Raden Narasoma menikahi Endang Pujawati setelah mertuanya Resi Bagaspati meninggal dunia dan menyerahkan ilmu kesaktian kepadanya. Resi Bagaspati meminta Narasoma untuk menusuknya dengan keris agar bisa melepas jiwanya dan membiarkan Pujawati ikut suaminya. Narasoma pun terpaksa menusuk Resi Bagaspati sehingga sang mertua dapat meninggal dengan tenang.
1. CERITA WAYANG
SAYEMBARA KUNTI
Disusun Oleh :
Nama : ADDIN NAZMI FUADI
Kelas : X IPS 4
No. Absen : 1
DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MALANG
SMA NEGERI 1 BULULAWANG
BULULAWANG MALANG
TAHUN 2018
2. PENDAHULUAN
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Narasoma dengan Dewi Setyawati atau
Endang Pujawati, putri Bagawan Bagaspati, yang dilanjutkan dengan kelahiran Raden
Karna Basusena, putra Batara Surya yang lahir dari Dewi Kunti. Kisah ditutup dengan
kemenangan Raden Pandu memboyong tiga orang putri sekaligus, yaitu Dewi Kunti, Dewi
Madrim, dan Dewi Gendari. Mereka bertiga kelak akan melahirkan para Pandawa dan
Kurawa.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta)
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan sinetron Karmapala karya
Imam Tantowi, serta penjelasan dari Ki Manteb Soedharsono dalam acara Sarasehan
Budaya.
Kediri, 28 April 2016
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
3. A. PRABU MANDRAPATI MENGUSIR RADEN NARASOMA
Prabu Mandrapati Naradenta atau Prabu Artayana di Kerajaan Mandraka sedang
memimpin pertemuan, dihadap putra mahkota Raden Narasoma, serta para menteri dan
punggawa, antara lain Patih Tuhayana dan Arya Tuhayata. Dalam pertemuan tersebut Prabu
Mandrapati mengutarakan niatnya untuk menyerahkan takhta kepada Raden Narasoma.
Namun sebelum itu, Raden Narasoma harus menikah lebih dulu, karena sudah menjadi tradisi
bahwa seorang raja hendaknya memiliki permaisuri sebagai “tetimbangan”.
Akan tetapi, Raden Narasoma menolak permintaan ayahnya. Ia tidak ingin
dijodohkan dengan sembarang perempuan, karena cita-citanya adalah menikah dengan
bidadari, atau sekurang-kurangnya putri seorang bidadari. Prabu Mandrapati marah melihat
sikap angkuh Raden Narasoma yang berkeinginan muluk-muluk. Ia pun mengusir putra
sulungnya itu dan melarangnya pulang apabila tidak dapat mewujudkan keinginannya.
Raden Narasoma bergegas pergi meninggalkan istana Mandraka. Patih Tuhayana
berusaha menyabarkan Prabu Mandrapati. Namun, Prabu Mandrapati menjelaskan bahwa
dirinya mengusir Raden Narasoma bukan karena benci, tetapi untuk memberikan pelajaran
hidup kepada putranya itu. Setelah tiada yang perlu dibicarakan lagi, Prabu Mandrapati pun
membubarkan pertemuan.
B. RADEN NARASOMA BERTEMU RADEN PANDU
Raden Narasoma sudah berjalan jauh meninggalkan istana. Di tengah jalan ia
bertemu rombongan Prabu Sudarma dari Kerajaan Trigarta yang berniat pergi ke Kerajaan
Mandraka untuk melamar Dewi Madrim. Mendengar itu, Raden Narasoma marah-marah tidak
setuju apabila adiknya diperistri Prabu Sudarma. Dasar watak Raden Narasoma yang angkuh
membuat Prabu Sudarma tersinggung. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka.
Raden Narasoma lama-lama terdesak karena jumlah musuh jauh lebih banyak.
Sungguh beruntung, Raden Pandu dan para panakawan kebetulan lewat di tempat itu. Melihat
Raden Narasoma dalam bahaya, Raden Pandu segera membantu. Ia mengerahkan ilmu Angin
Garuda, membuat Prabu Sudarma beserta seluruh pasukannya terlempar jauh entah ke mana.
Raden Narasoma dan Raden Pandu sudah saling kenal sejak sama-sama
mengunjungi kelahiran Raden Gandamana di Kerajaan Pancala dulu. Raden Narasoma
bercerita bahwa perselisihannya dengan Prabu Sudarma adalah karena ia tidak rela jika raja
Trigarta tersebut menjadi suami adiknya. Ia lebih suka jika Dewi Madrim menjadi istri Raden
Pandu agar hubungan kekerabatan antara sesama keturunan Resi Manumanasa dapat lebih
akrab. Raden Pandu mengaku tidak berani karena ia belum mendapatkan perintah dari
ayahnya (Prabu Kresna Dwipayana) untuk menikah.
