SlideShare a Scribd company logo
1 of 44
Get
Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
1
click here for freelancing tutoring sites
BAB II
DISKUSI
II.1. Hepatoma
A. Definisi
Karsinoma hepatoseluler (hepatoceluller carcinoma/HCC) merupakan
tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit, demikian pula dengan
karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma (Budihusodo, 2007).
Hepatoma primer secara histologis dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Karsinoma hepatoselular, hepatoma primer yang berasal dari sel
hepatosit
2. Karsinoma kolangioselular, hepatoma primer yang berasal dari epitel
saluran empedu intrahepatik
3. Karsinoma campuran hepatoselular dan kolangioselular (Desen, 2008).
B. Faktor resiko
Faktor risiko utama untuk karsinoma hepatoseluler termasuk infeksi
Hepatitis B Virus (HBV) atau Hepatitis C Virus (HCV), penyakit hati
alkoholik, dan penyakit hati berlemak nonalkohol. Penyebab kurang umum
termasuk hemochromatosis keturunan, alpha 1 -antitrypsin, hepatitis
autoimun, beberapa porfiria, dan penyakit Wilson. Distribusi faktor-faktor
risiko antara pasien dengan hepatocellular carcinoma sangat bervariasi,
tergantung pada daerah geografis dan ras atau kelompok etnis (El-Serag,
2011).
2
1. Virus hepatitis
Di daerah endemik di Asia dan Afrika, infeksi HBV ditularkan dari
ibu ke bayi yang baru lahir sampai dengan 90% dari orang yang
terinfeksi memiliki infeksi kronis, dengan integrasi sering HBV ke
dalam DNA inang. Meskipun HBV dapat menyebabkan karsinoma
hepatoseluler tanpa adanya sirosis, mayoritas 70 sampai 80% dari
pasien dengan HBV-terkait karsinoma hepatoseluler memiliki sirosis.
Risiko karsinoma hepatoseluler antara orang-orang dengan infeksi
HBV kronis (mereka yang positif untuk antigen permukaan hepatitis B
[HBsAg]) akan meningkat jika mereka adalah laki-laki atau tua dan
telah terinfeksi untuk waktu yang lama, memiliki riwayat keluarga
hepatoseluler karsinoma, serta telah terkena aflatoksin mikotoksin,
menggunakan alkohol atau tembakau, koinfeksi dengan HCV atau
hepatitis delta virus, memiliki tingkat replikasi HBV hepatoseluler
(seperti yang ditunjukkan oleh tingginya tingkat HBV DNA), atau
terinfeksi dengan genotipe HBV. HBV DNA juga dapat dideteksi pada
orang yang HBsAg-negatif, tetapi hubungan dengan risiko karsinoma
hepatoseluler tidak jelas dalam kasus ini (El-Serag, 2011).
2. Sirosis
Sebagian besar faktor risiko mengarah pada pembentukan dan
perkembangan sirosis 80 sampai 90% dari pasien dengan karsinoma
hepatoseluler. Risiko 5 tahun kumulatif untuk pengembangan
karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan sirosis berkisar antara 5%
dan 30%, tergantung pada penyebabnya (risiko tertinggi pada mereka
yang terinfeksi HCV), daerah atau kelompok etnis (17 % di Amerika
Serikat dan 30% di Jepang) (El-Serag, 2011).
3
Individu-individu dengan kebanyakan tipe-tipe sirosis hati
berada pada resiko yang meningkat mengembangkan kanker hati.
Sebagai tambahan pada kondisi-kondisi yang dijelaskan di atas (HBV,
HBC, alkohol, dan hemocromatosis), kekurangan alpha 1-anti tripsin,
suatu kondisi yang diturunkan yang dapat menyebabkan emfisema dan
sirosis serta dapat menjurus ke kanker hati. Kanker hati juga erat
hubungannya dengan tyrosinemia, suatu keturunan biokimia pada
masa kanak-kanak yang berakibat sirosis dini. Penyebab-penyebab
tertentu dari sirosis lebih jarang dikaitkan dengan kanker hati daripada
penyebab-penyebab lainnya. Contohnya: kanker hati jarang terlihat
dengan sirosis pada penyakit Wilson (metabolisme tembaga yang
abnormal) atau primary sclerosing colangitis (luka parut dan
penyempitan pembuluh-pembuluh empedu yang kronis). Diperkirakan
kanker hati juga jarang ditemukan primary billiary cirrhosis (PBC).
Banyak studi menunjukan bahwa frekuensi kanker hati pada PBC
adalah sebanding dengan yang pada bentuk- bentuk lain sirosis
(Singgih dan Datau, 2006).
3. Obesitas dan Diabetes Melitus
Beberapa dari pasien lebih cenderung memiliki fitur klinis atau
biokimia dari penyakit hati berlemak (obesitas) atau sindrom
metabolik (misalnya, diabetes tipe 2). Dalam studi berbasis populasi
kohort di Amerika Serikat, Skandinavia, Taiwan, dan
Jepang, karsinoma hepatoseluler adalah antara 1,5 sampai 2,0 kali
lebih mungkin untuk mengembangkan pada orang obesitas seperti
pada mereka yang tidak obesitas. Beberapa studi kasus-kontrol dan
studi kohort beberapa telah menunjukkan bahwa, rata-rata karsinoma
hepatoseluler adalah dua kali lebih mungkin untuk mengembangkan
4
pada orang dengan diabetes tipe 2 dibandingkan dengan mereka yang
tidak menderita diabetes (El-Serag, 2011).
Obesitas dan diabetes juga terlibat sebagai faktor risiko untuk
kanker hati, kemungkinan besar melalui pengembangan non-alcoholic
fattty liver disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic
steatohepatitis (NASH). Disamping itu, diabetes tipe 2 dihubungkan
dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factors
(IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker
(Budihusodo, 2007).
4. Alkohol
Penggunaan alkohol berat (didefinisikan sebagai konsumsi
harian 40 sampai 60 gram alkohol, dengan minuman yang
mengandung 13,7 g standar, atau 0,6 oz) adalah faktor risiko
karsinoma hepatoseluler baik secara independen (dengan peningkatan
risiko dengan faktor 1,5 sampai 2,0) dan dalam kombinasi dengan
infeksi HCV serta risiko lebih rendah dengan infeksi HBV (El-Serag,
2011).
5. Aflatoxin B1
Aflatoxin B1 adalah kimia yang diketahui paling berpotensi
menjadi kanker hati. Ia adalah suatu produk dari suatu jamur yang
disebut Aspergillus flavus, ditemukan dalam makanan yang telah
tersimpan dalam suatu lingkungan yang panas dan lembab. Jamur ini
ditemukan pada makanan seperti kacang tanah, kedelai, beras, jagung,
dan gandum. Aflatoxin B1 telah dilibatkan dalam perkembangan
kanker hati di Cina Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Ia diperkirakan
5
menyebabkan kanker dengan menghasilkan mutasi pada gen p53.
Mutasi-mutasi ini bekerja dengan mengganggu fungsi gen penekan
tumor (El-Serag, 2011).
C. Patofisiologi
6
(Budihusodo, 2007).
7
D. Manifestasi klinis
1. Fase dini umumnya asimptomatis.
2. Fase lanjut: tidak dikenal tanda yang patognomonis / khas. Keluhan
dapat berupa penurunan berat badan, nyeri abdomen, “fatigue”,
anoreksia, mual, sebah, nafsu makan menurun. Pada metastatis ke
tulang penderita mengeluh nyeri tulang (Setiawan dkk., 2007).
E. Pemeriksaan penunjang
1. Alphafetoprotein
Sensitivitas Alphafetoprotein (AFP) untuk mendiagnosa HCC 60%
± 70%, artinya hanya pada 60% ± 70% saja dari penderita kanker hati
ini menunjukkan peninggian nilai AFP, sedangkan pada 30% ± 40%
penderitanilai AFP nya normal. Spesifitas AFP hanya berkisar 60%
artinya bila ada pasien yang diperiksa darahnya dijumpaiAFPyang tinggi, belum
bisa dipastikan hanya mempunyai kanker hati ini sebab AFP juga dapat
meninggi pada keadaan bukan kanker hati seperti pada sirrhosis hati
dan hepatitiskronik, kanker testis, dan teratoma (Soresi et al., 2003).
2. AJH (Aspirasi Jarum Halus)
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy)
terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan
pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar
pasti suatu hepatoma. Tindakan biopsi aspirasi yang dilakukan oleh
ahli patologi anatomi ini hendaknya dipandu oleh seorang ahli
radiologi dengan menggunakan peralatan Ultrasonography (USG)
atau CT scan fluoro scopy sehingga hasil yang diperoleh akurat. Cara
melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CT scan mudah,
8
aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi
dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi
yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang
diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena
benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan
bukanlah jaringan sehat disekitar tumor (Rasyid, 2006).
3. Ultrasonography (USG)Abdomen
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana
(conventional) hati yang normal tampak warna ke-abuan dan texture
merata (homogen). Bila ada kanker langsung dapat terlihat jelas berupa
benjolan (nodule) berwarna kehitaman, atau berwarna kehitaman
campur keputihan dan jumlahnya bervariasi pada tiap pasien bisa satu,
dua atau lebih atau banyak sekali danmerata pada seluruh hati, atau
kah satu nodule yang besar dan berkapsul atau tidak berkapsul.
Sayangnya USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan
kanker hati diameter 2 cm ± 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini
dilengkapi dengan perangkat lunak harmonik system bisa mendeteksi
benjolan kanker diameter 1 cm ± 2 cm, namun nilai akurasi ketepatan
diagnosanya hanya 60%. Rendahnya nilai akurasi ini disebabkan
walaupun USG conventional ini dapat mendeteksi adanya benjolan
kanker namun tak dapat melihat adanya pembuluh darah baru (neo-
vascular) (Rasyid, 2006).
4. CT Scan
Di samping USG diperlukan CT scan sebagai pelengkap yang
dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang
dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja.
CT scan yang saatini teknologinya berkembang pesat telah pula
9
menunjukkan akurasi yangtinggi apalagi dengan menggunakan teknik
hellical CT scan, multislice yang sanggup membuat irisan-irisan yang
sangat halus sehingga kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan.
Lebih canggih lagi sekarang CT scan sudah dapat membuat gambar
kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan
dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan
tubuh sekitarnya (Rasyid, 2006).
5. Angiography
Dicadangkan hanya untuk penderita kanker hati-nya yang dari
hasil pemeriksaan USG dan CT scan diperkirakan masih ada tindakan
terapi bedahatau non-bedah masih yang mungkin dilakukan untuk
menyelamatkan penderita. Pada setiap pasien yang akan menjalani
operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi. Dengan
angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya.
Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai
dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga
kali lebih besar. Angiografi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang
sebenarnya. Lebih lengkap lagi bila dilakukan CT angiography yang
dapat memperjelas batas antara kanker dan jaringan sehat di sekitarnya
sehingga ahli bedah sewaktu melakukan operasi membuang
kanker hati itu tahu menentukan dimana harus dibuat batas sayatannya
(Rasyid, 2006).
F. Diagnosis
Untuk tumor dengan diameter lebih 2 cm, adanya penyakit hati kronik,
hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT atau MRI) serta kadar
AFP serum ≥ 400 ng/ml adalah diagnostic (Budihusodo, 2007). Selain itu
menurut Parves et al (2004) kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa
10
dideteksi lebih awal terutamanyadengan pendekatan radiologi yang
akurasinya 70 ± 95% dan pendekatan laboratorium alphafetoprotein yang
akurasinya60±70%.
Tabel1. Kriteria Diagnostik HCC menurut Barcelona EASL conference
Kriteria Diagnostik HCC menurut Barcelona EASL conference
Kriteria sito-histologis
Kriteria non-invasif (khusus pasien sirosis hati):
Criteria radiologis : koinsidensi 2 cara imaging (USG/CT-spiral/MRI/angiografi)
 Lesi fokal >2 cm dengan hipervaskularisasi arterial
Kriteria kombinasi : satu cara imaging dengan kadar AFP serum:
 Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial
 Kadar AFP serum ≥ 400 ng/ml
Diagnosis histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi (untuk
lesi berdiameter >2 cm) dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan
pilihan terapi (Budihusodo, 2007).
Untuk tumor berdiameter < 2 cm, sulit menegakkan diagnosis secara
non invasive karena beresiko tinggi terjadinya diagnosis palsu akibat belum
matangnya vaskularisasi arterial pada nodul. Bila dengan cara imaging dan
biopsy tidak diperoleh diagnosis definitif, sebaiknya ditindaklanjuti dengan
pemeriksaan imaging serial setiap 3 bulan sampai diagnosis dapat
ditegakkan (Budihusodo, 2007).
11
Kriteria diagnosa Kanker Hati Selular (KHS) menurut PPHI
(Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu:
1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
2. AFP (Alphafetoprotein) yangmeningkatlebihdari400mgperml.
3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Com puted Tomograph y
Scann (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography,
ataupun Positron Emission Tomograph y (PET) yang menunjukkan
adanya KHS.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya KHS.
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan KHS.
Diagnosa KHS didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria
(Rasyad.,2006).
G. Penatalaksanaan berdasarkan stadium
Banyak sistem stadium KHS yang dipakai. Dengan memperhatikan
modalitas terapi, prognosis dan segi praktis maka sistem stadium dari
”Barcelona clinic liver cancer”:
Tabel 2. Sistem stadium KHS dan penatalaksanaannya
Stadium Ukuran tumor Fungsi hati Pilihan tatalaksana Harapan hidup
Stadium A
(awal)
A1
A2
A3
Tunggal < 5 cm
Tunggal < 5 cm
HP (-), bil.
Normal
HP (+), bil.
Normal
HP (+), bil.
Abnormal
Tatalaksana kuratif
A1: reseksi
A2-A4: transplantasi /
ablasi lokal
50-70% pada 5
tahun
12
A4
Tunggal < 5 cm
3 tumor, < 3 cm
Child pugh
A-B
Stadium B
(intermediet
)
Besar, > 5 cm,
multinodular
Child pugh
A-B
TACE (Transarterial
chemoembolization)
atau TAE
(Transarterial
embolization)
50% pada 3 tahun
Stadium C
(lanjut)
Invasi vaskuler /
penyebaran
ekstrahepatik
Child pugh
A-B
TACE atau TAE bila
tidak ada metastatis
ekstrahepatik
< 10% pada 3
tahun
Stadium D
“end stage”
Berapapun
Child pugh
C
Transplantasi (bila
tidak ada
kontraindikasi)
Simptomatis
Mati dalam waktu
< 1 tahun
Keterangan:
HP: Hipertensi Porta
(Setiawan dkk, 2007).
13
Gambar 1. Barcelona-Clinic Liver Cancer (BCLC)
Pengobatan hepatoma masih belum memuaskan, banyak kasus
didasari oleh sirosis hati. Pasien sirosis hati mempunyai toleransi yang
buruk pada operasi segmentektomi pada hepatoma. Selain operasi masih
ada banyak cara misalnya transplantasi hati, kemoterapi, emboli intra arteri,
injeksi tumor dengan etanol agar terjadi nekrosis tumor, tetapi hasil
tindakan tersebut masih belum memuaskan dan angka harapan hidup 5
tahun masih sangat rendah (Singgih dan Datau, 2006).
Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta seringnya multi-
nodularitas, resektabilitas kanker hati sangat rendah. Di samping itu kanker
hati juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif.
14
Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada-tidaknya sirosis, jumlah dan
ukuran tumor, serta derajat pemburukan hepatik.
a. Transplantasi hati
Bagi pasien kanker hati dan sirosis hati, transplantasi hati
memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan
menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Kematian
pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor di dalam
maupun di luar transplan. Rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat
oleh obat anti rejeksi yang harus diberikan. Tumor yang berdiameter
kurang dari 3 cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan
tumor yang diameternya lebih dari 5 cm (Ryder,2006).
b. Reseksi hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya
mempunyai fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi
hepatik. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena
operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang harapan hidupnya
