1. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
1
PANDAWA KURAWA
2. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
Karya
Hermawan
2
PANDAWA KURAWA
3. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Novel ini aku persembahkan untuk kedua
orang tuaku sebagai tanda baktiku dan
untuk adikku tercinta semoga kalian tetap
sehat dan berada bersama Allah SWT
3
PANDAWA KURAWA
4. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
1. AWAL BARATAYUDA ( Janji Wiratha ).........................................8
2. GUGURNYA SANG PUTRA GANGGA..........................................31
3. MAJUNYA SANG PROFESOR.......................................................44
4
DAFTAR ISI
PANDAWA KURAWA
5. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
4. GUGURNYA CALON RAJA MUDA HASTINA..............................58
5. KEMARAHAN SANG ADIPATI.....................................................78
6. KEGELISAHAN DURYUDANA.....................................................87
7. SUMPAH ARJUNA.......................................................................113
8. MAJUNYA BURISRAWA.............................................................137
9. TEGAKNYA HARGA DIRI SANG PROFESOR.............................151
10. GUGURNYA SANG PROFESOR..................................................166
11. GUGURNYA PRAMUGARI PRINGGODANI................................182
12. DURSASANA GUGUR.................................................................193
13. GUGURNYA SANG PUTRA SURYA...........................................221
14. SIASAT ASWATAMA.................................................................244
15. PENGAKUAN KEMBAR.............................................................271
16. MENGENAL MASA LALU.........................................................296
17. SALYA GUGUR.........................................................................308
18. AKHIR BARATAYUDA..............................................................322
PRAKATA
Sebuah sejarah yang panjang yang mengisahkan darah yang bergejolak
dari sebuah negara yang harus di perebutan oleh dua orang yang masih keturunan
sama. Yaitu keturunan Prabu Barata. Terselip suatu peristiwa yang mengilhami
5
PANDAWA KURAWA
6. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
bahwa suatu peperangan dapat membuat negera tersebut menderita dan membawa
bencana tapi apakah suatu kekekuasan harus di peroleh dengan tindakan
kekerasan?. Dan mengapa agar suatu kekuasaan yang bukan miliknya harus
dipertahanan dengan menempuh perang ?.
Sebenarnya apa yang ada di pikiran manusia. Mengapa kekuasan dan
kewibawan yang berarti harus ada kemewahan dan keindahan dalam
pemerintahan ..??. Apa yang sebenarnya itu ?”.
Dari kisah yang saya tulis yang mengkisah dua keturunan yang berseteru.
Yaitu kurawa dan Pandawa. Kisah ini mengilhami kisah perang Baratayauda.
Dalam kisah ini pasti ada dua kubu. Yang satu baik dan jahat. Pandawa yang
merupakan kubu baik dan merupakan trah raja yang sah sebagai penerus kerajaan
Hastina. Tapi apa yang terjadi ..?”. Setelah Pandawa dewasa ia malah mendapat
perlakuan kasar dari para saudara Kurawa. Tapi mereka tetap diam selama masih
dalam Kebenaran. Saat mengumumkan Puntadewa sebagai pewaris tahta kerajaan
Hastina. Kurawa mulai menggunakan rencana licik agar kekuasan jatuh padanya.
Bahwa Kebenaran pasti Menang. Selama Pandawa masih dalam
Kebenaran maka kemenanagan akan datang. Sesuai janji yang tertulis dalam buku
yang pernah ditulis oleh eyang mereka tentang nasib kerajaan yang ditentukan
lewat perang jika hubungan damai tidak berhasil.
Dalam buku ini kisah patriot seorang anak Pandawa yang rela mati demi
kemenangan para junjungan. Walaupun sekarang banyak generasi muda yang
telah hilang semangat patriot tanah air bahkan rela negara dijajah.
6
Tapi apa yang didapatkan .../?”
PANDAWA KURAWA
7. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Tapi itu semua belum cukup. Bagaimana bahwa kebenaran itu harus
ditegakkan. Sesuai dengan agama yang kita anut.
Buku ini saya tulis hanya untuk sebagai contoh sikap hidup yang selalu
memegang teguh sikap Kebenaran sesuai dengan agama yang dianut. Dan untuk
memberikan gambaran bahwa Kebenaran akan selalu menang walaupun tidak
Demikian kata – kata yang dapat saya tulis dan ungkapkan. Bila dalam
penulisan kata atau kalimat tidak berkenan. Saya mohon maaf. Dan saya
menunggu saran dan kritik dari Anda untuk kemajuan buku yang saya tulis ini.
AWAL BARATAYUDA ( Janji Wirata )
Dan ketika pagi merekah, berangkatlah dengan suara gemuruh lasykar
besar dari Negara Wirata. Merah menyala busana barisan terdepan bagaikan
7
begitu cepat.
Sekian terima kasih
PENULIS
PANDAWA KURAWA
8. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
semburat sinar matahari fajar yang membias mega dari puncak gunung
gemunung ketika hendak menerangi jagat.
Susul menyusul warna warni barisan yang lain bergerak bersama, yang
berwarna kuning kumpul sesama kuning terlihat seperti sekumpulan burung
podang yang menguasai pucuk ranting-ranting pohon besar. Barisan yang
berwarna putih berkumpul sesama putih, sehingga kelihatan bagaikan kumpulan
burung kuntul menyebar memenuhi rawa rawa. Demikian juga barisan dengan
seragam berwarna hijau, biru, hitam, ungu dan sebagainya terkumpul sesamanya.
Terlihat dari kejauhan, bebarisan prajurit dengan seragam berwarna warni
elok bagaikan kelompok kembang setaman. Suara gemerincing kendali dan
kerepyak ladam kuda membentur bebatuan jalan, bercampur dengan irama tidak
beraturan tangkai tombak yang saling beradu menambah hingar bingarnya suara
barisan. Kemeriahan barisan ditingkah dengan suara tetabuhan tambur, suling,
kendang dan bende serta kelebatnya bendera bersimbol warna warni, bagai hiasan
pesta, indah dipandang mata ! Debu akhir kemarau membubung tinggi dibelakang
barisan menambah dramatis dalam pandangan siapapun yang melihat.
Diatas awan para dewa, dewi, hapsara, hapsari menyebar bunga mewangi,
memuji, hendaknya barisan Pandawa dan sekutunya akan unggul dalam perang.
Pada barisan terdepan adalah lasykar setia dari Jodipati berbendera hitam
dengan gambar gajah. Terlihat sang Werkudara yang selamanya tidak pernah
berkendara, tetap dengan jalan kaki menggenggam gada super besar ditangannya.
Dibelakangnya Patih Gagakbongkol mengiring langkah gustinya dengan tegap.
8
PANDAWA KURAWA
9. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Berikutnya nampak Arjuna dengan kereta kencananya yang berhias
sesotya gemerlap, lasykarnya berbendera merah keemasan dengan gambar kera
ditengahnya. Disampingnya duduk istrinya, Wara Srikandi, anak Prabu Drupada,
Susul menyusul dibelakangnya sesama barisan saudara Pandawa yang
lain, Prabu Punta dengan memangku surat Jamus Kalimasadda, duduk diatas
kereta. Disampingnya duduk Wara Drupadi dengan rambut terurai melambai
ditiup angin. Dalam benak Sang Dewi terpikir, inilah saat yang ditunggu untuk
keramas dengan darah Dursasana, seorang yang coba mempermalukannya pada
pesta permainan dadu dahulu. Atas perlindungan dewa, kain kemben yang coba
dilepas sang Dursasana menjadi tak berujung. Saat itulah Draupadi bersumpah
untuk tidak bergelung sebelum keramas dengan darah Dursasana.
Susul menyusul dibelakangnya, kembar bungsu Pandawa Nakula dan
Sadewa, dengan berbendera ungu bergambar dewa kembar, Batara Aswin-Aswan.
Pada barisan sekutu, barisan Dwarawati dipimpin Prabu Kresna beserta
sang adik ipar Arya Setyaki, disambung barisan dari Wirata dengan pengawak
Prabu Matswapati diiring kedua Putranya Utara dan Wiratsangka. Resi Seta, putra
Sulung baginda Matswapati yang sedang dalam semedi di Selaperwata atau
Sukarini-pun segera disusul utusan untuk memintanya turun gunung, diberi warta
Dibelakangnya, lasykar Pancalareja/Pancalaradya prabu Drupada
didampingi Pangeran Pati Arya Drestajumna, atau Trustajumena. Dibelakangnya
9
seorang wanita berwatak prajurit.
bahwa Baratayuda segera terjadi.