Dalam pertemuan kali ini, Raden Narasoma kagum melihat kesaktian Raden Pandu.
Ia pun berniat untuk mencari guru yang bisa mengajarkan ilmu kesaktian tingkat tinggi
kepadanya. Sebagai calon raja Mandraka, tentunya ia sangat membutuhkan ilmu andalan demi
melindungi negerinya. Raden Pandu mendukung niat Raden Narasoma tersebut. Ia bahkan
mempersilakan para panakawan untuk mendampingi Raden Narasoma selama berkelana
mencari guru. Ia menjelaskan bahwa Kyai Semar bukan sekadar pengasuh, tetapi merupakan
kakak ipar Resi Manumanasa yang memiliki pengalaman luas serta kebijaksanaan luar biasa.
Sudah tentu nasihat-nasihatnya akan sangat berguna bagi Raden Narasoma.
Raden Narasoma sangat berterima kasih. Ia pun berpamitan kepada Raden Pandu
kemudian berangkat bersama Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong mencari
pengalaman hidup.
4. C. RADEN NARASOMA BERTEMU RESI BAGASPATI
Dalam perjalanannya itu, Raden Narasoma dan para panakawan berjumpa seorang
pendeta raksasa berwajah menyeramkan. Pendeta raksasa itu bernama Resi Bagaspati dari
Padepokan Argabelah, yang terlihat sangat gembira begitu mengetahui kalau pemuda yang
ditemuinya bernama Raden Narasoma. Ia mengaku memiliki seorang putri yang tadi malam
bermimpi menjadi istri pemuda tampan bernama Raden Narasoma. Oleh sebab itu, Resi
Bagaspati pun mengajak Raden Narasoma pergi ke padepokannya untuk menikah dengan
putrinya tersebut.
Raden Narasoma ngeri melihat wujud Resi Bagaspati sehingga langsung menolak
ajakannya. Ia yakin anak perempuan seorang pendeta raksasa pasti berwajah buruk seperti
ayahnya. Resi Bagaspati terpaksa menggunakan kekerasan untuk memaksa Raden Narasoma.
Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka. Dengan mudah, Resi Bagaspati dapat
meringkus Raden Narasoma dan membawanya pergi menuju Padepokan Argabelah. Raden
Narasoma berteriak-teriak meminta tolong kepada Kyai Semar dan anak-anaknya. Tetapi
Kyai Semar justru menyarankan agar Raden Narasoma menurut saja, karena ia mendapat
firasat bahwa pendeta raksasa inilah yang akan menjadi sarana baginya untuk mewujudkan
cita-cita.
Sesampainya di padepokan, Raden Narasoma sangat terkejut melihat anak
perempuan Resi Bagaspati ternyata berparas cantik jelita, bernama Endang Pujawati. Seketika
ia pun jatuh cinta kepada gadis tersebut. Namun sayangnya, ia sudah terlanjur bersumpah
untuk tidak akan menikah, kecuali dengan bidadari, atau anak seorang bidadari.
D. RADEN NARASOMA MENIKAH DENGAN ENDANG PUJAWATI
Resi Bagaspati pun bercerita kepada Raden Narasoma. Pada mulanya, ia memiliki
istri seorang bidadari bernama Batari Pudyastuti, putri Batara Darmastuti. Adapun Batara
Darmastuti adalah kakak tiri Batara Guru (yaitu sama-sama putra Sanghyang Tunggal, tetapi
beda ibu. Batara Darmastuti lahir dari Dewi Darmani, sedangkan Batara Guru lahir dari Dewi
Rekatawati). Dari perkawinan antara Resi Bagaspati dan Dewi Pudyastuti tersebut lahirlah
Dewi Pujawati. Resi Bagaspati juga memiliki kakak bernama Prabu Bagaskara yang menjadi
raja di Nusabelah. Prabu Bagaskara ini menikah pula dengan bidadari bernama Batari Satapi,
putri Batara Siwah. Dari perkawinan itu lahir seorang putri berparas raksasa, bernama Dewi
Tapayati.
Setelah Batari Satapi dan Batari Pudyastuti kembali ke kahyangan, Dewi Tapayati
merengek minta dicarikan ibu baru. Prabu Bagaskara lalu bermimpi bertemu Dewi Trilaksmi,
istri Prabu Gandabayu raja Pancala. Ia pun berangkat melamar wanita itu sebagai istri
barunya. Namun, ketika menyerang Kerajaan Pancala, Prabu Bagaskara tewas di tangan
Raden Gandamana putra Prabu Gandabayu, sedangkan Resi Bagaspati dikalahkan sekutu
Kerajaan Pancala, yang bernama Prabu Mandrapati raja Mandraka. Resi Bagaspati lalu
bertobat dan membangun pertapaan di Padepokan Argabelah. Dewi Pujawati juga ikut serta
tinggal di padepokan, dan diganti namanya menjadi Endang Pujawati. Adapun Dewi Tapayati
menghilang entah ke mana, sepertinya dibawa lari oleh Patih Kurandayaksa.