menurun. Parameter yang dapat digunakan adalah skor child plug dan
derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat
hipertensi portal saja. Subjek yang bilirubin normal tanpa hipertensi
portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%.
Kontra indikasi tindakan ini adalah adanya metastatis ekstrahepatik,
kanker hati difus atau multifokal, sirosis stadium lanjut dan penyakit
penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani
operasi (Ryder,2006).
c. Ablasi tumor perkutan
15
Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai dengan bahan kimia
(alkohol, asam asetat) atau dengan memodifikasi suhunya
(radiofrequency, microwave, laser, cryoablation). Injeksi etanol
perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena
efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah.Dasar
kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular Dan
fibrosis. Untuk tumor kecil (diameter < 5cm) pada pasien sirosis
Chiild-Pugh A, angka harapan hidup 5 tahun dapat mencapai 50%. PEI
bermanfaat untuk pasien dengan tumor kecil yang resektabilitasnya
terbatas karena adanya sirosis hati non-Child A (Ryder, 2006).
Radio frequency Ablation (RFA) menunjukkan angka
keberhasilan yang lebih tinggi dari pada PEI dan efikasinya tertinggi
untuk tumor yang lebih besar dari 3 cm, namun tetap tidak
berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih
mahal dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan dengan PEI.
Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam
poliprenoik (polyprenoic acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat
menurunkan angka rekurensi pada bulan ke 38 secara bermakna
dibandingkan dengan kelompok plasebo (kelompok plasebo 49%,
kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%) (Ryder, 2006).
d. Terapi paliatif
Sebagian besar pasien kanker hati didiagnosis pada stasium
menengah-lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi
standarnya. Berdasarkan metaanalisis, pada stadium ini hanya
TAE/TACE (transarterial embolization / chemoembolization) saja
yang menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta dapat
meningkatkan harapan hidup pasien dengan kanker hati yang tidak
16
resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan
pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik (Child-Pugh A) serta
tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vaskular atau
penyebaran ekstrahepatik, yang tidak bisa diberi terapi radikal. Namun
bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik
akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping berat.Adapun
beberapa jenis terapi lain untuk kanker hati yang tidak resektabe;
seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen,
antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau
sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan
penilaian yang meyakinkan (Ryder,2006).
Tatalaksana komplikasi sirosis hati
1. Asitesdanedema
Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurkan
membatasi asupan garam dan air. Jumlah diet garam yang dianjurkan
biasanya sekitar dua gram per hari, dan cairan sekitar satu liter sehari.
Kombinasi diuretik spironolakton dan furosemid dapat menurunkan
dan menghilangkan edema dan asites pada sebagian besar pasien.
Bila pemakaian diuretik tidak berhasil (asites refrakter), dapat
dilakukan parasintesis abdomen untuk mengambil cairan asites
sedemikian besar sehingga menimbulkan keluhan nyeri akibat distensi
abdomen, dan atau kesulitan bernapas karena keterbatasan geralan
diafragma, parasintesis dapat dilakukan dalam jumlah lebih dari 5
liter (large volume paracentesis = LVP ). Pengobatan lain untuk asites
refrakter adalah TIPS (Transjugular intravenous porto systemic
shunting) atau transplantasi hati.
2. Perdarahan varises
17
Bila varises telah timbul di bagian diatal esofagus atau
proksimal lambung, pasien sirosis berisiko mengalami perdarahan
serius akibat pecahnya varises. Sekali varises mengalami perdarahan,
bertendensi perdarahan ulangdan setiap kali berdarah, pasien berisiko
meninggal. Karena itu pengobatan ditujukan untuk pencegahan
perdarahan pertama maupun pencegahan perdarahan ulang
dikemudian hari. Untuk tujuan tersebut, ada beberapa cara pengobatan
yang dianjurkan, termasuk pemberian obat dan prosedur
untuk menurunkan tekanan vena porta, maupun prosedur untuk
menurunkan tekanan vena porta, maupun prosedur untuk merusak atau
mengeradikasi varises.
Propanololataunadolol, merupakan obat penyekat reseptor beta non-
selektif. Efektif menurunkan tekanan vena porta, dan dapat dipakai
untuk mencegah perdarahan pertama maupun perdarahan ulang varises
pasiensirosis.
3. Ensefalopati hepatik
Pasien dengan siklus tidur abnormal, gangguan berpikir, perubahan
kepribadian, atau tanda-tanda lain enselopati hepatik, biasanya harus
mulai diobati dengan diet rendah protein dan laktulosa oral. Untuk
mendapat efek laktulosa, dosisnya harus sedemikian rupa sehingga
pasien buang air besar dua sampai tiga kali sehari. Bila gejala
enselopati masih tetap ada, antibiotika oral seperti neomisin atau
metronidazol dapat ditambahkan. Pada pasien ensefalopati hepatik
yang semakin jelas, ada tiga tindakan yang harus segera diberikan:
1) singkirkan penyebab enselopati yang lain,
2) perbaiki atau singkirkan faktor pencetus dan
18
3) segera mulai pengobatan empiris yang dapat berlangsung lama,
seperti : klisma, diet rendah atau tanpa protein, laktulosa,
natibiotika (neomisin, metronidazol atau vankomisin), asam amino
rantai cabang, bromokriptin, preparat zenk, dan atau ornitin
aspartat. Bila enselopati tetap ada, atau timbul berulang kali
dengan pengobatan empiris, dapat dipertimbangkan transplantasi
hati (Rasyid, 1994).
H. Prognosis
Tabel 3. Kriteria prognosis berdasarkan nilai child-pugh
Nilai
1 2 3
Ensefalopati - Minimal Berat/koma
Ascites Nihil Minimal Masif
Biliriubin (mg/dl) < 2 2-3 >3
Albumin > 3.5 2.8 – 3.5 < 2.8
PT < 1.7 1.7 – 2.3 > 2.3
Ket:childA=5-6,childB=7,9,childC=10-15
II.2. Anemia
A. Definisi
19
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kadar hemoglobin.
Menurunnya kadar hemoglobin biasanya disertsi dengan penurunan jumlah
eritrosit dan hematokrit (packed cell volume, PVC) tetapi kedua parameter
ini mungkin normal pada beberapa pasien yang memiliki kadar hemoglobin
subnormal (Hoffbrand, 2005).
Klasifikasi
Batasan anemia oleh WHO adalah:
Anak 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 gr/dl
Anak 6 tahun – 14 tahun : <12 gr/dl
Wanita hamil : < 11 gr/dl
Wanita dewasa tidak hamil:< 12 gr/dl
Laki dewasa : < 13 gr/dl
(Sudoyo, 2007).
Pada umumnya anemia diklasifikasikan dengan 2 cara :
1. Berdasarkan patofisiologi
a. Perdarahan
b. Hemolisis
c. Kegagalan sumsum tulang
2. Klasifikasi morfologik
Berdasarkan ukuran dan derajat warna eritrosit dapat mengukur
indeks eritrosit, MCV, MCH, MCHC dan penilaian hapusan darah tepi.
Berdasarkan morfologi maka anemia di bagi menjadi 3 golongan:
a. Anemia hipokrom mikrositer
- Anemia defisiensi besi
20
- Thalasemia
- anemia karena penyakit autoimun
- anemia sideroblastik
b. Anemia Normokrom normositer
- anemia pasca perdarahan acut
- anemia aplastik
- anemia hemolitik
- anemia mieloptisik
- anemia pada gagal ginjal kronik
- anemia pada leukemia akut
c. Anemia hiperkrom makrositer
- anemia megaloblastik:
▪ anemia defisiensi asam folat
▪ anemia defisiensi B12
- non megaloblastik:
▪ anemia pada penyakit hati kronik
▪ anemia pada hipotiroid
▪ anemia pada sindroma mielodisplastik
MCH = Hb x 10 pg (27-31 FL)
21
Eri
MCV =PCV x 10 FL (80-97 FL)
Eri
MCHC =Hb x 100% (32-36)
PVC
(Boediwarso dkk., 2007).
B. Manifestasi klinis :
Pada beberapa pasien anemia cukup berat, mungkin tidak terdapat gejala
atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin
mengalami kelemahan berat. Ada atau tidaknya gambaran klinis dapat
dipertimbangkan menurut tiga kriteria utama:
1. Kecepatan awitan
Anemia memburuk dengan cepat menimbukan lebih banyak gejala
dibandingkan dengan anemia awitan lambat.
2. Keparahan
22
Anemia ringan seringkali tidak menimbulkan gejala atau tanda, tetapi
gejal biasanya muncul jika hemboglobin kurang dari 9 – 10 g/dl.
Bahkan anemia berat (hemoglobin serendah 6,0 g/dl) dapat menimbukan
gejala yang sangat sedikit jika awitan sangat lambat dan pada subjek
yang muda.
3. Usia
Orang tua mentoleransi anemia dengan kurang baiknya dibandingkan
orang muda karena adanya efek kekurangan oksigen pada organ jika
terjadi gangguan kompensasi kardiovaskuler (peningkatan curah jantung
akibat peningkatan volume sekuncup dan takikardia).
Gejala
Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek
khususnya saat berolahraga, kelemahan, letargi, palpitasi, dan sakit kepala.
Pada pasien tua mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina pektoris.
Gangguan penglihatan akibat perdarahan retina dapat mempersulit anemia
yang sangat berat, khususnya jiak awitannya cepat.
Tanda
Dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda umum
meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin
kurang dari 9-10 g/dl. Sebaiknya warna kulit bukan tanda yang dapat
diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukan takikardi, nadi
kuat, kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pda apeks.
Gambaran gagal jantung kongestif mungkin ditemukan, khususnya pada
orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda yang spesifik
dikaitkan dengan jenis anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan
defisiensi besi, ikterus dengan anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus
tungkai dengan anemia sel sabit dan anemia hemolotik lain deformitas
23
tulang dengan talasemia mayor dan anemia heolitik kongenital lain yang
berat (Hoffbrand, 2005).
C. Penatalaksanaan
Anemia merupakan kelaina fisiologis, bukan suatu diagnosis. Oleh
karenanya harus ditegakkan diagnosis akhir berupa suatu penyakit.
1. Langkah pertama dalam melakukannya adalah mengelompokkan
anemia menurut ukuran eritrosit:
a. Anemia mikrositik/hipokromik: ukuran eritrosit lebih kecil dari
normal (mikrositik) dengan kadar hemoglobin lebih rendah dari
normal (hipokromik).
b. Anemia normokromik dan normositik: kadang-kadang disebut
“anemia karena penyakit kronis”. Ukuran eritrosit normal atau
hanya sedikit mengecil dan konsentrasi hemoglobin normal.
Anemia karena penyakit kronis terjadi sebagian karena efek
inhibitor dari interleukin 1 pada eritropoesis dan defisiensi
eritropoetin (yang terakhir terutama pada gagal ginjal). Sering
terjadi komplikasi defisiensi Fe dan bisa menjelaskan bila ada
penuruna kadar hemoglobin
c. Anemia makrositik: ukuran eritrosit lebih besar dari normal
(Davey, 2005).
2. Cari penyebabnya dan berikan pengobatan yang memadai:
a. Anemia defisiensi (besi dan folat) dapat diberikan tablet zat besi
yang mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi
elementer dan 0,25 mg asam folat Dan vit.C 500 mg
24
b. Pada anemia hemolitik dengan menekan proses hemolisis seperti
splenektomi, imuosupresif
c. Pada anemia aplastik, merangsang sumsum tulang atau cangkok
sumsum tulang.
3. Bila anemia timbul sekunder akibat penyakit lain, dengan pengobatan
penyakit dasarnya anemia akan membaik. Pada anemia jenis ini
umumnya tidak diperlukan obat-obat antianemia kecuali bila
progresif dan timbul keluhan
4. Transfusi darah hanya bila diberikan jika:
a. Perdarahan akut yang disertai dengan perubahan hemodinamik
b. Pada anemia kronis, progesif dan terdapat keluhan (packed red
cell)
c. Bila terdapat kegagalan faal jantung penderita harus istirahat
total dan diberikan diuretika (Boediwarsono dkk, 2007).
II.3. Hipertensi
A. Definisi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arteri sistemik yang
konsisten. Hipertensi didefinisikan oleh JNC-7 sebagai tekanan darah
sistole sebesar 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastole 90mmHg atau
lebih secara terus menerus (JNC-7, 2003).
25
B. Faktor Resiko Hipertensi
Faktor pemicu hipertensi dibedakan atas:
1. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
a) Umur
Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar
sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi
yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur 60
tahun (Wim, 2003).
b) Jenis Kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata
terdapat angka yang cukup bervariasi. Menurut Hajjar and
Kotchen (2003) bahwa wanita lebih banyak yang menderita
hipertensi dibanding pria, hal ini disebabkan karena terdapatnya
hormon estrogen pada wanita.
c) Riwayat Keluarga
Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung
meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Menurut Sheps,
hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang
dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup
kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika
kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkinan kita
mendapatkan penyakit tersebut 60% (Carter, 1997).
26
d) Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti
dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak
pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot
(berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat
genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara
alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan
menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar
30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Hajjar and Kotchen,
2003).
2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol
a) Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara
rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak
dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar
tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari (Vasan, 2001).
Konsumsi Asin/Garam
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis
hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku
bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang
dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang
rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh
asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan
27
volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Garam
menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik
cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi
garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata
rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan
darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan
tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau
2400 mg/hari. Menurut Alison Hull, penelitian menunjukkan
adanya kaitan antara asupan natrium dengan hipertensi pada
beberapa individu. Asupan natrium akan meningkat menyebabkan
tubuh meretensi cairan yang meningkatkan volume darah (Carter,
2003).
b) Konsumsi Lemak Jenuh
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan
peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi.
Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis
yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan
konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang
bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak
jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian
dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat
menurunkan tekanan darah (Bakris, 2000).
c) Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih
belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan
peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah
28
berperan dalam menaikkan tekanan darah. Diperkirakan konsumsi
