. Ia pecahkan leher botol dan tenggak isinya masuk mulut. Seorang revolusioner adalah seorang tidak sabaran karena gejolak hatinya. Ia seorang yang ingin membangun seraya menjebol. Di Indonesia ini, praktis sudah habis orang revolusioner itu. Akibatnya, kalau orang mau minum, ia musti baik-baik buka prop botol dan pelan-pelan minum isinya. Ia tak boleh lagi memecahkan leher botol. Ia mesti jadi orang penuh sabar, penuh pertimbangan, mesti jadi orang balanced. Mahbub w aktu itu tentu sedang menyinggung orang-orang yang hidup di rezim Orde Baru dengan candaan (karena kalau disinggung dengan keras, mestilah ia harus berhadapan dengan tangan besi Soeharto, dan ia juga akhirnya tak selamat dengan itu). Lihatlah metaf oranya: “Seorang revolusioner tidak sempat membuka tutup botol. Ia pecahkan leher botol dan tenggak isiny a masuk mulut!” sebuah pembuka tulisan yang penuh kelucuan namun juga cerdas menohok. *** Saya sendiri w alau tak seberapa lihai, suka memasukkan humor dalam tulisan-tulisan. Sangking sukanya tulisan penuh humor saya membuat tokoh Cok Kompas dan Mat Tanduk, dua orang dari Medan yang juga kompasianer. Mereka kerap menyampaikan pikiran-pikiran mereka yang kadang—lebih tepatnya kerap—asal-asalan saja. Bolah jadi khas Medan. Satu kali misalnya di baw ah judul: “Pajak, Film, dan Hantu!” saya menjabarkan tentang kesamaan antara pajak dan f ilm: sama-sama hantu. Pajak rakyat hilang entah kemana layaknya hantu, sedang f ilm kita penuh dengan cerita-cerita hantu. Tulisan ini saya angkat ketika pembicaraan tentang f ilm hollyw ood yang ngancam hengkang dari Indonesia karena keberatan membayar pajak yang ditetapkan pemerintah. Beberapa tulisan serial CokKompas pernah headline di kompasiana—termasuk tulisan tentang f ilm dan hantu tadi. Ini semakin menguatkan bahw a orang masih suka dengan tulisan humor—termasuk (bisa jadi) admin. Tapi kalau ditanya: “Cemana caranya menulis dengan humor?” Saya sendiri tak tahu jaw aban pastinya, kalau Anda memang suka humor, saya yakin Anda bisa melakukannya! Apa saja bisa dijadikan humor, tiap peristiw a mestilah mempunyai sisi humor —yang kadang tak bisa dilihat oleh orang lain. Nah, itulah peluang bagi penulis yang suka humor, mengangkat sisi-sisi lucu dari satu peristiw a. Tapi kalau Cok Kompas yang jaw ab: “Akh, mati sajalah kita, kalau membuat orang tertaw a pun sudah tak bisa!” hahaha… [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal(-asalan) Medan. AMERIKA ITU TIDAK ADA FERDI / October 11, 2011 / No comments Berbicara masalah ngobrol, saya ngobrol semalam dengan beberapa sahabat. Dua diantaranya Fian dan Arif. Mereka ini orang-orang yang cukup unik dan kreatif ketika melemparkan ide-ide atau gagasan. Meski unik dan kreatif, mereka kadang juga iseng mengeluarkan gagasan yang nyeleneh atau ngawur tapi berisi. Pernah suatu ketika mereka berdiskusi dengan topik apakah Amerika itu ada? Mereka menyimpulkan dengan gaya mereka sendiri. Mereka ti dak percaya kalau Amerika itu ada. Nah lho? Saya bertanya-tanya, juga teman-teman yang lain. Mengapa Amerika tidak ada? Mereka beralasan bahwa Amerika ada karena hanya cerita di televisi saja. Atau dari tulisan-tulisan di lembaran koran harian disertai foto-foto (yang katanya juga “ ..katanya saja jepretan wartawan..!”). ??? Tanpa dijelaskan pun saya paham dan tertawa kecil atas keisengan cara berpikir mereka. Tentu saja dua sahabat saya tersebut tidak sebodoh itu menganggap Amerika tidak ada. Seperti waktu Arief berkata bahwa Sumatera tidak ada, dia kemudian mengklarifikasi bahwa Sumatera itu ada setelah dia melakukan perjalanan suci guna melamar kekasihnya untuk dijadikan istri di sebuah kota di Jambi.
