SlideShare a Scribd company logo
1 of 68
Download to read offline
PERANG BARATAYUDA ( bagian 2 )
Lunaslah Janji Abimanyu
Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul
diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada dihadapan
Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.
“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !”
sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu
menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi
kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku
apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya.
Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,
“ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat
dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua orang tua kami”
“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya
bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar
baru”. Perintah sang uwa
“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk
ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu
“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna
menegaskan kepada Raden Drestajumna.
“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan
anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”. Demikian putusan Sang
Senapati.
Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar kacir perlahan lahan
membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi
capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara
Srikandi.
Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian besar
pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit
Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari, bagaikan banteng
terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan penunggangnya,
berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung
sikatan. Olah panah yang dimiliki penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh,
dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan
korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara, Yutayuta,
Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas. Bahkan Arya Dursasana
yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu. Walaupun tidak tedas, namun kerasnya
pukulan anak panah menjadikannya ia muntah darah. Lari tunggang langgang Arya
Dursasana menjauhi palagan.
Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai
Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut
Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala.
Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia terus
maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala
gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi dengan gagah berani
telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit
dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba
canggung. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama.
Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak
lama jatuh bergelimpang ke tanah.
Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju
bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna
sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ketengah dalam
pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih menggelayuti
hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah
menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya.
Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna.
Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu Salya
rebah menjadi kusuma negara.
Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu singkat
menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan strategi
bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat,
Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu.
Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga
baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.
Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari
berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan
senjata ditangan masing masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat mengenai
pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah bagai
dipedayai.
Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian.
Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa
kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni
menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan
tersisa menjadi ciut nyalinya. Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu
lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.
Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling serang.
Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh terguling tak
bangun lagi.
Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan sudah
terjadi.
“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan menunduklah
ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !”. kata kata Abimanyu
hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung kedua raja
seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi.
Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari kedua arah.
Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu
dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi, disudahi
pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau
tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.
Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia
mengatakan,
“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal seperti
ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.
Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka
menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal akalannya,
“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat
mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju
Adi Sengkuni ?”
“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!”
Sangkuni mengamini.
“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus teruskan, maka
akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”. Seakan Durna minta
pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara
mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.
“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati
Basukarna sekenanya.
“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger
yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi
masalah ini”. Durna mulai membuka strategi.
“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut.
“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak
Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan
kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang.
Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita”. Pandita
Durna menjelaskan strateginya.
“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”. Adipati Awangga itu
segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang.
Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih Patih
Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para
prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara orang mengerti, bila
perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.
Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:
“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja
sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa
yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya
seorang paman terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan.
“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan
memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang
senapati takluk terhadap lawan”. Bangga Abimanyu.
Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan memainkan
gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu,
seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari lukanya.
Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka, mundurlah ia
menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan.
“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka
dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi”.
Tutur Adipati Karna.
Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya biarlah
tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali. Segera Karna
menjauh balik ke pesanggrahan.
Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali menyerang.
Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju menyongsong serangan.
“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan
aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah
kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun
yang maju !!”.
Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan
berdirinya masih tetap tegar.
Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba keroyok
bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa, sementara yang
dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi tubi. Dalam waktu singkat,
segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.
Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya. Dari
kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya anak
panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh
lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh
senjata seperti karangan bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar
mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus
yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti halnya
untaian melati menghiasi pinggang.
Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi makin
berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah mewangi
sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan kegagahan sang
prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat bercampur
dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling serta
tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan
berirama Kodok Ngorek!
Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari
pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah
beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku poligami, maka
bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.
Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa boncel
lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan Putri Wirata,
kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak
terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah
tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya.
Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana yang baru
saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya sebagai anak
manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat
kentara.
Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina
Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya,
Abiseca dan Secasrawa.
Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu.
Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan
dipamerkan kepada ayahnya.
“E . . e . . e . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten
bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti
gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”.
Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain main, ia maju semakin
mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya, memandang
enteng kejadian didepan matanya.
Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak dapat
membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan hancur juga
masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan
penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan
tenaga terakhir , sang prajurit muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada
tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara,
berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu.
Abimanyu telah tunai melunasi janjinya.
Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter bumi
dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama beranjak dari kulminasi.
Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka masing masing.
Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul ke peperangan,
telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang suami tercinta. Oleh
istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya
terkadang terasa ada pemberontakan didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar
hendak mengikut kedalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari
untuk ikut serta kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di
dalam gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi.
Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita
muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa menghiraukan
bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung
tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak
terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan
kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya
sang istri prajurit muda itu.
Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan tak
hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur gadung dan
bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti bunga melati dan
cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma negara yang gugur, di lepas
siang .
Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang terjadi di
sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya.
Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu,
menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi
menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka
telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Ricuh di Bulupitu
Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing jauh keluar arena
oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari senapati pengatur perang,
Drestajumna.
Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria menghindar dari
tantangan musuh.
Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi perasaan bahwa
mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan.
Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi sebetulnya
tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding itu.
Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan Wersaya tanah
yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah menjadi pasir lumpur yang
menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin mereka melawan tenaga sedot pasir
lumpur, makin mereka tenggelam.
Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir lumpur yang bagaikan
hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam.
“Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara saudaramu, bicaralah
kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul ayahmu ke Candradimuka
menggantikannya jadi kerak neraka itu”.
Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni Kawah
Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu mengentaskan ayahnya dari
penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah itu, ketika atas tangis istri mudanya,
Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana menaiki lembu Andini, tunggangan Batara Guru.
“Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan mengenangmu
sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna menyahut dengan gerakan
hati hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur makin menyeretnya tenggelam.
Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan batinnya. Perjuangan
menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah menjadikannya kokoh luar dalam. Maka
ketika sedang terjepit seperti ini tak lah ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol
dikerahkan untuk mendorongnya keluar dari seretan lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil
melompat keluar dari pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan
Gada Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak
Kurawa.
Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat. Namun setelah
pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan meminjam tenaga lawan
keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan sengit kembali terjadi, namun seperti
semula, kesaktian Arjuna jauh diatas Wersaya. Dengan tidak membuang waktu, diselesaikan
pertempuran itu dengan tewasnya Wersaya diujung keris Kyai Kalanadah.
Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari induknya, dan mendapati
perang telah usai. Namun mereka pulang dengan menemukan suasana duka mendalam
yang terjadi di pesanggrahan Randuwatangan.
Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah meninggalkan
peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya membuatnya sangat terpukul.
Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti hentinya menangisi kepergian putra
tunggalnya yang masih belia.
Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu Kresna, duduk
dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan air mata bagai hendak
terkuras dari kedua matanya.
Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga suami istri belia
itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah mendadak seperti dipercepat
waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore seperti mendung yang menggelayut
pada semua yang hadir dalam upacara itu.
********
Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang menjelang sore itu karena
perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan keheningan itu menjadikannya helaan
nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar
mandir, kemudian duduk kembali. Sebentar sebentar ia mengelus dada dan bergumam
dengan suara tidak jelas.
Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang orang
disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu Duryudana.
Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja mereka. Putra lelaki satu
satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah gugur, maka tiada satupun yang berani
membuka mulutnya.
Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya Lesmana
Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga.
Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana mana dengan kenangan terhadap
pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya menjadi bagai lumpuh.
Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil nama pamannya.
“Paman Harya Sangkuni!”
Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan kejadian yang telah berlangsung.
Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan terhadap dirinya atas keteledoran
membiarkan sang pangeran memasuki palagan peperangan. Namun ditegarkan hatinya ia
menjawab.
“Daulat sinuwun memanggil hamba “
“Ini siang atau malam?”
Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak dada Sangkuni terasa terurai.
Dengan suara lembut malah ia balik bertanya.
“Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan mempertanyakan
waktu, ini siang atau malam, “
Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana mengeluarkan isi
pikirannya.
“Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para Kurawa, Duryudana
dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang manusia adalah, bila
sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya bila bukan itu yang sedang
terjadi, yang salah bukan para dewa.”
“Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang menyelonong untuk
meminta kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya adalah supaya membuat
gelap jagad saya, seperti yang disandang sekarang ini”.
Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan.
“Anak lelaki yang hanya satu, satria Sarujabinangun, Lesmana Mandrakumara yang
siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah selesai Baratayuda Jayabinangun
akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati mbahudenda” di dunia, di negara
Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi sebelumnya, cucu andika, gugur dalam
peperangan”.
“Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan kiri”.
Sejenak sang Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia sampaikan berjejalan
untuk segera dilepaskan dari sesak didadanya.
“Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia diberi
wenang mepunyai cita cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada yang
berusaha melewati cara dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya dengan cara
laku tapa. Diumpamakan mereka tidak takut berjalan dalam lelayaran luasnya samudra
atau bertapa didalam gua gelap, tapi kemuliaan yang hanya untuk kepentingan pribadi
itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup. Buatku, yang membuat laku kerja keras, itu
adalah laku untuk mejadikan mukti keturunanku, supaya besok aku dapat
memperpanjang jaya keterunanku, dengan cara menang dalam perang Baratayuda”.
Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba tiba menjadi ketus.
“Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik!
“Yang terjadi adalah, para orang tua hanya yang ikut mengayom dalam kemuliaanku
diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang tidak ikut dalam repotnya penandang !
Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya ngayom kepada kemuliaan
negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa memperoleh perintah, tanpa harus
diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya mereka mengerti bahwa mereka
mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan perang dalam Baratayuda. Tetapi
semuanya tidak ada nyatanya, semua hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti
dalam rembug, yang dirembug siang malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya.
Padahal rembug kalau tidak dilakukan tidaklah ada nyatanya !’
“Apakah harus saya sendiri yang melangkah kedalam peperangan menyerang para
Pandawa”.
Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya dialirkan dihadapan
semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu yang sedang hadir dalam
sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk diam. Mereka terlihat memberi
kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan segala unek unek yang terpendam
didadanya.
Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali melingkup sidang, ia
membuka mulutnya.
“Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna .Saya yang sanggup
menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”.
Krepa memperkenalkan kembali keberadaannya dalam sidang. Setelah diawasinya semua
yang menghadap di Bulupitu, ia melanjutkan.
“Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya dengan
persaudaraan ku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita bernama
Kerpi. Karena kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana. Kkarena paduka
menjadikannya sebagai penasihat Kurawa, saya juga tidak akan ketinggalan. Walaupun
tidak disuruh, hamba mengabdi datang ke Astina karena terdorong oleh gregetnya hati,
dalam pengharapan hamba, agar hamba tidaklah terpisah dari saudara ipar hamba,
kakang Kumbayana. Tetapi apa yang terjadi, ada kalanya bergeser dari rancangan
semula. Semula hamba datang tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan. Ikut
memperlindungi raga saya yang tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina
telah menjadi glagah alang alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah
terjadinya perang Baratayda Jaya Binangun”.
Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali Krepa dengan
percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya.
“Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau muda, saya terkodrat jadi lelaki. Sekali lelaki
tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah berbekal keberanian. Dan bila sinuwun
hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan sinuwun menanyakan”.
Krepa memancing.
“Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”.
Penasaran, Prabu Duryudana menyahut.
“Bicaralah Krepa,akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan dengan telinga,
tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”.
Mendapat angin, Krepa makin percaya diri.
“Sukurlah, apakah sebabnya bila saya berbekal keberanian. Berapa lama manusia hidup
dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya diumpamakan cuma mampir minum.
Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa memilih negara yang lain. Hamba
juga dapat memilih raja yang lain. Terapi memang dari awal hamba sudah memilihnya,
walaupun menjadi gagang keringpun akan aku lakukan”.
“Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan sepenuh hati tak
akan memperoleh nama harum, namun para orang yang sebaliknya, mengabdi dengan
setengah hati, itu adalah terserah mereka sendiri”.
“Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa raga dari atas
pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”.
“Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk membuktikan, sebab
perang Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu orang yang telah didapuk
menjadi pengatur perang”.
Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu Duryudana
memotong.
“Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya kurang tepat?!”.
Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar.
“Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan hitung hitungan
waktu, kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi karena saya hanya ikut
merasakan kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar? Karena saya mengabdi ke Astina
belumlah selama yang lain!”.
“Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih lama dan yang
juga mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya”.
“Maksud paman Krepa?”
Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan jumawa Krepa memandangnya
dengan sedikit memancing.
Kerpa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya,
“Bibit disini ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut orang
tuanya, bebetnya, keadaannya hanyalah orang biasa , sekarang bobotnya mempunyai
jabatan tinggi karena dalam jabatannya ia adalah telah diberi gelar senapati perang dan
seharusnya ikut campur tangan dalam menata negara. Tidak kurang kurang paduka telah
memberkatinaya setinggi langit, dan meluberinya segala kemewahan termasuk
memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut namanya”.
“Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh karena
kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka sinuwun. Lagi
pula dia sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya dialah seseorang
turun dewa yang memberi kecerahan siang”.
“Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu hamba Lesmana
Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya berdiam diri. Tidaklah ia
memberikan pemecahan masalah yang membuat beban yang paduka sandang menjadi
ringan. Orang itu hanya membutakan mata, menulikan terlinga. Bila aku umpamakan,
orang itu, bila berdiri, berdirinya adalah condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah
memberikan cagak kekuatan kepada teman, tetapi condongnya adalah mengayomi
lawan”.
“Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya adalah masih
saudara tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali sekali mendindak
orang yang bersalah. Sekali sekali hendaknya sinuwun menindak orang yang membuat
kekuatan Kurawa menjadi ringkih!”.
Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna. Ia tidak syak lagi,
bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa Krepa. Dibiarkannya ia
mengoceh dihadapan adik iparnya.
Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana, menjadi khawatir dengan kata kata
nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan suasana.
“Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur berkobar.
“Mengapa diumpamakan begitu?”
Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan keadaan yang terjadi mempertanyakan.
“Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga ikut duduk
bersama sinuwun”. Kemudian sambung Durna memohon.
“Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara dengan adik ipar saya resi Krapa”.
“Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat persatuan Kurawa
silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana.
“Krapa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi jangan hendaknya
untuk meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara, tetapi kata katamu
hendaknya membuat dingin suasana. Berkatalah dengan lambar air kesabaran”.
Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya. Yang dipandang
hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan.
“Kalau api yang kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman. Kalau yang
terbakar hanya sebagian saja tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar adalah seluruh
keluarga besar, merambat kepada para pembesar, tidak urung akan merambat kepada
semua rakyat!”
“Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu menjadi
perhatian para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana para pejabat
berlaku.
Para pejabat seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil. Semua harus bisa
menjadi contoh!”
“Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah Krapa! Kamu
datang ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa. Tetapi aku yang
membawa. Datang ke Astina kamu diberi jabatan sebagai penasihat. Disini aku
mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi hendaknya kamu cabut. Sebelum kejadian
yang tidak diinginkan terjadi!
Karena itu jangan biasakan memanaskan suasana, karena disini suasananya sudah
terlanjur menjadi makin panas !”.
“Sumbanglah para Kurawa dengan ide ide yang bermanfaat agar semua menjadi
tenteram sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!”
Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang dikenal berhati batu itu.
“Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang melangkah di
samudra pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap menemukan emas sebakul,
namun yang diharap adalah setetes air pengobat dahaga.”
Prabu Duryudana menyahut mengamini.
Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan tinggi hati.
“Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata kata yang telah aku
sampaikan aku cabut kembali maka betapa malunya aku”.
“Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti halnya hamba melepaskan anak
panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak panah tadi”.
Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai batas ledakan
didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana.
“Mohon maaf yayi prabu Duryudana”.
Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu Duryudana malah
berkata dengan nada memelas.
“Kakang Prabu kami minta pengayoman”
“Apa dasarnya”.
Jawab Karna.
“Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”.
Kembali Duryudana berusaha meredam kemarahan kakak iparnya.
“Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud memecah
barang yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila kemarahan yang
terpendam ini tidak tersalurkan dalam ledakan didada, maka tindakan yang aku lakukan
mejadi ngawur. Tidak aku salahkan bila sementara orang yang tega memotong leher
orang bila sudah terjadi hal yang seperti ini”.
Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan.
Kaget setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi kesempatan
membela diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur.
Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka Kaladete dari warangka, tanpa ragu dipotong
leher Krepa. Tewas seketika.
Geger para Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu. Semua tidak menyangka
kejadian yang sangat cepat akan membawa korban.
Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita Durna Kumbayana.
dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang paman Arya Krepa. Melihat apa
yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia melompat mendekati Adipati Karna yang
berdiri puas menyaksikan menggelundungnya kepala orang pandir yang nyinyir menyindir
dirinya.
Aswatamam memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai dipukul dadanya
dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun ubun. Merah menyala dadanya.
Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan sudut bibir yang bergetar. Seluruh
badannya bergetar memerah bagai warna bunga wora wari.
“Karna bila kamu memang lelaki jantan ini Aswatama yang akan sanggup berhadapan
dengan saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman Krepa dengan tidak
memberi kesempatan membela diri”. Berdiri Aswatama dengan berkacak pinggang, mata
melotot dan memelintir kumisnya.
Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama.
“Heh Aswatama! Kamu anak Kumbayana kan? Anak dari guru para Pandawa dan
Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu sebagai orang sakti keturunan bidadari selingkuh
macam Wilutama. Majulah kesini akan aku susulkan kamu kepada pamanmu yang
kurang ajar itu!”
Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang dibakar kemarahan
hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang menyusul keluar Adipati Karna
telah sampai dipinggir arena.
Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna sedangkan Pandita Durna memegangi anaknya.
Aswatama.
“Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu Duryudana.
Kamu telah membuat malu bapakmu!”
Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan sembah.
“Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan hamba
menolaknya”.
“Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari pandangan
mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali sekali mendekat, bila tidak aku
panggil!”
Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai dan wajah
menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata bapaknya yang berkaca
kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati remuk.
Aswatama telah kehilangan paman kesayangannya yang mengasuhnya dengan rasa sayang
bagai seorang ayah kandung, dan kehilangan kepercayaan sebagai seorang prajurit negara.
Catatan: Versi lain, menyebutkan Krepa tidak dibunuh Adipati Karna, namun hanya
diusir Prabu Duryudana bersamaan dengan Aswatama.
Ricuh juga di Kadilengeng.
Diceritakan, yang ada didalam taman sari Astina. Taman yang bernama Kadilengeng.
Yang tengah duduk dibawah pohon Nagasari, duduk diatas batu yang tertata rapi, itulah
prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya, yang bernama Dyah
Banuwati atau Banowati.
Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup menggambarkan. Dari
pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada cacatnya. Kulit kuning bagai sepuhan
emas. Kenes serba pantas, menarik hati. Bila berbicara ceriwis, namun tetap pandai menata
kata. Lirikan matanya dan senyum bibirnya, menampakkan aura yang menyinar. Dasarnya ia
adalah wanita yang pandai mempadu padan busananya, maka tiadalah aneh, bila ia selalu
menjadi buah bibir.
Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun banyak yang
terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia hingga kinipun, sang
Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang rambutnya ketika tertiup angin
bagai melambai lambai merayu. Dadanya yang terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat
akan terpesona karena Sang Dewi adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala
jejamuan yang menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah
setengah umur, namun tetap, kecantikannya bagai berrebut dengan sinar rembulan.
Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang Baratayuda
Jayabinangun.
Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman,
terlihat datangnya sang suami. Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia
menghaturkan sembah sebelumnya, kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu.
“Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra disambutnya sang
Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum sandiwara, karena selamanya
sang dewi tak kan pernah mencintai Prabu Duryudana.
“Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram sejuknya air
pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya menghaturkan sembah.
“Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti.
“Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku. Ketika aku
melangkah ke peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu tertimbun dihatiku”.
Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa rindunya. Bila perang
telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di hari hari kemarin yang
melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu selama ini adalah bayangan istri
tercintanya.
Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis kepadanya. Tetapi
sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda bercengkerama dengan
Permadi, Arjuna muda, membekas dalam dihatinya. Sehingga kawin paksa yang terjadi
dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi menjadikan rasa penasaran yang tak kunjung
terlampiaskan dan membuahkan sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan.
“Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah
berusia lebih dari tigapuluh tahun dan sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi
perasaan itu dimunculkan!”. Tukas sang dewi.
“Ya, terus terang saja . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam dadaku”. Jawab
Duryudana terus terang.
Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan.
“Aku hendak menanyakan beberapa hal. Pertama, sejak aku meninggalakan puraya
agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang ada di Kedaton ini ?”.
“Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan pekerjaanya”. Banuwati
menjawab singkat.
“Sukurlah . Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?”. Pertanyaan basa basi
terlontar dari mulut Prabu Duryudana.
“Tetep sehat sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba , pastilah tidak
tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada ketenteraman batin
hamba, sinuwun”. Jawaban basa basi membalas pertanyaan suaminya.
“Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya.
“Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?”. Tanya Dewi Banuwati ketika
sang Prabu terdiam sejenak.
“Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan aku sendiri, telah
kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !.” Ragu Prabu Duryudana
hendak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian mohon dibuat terang
saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung perumpamaan seperti itu ?”
“Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan mengatakan
kepadamu. Karana dalam hitungan, jangan jangan setelah aku mengatakan berita ini
kepadamu, jangan sampai kanjeng ratu menjadi sakit bahkan meninggal. Kalau hal ini
yang terjadi lebih baik aku yang menggantikannmu. . . .” Prabu Duryudana terdiam.
Demikian juga istrinya yang makin penasaran, namun tetap memberikan waktu bagi
suaminya. Dengan lirih akhirnya coba memulai dengan cerita yang hendak dipanjang
panjangkannya.
“Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan anakmu yang
dikepung wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat. Tetapi apa sebabnya,
Lesmana yang selalu dalam pandangan mataku. Tanpa ijin dariku, ia maju ke medan
pertempuran”. Kemudian Prabu Duryudana terdiam lagi.
“Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega membunuh
Lesmana, terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega terhadap “anunya”
sendiri” !. Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai sampai ia menyerempet
menyebut nama selingkuhannya.
“Aku tidak mengerti”. Pura pura tak mengerti Duryudana menjawab dengan tidak senang.
“Anunya itu, artinya keponakannya sendiri”. Banuwati berkilah sekenanya. Pikirnya,
diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia mengetahui benar, bahwa
Duryudana adalah tipe suami takut istri.
“Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan Arjuna”.
Pelahan Duryudana memberi penjelasan
“Lalu siapa ?”. Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu.
“Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di peperangan ia
mendekati Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop Ludira. Namun ia kalah
cepat, ia terkena pusaka Abimanyu. Hari itu anakmu gugur di medan peperangan !!”.
Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget atau jatuh pingsan,
atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa yang terjadi, ia cuma
memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah sejenak kemudian ia menyalahkan
anak dan suaminya.
“Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya begitulah
jadinya !”.
Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia bergumam “Dikabari anaknya mati
bukannya sedih, susah, malah tidak kaget sama sekali . . . . .”.
“Apakah susah dan sedih harus dipamerkan? Kejadian seperti itu bukan salah Lesmana
tetapi salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan!”. Jawab Banuwati ketus.
“Salahku ada dimana?” Dikerasi istrinya, Duryudana melembek.
“Paduka itu kurang waspada sinuwun”, kali ini ia menyalahkan suaminya.
“Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang, selain harus
menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas keselamatan semua,
tanggung jawab ada pada pundakku . Dan aku tidak menyangka, bahwa ia berani
beraninya maju ke peperangan !”. Ia memberikan alasan.
“Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ”. Kembali Banuwati
menyalahkan anaknya.
“Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini.
“Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa ?” Kembali Banuwati mempertanyakan
hal mengapa ia harus menyesal. “Bila ia tunduk dan patuh kepada orang tuanya, makanya
tidaklah aku harus menyesal. Hidupnya Lesmana kebanyakan menambah nambah rasa
malu, tak ada lain !”.
Kekesalan Banuwati mulai mengungkit ungkit peristiwa lama. “Berapa kali ia gagal
menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak memalukan orang tua…. ? Jadi anak
kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya ?!”
Tak mau berlarut larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan perhatian. “Tetapi ada
sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang melebihi kebanggaan itu. Matinya
juga membawa kematian si Abimanyu !”.
Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah dengan peristiwa
yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu kematian Abimanyu malah
menangis tersedu sedu. Maka, setengah menggumam, ia menumpahkan rasa herannya.
“Aneh sekali, aneh sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati, marah marah
kepadaku, menyalahkan Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas, kamu malah
menangis sesenggrukan….. !”
Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana, Banuwati
menjawab disela sela sedunya. “Kalau Lesmana mati kan hanya saya dan paduka yang
bersedih. Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak orang yang ikut merasakan
sedihnya. Seperti Arjuna, aku membayangkan betapa ia kehilangan, bagaimana sikapnya.
Yang kedua adalah Wara Subadra, ia telah kehilangan anak nya yang tunggal, belum lagi
istri istrinya Siti Sundari dan Utari. Padahal Eyang Utari sedang mengandung,
bagaimana rasanya dia.”
Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu bukan perkaramu !.
Abimanyu isrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !!
“Ternyata rasa cintamu itu telah berpaling . . . . ! “
Kali ini Prabu Duryudana yang marah marah,“Siang malam tak ada gunanya aku
menyellimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar, makan aku ladeni
minum aku bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai jimat. Tetapi apa yang
terjadi, apakah dasarnya kamu memprihatinkan musuh ?”.
“Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati.
“Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana menyahut sekenanya.
“Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun yang terjadi justru
sang Dewi yang meneruskan kalimatnya.
Makin tak senang , ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak mempunyai rasa
kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?”
“Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” yang diajak berdebat malah makin galak.
“Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah saudara tuanya.
Kalau manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu gurunya, itupun
Pandawa berani membunuhnya !”.
“Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya satria tiga, Seta,
Utara dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi tumpangan ketika ia telah
selesai menjalankan pembuangannya selama duabelas tahun, menjadi pengemis sudra.
Dihidupi oleh orang Wirata, tetapi akhirnya ia membalasnya dengan mengorbankan
orang-orang yang telah berbuat baik. Itulah tandanya bahwa ia adalah orang orang yang
terbuang sebenar-benarnya !”
“Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan tuannya !”.
Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri.
“Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali ?” Disalahkan para
Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi Banuwati.
Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi aku tidak mau kau kalahkan
!”. beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri mendekati jendela. Panas hati dan
suasana telah memaksanya mencari semilirnya sejuk angin.
“Hamba tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan telah
kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab Banuwati
dengan nada tinggi.
“Memang begitu !” kembali ketus jawaban Duryudana.
“Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri !”. Jawab Banuwati
terus terang.
“Perkara yang mana ?” kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang tajam.
Makin meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani menyampaikan rasa yang
tersimpan dalam di lubuk hatinya.
“Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah sebuah rahasia.
Sudah lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak kuat lagi
menahannya. Saya mengatakannya sekarang juga !”.
“Tunggu apa lagi, katakan !” Duryudana mempersilakan istrinya kembali membuka isi
hatinya.
“Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau dalam lubuk
hati paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang bertahta di Astina itu
Pandawa atau Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu menagih haknya ?.
Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu membuat negara dari keringatnya sendiri, Negara
Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun tanah Astina. Tapi mereka selalu
diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan dalih permainan dadu,
Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa diusir paksa, sehingga mereka
menjadi manusia hutan selama bertahun tahun. Jadi yang tipis rasa kemanusiaannya itu
sebenarnya Pendawa atau Kurawa ?!”
Bagai bendungan yang jebol, segala unek unek ditumpahkan dihadapan suaminya. Dalam
hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang untuk terus terang.
“Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! Tetapiakujugapeduli !!” jawab
Duryudana tandas.
“Silakan sinuwun mengatakan !” kali ini Sang Dewi yang menantang.
“Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun yang namanya
permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”.
“Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!” Saling bantah
makin seru.
“Mereeka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama mereka bergaul dengan
segala macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya disampaikan, berharap ia tak diserang
lagi.
Namun kembali ia dicecar pertanyaan.
“Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai sebelum itu ?”
“Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina !”. Jengkel Prabu
Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut.
“Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak hendak
melepehnya. Sinuwun kalaupun kata kataku sebagai istri, sebagai belahan jiwa, tak ada
satupun yang hendak diperhatikan, bila demikian halnya, silakan hamba dikembalikan