alkohol berlebihan menjadi penyebab sekitar 5-20% dari semua
kasus hipertensi. Mengkonsumsi tiga gelas atau lebih minuman
berakohol perhari meningkatkan risiko mendapat hipertensi
sebesar dua kali (Wim, 2003).
d) Obesitas
Obesitas atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks
massa tubuh > 25 (berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan
(m)) juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya
hipertensi. Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita
hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita
hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang
tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau
normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan
aktivitas renin plasma yang rendah. Obesitas meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa
tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok
oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah
yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat
sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri.
Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut
jantung dan kadar insulin dalam darah.
e) Olahraga
29
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita
hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan.
Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi
denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus
bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering
otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang
dibebankan pada arteri (Hernelahti et al, 1998).
f) Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas
saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara
bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat
tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini secara pasti belum
terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan
pemaparan tehadap stress ternyata membuat binatang tersebut
menjadi hipertensi (Saseen, 2003).
C. Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dikelompokkan dalam dua
kategori besar, yaitu:
1. Hipertensi Primer
Artinya hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dengan
jelas. Berbagai faktor yang diduga turut berperan sebagai penyebab
hipertensi primer seperti bertambahnya umur, stress psikologis, dan
hereditas (keturunan).
30
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang telah diketahui
penyebabnya. Sampai saat ini sekitar 5% kasus hipertensi telah
diketahui penyebabnya. Penyebab tersering dari hipertensi sekunder
adalah penyakit ginjal, penyakit endokrin, koarktasio aorta dan obat
yang mempengaruhi hipertensi.
a. Penyakit Ginjal
Semua bentuk kerusakan parenkim ginjal berpengaruh
signifikan pada hipertensi. Hal ini termasuk glomerulonefritis akut
dan kronik, pyelonefritis kronis dan penyakit polikistik ginjal.
Hipertensi karena obstruksi arteri renal disebut hipertensi
renovaskular, hipertensi ini dapat disembuhkan. Merupakan
penyebab tersering pada hipertensi sekunder. Mekanisme
hipertensi umumnya berhubungan dengan aktivasi dari sistem
renin-angiotensin.
31
Gambar 2. Sistem renin angiotensin
b. Penyakit Endokrin
Aldosteronisme primer patut dipertimbangkan jika terdapat
hipokalemi bersama hipertensi. Tingginya kadar aldosteron dan
renin yang rendah akan mengakibatkan kelebihan atau overload
natrium dan air. Biasanya disebabkan adenoma jinak soliter atau
hiperplasia adrenal bilateral.
Sindrom Cushing disebabkan hiperplasia adrenal bilateral yang
disebabkan oleh adenohipofisis yang menghasilkan ACTH
(adenocorticotropic hormone) pada dua pertiga kasus, dan tumor
adrenal primer pada sepertiga kasus.
c. Feokromositoma
Feokromositoma disebabkan tumor sel kromafin asal neural
yang mensekresikan katekolamin, 90% berasal dari kelenjar
adrenal. Kurang lebih 10% terjadi ditempat lain dalam rantai
simpatis, 10% dari tumor ini ganas, dan 10% adenoma adrenal
adalah bilateral. Feokromasitoma dicurigai jika tekanan darah
berfluktuatif tinggi, disertai takikardia, berkeringat atau edema
paru karena gagal jantung. Kurang lebih 20% feokromasitoma
merupakan penyakit familial yang terkait gen autosomal dominan.
Pewarisan feokromasitoma mungkin terkait dengan multiple
endokrin neoplasia (MEN) tipe 2A dan tipe 2B.
d. Koarktasio aorta
32
Paling sering mempengaruhi aorta pada distal dari arteri
subklavia kiri dan menimbulkan hipertensi pada lengan dan
menurunkan tekanan pada kaki, dengan denyut nadi arteri
femoralis rendah atau tidak ada.
Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 untuk pasien dewasa
(umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan
darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis :
Tabel 4. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC 7
Klasifikasi Tekanan
Darah
TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Normal < 120 And < 80
Prehipertensi 120-139 Or 80-89
Hipertensi stage I 140-159 Or 90-99
Hipertensi stage II ≥160 Or ≥100
(National High Blood Pressure Education Program, 2002).
D. Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri
dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur,
tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS
diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi
sewaktu bilik jantung diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah
berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor
tersebut adalah:
33
1. Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau
variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons
terhadap stress psikososial.
2. Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan
vasokonstriktor.
3. Asupan natrium (garam) berlebihan.
4. Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium.
5. Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya
produksi angiotensin II dan aldosteron.
6. Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan
peptide natriuretik.
7. Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi
tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal.
8. Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada
pembuluh darah kecil di ginjal.
9. Diabetes mellitus.
10. Obesitas.
11. Meningkatnya aktivitas vascular growth factor.
12. Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,
karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular.
E. Manifestasi Klinis Hipertensi
34
Hipertensi itu sebagian besar tanpa disertai gejala yang mencolok dan
manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun
berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah,
akibat tekanan darah intrakranium.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.
Peninggian tekanan darah kadang merupakan satu-satunya gejala, terjadi
komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau jantung. Gejala lain adalah sakit
kepala, epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat ditengkuk, sukar
tidur, mata berkunang-kunang dan pusing (ALLHAT Officers and
Coordinators for the ALLHAT Coolaborative Research Group, 2002).
F. Penatalaksanaan Hipertensi
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal
sebelum penambahan obat-obatan hipertensi, dibedakan menjadi
beberapa hal:
a. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang
hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah
ke berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung.
35
Selain itu pengurangan makanan berlemak dapat menurunkan
risiko aterosklerosis (Benson, 2002).
b. Olahraga dan aktifitas fisik
Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan
aktifitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah,
dan menjaga kebugaran tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang
baik dilakukan untuk penderita hipertensi. Dianjurkan untuk
olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat
menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu
turun (ALLHAT Officers and Coordinators for the ALLHAT
Coolaborative Research Group, 2002).
c. Perubahan pola makan
 Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya
penurunan berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal
pengobatan hipertensi. Pembatasan asupan garam sampai 60
mmol per hari, berarti tidak menambahkan garam pada waktu
makan, memasak tanpa garam, menghindari makanan yang
sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam
(Haynes, 2002).
 Diet rendah lemak jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya
aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah.
Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam
makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan
konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari
36
minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber
dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah (Bakris, 2000).
d. Menghilangkan stres
Cara untuk menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup
dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari
dapat meringankan beban stres.
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah :
a. Target tekanan darah < 140/90 mmHg untuk individu berisiko
tinggi (diabetes, gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg.
b. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
c. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama yang lazim digunakan
untuk pengobatan hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta
adrenergik (β-bloker), penghambat angiotensin-converting enzyme
(ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin-
receptor blocker, ARB), antagonis kalsium.
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara
bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam
beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi
dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam
dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan
satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada
37
tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai
dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan
darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah
meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensi
yang lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari
dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal ataupun kombinasi.
Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat
meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien
karena jumlah obat yang diminum bertambah. Kombinasi yang telah
terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :
 Diuretika dan ACEI atau ARB
 CCB dan ACEI atau ARB
 CCB dan BB
 CCB dan diuretika
 AB dan BB
 Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat
Gambar 3. Kombinasi obat
38
(Yogiantoro, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Bakris, G.L. 2000. Angiotensin-Converting-Enzyne-Inhibitor-Associated Elevations
In Serum Creatinine. Arch Intern Med 2000;160:685-693.
39
Benson, J. 2002. Patient’s Decision About Whether or Not To Take Antihypertensive
Drugs: qualitative study. BMJ 2002;325:873-878
Budihusodo, U.. 2007. Karsinoma Hati dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1
Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Pp 455-59.
Boediwarsono, 2007. Anemia dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Surabaya. Airlangga
University Press.
Boediwarsono, Soebandri, Sugianto, Ashariati, A., Sedana, M.P., Ugroseno. 2007.
Anemia dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi Keempat. Jakarta: Balai
Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pp 139-42.
Carter, B.L. 1997. Evaluation of Hypertensive Patients after Care Provided by
Community Pharmacists in a Rural Setting. Pharmacotherapy 1997;17(6):1274-
1285. Abstract.
Carter, B.L. 2003. How Pharmacist Can Assist Physicians with Controlling Blood
Pressure. J Clin Hypertens 2003;5(1):31-37
Davey, P. 2005. Anemia Dalam At A Glance Medicine. Jakarta: Erlanggga Medical
Series. Pp 78-79.
Desen, W. 2008. Tumor Abdomen. Dalam Buku Ajar Onkologi Klinik edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
El-Serag, H.B. 2011. Hepatocellular Carcinoma. N Engl J Med 2011; 365:1118-
1127 September 22, 2011.
40
Gijn, J.V. 2002. The PROGRESS Trial: Preventing Stroke by Lowering Blood
Pressure in Patients with Cerebral Ischemia. Stroke 2002;33:319
Hajjar I, Kotchen TA. Trends In Prevalence, Awareness, Treatment, And Control Of
Hypertension In The United States, 1998 – 2000. JAMA 2003;290:199-206h
Haynes, R.B. 2002. Interventions To Enhance Patients’ Adherence To Medication
Prescription. JAMA 2002;288:2868-79
Hernelahti M., Kujala, U.M., Kaprio, J. 1998. Hypertension in master endurance
athletes. J. Hypertens 1998;16(11):1573-7 (ISSN: 0263 – 6352).
Hoffbrand, A.V. 2007. Kapita Selekta Hematologi Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Pp 18-28.
JNC-7. 2003. Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment Of High Blood
Pressure
National High Blood Pressure Education Program. 2002. The Seventh Report of the
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure. U.S.D.E. Partment Of H Ealth And Human Services.
Parvez, T., Parvez, B., and Khurram, P. Screening for Hepatocellular Carcinoma.Jounal
JCPSPSeptember2004Volume14No.09
Rasyad,A. 2006 . Pentingnya Peranan Radiologi Dalam Deteksi Dini dan Pengobatan
KankerHatiPrimer. USU Press. Sumatra.
Rasyid, A. 1994. Satu Kasus Karsinoma Hepato Selular Diameter Lebih dari 10 cm.
Diagnostik dan Terapi. Majalah Radiologi Indonesia Tahun III No. 1.
Rasyid, A. 2006. Pentingnya Peranan Radiologi Dalam Deteksi Dini dan
Pengobatan Kanker Hati primer. Sumatra: USU press.
41
Rasyid, A. 2006. Temuan Ultrasonografi Kanker Hati Hepatoseluler Hepatoma.
Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 39. No 2.
Ryder , S.D. 2003. Guidelines For The Diagnosis And Treatment Of Hepatocellular
Carcinoma(HCC) In Adults. Gut 2003; 52 – 56.
Saseen, J.J. 2003. Treatment of Uncomplicated Hypertension. Are ACE inhibitors And
Calcium Channel Blockers As Effective As Diuretics And Beta-Blockers. J Am
Board Fam Pract 2003;16:156-164
Setiawan, P.B., Kusumobroto, H.O., Oesman, N., Pangestu, A.,Nusi, I.A., Heri P.
2007. Karsinoma Hepatoselular dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Surabaya:
Airlangga University Press. pp 137-38.
Singgih B., Datau E.A., 2006. Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal. Diakses
darihttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08_150_HepatomaHepatorenal.pdf/0
8_150_He patomaHepatorenal.html
Sudoyo, 2007. Hematologi. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi Keempat. Jakarta:
Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soresi M., Maglirisi C., Campgna P. 2003. Alphafetoprotein In The Diagnosis
Of Hepatocellular Carcinoma. Anticancer Research. 2003;23;1747-53.
Vasan, R.S. 2001. Impact of High Normal Blood Pressure on the Risk of
Cardiovascular Disease, NEJM 2001;345:1291-1297.
Wing, L.M. 2003. A Comparison Of Outcomes With Angiotensin-Converting Enzyme
Inhibitors And Diuretics For Hypertension In The Elderly. N Eng J Med
2003;348: 583-592
Yogiantoro, M. 2007. Hipertensi Esensial dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1
Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Pp 599-603.
42
CASE REPORT SEORANG LAKI-LAKI 66 TAHUN MENDERITA
HEPATOMA
43
Penguji:
dr. Asna Rosida, Sp. PD
Disusun oleh:
Deviani Ayu Laraswati, S. Ked
J5000 80 101
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
44