  • 53. “ Sekarang aku percaya, kalo Sumatera itu ada. Aku sudah kesana, ujarnya.”, hahaha, lagi -lagi saya tertawa kecil. Meski iseng, sebenarnya cara berpikir seperti ini bisa menjadi bahan pemikiran untuk kita. Mereka sebenarnya mewacanakan secara sederhana bahwa segala sesuatu yang kita dapat dari media massa perlu pembuktian. Buktinya pun harus dirasakan dengan segenap panca indera. T idak hanya sekedar dari cerita. Apalagi cerita tersebut pun tidak pasti selalu benar. Bahkan seringkali dibesar-besarkan supaya laku beritanya. Lalu siapakah yang bercerita dan mengabarkan berita? Tentu saja yang terdekat dengan kita sehari -hari adalah media massa. Media massa telah menjadi kebutuhan kita sehari-hari. Begitu dekat, bahkan kadang lebih dekat daripada anak-anak kita atau orang tua kita. Media massa banyak bercerita dengan jutaan kata hal setiap hari. Ceritanya pun sangat berpengaruh. Hampir segenap sendi kehidupan dipengaruhi olehnya. Dalam Ilmu Komunikasi, ada teori klasik yang bernama teori jarum suntik (hypodermic needle theory). Teori ini mengatakan bahwa efek dari media massa kepada masyarakat adalah bersifat langsung. Begitu terkena berita atau tayangannya, masyarakat langsung terkena pengaruhnya. Persis seperti jarum suntik yang ditusukkan dokter kepada pasien: langsung menembus kulit, lalu segera menyebarkan cairan obatnya ke seluruh bagian tubuh. Meski teori ini dikritisi, karena menganggap masyarakat sebagai pihak pasif dan tidak punya daya tolak, tetapi fakta di masyarakat kita banyak menunjukkan kebenaran teori itu (Hidayatullah edisi Januari 2005, hal 19). Mereka banyak terpengaruh cerita yang menjadi berita. Seringkali pula tanpa sadar alam pikiran masyarakat mengunyah berita sehari -hari dengan nikmatnya. Seperti dinamika politik yang terjadi beberapa bulan terakhir ini menjadi cerita yang sangat menarik dan produk media massa yang ampuh untuk selalu up to date. Padahal konon kabarnya berita dalam sebuah media massa bisa menjadi kendaraan sebuah partai politik untuk membangun opini publik. Namun saya tidak menuduh setiap jurnalis tidak objektif dan membohongi publik. Hanya sejak menjadi pendengar dan bersahabat dengan seorang senior di Aliansi Jurnalis Independen, pikiran saya menjadi sedikit lebih terbuka dengan cerita dan fakta-fakta. Lebih parah lagi ketika sebuah media massa yang suka bercerita menganut aliranscandalous newspaper yang membeberkan “ kaleng rombeng”, tak peduli skandal itu menyangkut ihwal yang terlalu pribadi. Keamanan pribadi, privacy yang tadinya dihormati kini diinjak-injak batang lehernya. (Mahbub Djunaidi, Asal Usul, Penerbit Kompas,1996). Newspaper diatas bermakna luas sekarang, karena gaya tersebut diadopsi televisi. Lihat saja, mengapa infotainment yang (KATANYA) sudah diharamkan oleh MUI, masih laris manis dan tinggi rating siarannya. Padahal benarkah isi beritanya? Atau perlukah kebenaran skandal yang sangat pribadi dan menjadi ghibah terlarang, di suarakan keseluruh penjuru negeri? Perlukah anak-anak kita atau kita sendiri dicekoki cerita sinetron yang penuh intrik, kebencian dan pengkhianatan sebagai tayangan sebuah media yang selalu suka bercerita? Lebih dekat lagi adalah pengalaman kita sehari-hari. Media sesungguhnya adalah diri kita dan orang-orang yang sehari-hari beraktifitas bersama kita. Bisa jadi cerita seperti scandalous newspaper banyak menghinggapi hubungan kita dan pembicaraan kita bersama orang lain. Maka bukan hanya keamanan pribadi dan privacy yang diinjak-injak batang lehernya, tetapi yang lebih mengerikan adalah pembunuhan karakter. Maka percaya atau tidak percaya adalah tergantung pada kecerdasan anda menyikapinya. Jangan-jangan anda juga tidak percaya cerita saya ini.