Raden Narasoma teringat dirinya memang ikut mengunjungi kelahiran Raden
Gandamana di Kerajaan Pancala. Namun, saat itu ia tidak ikut berperang sehingga tidak
mengenal Resi Bagaspati yang kini berada di hadapannya.
Setelah mendengar semuanya, Raden Narasoma pun bersedia menikahi Endang
Pujawati yang merupakan putri seorang bidadari. Resi Bagaspati sangat senang dan ia segera
5. menggelar upacara pernikahan antara Raden Narasoma dengan Endang Pujawati, dengan
disaksikan para panakawan.
E. RESI BAGASPATI MENINGGAL DUNIA
Beberapa hari kemudian, Resi Bagaspati memanggil Raden Narasoma dan Endang
Pujawati untuk menghadap. Resi Bagaspati bertanya apakah Endang Pujawati bersedia
mendampingi Raden Narasoma meski harus kehilangan orang tua? Endang Pujawati
menjawab dirinya bersedia mendampingi suami, tetapi juga merasa berat jika harus berpisah
dengan orang tua. Resi Bagaspati menerima jawaban tersebut, dan menyuruh Endang
Pujawati untuk menunggu di luar.
Resi Bagaspati lalu berbicara empat mata dengan Raden Narasoma. Ia meminta agar
Raden Narasoma menjaga Endang Pujawati dengan sebaik-baiknya dan jangan pernah
menyakiti putrinya itu. Raden Narasoma bersedia dan ia pun bersumpah seumur hidup hanya
memiliki seorang istri saja.
Resi Bagaspati lalu bercerita bahwa dirinya memiliki ilmu kesaktian bernama Aji
Candabirawa yang akan diwariskan kepada Raden Narasoma. Dengan ilmu ini, Raden
Narasoma dapat mengeluarkan seorang raksasa kerdil ganas dari jarinya, yang jika dilukai
justru akan bertambah banyak jumlahnya. Raden Narasoma pernah mendapat cerita dari
ayahnya tentang kedahsyatan ilmu ini, sehingga ia pun menyatakan bersedia menerimanya.
Resi Bagaspati lalu mengajarkan mantra ilmu tersebut kepada Raden Narasoma.
Mereka lalu bersama-sama mengheningkan cipta, dan Aji Candabirawa pun berpindah dari
dalam tubuh Resi Bagaspati ke dalam tubuh Raden Narasoma.
Resi Bagaspati merasa lega. Ia menjelaskan bahwa sudah tiba saatnya ia
meninggalkan dunia fana karena semua kewajibannya telah terpenuhi. Selama memiliki Aji
Candabirawa, Resi Bagaspati tidak akan bisa mati. Ia lalu menyerahkan sebilah keris kepada
Raden Narasoma agar digunakan untuk menusuk sikunya. Karena, hanya dengan cara
demikian Resi Bagaspati bisa melepaskan nyawanya.
Raden Narasoma menerima keris tersebut namun tidak tega menggunakannya untuk
menusuk sang mertua. Resi Bagaspati memaksa Raden Narasoma melakukannya, karena
selama dirinya masih hidup, Endang Pujawati tidak akan mau meninggalkan Padepokan
Argabelah untuk tinggal di Kerajaan Mandraka. Resi Bagaspati merasa dirinya hanya menjadi
penghalang bagi kebahagiaan putrinya. Raden Narasoma tetap tidak tega. Ia justru mengajak
sang mertua untuk bersama-sama tinggal di istana Mandraka.
Resi Bagaspati menolak ajakan tersebut. Ia pun menyerang Raden Narasoma untuk
memaksa menantunya itu. Raden Narasoma terdesak dan seketika menusukkan keris di
tangannya sambil memejakan mata. Keris tersebut tepat menancap di siku Resi Bagaspati.
Darah berwarna putih pun memancar keluar, bersamaan dengan robohnya Resi Bagaspati
kehilangan nyawa.
Endang Pujawati yang mendengar suara ribut segera masuk ke dalam. Ia sangat
terkejut melihat sang ayah telah tewas di tangan suaminya. Raden Narasoma pun
menceritakan semua kejadian apa adanya. Tidak lama kemudian, roh Resi Bagaspati
menampakkan diri di angkasa. Ia berterima kasih atas kesediaan Raden Narasoma
mengantarkannya memasuki gerbang kematian. Ia juga berpesan agar Endang Pujawati selalu
patuh kepada sang suami.