saja ke Mandaraka”. Tak lagi hendak berlarut larut bertengkar, sang Dewi menantang.
“Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan istrinya..
“Ketimbang aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka paduka, sekarang
juga lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !.” jawab senang Banuwati
“Kamu menantang ?!” gertak Prabu Duryudana.
“Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !”
Berbalik badan Banuwati hendak pergi dari hadapan suaminya. Tetapi langkahnya tertahan
oleh cengkeraman tangan sentosa Prabu Duryudana dilengannya.
Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia mengendurkan pegangannya.
Katanya memelas.
“Mau kemana ?”
“Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya kembali ke
Mandaraka ?!” masih dengan setengah marah dan nada merajuk, Banuwati bertanya balik.
Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada di istananya,
Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah kenyataannya, di
kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta Prabu Duryudana
mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan keberadaan istri yang cantik
molek itu.
Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah mencengkeram Sang Prabu
hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan cengkeraman, tangan sentosa
Duryudana . . . . .
Sihir Sakti Sempani
Ketika itu di Pesanggrahan Bulupitu, segala kebijakan
gelar perang tetap ada di tangan senapati Pandita Durna. Tekad sang Senapati kali ini adalah
hendak mengembalikan nama baik yang tercoreng tebal, setelah kecolongan dengan
tewasnya putra Pangeran Pati Astina Raden Lesmana Mandrakumara. Kematian Pangeran
Pati yang berbuntut panjang dengan kericuhan di pasanggrahan Bulupitu hingga
menewaskan iparnya Krepa dan diusirnya anak semata wayangnya Aswatama,
mengharuskan kali ini nama baiknya akan pulih, dengan memenangkan peperangan kali ini.
Maka ditunjuknya pendamping sakti dari negara sebrang.
“Baik, sekarang aku minta anakmas Setyarata dan Setyawarman menjadi pendamping
senapati”.
Pandita Durna menujuk kedua orang yang disebut itu dengan jempolnya. Yang ditunjuk
sejenak kaget namun kemudian menjadi berseri seri. Kehormatan sebagai pendamping
senapati Durna adalah hal yang merupakan kehormatan tiada tara bagi mereka.
“Sedangkan anakmas Kertipeya akan saya beri tugas khusus untuk menghadang
Werkudara agar tidak mudah menumpahkan dendamnya kepada Jayadrata”. Kertipeya
mengiyakan dengan perasaan bangga dan keyakinan diri tinggi.
“Dan untuk perkara membekuk Arjuna, menurut telik sandi saat ini Arjuna sedang dalam
keadaan tertekan jiwanya dan tidak memperdulikan peperangan, karena kematian anak
kesayangannya. Nah dengan keadaan yang dialami Arjuna, akan aku jalankan cara
khusus untuk menawan Arjuna, yaitu dengan perangkap asmara.” Pendita Durna adalah
ahli strategi, maka diuraikan kepada kedua pendamping senapati, mengenai strategi yang
hendak dirancangnya itu.
“Kalau Arjuna masuk dalam perangkap asmara, maka tak akan lama ia bakal tertawan
dan tinggal dengan gampang membunuhnya”. Kembali Pendita Durna berhenti bicara.
Kemudian mendekat kearah Prabu Bogadenta. “Bukankan anakmas Bogadenta datang
bersama dengan Saudara perguruanmu yang cantik itu? Anak angger Bogadenta dan
saudara seperguruanmu akan aku pasrahi untuk menawan Arjuna”.
Bogadenta belum sepenuhnya mengerti akan rancana Pandita Durna “Bagaimana maksud
paman Pendita? Apakah aku harus mencari keberadaan Arjuna, dan aku harus bersama
Murdaningsih dan gajah tunggangan saudara seperguruanku Murdaningkung, ?
“Benar anakmas, nanti bila Arjuna sudah diketemukan, saudara seperguruanmu harus
merayu Arjuna agar lengah, kemudian bunuhlah dengan belalai tunggangan gajah
Murdaningkung !”. Durna memutus.
Memang benarlah demikian. Prabu Bogadenta yang datang dari kerajaannya, Turilaya, ke
Astina, disertai dengan saudara perguruannya seorang wanita cantik, liar dan sakti bernama
Murdanigsih yang memiliki hewan Gajah putih bernama Murdaningkung.
Pertemuan itu terjadi ketika mereka berguru bersama sama menuntut ilmu kanuragan.
Bahkan setelah penuh ilmu, mereka dihadiahi suatu ajian, yang membuat mereka akan
hidup kembali ketika salah satunya terbunuh, bila salah satunya menetesi air mata
kesedihan terhadap kawan seperguruannya
“Kemudian aku utus anakmas Kertipeya menghadapi Werkudara, secara fisik aku kira tak
beda jauh kekuatannya dibanding Werkudara, bila Werkudara sudah dilumpuhkan, maka
menawan Puntadewa adalah hal yang sangat mudah !”.
Secara fisik Prabu, Kertipeya memang gagah perkasa tinggi besar sehingga layak
ditandingkan dengan Werkudara.
“Nah sekarang anak angger Bogadenta kami persilakan untuk berangkat ke sisi hutan
Minangsraya, perbatasan Kurusetra, kebiasaan Arjuna diwaktu sedang sedih, biasanya
dia akan pergi ke tempat sepi untuk menyegarkan kembali kelelahan jiwanya”.
Selesai segala petunjuk sang senapati, sambil menghaturkan sembah, mundurlah Bogadenta
untuk memenuhi tugas meringkus Arjuna.
Sepeninggal Raja Turilaya, Pandita Durna segera memulai pasang strategi kesukaannya yang
dianggap ampuh untuk memenangkan peperangan hari ini. Dalam pikirannya hanya
muridnya, Arjuna yang dapat memecah gelar Cakrabyuha, kecuali Abimanyu yang telah
tewas di hari kemarin.
“Untuk yang akan melakukan tugas di peperangan Kurusetra, gelar yang hendak aku
rakit adalah Cakrabyuha. Walau gelar ini telah dapat diobrak abrik oleh Abimanyu waktu
itu, namun akan aku bangun kembali, dengan kepercayaan, tak akan lagi gelar dapat
dihancurkan tanpa adanya Arjuna yang tengah pergi entah kemana, karena setengah gila
memikirkan tewasnya anak kesayangannya itu”.
**********
Dilain pihak, Pesanggrahan Randugumbala, Gelar Perang Garuda Nglayang dari pihak
Pandawa diterapkan kembali, setelah mengubahnya kemarin hari dengan Supiturang.
Dengan sayap kanan ditempati Raden Werkudara, dan disebelah kiri, karena ketiadaan
Arjuna, adalah Arya Setyaki sebagai pengganti. Paruh garuda ditempati Sang Senapati Raden
Drestajumna sedangkan pada ekor ditempati oleh Wara Srikandi.
Berangkatlah kedua wadyabala kedua belah pihak, dengan suara gemuruh menuju medan
peperangan dihari itu.
Segera setelah barisan lawan masing masing terlihat, pecahlah perang campuh kembali.
Bagaikan kilat kelebat batang gada sang Setyaki mengamuk dengan Wesi Kuning
ditangannya. Banyak prajurit kecil terpukul gada pecah brantakan tulang belulangnya,
bahkan yang menunggang kuda terguling beserta kuda kuda tunggangannya. Porak poranda
tertebas gada satu sisi gelar Cakrabyuha.
Dihadapannya menghadang Raden Durcala salah satu saudara Prabu Duryudana. Sama
sama bersenjata gada, ia tak tahan melihat banyaknya korban yang jatuh pada salah satu
juring ruji barisan.
Heh Setyaki ! jangan hanya berani melawan prajurit kecil. Datanglah kemari hadapi
Durcala kalau kamu sebagai seorang prajurit sejati !”.
Segera setelah keduanya berhadapan, saling pukul dan gada serta hindaran pukulan
berlangsung sengit. Durcala tak lama kemudian keteteran menahan serangan lawannya.
Menyesal ia berhadapan dengan lawan ini. Ia salah memperkirakan kehebatan lawannya.
Namun sudah kepalang basah, dengan sekuat tenaga ia menahan serangan lawan yang
bertubi tubi datangnya bagaikan banjir bandang. Lama kelamaan susutnya tenaga
mengharuskan ia bersembunyi disela sela rapatnya prajurit lain yang sedang beradu tenaga
dengan lawannya masing masing.
Setyaki yang panas, tak hendak melepaskan lawannya yang sudah diujung kekuatannya.
Maka ketika melihat lawannya terjebak dalam sudut yang tak lagi memungkinkan ia
menghindar, karena dibelakangnya terdapat reruntuhan kereta perang, maka sabetan gada
Wesi Kuning mengakhiri perlawanan Durcala.
Citrabahu yang melihat saudaranya terpupuh gada, marah bukan kepalang. Segera
pertempuran antara Setyaki dengan Citrabahu memperpanjang amukan Setyaki. Tenaga
Setyaki yang bertubuh kecil padat, sejatinya ia bertenaga raksasa. Citrabahu yang bertempur
dalam keadaan marah dan kehilangan akal seakan akan menjadi bulan bulanannya. Tanpa
perlawanan berarti, dihentikan gerak limbung Citrabahu dengan sekali pukul dikepalanya.
Pecahnya kepala Citrabahu tanpa sempat ia berteriak.
Raden Upamandaka dan Citrawarman bersepakat maju bersama untuk menghentikan
korban yang semakin besar. Dikerubutnya Arya Setyaki dari dua arah dengan cecaran secara
bergelombang. Namun Setyaki bukan prajurit lemah, walau serangan keduanya bagai
siraman air bah, tetapi tetap dapat ditahannya, bahkan dengan garangnya ia menyerang
keduanya bergantian, hingga membuat kedua lawannya kerepotan menyerang dan berkelit
berganti ganti. Sama dengan lawan sebelumnya, kewaspadaan Upamandaka yang terkesima
dengan kegarangan Setyaki, menurun. Terlena sekejap dibayar dengan mahal. Penggungnya
tersenggol gada Setyaki yang menyebabkan ia kehilangan keseimbangan. Tak menyia-
nyiakan kesempatan yang terpampang didepan matanya, sekali lagi dikenainya pinggang
Upamandaka dengan kekuatan penuh, terkapar Upamandaka tak bisa bangun selama
lamanya.
Melihat saudaranya terkapar tak bangun lagi Citrawarman gemetaran. Sukmanya bagai ikut
tercabut bersama lepas sukma Upamandaka. Tak ayal lagi gerakannya menjadi kacau balau.
Tak ada lagi harapan untuk menang, ia melarikan diri. Namun kejaran Setyaki yang
dilambari tenaga raksasanya berhasil menghentikan langkah Citrawarman dengan menebas
kakinya. Teriakan ngeri menghambur dari mulut Citrawarman yang kemudian terhenti,
ketika sekali lagi gada Wesi Kuning menerpa kepalanya.
Tak ada lagi Kurawa berani mendekati amukan Setyaki membuat bubar mawut, satu sisi ruji
Cakrabyuha
Dibagian lain Wara Srikandi juga mengamuk dengan luncuran anak panahnya. Salah satu
musuh yang memperhatikan datangnya anak panah mendekatinya dengan tujuan
menghentikan hujan panah yang membawa banyak korban. Ia adalah Wiringsakti.
Dengan mengendap endap ia berhasil mendekati kearah Wara Srikandi, tanpa ragu
dihadapinya untuk mengadu kesaktian
“Siapa kamu yang berani mengganggu kerjaku ?!” Srikandi yang merasa terusik,
menghentikan lepasan anak panahnya.
“Inikah Srikandi, yang telah berhasil membunuh Eyang Bisma ?!” Yang ditanya tidak
segera menjawab pertanyaan Srikandi, malah ia kembali balik bertanya.
“Sekali lagi siapa namamu sebelum kamu mati tanpa membawa nama ?. Dari ciri cirinya
pastilah kamu salah satu saudara Kurawa !” Tak sabar, tanpa mempedulikan pertanyaan
balik si pengganggu, Srikandi menghardik.
“Akulah Wiringsakti ! salah seorang Kurawa yang hendak membalaskan kematian Eyang
Bisma !” Jumawa Wiringsakti akhirnya menjawab. Senang hatinya ketika ia berhadapan
langsung dengan Srikandi, karena dalam hatinya mengatakan, inilah kesempatan
memperlihatkan jasanya terhadap kakak sulungnya, Prabu Kurupati-Duryudana, bila
berhasil nanti.
“Jangan banyak cakap, majulah akan aku antarkan kau kehadapan Eyang Bisma !”
Semula Wiringsakti menganggap enteng prajurit wanita ini. Ia hendak meringkusnya dengan
tangan kosong. Harapannya ia akan menangkap hidup hidup sebagati sandera. Karena lama
kelamaan Wiringsakti terdesak, senjata pedang sudah ada dalam genggamannya. Tetap saja,
ia tak juga berhasil mengenai tubuh lawannya dengan senjatanya, mulailah ia geregetan.
Dengan gerakan yang mulai makin kasar, tak ragu lagi ia hendak meringkus lawannya
dengan secepat cepatnya. Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika ada jarak
terbuka diantara mereka, dengan cepat Wara Srikandi memasangkan anak panah pada
busurnya. Kelincahan gerak pemanah wanita ini tidak diragukan lagi, lepasnya anak panah
yang meluncur dari jarak yang tak terlampau jauh, mengenai dada Wiringsakti tembus ke
jantung, menggelepar Wiringsakti, jatuh di tanah berdebu.
Subasta, Suwarman, Habayuda dan beberapa saudaranya tak ragu lagi untuk meringkus
Wara Srikandi bersama-sama. Harapan mereka, satu tawanan bila dapat diringkusnya, akan
sangat berharga untuk membuat semakin lemah dan semakin hancur jiwa Arjuna, bila
mengetahui istrinya ada dalam tangan Kurawa.
Namun yang diharapkan, menjadi mentah kembali. Gatutkaca yang melihat keroyokan
terjadi, segera turun dari angkasa, satu demi satu para pengeroyok itu dipuntir lehernya, tak
sanggup mereka bangun kembali selamanya.
Diceritakan, adalah amukan ditempat lain, Werkudara yang terbawa dendam atas kematian
Abimanyu mencari keberadaan Jayadrata si biang kematian kemenakannya. Berteriak
Werkudara dan prajurit Jodipati termasuk Patih Gagak bongkol dan juga anak Antareja ,
Danurwenda, serta anak Gatutkaca, Sasikirana, mengamuk sambil memanggil nama
Jayadrata yang hendak dibunuhnya. Sapuan gada Rujakpolo ditangan Wekudara-Bimasena
mobat mabit kanan kiri menyasar lawan didepannya. Korban berjatuhan banyaknya tak
terhitung lagi. Dengan cara seperti ini, jeri prajurit Kurawa lari tunggang langgang. Banyak
para Kurawa yang tewas, membuat Kertipeya segera menghadang Werkudara untuk
menghindari lebih banyak lagi prajurit yang menjadi korban.
Merasa dihalangi dalam menambah kurban ditangannya, tambah tambah liwung
amukannya. Tak pelak lagi Kertipeya menjadi sasaran amukan berikutnya. Namun Kertipeya
bukan prajurit rucah, tanding kekuatan berlangsung sengit. Silih ungkih singa lena.
Bagaimanapun akhirnya dapat ditebak. Kematangan tempur Werkudara yang tertempa
kerasnya ujian alam, telah berhasil mengungguli Kertipeya. Terlena sekejap Kertipeya, tahu
tahu gada Rujakpolo telah berada didepan mukanya. Tak sanggup menghindar karena sudah
dekat senjata lawan, ia hanya bisa berteriak ketika pusaka super berat itu menimpa
kepalanya. Pecah kepala Kertipeya dengan isi otak yang berceceran. Satu lagi sekutu Kurawa
menjadi korban.
Satyarata dan Setyawarman maju berbarengan. Anggapan mereka, tenaga mereka masing
masing masih masih dibawah Kertipeya. Bila digabungkan, maka pikirnya akan melebihi
kekuatan temannya, Kertipeya. Tanpa ragu mereka berdua menghadang amukan Bimasena.
Keroyokan terjadi kembali kali ini. Pusat perhatian Bima terpecah dengan serangan dari dua
arah. Bila salah satu dicecar, yang lain mengganggunya. Jengkel Werkudara dibuatnya.
Dapat akal yang lebih mudah, diletakkan gadanya, dengan tangan kosong dicengkeramnya
musuh satu persatu, kemudian saling dibenturkan kepalanya. Kembali teriakan kedua
pecundang mengakhiri perlawanan.
Begawan Durna yang tidak heran dengan tandang muridnya itu segera waspada.
Dipanggilnya Patih Sangkuni dan Jayadrata.
“Adi Cuni, kamu melihat Werkudara mengamuk itu ?”
“Ya Wakne Gondel, para prajurit Jodipati yang dipimpinannya meneriakkan nama
Jayadrata. Menurutmu bagaimana, kakang ?” minta penjelasan Patih Sengkuni.
“Sekarang aku minta kamu segera temani Jayadrata. Segera serahkan Jayadrata untuk
sementara ke orang tuanya di pesanggrahan Giri Ancala. Katakan alasannya dengan
tepat kepada Resi Sempani, ayahnya agar tidak salah paham !”. perintah Durna
Kumbayana.
“Baik wakne Gondel, segera aku jalankan perintahmu”,
Sengkuni bersiap mengajak Jayadrata.
Tetapi Jayadrata yang diperintahkan mundur dulu oleh Durna dan Sangkuni keberatan.
“Saya tidak takut dengan Werkudara .Kenapa saya harus diminta mundur ?!”
“Tidak ragu aku dengan kesaktianmu, tapi aku berharap hari ini saja, anakku Jayadrata
mundur dahulu “ Durna memberikan pengertian.
“Tapi ini bukan ciri Jayadrata yang menghindar dari musuh. Mati adalah batas terakhir
bisanya hamba mundur dari pertempuran, bapa” kembali Jayadrata mengemukakan
keberatannya.
“Hari ini saja, sebab banyak hal yang aku hendak lakukan untuk menumpas Pendawa.
Bila saatnya tiba, kembali anakmas Jayadrata aku perkenankan untuk mengambil peran
dalam perang besar ini ngger !”
Bujuk rayu Durna sementara berhasil mengantarkan kembali Jayadrata kehadapan ayahnya,
Sempani.
“Raden Patih Sangkuni, apakah perang sudah berakhir sehingga andika datang ke
pesanggrahan kami ini ?”
“Maafkan kami kakang Panembahan atas gangguanku terhadap semadi paduka kakang,
yang siang malam memuji unggulnya Kurawa” Sangkuni memulai penjelasannya.
“Perang belum berakhir, tetapi ada bahaya yang mengancam jiwa putramu Jayadrata.
Untuk itu aku sementara aku mengembalikan putramu ke pesanggrahan ini demi
keselamatannya”.
Keheranan Sempani mendengar tutur Patih Sengkuni.
“ Andika meremehkan anak saya ? Dari kecil saya mengajarkan ilmu jayakawijayan dan
sikap sebagai prajurit sejati. Didalamnya terdapat salah satu watak prajurit yang
ditanamkan, menjunjung tinggi sikap dan harga diri seorang prajurit yang tidak
mengenal menyerah. Tidak ! Kami keberatan untuk menerima anakku !”
“Dasarnya adalah begini kakang. Bila ini adalah dikatakan mundur, maka jangan
dikatakan ini mundur yang sebenarnya, ini mundur untuk maju kembali dengan
kemenangan . Ini adalah strategi. Pada saatnya nanti Jayadrata akan diberi peran yang
lebih besar dalam perang ini. Untuk hari ini saja, karena ini hanya untuk memancing rasa
penyesalan Pandawa lebih panjang. Seperti halnya penasaran dan sesal dalam yang
dialami oleh Arjuna. Setengah gila dan tiada lagi mengambil peran dalam peprangan ini.
Bila ini yang terjadi, maka amukan Bima yang sia sia, akan melumpuhkan perasaannya.
Sehingga selanjutnya makin gampang untuk meringkusnya”. Sengkuni menjelaskan
strategi yang hendak dijalankan oleh Pandita Durna.
Sejenak Begawan Sempani berpikir. Kemudian katanya.
“Bila untuk meringkus Bima, serahkan kepadaku ! Anakku Jayadrata, masuklah ke gedung
baja perlindungan. Bila terjadi apa apa, ada suara apapun yang ada diluar, jangan sekali
kali kamu mencoba untuk mengintipnya dari jendela udara, apalagi keluar dari baja
perlindungan itu, sampai aku kembali menemuimu.”
Syahdan, sesampainya di medan peperangan, segera Begawan Sempani mempreteli
tasbihnya yang terbuat dari butiran buah gemitri. Dengan disertai rapal mantra saktinya,
dipuja butir butir tasbihnya menjadi Jayadrata-Jayadrata tiruan yang segera mengamuk
merubung sang Bimasena.
Digebuk satu terbelah menjadi dua, digebuk dua terbelah menjadi empat, digebuk empat
menjadi duabelas Jayadrata dan seterusnya, hingga Jayadrata tiruan memenuhi palagan
peprangan. Jengkel Werkudara mengatasi keadaan itu, diletakkan gadanya kemudian
digulingkannya dengan kakinya.
Tergilas Jayadrata tiruan. Lebur satu persatu, namun bangun menjadi berlipat lipat ganda.
Ngeri Werkudara melihat kejadian itu !
Hilang akal, ia yang segera mundur dengan seribu tanya, bagaimana untuk mengatasi tiruan
Jayadrata alias Tirtanata. Orang yang sebenarnya terjadi karena air rendaman bungkus yang
melingkup Bratasena, Werkudara muda ketika lahir.
Terjerat Jerat Cinta, Arjuna-Murdaningsih
Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari Jayadrata-Tirtanata.
Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata,
anak Raja Sindu, menjalin persaudaraan rapat dengan para Kurawa. Sejatinya Jayadrata
adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja karena telah bertahun
tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara untuk mendapatkan anak.
Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman bungkus Bima-Werkudara, kepada
istri Sang Prabu Sempani. Kebetulan kala itu bungkus yang melimput Bratasena, nama
Werkudara muda, setelah bungkus pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun
kedekatan secara kejadian, tidak membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa.
Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua dengan anak
tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun berjiwa keras, menurun
dari sang ayah Raden Jayadrata.
“Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat mengangkat derajat
keluarga sehingga ke tataran yang lebih tinggi ?” Wisamuka memancing ibunya ketika basa
basi telah usai dibicarakan.
“Apa maksud pertanyaanmu anakku ?” terheran sang ibu ketika anaknya menanyakan hal
yang tak terduga.
“Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan maksudku” tanpa
menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban ibunya.
“Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi manusia atau
satria yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat dan derajat
manusia itu akan terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu secara langsung
maupun tidak, membawa naik martabat bagi orang tua si anak” Jawab sang ibu akhirnya.
“Bila demikian, cita cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam waktu singkat”
Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab runtut pertanyaanya.
“Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu”. Ibunya tidak
sabar dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu satunya.
“Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda, ada prajurit
muda belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak abrik barisan Kurawa.
Alangkah gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal akalan oleh para Kurawa, saya
yakin, ia adalah prajurit yang dapat mengakhiri perang dengan kemenangan. Alangkah
bangganya orang tuanya”. Bicara Wisamuka , tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam
kecurangan itu. Jiwa mudanya yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin
memperlihatkan akan keberadaannya, sebagai anak muda yang merasa setingkat
kemampuannya dengan anak Janaka.
Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik.
“Aku juga bisa seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu, kuncinya adalah
kewaspadaan agar tidak terkena reka daya. Dengan waspada itu perkenankan anakmu
hendak maju ke peperangan “.
Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya.
“Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan sekali-kali kamu
berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari ayahmu !”. Larang ibunya.
“Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap penguasa
negara. Apakah aku harus menunggu perang menjadi selesai. Tidak ! Sekaranglah
saatnya !”. Wisamuka yang tadinya duduk manis disamping ibunya, kemudian berdiri. Sang
ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya tangan anaknya.
“Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu sayang terhadap
ibumu ?”. dibimbingnya anak muda itu kembali duduk. Wisamuka tak hendak menurut
perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang yang duduk kembali, dan melihat kedalaman
mata anaknya seakan hendak menyelami isi dalam hati buah hatinya.
“Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku kepada
keluarga Banakeling, terutama ibuku ?”. Wisamuka malah kembali bertanya.
“Bukan ! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti apa yang ayah
ibumu katakan”. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya.
“Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari kepangkuan
ibunya. Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana yang harus aku
lakukan atau mana yang tidak. Aku mohon pamit, ibu”. Kembali anaknya membantah.
Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya setelah sang ibu
bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah lebih tinggi jauh diatas ibunya.
Dielus rambut itu sambil berkata.
“Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu nanti bila mengetahui anaknya dibiarkan
pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi ayahmu ?”.
“Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau tidaknya serahkan
kepada ayah setelah nanti aku ketemu disana”.
Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat itu dan dipalang
jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya, anak itu menyembah
khidmat dihadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang terakhir.
Kenapa demikian ? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan Bulupitu,
Wisamuka, dalam perjalanannya ketemu dengan Arjuna di hutan tempat ia berjalan tanpa
tujuan dengan jiwa yang kosong.
Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat dicintainya, membuat Arjuna
bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka, ketika Wisamuka terlihat berjalan
sendirian. Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah yang berjalan mendekatinya.
Memang secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh berbeda, keduanya masih