  • 54. Sekitar Peranan Mulut Lidah lebih tajam dari pedang. Karena itu jangan omong sembarangan, bikin luka dan sengsara. Mendingan diam, karena diam itu emas. Sebab, hanya tong kosong yang nyaring bunyinya. Lagi pula diam itu bukan berarti dungu. Tengoklah perawan yang lagi dipinang, diam saja tertunduk-tunduk, memilin-milin ujung rambut, itu artinya dia betul-betul mau. Ada masa, tidak semua mulut dianggap jelek. Lihat -lihat mulutnya dulu, tidak bisa pukul rata. Mulut siapa yang jelek? ”Perempuan? Bah. Kalau sebelah kakiku sudah di lubang kubur, barangkali baru bisa kupercaya omongan mereka itu, yang tak punya bakat seni ataupun politik”, kata Nietzsche. Untungnya, di negeri kita ini ada bait nyanyian: ”Terang bulan terang di k ali, buaya timbul disangka mati. Jangan percaya mulut lelaki, berani sumpah takut mati”. Dengan begitu menjadi tidak jelas lagi, siapa sebetulnya yang lebih lancung. Tapi, ada masa semua orang tak kecuali, lelaki atau perempuan, boleh bicara sepuas hati sampai mulut berbusa. Yang satu lebih keras dari yang lain, seperti lelang ikan. Namanya masa liberal. Hanya orang-orang bisa dan tuli yang mampu terbebas dari keriuhan ini. Kalau sekadar mulut berbusa saja, masa bodohlah. Tapi kalau sebentar -sebentar kabinet terpelanting dari kursinya, tak ubahnya seperti piring-mangkuk, nanti dulu. Orang toh tidak bisa jadi menteri cuma sebentar. Maka ada Kabinet Kerja di bawah PM Djuanda itu, teriring semboyan: ”Sedikit bicara, banyak kerja”. Semua orang yang bermodal mulut semata-mata menyempit lapangannya. Bursa mulut turun, dan keringat naik derajat. Kegaduhan sedikit demi sedikit berkurang, orang makin lama bicara makin pelan, sehingga mau tidak mau coraknya berganti jadi kasak -kusuk. Padahal, ditilik dari sudut kebajikan, omong besar dan kasak-kusuk sama-sama bukan tabiat yang layak dipuji, seperti halnya orang kegemukan atau kekurusasan. Melihat gelagat ini, semboyan ditinjau kembali. Bukannya ”Sedikit bicara banyak kerja”, melainkan ”Banyak bicara banyak kerja”. Akur, kata K.H. I dham Chalid waktu itu. Mengapa? Sebab, bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja tanpa bicara itu namanya maling. Perumpamaan ini membuat para pendengar tertawa terpingkal-pingkal, baik yang merasa dirinya memang beo, atau yang merasa dirinya memang maling. Di zaman pembangunan seperti sekarang ini, sudah barang tentu yang pertama-tama harus dilakukan orang adalah kerja. Kalau semata-mata kerja saja, tanpa bicara sepatah pun, apa ini artinya seperti maling? Oh tidak, tidak maling. Walau sekarang bicara bukan pekerjaan terhormat, bukan berarti orang tidak diperkenankan bicara. Cuma namanya yang ganti, bukan bicara melainkan berdialog, berkomunikasi, berseminar, bersimposium, berlokakarya, berdiskusi, dan sarasehan. Kesemua ini memang via mulut juga, tapi lain sedikitlah. Bahkan Parlemen, yang menurut riwatnya justru tempat bicara, tidaklah gemar lagi membuk a mulut selebar-lebarnya, seperti mbah guru mereka Montesquieu yang meraung-raung di mimbar bagaikan keledai, melainkan memilih kecermatan di atas segala-galanya. Kalau toh perlu bicara, harap dengan data, seperti nona Spanyol dengan