6. Raden Narasoma merasa berduka kehilangan mertua yang sangat ia hormati. Ia
berharap kelak saat kematiannya tiba, semoga arwah Resi Bagaspati yang datang
menjemputnya. Resi Bagaspati bersedia. Ia berpesan kelak akan ada seorang raja berdarah
putih yang menjadi penyebab kematian Raden Narasoma. Saat peristiwa itu terjadi, Resi
Bagaspati akan datang menjemput roh sang menantu tercinta. Setelah berkata demikian,
arwah Resi Bagaspati pun musnah dari pandangan.
Raden Narasoma lalu bertanya kepada Endang Pujawati apakah masih mau menjadi
istrinya setelah peristiwa ini. Endang Pujawati menjawab bersedia mendampingi Raden
Narasoma seumur hidup, karena sekarang ia tahu bahwa sang ayah meninggal atas kemauan
sendiri, bukan karena dibunuh oleh suaminya. Raden Narasoma senang mendengarnya. Ia
merasa bangga atas kesetiaan Endang Pujawati, dan mengganti nama istrinya itu menjadi
Dewi Setyawati.
F. PRABU MANDRAPATI KEMBALI MENGUSIR RADEN NARASOMA
Raden Narasoma dan Dewi Setyawati telah pulang ke Kerajaan Mandraka,
sedangkan para panakawan pulang ke Kerajaan Hastina. Prabu Mandrapati menyambut
kedatangan putra dan menantunya itu dengan perasaan bahagia. Hubungan antara ayah dan
anak tersebut menjadi baik kembali, apalagi Raden Narasoma telah berhasil mewujudkan
sumpahnya, yaitu menikah dengan anak seorang bidadari.
Akan tetapi, Prabu Mandrapati sangat marah begitu mengetahui Raden Narasoma
telah membunuh Resi Bagaspati, mertuanya sendiri. Prabu Mandrapati menjelaskan bahwa
Resi Bagaspati telah menjadi sahabatnya. Raden Narasoma pun dituduh sebagai anak durhaka
dan diusir pergi dari istana Mandraka.
Putri bungsu Prabu Mandrapati, yaitu Dewi Madrim masih rindu kepada kakaknya.
Begitu Raden Narasoma diusir untuk yang kedua kalinya, ia pun ikut pergi meninggalkan
istana. Ketika Dewi Setyawati hendak menyusul mereka, tiba-tiba Prabu Mandrapati jatuh
pingsan karena terlalu sedih. Dewi Setyawati pun berhenti dan segera merawat mertuanya itu.
G. DEWI KUNTI HAMIL SEBELUM NIKAH
Sementara itu di Kerajaan Mandura, Prabu Kuntiboja telah memiliki empat orang
anak yang lahir dari istrinya, yaitu Dewi Bandondari (putri mendiang Prabu Santanu raja
Hastina). Keempat anak tersebut bernama Raden Basudewa, Dewi Kunti, Raden Rukma, dan
Raden Ugrasena. Sang pangeran mahkota Raden Basudewa telah memiliki seorang istri
bernama Dewi Mahirah tetapi belum dikaruniai putra, sedangkan Dewi Kunti saat ini telah
beranjak dewasa dan ia dilamar oleh banyak raja serta pangeran dari berbagai negeri.
Prabu Kuntiboja memutuskan untuk mengadakan sayembara pilih, yaitu biarlah
Dewi Kunti sendiri yang menentukan pilihan dengan cara mengalungkan untaian bunga ke
leher si pelamar yang ia kehendaki. Akan tetapi, sudah empat bulan lamanya Dewi Kunti
mengurung diri di dalam kaputren dan tidak pernah menghadap ayah atau ibunya. Prabu
Kuntiboja merasa curiga jangan-jangan terjadi hal buruk pada putrinya itu. Maka, ia pun
mengutus Raden Basudewa untuk menengok dan memastikan keadaan Dewi Kunti di dalam
kaputren.
Raden Basudewa segera berangkat memasuki kaputren, di mana Dewi Kunti
mengurung diri di dalam kamar. Raden Basudewa meminta izin masuk kamar tetapi ditolak
oleh Dewi Kunti dengan alasan dirinya sedang menjalani tapa ngebleng atas perintah gurunya
yang bernama Resi Druwasa. Raden Basudewa semakin curiga dan ia pun mendobrak pintu
7. kamar kaputren. Betapa terkejut ia melihat adiknya itu memegangi perut yang tampak
mengembang, pertanda Dewi Kunti sedang hamil.
Raden Basudewa marah-marah menuduh Dewi Kunti telah berbuat zina. Ia pun
memaksa adiknya itu agar menyebutkan laki-laki mana yang telah menghamilinya. Namun,
Dewi Kunti hanya menangis tanpa menjawab sedikit pun. Raden Basudewa menaruh curiga
kepada Resi Druwasa, guru Dewi Kunti. Ia pun berniat hendak mencari dan menghukum
pendeta tua tersebut.