muda belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama. Makin kaburlah pandangan Arjuna
Janaka menyaksikan satria remaja dengan ciri yang bagai pinang dibelah dua dengan
anaknya.
“Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku”.
Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna ditempat yang tak terduga.
Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya peperangan di Kurusetra. Belum
sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat ia kaget. Tetapi karana yang keluar dari
mulut Arjuna – lah, yang akhirnya membuat ia makin mengerti sebab musababnya.
“Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang ? Kemana sajakah selama
ini ? tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang sangat rindu akan
kedatanganmu ?”
Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak cemerlangya segera bekerja.
Inilah kesempatan yang ia idamkan ! Gelar pahlawan akan dengan mudah didapatnya,
karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya sadar diri. Terpikir ia segera melakukan
tindakannya, tapi pertimbangannya menyarankan untuk menguji kewaspadaan pamannya
terlebih dahulu.
“Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan Abimanyu !”.
“Jangan main main, ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu setelah sekian lama
kamu pergi.”. Jawaban pamannya membuat ia makin yakin, kali ini ia akan menjadi
pahlawan.
Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh Arjuna dengan sekuat
tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna dan dipersembahkan ke hadapan
Prabu Duryudana.
Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya, Arjuna malah
merayunya.
Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi tubi ke dada Arjuna.
“Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main main begitu. Nanti aku akan ajarkan cara
memukul yang lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang tanpa tanding”.
Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya. Sebilah keris sakti
sudah siap ditangannya untuk menamatkan riwayat pamannya. Tidak menangkap hidup
hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang gampang ditenteng, bukti sebagai
pahlawan akan tersemat didadanya.
Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan kembali senyumnya
membayang.
“Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang bersamaku.
Kamulah satu satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala laku prihatin yang
pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti dengan pamor yang lebih
berkilau. Bila kamu mau pulang sekarang juga, sekarangpun aku berikan keris
Kalanadah melengkapi pusakamu yang telah aku berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni”.
Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar terjadi di arcapada,
yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia segera menerawang, mencari
penyebab keanehan. Setelah diketahui penyebabnya, sukma Abimanyu segera diperintahkan
untuk menggugah alam sadar ayahnya. Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia
menyembah. Arjuna adalah satria sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan halus,
kedatangan Abimanyu menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya menyentuh kalbu.
“Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng rama menyesali
kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati”.
“Sekarang bangkitlah rama ! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak uwa
Jayadrata. Bila rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang disandang uwa
Jayadrata !”
Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya, didekatinya
Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka ketika rambutnya
dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher Wisamuka, tak bernyawa ia.
Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan.
Terceriterakan, Dewi Dursilawati yang tak tega melepas anaknya sendirian, menyusul
bersama Patih Sindulaga. Sempat tersusul oleh kedua orang itu, namun keadaan sudah
terlambat. Yang terlihat dihadapannya adalah, tubuh orang kesayangannya yang telah
terpisah dengan kepalanya. Darah segar masih mengucur dari luka akibat luka terkena keris
Arjuna.
Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati. Tidak ada keraguan
bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup anak junjungannya, karena yang
terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang dikenalnya dengan nama Arjuna.
Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari gendongannya, terpasang pada
busur, segera direntang dan dilepas dengan suara membahana. Panah meluncur mengenai
dada Patih Sindulaga tembus ke jantung, tewas Sindulaga menyusul Wisamuka.
Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga menyusulnya, Dewi
Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur aduk, membawa tangannya
ringan mengayunkan keris kecilnya kedada. Tamat riwayat Dursilawati.
Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan Jayadrata. Biang
kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula kesedihan membeban di
hatinya.
Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan mempunyai daya pikat
luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada.
Murdaningsih yang muda tetapi telah matang, datang dengan dandanan serba menantang.
Dadanya yang setengah terbuka menampakkan sekilas sisi cengkir gading. Kukunya
dibiarkan sedikit panjang dengan pulasan warna merah dadu serasi dengan kulit sang dewi
yang kuning gading cenderung putih. Matanya yang sedikit sipit dihiasi sekeliling
kelopaknya dengan pulasan lembut serasi. Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah
delima, kontras dengan kulit putih wajahnya. senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan
giginya yang putih tertata bagai deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia
terhadap lawan jenis. Bau harum merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang
Dewi. Siapapun akan terpesona dengan kecantikan dan gerak geriknya.
Berkendara seekor gajah putih yang
berjalan dengan anggun. Terpesona Arjuna melihat apa yang tampak dihadapannya.
“Bidadari manakah gerangan yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang ini
?” Pikir Arjuna.
Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar Arjuna yang
memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat asmara mengurung
sukmanya.
“Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman surga, belum
pernah aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika sang Dewi ?” sapa
Arjuna dengan senyum terkulum. Senyum yang sanggup menjerat wanita manapun, hingga
ia digilai para wanita. Memang demikian apa yang terjadi di masa lalu, atas hadiah
mengenyahkan Prabu Niwatakawaca waktu hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang
Hyang Jagatnata, Arjuna dihadiahi tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu
Kiritin atau Kirita. Tak pelak lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya.
Namun kali ini, wanita asing dihadapannya datang dengan ciri ciri yang belum pernah
dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang pernah ia temui. Biasalah demikian, tak perlu
diceritakan lagi.
Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang membuat Arjuna
semakin mabuk kepayang.
Teror Kepala Jayadrata
Pelahan atas perintah Dewi Murdaningsih, si gajah merunduk. Mambiarkan tuannya turun
dari punggungnya. Dengan luwesnya Dewi Murdaningsih turun dari punggung gajah dan
segera berjalan semakin dekat ke tempat Arjuna berada.
Kenes ia berputar disekeliling Arjuna dengan senyum
yang tak pernah lepas dari bibirnya. Bagai kerbau tercocok hidungnya, Arjuna ikut berputar
badannya mengikuti gerak sang Dewi.
Kemudian tangan Murdaningsih yang lembut meraih kedua tangan Arjuna dan berkata
memuji. Tetap ia tak berhenti bergerak lincah.
“Ternyata tanah Jawa terdapat lelaki yang sempurna segalanya, tak ada tandingannya
dibanding di negaraku. Satria bagus, siapa nama andika ?” Pujian Murdaningsih
mengabaikan pertanyaan mengenai namanya.
“Tadinya aku berpikir, hanya rupamu yang cantik, sehingga jiwaku terpasung, mataku
tak sanggup untuk berkedip. Tetapi begitu andika sang Dewi mengucapkan kata kata,
sekalimat demi sekalimat, hatiku runtuh terbawa sapuan arus kidung cinta yang
mengalun bersama sapa suaramu, sang Dewi ?” Aku Arjuna penengah Pendawa”. Arjuna
menyebut nama memperkenalkan diri.
“Ooh, inikah satria dengan nama harum yang menjadi inspirasi kidung cinta ? Inikah
satria dengan sorot mata yang mampu meruntuhkan hati wanita siapapun. Bahkan
wanita dengan keangkuhan setinggi langitpun, akan takluk dihadapan yang namanya
Raden Arjuna. Saking orang banyak yang memuja, sampai sampai ada yang mengatakan,
kerikilpun, bila andika berjalan, mereka minta andika pijak ?”
“Bahagianya hatiku, karena tidak sia sia aku datang dari jauh, ketemu dengan andika
Raden, seakan sukmaku telah tertawan ditanah ini, dan tak hendak aku pulang ke
Turilaya”. Kembali pujian yang dikatakannya melupakan perintah kakak seperguruannya,
tentang tugas yang sebenarnya diemban.
“Puja pujimu teramat tinggi sang Dewi, membawaku terbang ke awan. Melayang
sukmaku mendengar pujian dari bibirmu yang sungguh bagus itu. Tapi siapakah sang
Dewi sebenarnya ?” kembali Arjunapun yang lalai akan kewajiban yang seharusnya
dilaksanakan, ia menanyakan nama wanita itu.
“Masihkan aku perlu menyebut namaku ?” Murdaningsih manja mengulur rasa penasaran
lawan bicaranya.
“Ya sudahlah aku pergi saja, kalau kamu tak mau memperkenalkan dirimu”. Sambil
melepaskan pegangan tangan Murdaningsih, Arjuna kemudian melangkah pergi, jurus rayu
itu diterapkan.
“Eeh…, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk !” Murdaningsih mengejar, menyambar tangan
Arjuna.
“Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang yang tak aku
kenal”Arjuna menyanggah.
“Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden. Nama dan cerita
yang beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh jauh aku datang untuk
membuktikan kebenaran cerita itu”. Kali ini Murdaningsih menumpahkan isi hatinya.
“Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi ?” pancing Arjuna.
“Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya. Hatiku telah
tertambat disini, bawalah diriku kemana Raden pergi”.
Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana romantis, membuat
kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala galanya. Arjuna lupa akan tugas negara
sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa bahwa tujuannya adalah untuk meringkus
Arjuna. Sekarang yang ada hanyalah puja puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang
berhamburan dari mulut kedua asmarawan dan asmarawati itu.
Namun tidak demikian dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor gajah dengan sifat
yang sudah bagaikan manusia. Melihat keadaan tidak sesuai dengan apa yang digariskan,
tidak ada keraguan dalam otaknya segera mendekati kedua insan yang tengah memadu
kasih. Diulurkan belalai, Arjuna yang tidak waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi
Murdaningsih.
Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri sempurna, gajah
Murdaningkung kembali memburunya. Tak ada usaha lain kecuali Arjuna menghindar
melompat dari raihan belalai yang kembali hendak meringkusnya. Kemarahan yang amat
sangat merasuki ubun ubunnya karena terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak
panah yang tersandang dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang dibahunya.
Terpasang anak panah pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai
kepala gajah itu. Lelehan otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling.
Mati seketika gajah Murdaningkung.
Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat membunuh gajah
kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah kesayangannya sambil menangis.
Air mata sang Dewi yang jatuh ditubuh gajah itu secara ajaib membangunkan sang gajah dari
kematian.
Terheran Arjuna melihat kejadian itu. Begitu juga Murdaningsih yang baru kali ini
membuktikan kesaktian yang diberikan gurunya.
Pada saat itu, Prabu Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik seperguruannya ,
muncul ditengah kejadian.
Taulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu Bogadenta
memarahi adik seperguruannya.
“Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh ketampanan lawanmu. Tadinya aku tak
ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu tak mampu menahan godaan
Arjuna . Sekarang aku ambil alih peran kamu.”
“Arjuna ,Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai kamu melawan,
percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah ulurkan kedua tanganmu akan
aku ikat tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu Duryudana. !”
“Siapa kamu !” tanya Arjuna penasaran
“Prabu Bogadenta dari Turilaya.” Bangga sang Prabu memperkenalkan dirinya
“Kamu boleh menawanku kalau kamu sudah bisa melangkahi jasadku.” Arjuna menantang.
“Rupanya kamu hendak meraih sorga. Majulah !”
Kali ini Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan. Saling serang dengan tempo tinggi terjadi
hingga hutan menjadi riuh oleh geretak ranting patah dan tumbangnya pepohonan runtuh
tersapu serangan kedua pihak. Kali ini Arjuna tidak membuang waktu. Ketika serangan agak
berkurang, Arjuna melompat mundur, kemudian bidikan anak panah meluncur mengenai
dada Prabu Bogadenta. Tewas seketika sang Prabu.
Gajah Murdaningkung berlari mendekati tuannya dan meneteskan air mata sedih atas
kematiannya. Keajaiban kembali terjadi, bagai terbangun dari tidur, bangkit kembali Prabu
Bogadenta dari kematiannya.
Pusing Arjuna mengatasi lawan yang tiga tiganya saling bisa menolong sesama kawannya.
Prabu Kresna yang dari kemarin mencari Arjuna mendengar keributan yang terjadi segera
menghampiri yang dicari cari.
“Aduh adikku, ternyata kamu ada disini !”
Melihat kedatangan Prabu Kresna segera Arjuna bersimpuh “Sembah baktiku kanda”
Penuh selidik Prabu Kresna berkata “Ya aku terima, tetapi lain kali jangaan seperti ini. Aku
tahu betapa remuk hatimu dengan kematian anak kesayanganmu. Darma satria sudah
kau lupakan sekarang. Padahal seandainya kamu masih ingat akan janji setia Pandawa,
bahwa mati salah seorang Pandawa, maka yang lain akan mengikuti kematian yang satu
itu. Bila itu terjadi, maka kamu yang akan dituduh sebagai biang dari kematian
saudaramu. Alangkah malunya kamu. Jiwa satriamu akan luntur dan menjadi contoh
buruk sepanjang tergelarnya jagad”.
“Kanda, adikmu minta pengayoman “ Tercetus kata pasrah Arjuna.
“Apa yang bisa aku ayomi” jawah Kresna.
“Saya keteteran menghadapi lawan lawan itu.” aku Arjuna
“Baik aku sekarang mengerti. Tapi tegakah kamu dengan wanita cantik itu ?”. Tanpa ada
yang tersembunyi dari mata Arjuna, alasan Kresna menanyakan tentang wanita cantik itu.
“Terpaksa kanda”. Sekenanya Arjuna menjawab.
“Penyakitmu belum sembuh sembuh juga ! Aku tahu, aku percaya. Kamu adalah jago
memanah tanpa tanding. Kecepatan memanahmu dalam satu waktu dengan jumlah
lepasan anak panahnya tak ada yang bisa mengalahkan. Itu yang belum kamu lakukan !”.
Belum habis bicara Prabu Kresna, Arjuna sudah bersiap dengan ketiga anak panahnya yang
terpasang dalam satu busur. Dengan cara yang tidak mudah ditiru siapapun, anak panah
yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing masing. Mengenai ketiga pendatang
dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya bersamaan.
“Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi menyesali yang
sudah terjadi. Istrimu sudah menunggumu”.Tersipu malu Arjuna mendengar kata kakak
iparnya.
*******
Sampai ke palagan peperangan Kurusetra,
Arjuna kaget dengan keadaan pasukannya yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata
tiruan yang jumlahnya tak terhitung, membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan
kakaknya, Werkudara mundur.
Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang sebenarnya, segera
Arjuna melepaskan panah neracabala. Ribuan anak panah segera terlepas dari busurnya
menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu disapunya seluruh bangkai Jayadrata
dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan lebat dengan banjir yang menyapu hebat seluruh
padang Kurusetra didepan Arjuna. Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa
Jayadrata tiruan akan tak dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah
dilumpuhkan.
Ketika banjir melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan, Bagawan Sempani
yang tak mau terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan, kembali buru buru ke
pesanggrahannya, tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya arus banjir yang hendak
melandanya.
Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna. Yang diarah dari
usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang menjadi penyebab gugurnya
Abimanyu anaknya. Betapapun matinya Wersakusuma masih saja belum memuaskan rasa
dihatinya.
Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong kalimat sumpah.
“Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata asli tidak
dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri !”.
Sumpah Arjuna terdengar oleh banyak orang yang segera bersambung lidah mencapai
telinga lawan. Geger lawan yang segera menutup rapat jalan kearah persembunyian
Jayadrata.
Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan kepada Arjuna
“Begitukah ? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu untuk melaksanakan
sumpahmu ?” Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik iparnya.
“Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu”. Ternyata Arjuna mengandalkan
kakak iparnya.
Tersenyum Prabu Kresna. “ Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau andalkan !” Bila
memang itu maumu ayo ikut aku !
Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang strategis dalam menlihat tempat
persembunyian Jayadrata.
“Tunggu disini. Lihat apa yang ada didepanmu?” Itulah tempat berlindungnya Jayadrata
!”
“Apa yang harus hamba lakukan sekarang kanda Prabu ?”
“Aku akan membuat suasana menjadi petang seakan matahari sudah tenggelam. Bila
nanti itu sudah terjadi, segera nyalakan api pancaka, berpakaianlah serba putih, dan
perintahkan seluruh prajurit untuk berhenti dan menyaksikan ritual kematianmu dalam
api suci !”
Berbalik badan Kresna melangkah dengan masih berkata.“Tunggulah sebentar, akan aku
atur segala sesuatu yang bersangkut dengan bagaimana kamu harus melakukan
pancingan agar Jayadrata dapat ditemukan”.
Segera bergerak Prabu Kresna mendekati saudara saudara Pendawa, untuk menjelaskan apa
yang hendak dilakukan, kemudian ia melepaskan senjata Cakra Baswara keangkasa.
Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata yang terkendali
oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai kesaktian triwikrama
sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna.
Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna, maka tak terasalah
bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai menyambung ke masa senja yang
sebenarnya.
Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu Kresna akan
tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih. Tidak hanya para
prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para Kurawapun ikut juga tersulut
rasa penasarannya, menyaksikan dengan kegembiraan yang tiada terkira. Dalam hatinya
mereka mengatakan, bahwa sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh
dengan kematian Arjuna.
Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung , bersembunyi dalam
kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada.
Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan keadaan yang
memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa penasaran mengalahkan
ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa ia tak boleh terpengaruh oleh
apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika suasana makin meriah dengan teriakan yang
menyebutkan Arjuna bakar diri, pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang
udara. Gelapnya suasana membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar.
Makin penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang
terjadi diluar sana.
Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari lubang
persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan untuk segera bergeser
dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera dilepaskan. Putus leher Jayadrata
menggelinding keluar dari bunker baja.
Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana. Werkudara sigap segera
mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu
menjadi bulan bulanan para prajurit Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat
didepan Resi Sempani.
Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anaknya yang dibuat permainan
itu.
“Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya kamu belumlah
mati. Kamu masih hidup !”
Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala dendam terpancar
dari bola mata itu !
“Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” sabda sang Resi melayangkan
kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran.
Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan keris tergigit di
giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit Randuwatangan melihat kejadian
yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan prajurit kecil menjadi korban disisa hari
dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya,
Raden Gandakusuma dan dan Raden Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang
melayang layang mengerikan. Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya !
Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu dimana Resi
Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan ini. Setelah ditemukan,
segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan berulang ulang ucapan sakti penyebab
amukan kepala anaknya. “Hiduplah Jayadrata, jangan mati”.
Berulang kalimat ini diucapkan.
Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas perasaan Sempani
dengan akal akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra dengan benar.
Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang mengganggu bibir dan
hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra sakti hingga terbalik, “ Matilah
Jayadrata ! Sadar dengan ucapannya, dan kaget dalam hatinya yang segera ia maju ke
peperangan. Tidak terima ia dengan akal akalan yang dilakukan Kresna.
Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan utuh, gada Rujakpolo
atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan kepala itu menjadi tak berbentuk
lagi.
Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari amukan Sempani.
Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah pedang menebas-nebas
ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya. Drestajumna mencoba menghentikan
amukan Sempani. Sesama menggunakan pedang ia mencoba melayani permainan pedang
jago tua itu. Tetapi kekuatan orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang
berlangsung hingga matahari sudah menyentuh ufuk.
Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. “Adimas, segera kembali turunkan
hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap dinginnya hujan”.
Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak Batara Indra,
dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat.
Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena hujan yang turun
dingin dilangit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang kemudian napas tuanya memburu
keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti
Jayadrata.
Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan Bimasena, tetapi
sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan kekerabatan kakak adik ipar yang
dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada
menjadi raja di tlatah Sindu . . .
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2
Baratayuda 2