More Related Content

Viewers also liked

168184808 discovery-channel
168184808 discovery-channel168184808 discovery-channel
168184808 discovery-channelhomeworkping8
 
216059415 case-peritonitis
216059415 case-peritonitis216059415 case-peritonitis
216059415 case-peritonitishomeworkping8
 
167702342 case-stroke-piriformis-avn-doc
167702342 case-stroke-piriformis-avn-doc167702342 case-stroke-piriformis-avn-doc
167702342 case-stroke-piriformis-avn-dochomeworkping8
 
164574399 comp edsyllabus-04192013
164574399 comp edsyllabus-04192013164574399 comp edsyllabus-04192013
164574399 comp edsyllabus-04192013homeworkping8
 
164618284 admin-cases
164618284 admin-cases164618284 admin-cases
164618284 admin-caseshomeworkping8
 
213218364 harvard-management-case-study-from-habitat
213218364 harvard-management-case-study-from-habitat213218364 harvard-management-case-study-from-habitat
213218364 harvard-management-case-study-from-habitathomeworkping8
 
212827032 migration-of-labour-from-india
212827032 migration-of-labour-from-india212827032 migration-of-labour-from-india
212827032 migration-of-labour-from-indiahomeworkping8
 
209783605 research-study-about-livelihood-programs
209783605 research-study-about-livelihood-programs209783605 research-study-about-livelihood-programs
209783605 research-study-about-livelihood-programshomeworkping8
 
168094125 ipo-case-study
168094125 ipo-case-study168094125 ipo-case-study
168094125 ipo-case-studyhomeworkping8
 
212211972 labor-cases-week-13
212211972 labor-cases-week-13212211972 labor-cases-week-13
212211972 labor-cases-week-13homeworkping8
 
ReSo pour les entreprises - Manoo 3. e-Reputation
ReSo pour les entreprises - Manoo 3. e-ReputationReSo pour les entreprises - Manoo 3. e-Reputation
ReSo pour les entreprises - Manoo 3. e-ReputationOlivier A. Maillard
 
Tests & recette - Les fondamentaux
Tests & recette - Les fondamentauxTests & recette - Les fondamentaux
Tests & recette - Les fondamentauxCOMPETENSIS
 

Viewers also liked (13)

168184808 discovery-channel
168184808 discovery-channel168184808 discovery-channel
168184808 discovery-channel
 
216059415 case-peritonitis
216059415 case-peritonitis216059415 case-peritonitis
216059415 case-peritonitis
 
