SlideShare a Scribd company logo
1 of 56
Download to read offline
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Mungkin sudah banyak yang menulis buku tentang lakon perang Baratayuda yang
sudah melegenda itu. Namun cerita yang dipadukan dengan kisah-kisah perang
tersebut dalam Pedalangan dari beberapa dalang terkenal di negri ini, mungkin masih
sangat jarang.
Mas Patikrajadewaku adalah salah satu pengasuh dalam blog indonesiawayang.com
(dulu wayangprabu.com) yang pemahaman akan cerita-cerita wayang cukup dalam.
Meskipun bukan seorang seniman ataupun penulis, namun dari pengalaman dan
pemahaman akan kiprah para dalang senior seperti almarhum Ki Nartosabdho,
almarhum Ki Timbul Cermo Manggolo, almarhum Ki Hadi Sugito, almarhum Ki Sugino
Siswocarita, Ki Manteb Sudharsono dan dalang-dalang lainnya, beliau dikarunia
kelebihan dalam menuangkan cerita wayang seolah kita mendengar alunan suara dari
rekaman pagelaran wayang.
Kisah perang Baratayudha dalam buku ini, adalah tulisan Mas Patikrajadewaku yang
telah dimuat secara serial di wayangprabu.com mulai 24 Juni 2010.
Kisah yang sangat menarik dan disajikan dengan renyah sehingga dapat membuat kita
terbawa seolah berada dalam arena padang Kurusetra.
Melalui beberapa perbaikan penulisan, kami sajikan untuk Anda, khususnya para
penggemar wayang dimanapun berada.
Mudah-mudahan hal kecil ini dapat berguna bagi kita semua dan merupakan
kontribusi nyata bagi upaya pelestarian dan pengembangan budaya wayang di
Indonesia.
Wassalam
Bandung, 28 September 2013
Pranowo Budi Sulistyo
indonesiawayang.com
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 2
Daftar Isi
Kata Pengantar .........................................................................1
Episode 5 : Akhir Perjalanan Sang Jahnawisuta ...................................3
Episode 6 : Rekadaya Durna, Sang Senapati Tua ................................ 12
Episode 7 : Lunaslah Janji Abimanyu.............................................. 23
Episode 8 : Ricuh di Bulupitu ....................................................... 34
Episode 9 : Ricuh juga di Kadilengeng ............................................ 48
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 3
Episode 5 : Akhir Perjalanan
Sang Jahnawisuta
Gb. 15 – Akhir hidup Bisma (versi India)
Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada sidang yang
digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati Pendawa, Resi
Seta. Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada kursi dampar
kebesaran yang direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung istana Astina.
“Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu !“ Dada Prabu
Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa saat
kemenangan akan segera datang.
Lanjutnya
“Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari telah berlangsung.
Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit Pendawa yang akan
dapat menandingi kesaktian paduka, Eyang!”
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 4
“Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa siapapun
yang mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang. Pada
kenyataannya siapa yang dapat menandingi tokoh sepuh sakti mandraguna seperti
Eyang Bisma ?!!” berkata lantang Prabu Duryudana, dengan mulut penuh dalam
jamuan yang diselenggarakan malam itu menyambut kemenangan.
Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari Negeri
Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang dimulai
serta, Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta semua yang
hadir sepakat, bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan ditangan.
Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh 1
Sang Jahnawi Suta menyahut
“Ngger Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang harus dilalui.
Walaupun banyak orang menganggap, kalau aku sebagai manusia sakti tanpa
tanding, tetapi ada pepatah mengatakan, diatas langit masih ada langit. Jalan
didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa ada dipundak kedua
saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah dapat
mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!.”
Bisma melanjutkan
“Apalagi, dibelakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang penjelmaan Wisnu
yang sungguh waskita 2
dalam memberikan pemecahan berbagai masalah. Jadi
tetaplah waspada!!”
Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang Garuda
Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni Prabu Salya
di sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala serta Pandita
Durna yang sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh serangan.
Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit dan
dilindungi oleh para raja telukan 3
, dibelakangnya Harya Dursasana siap pada daerah
pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan menyusup
kedalam.
Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu Duryudana tidur
mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati dan kenyangnya
1 Sabar, tenang
2 Awas, mampu melihat sesuatu yang samar
3 Taklukan
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 5
perut. Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang molek jelita, Dewi
Banuwati, yang segera dipondongnya keatas tilam rum.
<<< ooo >>>
Malam bertambah larut. Dalam malam tak ada yang dapat diceritakan selain sinar
rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang temaram
mampu membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang bagi
pribadi lain akan menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas, sebagian lain
menjadi murung.
Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar dengan hati dan
pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang gembira, suara itu
bagaikan nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala pemukim hutan
sekeliling Tegal Kurukasetra menggonggong dengan suara panjang membuat bulu
roma berdiri, gerombolan liar itu tengah mengendus, kapan kiranya suasana menjadi
aman bagi mereka untuk memulai pesta pora.
Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak kembali siaga
dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut tidak menjadi
alasan bagi mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi prajurit linuwih
yang mampu melewati hari-hari panjang dan sulit mengatasi musuh hingga saat ini,
ternyata nyawa mereka masih tetap mengait pada raga.
Bende beri 4
bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan irama
pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam menggetarkan
dada, berirama senada detak jantung yang mulai terpacu.
Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan Randuwatangan
atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang ditiru oleh prajurit
Astina masih tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah paham dengan apa yang
harus dilakukan setelah bertemu dengan Resi Bisma hari kemarin, masih menyimpan
Wara Srikandi dibarisan tengah, yang sewaktu-waktu dipanggil untuk mengatasi
kroda sang Dewabrata.
Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama. Drestajumna,
putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak lahir sebagai
manusia yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi prajurit trengginas
sesuai dengan perawakannya yang langsing sentosa.
Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera Arjuna
melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan anak panah
4 bêndhe: sejenis tetabuhan, sejenis gong kecil
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 6
diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering diakhir musim
kemarau panjang.
Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh satu sama lain
terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut. Gemuruh
mengerikan.
Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng. Dentangnya
memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang semakin
membakar semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan bercampur
teriakan kesakitan prajurit yang roboh sebagai pecundang.
Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di genggaman
tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang gerakannya.
Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati, membuat
gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan dari Setyaki yang
sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam membantai musuh dengan
gada Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap itu. Tak terhitung banyaknya
korban prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana seperti Durmuka, Citrawarman,
Kanabayu, Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi. Bahkan kuda dan gajah tunggangan
bergelimpangan. Juga kereta perang yang remuk tersabet gada kedua satria yang
mengamuk dengan kekuatan tenaga yang menakjubkan.
Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi Krepa, Adipati
Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap kanan mengungsi
dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang Resi Bisma.
Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala dikaitkan
pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju serangan.
Bahkan Bima dibidik dengan panah sakti Cucukdandang yang mengakhiri krida Resi
Seta sebagai senapati Pandawa.
Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah sakti itu
tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya serangan
bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan.
Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan.
“Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk menyumbangkan jasa bagi
kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar!” Prabu Kresna melambaikan tangannya
kearah Wara Srikandi untuk berdiri lebih mendekat.
“Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?!” Srikandi maju mendekat dengan
segenap pertanyaan bergulung dibenaknya.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 7
“Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma menuju
peristirahatannya yang terakhir” Prabu Kresna mengawali penjelasannya.
“Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma . . .?!
Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu untuk
membuat kulit Eyang Bisma tergores sedikitpun..!”
“Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya. . . . . !” Tersenyum Prabu Kresna melihat
kebimbangan dalam hati Wara Srikandi.
Gb. 16 – Wara Srikandi
Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah diceritakan oleh
suaminya, Arjuna, “Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan cerita asmara tak
sampai dari Dewi Amba ketika Eyang Bisma masih bernama Dewabrata ?!”
“Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang diharapkan
dapat menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang Dewabrata?”
“Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu !” Prabu Kresna masih sambil
tertawa mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 8
Tersipu Wara Srikandi dengan pujian yang dilontarkan oleh kakak iparnya. Hatinya
menjadi sumringah oleh harapan dapat mengatasi kesulitan yang tengah dialami oleh
keluarga suaminya, Arjuna.
Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera dipegang
lengan istrinya dan mengajaknya dengan lembut “Ayolah istriku, jangan lagi
membuang waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh amukan Eyang
Bisma.”
Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang.
<<< ooo >>>
Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk menjemput
kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi, Sarotama, pinjaman
sang suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta Dewi Amba yang
terhalang oleh hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti dengan cinta abadi di alam
kelanggengan.
Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran tersenyum.
Dalam hatinya mengatakan
“Inilah saatnya bagiku untuk bertemu dengan cinta sejatiku Dewi Amba sekaligus
mengakhiri do’a ibundaku”.
Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu dimintakan kepada
Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang berumur panjang dan tidak
mudah dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai pengganti atas pengorbanannya tidak
mengusik keturunan ayahnya dengan Dewi Durgandini.
Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru sakti
Rama Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru sambil
dengan diam-diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama berbulan-
bulan tanpa henti.
Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Dalam
benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-gambar yang
diputar ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan peristiwa perjalanan
hidupnya itu baru saja terjadi.
Ketika membuka matanya kembali, didepan matanya Wara Srikandi dengan senyum
mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas anak panah.
Berdebar gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi bagai senyum
kekasih hatinya, Dewi Amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang Dewabrata bagaikan
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 9
dilolosi otot bebayu dalam raganya. Memang demikian, ketika panah Sarutama yang
tergenggam ditangan Srikandi, seketika perbawa Dewi Amba seakan melekat pada
raganya. Tiada salahlah pandangan Resi Bisma saat ini.
Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara Srikandi,
maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh Dewi Amba.
Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata panah Sang
Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus jantungnya, rebah
seketika di tanah berdebu Padang Kurusetra.
Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana dan Prabu
Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik adik mereka masing-masing,
menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang merah darah
yang membuncah.
Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak, karena kedua raja ini
memangku bersama raga pepunden mereka.
<<< ooo >>>
Gb. 17 – Resi Bisma menanti ajal dikelilingi Pandawa dan Kurawa
“Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini. Lega rasa
dalam dada ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan menyongsong raga
rapuh, melupakan segala permusuhan dan peperangan menjadi terhenti” tersendat
dan gemetar suara Resi Bisma kepada kedua cucu trah Barata.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 10
“Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong aku dan
mendukung ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak terhingga
kepadaku”. Sambil sesekai nafasnya tersengal ia melanjutkan
“Kalian berdua ada pada jalanmu masing-masing, teruskanlah peperangan ini, untuk
membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa ini”.
Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing-masing. Seakan
tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat.
“Lepaskan sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring”. Akhirnya mereka
tersadar atas permintaan Resi Bisma kali ini.
“Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu !!” perintah Prabu Duryudana gemetar.
Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih ditangannya.
Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata
“Bukan itu ngger yang aku mau . . . Aku menghendaki bantal layaknya seorang
prajurit di medan perang”.
Kali ini Werkudara yang juga berdiri disisi raga eyangnya segera melompat tanpa
diperintah. Ketika kembali ditangannya tergenggan beberapa potong gada patah dan
pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala sang resi.
Tersenyum Bisma merasa puas “Nah beginilah seharusnya bantal seorang prajurit . .
. .!”
Melotot jengkel Prabu Duryudana kepada Werkudara dengan pandangan kurang
senang.
Nafas satu demi satu mengalir dari hidung sang Resi Bisma, sebenar-bentar wajahnya
menyeringai menahan sakit didadanya. Darah yang masih mengalir dari dadanya
membuat cairan tubuhnya berkurang. Sekarang yang terasa adalah haus yang tak
tertahankan. Terpatah-patah perintah Sang Resi kepada cucu-cucunya
“Kerongkonganku kering, tolong aku diberi minum walau hanya setetes”.
Melompat Prabu Duryudana tak hendak tertinggal langkah. Segera kembali
kehadapan sang Senapati sepuh yang sedang meregang nyawa, dibawanya secawan
anggur merah segar.
“Eyang pasti akan hilang rasa hausnya kalau mau merasakan anggur mewah
kerajaan”.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 11
Bangga Prabu Duryudana bersujud dihadapan eyangnya hendak meneteskan
minuman.
Sekali lagi kekecewaan Duryudana terpancar dari wajahnya ketika Resi Bisma kembali
menolak pemberiannya.
Habis kesabaran dua kali ditolak pemberiannya, dengan sugal 5
ia memerintahkan
kepada adik-adiknya untuk meninggalkan raga sang resi dengan suara lantang,
“Dursasana, Kartamarma, Citraksa dan kalian semua!! Tinggalkan orang tua yang
sedang sekarat itu!! Tidak ada guna lagi kalian menunggu hingga ajalnya tiba.! Ayo
semua kembali ke pakuwon masing masing . . . !”
Prabu Kresna yang sedari tadi juga berada di tempat kejadian, segera membisikan
sesuatu kepada Raden Arjuna,
“Yayi, celupkan ujung anak panahmu Pasupati ke wadah kecil berisi air minum kuda
perang, berikan kepada Eyangmu”.
Tanpa sepatah kata bantahan, Arjuna mematuhi perintah kakak iparnya.
Dipersembahkan air minum itu kepada Resi Bisma yang tersenyum meneguk air
pemberian cucunya itu. Senyum untuk terakhir kali.
Kidung layu-layu 6
berkumandang. Sementara itu, taburan bunga sorga para bidadari
dari langit, mengalir bagaikan banjaran sari wewangian, mengantar kepergian satria
pinandita sakti berhati bersih. Ia telah menjalani hidup dengan cara brahmacari,
tidak akan menyentuh perempuan, demi kebahagiaan ayah dan ibunda tercintanya.
Perjalanan hidup yang kontradiktif dengan jiwa yang bersemayam dalam raga yang
berumur panjang. Sekarang segalanya telah berakhir dengan senyum.
Bergandeng tangan dengan kekasih yang sangat memujanya selama ini, kekasih yang
dengan sabar menanti kapan kiranya dapat bersatu tanpa halangan dari hukum dunia
yang selama ini mengungkung mereka berdua, Dewi Amba dan Raden Dewabrata,
hingga mereka berdua tak mampu bersatu didunia. Sekaranglah saat bahagia itu
menjelang.