H. LAHIRNYA RADEN KARNA BASUSENA
Mendengar gurunya disalahkan, Dewi Kunti menjelaskan bahwa kehamilannya ini
bukan disebabkan oleh Resi Druwasa. Untuk lebih jelasnya, Dewi Kunti mengerahkan Aji
Pameling untuk mengundang kehadiran Resi Druwasa. Seketika Resi Druwasa pun muncul di
dalam kaputren tersebut.
Resi Druwasa ini tidak lain adalah putra Resi Dwapara (keponakan Resi
Manumanasa). Meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi karena ilmunya tinggi ia masih
mampu berkelana menjelajahi banyak negeri. Kini ia singgah di Kerajaan Mandura dan
menjadi guru bagi Dewi Kunti.
Resi Druwasa mengaku telah mengajarkan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal
Tanpa Lawan kepada Dewi Kunti. Kegunaan ajian ini adalah untuk memanggil dewa supaya
memberikan pertolongan. Pada suatu pagi saat matahari terbit, Dewi Kunti sedang mandi
sambil menghafalkan mantra ajian tersebut dengan menyebut nama Batara Surya. Seketika
Batara Surya pun hadir dan bertanya ada keperluan apa dirinya didatangkan. Dewi Kunti
merasa malu dan mengaku dirinya hanya mencoba-coba ilmu tersebut tanpa ada keperluan
apa pun.
Batara Surya marah merasa dipermainkan. Namun, kemarahannya berubah menjadi
nafsu birahi karena melihat lekuk tubuh Dewi Kunti yang hanya tertutup kain basahan. Ia pun
mengerahkan Aji Asmaracipta, sehingga dapat bersenggama dengan Dewi Kunti tanpa harus
menyentuh tubuhnya. Meskipun tanpa bersentuhan, namun Dewi Kunti tetap saja bisa
mengandung putra Batara Surya, hasil dari hubungan tersebut.
Raden Basudewa menanyakan kebenaran cerita itu kepada Dewi Kunti. Dengan
sangat malu dan sambil menangis, Dewi Kunti mengiyakan. Kini, ia telah hamil empat bulan
padahal sebentar lagi akan diadakan sayembara pilih untuknya. Raden Basudewa merasa
peristiwa ini adalah aib besar bagi Kerajaan Mandura. Resi Druwasa pun dimintai tolong
untuk mencarikan jalan keluar bagi masalah ini.
Pendeta tua itu segera mengheningkan cipta dan tangannya menyentuh perut Dewi
Kunti. Secara berangsur-angsur kandungan Dewi Kunti bertambah besar. Hanya dalam
beberapa menit saja, kandungan tersebut menjadi matang dan siap dilahirkan. Tidak lama
kemudian Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa merasakan sakit sama
sekali. Sungguh ajaib, bayi laki-laki itu keluar dari kandungan dengan memakai anting-anting
dan baju zirah bergambar matahari.
Raden Basudewa sangat berterima kasih atas bantuan Resi Druwasa. Demi untuk
menyembunyikan aib yang telah dialami adiknya, Raden Basudewa bersedia menjadi ayah
angkat bagi bayi tersebut, karena ia telah memiliki seorang istri. Raden Basudewa pun
memberi nama bayi itu, Raden Basusena.
8. Dewi Kunti sebenarnya sangat sayang kepada putranya yang tampan itu. Namun,
demi menjaga nama baik Kerajaan Mandura, maka ia pun merelakan bayinya diambil oleh
Raden Basudewa. Sebagai kenang-kenangan, Dewi Kunti memberikan nama panggilan untuk
bayinya, yaitu Raden Karna, yang bermakna “telinga”. Ini sebagai pengingat bahwa putranya
itu sejak dilahirkan sudah memakai anting-anting di kedua telinganya.
I. RESI DRUWASA MEMBAWA BAYI KARNA BASUSENA
Tiba-tiba Batara Surya turun dari kahyangan dan mendarat di dalam kaputren
tersebut. Ia meminta maaf kepada Raden Basudewa karena telah terbawa nafsu birahi dan
membuat Dewi Kunti hamil di luar nikah. Dengan kesaktiannya, ia pun meruwat Dewi Kunti
sehingga kembali menjadi perawan seperti sediakala.
Mengenai bayi laki-laki hasil hubungan mereka itu, Batara Surya melarang Raden
Basudewa untuk mengasuhnya sebagai anak angkat, karena Karna Basusena diramalkan kelak
akan menjadi pahlawan besar apabila keluar dari Kerajaan Mandura. Mengenai anting-anting
dan baju zirah yang dipakai si bayi adalah pusaka pemberiannya. Anting-anting tersebut
bernama Suryakundala, sedangkan baju zirah yang melekat di dada si bayi bernama
Suryakawaca. Selama mengenakan kedua pusaka tersebut, tidak ada satu pun senjata yang
dapat melukai Karna Basusena.