167702342 case-stroke-piriformis-avn-doc
167702342 case-stroke-piriformis-avn-doc167702342 case-stroke-piriformis-avn-doc
167702342 case-stroke-piriformis-avn-doc
 
164574399 comp edsyllabus-04192013
164574399 comp edsyllabus-04192013164574399 comp edsyllabus-04192013
164574399 comp edsyllabus-04192013
 
164618284 admin-cases
164618284 admin-cases164618284 admin-cases
164618284 admin-cases
 
213218364 harvard-management-case-study-from-habitat
213218364 harvard-management-case-study-from-habitat213218364 harvard-management-case-study-from-habitat
213218364 harvard-management-case-study-from-habitat
 
212692777 cp
212692777 cp212692777 cp
212692777 cp
 
212827032 migration-of-labour-from-india
212827032 migration-of-labour-from-india212827032 migration-of-labour-from-india
212827032 migration-of-labour-from-india
 
209783605 research-study-about-livelihood-programs
209783605 research-study-about-livelihood-programs209783605 research-study-about-livelihood-programs
209783605 research-study-about-livelihood-programs
 
168094125 ipo-case-study
168094125 ipo-case-study168094125 ipo-case-study
168094125 ipo-case-study
 
212211972 labor-cases-week-13
212211972 labor-cases-week-13212211972 labor-cases-week-13
212211972 labor-cases-week-13
 
ReSo pour les entreprises - Manoo 3. e-Reputation
ReSo pour les entreprises - Manoo 3. e-ReputationReSo pour les entreprises - Manoo 3. e-Reputation
ReSo pour les entreprises - Manoo 3. e-Reputation
 
Tests & recette - Les fondamentaux
Tests & recette - Les fondamentauxTests & recette - Les fondamentaux
Tests & recette - Les fondamentaux
 

Similar to 215022934 case1-hepatoma-dr-asna

Kanker hati.docx
Kanker hati.docxKanker hati.docx
Kanker hati.docxPutryRido
 
Apakah kanker ginjal itu
Apakah kanker ginjal ituApakah kanker ginjal itu
Apakah kanker ginjal ituReski Amaliyah
 
[2019] Pedoman Kanker Ginjal - Edisi 2.docx
[2019] Pedoman Kanker Ginjal - Edisi 2.docx[2019] Pedoman Kanker Ginjal - Edisi 2.docx
[2019] Pedoman Kanker Ginjal - Edisi 2.docxJohanesWerluka
 
TUMOR HATI PADA ANAK pdt.docx
TUMOR HATI PADA ANAK pdt.docxTUMOR HATI PADA ANAK pdt.docx
TUMOR HATI PADA ANAK pdt.docxprimadita
 
169949136 case-sirosis
169949136 case-sirosis169949136 case-sirosis
169949136 case-sirosishomeworkping8
 
Lung Cancer (kanker Paru paru _ Ilmu.kedokteran)
Lung Cancer (kanker Paru paru _ Ilmu.kedokteran) Lung Cancer (kanker Paru paru _ Ilmu.kedokteran)
Lung Cancer (kanker Paru paru _ Ilmu.kedokteran) Putri Shyafira El-Maryam
 
K. 5 Kanker Kolorektal.pptx
K. 5 Kanker Kolorektal.pptxK. 5 Kanker Kolorektal.pptx
K. 5 Kanker Kolorektal.pptxNhini3
 
PPT KANKER GASTER Hariady Salam.pptx
PPT KANKER GASTER Hariady Salam.pptxPPT KANKER GASTER Hariady Salam.pptx
PPT KANKER GASTER Hariady Salam.pptxadoctor277
 
fdokumen.com_ca-kolon.ppt
fdokumen.com_ca-kolon.pptfdokumen.com_ca-kolon.ppt
fdokumen.com_ca-kolon.pptOdesyafar
 
Kelainan_GastroIntestinal_GIT.pptx
Kelainan_GastroIntestinal_GIT.pptxKelainan_GastroIntestinal_GIT.pptx
Kelainan_GastroIntestinal_GIT.pptxnandananda776342
 
Asites pada ca colon
Asites pada ca colonAsites pada ca colon
Asites pada ca colonarie setyawan
 

Similar to 215022934 case1-hepatoma-dr-asna (20)

Leaflet Kanker hati
Leaflet Kanker hatiLeaflet Kanker hati
Leaflet Kanker hati
 
Kanker hati.docx
Kanker hati.docxKanker hati.docx
Kanker hati.docx
 
refrat-abdomen-2.ppt
refrat-abdomen-2.pptrefrat-abdomen-2.ppt
refrat-abdomen-2.ppt
 
Lp
LpLp
Lp
 
Apakah kanker ginjal itu
Apakah kanker ginjal ituApakah kanker ginjal itu
Apakah kanker ginjal itu
 
[2019] Pedoman Kanker Ginjal - Edisi 2.docx
[2019] Pedoman Kanker Ginjal - Edisi 2.docx[2019] Pedoman Kanker Ginjal - Edisi 2.docx
[2019] Pedoman Kanker Ginjal - Edisi 2.docx
 
Makalah kanker kolon print
Makalah kanker kolon printMakalah kanker kolon print
Makalah kanker kolon print
 
TUMOR HATI PADA ANAK pdt.docx
TUMOR HATI PADA ANAK pdt.docxTUMOR HATI PADA ANAK pdt.docx
TUMOR HATI PADA ANAK pdt.docx
 
Kanker prostat
Kanker prostatKanker prostat
Kanker prostat
 
IBD kel 4.pptx
IBD kel 4.pptxIBD kel 4.pptx
IBD kel 4.pptx
 
169949136 case-sirosis
169949136 case-sirosis169949136 case-sirosis
169949136 case-sirosis
 
Lung Cancer (kanker Paru paru _ Ilmu.kedokteran)
Lung Cancer (kanker Paru paru _ Ilmu.kedokteran) Lung Cancer (kanker Paru paru _ Ilmu.kedokteran)
Lung Cancer (kanker Paru paru _ Ilmu.kedokteran)
 
K. 5 Kanker Kolorektal.pptx
K. 5 Kanker Kolorektal.pptxK. 5 Kanker Kolorektal.pptx
K. 5 Kanker Kolorektal.pptx
 
PPT KANKER GASTER Hariady Salam.pptx
PPT KANKER GASTER Hariady Salam.pptxPPT KANKER GASTER Hariady Salam.pptx
PPT KANKER GASTER Hariady Salam.pptx
 
fdokumen.com_ca-kolon.ppt
fdokumen.com_ca-kolon.pptfdokumen.com_ca-kolon.ppt
fdokumen.com_ca-kolon.ppt
 
Kelainan_GastroIntestinal_GIT.pptx
Kelainan_GastroIntestinal_GIT.pptxKelainan_GastroIntestinal_GIT.pptx
Kelainan_GastroIntestinal_GIT.pptx
 
Hepatitis
HepatitisHepatitis
Hepatitis
 
Asites pada ca colon
Asites pada ca colonAsites pada ca colon
Asites pada ca colon
 
ASKEP KANKER new.pdf
ASKEP KANKER new.pdfASKEP KANKER new.pdf
ASKEP KANKER new.pdf
 
ppt ca rekti.pptx
ppt ca rekti.pptxppt ca rekti.pptx
ppt ca rekti.pptx
 

Recently uploaded

PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxadimulianta1
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxazhari524
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
 
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxLK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxPurmiasih
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxRizkyPratiwi19
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikaAtiAnggiSupriyati
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxssuser50800a
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..ikayogakinasih12
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxsukmakarim1998
 

Recently uploaded (20)

PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxLK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
 