PANDAWA KURAWA
10. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
kembali menyusul raja raja sekutu yang lain yang mengharap kemukten dengan
Tak ketinggalan barisan yang dipimpin anak-anak muda Pandawa,
Gatutkaca dengan pasukan raksasa dan manusia biasa dari Pringgandani,
kemudian putra sang Arjuna, Abimanyu, putra sang Punta, Pancawala dan saudara
Sampailah barisan di tepi lapangan yang maha luas, tegal Kurukasetra.
Barisan yang mengumpul menjadi satu bagaikan pasangnya air samudra yang
meleber ke daratan. Beberapa pesanggrahan dibangun untuk menjadi base camp
dibeberapa tepi strategis. Prabu Puntadewa beserta para sesepuh menamai
pesanggrahan utama sebagai Pesanggrahan Randuwatangan. Dengan penguat
batang kayu pohon randu, dipadu patut dengan segala hiasan hingga menyerupai
Pesanggrahan untuk para senapati dengan nama pasanggrahan
Randugumbala, pesanggrahan dengan bahan kayu semak randu, sedang
pesanggrahan untuk prajurit garda depan dengan nama Glagahtinunu,
pasanggrahan dengan lahan rumput glagah yang dibakar terlebih dahulu.
Begitupun juga di pihak Kurawa, mereka membuat pesanggrahan yang
dihias bagaikan istana yang sesungguhnya, dinamakan Pesanggrahan Bulupitu,
pesanggrahan utama dimana para calon senapati dihimpun dalam satu naungan,
sementara para prajurit melingkup disekitar pesanggrahan.
Ditempat lain Adipati Karna menempati pesanggrahan Ngurnting, Prabu
10
ikut serta dalam perang suci ini.
muda yang lain.
istana.
Salya mesanggrah di Karangpandan.
PANDAWA KURAWA
11. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Persiapan di pihak Pandawa dimatangkan, Dewi Kunti sudah datang
diantar kembali iparnya Arya Yamawidura beserta putra sang Yamawidura, Arya
“Kanjeng Ibu, putra putra paduka mengharap restumu untuk mengemban
tugas suci ini”. Puntadewa memulai pokok pembicaraan setelah haru biru berlalu,
menyesali mengapa perang harus terjadi. Tetapi pada dasarnya mereka adalah
kesatria waskita, yang dianugrahi hati penuh kebijaksanaan.
Kunti dengan penuh wibawa menguatkan batin anak anaknya,“Anak
anakku, watak satria adalah mempunyai hati yang teguh. Tidak pernah merasa
ragu dalam bertindak. Bila sudah dikatakan dahulu bahwa negara akan
dikembalikan setelah masa perjanjian lewat, maka janji itu adalah hutang yang
harus dibayar, dan kalian pantas untuk mendapatkan apa yang dijanjikan”.
“Sedangkan kamu semua adalah kesatria yang diidamkan oleh ayahmu
dahulu, semua anak Pandu adalah anak anak yang teguh memegang janji.
Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk kalian semua berbakti kepada
mendiang ayahmu, menjaga kebanggaan akan sikap yang ditanamkan sejak kamu
Sementara kebulatan tekad terlahirkan, Yamawidura , paman para
Pandawa dan Kurawa, tidak tega ikut dalam perang, dalam pikirannya masih
berkecamuk rasa sesal, kedua pihak adalah bagian dari darah dagingnya. Dan
minta pamitlah Arya Yamawidura kembali ke Panggombakan, kadipaten dalam
11
Sanjaya ke Randuwatangan.
masih kecil”
lingkungan kerajaan Astina.
PANDAWA KURAWA
12. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Pesanggrahan Bulupitu. Prabu Duryudana dalam sidang darurat penetapan
Hadir didalamnya Prabu Salya dari Mandaraka sudah diundang datang.
Demikian juga Resi Bisma dan Begawan Durna.
“ Para sesepuh semua dan saudaraku, tidak sabar rasaku ini hendak mulai
menumpas Pandawa yang tidak tahu tata”. Duryudana mengambil inisiatif awal
“Eyang Bisma, dengan segala hormat, kami para Kurawa meminta
kanjeng Eyang menjadi senapati pertama”. Strategi Duryudana menunjuk. Dalam
pikirnya, Baratayuda akan dibuat sesingkat mungkin.
Ia berkesimpulan, siapapun dari pihak Pandawa tidak akan mampu
menanggulangi krida Sang Bisma Jahnawisuta, satria dengan nama muda
Dewabrata, sarat dengan ilmu kaprawiran dilambari kesaktian hasil dari mesu raga
olah batin pada sepinya pertapan Talkanda menjadikannya seolah tanpa tanding.
Sebenarnyalah Resi Bisma ada dalam situasi batin yang bertentangan
dengan pihak yang ia bela. Dalam hatinya, kesatria Pandawa-lah yang terkasih ini
Tetapi intuisi seorang Pandita waskita mengatakan, “inilah saatnya bagiku
untuk mengunduh segala pakrti yang aku pernah perbuat dimasa lalu”.
Dalam benaknya terbayang, ketika ia pernah muda dan salah langkah,
membunuh putri Kasi bernama Dewi Amba tanpa sengaja, untuk menghindari
batalnya sumpah kepada sang ibu sambung, dewi Durgandini, bahwa ia akan
12
senapati.
dengan menunjuk seorang senapati.
tersimpan dalam relungnya.
PANDAWA KURAWA
13. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
menjalani hidup sebagai brahmacarya, seorang yang tak kan pernah menyentuh
Terngiang dalam telinganya akan ajakan sang Dewi Amba ketika
menjelang ajalnya menjemput, bahwa ia akan menggandeng tangan sang
Dewabrata saat ia akan bertarung dengan prajurit wanita entah kapan. Dan dalam
pengamatannya prajurit wanita yang pantas menjadi sarana kemuliaan adalah
prajurit Pandawa. Kelompok satria utama yang pantas mengantarnya kembali ke
Satu hal lagi, Bisma akan kembali bertarung dengan Seta, seorang putra
sulung raja Wirata yang sama sama gemar bertapa. Ketika itu mereka sepakat
akan kembali bertarung mengadu kesaktian akibat dipisahkan Hyang Naradda,
karena pertempuran mereka oleh suatu sebab menimbulkan panas hingga sampai
ke Kahyangan Jonggring Salaka. Dan momen ini tak dapat ia tinggalkan melihat
Ketika itu kedua adiknya Citragada dan Wicitrawirya, diserahi putri
penengah dan terakhir sehingga dewi Amba tetap mengharap untuk dinikahi
Dewabrata. Namun sumpah Dewabrata kepada ibu tiri, Dewi Durgandini, yang
khawatir tahta akan jatuh kepada Dewabrata atau anak turunnya, menyebabkan
Dewabrata bersumpah untuk tetap melajang seumur hidupnya.
Demikianlah, Senapati utama telah ditunjuk, dengan senapati pendamping
Prabu Salya dan Pandita Durna. Formasi serangan mematikan telah disusun sesuai
dengan ambisi sang Prabu Duryudana yang tidak mau mengulur waktu segera
mengeluarkan jurus maut berisi orang orang sakti andalan.
13
perempuan.
alam tepet suci.
Wirata ada di pihak Pandawa.
PANDAWA KURAWA
14. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Kata sepakat telah bulat, strategi telah disusun, pilihan jatuh pada gelar
Wukir Jaladri, gunung karang ditepi laut dengan deburan ombaknya. Kokohnya
pertahan karang laut dengan gerakan ombak laut yang dahsyat siap melumat
barisan prajurit Pandawa. Gemuruh langkah cepat prajurit yang bergerak maju
bagaikan membelah langit. Jumlah besar prajurit dari ujung hingga ke ujung
lainnya hampir tak kelihatan, ditambahkan dengan pandangan yang tertutup debu
yang mengepul. Kembali bebunyian penyemangat ditalu, tambur, suling, kendang,
gong beri ditabuh membahana memekakkan telinga.
Randuwatangan. Segala kemungkinan sedang dirembug, Baginda
Matswapati memberikan usul, “ Anak anak dan cucu cuku, negaraku, bahkan
jiwaku beserta anak- anakku sudah aku pertaruhkan untuk kejayaan Pandawa.
Sumpahku telah terucap, ketika cucu Pandawa sudah menyelamatkan keselamatan
keluarga dan negara Wirata dari musuh dari dalam, Kencakarupa, Rupakenca dan
Rajamala, dan musuh dari luar Para Kurawa lan sraya prajurit dari Trikarta Prabu
Susarman”. Demikian Matswapati membuka usulannya.
“Dari itu, perkenankan sebagai senapati, angkatlah anak anakku.
Ketiganya sekalian aku serahkan segala strategi gelar peperangan kepadamu
“Sebagai pengayom dan pengarah laku, segala tindak yang akan dilakukan
untuk aku serahkan kepada Kanda Prabu Kresna” Puntadewa meminta Kresna
untuk mengambil alih segala kebijakan dan strategi.