Raden Basudewa dan Dewi Kunti mematuhi keputusan dewata yang menghendaki
agar bayi Karna Basusena keluar dari wilayah Kerajaan Mandura. Dewi Kunti pun menangis
berlinang air mata saat Batara Surya memerintahkan Resi Druwasa untuk membawa bayi
tersebut. Batara Surya kemudian kembali ke kahyangan, sedangkan Resi Druwasa lenyap dari
pandangan, meninggalkan Kerajaan Mandura.
J. RESI DRUWASA MENYERAHKAN KARNA BASUSENA KEPADA KYAI
ADIRATA
Tersebutlah seorang kusir kereta bernama Kyai Adirata yang mengabdi di Kerajaan
Hastina. Ia tinggal di Desa Petapralaya bersama istrinya yang bernama Nyai Rada, putri Resi
Radi. Mereka sudah puluhan tahun menikah tetapi belum juga dikaruniai anak. Setiap pagi
pasangan ini selalu berdoa di tepi Sungai Jamuna namun belum juga membuahkan hasil.
Hingga akhirnya, pagi itu Resi Druwasa muncul dengan berjalan di atas sungai sambil
menggendong bayi laki-laki menemui mereka berdua.
Resi Druwasa menyerahkan bayi laki-laki itu kepada Kyai Adirata dan Nyai Rada,
serta menjelaskan bahwa bayi tersebut adalah putra Batara Surya sebagai jawaban atas doa
mereka setiap pagi. Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bahagia dan merasa mendapatkan
kehormatan luar biasa karena dipercaya untuk mengasuh putra seorang dewa. Setelah dirasa
cukup, Resi Druwasa pun lenyap dari pandangan.
Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bersyukur karena dewata telah mengabulkan doa
mereka. Mereka pun berjanji akan selalu menyayangi bayi tersebut seperti anak kandung
sendiri. Sungguh ajaib, tiba-tiba payudara Nyai Rada dapat mengeluarkan air susu yang
langsung digunakannya untuk menyusui bayi tampan itu. Karena bayi laki-laki ini adalah
putra Batara Surya, maka Kyai Adirata pun memberinya nama Suryaputra, atau Suryatmaja.
Namun, untuk sehari-harinya bayi tersebut cukup dipanggil Radeya saja, supaya tidak terlalu
mencolok. Nyai Rada setuju. Mereka berdua lalu pulang ke rumah dengan perasaan bahagia.
K. RADEN NARASOMA MEMENANGKAN SAYEMBARA PILIH
Hari itu Prabu Kuntiboja di Kerajaan Mandura mengadakan sayembara pilih untuk
Dewi Kunti. Sang putri berdiri di atas panggung sambil memegang kalung untaian bunga, di
9. mana satu per satu pelamar mendatanginya. Apabila Dewi Kunti diam saja, maka pelamar
tersebut harus mundur dan digantikan pelamar lain untuk maju ke depan.
Dewi Kunti sendiri pikirannya sedang melayang membayangkan putranya, yaitu
Karna Basusena yang kini entah ada di mana. Ia berdoa semoga bisa mendapatkan suami yang
berasal dari negeri yang sama dengan tempat di mana putranya itu berada. Satu per satu
pelamar maju dan didiamkan olehnya, hingga akhirnya jumlah pelamar yang tersisa tinggal
satu orang, yaitu Raden Narasoma.
Dewi Kunti merasa tidak punya pilihan lagi. Meskipun hatinya tidak nyaman melihat
sikap Raden Narasoma yang angkuh, namun demi menjaga nama baik Kerajaan Mandura,
terpaksa ia pun memilih pangeran tersebut sebagai pemenang sayembara. Dewi Kunti lalu
turun dari panggung dan mengalungkan untaian bunga ke leher Raden Narasoma.
Hal ini ternyata mengundang kemarahan para pelamar lainnya yang merasa
disepelekan. Raden Narasoma justru merasa mendapatkan kesempatan untuk mencoba ilmu
barunya. Ia pun menantang semua raja dan pangeran untuk merebut Dewi Kunti dari
tangannya. Para pelamar itu maju menyerang. Raden Narasoma lalu mengerahkan Aji
Candabirawa. Dari ujung jarinya keluar sesosok raksasa bertubuh kerdil tapi ganas
menyeramkan. Raksasa itu mengamuk menghadapi para penyerang. Para raja dan pangeran
pun menusukkan senjata mereka mengenai raksasa itu. Sungguh ajaib, percikan darah si
raksasa berubah menjadi sejumlah raksasa baru. Demikianlah seterusnya. Setiap si raksasa
mengeluarkan darah, maka darahnya akan langsung berubah menjadi raksasa baru. Jika
awalnya, si raksasa Candabirawa hanya berjumlah seorang, maka kini jumlahnya menjadi
lebih banyak daripada para raja dan pangeran yang menyerang. Mereka menerjang dan
menggigit dengan ganas, membuat para raja dan pangeran itu banyak yang terluka dan
melarikan diri.