<<< ooo >>>
5 Sugal = bengis
6 Berita kematian, kesedihan
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 12
Episode 6 : Rekadaya Durna, Sang
Senapati Tua
Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam pandangan
Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan kekhawatiran
akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat Duryudana duduk
tanpa berkata sepatahpun. Sebentar-sebentar mengelus dada, sebentar-sebentar
memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap-usap keningnya yang
berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak menghalangi keluarnya
keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali disekanya, namun tetap tak hendak
kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah lebih jauh lagi, ia memaki-maki dewa
didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat adil terhadapnya.
Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan
sabar ia menyapa menantunya.
“Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang
terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh
bila terserang musuh”.
Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak
ada perubahan, kembali ia melanjutkan,
“Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar, kehilangan
senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk digantikan oleh
siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja
sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari
Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara Windya, sedangkan
disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari Negara Turilaya, Prabu
Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah sana ada lagi
Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas 7
dan tak terhitung raja-raja serba
7
Pada nama nama ini, diceritakan, saat diadakan penimbangan bobot antara Pandawa dan
Kurawa dengan tujuan siapa yang lebih berat akan diberi kekuasaan memerintah Negara
Astina, atas akal-akalan Sangkuni. Sangkuni berpikir tidaklah Kurawa yang berjumlah seratus
akan lebih ringan dari Pandawa yang hanya lima orang. Ketika para Kurawa sudah naik semua
ke batang traju, semacam timbangan dengan sebatang gelagar panjang dengan satu poros
ditengahnya kemudian Bondan Paksajandu, Werkudara muda, naik dengan gerakan tiba tiba
sehingga banyak Kurawa yang terpental jauh keseberang lautan. Termasuk didalamnya
nama-nama ini, yang akhirnya mereka berhasil di pengembaraannya dan menjadi raja disana.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 13
mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu. Para
manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita
Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu
Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni, manusia dengan
ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang berdirinya kekuatan
Astina?”
Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya
berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan
parampara yang ada di balairung.
Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air
mukanya yang menjadi cerah.
Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar
Gb. 18 – Pandita Durna
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 14
“Rama Prabu Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para
sidang semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang
Bisma, seakan-akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba
tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”.
Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia
melanjutkan
“Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa ternyata
disekelilingku masih banyak agul-agul sakti, terasa terang pikirku, terasa lapang
dadaku !. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan semangat
anakmu ini”.
“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang
hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk
saja. Semua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”. Pandita Druna memancing
dan mencadang tandang dan mengharap menjadi senapati pengganti.
“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk
menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana
agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa”
Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri-seri.
“Inilah yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang
nyatanya sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan
untuk kejayaan keluarga Kurawa”.
“Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah
mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita
membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar.
“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan
Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka
menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati
oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”.
“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi
serangan kedua orang itu. Cara satu-satunya adalah bagaimana kita melepas tulang
sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka
dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk kemenangan kita”.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 15
Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya mengawasi
para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan awal
dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan.
“Sekarang bagaimana caranya?” kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu
demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya
“Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi
satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini
diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati Jayadrata,
Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana, Aswatama, Prabu
Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran,
sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.
Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan
pertanyaan,
“Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan
gelar?”
Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidakpuasan yang terpancar
dari kedua Raja Seberang ini.
”Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk
gelar strategi perang esok hari !” sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu
melekat ditangannya.
Wajah-wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan
Prabu Wersaya kembali sumringah
“Apakah peran kami berdua ? Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar
jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar
Gardapati mengajukan pertanyaan.
“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua
sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan
ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu
Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu ketanah berpasir,
bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi hidup dan
berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat
mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam. Pasti keduanya
akan segera tewas”.
<<< ooo >>>
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 16
Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu Puntadewa
dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan pertemuan
membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari.
Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma
secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau
sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa
terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka.
Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma,
tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah kesunyian, menyapa
Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu Puntadewa, adalah
penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga menyebabkan tewasnya Resi
Bisma.
Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini
harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa.
Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada
Prabu Puntadewa.
“Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita
arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini ?”
“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah
mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih
baik kita mencebur sekalian”
Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa
yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan
Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi
Prabu Punta melanjutkan.
”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk mengatur
langkah kita dibawah perintah paduka “.
“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala
kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.
“Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas
Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua
strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai mengatur
kekuatan langkah.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 17
Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya
“Kanda Prabu, segala tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk
mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu
masih saya pertahankan”
“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”.Prabu
Kresna mengingatkan.
Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria yang ada
pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini
penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh.
<<< ooo >>>
Gb. 19 – Drestajumna (gaya Solo)
Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari
masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak prajurit yang
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 18
bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah
berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan
kematangannya setelah pengalaman hari-hari kemarin. Pancawala anak Prabu
Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna. Tandangnya trampil memainkan
senjata membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran.
Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga,
putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan
dan perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda
kerut wajah membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada
dimana-mana.
Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk
perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang
bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuat terperangah prajurit
lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih
dari Negara Windya dan Giripura.
Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh
Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah
tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat
sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna
“Werkudara! Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh
kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar
benar sakti. Kejar aku..!!”
Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa maumu akan aku
layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.
Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya
menuju ketempat yang ditujunya.
Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan
Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di
Kurusetra.
Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus
di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda
Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat
kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya
yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan
leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 19
Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera merangsek maju hingga mendekati
pesanggrahan para Pandawa.
“Maju terus, kita sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak
prajurit Kurawa.
Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit
Gb. 20 – Prabu Gardapati
“Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”.
Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda
lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian tunggang
langgang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 20
Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu
sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu
sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu Kresna.
“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan
bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap Drestajumna memelas.
“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan
Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini”
sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.
“Lho . . ! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap tersenyum
tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda,
meredakan kisruh hati Raden Drestajumna.
Katanya lagi
“Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujan yang terjadi
dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra
sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu adalah selalu anak
perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah
“Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan
punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah
diberikan”.
Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang Prabu, seribu
salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf
seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan,
kakangmas”.
“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan.
Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai
dengan keadaan saat ini” Kresna membuka nalar Drestajumna.
Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?” Sambar
Drestajumna.
“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk
menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan
<<< ooo >>>
Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya sedang duduk
bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu menunggui
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 21
kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya. Disamping kiri
kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi lain Dewi Utari yang
tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari tak hendak
lepas dari tangan sang suami.
“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa
berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa
gerangan yang akan terjadi” demikian keluh Utari kepada suaminya.
“Utari, jangan dirasa-rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan.
Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.
Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti
suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku
pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang” Semakin menggelayut
pegangan Siti Sundari.
“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda-tanda aku
juga mau hamil kakang” Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan
garis keturunan, eyang.
“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur Abimanyu
sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu
Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati
selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga mereka segera dikawinkan.
Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai
dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di
angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.
“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga.
Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang
dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk
bergabung dengan kami di Kurusetra”.
Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak enak
karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah
menggelayut dipundak sang adik.
Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka.
Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang Angkawijaya.
Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 22
“Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan
atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.
Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada
istrimya, namun tangis keduanya malah bertambah-tambah.
Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika
Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang
sang suami. Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat
ia berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke
istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu.
Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama Kyai
Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya.
<<< ooo >>>
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 23
Episode 7 : Lunaslah Janji Abimanyu
Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul
diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada
dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.
“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger
!” sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu
menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris.
Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya,
membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih
berpengaruh dalam benaknya.
Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,
“Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat
dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua-orang tua kami”
“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah
saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan
tata gelar baru” Perintah sang uwa
“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya
untuk ditempatkan pada garda depan” Pinta Abimanyu
“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna
menegaskan kepada Raden Drestajumna.
“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan
anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !” Demikian putusan
Sang Senapati.
Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar-kacir
perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan
Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan
pada ekor adalah Wara Srikandi.
Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian
besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit
Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari, bagaikan
banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan
penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit
bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki penunggangnya untuk
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 24
menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh
didekatnya tak lama membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa
seperti Citraksi, Citradirgantara, Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan
banyak lagi, telah tewas. Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena
panah Abimanyu. Walaupun tidak mempan, namun kerasnya pukulan anak panah
menjadikannya ia muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi
palagan.
Gb. 21 – Bambang Sumitra (gaya Solo)
Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai
Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut
Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 25
Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia
terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan
Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi
dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah
menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung
rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia menyusul temannya
dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga
Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke
tanah.
Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju
bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati
Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ketengah
dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih
menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan,
maka lepas anak panah menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun
Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna.
Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu
Salya rebah menjadi kusuma negara.
Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu
singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas,
membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian
mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama
mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting
mereka dapat menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris
para Kurawa.
Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari
berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang
dengan senjata ditangan masing-masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat
mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang
malah bagai dipedayai.
Kelihatanlah kekuatan masing-masing pihak, tak lama kemudian.
Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari
rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai
Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung
kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya. Gerakannyapun menjadi semakin
tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi
korban selanjutnya.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 26
Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling
serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh
terguling tak bangun lagi.
Gb. 22 – Dewi Utari
Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan
sudah terjadi.
“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan
menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !”
kata-kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam
detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi.
Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari kedua
arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat
Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu
lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit
ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan
pandangannya kearah kejadian.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 27
Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia
mengatakan,
“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal
seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.
Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka
menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal-akalannya,
“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak
dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan kekuatan akal
kita. Setuju Adi Sengkuni ?”
“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti
setuju!” Sangkuni mengamini.
“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus-teruskan,
maka akan kalah kita. Minta pendapatnya nak angger Adipati !” Seakan Durna minta
pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana
cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.
“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati
Basukarna sekenanya.
“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak
angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat
mengatasi masalah ini” Durna mulai membuka strategi.
“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut.
“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian
Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan
kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari
belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah
kita” Pandita Durna menjelaskan strateginya.
“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing” Adipati Awangga
itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang.
Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih
Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati
para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara orang
mengerti, bila perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal
menunggu waktu.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 28
Gb. 23 – Siti Sundari
Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:
“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja
sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan
apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan
hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat
hal yang menakjubkan.
“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk,
dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang
senapati takluk terhadap lawan” Bangga Abimanyu.
Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan
memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 29
punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur
dari lukanya.
Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka,
mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi
laporan.
“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka
dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan
lagi” Tutur Adipati Karna.
Terkekeh-kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya
biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali.
Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.
Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali
menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju
menyongsong serangan.
“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang.
Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo
majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana
sekalipun yang maju !!”.
Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan
berdirinya masih tetap tegar.
Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba
keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa,
sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi-tubi.
Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.
Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya.
Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh
banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila
digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang
diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan bunga yang terrangkai sementara
tubuhnya bagaikan kembar mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata
tajam mengiris perutnya. Usus yang memburai yang disampirkan pada duwung yang
terselip di pinggangnya, seperti halnya untaian melati menghiasi pinggang.
Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi
makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah
mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 30
kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang
dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan
kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang
berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek 8
!
Gb. 24 – Lesmana Mandrakumara
Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari
pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami
sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku
poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.
8 Gending pengiring penganten pada pesta perkawinan
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 31
Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa
boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan
Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup
rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya,
namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya.
Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarojakusuma, putra Prabu Duryudana
yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal
selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan,
sehingga sifat penakutnya sangat kentara.
Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina
Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya,
Abiseca dan Secasrawa.
Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu.
Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan
dipamerkan kepada ayahnya.
“E . . e . . e . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi
penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama
Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”.
Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain-main, ia maju
semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya,
memandang enteng kejadian didepan matanya.
Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak
dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan
hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin
segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur
tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir, sang prajurit muda masih mampu
menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak
ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir
mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi
janjinya.
Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter
bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama beranjak
dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka
masing masing.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 32
Gb. 25 – Abimanyu Ranjap
Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul ke
peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang
suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya ,
sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan didalam,
seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam perang besar
keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta kemedan perang,
terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua garba. Bahkan sang
ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi.
Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung
wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa
menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan
runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap
ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu
mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan
bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 33
Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan
tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur
gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti
bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma
negara yang gugur, di lepas siang .
Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang
terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip
dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda,
Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga
kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek
berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
<<< ooo >>>
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 34
Episode 8 : Ricuh di Bulupitu
Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing jauh keluar
arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari senapati
pengatur perang, Drestajumna.
Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria menghindar
dari tantangan musuh.
Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi perasaan
bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan.
Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi sebetulnya
tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding itu.
Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan Wersaya
tanah yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah menjadi pasir
lumpur yang menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin mereka melawan
tenaga sedot pasir lumpur, makin mereka tenggelam.
Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir lumpur yang
bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam.
“Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara-saudaramu,
bicaralah kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul ayahmu ke
Candradimuka menggantikannya jadi kerak neraka itu”.
Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni Kawah
Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu mengentaskan ayahnya
dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah itu, ketika atas tangis istri
mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana menaiki lembu Andini, tunggangan
Batara Guru.
“Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan
mengenangmu sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna
menyahut dengan gerakan hati-hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur
makin menyeretnya tenggelam.
Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan batinnya.
Perjuangan menempuh kesulitan dalam alur hidupnya telah menjadikannya kokoh
luar dalam. Maka ketika sedang terjepit seperti ini tak lah ia patah semangat. Ajian
Blabag Pengantol-antol dikerahkan untuk mendorongnya keluar dari seretan lumpur.
Tidak percuma, ketika berhasil melompat keluar dari pasir berlumpur maka
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 35
Gardapati yang lengah segera digebuk dengan Gada Rujakpolo, pecah kepalanya
seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak Kurawa.
Gb. 26 – Werkudara
Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat. Namun
setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan meminjam
tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan sengit kembali
terjadi, namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh diatas Wersaya. Dengan tidak
membuang waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan tewasnya Wersaya diujung
keris Kyai Kalanadah.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 36
Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari induknya, dan
mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan menemukan suasana
duka mendalam yang terjadi di pesanggrahan Randuwatangan.
Gb. 27 – Arjuna
Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah meninggalkan
peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya membuatnya sangat
terpukul. Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti hentinya menangisi
kepergian putra tunggalnya yang masih belia.
Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu Kresna,
duduk dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan air mata
bagai hendak terkuras dari kedua matanya.
Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga suami istri
belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah mendadak seperti
dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore seperti mendung
yang menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 37
<<< ooo >>>
Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang menjelang sore itu
karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan keheningan itu
menjadikannya helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu-satu. Kadang ia
berdiri berjalan mondar mandir, kemudian duduk kembali. Sebentar-sebentar ia
mengelus dada dan bergumam dengan suara tidak jelas.
Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang-orang
disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu Duryudana.
Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja mereka. Putra
lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah gugur, maka tiada
satupun yang berani membuka mulutnya.
Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya Lesmana
Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga.
Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana-mana dengan kenangan
terhadap pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya menjadi bagai
lumpuh.
Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil nama
pamannya.
“Paman Harya Sangkuni!”
Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan kejadian yang telah
berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan terhadap
dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan peperangan.
Namun ditegarkan hatinya ia menjawab.
“Daulat sinuwun memanggil hamba “
“Ini siang atau malam?”
Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak dada Sangkuni terasa
terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya.
“Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan mempertanyakan
waktu, ini siang atau malam, “
Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana
mengeluarkan isi pikirannya.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 38
“Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para Kurawa,
Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang manusia
adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya bila bukan
itu yang sedang terjadi, yang salah bukan para dewa.”
“Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang menyelonong untuk
meminta kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya adalah supaya
membuat gelap jagad saya, seperti yang disandang sekarang ini”.
Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan.
“Anak lelaki yang hanya satu, satria Sarujabinangun, Lesmana Mandrakumara yang
siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah selesai Baratayuda Jayabinangun
akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati mbahudenda 9
di dunia, di negara
Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi sebelumnya, cucu andika, gugur dalam
peperangan”.
“Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan kiri”.
Sejenak sang Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia sampaikan
berjejalan untuk segera dilepaskan dari sesak didadanya.
“Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia diberi
wenang mepunyai cita-cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada yang
berusaha melewati cara dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya dengan
cara laku tapa. Diumpamakan mereka tidak takut berjalan dalam lelayaran luasnya
samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi kemuliaan yang hanya untuk
kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup. Buatku, yang
membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti keturunanku,
supaya besok aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan cara menang
dalam perang Baratayuda”.
Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba-tiba menjadi ketus.
“Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik!
“Yang terjadi adalah, para orang tua hanya yang ikut mengayom dalam kemuliaanku
diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang tidak ikut dalam repotnya
penandang ! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya ngayom
kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa memperoleh
perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya mereka
mengerti bahwa mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan perang
9 cakrawati: jagad bundêr, bau-dhêndha: kuwasa bangêt.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 39
dalam Baratayuda. Tetapi semuanya tidak ada nyatanya, semua hanya berhenti
dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang dirembug siang malam hanya
rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau tidak dilakukan tidaklah
ada nyatanya !’
“Apakah harus saya sendiri yang melangkah kedalam peperangan menyerang para
Pandawa”.
Gb. 28 – Prabu Duryudana
Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya dialirkan
dihadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu yang sedang
hadir dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk diam. Mereka
terlihat memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan segala unek unek
yang terpendam didadanya.
Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali melingkup sidang,
ia membuka mulutnya.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 40
“Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna. Saya yang
sanggup menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”.
Krepa memperkenalkan kembali keberadaannya dalam sidang. Setelah diawasinya
semua yang menghadap di Bulupitu, ia melanjutkan.
“Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya dengan
persaudaraan ku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita bernama
Kerpi. Karena kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana. Karena paduka
menjadikannya sebagai penasihat Kurawa, saya juga tidak akan ketinggalan.
Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi datang ke Astina karena terdorong oleh
gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba tidaklah terpisah dari
saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang terjadi, ada kalanya
bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang tujuannya adalah ikut
menikmati kemuliaan. Ikut memperlindungi raga saya yang tak lagi muda, tetapi
saya menemukan keadaan Astina telah menjadi glagah alang alang, karena tersaput
oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang Baratayda Jaya Binangun”.
Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali Krepa dengan
percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya.
“Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau muda, saya terkodrat jadi lelaki. Sekali
lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah berbekal keberanian. Dan
bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan sinuwun
menanyakan”.
Krepa memancing.
“Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”.
Penasaran, Prabu Duryudana menyahut.
“Bicaralah Krepa, akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan dengan
telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”.
Mendapat angin, Krepa makin percaya diri.
“Sukurlah, apakah sebabnya bila saya berbekal keberanian. Berapa lama manusia
hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya diumpamakan cuma mampir
minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa memilih negara yang
lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Tetapi memang dari awal hamba
sudah memilihnya, walaupun menjadi gagang keringpun akan aku lakukan”.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 41
“Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan sepenuh hati
tak akan memperoleh nama harum, namun para orang yang sebaliknya, mengabdi
dengan setengah hati, itu adalah terserah mereka sendiri”.
“Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa raga dari
atas pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”.
“Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk membuktikan, sebab
perang Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu orang yang telah
didapuk menjadi pengatur perang”.
Gb. 29 – Resi Krepa
Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu Duryudana
memotong.
“Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya kurang
tepat?!”.
Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 42
“Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan hitung
hitungan waktu, kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi karena saya
hanya ikut merasakan kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar? Karena saya
mengabdi ke Astina belumlah selama yang lain!”.
“Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih lama dan
yang juga mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya”.