“Baiklah Eyang dan adikku para pandawa, aku terima usul eyang Baginda
Matswapati. Uuntuk maju pertama kali sebagai senapati adalah eyang Seta
14
sekalian”.
PANDAWA KURAWA
15. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
sebagai senapati pertama dan utama, sedangkan sebagai pendamping adalah eyang
Utara dan eyang Wirasangka”. Kresna memberikan ketetapan.
Gegap gempita penyambutan para prajurit. Siapa yang tak tahu Resi Seta?
Putra pertama Baginda Matswapati, guru sang Gatutkaca yang memiliki ajian
Narantaka. Ajian yang bisa disejajarkan dengan ajian Lebur Seketi kepunyaan
ayah Duryudana, Adipati Drestarastra. Bahkan bila Lebur seketi dapat meleburkan
benda apapun yang diraba, maka Narantaka lebih dari itu, perbawa
sekelilingnyapun menjadi panas terbakar bila aji ini dirapal.
Kesaktian Resi Seta bila dibandingkan, jauh diatas dari kesaktian adik
adiknya, Utara, apalagi Wratsangka yang agak penakut.
Walaupun para Pendawa menyebut ketiga putra Wirata sebagai eyang,
namun itu hanya sebatas sebutan menurut garis keturunan. Karena sesungguhnya
Utara dan Wiratsangka adalah orang orang yang masih sebaya dengan para
Pandawa, bahkan saking panjangnya umur Baginda Matswapati, putra pertama
Resi Seta adalah sebaya Bisma sedangkan putri terakhir, Dewi Utari, malah
Ketika strategi perang belum dibicarakan, Wara Srikandi yang bertugas
mengamati garda depan di Glagahtinunu dengan tergesa menghadap sidang.
Lapornya “Semua yang hadir, sekarang para Kurawa sudah mendatangi palagan
dengan menggelar strategi perang Wukir Jaladri. Kami di garda depan sudah
sempat berhadapan dengan barisan depan mereka, tetapi kami sendiri dan Setyaki
serta kakang Udawa berkesimpulan untuk kembali terlebih dulu sebagai wujud
15
sebaya dengan anak anak Pandawa.
PANDAWA KURAWA
16. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
kita semua menggelar peperangan ini bukanlah perang ampyak, melainkan
Braja Tiksna Lungid. Gelar serupa seberkas bola api meteor dirancang Sri
Kresna untuk menghadapi gelar lawan, meteor panas dan tajam yang mampu
meremukkan karang laut sekalipun. Gelar frontal yang dirancang langsung
berhadapan antar kedua senapati utama, untuk menghindari kelemahan para
pendamping, Utara dan Wratsangka. Namun sewaktu waktu gelar dapat dirubah
menjadi Garuda Nglayang dengan kedua sayap diisi senapati pendamping, dengan
back up Werkudara terhadap Arya Utara dan Arjuna terhadap Arya Wratsangka
Diceritakan, kedua pihak barisan telah berhadapan. Gemetar sang Arjuna
melihat suasana yang tergelar didepan mata. Keraguan hati Arjuna disikapi Sri
Kresna. Didekatinya Arjuna yang berdiri termangu.
“Kanda Kresna, apalah artinya peperangan ini. Perang yang terjadi sesama
saudara. Mereka yang saling berhadapan adalah kakaknya, adiknya, keponakan,
paman dan seterusnya. Bahkan guru dan murid juga terlibat” demikian sang
Lanjutnya “Apakah masih ada gunanya saya meneruskan suasana
seperti ini, apakah tidak sebaiknya apa yang terlihat didepan mata disudahi
“Iparku, bukankan sudah menjadi ketetapan dalam sidang bahwa inti dari
peperangan ini bukan lagi berkisar pada kembalinya Astina sebagai hal yang
16
perang dengan memakai aturan “.
disisi kiri dan kanan.
Arjuna tersentuh rasa kemanusiaannya.
saja?”.
PANDAWA KURAWA
17. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
utama, walaupun demikianlah kenyataannya” Kresna mulai mencoba
menghilangkan keraguan yang kembali meliputi batin Arjuna”.
“Tetapi darma dari satria yang tersandang dalam jiwa adalah menegakkan
aturan yang sudah ditetapkan. Dan lagi, perang ini bukan sekedar perang
memperrebutkan negara, tetapi dibalik itu, perang ini adalah sarana memetik hasil
pakarti para manusia didalamnya dan juga alat untuk meluwar janji yang telah
terucap, perang idaman para brahmana, jangka para dewa. . . . . . . .. . . .” Banyak
banyak nasihat yang dikatakan Kresna untuk menguatkan hati Arjuna.
“Tetapi apakah aku dapat tega melepas anak panah, bila dihadapanku
adalah orang yang aku agungkan?” Tanya Arjuna.
“Dalam perang bukanlah tempat untuk murid membalas jasa kepada guru,
bukan membalas kebaikan antara yang memberi dan menerima kebaikan, tetapi
dalam peperangan itu adalah berhadapannya kebaikan dan angkara murka. Lagi
pula banyak satria yang akan membantu menghadapi orang yang kau agungkan,
jadi tidak perlulah kamu sendiri yang menghadapinya. Tapi bila memang harus
bertanding juga, sembahlah terlebih dulu para junjunganmu sebelum kamu
bertempur, niscaya beliaupun akan menghormati kamu, Arjuna” Kresna
Demikianlah, maka perang campuh berlangsung sengit. Suara dentang
pedang beradu memekakkan telinga. Gesekannya memancarkan bunga api bagai
keredap kilat, mengerikan. Saling bunuh terjadi, siapa yang terlena akan terkena
senjata lawan. Teriakan kesakitan para prajurit dan hewan tunggangan yang
terkena senjata membuat giris prajurit yang berhati lemah. Dilain pihak, prajurit
17
menjelaskan.
PANDAWA KURAWA
18. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
yang haus darah terus merangsek penuh nafsu membunuh. Sementara di angkasa
hujan anak panah bagai ditumpahkan dari langit.
Pertempuran antara kedua senapati utama Seta dan Bisma juga
berlangsung seru, keduanya pernah beradu kesaktian kala itu, kembali bertempur
dengan peningkatan ilmu kanuragan yang tak pernah mereka tinggalkan
pengasahannya, sehingga tingkat kemampuan bertempur mereka berdua semakin
tinggi. Arena pertarungan seakan menjadi kepunyaan mereka, karena lingkaran
hawa panas keluar dari lingkaran peperangan, sebab tak ada prajurit yang berani
mendekati arena pertarungan antar keduanya.
Ditempat lain, pertempuran senapati pendamping juga berlangsung seru.
Senapati Kurawa, walaupun keduanya sudah tua, namun mereka dengan
kesaktiannya yang mapan dan matang mampu mengatasi kekuatan dua anak muda
Wirata. Tidak heran, karena semasa muda keduanya adalah satria pilih tanding.
Bahkan Durna dengan kekurangan fisik, walau hanya bertangan tunggal, tetapi
posisinya selalu diatas angin. Sehingga terus merangsek dan mendesak
Wratsangka. Ketika matahari sudah tergelincir kearah barat, Durna menyudahi
pertempuran. Wratsangka terkena pusaka Cundamanik, gugur sebagai tawur
“Wratsangka tewas . . . , Wratsangka tewas . . . . .!!” Teriakan para
prajurit Kurawa memberikan kipasan angin segar kepada kawan kawannya.
Motivasi prajurit Kurawa yang sudah mengendor kelelahan, berkobar
kembali ketika mendengar tewasnya Wiratsangka.
18
perang.
PANDAWA KURAWA
19. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Dilain pihak, gugurnya Wiratsangka membuat kedua kakaknya menjadi
makin liwung, beringas. Seta dengan ajiannya, Narantaka, kobaran api dari kedua
tapak tangannya meluluh lantaklah prajurit kecil yang menghalanginya. Hewan
tunggangan para senapati seperti kuda, gajah bahkan kereta perang banyak remuk
redam dan gosong terkena amuk Resi Seta. Demikian juga kroda sang Utara, yang
tak lama kemudian mampu merobohkan pertahanan Prabu Salya. Kereta yang
ditumpanginya Salya terkena sabetan gada Utara, pecah berantakan. Prabu Salya
selamat namun si kusir, patih Mandaraka Tuhayata, ikut tewas tertebas.
Putra Salya, Arya Rukmarata yang mencoba melidungi ayahnya akhirnya
tewas terkena panah Resi Seta yang sementara menghindari peperangan dengan
Bisma ketika mendengar adiknya terkasih tewas ditangan Durna.