More Related Content

What's hot

Menulis naskah drama berdasarkan cerpen
Menulis naskah drama berdasarkan cerpenMenulis naskah drama berdasarkan cerpen
Menulis naskah drama berdasarkan cerpen
anggapriktew
 
Anak gajah terjatuh ke dalam lubang
Anak gajah terjatuh ke dalam lubangAnak gajah terjatuh ke dalam lubang
Anak gajah terjatuh ke dalam lubang
Nor Zura
 
Soal dan kunci ekonomi kelas x
Soal dan kunci ekonomi kelas xSoal dan kunci ekonomi kelas x
Soal dan kunci ekonomi kelas x
Iing Sodikin
 

What's hot (16)

Kitap Kulübü Sunumu
Kitap Kulübü SunumuKitap Kulübü Sunumu
Kitap Kulübü Sunumu
 
Memangnya, seharusnya harga cabai merah itu berapa sih, sebenarnya?
Memangnya, seharusnya harga cabai merah itu berapa sih, sebenarnya?Memangnya, seharusnya harga cabai merah itu berapa sih, sebenarnya?
Memangnya, seharusnya harga cabai merah itu berapa sih, sebenarnya?
 
Developing Patron Personas - IL2010
Developing Patron Personas - IL2010Developing Patron Personas - IL2010
Developing Patron Personas - IL2010
 
Menulis naskah drama berdasarkan cerpen
Menulis naskah drama berdasarkan cerpenMenulis naskah drama berdasarkan cerpen
Menulis naskah drama berdasarkan cerpen
 
173533428 cerpen
173533428 cerpen173533428 cerpen
173533428 cerpen
 
3. Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (ISI)
3.  Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (ISI)3.  Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (ISI)
3. Laporan Perjalanan Rekreasi Dan Ziarah Wali (ISI)
 
Babad Cirebon
Babad CirebonBabad Cirebon
Babad Cirebon
 
Cerita dongeng (sage)
Cerita dongeng (sage)Cerita dongeng (sage)
Cerita dongeng (sage)
 
Dongeng Anak Singkat
Dongeng Anak SingkatDongeng Anak Singkat
Dongeng Anak Singkat
 
Anak gajah terjatuh ke dalam lubang
Anak gajah terjatuh ke dalam lubangAnak gajah terjatuh ke dalam lubang
Anak gajah terjatuh ke dalam lubang
 
Kisah 1001 malam abu nawas
Kisah 1001 malam abu nawasKisah 1001 malam abu nawas
Kisah 1001 malam abu nawas
 
Soal dan kunci ekonomi kelas x
Soal dan kunci ekonomi kelas xSoal dan kunci ekonomi kelas x
Soal dan kunci ekonomi kelas x
 
KAYU LAPIS
KAYU LAPISKAYU LAPIS
KAYU LAPIS
 
Cerita dongeng
Cerita dongengCerita dongeng
Cerita dongeng
 
Anatomija- Veliki mozak
 Anatomija- Veliki mozak  Anatomija- Veliki mozak
Anatomija- Veliki mozak
 
fabel
fabel fabel
fabel
 

Similar to Baratayuda 2 (9)

Baratayuda Perang menuai karma : Buku-3
Baratayuda  Perang menuai karma : Buku-3Baratayuda  Perang menuai karma : Buku-3
Baratayuda Perang menuai karma : Buku-3
 
Baratayuda Perang menuai karma : Buku-2
Baratayuda  Perang menuai karma : Buku-2Baratayuda  Perang menuai karma : Buku-2
Baratayuda Perang menuai karma : Buku-2
 
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
 
Baratayuda 1
Baratayuda 1Baratayuda 1
Baratayuda 1
 
Dilema Arjuna
Dilema ArjunaDilema Arjuna
Dilema Arjuna
 
Banjir darah di tegal kuru
Banjir darah di tegal kuruBanjir darah di tegal kuru
Banjir darah di tegal kuru
 
Baratayuda Perang menuai karma : Buku-4
Baratayuda  Perang menuai karma : Buku-4Baratayuda  Perang menuai karma : Buku-4
Baratayuda Perang menuai karma : Buku-4
 
Baratayuda Perang menuai karma : Buku-1
Baratayuda  Perang menuai karma : Buku-1Baratayuda  Perang menuai karma : Buku-1
Baratayuda Perang menuai karma : Buku-1
 
Karajaan majapahit
Karajaan majapahitKarajaan majapahit
Karajaan majapahit
 

Recently uploaded

Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Jual Obat Aborsi Apotik Jual Obat Cytotec Di Sorong
 
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan KonsultasiJual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
ssupi412
 

Recently uploaded (13)

Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
 
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
 
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang TerbaruKisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
 
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
 
SLOT RAHFFI AHMAD > LINK DAFTAR GACOR 2024
SLOT RAHFFI AHMAD  > LINK DAFTAR GACOR 2024SLOT RAHFFI AHMAD  > LINK DAFTAR GACOR 2024
SLOT RAHFFI AHMAD > LINK DAFTAR GACOR 2024
 
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot BesarBAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
 
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAWIDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
 
Papilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin Terpercaya
Papilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin TerpercayaPapilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin Terpercaya
Papilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin Terpercaya
 
Lim4D Link Slot Super Maxwin Anti Nawala Terpercaya
Lim4D Link Slot Super Maxwin Anti Nawala TerpercayaLim4D Link Slot Super Maxwin Anti Nawala Terpercaya
Lim4D Link Slot Super Maxwin Anti Nawala Terpercaya
 
Sakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto Cuan
Sakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto CuanSakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto Cuan
Sakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto Cuan
 
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
 
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan KonsultasiJual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
 
tugas kelompok irsyad aldey.pdf
tugas kelompok irsyad aldey.pdftugas kelompok irsyad aldey.pdf
tugas kelompok irsyad aldey.pdf
 