kipas dan sinyo Prancis dengan bunga. Orang zaman sekarang suka angka-angka, makin banyak makin bagus. Pimpinan yang baik adalah pimpinan yang hafal angka-angka di luar kepala, angka apa saja dan kapan saja. Misalnya, orang harus bicara seperti ini: Di tahun 2000, pendapatan per kapita per tahun orang Indonesia yang sekarang Rp 37.350,00 bisa naik jadi Rp 172.750,00. Di tahun 2010 naik jadi 15.000 juta. Cucu dari orang yang hidup tahun itu bisa menyaksikan orang di dunia 60.000 juta. Dan d tahun 2625, tiap manusia cuma kebagian tempat berdiri sekaki persegi, tak ubanya seperti kita naik bus kota sekarang. Itu kata Robert S. McNamara. Itu kalau migrasi tidak digalakkan, atau KB macet, atau angka kematian tidak dipertinggi, misalnya lewat perang agar mereka saling tikam sesamanya, atau beri fasilitas orang yang bermaksud bunuh diri, bagaikan fasilitas Dinas Pariwisata buat kaum turis. (Majalah Tempo, 5 April 1975) R A B U , 1 2 M A R E T 2 0 0 8 Mengenang Mahbub Djunaidi Oleh M. Said Budairy L ebih 12 tahun sudah, tanggal 1 O ktober l995 yang lalu, H. Mahbub Djunaidi meninggalkan kita semua kembali ke haribaan T uhannya. Banyak kenangan yang dia tinggalkan. Seperti keperibadiannya yang ringan ceria, kocak berolok-olok, menganggap semua orang adalah sesamanya. Juga pandangan-pandangan dan s ikap-sikapnya di banyak bidang kehidupan.
  • 55. .. Mahbub tadinya berkeinginan menjadi sastrawan. Ia tertarik pada sastra Rus ia. T api perjalanan hidupnya mengantarkan dirinya menjadi wartawan dengan gaya tulisannya yang khas. Mengantarkannya menjadi politisi dan tokoh organisasi profesi dan ormas keagamaan. Sebagai wartawan ia pernah memimpin sebuah suratkabar. P ernah menjabat sebagai Ketua Umum P ersatuan Wartawan Indonesia (PWI ). Dia juga kolomnis di banyak penerbitan pers. Salah satunya dan yang paling is tiqomah di harian Kompas. Jakob O etama, P emimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kompas yang kenal secara pribadi, mengamati Mahbub mencapai formatnya yang optimal sebagai wartawan, jus tru ketika ia bebas dari beban-beban menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat dan sebagai aktivis partai atau keorganisasian lainnya. Mahbub menulis untuk rubrik Asal -Usul harian Kompas selama 9 tahun tanpa jedah, sambil mas ih juga diminta penerbitan pers lainnya menulis topik -topik tertentu. Sebagian tulisan-tulisannya, lebih dari 100 judul telah diterbitkan menjadi buku 'Mahbub Djunaidi Asal Usul'. Memberikan pengantar pada buku tersebut Jakob Oetama menulis, pengalaman dan pertumbuhan Mahbub Djunaidi itu mengajarkan kepada masyarakat pers . Wartawa n dan kewartawanan tumbuh bukan karena seseorang menjadi pimpinan sebuah penerbitan pers, melainkan karena ia menulis berita dan membuat ulasan atas kejadian serta permasalahan, karena kreativitas dan karya tulis serta produk jurnalistik lainnya. Ia berhar ap buku tersebut ikut memperkaya kepustakaan jurnalisme Indonesia serta sekaligus membangun tradisi bahwa warisan yang berharga adalah karya. Maret l994, satu setengah tahun sebelum ia meninggal dunia, tabloid Detik mengirim wartawannya Saifullah Y usuf (se karang Ketua Umum P P P emuda