Dendam membara menguasai hati Sang Seta. Dicarinya Durna yang segera
dilindungi rapat oleh para pengikut setianya. Bisma tak tinggal diam,
dibayanginya Seta hingga tidak dengan leluasa melampiaskan dendamnya kepada
Sementara itu, Prabu Salya sangat terpukul. Anak lelaki tampan kekasih
hatinya tewas melindunginya. Tewas dengan dada tertembus panah. “Jagad dewa
batara..!, anakku …., kau yang aku harapkan menjadi penggantiku kelak, ternyata
malah mendahului aku. Seperti apa derasnya air mata yang tertumpah, bila ibumu
Setyawati mendengar kabar tentang kematianmu ngger….. “. Bagai kehilangan
seluruh kekuatannya, Prabu Salya membelai jasad anak tercintanya.
Tiba tiba Prabu Salya berdiri. Disapunya pandangan dengan nanar,
mencari dimana Utara berada. Kemarahannya menggelegak dengan hebatnya.
19
Durna.
PANDAWA KURAWA
20. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Sementara Utara yang sedang ganti berhadapan dengan Kartamarma dan Durjaya
“Berikan lawanmu Kartamarma, Durjaya, orang ini pantas menjadi
Kembali pertempuran yang terputus berlangsung. Kemarahannya
memaksa mengeluarkan raksasa bajang dari dalam tubuhnya. Tertebas gada sang
Utara, raksasa bajang bukannya mati, malah membelah diri menjadi dua. Dua dua
tertebas, raksasa bajang bertambah banyak dengan jumlah ganda. Itulah ajian
Candabirawa. Aji pemberian mertuanya, Resi Bagaspati.
Kerepotan Utara melayani lawan yang semakin banyak. Terlena sang
Utara, panah Prabu Salya, Kyai Candrapati yang dari tadi tertuju kepadanya
segera dilepaskan, mengena tubuh Utara, gugur pula ia sebagai kusuma bangsa
Senja telah datang di hari pertama itu. Dan hari pertama pertempuran telah
ditetapkan berakhir ketika sangkakala ditiupkan. Bangkai kuda, gajah kendaraan
para prajurit terkapar bersama ribuan sekalian prajurit.
Hari pertama itu mengawali delapan belas hari pertempuran yang akan
berlangsung penuh hingga selesai, dan empatbelas hari diantaranya berlangsung
Malam telah larut. Api pancaka sudah hampir padam. Api suci yang
membakar kedua putra Wirata, Arya Utara dan Wratsangka, yang gugur sebagai
prajurit gagah berani. Kesunyian malam mulai mencekam, bintang dilangit
berkelipan menyebar, sebagian berkelompok membuat rasi. Menjadi pedoman
20
segera diterjang.
korbanku hari ini!!!”
dalam peperangan pada ujung hari.
ketika Bisma madeg senapati.
PANDAWA KURAWA
21. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
bagi manusia atas arah mata angin diwaktu malam mati bulan, serta menjadi titi
waktu kegiatan manusia sepanjang tahun, yang akan berulang dan terus berulang
entah sampai kapan. Angin semilir menyebarkan bau harum bunga liar. Lebah
malam terbang dengan dengung khasnya mencari bunga dan menghisap sari
Para prajurit yang letih dalam perang seharian memanfaatkan malam itu
sebagai pemulihan tenaga yang esok hari peperangan pasti dilakoninya kembali.
Dalam pikiran mereka berkecamuk pertanyaan, apakah besok masih dapat
menikmati kembali terbenamnya matahari? Bagi para prajurit pihak Pandawa,
kalah menang adalah darma. Kebajikan dalam membela kebenaran akan memberi
kemukten dialam kelanggengan bila tewas, atau mendapatkan kedua duanya,
dialam fana juga dialam baka nanti, bila nyawa masih belum terpisahkan dari
Malam itu Resi Seta duduk gelisah. Rasa sasar sebelum mampu
membalaskan dendam kematian adik adiknya masih terus berkecamuk. Sesal
kenapa perang cepat berlalu hingga tak sempat dendam itu terlampiaskan saat itu
“Belum lega rasaku sebelum aku dapat membekuk kedua manusia yang
telah menyebabkan kematian kedua adikku”. Sayang, aturan perang tidak
mengijinkan perang diwaktu malam terus berlangsung.
Resi Seta terus terjaga, hingga ayam hutan berkokok untuk pertama kali
barulah mata terpejam. Didalam mimpinya yang hanya sekejap, terlihat kedua
21
kembang.
raga.
juga.
PANDAWA KURAWA
22. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
adiknya tersenyum melambaikan tangannya. Mereka sangat bahagia, mengharap,
bila saatnya ketiganya akan berkumpul kembali.
Hari baru telah menjelang. Kembali hingar bingar membangunkan Seta
dari tidur. Hari itu gelar perang masih memakai formasi sehari lalu.Belum
matahari naik sejengkal campuh pertempuran berlangsung kembali. Kali ini Salya
dan Durna disimpan agak kebelakang. Sebagai gantinya, Gardapati dan Wersaya ,
dua raja sekutu Kurawa di masukkan dalam barisan depan sebagai pengganti
tombak kembar penggedor pertahanan lawan.
Dari pihak Randuwatangan, Werkudara dan Arjuna menjadi pengganti
posisi Utara dan Wratsangka untuk mengimbangi laju serang dua sayap Kurawa.
Dari jauh hujan panah sudah berlangsung. Seta dengan amukannya mencari biang
kematian kedua adiknya. Direntangnya busur dan anak panah ditujukan kepada
Salya, sayang luput dan hanya mengenai kereta perangnya yang kembali remuk.
Kartamarma dengan gagah berani menghadang, tetapi bukan tandingan
Seta. Kembali nasib baik masih menaungi Kartamarma, hanya kendaraannya yang
Bisma mencoba membantu, dilepas anak panah kearah Seta, terkena di
dadanya, tetapi tidak tedas, bahkan anak panah patah berkeping. Bukan main
marah Seta, kembali ia mengamuk semakin liwung. Kali ini Durna sebagai
sasaran anak panahnya, namun Duryudana membayangi, yang kemudian terkena
anak panah Seta. Walau tidak terluka, Duryudana mundur kesakitan dengan
menggandeng Durna menyingkir mencari selamat.
22
remuk, sementara Kartamarma selamat.
PANDAWA KURAWA
23. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Sebagai Senapati utama dari kedua pihak, Bisma dan Seta kembali
bertarung. Saling serang dengan gerakan yang semakin lama makin cepat. Seta
yang sebenarnya memiliki kesaktian lebih tinggi dari Bisma tidak bisa lekas
menyudahi pertempuran. Perhatiannya masih terpecah dengan rasa penasaran
untuk membela kematian adik adiknya. Dengan sengaja Seta menggeser arena
pertandingan mendekati Durna. Namun kesempatan itu tidak dapat ditemukannya.
Durna sangat dilindungi, demikian juga dengan Salya, keduanya seakan dijauhkan
Hari berganti, pertempuran seakan tak hendak padam. Sudah berjuta
prajurit tewas, tak terhitung lagi remuknya kereta perang dan bangkai kuda serta
gajah kendaraan para prajurit petinggi. Bau anyir darah dan jasad yang mulai
membusuk, mengundang burung burung pemakan bangkai terbang berkeliaran
diatas arena pertempuran. Pertarungan kedua senapati linuwih hanya dapat
dipisahkan oleh tenggelamnya matahari.
Hingga suatu hari, keseimbangan kekuatan keduanya mulai goyah,
kelihatan Seta lebih unggul dari Bisma, secara fisik maupun kesaktian. Mulai
merasa diatas angin Seta sesumbar“Hayo Bisma, keluarkan semua kesaktianmu,
setidaknya aku akan mundur walaupun setapak”.
“Jangan merasa jadi lelaki sendirian dimuka bumi ini, lawan aku, hingga
tetes darah penghabisan pun aku tak akan menyerah”. Bisma tidak mau kalah
Tetapi apa daya, tenaga Seta yang sedikit lebih muda mampu terus
mendesak pertahanan Bisma. Merasa terus terdesak, tak terasa posisi Bisma
23
dari dendam membara Seta.
menyahut.
PANDAWA KURAWA
24. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
sampai hingga ketepi bengawan Gangga. Terjatuh ia dari tepi jurang bengawan
Tertegun Seta dibibir jurang, ditungguinya timbul Bisma ke permukaan air
beberapa saat, namun hingga sekian lama jasad Bisma tak kunjung muncul.
Diceritakan, Bisma yang terjerumus kedalam palung bengawan, ternyata
tidak tewas. Samar terdengar ditelinganya sapaan seorang perempuan,
“Dewabrata, inilah saat yang aku tunggu, kemarilah ngger. . . !”