Baratayuda 2

  • 1. PERANG BARATAYUDA ( bagian 2 ) Lunaslah Janji Abimanyu Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna. “Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !” sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya. Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,
  • 2. “ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua orang tua kami” “Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru”. Perintah sang uwa “Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu “Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna. “Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”. Demikian putusan Sang Senapati. Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi. Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara, Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas. Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu. Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan. Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala. Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah.
  • 3. Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna. Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara. Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa. Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah bagai dipedayai. Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian. Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya. Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya. Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi. Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan sudah terjadi. “Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !”. kata kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi, disudahi
  • 4. pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian. Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia mengatakan, “Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”. Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal akalannya, “Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?” “Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!” Sangkuni mengamini. “Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus teruskan, maka akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”. Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu. “Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati Basukarna sekenanya. “Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini”. Durna mulai membuka strategi. “Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut. “Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita”. Pandita Durna menjelaskan strateginya. “Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”. Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang. Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para
  • 5. prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu. Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu: “Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan. “Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan”. Bangga Abimanyu. Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari lukanya. Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan. “Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi”. Tutur Adipati Karna. Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan. Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju menyongsong serangan. “Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”. Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya masih tetap tegar. Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.
  • 6. Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti halnya untaian melati menghiasi pinggang. Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek! Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun. Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya. Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara. Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa. Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya. “E . . e . . e . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”. Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain main, ia maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya.
  • 7. Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir , sang prajurit muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya. Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka masing masing. Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi. Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu. Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma negara yang gugur, di lepas siang . Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
  • 8. Ricuh di Bulupitu Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing jauh keluar arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari senapati pengatur perang, Drestajumna. Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria menghindar dari tantangan musuh. Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi perasaan bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan. Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi sebetulnya tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding itu. Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan Wersaya tanah yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah menjadi pasir lumpur yang
  • 9. menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin mereka tenggelam. Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam. “Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara saudaramu, bicaralah kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul ayahmu ke Candradimuka menggantikannya jadi kerak neraka itu”. Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah itu, ketika atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana menaiki lembu Andini, tunggangan Batara Guru. “Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan mengenangmu sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna menyahut dengan gerakan hati hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur makin menyeretnya tenggelam. Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan batinnya. Perjuangan menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah menjadikannya kokoh luar dalam. Maka ketika sedang terjepit seperti ini tak lah ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol dikerahkan untuk mendorongnya keluar dari seretan lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil melompat keluar dari pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan Gada Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak Kurawa. Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat. Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan meminjam tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan sengit kembali terjadi, namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh diatas Wersaya. Dengan tidak membuang waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan tewasnya Wersaya diujung keris Kyai Kalanadah. Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari induknya, dan mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan menemukan suasana duka mendalam yang terjadi di pesanggrahan Randuwatangan. Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah meninggalkan peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia. Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu Kresna, duduk dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan air mata bagai hendak terkuras dari kedua matanya.
  • 10. Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga suami istri belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah mendadak seperti dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore seperti mendung yang menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu. ******** Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang menjelang sore itu karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan keheningan itu menjadikannya helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar mandir, kemudian duduk kembali. Sebentar sebentar ia mengelus dada dan bergumam dengan suara tidak jelas. Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang orang disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah gugur, maka tiada satupun yang berani membuka mulutnya. Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga. Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana mana dengan kenangan terhadap pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya menjadi bagai lumpuh. Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil nama pamannya. “Paman Harya Sangkuni!” Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan kejadian yang telah berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan terhadap dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan peperangan. Namun ditegarkan hatinya ia menjawab. “Daulat sinuwun memanggil hamba “ “Ini siang atau malam?” Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak dada Sangkuni terasa terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya. “Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan mempertanyakan waktu, ini siang atau malam, “
  • 11. Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana mengeluarkan isi pikirannya. “Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para Kurawa, Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang manusia adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya bila bukan itu yang sedang terjadi, yang salah bukan para dewa.” “Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang menyelonong untuk meminta kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya adalah supaya membuat gelap jagad saya, seperti yang disandang sekarang ini”. Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan. “Anak lelaki yang hanya satu, satria Sarujabinangun, Lesmana Mandrakumara yang siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah selesai Baratayuda Jayabinangun akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati mbahudenda” di dunia, di negara Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi sebelumnya, cucu andika, gugur dalam peperangan”. “Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan kiri”. Sejenak sang Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia sampaikan berjejalan untuk segera dilepaskan dari sesak didadanya. “Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia diberi wenang mepunyai cita cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada yang berusaha melewati cara dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya dengan cara laku tapa. Diumpamakan mereka tidak takut berjalan dalam lelayaran luasnya samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi kemuliaan yang hanya untuk kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup. Buatku, yang membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti keturunanku, supaya besok aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan cara menang dalam perang Baratayuda”. Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba tiba menjadi ketus. “Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik! “Yang terjadi adalah, para orang tua hanya yang ikut mengayom dalam kemuliaanku diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang tidak ikut dalam repotnya penandang ! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya ngayom kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa memperoleh perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya mereka mengerti bahwa mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan perang dalam Baratayuda. Tetapi semuanya tidak ada nyatanya, semua hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang dirembug siang malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau tidak dilakukan tidaklah ada nyatanya !’
  • 12. “Apakah harus saya sendiri yang melangkah kedalam peperangan menyerang para Pandawa”. Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya dialirkan dihadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu yang sedang hadir dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk diam. Mereka terlihat memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan segala unek unek yang terpendam didadanya. Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali melingkup sidang, ia membuka mulutnya. “Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna .Saya yang sanggup menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”. Krepa memperkenalkan kembali keberadaannya dalam sidang. Setelah diawasinya semua yang menghadap di Bulupitu, ia melanjutkan. “Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya dengan persaudaraan ku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita bernama Kerpi. Karena kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana. Kkarena paduka menjadikannya sebagai penasihat Kurawa, saya juga tidak akan ketinggalan. Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi datang ke Astina karena terdorong oleh gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba tidaklah terpisah dari saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang terjadi, ada kalanya bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan. Ikut memperlindungi raga saya yang tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina telah menjadi glagah alang alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang Baratayda Jaya Binangun”. Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali Krepa dengan percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya. “Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau muda, saya terkodrat jadi lelaki. Sekali lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah berbekal keberanian. Dan bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan sinuwun menanyakan”. Krepa memancing. “Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”. Penasaran, Prabu Duryudana menyahut. “Bicaralah Krepa,akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan dengan telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”.
  • 13. Mendapat angin, Krepa makin percaya diri. “Sukurlah, apakah sebabnya bila saya berbekal keberanian. Berapa lama manusia hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya diumpamakan cuma mampir minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa memilih negara yang lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Terapi memang dari awal hamba sudah memilihnya, walaupun menjadi gagang keringpun akan aku lakukan”. “Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan sepenuh hati tak akan memperoleh nama harum, namun para orang yang sebaliknya, mengabdi dengan setengah hati, itu adalah terserah mereka sendiri”. “Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa raga dari atas pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”. “Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk membuktikan, sebab perang Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu orang yang telah didapuk menjadi pengatur perang”. Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu Duryudana memotong. “Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya kurang tepat?!”. Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar. “Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan hitung hitungan waktu, kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi karena saya hanya ikut merasakan kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar? Karena saya mengabdi ke Astina belumlah selama yang lain!”. “Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih lama dan yang juga mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya”. “Maksud paman Krepa?” Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan jumawa Krepa memandangnya dengan sedikit memancing. Kerpa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya, “Bibit disini ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut orang tuanya, bebetnya, keadaannya hanyalah orang biasa , sekarang bobotnya mempunyai jabatan tinggi karena dalam jabatannya ia adalah telah diberi gelar senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam menata negara. Tidak kurang kurang paduka telah
  • 14. memberkatinaya setinggi langit, dan meluberinya segala kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut namanya”. “Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh karena kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka sinuwun. Lagi pula dia sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya dialah seseorang turun dewa yang memberi kecerahan siang”. “Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu hamba Lesmana Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya berdiam diri. Tidaklah ia memberikan pemecahan masalah yang membuat beban yang paduka sandang menjadi ringan. Orang itu hanya membutakan mata, menulikan terlinga. Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya adalah condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan kepada teman, tetapi condongnya adalah mengayomi lawan”. “Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya adalah masih saudara tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali sekali mendindak orang yang bersalah. Sekali sekali hendaknya sinuwun menindak orang yang membuat kekuatan Kurawa menjadi ringkih!”. Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna. Ia tidak syak lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa Krepa. Dibiarkannya ia mengoceh dihadapan adik iparnya. Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana, menjadi khawatir dengan kata kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan suasana. “Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur berkobar. “Mengapa diumpamakan begitu?” Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan keadaan yang terjadi mempertanyakan. “Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga ikut duduk bersama sinuwun”. Kemudian sambung Durna memohon. “Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara dengan adik ipar saya resi Krapa”. “Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat persatuan Kurawa silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana. “Krapa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi jangan hendaknya untuk meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara, tetapi kata katamu hendaknya membuat dingin suasana. Berkatalah dengan lambar air kesabaran”.
  • 15. Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya. Yang dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan. “Kalau api yang kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman. Kalau yang terbakar hanya sebagian saja tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar adalah seluruh keluarga besar, merambat kepada para pembesar, tidak urung akan merambat kepada semua rakyat!” “Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu menjadi perhatian para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana para pejabat berlaku. Para pejabat seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil. Semua harus bisa menjadi contoh!” “Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah Krapa! Kamu datang ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa. Tetapi aku yang membawa. Datang ke Astina kamu diberi jabatan sebagai penasihat. Disini aku mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi hendaknya kamu cabut. Sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi! Karena itu jangan biasakan memanaskan suasana, karena disini suasananya sudah terlanjur menjadi makin panas !”. “Sumbanglah para Kurawa dengan ide ide yang bermanfaat agar semua menjadi tenteram sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!” Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang dikenal berhati batu itu. “Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang melangkah di samudra pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap menemukan emas sebakul, namun yang diharap adalah setetes air pengobat dahaga.” Prabu Duryudana menyahut mengamini. Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan tinggi hati. “Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata kata yang telah aku sampaikan aku cabut kembali maka betapa malunya aku”. “Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti halnya hamba melepaskan anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak panah tadi”. Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai batas ledakan didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana.
  • 16. “Mohon maaf yayi prabu Duryudana”. Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu Duryudana malah berkata dengan nada memelas. “Kakang Prabu kami minta pengayoman” “Apa dasarnya”. Jawab Karna. “Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”. Kembali Duryudana berusaha meredam kemarahan kakak iparnya. “Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud memecah barang yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila kemarahan yang terpendam ini tidak tersalurkan dalam ledakan didada, maka tindakan yang aku lakukan mejadi ngawur. Tidak aku salahkan bila sementara orang yang tega memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti ini”. Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan. Kaget setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi kesempatan membela diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur. Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka Kaladete dari warangka, tanpa ragu dipotong leher Krepa. Tewas seketika. Geger para Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu. Semua tidak menyangka kejadian yang sangat cepat akan membawa korban. Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita Durna Kumbayana. dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang paman Arya Krepa. Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia melompat mendekati Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan menggelundungnya kepala orang pandir yang nyinyir menyindir dirinya. Aswatamam memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai dipukul dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun ubun. Merah menyala dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan sudut bibir yang bergetar. Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga wora wari.
  • 17. “Karna bila kamu memang lelaki jantan ini Aswatama yang akan sanggup berhadapan dengan saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman Krepa dengan tidak memberi kesempatan membela diri”. Berdiri Aswatama dengan berkacak pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya. Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama. “Heh Aswatama! Kamu anak Kumbayana kan? Anak dari guru para Pandawa dan Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu sebagai orang sakti keturunan bidadari selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku susulkan kamu kepada pamanmu yang kurang ajar itu!” Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang dibakar kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang menyusul keluar Adipati Karna telah sampai dipinggir arena. Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna sedangkan Pandita Durna memegangi anaknya. Aswatama. “Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu Duryudana. Kamu telah membuat malu bapakmu!” Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan sembah. “Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan hamba menolaknya”. “Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari pandangan mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali sekali mendekat, bila tidak aku panggil!” Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai dan wajah menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata bapaknya yang berkaca kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati remuk. Aswatama telah kehilangan paman kesayangannya yang mengasuhnya dengan rasa sayang bagai seorang ayah kandung, dan kehilangan kepercayaan sebagai seorang prajurit negara.
  • 18. Catatan: Versi lain, menyebutkan Krepa tidak dibunuh Adipati Karna, namun hanya diusir Prabu Duryudana bersamaan dengan Aswatama.
  • 19. Ricuh juga di Kadilengeng. Diceritakan, yang ada didalam taman sari Astina. Taman yang bernama Kadilengeng. Yang tengah duduk dibawah pohon Nagasari, duduk diatas batu yang tertata rapi, itulah prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya, yang bernama Dyah Banuwati atau Banowati. Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada cacatnya. Kulit kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati. Bila berbicara ceriwis, namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan senyum bibirnya, menampakkan aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita yang pandai mempadu padan busananya, maka tiadalah aneh, bila ia selalu menjadi buah bibir. Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun banyak yang terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia hingga kinipun, sang Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang rambutnya ketika tertiup angin bagai melambai lambai merayu. Dadanya yang terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat akan terpesona karena Sang Dewi adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala
  • 20. jejamuan yang menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah setengah umur, namun tetap, kecantikannya bagai berrebut dengan sinar rembulan. Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang Baratayuda Jayabinangun. Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang suami. Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia menghaturkan sembah sebelumnya, kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu. “Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra disambutnya sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum sandiwara, karena selamanya sang dewi tak kan pernah mencintai Prabu Duryudana. “Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram sejuknya air pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya menghaturkan sembah. “Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti. “Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku. Ketika aku melangkah ke peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu tertimbun dihatiku”. Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa rindunya. Bila perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di hari hari kemarin yang melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu selama ini adalah bayangan istri tercintanya.
  • 21. Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis kepadanya. Tetapi sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda bercengkerama dengan Permadi, Arjuna muda, membekas dalam dihatinya. Sehingga kawin paksa yang terjadi dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi menjadikan rasa penasaran yang tak kunjung terlampiaskan dan membuahkan sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan. “Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari tigapuluh tahun dan sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu dimunculkan!”. Tukas sang dewi. “Ya, terus terang saja . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam dadaku”. Jawab Duryudana terus terang. Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan. “Aku hendak menanyakan beberapa hal. Pertama, sejak aku meninggalakan puraya agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang ada di Kedaton ini ?”. “Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan pekerjaanya”. Banuwati menjawab singkat. “Sukurlah . Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?”. Pertanyaan basa basi terlontar dari mulut Prabu Duryudana.