Ansor dan anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI) bersama seorang seorang wartawan lainnya untuk mewawancarai Mahbub. Dia ditanya tentang masalah suksesi kepemimpinan nasional, "Mengapa tidak etis membicarakan suksesi?. Suksesi bukan masalah etis tidak etis. T api masalah bagaimana kehidupan kita bersama di waktu mendatang. Saya setuju membicarakan pembatasan masa jabatan P residen, karena orang yang terlalu lama menjabat, cendrung menyalahgunakan kekuasaannya karena terlanjur mapan," ujarnya. Waktu itu, 5 tahun sebelum memasuki era reformasi, amat tabu bicara perkara suksesi kepemimpinan nas ional. Mahbub tidak perduli, kendati sudah pernah masuk rumah tahanan.. Mahbub Djunaidi salah seorang yang dikenal baik oleh P residen Soekarno. Dialah yang mula-mula menulis, bahwa P ancasila lebih sublim dari Dec laration of Independence-nya T homas Jefferson dan Manifesto Komunis-nya Karl Marx dan Friedrich Engels. Bung Karno memidatokan di banyak kesempatan, bahwa P ancasila adalah sublimasi dari deklaras i dan manifesto tersebut. T entang kedekatannya dengan Bung Karno, dia bilang Bung Karno memang dekat dengan banyak orang. Beliau orangnya terbuka, tidak birokratis. Maka dulu, kapan saja kita bisa berdiskusi dengan beliau berjam-jam. Ia mengagumi Bung Karno karena presiden yang satu ini memiliki vis i yang jelas. Jangkauan pemikirannya jauh ke depan. Dan mampu mengkomunikasikan gagasan - gagasannya secara luar biasa. Dan gagasan Bung Karno yang terpenting menurut Mahbub, komitmen yang kuat terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. "Kalau tidak ada Bung Karno saya tidak yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang. Selain itu Bung Karno memiliki keperdulian yang besar terhadap kehidupan rakyat kecil. Beliau itu dekat dengan rakyat," ujar Mahbub. Dia tidak melihat Soekarno otoriter. Hanya gaya kepemimpinannya berapi -api. Kepada anak-anak Soekarno, Mahbub menyatakan sesekali ia bersurat -suratan dengan Guntur, tapi tidak intens. Menurutnya, di
  • 56. antara anak-anak Bung Karno, yang paling kuat potensi kepemimpinannya adalah Guntur. Sayangnya dia tidak mau terjun ke politik. Dengan Rachmawati dia sering berkomunikasi melalui surat atau bertemu langsung jika sedang ke Jakarta (Mahbub terakhir berdomis ili dan meninggal dunia di Bandung). Menurut Mahbub, dari segi pemikiran Rachmawati paling dekat dengan pemikiran bapaknya. Sampai sekarang dengan Y PS (Y ayasan P endidikan Soekarno)-nya, dia mas ih terus konsisten dengan ideologinya itu. Barangkali secara politis kelihatannya dia kaku. I tu karena keteguhannya terhadap prinsip-prinsip yang diyakininya. T api secara pemikiran ideologis dia paling matang. Mahbub sempat ditanya oleh pewawancara, apakah ia melihat Megawati bisa sebesar Bung Karno. Menurut Mahbub, kalau melihat kemampuannya Mega tidak bisa disamakan dengan Bung Karno. Juga, Mega itu lemah lembut sedangkan Bung Karno berapi -api. Mahbub memasuki lingkungan Nahdlatul Ulama pertama-tama karena ayahnya seorang tokoh NU DKI Jakarta. Dia bergabung melalui organisasi pelajarnya, Ikatan P elajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Berlanjut menjadi