Dicarinya suara itu yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita cantik
“Siapakah paduka sang dewi, yang mengerti nama kecil hamba. Pastilah
paduka bukan manusia biasa. Malah dugaanku padukalah yang hendak
menjemput hamba dari alam fana ini….” Dewabrata menjawab dengan seribu
Wanita itu menggeleng “ Bukan . . . , akulah Gangga ibumu”
“Benarkan itu, selamanya aku belum pernah melihatnya. Dan seumur
hidup ini aku selalu merindukan wajah itu.”
“Ya, akulah ibumu ini”, sang dewi mendekat membelai anaknya. Ibu yang
dahulu adalah seorang bidadari yang dipersunting Prabu Sentanu.
“Pantaslah kamu tidak mengenal wajah ibumu ini, karena aku telah
meninggalkan kamu sewaktu masih bayi”. Sambung Sang Batari.
Beginilah cerita singkatnya ngger anakku ,“Pada suatu hari ayah Prabu
Sentanu, ayahmu, yaitu Prabu Pratipa sedang bertapa. Saat sudah mencapai hari
24
yang kelewat luas dan dalam.
dengan dandanan serba putih.
tanya.”
PANDAWA KURAWA
25. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
matangnya semadi, aku duduk dipangkuan sang Prabu Pratipta, nyata kalau aku
terpesona oleh aura sang prabu yang bersinar kemilau dan juga ketampanannya.
Dari kencantikan yang aku punya, sebenarnya Prabu Pratipa juga sangat
terpesona denganku, namun tujuan utamanya bukanlah jodoh yang sang
Prabu dikehendaki. Maka Prabu Pratipa berjanji, bila dia mempunyai anak lelaki
kelak, maka ia akan menjodohkannya dengan diriku, disaksikanlah janji itu oleh
Benar, takdir mempertemukan kembali aku dengan anak Prabu Pratipa,
Raja Muda Sentanu, ketika Sang Prabu sedang cengkeraman berburu.
Demikianlah, aku dan ayahmu saling jatuh cinta, dan kembali ke Astina
Sayang seribu kali sayang, ada satu permintaan ku yang diasa kelewat
berat ketika diutarakan kepada ayahmu. Setiap aku melahirkan, maka anak itu
harus dihanyutkan di bengawan Gangga.
Sekian lama ayahmu, Sentanu tidak dapat memutuskan persoalan yang
Asmara akhirnya mengalahkan logika. Kecantikanku yang selalu belalu
dihadapannya setiap waktu, memancing gairah kelelakian Prabu Sentanu hingga
Hari berganti, bulan berlalu dan tahun tahunpun susul menyusul
menjelang. Lahir satu demi satu anak anakku. Belum sampai menyusu, bayi
merah dihanyutkan di Bengawan Gangga. Hingga akhirnya lahir anakku yang ke
25
alam semesta.
bersama sama.
maha berat baginya.
disanggupinya permitaan yang satu itu.
sembilan.
PANDAWA KURAWA
26. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Anak yang lahir ini sangat mempesona Prabu Sentanu, dengan aura cahaya
cemerlang, senyum cerah dan tingkah lucu meluluhkan cinta sang Sentanu
terhadapku. Anak itu adalah kamu Dewabrata! Tambahan lagi kesadaran
ayahmu terhadap rasa kemanusiaan, mengalahkan cinta berlandas birahi terhadap
Pertengkaran sebab dari perbedaan pendapat berlangsung setelah itu dari
hari kehari, hingga terucap kata kataku, bahwa aku harus meninggalkan Astina
Demikan Sang Batari Gangga mengakhiri cerita masa lalunya.
Memang demikaian adanya. Prabu Sentanu saat ditinggal istrinya, sangat
kesulitan mencarikan susuan untuk anaknya. Ratusan wanita tewas ketika
mengharap dapat dipersunting Sang Prabu, sebagai ganti atas air susu yang
dilahap putera kerajaan, Raden Dewabrata, atau Jahnawisuta alias Raden
Ganggaya . Kelak Sang Sentanu dapat menemukan kembali pengganti ibu
Dewabrata sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durgandini, kakak Raden Durgandana
yang ketika bertahta menggantikan ayahndanya bergelar Sang Baginda
Durgandini sendiri mengalami cerita asmara rumit antara Palasara kakek
moyang Pandawa, dan Sentanu.Itulah kenapa Bisma Jahnawisuta, Sang Putra
Bengawan, tidak pernah bertemu ibunya hingga saat Baratayuda tiba.
“Nah sekarang katakan, ada apa denganmu, kenapa kamu ada disini,
anakku..?” Sang Batari menyelidik atas peristiwa yang tak terduga ini.
26
diriku.
kembali ke alam kawidodaren”.
Matswapati.
PANDAWA KURAWA
27. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Lalu Dewabrata menceritakan dari awal hingga ia terjerumus kedalam
“Pertolongan ibu sangat aku harapkan, agar aku tidak mendapat seribu
malu atas tanggung jawab Negara yang telah dibebankan diatas pundak ini, ibu!”
“Baiklah, sekarang kembalilah ke medan pertempura, Aku bekali dengan
senjata panah sakti bernama Cucuk Dandang, lepaskan kearah lawanmu”. Kasih
ibu sekali ini memberikan tunjangan terhadap anak yang sedang dalam kesulitan.
Gembira sang Bisma menerima pusaka itu. Niat untuk berlama- lama
melepas kangen dengan sang ibu diurungkan. Segera ia memohon pamit.
Seta kembali mengamuk di palagan setelah yang ditunggu tidak juga
timbul. Tandangnya membuat giris siapapun yang ada didekatnya. Namun tidak
sampai separuh hari, kembali ia dikagetkan dengan kemunculan Bisma.
“ Seta, jangan kaget, aku telah kembali. Waspadalah, apa yang kau lihat?”
Bisma datang dengan senyum lebar. Menggenggam busur serta anak panah
ditangan, kali ini ia yakin dapat mengatasi kroda sang Seta.
“ Hmm . . . , Bisma, apakah kamu baru berguru kembali? Atau kamu
kembali datang hendak menyerahkan nyawa?” Seta menyahut dengan masih
Segera tanpa membuang waktu, Bisma merentang busur dengan terpasang
anak panah Kyai Cucuk Dandang. Panah dengan bagian tajam berbentuk paruh
burung gagak hitam, melesat dengan suara membahana dari busurnya, tembus
dada hingga kejantung. Menggelegar tubuh sang resi terkena panah , jatuh kebumi
seiring muncratnya darah dari dada sang satria.
27
lautan.
menyimpan percaya diri yang besar.
PANDAWA KURAWA
28. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Sorak sorai para Kurawa membelah langit senja. Dursasana terbahak
kegirangan. Durmagati berceloteh riang. Kartamarma dan adipati Sindureja
Jayadrata menari bersama, Srutayuda, Sudirga, Sudira dan saudara lainnya
memainkan senjatanya seakan perang telah berakhir dengan kemenangan didepan
Sementara itu, para Pendawa dan anak anaknya mendekati Resi Seta yang
berjuang melawan maut. Dengan lembut Arjuna memangku Seta dengan kasih.
Perlahan Seta membuka mata, “Cucuku Pendawa . . . . . Sudah tuntas …
Perjuanganku sudah berakhir, tetaplah berjuang… kebenaran ada pada pihakmu . .
Kresna sangat marah dengan kematian Resi Seta, dihunusnya panah
Cakrabaswara hendak ditujukan kepada Resi Bisma.
Waspada sang Resi Bisma, didatanginya Kresna sambil mengingatkan
“Duh Pukulun Sang Wisnu yang aku hormati, apakah paduka Sang Kesawa
hendak mengubah jalannya sejarah yang sudah ditetapkan. Bukankan sumpah
dewi Amba, yang akan menjemput titah paduka
Tersadar Kresna dengan perkataan itu, segera Kresna mundur dari
peperangan. Begitu pula Werkudara, melihat junjungannya tewas Werkudara
mengamuk hebat, dicabutnya pohon randu besar dan disapunya para prajurit
lawan didepannya hingga terpental bergelimpangan. Jadilah mereka korban yang
tak sempat menghindar. Yang masih sempat berkelit melarikan diri kocar kacir
28
mata.
. . . “
Adalah prajurit wanita”
mencari selamat.
PANDAWA KURAWA
29. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Senja hari menyelamatkan barisan Kurawa hingga korban yang lebih besar
Kembali Matswapati kehilangan putranya. Bahkan sekarang ketiga tiganya
telah sirna. Kesedihannya sangat mendalam, hilang semua putra yang diharapkan
menjadi penggantinya kelak. Pupus sudah harapan akan kejayaan penerus
keluarga Matswa. Tetapi dasarnya ia adalah raja besar yang menggenggam sabda
brahmana raja. Tak ada kata sesal yang terucap.