L. RADEN PANDU MENGALAHKAN RADEN NARASOMA
Pada saat itulah Raden Pandu dan para panakawan datang ke Kerajaan Mandura
karena diutus Prabu Kresna Dwipayana untuk mengikuti sayembara. Mereka terkejut melihat
acara sayembara pilih telah berubah menjadi ajang pertempuran. Raden Narasoma pun
menantang Raden Pandu jika ingin mengikuti sayembara, maka harus dapat merebut Dewi
Kunti secara kesatria.
Raden Pandu menolak dan merelakan Raden Narasoma sebagai pemenang. Ia
memutuskan untuk pulang ke Hastina saja. Raden Narasoma merasa disepelekan dan ia pun
memerintahkan para raksasa Candabirawa untuk menyerang Raden Pandu.
Raden Pandu dengan lincah menghadapi serangan para raksasa ganas tersebut.
Namun demikian, ia merasa terdesak karena para raksasa itu jumlahnya bertambah banyak
jika dilukai. Melihat itu, Kyai Semar memberikan nasihat supaya Raden Pandu meletakkan
senjata dan mengheningkan cipta, seperti nasihat Prabu Kresna Dwipayana kepada Prabu
Mandrapati dulu saat berperang melawan Prabu Bagaskara.
Raden Pandu menurut. Ia lalu membuang senjata dan duduk bersila mengheningkan
cipta. Sungguh aneh, dengan cara tidak melawan justru jumlah para raksasa menjadi
berkurang satu demi satu hingga akhirnya tinggal seorang saja seperti sediakala yang
kemudian masuk kembali ke dalam jari Raden Narasoma. Secepat kilat Raden Pandu melesat
dan menangkap tubuh Raden Narasoma, lalu mengerahkan Aji Pangrupak Jagad dan
membenamkan tubuh lawannya itu di dalam tanah hingga sebatas dada.
10. M. RADEN PANDU MENDAPATKAN DUA ORANG PUTRI
Raden Narasoma mengaku kalah dan menyadari kesalahannya telah berbuat
sombong, merasa dirinya paling hebat. Raden Pandu lalu mengangkat tubuhnya kembali ke
permukaan. Raden Narasoma pun menyerahkan Dewi Kunti kepada Raden Pandu karena
sejak awal dia tahu kalau sang putri memilihnya karena terpaksa, bukan tulus dari hati.
Lagipula Raden Narasoma telah memiliki istri bernama Dewi Setyawati dan tidak ingin
menduakannya. Ia datang ke Mandura bukan untuk melamar Dewi Kunti, tetapi hanya untuk
mencoba keampuhan Aji Candabirawa saja.
Dewi Kunti mendapatkan firasat apabila ia menikah dengan Raden Pandu, maka ini
akan menjadi sarana baginya untuk bisa bertemu Karna Basusena. Maka, ia pun
memindahkan kalung untaian bunga dari leher Raden Narasoma ke leher Raden Pandu.
Raden Narasoma teringat saat berkunjung ke Pancala dulu, antara Raden Pandu dan
Dewi Madrim telah terjalin perasaan saling menyukai. Kebetulan hari itu Dewi Madrim juga
ikut menyertainya. Ia pun menyerahkan adiknya itu kepada Raden Pandu supaya dijadikan
sebagai istri kedua. Raden Pandu dengan senang hati menerimanya, sekaligus untuk
mendekatkan kekeluargaan sesama keturunan Resi Manumanasa.
Tiba-tiba datang Arya Tuhayata dari Kerajaan Mandraka yang ditugasi Prabu
Mandrapati untuk menjemput pulang Raden Narasoma. Mendengar ayahnya sudah tidak
marah lagi, Raden Narasoma merasa senang dan ia pun mohon pamit kepada Prabu Kuntiboja
untuk pulang ke Mandraka.
N. ROMBONGAN RADEN PANDU DIHADANG RADEN SUMAN
Sementara itu, Prabu Suwala raja Gandaradesa telah meninggal dunia. Takhta
kerajaan pun diwarisi putra sulungnya yang bergelar Prabu Gendara. Hari itu Prabu Gendara
berangkat ke Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara pilih bersama adik-adiknya,
yaitu Dewi Gendari, Raden Suman, Raden Anggajaksa, dan Raden Sarabasanta.