Ketua Umum (pertama) P ergerakan Mahas iswa I s lam Indonesia (PMII) Kemudian menjadi salah seorang Ketua Pucuk Pimpinan Gerakan P emuda Ansor. Ke tiga organisasi tersebut merupakan organisasi-organisasi kader yang melahirkan pemimpin-pemimpin organisasi NU, di pusat maupun daerah-daerah. Dari P P P emuda Ansor Mahbub masuk ke dalam jajaran pimpinan NU menjadi Wakil Sekjen, kemudian menjadi salah seorang Ketua P BNU dan terakhir sebagai salah seorang Mustasyar/Penasehat P BNU. Dia tetap diingat oleh generasi-generasi sesudahnya, karena karya-karyanya yang konkrit dalam berbagai posisi dan jabatan keorganisasian tersebut. Mahbub tergolong tokoh NU yang menginginkan NU kembali menjadi partai politik. Ia termasuk tokoh penggembos PPP, karena melihat orang NU dalam P PP dipojok-pojokkan terus oleh H.J. Naro, ketua umum P P P dari MI waktu itu. Ia menyatakan s iap terjun kembali ke dunia politik praktis jika NU kembali jadi partai. Ini diucapkannya menjawab pertanyaan wartawan yang mewawancarainya, pada bulan Maret l994. Ketika menjelang Muktamar P PP terdengar bahwa A bdurrahman Wahid banyak dapat dukungan untuk menjadi Ketua umum P PP dan reaks i Gus Dur-pun tidak serta merta menolak, Mahbub bilang, Gus Dur jangan jadi Ketua Umum P PP. Sebab kalau itu dilakukan , dia tidak kons isten. Kan dulu dia juga yang menentang Y usuf Hasyim jadi ketua umum P PP. A lasannya kenapa dia berkeinginan agar NU kembali menjadi partai politik, karena NU jumlah umatnya sangat besar. I tu merupakan potens i politik yang penting. Juga, s ejak kelahirannya NU selalu bersentuhan dengan politik. Karena itu mengapa NU tidak berpolitik secara langsung saja ?. Mahbub, dalam kaitan kembali ke khittah NU l926, menginginkan kembali ke Khittah NU l926 plus. Dan plusnya ya politik itu. Di sekitar waktu P emilu l977, Mahbub banyak menerima undangan untuk berbicara di Jakarta dan daerah-daerah. Dia juga keluar masuk kampus , memenuhi undangan para mahas iswa. Iapun banyak bicara tentang suksesi kepemimpinan nasional menjelang SU - MP R l978. Dan akibatnya Mahbub ditangkap, ia dis impan di rumah tahanan Nirbaya. Dari Nirbaya dilanjutkan menjadi pasien tahanan di Rumah Sakit A ngkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Hampir setahun mendekam tanpa diproses lewat pengadilan, sehingga tidak jelas pula kesalahannya apa. Dia mulai terus sakit-sakitan sekeluarnya dari tahanan pemerintahan Soeharto tersebut. Mahbub Djunaidi telah tiada ketika A bdurrahman Wahid (ketika itu menjabat Ketua Umum P BNU) bersama beberapa orang tokoh
  • 57. NU mendeklarasikan lahirnya P artai Kebangkitan Bangsa. Gus Dur tidak menjadi ketua umumnya, tapi Matori Abdul Jalil. Dalam muktamar pertama P KB, Gus Dur juga tidak mnyediakan diri menjadi ketua umum, melainkan memilih menjadi ketua Dewan Syuro P KB, yang bewenang menunjuk s iapa yang menjadi ketua umum P KB . Sementara tokoh NU lainnya, K.H. Y usuf Hasyim, mendeklarasikan Partai Kebangkitan Umat (P KU) dan K.H. Syukron Makmun mendirikan P artai Nahdlatul Umat (PNU). Ketiga partai tersebut, P KB, P KU dan PNU berbasis warga NU. O rmas Nahdlatul Ulama sendiri, jika berpegang teguh pada khittahnya, seharusnya