“Cucu-cucuku, jangan kamu semua merasa bersalah atas putusnya darah
Matswa, aku masih punya satu harapan besar atas darah keturunanku. Lihatlah di
Wirata, eyangmu Utari sudah mengandung jalan delapan bulan, anak dari
Abimanyu, anakmu itu Arjuna !” Matswapati memberikan pijar sinar kepada
Pandawa, agar rasa bersalah atas terlibatnya dengan dalam Wirata dalam perang.
“Bukankah keturunanku dan keturunanmu nanti sudah dijangka, akan
menjadi raja besar setelah keduanya, Abimanyu dan Utari, mendapat anugrah
menyatunya Batara Cakraningrat dan Batari Maninten?” Relakan eyang-eyangmu
Seta, Utara dan Wratsangka menjalani darma sehingga dapat meraih surga. Aku
puas dengan labuh mereka, yang nyata gagah berani menjalani perannya sebagai
prajurit utama, yang gugur sebagai kusuma negara.”
Malam itu Matswapati memberikan nasihat pembekalan kepada pemuka
pihak Pandawa yang hadir dalam sidang di pesanggrahan Randuwatangan, setelah
upacara pembakaran jenasah Seta selesai dilakukan.
29
terhindarkan.
PANDAWA KURAWA
30. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Barata
GUGURNYA SANG PUTRA GANGGA
Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada
sidang yang digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati
Pendawa, Resi Seta. Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada
kursi dampar kebesaran yang direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung
“Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu! “ Dada
Prabu Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa saat
30
istana Astina.
kemenangan akan segera datang.
PANDAWA KURAWA
31. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Lanjutnya “ Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari
telah berlangsung. Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit
Pendawa yang akan dapat menandingi kesaktian paduka, Eyang!”
“Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa
siapapun yang mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang.
Pada kenyataannya siapa yang dapat menandingi tokoh sepuh sakti
mandraguna seperti Eyang Bisma?!!” Berkata lantang Prabu Duryudana, dengan
mulut penuh dalam jamuan yang diselenggarakan malam itu menyambut
Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari
Negeri Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang
dimulai serta, Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta
semua yang hadir sepakat, bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan
Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh Sang Jahnawi Suta
“Ngger Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang
harus dilalui. Walaupun banyak orang menganggap, kalau aku sebagai manusia
sakti tanpa tanding, tetapi ada pepatah mengatakan, diatas langit masih ada langit.
Jalan didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa ada dipundak
kedua saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah
dapat mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!.”
31
kemenangan.
ditangan.
menyahut
PANDAWA KURAWA
32. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
“Apalagi, dibelakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang
penjelmaan Wisnu yang sungguh waskita dalam memberikan pemecahan berbagai
Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang
Garuda Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni
Prabu Salya di sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala
serta Pandita Durna yang sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh
Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit
dan dilindungi oleh para raja telukan, dibelakangnya Harya Dursasana siap pada
daerah pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan
Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu
Duryudana tidur mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati
dan kenyangnya perut. Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang
molek jelita, Dewi Banuwati, yang segera dipondongnya keatas tilam rum.
Malam bertambah larut, dalam malam tak ada yang dapat diceritakan
selain sinar rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang
temaram mampu membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang
bagi pribadi lain akan menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas,
32
masalah. Jadi tetaplah waspada!!”
serangan.
menyusup ke dalam.
sebagian lain menjadi murung.
PANDAWA KURAWA
33. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar
dengan hati dan pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang
gembira, suara itu bagaikan nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala
pemukim hutan sekeliling Tegal Kurukasetra menggonggong dengan suara pnjang
membuat bulu roma berdiri, gerombolan liar itu tengah mengendus, kapan kiranya
suasana menjadi aman bagi mereka untuk memulai pesta pora.
Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak
kembali siaga dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut
tidak menjadi alasan bagi mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi
prajurit linuwih yang mampu melewati hari-hari panjang dan sulit mengatasi
musuh hingga saat ini, ternyata nyawa mereka masih tetap mengait pada raga.
Bende beri bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan
irama pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam
menggetarkan dada, berirama senada detak jantung yang mulai terpacu.
Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan
Randuwatangan atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang
ditiru oleh prajurit Astina masih tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah
paham dengan apa yang harus dilakukan setelah bertemu dengan Resi Bisma hari
kemarin, masih menyimpan Wara Srikandi dibarisan tengah, yang sewaktu waktu
dipanggil untuk mengatasi kroda sang Dewabrata.
Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama.
Drestajumna, putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak
33
PANDAWA KURAWA
34. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
lahir sebagai manusia yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi
prajurit trengginas sesuai dengan perawakannya yang langsing sentosa.
Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera
Arjuna melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan
anak panah diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering
Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh satu
sama lain terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut.
Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng.
Dentangnya memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang
semakin membakar semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan
bercampur teriakan kesakitan prajurit yang roboh sebagai pecundang.
Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di
genggaman tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang
gerakannya. Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati,
membuat gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan
dari Setyaki yang sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam
membantai musuh dengan gada Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap
itu. Tak terhitung banyaknya korban prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana
seperti Durmuka, Citrawarman, Kanabayu, Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi.
Bahkan kuda dan gajah tunggangan bergelimpangan. Juga kereta perang yang
34
diakhir musim kemarau panjang.
Gemuruh mengerikan.
PANDAWA KURAWA
35. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
remuk tersabet gada kedua satria yang mengamuk dengan kekuatan tenaga yang
Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi
Krepa, Adipati Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap
kanan mengungsi dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang
Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala
dikaitkan pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju
serangan. Bahkan Bima dibidik dengan panah sakti Cucukdandang yang
mengakhiri krida Resi Seta sebagai senapati Pandawa.
Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah
sakti itu tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya
serangan bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan.
Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan.
“Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk
menyumbangkan jasa bagi kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar!” Prabu
Kresna melambaikan tangannya kearah Wara Srikandi untuk berdiri lebih
Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?!” Srikandi maju mendekat
dengan segenap pertanyaan bergulung dibenaknya.
35
menakjubkan.
Resi Bisma.
mendekat.
PANDAWA KURAWA
36. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
“Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma
menuju peristirahatannya yang terakhir” Prabu Kresna mengawali penjelasannya.
“Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma .
. .?! Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu
untuk membuat kulit Eyang Bisma tergores sedikitpun..!”
“Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya. . . . . !” Tersenyum Prabu
Kresna melihat kebimbangan dalam hati Wara Srikandi.
Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah
diceritakan oleh suaminya, Arjuna, “Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan
cerita asmara tak sampai dari Dewi Amba ketika Eyang Bisma masih bernama
Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang
diharapkan dapat menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang
“Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu !” Prabu Kresna masih
sambil tertawa mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra.
Tersipu Wara Srikandi dengan pujian yang dilontarkan oleh kakak
iparnya. Hatinya menjadi sumringah oleh harapan dapat mengatasi kesulitan yang
tengah dialami oleh keluarga suaminya, Arjuna.
Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera
dipegang lengan istrinya dan mengajakanya dengan lembut “ Ayolah istriku,
36
Dewabrata ?!”
Dewabrata?”
PANDAWA KURAWA
37. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
jangan lagi membuang waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh
Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang.
Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk
menjemput kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi,
Sarotama, pinjaman sang suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta
Dewi Amba yang terhalang oleh hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti
dengan cinta abadi di alam kelanggengan.
Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran
tersenyum. Dalam hatinya mengatakan -“Inilah saatnya bagiku untuk bertemu
dengan cinta sejatiku Dewi Amba sekaligus mengakhiri do’a ibundaku”.
Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu
dimintakan kepada Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang
berumur panjang dan tidak mudah dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai
pengganti atas pengorbanannya tidak mengusik keturunan ayahnya dengan Dewi
Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru
sakti Rama Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru
sambil dengan diam-diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama
37
amukan Eyang Bisma.”
Durgandini.
berbulan-bulan tanpa henti.
PANDAWA KURAWA
38. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan
mata. Dalam benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-gambar
yang diputar ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan
peristiwa perjalanan hidupnya itu baru saja terjadi.
Ketika membuka matanya kembali, didepan matanya Wara Srikandi
dengan senyum mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas
anak panah. Berdebar gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi
bagai senyum kekasih hatinya, Dewi amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang
Dewabrata bagaikan dilolosi otot bebayu dalam raganya. Memang demikian,
ketika panah Sarutama yang tergenggam ditangan Srikandi, seketika perbawa
Dewi Amba seakan melekat pada raganya. Tiada salahlah pandangan Resi Bisma
Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara
Srikandi, maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh
Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata
panah Sang Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus
jantungnya, rebah seketika di tanah berdebu Padang Kurusetra.
Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana
dan Prabu Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik adik mereka masing-masing,
menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang
38
saat ini.
Dewi Amba.
merah darah yang membuncah.
PANDAWA KURAWA
39. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak, karena kedua
raja ini memangku bersama raga pepunden mereka.
“ Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini.
Lega rasa dalam dada ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan
menyongsong raga rapuh, melupakan segala permusuhan dan peperangan menjadi
Tersendat dan gemetar suara Resi Bisma kepada kedua cucu trah Barata.
“ Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong
aku dan mendukung ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak
terhingga kepadaku”. Sambil sesekai nafasnya tersengal ia melanjutkan, “Kalian
berdua ada pada jalanmu masing-masing, teruskanlah peperangan ini, untuk
membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa ini”.
Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing
masing. Seakan tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat.
“Lepaskan sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring”. Akhirnya mereka
tersadar atas permintaan Resi Bisma kali ini.
“Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu !!” Perintah Prabu
Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih
ditangannya. Yang diambil Dursasana sebuah bantal empuk dan bau wangian –
39
terhenti. . . .”
Duryudana gemetar.
wangian.
PANDAWA KURAWA
40. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata “Bukan itu ngger yang
aku mau . . . Aku menghendaki bantal layaknya seorang prajurit di medan
Kali ini Werkudara yang juga berdiri disisi raga eyangnya segera
melompat tanpa diperintah. Ketika kembali ditangannya tergenggan beberapa
potong gada patah dan pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala
Tersenyum Bisma merasa puas, “Nah beginilah seharusnya bantal seorang
Melotot jengkel Prabu Duryudana kepada Werkudara dengan pandangan
Nafas satu demi satu mengalir dari hidung sang Resi Bisma, sebenar
bentar wajahnya menyeringai menahan sakit didadanya. Darah yang masih
mengalir dari dadanya membuat cairan tubuhnya berkurang. Sekarang yang terasa
adalah haus yang tak tertahankan. Terpatah patah perintah Sang Resi kepada
cucu-cucunya, “Kerongkonganku kering, tolong aku diberi minum walau hanya
Melompat Prabu Duryudana tak hendak tertinggal langkah. Segera
kembali kehadapan sang Senapati sepuh yang sedang meregang nyawa,
dibawanya secawan anggur merah segar.
40
perang”.
sang resi.
prajurit . . . .!”
kurang senang.
setetes”.
PANDAWA KURAWA
41. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
“Eyang pasti akan hilang rasa hausnya kalau mau merasakan anggur
mewah kerajaan”. Bangga Prabu Duryudana bersujud dihadapan eyangnya hendak
Sekali lagi kekecewaan Duryudana terpancar dari wajahnya ketika Resi
Habis kesabaran dua kali ditolak pemberiannya, dengan sugal ia
memerintahkan kepada adik adiknya untuk meninggalkan raga sang resi dengan
suara lantang, “Dursasana, Kartamarma, Citraksa dan kalian semua!! Tinggalkan
orang tua yang sedang sekarat itu!! Tidak ada guna lagi kalian menunggu hingga
ajalnya tiba.! Ayo semua kembali ke pakuwon masing masing . . . !”
Prabu Kresna yang dari tadi juga berada di tempat kejadian, segera
membisikan sesuatu kepada Raden Arjuna, “Yayi, celupkan ujung anak panahmu
Pasupati ke wadah kecil berisi air minum kuda perang, berikan kepada Eyangmu”.
Tanpa sepatah kata bantahan, Arjuna mematuhi perintah kakak iparnya.
Dipersembahkan air minum itu kepada Resi Bisma yang tersenyum meneguk air
pemberian cucunya itu. Senyum untuk terakhir kali.
Kidung layu-layu berkumandang. Sementara itu, taburan bunga sorga para
bidadari dari langit, mengalir bagaikan banjaran sari wewangian, mengantar
kepergian satria pinandita sakti berhati bersih. Ia telah menjalani hidup dengan
cara brahmacari, tidak akan menyentuh perempuan, demi kebahagiaan ayah dan
ibunda tercintanya. Perjalanan hidup yang kontradiktif dengan jiwa yang
41
meneteskan minuman.
Bisma kembali menolak pemberiannya.
PANDAWA KURAWA
42. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
bersemayam dalam raga yang berumur panjang. Sekarang segalanya telah
Bergandeng tangan dengan kekasih yang sangat memujanya selama ini,
kekasih yang dengan sabar menanti kapan kiranya dapat bersatu tanpa halangan
dari hukum dunia yang selama ini mengungkung mereka berdua, Dewi Amba dan
Raden Dewabrata, hingga mereka berdua tak mampu bersatu didunia. Sekaranglah
Barata
MAJUNYA SANG PROFESOR
Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam
pandangan Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan
kekhawatiran akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat
42
berakhir dengan senyum.
saat bahagia itu menjelang.
PANDAWA KURAWA
43. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Duryudana duduk tanpa berkata sepatahpun. Sebentar sebentar mengelus dada,
sebentar sebentar memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap usap
keningnya yang berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak
menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali
disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah
lebih jauh lagi, ia memaki maki dewa didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat
Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu
Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya.
“Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu
yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang
Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika
dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan,
“Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar,
kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk
digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri
disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati
raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara
Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari
Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala,
disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak
43
adil terhadapnya.
rubuh bila terserang musuh”.
PANDAWA KURAWA
44. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
terhitung raja raja serba mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat
Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi
gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya.
Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni,
manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi
penunjang berdirinya kekuatan Astina?”
Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air
mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja
Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar
Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar “ Rama Prabu
Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang
semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma,
seakan akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba
tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”.
Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia
melanjutkan “Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa
ternyata disekelilingku masih banyak agul agul sakti, terasa terang pikirku, terasa
lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan
44
disebu satu persatu.
dan parampara yang ada di balairung.
dari air mukanya yang menjadi cerah.
semangat anakmu ini”.
PANDAWA KURAWA
45. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah
gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan
tinggal menunjuk saja. Ssemua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”.
Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi
“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk
menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana
agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa”
Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri seri. “Inilah
yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya
sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk
“Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita
yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman
Pandita membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin
“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma,
kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang
mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri
ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”.
“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran
menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu satunya adalah bagaimana kita
45
senapati pengganti.
kejayaan keluarga Kurawa”.
lebar.
PANDAWA KURAWA
46. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari
saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk
kemenangan kita”. Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi.
Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa
semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna
“Sekarang bagaimana caranya?” Kembali ia berhenti. Matanya kembali
menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya
“Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu
demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini
diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati
Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana ,
Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya
membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.
Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng
mengajukan pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak
dipercaya terlibat dalam susunan gelar?”
Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidak puasan
yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini.”Jangan khawatir, justru kamu
berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari
!” Sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya.
46
meneruskan.
PANDAWA KURAWA
47. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Wajah wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu
Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ?
Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang
dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar Gardapati mengajukan
“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti,
pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari
barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir
pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu
ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi
hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu.
Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam.
Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu
Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan
pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok
Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi
Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad.
Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para
Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka.
47
pertanyaan.
Pasti keduanya akan segera tewas”.
hari.
PANDAWA KURAWA
48. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian
Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah
kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu
Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga
Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa
perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya
Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang
ditanyakan kepada Prabu Puntadewa.“Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah
paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi
“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami
semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah,
alangkah lebih baik kita mencebur sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam.
Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung.
Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang
diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta
melanjutkan. ”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara
untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka “.
“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung
tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.
48
menyebabkan tewasnya Resi Bisma.
apa.
sampaikan dalam sidang ini ?”
PANDAWA KURAWA
49. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas
Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua
strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai
Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala
tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak
majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya
“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”.
Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria
yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang
digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau
Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu,
selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan
sorak prajurit yang bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua
lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda
mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari hari kemarin.
Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna.
Tandangnya trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari
Pihak Kurawa semakin banyak berguguran. Sementara tak kalah pada sayap
49
mengatur kekuatan langkah.
pertahankan”
Prabu Kresna mengingatkan.
serangan musuh.
PANDAWA KURAWA
50. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata
gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang
bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat
banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.
Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama
bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana,
kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuatnya
terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan
keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura.
Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang
oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati
bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati
segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara!
Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita
mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar
Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa
maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.
Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah
lawannya menuju ketempat yang ditujunya.
50
sakti. Kejar aku..!!”
PANDAWA KURAWA
51. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya
dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari
Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan
berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para
satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda
nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak
prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa.
Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan.
Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera
merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita
sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.
Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit
“Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya
kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh.
Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian salang
tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah.
Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari
tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah
ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu
51
arena di Kurusetra.
Kresna.
PANDAWA KURAWA
52. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku
lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap
“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna
dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai
disini” sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.
“Lho . . ! Nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap
tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau
Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna.
Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna,
satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada
bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu
adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah
“Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan
punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah
Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang
Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi
pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan
52
Drestajumna memelas.
diberikan”.
kekuatan, kakangmas”.
PANDAWA KURAWA
53. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita
terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang
sesuai dengan keadaan saat ini”. Kresna membuka nalar Drestajumna.
Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?”
“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim
utusan untuk menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan. Maka berangkatlah
Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya
sedang duduk bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu
menunggui kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya.
Disamping kiri kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi
lain Dewi Utari yang tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari
dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang suami.
“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku
merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini.
Apa gerangan yang akan terjadi” demikian keluh Utari kepada suaminya.
“Utari, jangan dirasa rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam
kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.
Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat
menggelendoti suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak
53
Sambar Drestajumna.
sang Gatotkaca ke Plangkawati.
PANDAWA KURAWA
54. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang”.
Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.
“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda
tanda aku juga mau hamil kakang”.Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya
“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur
Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat
anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan
Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga
Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden
Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati.
Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.
“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian
bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh
yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan
tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra”.
Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat
tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya
dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik.
54
masih dengan garis keturunan, eyang.
mereka segera dikawinkan.
PANDAWA KURAWA
55. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis
Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang
Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru.
“Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan
atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.
Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan
kepada istrimya, namun tangis keduanya malah be tambah tambah. Semakin erat
kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya
berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami.
Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia
berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke
istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu.
Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama
Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua.
Barata
55
mereka.
PANDAWA KURAWA
56. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
GUGURNYA CALON RAJA MUDA HASTINA
Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing
jauh keluar arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari
senapati pengatur perang, Drestajumna.
Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria
Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi
perasaan bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan.
Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi
sebetulnya tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding
56
menghindar dari tantangan musuh.
itu.
PANDAWA KURAWA
57. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan
Wersaya tanah yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah
menjadi pasir lumpur yang menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin
mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin mereka tenggelam.
Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir
lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam.
“Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara
saudaramu, bicaralah kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul
ayahmu ke Candradimuka menggantikannya jadi kerak neraka itu”.
Sementara Abimanyu yang mendengarkan ayah dalam keadaan bahaya
segera maju ke palagan untuk menolongnya. Maka ia segera berangkat menemui
Uwak atau mertua menanyakan bagaimana selanjutnya...?”.
Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan
debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama
Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.
“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu
kali ini, ngger !” Sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada
sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki
formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam
ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu
57
lebih berpengaruh dalam benaknya.
PANDAWA KURAWA
58. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,
“ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya
dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua orang tua
“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah,
sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan
gantilah dengan tata gelar baru”. Perintah sang uwa
“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan
saya untuk ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu.
“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu
Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna.
“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas
permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”.
Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar
kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri
sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian
kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi.
Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid.
Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala
para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda
58
kami”
Demikian putusan Sang Senapati.
PANDAWA KURAWA
59. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai
mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang
mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang
dimiliki penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris
Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan
korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara,
Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas.
Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu.
Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia
muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.
Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas
tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan
berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala
Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun
lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan.
Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat
muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan
bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang
sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia
menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar
Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak
59
dari Kusala.
lama jatuh bergelimpang ke tanah.
PANDAWA KURAWA
60. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang
Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati
Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak
maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap
keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir
keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria
anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah
Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena
panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara.
Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas
dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya
Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu.
Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan
Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu
tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru
yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.
Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja
sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan
bergelombang dengan senjata ditangan masing masing lawannya. Bahkan sesekali
Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke
empat lawannya yang malah bagai dipedayai.
60
satu lagi putra Arjuna.
PANDAWA KURAWA
61. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian.
Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu,
sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada
saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari
atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya.
Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan
Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.
Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan
mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan
Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi.
Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang
“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan
menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka
!”. Kata kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya
dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai
Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya
dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan,
membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua.
Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali
61
barusan sudah terjadi.
dirinya lagi.
PANDAWA KURAWA
62. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir
semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.
Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam
“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya.
Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.
Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka
menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal akalannya,
“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol
kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan
kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”
“Eee. . . Kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya.
“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus
teruskan, maka akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”.
Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan
rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.
“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab
62
hatinya ia mengatakan,
Pasti setuju!” Sangkuni mengamini.
Narpati Basukarna sekenanya.
PANDAWA KURAWA
63. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger
Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah
yang dapat mengatasi masalah ini”. Durna mulai membuka strategi.
“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” Berat hati Karna
“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah.
Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan
rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah
Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan
gampang langkah kita”. Pandita Durna menjelaskan strateginya.
“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”.
Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah
Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran
bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan
terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang
dihentikan? Sementara orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka
kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.
Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:
“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang
masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh
63
menyahut.
dirancang.
PANDAWA KURAWA
64. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya
Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang
telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan.
“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah
takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari,
layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan”. Bangga Abimanyu.
Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan
kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah
ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu
Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang
terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk
“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu
terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri
Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil.
Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar
dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.
64
dengan darah menyembur dari lukanya.
diberi laporan.
urusan lagi”. Tutur Adipati Karna.
PANDAWA KURAWA
65. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali
menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju
“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah
hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga
menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau
setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”.
Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih
lantang dan berdirinya masih tetap tegar.
Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya,
aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh
warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta
trisula bertubi tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap
Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan
amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor
landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur
tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini
bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan
bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang
mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang
65
menyongsong serangan.
ditubuh satria muda itu.
PANDAWA KURAWA
66. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti
halnya untaian melati menghiasi pinggang.
Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya
menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah
Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari
turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para
bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang
beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta
penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek!
Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala
menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga
bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa
bila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya
Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana
raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia
perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga
rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua
istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan
Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu
Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan.
66
dengan senjata apapun.
hati, inilah bayaran atas janjinya.
PANDAWA KURAWA
67. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam
keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara.
Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana
menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini
memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa.
Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat
Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru
sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya.
“E . . E . . E . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku
menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil
alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong
Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain main, ia
maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit
membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya.
Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat
ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh,
maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah
Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang
tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir , sang prajurit
muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung
putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara,
67
lehermu”.
PANDAWA KURAWA
68. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah
berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya.
Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan
beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum
lama beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera
menyingkirkan pahlawan mereka masing masing.
Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban
menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan
gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi
bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan
didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam
perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta
kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua
garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi.
Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur,
jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah
palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap
bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah
suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan
keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak
sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang
68
istri prajurit muda itu.
PANDAWA KURAWA
69. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung
didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan
sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu,
seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi
kusuma negara yang gugur, di lepas siang .
Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar
apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang
terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang
prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya
meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami
istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu
Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni
Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu
mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah
itu, ketika atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana
menaiki lembu Andini, tunggangan Batara Guru.
“Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan
mengenangmu sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna
menyahut dengan gerakan hati hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur
69
pertiwi.
makin menyeretnya tenggelam.
PANDAWA KURAWA
70. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan
batinnya. Perjuangan menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah
menjadikannya kokoh luar dalam. Maka ketika sedang terjepit seperti ini tak lah
ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol dikerahkan untuk mendorongnya
keluar dari seretan lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil melompat keluar dari
pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan Gada
Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak
Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat.
Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan
meminjam tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan
sengit kembali terjadi, namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh diatas
Wersaya. Dengan tidak membuang waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan
tewasnya Wersaya diujung keris Kyai Kalanadah.
Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari
induknya, dan mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan
menemukan suasana duka mendalam yang terjadi di pesanggrahan
Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah
meninggalkan peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya
membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti
hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia.
70
Kurawa.
Randuwatangan.
PANDAWA KURAWA
71. BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu
Kresna, duduk dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan
air mata bagai hendak terkuras dari kedua matanya.
Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga
suami istri belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah
mendadak seperti dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore
seperti mendung yang menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu.
Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang
menjelang sore itu karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan
keheningan itu menjadikannya helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu
satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar mandir, kemudian duduk kembali.
Sebentar sebentar ia mengelus dada dan bergumam dengan suara tidak jelas.
Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang
orang disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu
Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja
mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah
gugur, maka tiada satupun yang berani membuka mulutnya.
Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya
Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga.
Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana mana dengan
kenangan terhadap pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya
71
menjadi bagai lumpuh.
PANDAWA KURAWA