215022934 case1-hepatoma-dr-asna

  • 1. Get Homework/Assignment Done Homeworkping.com Homework Help https://www.homeworkping.com/ Research Paper help https://www.homeworkping.com/ Online Tutoring https://www.homeworkping.com/ 1
  • 2. click here for freelancing tutoring sites BAB II DISKUSI II.1. Hepatoma A. Definisi Karsinoma hepatoseluler (hepatoceluller carcinoma/HCC) merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit, demikian pula dengan karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma (Budihusodo, 2007). Hepatoma primer secara histologis dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Karsinoma hepatoselular, hepatoma primer yang berasal dari sel hepatosit 2. Karsinoma kolangioselular, hepatoma primer yang berasal dari epitel saluran empedu intrahepatik 3. Karsinoma campuran hepatoselular dan kolangioselular (Desen, 2008). B. Faktor resiko Faktor risiko utama untuk karsinoma hepatoseluler termasuk infeksi Hepatitis B Virus (HBV) atau Hepatitis C Virus (HCV), penyakit hati alkoholik, dan penyakit hati berlemak nonalkohol. Penyebab kurang umum termasuk hemochromatosis keturunan, alpha 1 -antitrypsin, hepatitis autoimun, beberapa porfiria, dan penyakit Wilson. Distribusi faktor-faktor risiko antara pasien dengan hepatocellular carcinoma sangat bervariasi, tergantung pada daerah geografis dan ras atau kelompok etnis (El-Serag, 2011). 2
  • 3. 1. Virus hepatitis Di daerah endemik di Asia dan Afrika, infeksi HBV ditularkan dari ibu ke bayi yang baru lahir sampai dengan 90% dari orang yang terinfeksi memiliki infeksi kronis, dengan integrasi sering HBV ke dalam DNA inang. Meskipun HBV dapat menyebabkan karsinoma hepatoseluler tanpa adanya sirosis, mayoritas 70 sampai 80% dari pasien dengan HBV-terkait karsinoma hepatoseluler memiliki sirosis. Risiko karsinoma hepatoseluler antara orang-orang dengan infeksi HBV kronis (mereka yang positif untuk antigen permukaan hepatitis B [HBsAg]) akan meningkat jika mereka adalah laki-laki atau tua dan telah terinfeksi untuk waktu yang lama, memiliki riwayat keluarga hepatoseluler karsinoma, serta telah terkena aflatoksin mikotoksin, menggunakan alkohol atau tembakau, koinfeksi dengan HCV atau hepatitis delta virus, memiliki tingkat replikasi HBV hepatoseluler (seperti yang ditunjukkan oleh tingginya tingkat HBV DNA), atau terinfeksi dengan genotipe HBV. HBV DNA juga dapat dideteksi pada orang yang HBsAg-negatif, tetapi hubungan dengan risiko karsinoma hepatoseluler tidak jelas dalam kasus ini (El-Serag, 2011). 2. Sirosis Sebagian besar faktor risiko mengarah pada pembentukan dan perkembangan sirosis 80 sampai 90% dari pasien dengan karsinoma hepatoseluler. Risiko 5 tahun kumulatif untuk pengembangan karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan sirosis berkisar antara 5% dan 30%, tergantung pada penyebabnya (risiko tertinggi pada mereka yang terinfeksi HCV), daerah atau kelompok etnis (17 % di Amerika Serikat dan 30% di Jepang) (El-Serag, 2011). 3
  • 4. Individu-individu dengan kebanyakan tipe-tipe sirosis hati berada pada resiko yang meningkat mengembangkan kanker hati. Sebagai tambahan pada kondisi-kondisi yang dijelaskan di atas (HBV, HBC, alkohol, dan hemocromatosis), kekurangan alpha 1-anti tripsin, suatu kondisi yang diturunkan yang dapat menyebabkan emfisema dan sirosis serta dapat menjurus ke kanker hati. Kanker hati juga erat hubungannya dengan tyrosinemia, suatu keturunan biokimia pada masa kanak-kanak yang berakibat sirosis dini. Penyebab-penyebab tertentu dari sirosis lebih jarang dikaitkan dengan kanker hati daripada penyebab-penyebab lainnya. Contohnya: kanker hati jarang terlihat dengan sirosis pada penyakit Wilson (metabolisme tembaga yang abnormal) atau primary sclerosing colangitis (luka parut dan penyempitan pembuluh-pembuluh empedu yang kronis). Diperkirakan kanker hati juga jarang ditemukan primary billiary cirrhosis (PBC). Banyak studi menunjukan bahwa frekuensi kanker hati pada PBC adalah sebanding dengan yang pada bentuk- bentuk lain sirosis (Singgih dan Datau, 2006). 3. Obesitas dan Diabetes Melitus Beberapa dari pasien lebih cenderung memiliki fitur klinis atau biokimia dari penyakit hati berlemak (obesitas) atau sindrom metabolik (misalnya, diabetes tipe 2). Dalam studi berbasis populasi kohort di Amerika Serikat, Skandinavia, Taiwan, dan Jepang, karsinoma hepatoseluler adalah antara 1,5 sampai 2,0 kali lebih mungkin untuk mengembangkan pada orang obesitas seperti pada mereka yang tidak obesitas. Beberapa studi kasus-kontrol dan studi kohort beberapa telah menunjukkan bahwa, rata-rata karsinoma hepatoseluler adalah dua kali lebih mungkin untuk mengembangkan 4
  • 5. pada orang dengan diabetes tipe 2 dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes (El-Serag, 2011). Obesitas dan diabetes juga terlibat sebagai faktor risiko untuk kanker hati, kemungkinan besar melalui pengembangan non-alcoholic fattty liver disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH). Disamping itu, diabetes tipe 2 dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker (Budihusodo, 2007). 4. Alkohol Penggunaan alkohol berat (didefinisikan sebagai konsumsi harian 40 sampai 60 gram alkohol, dengan minuman yang mengandung 13,7 g standar, atau 0,6 oz) adalah faktor risiko karsinoma hepatoseluler baik secara independen (dengan peningkatan risiko dengan faktor 1,5 sampai 2,0) dan dalam kombinasi dengan infeksi HCV serta risiko lebih rendah dengan infeksi HBV (El-Serag, 2011). 5. Aflatoxin B1 Aflatoxin B1 adalah kimia yang diketahui paling berpotensi menjadi kanker hati. Ia adalah suatu produk dari suatu jamur yang disebut Aspergillus flavus, ditemukan dalam makanan yang telah tersimpan dalam suatu lingkungan yang panas dan lembab. Jamur ini ditemukan pada makanan seperti kacang tanah, kedelai, beras, jagung, dan gandum. Aflatoxin B1 telah dilibatkan dalam perkembangan kanker hati di Cina Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Ia diperkirakan 5
  • 6. menyebabkan kanker dengan menghasilkan mutasi pada gen p53. Mutasi-mutasi ini bekerja dengan mengganggu fungsi gen penekan tumor (El-Serag, 2011). C. Patofisiologi 6
  • 8. D. Manifestasi klinis 1. Fase dini umumnya asimptomatis. 2. Fase lanjut: tidak dikenal tanda yang patognomonis / khas. Keluhan dapat berupa penurunan berat badan, nyeri abdomen, “fatigue”, anoreksia, mual, sebah, nafsu makan menurun. Pada metastatis ke tulang penderita mengeluh nyeri tulang (Setiawan dkk., 2007). E. Pemeriksaan penunjang 1. Alphafetoprotein Sensitivitas Alphafetoprotein (AFP) untuk mendiagnosa HCC 60% ± 70%, artinya hanya pada 60% ± 70% saja dari penderita kanker hati ini menunjukkan peninggian nilai AFP, sedangkan pada 30% ± 40% penderitanilai AFP nya normal. Spesifitas AFP hanya berkisar 60% artinya bila ada pasien yang diperiksa darahnya dijumpaiAFPyang tinggi, belum bisa dipastikan hanya mempunyai kanker hati ini sebab AFP juga dapat meninggi pada keadaan bukan kanker hati seperti pada sirrhosis hati dan hepatitiskronik, kanker testis, dan teratoma (Soresi et al., 2003). 2. AJH (Aspirasi Jarum Halus) Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma. Tindakan biopsi aspirasi yang dilakukan oleh ahli patologi anatomi ini hendaknya dipandu oleh seorang ahli radiologi dengan menggunakan peralatan Ultrasonography (USG) atau CT scan fluoro scopy sehingga hasil yang diperoleh akurat. Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CT scan mudah, 8
  • 9. aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat disekitar tumor (Rasyid, 2006). 3. Ultrasonography (USG)Abdomen Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen). Bila ada kanker langsung dapat terlihat jelas berupa benjolan (nodule) berwarna kehitaman, atau berwarna kehitaman campur keputihan dan jumlahnya bervariasi pada tiap pasien bisa satu, dua atau lebih atau banyak sekali danmerata pada seluruh hati, atau kah satu nodule yang besar dan berkapsul atau tidak berkapsul. Sayangnya USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hati diameter 2 cm ± 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak harmonik system bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm ± 2 cm, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%. Rendahnya nilai akurasi ini disebabkan walaupun USG conventional ini dapat mendeteksi adanya benjolan kanker namun tak dapat melihat adanya pembuluh darah baru (neo- vascular) (Rasyid, 2006). 4. CT Scan Di samping USG diperlukan CT scan sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja. CT scan yang saatini teknologinya berkembang pesat telah pula 9
  • 10. menunjukkan akurasi yangtinggi apalagi dengan menggunakan teknik hellical CT scan, multislice yang sanggup membuat irisan-irisan yang sangat halus sehingga kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan. Lebih canggih lagi sekarang CT scan sudah dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya (Rasyid, 2006). 5. Angiography Dicadangkan hanya untuk penderita kanker hati-nya yang dari hasil pemeriksaan USG dan CT scan diperkirakan masih ada tindakan terapi bedahatau non-bedah masih yang mungkin dilakukan untuk menyelamatkan penderita. Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angiografi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya. Lebih lengkap lagi bila dilakukan CT angiography yang dapat memperjelas batas antara kanker dan jaringan sehat di sekitarnya sehingga ahli bedah sewaktu melakukan operasi membuang kanker hati itu tahu menentukan dimana harus dibuat batas sayatannya (Rasyid, 2006). F. Diagnosis Untuk tumor dengan diameter lebih 2 cm, adanya penyakit hati kronik, hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT atau MRI) serta kadar AFP serum ≥ 400 ng/ml adalah diagnostic (Budihusodo, 2007). Selain itu menurut Parves et al (2004) kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa 10
  • 11. dideteksi lebih awal terutamanyadengan pendekatan radiologi yang akurasinya 70 ± 95% dan pendekatan laboratorium alphafetoprotein yang akurasinya60±70%. Tabel1. Kriteria Diagnostik HCC menurut Barcelona EASL conference Kriteria Diagnostik HCC menurut Barcelona EASL conference Kriteria sito-histologis Kriteria non-invasif (khusus pasien sirosis hati): Criteria radiologis : koinsidensi 2 cara imaging (USG/CT-spiral/MRI/angiografi)  Lesi fokal >2 cm dengan hipervaskularisasi arterial Kriteria kombinasi : satu cara imaging dengan kadar AFP serum:  Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial  Kadar AFP serum ≥ 400 ng/ml Diagnosis histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi (untuk lesi berdiameter >2 cm) dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan pilihan terapi (Budihusodo, 2007). Untuk tumor berdiameter < 2 cm, sulit menegakkan diagnosis secara non invasive karena beresiko tinggi terjadinya diagnosis palsu akibat belum matangnya vaskularisasi arterial pada nodul. Bila dengan cara imaging dan biopsy tidak diperoleh diagnosis definitif, sebaiknya ditindaklanjuti dengan pemeriksaan imaging serial setiap 3 bulan sampai diagnosis dapat ditegakkan (Budihusodo, 2007). 11
  • 12. Kriteria diagnosa Kanker Hati Selular (KHS) menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu: 1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri. 2. AFP (Alphafetoprotein) yangmeningkatlebihdari400mgperml. 3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Com puted Tomograph y Scann (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomograph y (PET) yang menunjukkan adanya KHS. 4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya KHS. 5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan KHS. Diagnosa KHS didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria (Rasyad.,2006). G. Penatalaksanaan berdasarkan stadium Banyak sistem stadium KHS yang dipakai. Dengan memperhatikan modalitas terapi, prognosis dan segi praktis maka sistem stadium dari ”Barcelona clinic liver cancer”: Tabel 2. Sistem stadium KHS dan penatalaksanaannya Stadium Ukuran tumor Fungsi hati Pilihan tatalaksana Harapan hidup Stadium A (awal) A1 A2 A3 Tunggal < 5 cm Tunggal < 5 cm HP (-), bil. Normal HP (+), bil. Normal HP (+), bil. Abnormal Tatalaksana kuratif A1: reseksi A2-A4: transplantasi / ablasi lokal 50-70% pada 5 tahun 12
  • 13. A4 Tunggal < 5 cm 3 tumor, < 3 cm Child pugh A-B Stadium B (intermediet ) Besar, > 5 cm, multinodular Child pugh A-B TACE (Transarterial chemoembolization) atau TAE (Transarterial embolization) 50% pada 3 tahun Stadium C (lanjut) Invasi vaskuler / penyebaran ekstrahepatik Child pugh A-B TACE atau TAE bila tidak ada metastatis ekstrahepatik < 10% pada 3 tahun Stadium D “end stage” Berapapun Child pugh C Transplantasi (bila tidak ada kontraindikasi) Simptomatis Mati dalam waktu < 1 tahun Keterangan: HP: Hipertensi Porta (Setiawan dkk, 2007). 13