  • 22. “Tetep sehat sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba , pastilah tidak tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada ketenteraman batin hamba, sinuwun”. Jawaban basa basi membalas pertanyaan suaminya. “Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya. “Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?”. Tanya Dewi Banuwati ketika sang Prabu terdiam sejenak. “Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan aku sendiri, telah kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !.” Ragu Prabu Duryudana hendak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian mohon dibuat terang saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung perumpamaan seperti itu ?” “Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan mengatakan kepadamu. Karana dalam hitungan, jangan jangan setelah aku mengatakan berita ini kepadamu, jangan sampai kanjeng ratu menjadi sakit bahkan meninggal. Kalau hal ini yang terjadi lebih baik aku yang menggantikannmu. . . .” Prabu Duryudana terdiam. Demikian juga istrinya yang makin penasaran, namun tetap memberikan waktu bagi suaminya. Dengan lirih akhirnya coba memulai dengan cerita yang hendak dipanjang panjangkannya. “Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan anakmu yang dikepung wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat. Tetapi apa sebabnya, Lesmana yang selalu dalam pandangan mataku. Tanpa ijin dariku, ia maju ke medan pertempuran”. Kemudian Prabu Duryudana terdiam lagi. “Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega membunuh Lesmana, terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega terhadap “anunya” sendiri” !. Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai sampai ia menyerempet menyebut nama selingkuhannya. “Aku tidak mengerti”. Pura pura tak mengerti Duryudana menjawab dengan tidak senang. “Anunya itu, artinya keponakannya sendiri”. Banuwati berkilah sekenanya. Pikirnya, diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia mengetahui benar, bahwa Duryudana adalah tipe suami takut istri. “Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan Arjuna”. Pelahan Duryudana memberi penjelasan “Lalu siapa ?”. Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu.
  • 23. “Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di peperangan ia mendekati Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop Ludira. Namun ia kalah cepat, ia terkena pusaka Abimanyu. Hari itu anakmu gugur di medan peperangan !!”. Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget atau jatuh pingsan, atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa yang terjadi, ia cuma memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah sejenak kemudian ia menyalahkan anak dan suaminya. “Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya begitulah jadinya !”. Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia bergumam “Dikabari anaknya mati bukannya sedih, susah, malah tidak kaget sama sekali . . . . .”. “Apakah susah dan sedih harus dipamerkan? Kejadian seperti itu bukan salah Lesmana tetapi salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan!”. Jawab Banuwati ketus. “Salahku ada dimana?” Dikerasi istrinya, Duryudana melembek. “Paduka itu kurang waspada sinuwun”, kali ini ia menyalahkan suaminya. “Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang, selain harus menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas keselamatan semua, tanggung jawab ada pada pundakku . Dan aku tidak menyangka, bahwa ia berani beraninya maju ke peperangan !”. Ia memberikan alasan. “Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ”. Kembali Banuwati menyalahkan anaknya. “Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini. “Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa ?” Kembali Banuwati mempertanyakan hal mengapa ia harus menyesal. “Bila ia tunduk dan patuh kepada orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal. Hidupnya Lesmana kebanyakan menambah nambah rasa malu, tak ada lain !”. Kekesalan Banuwati mulai mengungkit ungkit peristiwa lama. “Berapa kali ia gagal menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak memalukan orang tua…. ? Jadi anak kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya ?!” Tak mau berlarut larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan perhatian. “Tetapi ada sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang melebihi kebanggaan itu. Matinya juga membawa kematian si Abimanyu !”.
  • 24. Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah dengan peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu kematian Abimanyu malah menangis tersedu sedu. Maka, setengah menggumam, ia menumpahkan rasa herannya. “Aneh sekali, aneh sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati, marah marah kepadaku, menyalahkan Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas, kamu malah menangis sesenggrukan….. !” Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana, Banuwati menjawab disela sela sedunya. “Kalau Lesmana mati kan hanya saya dan paduka yang bersedih. Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak orang yang ikut merasakan sedihnya. Seperti Arjuna, aku membayangkan betapa ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua adalah Wara Subadra, ia telah kehilangan anak nya yang tunggal, belum lagi istri istrinya Siti Sundari dan Utari. Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana rasanya dia.” Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu bukan perkaramu !. Abimanyu isrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !! “Ternyata rasa cintamu itu telah berpaling . . . . ! “ Kali ini Prabu Duryudana yang marah marah,“Siang malam tak ada gunanya aku menyellimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar, makan aku ladeni minum aku bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai jimat. Tetapi apa yang terjadi, apakah dasarnya kamu memprihatinkan musuh ?”. “Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati. “Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana menyahut sekenanya. “Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun yang terjadi justru sang Dewi yang meneruskan kalimatnya. Makin tak senang , ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?” “Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” yang diajak berdebat malah makin galak. “Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah saudara tuanya. Kalau manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu gurunya, itupun Pandawa berani membunuhnya !”. “Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya satria tiga, Seta, Utara dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi tumpangan ketika ia telah selesai menjalankan pembuangannya selama duabelas tahun, menjadi pengemis sudra.
  • 25. Dihidupi oleh orang Wirata, tetapi akhirnya ia membalasnya dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbuat baik. Itulah tandanya bahwa ia adalah orang orang yang terbuang sebenar-benarnya !” “Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan tuannya !”. Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri. “Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali ?” Disalahkan para Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi Banuwati. Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi aku tidak mau kau kalahkan !”. beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri mendekati jendela. Panas hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya sejuk angin. “Hamba tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan telah kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab Banuwati dengan nada tinggi. “Memang begitu !” kembali ketus jawaban Duryudana. “Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri !”. Jawab Banuwati terus terang. “Perkara yang mana ?” kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang tajam. Makin meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani menyampaikan rasa yang tersimpan dalam di lubuk hatinya. “Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah sebuah rahasia. Sudah lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak kuat lagi menahannya. Saya mengatakannya sekarang juga !”. “Tunggu apa lagi, katakan !” Duryudana mempersilakan istrinya kembali membuka isi hatinya. “Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau dalam lubuk hati paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang bertahta di Astina itu Pandawa atau Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu menagih haknya ?. Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu membuat negara dari keringatnya sendiri, Negara Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun tanah Astina. Tapi mereka selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan dalih permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa diusir paksa, sehingga mereka
  • 26. menjadi manusia hutan selama bertahun tahun. Jadi yang tipis rasa kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa ?!” Bagai bendungan yang jebol, segala unek unek ditumpahkan dihadapan suaminya. Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang untuk terus terang. “Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! Tetapiakujugapeduli !!” jawab Duryudana tandas. “Silakan sinuwun mengatakan !” kali ini Sang Dewi yang menantang. “Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun yang namanya permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”. “Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!” Saling bantah makin seru. “Mereeka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama mereka bergaul dengan segala macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya disampaikan, berharap ia tak diserang lagi. Namun kembali ia dicecar pertanyaan. “Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai sebelum itu ?” “Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina !”. Jengkel Prabu Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut. “Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak hendak melepehnya. Sinuwun kalaupun kata kataku sebagai istri, sebagai belahan jiwa, tak ada satupun yang hendak diperhatikan, bila demikian halnya, silakan hamba dikembalikan saja ke Mandaraka”. Tak lagi hendak berlarut larut bertengkar, sang Dewi menantang. “Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan istrinya.. “Ketimbang aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka paduka, sekarang juga lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !.” jawab senang Banuwati “Kamu menantang ?!” gertak Prabu Duryudana. “Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !”
  • 27. Berbalik badan Banuwati hendak pergi dari hadapan suaminya. Tetapi langkahnya tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa Prabu Duryudana dilengannya. Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia mengendurkan pegangannya. Katanya memelas. “Mau kemana ?” “Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya kembali ke Mandaraka ?!” masih dengan setengah marah dan nada merajuk, Banuwati bertanya balik. Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada di istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah kenyataannya, di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta Prabu Duryudana mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan keberadaan istri yang cantik molek itu. Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah mencengkeram Sang Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan cengkeraman, tangan sentosa Duryudana . . . . .
  • 28. Sihir Sakti Sempani Ketika itu di Pesanggrahan Bulupitu, segala kebijakan gelar perang tetap ada di tangan senapati Pandita Durna. Tekad sang Senapati kali ini adalah hendak mengembalikan nama baik yang tercoreng tebal, setelah kecolongan dengan tewasnya putra Pangeran Pati Astina Raden Lesmana Mandrakumara. Kematian Pangeran Pati yang berbuntut panjang dengan kericuhan di pasanggrahan Bulupitu hingga menewaskan iparnya Krepa dan diusirnya anak semata wayangnya Aswatama, mengharuskan kali ini nama baiknya akan pulih, dengan memenangkan peperangan kali ini. Maka ditunjuknya pendamping sakti dari negara sebrang. “Baik, sekarang aku minta anakmas Setyarata dan Setyawarman menjadi pendamping senapati”. Pandita Durna menujuk kedua orang yang disebut itu dengan jempolnya. Yang ditunjuk sejenak kaget namun kemudian menjadi berseri seri. Kehormatan sebagai pendamping senapati Durna adalah hal yang merupakan kehormatan tiada tara bagi mereka. “Sedangkan anakmas Kertipeya akan saya beri tugas khusus untuk menghadang Werkudara agar tidak mudah menumpahkan dendamnya kepada Jayadrata”. Kertipeya mengiyakan dengan perasaan bangga dan keyakinan diri tinggi. “Dan untuk perkara membekuk Arjuna, menurut telik sandi saat ini Arjuna sedang dalam keadaan tertekan jiwanya dan tidak memperdulikan peperangan, karena kematian anak kesayangannya. Nah dengan keadaan yang dialami Arjuna, akan aku jalankan cara khusus untuk menawan Arjuna, yaitu dengan perangkap asmara.” Pendita Durna adalah
  • 29. ahli strategi, maka diuraikan kepada kedua pendamping senapati, mengenai strategi yang hendak dirancangnya itu. “Kalau Arjuna masuk dalam perangkap asmara, maka tak akan lama ia bakal tertawan dan tinggal dengan gampang membunuhnya”. Kembali Pendita Durna berhenti bicara. Kemudian mendekat kearah Prabu Bogadenta. “Bukankan anakmas Bogadenta datang bersama dengan Saudara perguruanmu yang cantik itu? Anak angger Bogadenta dan saudara seperguruanmu akan aku pasrahi untuk menawan Arjuna”. Bogadenta belum sepenuhnya mengerti akan rancana Pandita Durna “Bagaimana maksud paman Pendita? Apakah aku harus mencari keberadaan Arjuna, dan aku harus bersama Murdaningsih dan gajah tunggangan saudara seperguruanku Murdaningkung, ? “Benar anakmas, nanti bila Arjuna sudah diketemukan, saudara seperguruanmu harus merayu Arjuna agar lengah, kemudian bunuhlah dengan belalai tunggangan gajah Murdaningkung !”. Durna memutus. Memang benarlah demikian. Prabu Bogadenta yang datang dari kerajaannya, Turilaya, ke Astina, disertai dengan saudara perguruannya seorang wanita cantik, liar dan sakti bernama Murdanigsih yang memiliki hewan Gajah putih bernama Murdaningkung. Pertemuan itu terjadi ketika mereka berguru bersama sama menuntut ilmu kanuragan. Bahkan setelah penuh ilmu, mereka dihadiahi suatu ajian, yang membuat mereka akan hidup kembali ketika salah satunya terbunuh, bila salah satunya menetesi air mata kesedihan terhadap kawan seperguruannya “Kemudian aku utus anakmas Kertipeya menghadapi Werkudara, secara fisik aku kira tak beda jauh kekuatannya dibanding Werkudara, bila Werkudara sudah dilumpuhkan, maka menawan Puntadewa adalah hal yang sangat mudah !”. Secara fisik Prabu, Kertipeya memang gagah perkasa tinggi besar sehingga layak ditandingkan dengan Werkudara. “Nah sekarang anak angger Bogadenta kami persilakan untuk berangkat ke sisi hutan Minangsraya, perbatasan Kurusetra, kebiasaan Arjuna diwaktu sedang sedih, biasanya dia akan pergi ke tempat sepi untuk menyegarkan kembali kelelahan jiwanya”. Selesai segala petunjuk sang senapati, sambil menghaturkan sembah, mundurlah Bogadenta untuk memenuhi tugas meringkus Arjuna. Sepeninggal Raja Turilaya, Pandita Durna segera memulai pasang strategi kesukaannya yang dianggap ampuh untuk memenangkan peperangan hari ini. Dalam pikirannya hanya muridnya, Arjuna yang dapat memecah gelar Cakrabyuha, kecuali Abimanyu yang telah tewas di hari kemarin.
  • 30. “Untuk yang akan melakukan tugas di peperangan Kurusetra, gelar yang hendak aku rakit adalah Cakrabyuha. Walau gelar ini telah dapat diobrak abrik oleh Abimanyu waktu itu, namun akan aku bangun kembali, dengan kepercayaan, tak akan lagi gelar dapat dihancurkan tanpa adanya Arjuna yang tengah pergi entah kemana, karena setengah gila memikirkan tewasnya anak kesayangannya itu”. ********** Dilain pihak, Pesanggrahan Randugumbala, Gelar Perang Garuda Nglayang dari pihak Pandawa diterapkan kembali, setelah mengubahnya kemarin hari dengan Supiturang. Dengan sayap kanan ditempati Raden Werkudara, dan disebelah kiri, karena ketiadaan Arjuna, adalah Arya Setyaki sebagai pengganti. Paruh garuda ditempati Sang Senapati Raden Drestajumna sedangkan pada ekor ditempati oleh Wara Srikandi. Berangkatlah kedua wadyabala kedua belah pihak, dengan suara gemuruh menuju medan peperangan dihari itu. Segera setelah barisan lawan masing masing terlihat, pecahlah perang campuh kembali. Bagaikan kilat kelebat batang gada sang Setyaki mengamuk dengan Wesi Kuning ditangannya. Banyak prajurit kecil terpukul gada pecah brantakan tulang belulangnya, bahkan yang menunggang kuda terguling beserta kuda kuda tunggangannya. Porak poranda tertebas gada satu sisi gelar Cakrabyuha. Dihadapannya menghadang Raden Durcala salah satu saudara Prabu Duryudana. Sama sama bersenjata gada, ia tak tahan melihat banyaknya korban yang jatuh pada salah satu juring ruji barisan. Heh Setyaki ! jangan hanya berani melawan prajurit kecil. Datanglah kemari hadapi Durcala kalau kamu sebagai seorang prajurit sejati !”. Segera setelah keduanya berhadapan, saling pukul dan gada serta hindaran pukulan berlangsung sengit. Durcala tak lama kemudian keteteran menahan serangan lawannya. Menyesal ia berhadapan dengan lawan ini. Ia salah memperkirakan kehebatan lawannya. Namun sudah kepalang basah, dengan sekuat tenaga ia menahan serangan lawan yang bertubi tubi datangnya bagaikan banjir bandang. Lama kelamaan susutnya tenaga mengharuskan ia bersembunyi disela sela rapatnya prajurit lain yang sedang beradu tenaga dengan lawannya masing masing. Setyaki yang panas, tak hendak melepaskan lawannya yang sudah diujung kekuatannya. Maka ketika melihat lawannya terjebak dalam sudut yang tak lagi memungkinkan ia menghindar, karena dibelakangnya terdapat reruntuhan kereta perang, maka sabetan gada Wesi Kuning mengakhiri perlawanan Durcala. Citrabahu yang melihat saudaranya terpupuh gada, marah bukan kepalang. Segera pertempuran antara Setyaki dengan Citrabahu memperpanjang amukan Setyaki. Tenaga Setyaki yang bertubuh kecil padat, sejatinya ia bertenaga raksasa. Citrabahu yang bertempur dalam keadaan marah dan kehilangan akal seakan akan menjadi bulan bulanannya. Tanpa
  • 31. perlawanan berarti, dihentikan gerak limbung Citrabahu dengan sekali pukul dikepalanya. Pecahnya kepala Citrabahu tanpa sempat ia berteriak. Raden Upamandaka dan Citrawarman bersepakat maju bersama untuk menghentikan korban yang semakin besar. Dikerubutnya Arya Setyaki dari dua arah dengan cecaran secara bergelombang. Namun Setyaki bukan prajurit lemah, walau serangan keduanya bagai siraman air bah, tetapi tetap dapat ditahannya, bahkan dengan garangnya ia menyerang keduanya bergantian, hingga membuat kedua lawannya kerepotan menyerang dan berkelit berganti ganti. Sama dengan lawan sebelumnya, kewaspadaan Upamandaka yang terkesima dengan kegarangan Setyaki, menurun. Terlena sekejap dibayar dengan mahal. Penggungnya tersenggol gada Setyaki yang menyebabkan ia kehilangan keseimbangan. Tak menyia- nyiakan kesempatan yang terpampang didepan matanya, sekali lagi dikenainya pinggang Upamandaka dengan kekuatan penuh, terkapar Upamandaka tak bisa bangun selama lamanya. Melihat saudaranya terkapar tak bangun lagi Citrawarman gemetaran. Sukmanya bagai ikut tercabut bersama lepas sukma Upamandaka. Tak ayal lagi gerakannya menjadi kacau balau. Tak ada lagi harapan untuk menang, ia melarikan diri. Namun kejaran Setyaki yang dilambari tenaga raksasanya berhasil menghentikan langkah Citrawarman dengan menebas kakinya. Teriakan ngeri menghambur dari mulut Citrawarman yang kemudian terhenti, ketika sekali lagi gada Wesi Kuning menerpa kepalanya. Tak ada lagi Kurawa berani mendekati amukan Setyaki membuat bubar mawut, satu sisi ruji Cakrabyuha Dibagian lain Wara Srikandi juga mengamuk dengan luncuran anak panahnya. Salah satu musuh yang memperhatikan datangnya anak panah mendekatinya dengan tujuan menghentikan hujan panah yang membawa banyak korban. Ia adalah Wiringsakti. Dengan mengendap endap ia berhasil mendekati kearah Wara Srikandi, tanpa ragu dihadapinya untuk mengadu kesaktian “Siapa kamu yang berani mengganggu kerjaku ?!” Srikandi yang merasa terusik, menghentikan lepasan anak panahnya. “Inikah Srikandi, yang telah berhasil membunuh Eyang Bisma ?!” Yang ditanya tidak segera menjawab pertanyaan Srikandi, malah ia kembali balik bertanya. “Sekali lagi siapa namamu sebelum kamu mati tanpa membawa nama ?. Dari ciri cirinya pastilah kamu salah satu saudara Kurawa !” Tak sabar, tanpa mempedulikan pertanyaan balik si pengganggu, Srikandi menghardik. “Akulah Wiringsakti ! salah seorang Kurawa yang hendak membalaskan kematian Eyang Bisma !” Jumawa Wiringsakti akhirnya menjawab. Senang hatinya ketika ia berhadapan langsung dengan Srikandi, karena dalam hatinya mengatakan, inilah kesempatan memperlihatkan jasanya terhadap kakak sulungnya, Prabu Kurupati-Duryudana, bila berhasil nanti.
  • 32. “Jangan banyak cakap, majulah akan aku antarkan kau kehadapan Eyang Bisma !” Semula Wiringsakti menganggap enteng prajurit wanita ini. Ia hendak meringkusnya dengan tangan kosong. Harapannya ia akan menangkap hidup hidup sebagati sandera. Karena lama kelamaan Wiringsakti terdesak, senjata pedang sudah ada dalam genggamannya. Tetap saja, ia tak juga berhasil mengenai tubuh lawannya dengan senjatanya, mulailah ia geregetan. Dengan gerakan yang mulai makin kasar, tak ragu lagi ia hendak meringkus lawannya dengan secepat cepatnya. Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika ada jarak terbuka diantara mereka, dengan cepat Wara Srikandi memasangkan anak panah pada busurnya. Kelincahan gerak pemanah wanita ini tidak diragukan lagi, lepasnya anak panah yang meluncur dari jarak yang tak terlampau jauh, mengenai dada Wiringsakti tembus ke jantung, menggelepar Wiringsakti, jatuh di tanah berdebu. Subasta, Suwarman, Habayuda dan beberapa saudaranya tak ragu lagi untuk meringkus Wara Srikandi bersama-sama. Harapan mereka, satu tawanan bila dapat diringkusnya, akan sangat berharga untuk membuat semakin lemah dan semakin hancur jiwa Arjuna, bila mengetahui istrinya ada dalam tangan Kurawa. Namun yang diharapkan, menjadi mentah kembali. Gatutkaca yang melihat keroyokan terjadi, segera turun dari angkasa, satu demi satu para pengeroyok itu dipuntir lehernya, tak sanggup mereka bangun kembali selamanya. Diceritakan, adalah amukan ditempat lain, Werkudara yang terbawa dendam atas kematian Abimanyu mencari keberadaan Jayadrata si biang kematian kemenakannya. Berteriak Werkudara dan prajurit Jodipati termasuk Patih Gagak bongkol dan juga anak Antareja , Danurwenda, serta anak Gatutkaca, Sasikirana, mengamuk sambil memanggil nama Jayadrata yang hendak dibunuhnya. Sapuan gada Rujakpolo ditangan Wekudara-Bimasena mobat mabit kanan kiri menyasar lawan didepannya. Korban berjatuhan banyaknya tak terhitung lagi. Dengan cara seperti ini, jeri prajurit Kurawa lari tunggang langgang. Banyak para Kurawa yang tewas, membuat Kertipeya segera menghadang Werkudara untuk menghindari lebih banyak lagi prajurit yang menjadi korban. Merasa dihalangi dalam menambah kurban ditangannya, tambah tambah liwung amukannya. Tak pelak lagi Kertipeya menjadi sasaran amukan berikutnya. Namun Kertipeya bukan prajurit rucah, tanding kekuatan berlangsung sengit. Silih ungkih singa lena. Bagaimanapun akhirnya dapat ditebak. Kematangan tempur Werkudara yang tertempa kerasnya ujian alam, telah berhasil mengungguli Kertipeya. Terlena sekejap Kertipeya, tahu tahu gada Rujakpolo telah berada didepan mukanya. Tak sanggup menghindar karena sudah dekat senjata lawan, ia hanya bisa berteriak ketika pusaka super berat itu menimpa kepalanya. Pecah kepala Kertipeya dengan isi otak yang berceceran. Satu lagi sekutu Kurawa menjadi korban. Satyarata dan Setyawarman maju berbarengan. Anggapan mereka, tenaga mereka masing masing masih masih dibawah Kertipeya. Bila digabungkan, maka pikirnya akan melebihi kekuatan temannya, Kertipeya. Tanpa ragu mereka berdua menghadang amukan Bimasena. Keroyokan terjadi kembali kali ini. Pusat perhatian Bima terpecah dengan serangan dari dua arah. Bila salah satu dicecar, yang lain mengganggunya. Jengkel Werkudara dibuatnya. Dapat akal yang lebih mudah, diletakkan gadanya, dengan tangan kosong dicengkeramnya musuh satu persatu, kemudian saling dibenturkan kepalanya. Kembali teriakan kedua pecundang mengakhiri perlawanan.
  • 33. Begawan Durna yang tidak heran dengan tandang muridnya itu segera waspada. Dipanggilnya Patih Sangkuni dan Jayadrata. “Adi Cuni, kamu melihat Werkudara mengamuk itu ?” “Ya Wakne Gondel, para prajurit Jodipati yang dipimpinannya meneriakkan nama Jayadrata. Menurutmu bagaimana, kakang ?” minta penjelasan Patih Sengkuni. “Sekarang aku minta kamu segera temani Jayadrata. Segera serahkan Jayadrata untuk sementara ke orang tuanya di pesanggrahan Giri Ancala. Katakan alasannya dengan tepat kepada Resi Sempani, ayahnya agar tidak salah paham !”. perintah Durna Kumbayana. “Baik wakne Gondel, segera aku jalankan perintahmu”, Sengkuni bersiap mengajak Jayadrata. Tetapi Jayadrata yang diperintahkan mundur dulu oleh Durna dan Sangkuni keberatan. “Saya tidak takut dengan Werkudara .Kenapa saya harus diminta mundur ?!” “Tidak ragu aku dengan kesaktianmu, tapi aku berharap hari ini saja, anakku Jayadrata mundur dahulu “ Durna memberikan pengertian. “Tapi ini bukan ciri Jayadrata yang menghindar dari musuh. Mati adalah batas terakhir bisanya hamba mundur dari pertempuran, bapa” kembali Jayadrata mengemukakan keberatannya. “Hari ini saja, sebab banyak hal yang aku hendak lakukan untuk menumpas Pendawa. Bila saatnya tiba, kembali anakmas Jayadrata aku perkenankan untuk mengambil peran dalam perang besar ini ngger !” Bujuk rayu Durna sementara berhasil mengantarkan kembali Jayadrata kehadapan ayahnya, Sempani. “Raden Patih Sangkuni, apakah perang sudah berakhir sehingga andika datang ke pesanggrahan kami ini ?” “Maafkan kami kakang Panembahan atas gangguanku terhadap semadi paduka kakang, yang siang malam memuji unggulnya Kurawa” Sangkuni memulai penjelasannya. “Perang belum berakhir, tetapi ada bahaya yang mengancam jiwa putramu Jayadrata. Untuk itu aku sementara aku mengembalikan putramu ke pesanggrahan ini demi keselamatannya”.
  • 34. Keheranan Sempani mendengar tutur Patih Sengkuni. “ Andika meremehkan anak saya ? Dari kecil saya mengajarkan ilmu jayakawijayan dan sikap sebagai prajurit sejati. Didalamnya terdapat salah satu watak prajurit yang ditanamkan, menjunjung tinggi sikap dan harga diri seorang prajurit yang tidak mengenal menyerah. Tidak ! Kami keberatan untuk menerima anakku !” “Dasarnya adalah begini kakang. Bila ini adalah dikatakan mundur, maka jangan dikatakan ini mundur yang sebenarnya, ini mundur untuk maju kembali dengan kemenangan . Ini adalah strategi. Pada saatnya nanti Jayadrata akan diberi peran yang lebih besar dalam perang ini. Untuk hari ini saja, karena ini hanya untuk memancing rasa penyesalan Pandawa lebih panjang. Seperti halnya penasaran dan sesal dalam yang dialami oleh Arjuna. Setengah gila dan tiada lagi mengambil peran dalam peprangan ini. Bila ini yang terjadi, maka amukan Bima yang sia sia, akan melumpuhkan perasaannya. Sehingga selanjutnya makin gampang untuk meringkusnya”. Sengkuni menjelaskan strategi yang hendak dijalankan oleh Pandita Durna. Sejenak Begawan Sempani berpikir. Kemudian katanya. “Bila untuk meringkus Bima, serahkan kepadaku ! Anakku Jayadrata, masuklah ke gedung baja perlindungan. Bila terjadi apa apa, ada suara apapun yang ada diluar, jangan sekali kali kamu mencoba untuk mengintipnya dari jendela udara, apalagi keluar dari baja perlindungan itu, sampai aku kembali menemuimu.” Syahdan, sesampainya di medan peperangan, segera Begawan Sempani mempreteli tasbihnya yang terbuat dari butiran buah gemitri. Dengan disertai rapal mantra saktinya, dipuja butir butir tasbihnya menjadi Jayadrata-Jayadrata tiruan yang segera mengamuk merubung sang Bimasena. Digebuk satu terbelah menjadi dua, digebuk dua terbelah menjadi empat, digebuk empat menjadi duabelas Jayadrata dan seterusnya, hingga Jayadrata tiruan memenuhi palagan peprangan. Jengkel Werkudara mengatasi keadaan itu, diletakkan gadanya kemudian digulingkannya dengan kakinya. Tergilas Jayadrata tiruan. Lebur satu persatu, namun bangun menjadi berlipat lipat ganda. Ngeri Werkudara melihat kejadian itu ! Hilang akal, ia yang segera mundur dengan seribu tanya, bagaimana untuk mengatasi tiruan Jayadrata alias Tirtanata. Orang yang sebenarnya terjadi karena air rendaman bungkus yang melingkup Bratasena, Werkudara muda ketika lahir.