Dalam perjalanan tersebut, rombongan Prabu Gendara bertemu Raden Pandu yang
sedang menuju Kerajaan Hastina bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Menyadari dirinya
telah terlambat, Prabu Gendara pun berniat pulang ke Gandaradesa, namun Raden Suman
menghasutnya supaya merebut Dewi Kunti dari tangan Raden Pandu.
Prabu Gendara termakan hasutan adiknya, dan ia pun menantang Raden Pandu
bertarung. Jika dirinya yang menang, maka Dewi Kunti akan diminta untuk diboyong ke
Gandaradesa. Sebaliknya, jika Raden Pandu yang menang, maka Prabu Gendara akan
menyerahkan adiknya yang bernama Dewi Gendari untuk diboyong ke Kerajaan Hastina.
Raden Pandu pun menerima tantangan tersebut.
Pertarungan dimulai. Hanya dalam beberapa serangan, Raden Pandu berhasil
menewaskan Prabu Gendara. Sebelum meninggal, Prabu Gendara sempat berpesan kepada
adik-adiknya untuk tidak membalas dendam. Ia telah merelakan kematiannya demi untuk
menjadi sarana kebahagiaan Dewi Gendari.
Dewi Gendari, Raden Suman, dan yang lain terharu melihat pengorbanan sang
kakak. Mereka lalu membagi rombongan menjadi dua. Dewi Gendari dan Raden Suman
mengikuti Raden Pandu pergi ke Kerajaan Hastina sesuai perjanjian tadi, sedangkan Raden
Anggajaksa dan Raden Sarabasanta membawa pulang jenazah Prabu Gendara.
11. O. RADEN DRETARASTRA MEMILIH DEWI GENDARI
Prabu Kresna Dwipayana, Resiwara Bisma, dan segenap keluarga besar Kerajaan
Hastina menyambut kedatangan Raden Pandu yang berhasil memboyong tiga orang putri
sekaligus. Mereka juga ikut prihatin dan menyampaikan duka cita atas meninggalnya Prabu
Gendara.
Raden Pandu berniat menyerahkan dua orang di antara ketiga putri tersebut kepada
kedua saudaranya, yaitu Raden Dretarastra dan Raden Yamawidura. Raden Dretarastra
bersedia menerima, sedangkan Raden Yamawidura menolak karena ia mengaku telah
memiliki seorang kekasih bernama Dewi Padmarini, putri Adipati Dipacandra. Adapun
Adipati Dipacandra adalah pemimpin Kadipaten Pagombakan, yaitu sebuah negeri kecil
bawahan Kerajaan Hastina. Raden Yamawidura berniat menikahi Dewi Padmarini kelak
setelah kedua kakaknya menikah lebih dulu.
Raden Pandu pun mempersilakan Raden Dretarastra yang lebih tua agar mengambil
dua orang putri sekaligus. Namun, Raden Dretarastra bersedia mengambil satu saja karena
Raden Pandu yang telah bekerja keras memenangkan mereka, sehingga adiknya itu dianggap
yang lebih pantas mendapatkan dua orang istri.
Karena menderita tunanetra, Raden Dretarastra pun meminta bantuan sang guru,
yaitu Resiwara Bisma untuk memilihkan salah satu putri sebagai istrinya. Resiwara Bisma
menyarankan agar Raden Dretarastra mengambil Dewi Gendari saja, karena usianya lebih tua
daripada Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Raden Dretarastra setuju dan Raden Pandu pun
menyerahkan putri dari Gandaradesa tersebut kepada kakaknya.
Dewi Gendari sangat kecewa namun tidak dapat membantah karena menyadari
dirinya hanyalah seorang putri boyongan. Raden Suman juga kecewa karena sang kakak
menjadi istri seorang tunanetra. Namun, ia berusaha menghibur Dewi Gendari bahwa Raden
Dretarastra adalah putra sulung Prabu Kresna Dwipayana. Kelak, jika Prabu Kresna
Dwipayana mengundurkan diri dan kembali menjadi Resi Abyasa, maka takhta Kerajaan
Hastina akan dipegang oleh Raden Dretarastra sebagai raja yang baru. Itu artinya, Dewi
Gendari akan menjabat sebagai permaisuri kerajaan.
Dewi Gendari merasa sedikit terhibur. Ia berharap ucapan adiknya itu dapat menjadi
kenyataan. Setelah dirasa cukup, Raden Suman pun mohon pamit kembali ke Kerajaan
Gandaradesa untuk menerima warisan takhta dari sang kakak sulung yang telah meninggal
(Prabu Gendara). Ia berjanji, meskipun sudah menjadi raja di sana akan tetap sering-sering
mengunjungi Dewi Gendari di Kerajaan Hastina.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------