  • 14. Gambar 1. Barcelona-Clinic Liver Cancer (BCLC) Pengobatan hepatoma masih belum memuaskan, banyak kasus didasari oleh sirosis hati. Pasien sirosis hati mempunyai toleransi yang buruk pada operasi segmentektomi pada hepatoma. Selain operasi masih ada banyak cara misalnya transplantasi hati, kemoterapi, emboli intra arteri, injeksi tumor dengan etanol agar terjadi nekrosis tumor, tetapi hasil tindakan tersebut masih belum memuaskan dan angka harapan hidup 5 tahun masih sangat rendah (Singgih dan Datau, 2006). Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta seringnya multi- nodularitas, resektabilitas kanker hati sangat rendah. Di samping itu kanker hati juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. 14
  • 15. Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada-tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukan hepatik. a. Transplantasi hati Bagi pasien kanker hati dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor di dalam maupun di luar transplan. Rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat anti rejeksi yang harus diberikan. Tumor yang berdiameter kurang dari 3 cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih dari 5 cm (Ryder,2006). b. Reseksi hepatik Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi hepatik. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang harapan hidupnya menurun. Parameter yang dapat digunakan adalah skor child plug dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek yang bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%. Kontra indikasi tindakan ini adalah adanya metastatis ekstrahepatik, kanker hati difus atau multifokal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi (Ryder,2006). c. Ablasi tumor perkutan 15
  • 16. Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai dengan bahan kimia (alkohol, asam asetat) atau dengan memodifikasi suhunya (radiofrequency, microwave, laser, cryoablation). Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah.Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular Dan fibrosis. Untuk tumor kecil (diameter < 5cm) pada pasien sirosis Chiild-Pugh A, angka harapan hidup 5 tahun dapat mencapai 50%. PEI bermanfaat untuk pasien dengan tumor kecil yang resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non-Child A (Ryder, 2006). Radio frequency Ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih tinggi dari pada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3 cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan dengan PEI. Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik (polyprenoic acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada bulan ke 38 secara bermakna dibandingkan dengan kelompok plasebo (kelompok plasebo 49%, kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%) (Ryder, 2006). d. Terapi paliatif Sebagian besar pasien kanker hati didiagnosis pada stasium menengah-lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan metaanalisis, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial embolization / chemoembolization) saja yang menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan kanker hati yang tidak 16
  • 17. resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik (Child-Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vaskular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak bisa diberi terapi radikal. Namun bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping berat.Adapun beberapa jenis terapi lain untuk kanker hati yang tidak resektabe; seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan (Ryder,2006). Tatalaksana komplikasi sirosis hati 1. Asitesdanedema Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurkan membatasi asupan garam dan air. Jumlah diet garam yang dianjurkan biasanya sekitar dua gram per hari, dan cairan sekitar satu liter sehari. Kombinasi diuretik spironolakton dan furosemid dapat menurunkan dan menghilangkan edema dan asites pada sebagian besar pasien. Bila pemakaian diuretik tidak berhasil (asites refrakter), dapat dilakukan parasintesis abdomen untuk mengambil cairan asites sedemikian besar sehingga menimbulkan keluhan nyeri akibat distensi abdomen, dan atau kesulitan bernapas karena keterbatasan geralan diafragma, parasintesis dapat dilakukan dalam jumlah lebih dari 5 liter (large volume paracentesis = LVP ). Pengobatan lain untuk asites refrakter adalah TIPS (Transjugular intravenous porto systemic shunting) atau transplantasi hati. 2. Perdarahan varises 17
  • 18. Bila varises telah timbul di bagian diatal esofagus atau proksimal lambung, pasien sirosis berisiko mengalami perdarahan serius akibat pecahnya varises. Sekali varises mengalami perdarahan, bertendensi perdarahan ulangdan setiap kali berdarah, pasien berisiko meninggal. Karena itu pengobatan ditujukan untuk pencegahan perdarahan pertama maupun pencegahan perdarahan ulang dikemudian hari. Untuk tujuan tersebut, ada beberapa cara pengobatan yang dianjurkan, termasuk pemberian obat dan prosedur untuk menurunkan tekanan vena porta, maupun prosedur untuk menurunkan tekanan vena porta, maupun prosedur untuk merusak atau mengeradikasi varises. Propanololataunadolol, merupakan obat penyekat reseptor beta non- selektif. Efektif menurunkan tekanan vena porta, dan dapat dipakai untuk mencegah perdarahan pertama maupun perdarahan ulang varises pasiensirosis. 3. Ensefalopati hepatik Pasien dengan siklus tidur abnormal, gangguan berpikir, perubahan kepribadian, atau tanda-tanda lain enselopati hepatik, biasanya harus mulai diobati dengan diet rendah protein dan laktulosa oral. Untuk mendapat efek laktulosa, dosisnya harus sedemikian rupa sehingga pasien buang air besar dua sampai tiga kali sehari. Bila gejala enselopati masih tetap ada, antibiotika oral seperti neomisin atau metronidazol dapat ditambahkan. Pada pasien ensefalopati hepatik yang semakin jelas, ada tiga tindakan yang harus segera diberikan: 1) singkirkan penyebab enselopati yang lain, 2) perbaiki atau singkirkan faktor pencetus dan 18
  • 19. 3) segera mulai pengobatan empiris yang dapat berlangsung lama, seperti : klisma, diet rendah atau tanpa protein, laktulosa, natibiotika (neomisin, metronidazol atau vankomisin), asam amino rantai cabang, bromokriptin, preparat zenk, dan atau ornitin aspartat. Bila enselopati tetap ada, atau timbul berulang kali dengan pengobatan empiris, dapat dipertimbangkan transplantasi hati (Rasyid, 1994). H. Prognosis Tabel 3. Kriteria prognosis berdasarkan nilai child-pugh Nilai 1 2 3 Ensefalopati - Minimal Berat/koma Ascites Nihil Minimal Masif Biliriubin (mg/dl) < 2 2-3 >3 Albumin > 3.5 2.8 – 3.5 < 2.8 PT < 1.7 1.7 – 2.3 > 2.3 Ket:childA=5-6,childB=7,9,childC=10-15 II.2. Anemia A. Definisi 19
  • 20. Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kadar hemoglobin. Menurunnya kadar hemoglobin biasanya disertsi dengan penurunan jumlah eritrosit dan hematokrit (packed cell volume, PVC) tetapi kedua parameter ini mungkin normal pada beberapa pasien yang memiliki kadar hemoglobin subnormal (Hoffbrand, 2005). Klasifikasi Batasan anemia oleh WHO adalah: Anak 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 gr/dl Anak 6 tahun – 14 tahun : <12 gr/dl Wanita hamil : < 11 gr/dl Wanita dewasa tidak hamil:< 12 gr/dl Laki dewasa : < 13 gr/dl (Sudoyo, 2007). Pada umumnya anemia diklasifikasikan dengan 2 cara : 1. Berdasarkan patofisiologi a. Perdarahan b. Hemolisis c. Kegagalan sumsum tulang 2. Klasifikasi morfologik Berdasarkan ukuran dan derajat warna eritrosit dapat mengukur indeks eritrosit, MCV, MCH, MCHC dan penilaian hapusan darah tepi. Berdasarkan morfologi maka anemia di bagi menjadi 3 golongan: a. Anemia hipokrom mikrositer - Anemia defisiensi besi 20
  • 21. - Thalasemia - anemia karena penyakit autoimun - anemia sideroblastik b. Anemia Normokrom normositer - anemia pasca perdarahan acut - anemia aplastik - anemia hemolitik - anemia mieloptisik - anemia pada gagal ginjal kronik - anemia pada leukemia akut c. Anemia hiperkrom makrositer - anemia megaloblastik: ▪ anemia defisiensi asam folat ▪ anemia defisiensi B12 - non megaloblastik: ▪ anemia pada penyakit hati kronik ▪ anemia pada hipotiroid ▪ anemia pada sindroma mielodisplastik MCH = Hb x 10 pg (27-31 FL) 21
  • 22. Eri MCV =PCV x 10 FL (80-97 FL) Eri MCHC =Hb x 100% (32-36) PVC (Boediwarso dkk., 2007). B. Manifestasi klinis : Pada beberapa pasien anemia cukup berat, mungkin tidak terdapat gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin mengalami kelemahan berat. Ada atau tidaknya gambaran klinis dapat dipertimbangkan menurut tiga kriteria utama: 1. Kecepatan awitan Anemia memburuk dengan cepat menimbukan lebih banyak gejala dibandingkan dengan anemia awitan lambat. 2. Keparahan 22
  • 23. Anemia ringan seringkali tidak menimbulkan gejala atau tanda, tetapi gejal biasanya muncul jika hemboglobin kurang dari 9 – 10 g/dl. Bahkan anemia berat (hemoglobin serendah 6,0 g/dl) dapat menimbukan gejala yang sangat sedikit jika awitan sangat lambat dan pada subjek yang muda. 3. Usia Orang tua mentoleransi anemia dengan kurang baiknya dibandingkan orang muda karena adanya efek kekurangan oksigen pada organ jika terjadi gangguan kompensasi kardiovaskuler (peningkatan curah jantung akibat peningkatan volume sekuncup dan takikardia). Gejala Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek khususnya saat berolahraga, kelemahan, letargi, palpitasi, dan sakit kepala. Pada pasien tua mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina pektoris. Gangguan penglihatan akibat perdarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat berat, khususnya jiak awitannya cepat. Tanda Dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin kurang dari 9-10 g/dl. Sebaiknya warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukan takikardi, nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pda apeks. Gambaran gagal jantung kongestif mungkin ditemukan, khususnya pada orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda yang spesifik dikaitkan dengan jenis anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan anemia hemolotik lain deformitas 23
  • 24. tulang dengan talasemia mayor dan anemia heolitik kongenital lain yang berat (Hoffbrand, 2005). C. Penatalaksanaan Anemia merupakan kelaina fisiologis, bukan suatu diagnosis. Oleh karenanya harus ditegakkan diagnosis akhir berupa suatu penyakit. 1. Langkah pertama dalam melakukannya adalah mengelompokkan anemia menurut ukuran eritrosit: a. Anemia mikrositik/hipokromik: ukuran eritrosit lebih kecil dari normal (mikrositik) dengan kadar hemoglobin lebih rendah dari normal (hipokromik). b. Anemia normokromik dan normositik: kadang-kadang disebut “anemia karena penyakit kronis”. Ukuran eritrosit normal atau hanya sedikit mengecil dan konsentrasi hemoglobin normal. Anemia karena penyakit kronis terjadi sebagian karena efek inhibitor dari interleukin 1 pada eritropoesis dan defisiensi eritropoetin (yang terakhir terutama pada gagal ginjal). Sering terjadi komplikasi defisiensi Fe dan bisa menjelaskan bila ada penuruna kadar hemoglobin c. Anemia makrositik: ukuran eritrosit lebih besar dari normal (Davey, 2005). 2. Cari penyebabnya dan berikan pengobatan yang memadai: a. Anemia defisiensi (besi dan folat) dapat diberikan tablet zat besi yang mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elementer dan 0,25 mg asam folat Dan vit.C 500 mg 24
  • 25. b. Pada anemia hemolitik dengan menekan proses hemolisis seperti splenektomi, imuosupresif c. Pada anemia aplastik, merangsang sumsum tulang atau cangkok sumsum tulang. 3. Bila anemia timbul sekunder akibat penyakit lain, dengan pengobatan penyakit dasarnya anemia akan membaik. Pada anemia jenis ini umumnya tidak diperlukan obat-obat antianemia kecuali bila progresif dan timbul keluhan 4. Transfusi darah hanya bila diberikan jika: a. Perdarahan akut yang disertai dengan perubahan hemodinamik b. Pada anemia kronis, progesif dan terdapat keluhan (packed red cell) c. Bila terdapat kegagalan faal jantung penderita harus istirahat total dan diberikan diuretika (Boediwarsono dkk, 2007). II.3. Hipertensi A. Definisi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arteri sistemik yang konsisten. Hipertensi didefinisikan oleh JNC-7 sebagai tekanan darah sistole sebesar 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastole 90mmHg atau lebih secara terus menerus (JNC-7, 2003). 25
  • 26. B. Faktor Resiko Hipertensi Faktor pemicu hipertensi dibedakan atas: 1. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol a) Umur Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun (Wim, 2003). b) Jenis Kelamin Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Menurut Hajjar and Kotchen (2003) bahwa wanita lebih banyak yang menderita hipertensi dibanding pria, hal ini disebabkan karena terdapatnya hormon estrogen pada wanita. c) Riwayat Keluarga Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Menurut Sheps, hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkinan kita mendapatkan penyakit tersebut 60% (Carter, 1997). 26