tidak punya hubungan organisatoris, terselubung atau terang -terangan dengan ketiga partai politik tersebut. Sebaliknya, NU harus merelakan warganya memasuki partai -partai yang manapun. Kalau saja Mahbub memperoleh kesempatan dan bersedia menduduki suatu jabatan resmi pemerintahan, agaknya dia akan terjauh dari berbagai libatan skandal atau gate-gate itu. P andangan Mahbub tentang kebendaan, tercermin dalam surat kepada keluarganya yang dikirim dari Rumah Sakit Gatot Subroto. Mahbub menulis, "Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu semua, walaupun tidur berdesakan di lantai (kamar rumah sakit -pen).Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan. Benda sama sekali tidak menjamin kebahagiaan hati. C intaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun juga. P apa orang yang banyak makan garam hidup. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat ha tiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan." (M. Said Budairy, wartawan/Direktur Lakpesdam P BNU 1989 - 1995). D I P O S K AN O L E H M . S A ID B U D AI RY D I 2 2 : 1 2 2 KOMENT A R : hna mengatakan... AMAZING! aku kagum sma bapak yang di us ia ini mas ih bisa bikin satu tulisan yang 'hidup', bahkan bikin blog. Satu lagi.. bapak, kakeknya shaqina kan? x) 2 4 M A R E T 2 0 0 8 1 0 : 2 4 A nonim mengatakan... pak said kalo bisa tolong artikel, tulisan mahbub djunaidi yang belum dicetak, cetak saja. gak pa pa ada kesamaan dengan yang telah dibukukan moga moga bisa terima kasih 1 4 M E I 2 0 1 0 1 6 : 3 6 P oskan Komentar
  • 58. P os ting LamaBeranda Langganan: P oskan Komentar (A tom) S E L A M A T D A T A N G D I M A N U L A Usia Lanjut dan Bermanfaat Jadi Idaman Setiap Manusia Bapakku dan A ku -- 1938 Selesai SMA di Malang Menginjak Usia 70-an
  • 59. C H A Y A T U N N U F U S I S T R I K U 51 th. Mendampingiku M E N G E N A I S A Y A M . S A I D B U D AI R Y Lahir ketika Indonesia mas ih dijajah Belanda. Kakek dan bapakku orang pergerakan. Kakek anggota Majelis Konstituante, bapak anggota DP RD. Gara-gara lingkungan rasanya jalan hidupku terbentuk. Nyatanya, mas ih amat muda sudah aktif berorganisasi. Masuk kepanduan mulai jadi kurcaci sampai jadi Komisaris Latihan. Lalu masuk organisasi pelajar IPNU, bersama yang lain mendirikan PMII, masuk Gerakan Pemuda Ansor, aktif di NU membangun Lakpesdam dan jadi direkturnya selama 8 tahun. Jadi Bendahara P BNU. Jadi pengurus PWI P usat. Jadi anggota DPR -GR/MPRS dari Fraksi NU, jadi anggota MP R-RI (Badan P ekerja) fraks i P PP, ikut mendirikan koran Pelita,jadi pemimpin perusahaan koran P edoman, jadi ombudsman majalah P antau. Mulainya dulu ikut memimpin koran Duta Masyarakat. T erakhir jadi Staf Khusus Wakil P res iden RI . Sekarang aktif sebagai Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI dan KIP3 Menjelang us ia 72 tahu n sekarang ini, punya 8 cucu dari 4 anak 2 laki 2 perempuan. Melalui blog ini ingin mensyukuri us ia lanjut dengan cara berbagi pengalaman.Makanya akan senang sekali kalau orang-orang muda mau bertegur sapa. L I H A T P R O F I L L E N G K APK U A R S I P B L O G S A K I N A H S A I D , C U C U , P U T E R I H I S Y A M