  • 35. Terjerat Jerat Cinta, Arjuna-Murdaningsih Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari Jayadrata-Tirtanata. Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata, anak Raja Sindu, menjalin persaudaraan rapat dengan para Kurawa. Sejatinya Jayadrata adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja karena telah bertahun tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara untuk mendapatkan anak. Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman bungkus Bima-Werkudara, kepada istri Sang Prabu Sempani. Kebetulan kala itu bungkus yang melimput Bratasena, nama Werkudara muda, setelah bungkus pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun kedekatan secara kejadian, tidak membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa. Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua dengan anak tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun berjiwa keras, menurun dari sang ayah Raden Jayadrata. “Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat mengangkat derajat keluarga sehingga ke tataran yang lebih tinggi ?” Wisamuka memancing ibunya ketika basa basi telah usai dibicarakan. “Apa maksud pertanyaanmu anakku ?” terheran sang ibu ketika anaknya menanyakan hal yang tak terduga. “Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan maksudku” tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban ibunya.
  • 36. “Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi manusia atau satria yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat dan derajat manusia itu akan terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu secara langsung maupun tidak, membawa naik martabat bagi orang tua si anak” Jawab sang ibu akhirnya. “Bila demikian, cita cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam waktu singkat” Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab runtut pertanyaanya. “Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu”. Ibunya tidak sabar dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu satunya. “Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda, ada prajurit muda belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak abrik barisan Kurawa. Alangkah gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal akalan oleh para Kurawa, saya yakin, ia adalah prajurit yang dapat mengakhiri perang dengan kemenangan. Alangkah bangganya orang tuanya”. Bicara Wisamuka , tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam kecurangan itu. Jiwa mudanya yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin memperlihatkan akan keberadaannya, sebagai anak muda yang merasa setingkat kemampuannya dengan anak Janaka. Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik. “Aku juga bisa seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu, kuncinya adalah kewaspadaan agar tidak terkena reka daya. Dengan waspada itu perkenankan anakmu hendak maju ke peperangan “. Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya. “Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan sekali-kali kamu berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari ayahmu !”. Larang ibunya. “Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap penguasa negara. Apakah aku harus menunggu perang menjadi selesai. Tidak ! Sekaranglah saatnya !”. Wisamuka yang tadinya duduk manis disamping ibunya, kemudian berdiri. Sang ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya tangan anaknya. “Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu sayang terhadap ibumu ?”. dibimbingnya anak muda itu kembali duduk. Wisamuka tak hendak menurut perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang yang duduk kembali, dan melihat kedalaman mata anaknya seakan hendak menyelami isi dalam hati buah hatinya. “Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku kepada keluarga Banakeling, terutama ibuku ?”. Wisamuka malah kembali bertanya.
  • 37. “Bukan ! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti apa yang ayah ibumu katakan”. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya. “Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari kepangkuan ibunya. Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana yang harus aku lakukan atau mana yang tidak. Aku mohon pamit, ibu”. Kembali anaknya membantah. Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya setelah sang ibu bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah lebih tinggi jauh diatas ibunya. Dielus rambut itu sambil berkata. “Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu nanti bila mengetahui anaknya dibiarkan pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi ayahmu ?”. “Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau tidaknya serahkan kepada ayah setelah nanti aku ketemu disana”. Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat itu dan dipalang jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya, anak itu menyembah khidmat dihadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang terakhir. Kenapa demikian ? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan Bulupitu, Wisamuka, dalam perjalanannya ketemu dengan Arjuna di hutan tempat ia berjalan tanpa tujuan dengan jiwa yang kosong. Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat dicintainya, membuat Arjuna bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka, ketika Wisamuka terlihat berjalan sendirian. Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah yang berjalan mendekatinya. Memang secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh berbeda, keduanya masih muda belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama. Makin kaburlah pandangan Arjuna Janaka menyaksikan satria remaja dengan ciri yang bagai pinang dibelah dua dengan anaknya. “Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku”. Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna ditempat yang tak terduga. Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya peperangan di Kurusetra. Belum sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat ia kaget. Tetapi karana yang keluar dari mulut Arjuna – lah, yang akhirnya membuat ia makin mengerti sebab musababnya. “Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang ? Kemana sajakah selama ini ? tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang sangat rindu akan kedatanganmu ?”
  • 38. Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak cemerlangya segera bekerja. Inilah kesempatan yang ia idamkan ! Gelar pahlawan akan dengan mudah didapatnya, karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya sadar diri. Terpikir ia segera melakukan tindakannya, tapi pertimbangannya menyarankan untuk menguji kewaspadaan pamannya terlebih dahulu. “Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan Abimanyu !”. “Jangan main main, ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu setelah sekian lama kamu pergi.”. Jawaban pamannya membuat ia makin yakin, kali ini ia akan menjadi pahlawan. Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh Arjuna dengan sekuat tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna dan dipersembahkan ke hadapan Prabu Duryudana. Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya, Arjuna malah merayunya. Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi tubi ke dada Arjuna. “Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main main begitu. Nanti aku akan ajarkan cara memukul yang lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang tanpa tanding”. Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya. Sebilah keris sakti sudah siap ditangannya untuk menamatkan riwayat pamannya. Tidak menangkap hidup hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang gampang ditenteng, bukti sebagai pahlawan akan tersemat didadanya. Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan kembali senyumnya membayang. “Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang bersamaku. Kamulah satu satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala laku prihatin yang pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti dengan pamor yang lebih berkilau. Bila kamu mau pulang sekarang juga, sekarangpun aku berikan keris Kalanadah melengkapi pusakamu yang telah aku berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni”. Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar terjadi di arcapada, yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia segera menerawang, mencari penyebab keanehan. Setelah diketahui penyebabnya, sukma Abimanyu segera diperintahkan untuk menggugah alam sadar ayahnya. Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia menyembah. Arjuna adalah satria sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan halus, kedatangan Abimanyu menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya menyentuh kalbu.
  • 39. “Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng rama menyesali kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati”. “Sekarang bangkitlah rama ! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak uwa Jayadrata. Bila rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang disandang uwa Jayadrata !” Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya, didekatinya Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka ketika rambutnya dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher Wisamuka, tak bernyawa ia. Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan. Terceriterakan, Dewi Dursilawati yang tak tega melepas anaknya sendirian, menyusul bersama Patih Sindulaga. Sempat tersusul oleh kedua orang itu, namun keadaan sudah terlambat. Yang terlihat dihadapannya adalah, tubuh orang kesayangannya yang telah terpisah dengan kepalanya. Darah segar masih mengucur dari luka akibat luka terkena keris Arjuna. Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati. Tidak ada keraguan bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup anak junjungannya, karena yang terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang dikenalnya dengan nama Arjuna. Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari gendongannya, terpasang pada busur, segera direntang dan dilepas dengan suara membahana. Panah meluncur mengenai dada Patih Sindulaga tembus ke jantung, tewas Sindulaga menyusul Wisamuka. Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga menyusulnya, Dewi Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur aduk, membawa tangannya ringan mengayunkan keris kecilnya kedada. Tamat riwayat Dursilawati. Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan Jayadrata. Biang kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula kesedihan membeban di hatinya. Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan mempunyai daya pikat luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada. Murdaningsih yang muda tetapi telah matang, datang dengan dandanan serba menantang. Dadanya yang setengah terbuka menampakkan sekilas sisi cengkir gading. Kukunya dibiarkan sedikit panjang dengan pulasan warna merah dadu serasi dengan kulit sang dewi yang kuning gading cenderung putih. Matanya yang sedikit sipit dihiasi sekeliling kelopaknya dengan pulasan lembut serasi. Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah delima, kontras dengan kulit putih wajahnya. senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan giginya yang putih tertata bagai deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia terhadap lawan jenis. Bau harum merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang Dewi. Siapapun akan terpesona dengan kecantikan dan gerak geriknya.
  • 40. Berkendara seekor gajah putih yang berjalan dengan anggun. Terpesona Arjuna melihat apa yang tampak dihadapannya. “Bidadari manakah gerangan yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang ini ?” Pikir Arjuna. Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar Arjuna yang memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat asmara mengurung sukmanya. “Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman surga, belum pernah aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika sang Dewi ?” sapa Arjuna dengan senyum terkulum. Senyum yang sanggup menjerat wanita manapun, hingga ia digilai para wanita. Memang demikian apa yang terjadi di masa lalu, atas hadiah mengenyahkan Prabu Niwatakawaca waktu hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang Hyang Jagatnata, Arjuna dihadiahi tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu Kiritin atau Kirita. Tak pelak lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya. Namun kali ini, wanita asing dihadapannya datang dengan ciri ciri yang belum pernah dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang pernah ia temui. Biasalah demikian, tak perlu diceritakan lagi. Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang membuat Arjuna semakin mabuk kepayang.
  • 41. Teror Kepala Jayadrata Pelahan atas perintah Dewi Murdaningsih, si gajah merunduk. Mambiarkan tuannya turun dari punggungnya. Dengan luwesnya Dewi Murdaningsih turun dari punggung gajah dan segera berjalan semakin dekat ke tempat Arjuna berada. Kenes ia berputar disekeliling Arjuna dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Bagai kerbau tercocok hidungnya, Arjuna ikut berputar badannya mengikuti gerak sang Dewi. Kemudian tangan Murdaningsih yang lembut meraih kedua tangan Arjuna dan berkata memuji. Tetap ia tak berhenti bergerak lincah. “Ternyata tanah Jawa terdapat lelaki yang sempurna segalanya, tak ada tandingannya dibanding di negaraku. Satria bagus, siapa nama andika ?” Pujian Murdaningsih mengabaikan pertanyaan mengenai namanya. “Tadinya aku berpikir, hanya rupamu yang cantik, sehingga jiwaku terpasung, mataku tak sanggup untuk berkedip. Tetapi begitu andika sang Dewi mengucapkan kata kata, sekalimat demi sekalimat, hatiku runtuh terbawa sapuan arus kidung cinta yang mengalun bersama sapa suaramu, sang Dewi ?” Aku Arjuna penengah Pendawa”. Arjuna menyebut nama memperkenalkan diri. “Ooh, inikah satria dengan nama harum yang menjadi inspirasi kidung cinta ? Inikah satria dengan sorot mata yang mampu meruntuhkan hati wanita siapapun. Bahkan wanita dengan keangkuhan setinggi langitpun, akan takluk dihadapan yang namanya Raden Arjuna. Saking orang banyak yang memuja, sampai sampai ada yang mengatakan, kerikilpun, bila andika berjalan, mereka minta andika pijak ?”
  • 42. “Bahagianya hatiku, karena tidak sia sia aku datang dari jauh, ketemu dengan andika Raden, seakan sukmaku telah tertawan ditanah ini, dan tak hendak aku pulang ke Turilaya”. Kembali pujian yang dikatakannya melupakan perintah kakak seperguruannya, tentang tugas yang sebenarnya diemban. “Puja pujimu teramat tinggi sang Dewi, membawaku terbang ke awan. Melayang sukmaku mendengar pujian dari bibirmu yang sungguh bagus itu. Tapi siapakah sang Dewi sebenarnya ?” kembali Arjunapun yang lalai akan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan, ia menanyakan nama wanita itu. “Masihkan aku perlu menyebut namaku ?” Murdaningsih manja mengulur rasa penasaran lawan bicaranya. “Ya sudahlah aku pergi saja, kalau kamu tak mau memperkenalkan dirimu”. Sambil melepaskan pegangan tangan Murdaningsih, Arjuna kemudian melangkah pergi, jurus rayu itu diterapkan. “Eeh…, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk !” Murdaningsih mengejar, menyambar tangan Arjuna. “Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang yang tak aku kenal”Arjuna menyanggah. “Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden. Nama dan cerita yang beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh jauh aku datang untuk membuktikan kebenaran cerita itu”. Kali ini Murdaningsih menumpahkan isi hatinya. “Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi ?” pancing Arjuna. “Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya. Hatiku telah tertambat disini, bawalah diriku kemana Raden pergi”. Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana romantis, membuat kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala galanya. Arjuna lupa akan tugas negara sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa bahwa tujuannya adalah untuk meringkus Arjuna. Sekarang yang ada hanyalah puja puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang berhamburan dari mulut kedua asmarawan dan asmarawati itu. Namun tidak demikian dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor gajah dengan sifat yang sudah bagaikan manusia. Melihat keadaan tidak sesuai dengan apa yang digariskan, tidak ada keraguan dalam otaknya segera mendekati kedua insan yang tengah memadu kasih. Diulurkan belalai, Arjuna yang tidak waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi Murdaningsih. Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri sempurna, gajah Murdaningkung kembali memburunya. Tak ada usaha lain kecuali Arjuna menghindar
  • 43. melompat dari raihan belalai yang kembali hendak meringkusnya. Kemarahan yang amat sangat merasuki ubun ubunnya karena terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak panah yang tersandang dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang dibahunya. Terpasang anak panah pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai kepala gajah itu. Lelehan otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling. Mati seketika gajah Murdaningkung. Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat membunuh gajah kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah kesayangannya sambil menangis. Air mata sang Dewi yang jatuh ditubuh gajah itu secara ajaib membangunkan sang gajah dari kematian. Terheran Arjuna melihat kejadian itu. Begitu juga Murdaningsih yang baru kali ini membuktikan kesaktian yang diberikan gurunya. Pada saat itu, Prabu Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik seperguruannya , muncul ditengah kejadian. Taulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu Bogadenta memarahi adik seperguruannya. “Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh ketampanan lawanmu. Tadinya aku tak ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu tak mampu menahan godaan Arjuna . Sekarang aku ambil alih peran kamu.” “Arjuna ,Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai kamu melawan, percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah ulurkan kedua tanganmu akan aku ikat tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu Duryudana. !” “Siapa kamu !” tanya Arjuna penasaran “Prabu Bogadenta dari Turilaya.” Bangga sang Prabu memperkenalkan dirinya “Kamu boleh menawanku kalau kamu sudah bisa melangkahi jasadku.” Arjuna menantang. “Rupanya kamu hendak meraih sorga. Majulah !” Kali ini Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan. Saling serang dengan tempo tinggi terjadi hingga hutan menjadi riuh oleh geretak ranting patah dan tumbangnya pepohonan runtuh tersapu serangan kedua pihak. Kali ini Arjuna tidak membuang waktu. Ketika serangan agak berkurang, Arjuna melompat mundur, kemudian bidikan anak panah meluncur mengenai dada Prabu Bogadenta. Tewas seketika sang Prabu.
  • 44. Gajah Murdaningkung berlari mendekati tuannya dan meneteskan air mata sedih atas kematiannya. Keajaiban kembali terjadi, bagai terbangun dari tidur, bangkit kembali Prabu Bogadenta dari kematiannya. Pusing Arjuna mengatasi lawan yang tiga tiganya saling bisa menolong sesama kawannya. Prabu Kresna yang dari kemarin mencari Arjuna mendengar keributan yang terjadi segera menghampiri yang dicari cari. “Aduh adikku, ternyata kamu ada disini !” Melihat kedatangan Prabu Kresna segera Arjuna bersimpuh “Sembah baktiku kanda” Penuh selidik Prabu Kresna berkata “Ya aku terima, tetapi lain kali jangaan seperti ini. Aku tahu betapa remuk hatimu dengan kematian anak kesayanganmu. Darma satria sudah kau lupakan sekarang. Padahal seandainya kamu masih ingat akan janji setia Pandawa, bahwa mati salah seorang Pandawa, maka yang lain akan mengikuti kematian yang satu itu. Bila itu terjadi, maka kamu yang akan dituduh sebagai biang dari kematian saudaramu. Alangkah malunya kamu. Jiwa satriamu akan luntur dan menjadi contoh buruk sepanjang tergelarnya jagad”. “Kanda, adikmu minta pengayoman “ Tercetus kata pasrah Arjuna. “Apa yang bisa aku ayomi” jawah Kresna. “Saya keteteran menghadapi lawan lawan itu.” aku Arjuna “Baik aku sekarang mengerti. Tapi tegakah kamu dengan wanita cantik itu ?”. Tanpa ada yang tersembunyi dari mata Arjuna, alasan Kresna menanyakan tentang wanita cantik itu. “Terpaksa kanda”. Sekenanya Arjuna menjawab. “Penyakitmu belum sembuh sembuh juga ! Aku tahu, aku percaya. Kamu adalah jago memanah tanpa tanding. Kecepatan memanahmu dalam satu waktu dengan jumlah lepasan anak panahnya tak ada yang bisa mengalahkan. Itu yang belum kamu lakukan !”. Belum habis bicara Prabu Kresna, Arjuna sudah bersiap dengan ketiga anak panahnya yang terpasang dalam satu busur. Dengan cara yang tidak mudah ditiru siapapun, anak panah yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing masing. Mengenai ketiga pendatang dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya bersamaan. “Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi menyesali yang sudah terjadi. Istrimu sudah menunggumu”.Tersipu malu Arjuna mendengar kata kakak iparnya.
  • 45. ******* Sampai ke palagan peperangan Kurusetra, Arjuna kaget dengan keadaan pasukannya yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata tiruan yang jumlahnya tak terhitung, membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan kakaknya, Werkudara mundur. Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang sebenarnya, segera Arjuna melepaskan panah neracabala. Ribuan anak panah segera terlepas dari busurnya menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu disapunya seluruh bangkai Jayadrata dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan lebat dengan banjir yang menyapu hebat seluruh padang Kurusetra didepan Arjuna. Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa Jayadrata tiruan akan tak dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah dilumpuhkan. Ketika banjir melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan, Bagawan Sempani yang tak mau terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan, kembali buru buru ke pesanggrahannya, tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya arus banjir yang hendak melandanya. Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna. Yang diarah dari usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang menjadi penyebab gugurnya Abimanyu anaknya. Betapapun matinya Wersakusuma masih saja belum memuaskan rasa dihatinya. Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong kalimat sumpah.
  • 46. “Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata asli tidak dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri !”. Sumpah Arjuna terdengar oleh banyak orang yang segera bersambung lidah mencapai telinga lawan. Geger lawan yang segera menutup rapat jalan kearah persembunyian Jayadrata. Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan kepada Arjuna “Begitukah ? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu untuk melaksanakan sumpahmu ?” Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik iparnya. “Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu”. Ternyata Arjuna mengandalkan kakak iparnya. Tersenyum Prabu Kresna. “ Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau andalkan !” Bila memang itu maumu ayo ikut aku ! Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang strategis dalam menlihat tempat persembunyian Jayadrata. “Tunggu disini. Lihat apa yang ada didepanmu?” Itulah tempat berlindungnya Jayadrata !” “Apa yang harus hamba lakukan sekarang kanda Prabu ?” “Aku akan membuat suasana menjadi petang seakan matahari sudah tenggelam. Bila nanti itu sudah terjadi, segera nyalakan api pancaka, berpakaianlah serba putih, dan perintahkan seluruh prajurit untuk berhenti dan menyaksikan ritual kematianmu dalam api suci !” Berbalik badan Kresna melangkah dengan masih berkata.“Tunggulah sebentar, akan aku atur segala sesuatu yang bersangkut dengan bagaimana kamu harus melakukan pancingan agar Jayadrata dapat ditemukan”. Segera bergerak Prabu Kresna mendekati saudara saudara Pendawa, untuk menjelaskan apa yang hendak dilakukan, kemudian ia melepaskan senjata Cakra Baswara keangkasa. Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai kesaktian triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna. Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna, maka tak terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai menyambung ke masa senja yang sebenarnya.
  • 47. Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu Kresna akan tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih. Tidak hanya para prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para Kurawapun ikut juga tersulut rasa penasarannya, menyaksikan dengan kegembiraan yang tiada terkira. Dalam hatinya mereka mengatakan, bahwa sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh dengan kematian Arjuna. Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung , bersembunyi dalam kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada. Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan keadaan yang memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa penasaran mengalahkan ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar diri, pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar. Makin penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang terjadi diluar sana. Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari lubang persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan untuk segera bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera dilepaskan. Putus leher Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja. Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana. Werkudara sigap segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu menjadi bulan bulanan para prajurit Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat didepan Resi Sempani. Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anaknya yang dibuat permainan itu. “Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya kamu belumlah mati. Kamu masih hidup !” Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala dendam terpancar dari bola mata itu ! “Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” sabda sang Resi melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran. Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan keris tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit Randuwatangan melihat kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan prajurit kecil menjadi korban disisa hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya, Raden Gandakusuma dan dan Raden Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang melayang layang mengerikan. Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya !
  • 48. Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu dimana Resi Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan ini. Setelah ditemukan, segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan berulang ulang ucapan sakti penyebab amukan kepala anaknya. “Hiduplah Jayadrata, jangan mati”. Berulang kalimat ini diucapkan. Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas perasaan Sempani dengan akal akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra dengan benar. Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang mengganggu bibir dan hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra sakti hingga terbalik, “ Matilah Jayadrata ! Sadar dengan ucapannya, dan kaget dalam hatinya yang segera ia maju ke peperangan. Tidak terima ia dengan akal akalan yang dilakukan Kresna. Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan utuh, gada Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan kepala itu menjadi tak berbentuk lagi. Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari amukan Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah pedang menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya. Drestajumna mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan pedang ia mencoba melayani permainan pedang jago tua itu. Tetapi kekuatan orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung hingga matahari sudah menyentuh ufuk. Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. “Adimas, segera kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap dinginnya hujan”. Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak Batara Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat. Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena hujan yang turun dingin dilangit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang kemudian napas tuanya memburu keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti Jayadrata. Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan Bimasena, tetapi sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan kekerabatan kakak adik ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada menjadi raja di tlatah Sindu . . .