  • 27. d) Genetik Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Hajjar and Kotchen, 2003). 2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol a) Kebiasaan Merokok Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari (Vasan, 2001). Konsumsi Asin/Garam Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan 27
  • 28. volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari. Menurut Alison Hull, penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan natrium dengan hipertensi pada beberapa individu. Asupan natrium akan meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan yang meningkatkan volume darah (Carter, 2003). b) Konsumsi Lemak Jenuh Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah (Bakris, 2000). c) Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah 28
  • 29. berperan dalam menaikkan tekanan darah. Diperkirakan konsumsi alkohol berlebihan menjadi penyebab sekitar 5-20% dari semua kasus hipertensi. Mengkonsumsi tiga gelas atau lebih minuman berakohol perhari meningkatkan risiko mendapat hipertensi sebesar dua kali (Wim, 2003). d) Obesitas Obesitas atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks massa tubuh > 25 (berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m)) juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. e) Olahraga 29
  • 30. Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Hernelahti et al, 1998). f) Stres Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan pemaparan tehadap stress ternyata membuat binatang tersebut menjadi hipertensi (Saseen, 2003). C. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu: 1. Hipertensi Primer Artinya hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dengan jelas. Berbagai faktor yang diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer seperti bertambahnya umur, stress psikologis, dan hereditas (keturunan). 30
  • 31. 2. Hipertensi Sekunder Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang telah diketahui penyebabnya. Sampai saat ini sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya. Penyebab tersering dari hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal, penyakit endokrin, koarktasio aorta dan obat yang mempengaruhi hipertensi. a. Penyakit Ginjal Semua bentuk kerusakan parenkim ginjal berpengaruh signifikan pada hipertensi. Hal ini termasuk glomerulonefritis akut dan kronik, pyelonefritis kronis dan penyakit polikistik ginjal. Hipertensi karena obstruksi arteri renal disebut hipertensi renovaskular, hipertensi ini dapat disembuhkan. Merupakan penyebab tersering pada hipertensi sekunder. Mekanisme hipertensi umumnya berhubungan dengan aktivasi dari sistem renin-angiotensin. 31
  • 32. Gambar 2. Sistem renin angiotensin b. Penyakit Endokrin Aldosteronisme primer patut dipertimbangkan jika terdapat hipokalemi bersama hipertensi. Tingginya kadar aldosteron dan renin yang rendah akan mengakibatkan kelebihan atau overload natrium dan air. Biasanya disebabkan adenoma jinak soliter atau hiperplasia adrenal bilateral. Sindrom Cushing disebabkan hiperplasia adrenal bilateral yang disebabkan oleh adenohipofisis yang menghasilkan ACTH (adenocorticotropic hormone) pada dua pertiga kasus, dan tumor adrenal primer pada sepertiga kasus. c. Feokromositoma Feokromositoma disebabkan tumor sel kromafin asal neural yang mensekresikan katekolamin, 90% berasal dari kelenjar adrenal. Kurang lebih 10% terjadi ditempat lain dalam rantai simpatis, 10% dari tumor ini ganas, dan 10% adenoma adrenal adalah bilateral. Feokromasitoma dicurigai jika tekanan darah berfluktuatif tinggi, disertai takikardia, berkeringat atau edema paru karena gagal jantung. Kurang lebih 20% feokromasitoma merupakan penyakit familial yang terkait gen autosomal dominan. Pewarisan feokromasitoma mungkin terkait dengan multiple endokrin neoplasia (MEN) tipe 2A dan tipe 2B. d. Koarktasio aorta 32
  • 33. Paling sering mempengaruhi aorta pada distal dari arteri subklavia kiri dan menimbulkan hipertensi pada lengan dan menurunkan tekanan pada kaki, dengan denyut nadi arteri femoralis rendah atau tidak ada. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis : Tabel 4. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC 7 Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD (mmHg) Normal < 120 And < 80 Prehipertensi 120-139 Or 80-89 Hipertensi stage I 140-159 Or 90-99 Hipertensi stage II ≥160 Or ≥100 (National High Blood Pressure Education Program, 2002). D. Patofisiologi Hipertensi Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah: 33
  • 34. 1. Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial. 2. Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor. 3. Asupan natrium (garam) berlebihan. 4. Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium. 5. Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan aldosteron. 6. Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide natriuretik. 7. Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal. 8. Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah kecil di ginjal. 9. Diabetes mellitus. 10. Obesitas. 11. Meningkatnya aktivitas vascular growth factor. 12. Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular. E. Manifestasi Klinis Hipertensi 34
  • 35. Hipertensi itu sebagian besar tanpa disertai gejala yang mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun berupa: 1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat tekanan darah intrakranium. 2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi. 3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf. 4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus. 5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. Peninggian tekanan darah kadang merupakan satu-satunya gejala, terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau jantung. Gejala lain adalah sakit kepala, epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang dan pusing (ALLHAT Officers and Coordinators for the ALLHAT Coolaborative Research Group, 2002). F. Penatalaksanaan Hipertensi 1. Penatalaksanaan Non Farmakologis Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum penambahan obat-obatan hipertensi, dibedakan menjadi beberapa hal: a. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis. Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. 35
  • 36. Selain itu pengurangan makanan berlemak dapat menurunkan risiko aterosklerosis (Benson, 2002). b. Olahraga dan aktifitas fisik Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang baik dilakukan untuk penderita hipertensi. Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun (ALLHAT Officers and Coordinators for the ALLHAT Coolaborative Research Group, 2002). c. Perubahan pola makan  Mengurangi asupan garam Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam (Haynes, 2002).  Diet rendah lemak jenuh Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari 36
  • 37. minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah (Bakris, 2000). d. Menghilangkan stres Cara untuk menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat meringankan beban stres. 2. Penatalaksanaan Farmakologis Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah : a. Target tekanan darah < 140/90 mmHg untuk individu berisiko tinggi (diabetes, gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg. b. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. c. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria. Dikenal 5 kelompok obat lini pertama yang lazim digunakan untuk pengobatan hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-bloker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin- receptor blocker, ARB), antagonis kalsium. Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada 37
  • 38. tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensi yang lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal ataupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang diminum bertambah. Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :  Diuretika dan ACEI atau ARB  CCB dan ACEI atau ARB  CCB dan BB  CCB dan diuretika  AB dan BB  Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat Gambar 3. Kombinasi obat 38
  • 39. (Yogiantoro, 2007). DAFTAR PUSTAKA Bakris, G.L. 2000. Angiotensin-Converting-Enzyne-Inhibitor-Associated Elevations In Serum Creatinine. Arch Intern Med 2000;160:685-693. 39
  • 40. Benson, J. 2002. Patient’s Decision About Whether or Not To Take Antihypertensive Drugs: qualitative study. BMJ 2002;325:873-878 Budihusodo, U.. 2007. Karsinoma Hati dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pp 455-59. Boediwarsono, 2007. Anemia dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Surabaya. Airlangga University Press. Boediwarsono, Soebandri, Sugianto, Ashariati, A., Sedana, M.P., Ugroseno. 2007. Anemia dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pp 139-42. Carter, B.L. 1997. Evaluation of Hypertensive Patients after Care Provided by Community Pharmacists in a Rural Setting. Pharmacotherapy 1997;17(6):1274- 1285. Abstract. Carter, B.L. 2003. How Pharmacist Can Assist Physicians with Controlling Blood Pressure. J Clin Hypertens 2003;5(1):31-37 Davey, P. 2005. Anemia Dalam At A Glance Medicine. Jakarta: Erlanggga Medical Series. Pp 78-79. Desen, W. 2008. Tumor Abdomen. Dalam Buku Ajar Onkologi Klinik edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. El-Serag, H.B. 2011. Hepatocellular Carcinoma. N Engl J Med 2011; 365:1118- 1127 September 22, 2011. 40
  • 41. Gijn, J.V. 2002. The PROGRESS Trial: Preventing Stroke by Lowering Blood Pressure in Patients with Cerebral Ischemia. Stroke 2002;33:319 Hajjar I, Kotchen TA. Trends In Prevalence, Awareness, Treatment, And Control Of Hypertension In The United States, 1998 – 2000. JAMA 2003;290:199-206h Haynes, R.B. 2002. Interventions To Enhance Patients’ Adherence To Medication Prescription. JAMA 2002;288:2868-79 Hernelahti M., Kujala, U.M., Kaprio, J. 1998. Hypertension in master endurance athletes. J. Hypertens 1998;16(11):1573-7 (ISSN: 0263 – 6352). Hoffbrand, A.V. 2007. Kapita Selekta Hematologi Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pp 18-28. JNC-7. 2003. Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment Of High Blood Pressure National High Blood Pressure Education Program. 2002. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. U.S.D.E. Partment Of H Ealth And Human Services. Parvez, T., Parvez, B., and Khurram, P. Screening for Hepatocellular Carcinoma.Jounal JCPSPSeptember2004Volume14No.09 Rasyad,A. 2006 . Pentingnya Peranan Radiologi Dalam Deteksi Dini dan Pengobatan KankerHatiPrimer. USU Press. Sumatra. Rasyid, A. 1994. Satu Kasus Karsinoma Hepato Selular Diameter Lebih dari 10 cm. Diagnostik dan Terapi. Majalah Radiologi Indonesia Tahun III No. 1. Rasyid, A. 2006. Pentingnya Peranan Radiologi Dalam Deteksi Dini dan Pengobatan Kanker Hati primer. Sumatra: USU press. 41
  • 42. Rasyid, A. 2006. Temuan Ultrasonografi Kanker Hati Hepatoseluler Hepatoma. Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 39. No 2. Ryder , S.D. 2003. Guidelines For The Diagnosis And Treatment Of Hepatocellular Carcinoma(HCC) In Adults. Gut 2003; 52 – 56. Saseen, J.J. 2003. Treatment of Uncomplicated Hypertension. Are ACE inhibitors And Calcium Channel Blockers As Effective As Diuretics And Beta-Blockers. J Am Board Fam Pract 2003;16:156-164 Setiawan, P.B., Kusumobroto, H.O., Oesman, N., Pangestu, A.,Nusi, I.A., Heri P. 2007. Karsinoma Hepatoselular dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University Press. pp 137-38. Singgih B., Datau E.A., 2006. Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal. Diakses darihttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08_150_HepatomaHepatorenal.pdf/0 8_150_He patomaHepatorenal.html Sudoyo, 2007. Hematologi. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Soresi M., Maglirisi C., Campgna P. 2003. Alphafetoprotein In The Diagnosis Of Hepatocellular Carcinoma. Anticancer Research. 2003;23;1747-53. Vasan, R.S. 2001. Impact of High Normal Blood Pressure on the Risk of Cardiovascular Disease, NEJM 2001;345:1291-1297. Wing, L.M. 2003. A Comparison Of Outcomes With Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors And Diuretics For Hypertension In The Elderly. N Eng J Med 2003;348: 583-592 Yogiantoro, M. 2007. Hipertensi Esensial dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pp 599-603. 42
  • 43. CASE REPORT SEORANG LAKI-LAKI 66 TAHUN MENDERITA HEPATOMA 43
  • 44. Penguji: dr. Asna Rosida, Sp. PD Disusun oleh: Deviani Ayu Laraswati, S. Ked J5000 80 101 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012 44