“Maksud paman Krepa?”
Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan jumawa Krepa
memandangnya dengan sedikit memancing.
Kerpa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya,
“Bibit disini ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut
orang tuanya, bebetnya, keadaannya hanyalah orang biasa , sekarang bobotnya
mempunyai jabatan tinggi karena dalam jabatannya ia adalah telah diberi gelar
senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam menata negara. Tidak
kurang kurang paduka telah memberkatinaya setinggi langit, dan meluberinya segala
kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut namanya”.
“Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh karena
kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka sinuwun.
Lagi pula dia sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya
dialah seseorang turun dewa yang memberi kecerahan siang”.
“Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu hamba
Lesmana Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya berdiam diri.
Tidaklah ia memberikan pemecahan masalah yang membuat beban yang paduka
sandang menjadi ringan. Orang itu hanya membutakan mata, menulikan terlinga.
Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya adalah condong. Condongnya
dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan kepada teman, tetapi
condongnya adalah mengayomi lawan”.
“Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya adalah masih
saudara tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali sekali menindak
orang yang bersalah. Sekali sekali hendaknya sinuwun menindak orang yang
membuat kekuatan Kurawa menjadi ringkih!”.
Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna. Ia tidak syak
lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa Krepa. Dibiarkannya
ia mengoceh dihadapan adik iparnya.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 43
Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana, menjadi khawatir dengan kata
kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan suasana.
“Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur berkobar.
“Mengapa diumpamakan begitu?”
Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan keadaan yang terjadi
mempertanyakan.
“Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga ikut duduk
bersama sinuwun”. Kemudian sambung Durna memohon.
“Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara dengan adik ipar saya resi Krapa”.
“Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat persatuan
Kurawa silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana.
“Krapa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi jangan
hendaknya untuk meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara, tetapi
kata katamu hendaknya membuat dingin suasana. Berkatalah dengan dasar air
kesabaran”.
Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya. Yang
dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan.
“Kalau api yang kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman. Kalau yang
terbakar hanya sebagian saja tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar adalah
seluruh keluarga besar, merambat kepada para pembesar, tidak urung akan
merambat kepada semua rakyat!”
“Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu menjadi
perhatian para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana para
pejabat berlaku. Para pejabat seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat
kecil. Semua harus bisa menjadi contoh!”
“Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah Krapa! Kamu
datang ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa. Tetapi aku yang
membawa. Datang ke Astina kamu diberi jabatan sebagai penasihat. Disini aku
mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi hendaknya kamu cabut. Sebelum
kejadian yang tidak diinginkan terjadi!
Karena itu jangan biasakan memanaskan suasana, karena disini suasananya sudah
terlanjur menjadi makin panas !”.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 44
“Sumbanglah para Kurawa dengan ide-ide yang bermanfaat agar semua menjadi
tenteram sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!”
Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang dikenal berhati
batu itu.
“Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang melangkah di
samudra pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap menemukan emas
sebakul, namun yang diharap adalah setetes air pengobat dahaga.”
Prabu Duryudana menyahut mengamini.
Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan tinggi hati.
“Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata-kata yang telah aku
sampaikan aku cabut kembali maka betapa malunya aku”.
“Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti halnya hamba melepaskan
anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak panah tadi”.
Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai batas ledakan
didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana.
“Mohon maaf yayi prabu Duryudana”.
Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu Duryudana
malah berkata dengan nada memelas.
“Kakang Prabu kami minta pengayoman”
“Apa dasarnya”.
Jawab Karna.
“Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”.
Kembali Duryudana berusaha meredam kemarahan kakak iparnya.
“Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud memecah
barang yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila kemarahan yang
terpendam ini tidak tersalurkan dalam ledakan didada, maka tindakan yang
aku lakukan mejadi ngawur. Tidak aku salahkan bila sementara orang yang tega
memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti ini”.
Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 45
Kaget setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi kesempatan
membela diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur.
Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka Kaladete dari warangka, tanpa ragu
dipotong leher Krepa. Tewas seketika. 10
Geger para Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu. Semua tidak
menyangka kejadian yang sangat cepat akan membawa korban.
Gb. 30 – Aswatama
10 Catatan: Versi lain, menyebutkan Krepa tidak dibunuh Adipati Karna, namun hanya diusir
Prabu Duryudana bersamaan dengan Aswatama.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 46
Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita Durna
Kumbayana. dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang paman Arya
Krepa. Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia melompat
mendekati Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan menggelundungnya kepala
orang pandir yang nyinyir menyindir dirinya.
Aswatama memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai dipukul
dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun-ubun. Merah menyala
dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan sudut bibir yang
bergetar. Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga wora wari.
“Karna bila kamu memang lelaki jantan ini Aswatama yang akan sanggup berhadapan
dengan saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman Krepa dengan
tidak memberi kesempatan membela diri”. Berdiri Aswatama dengan berkacak
pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya.
Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama.
“Heh Aswatama! Kamu anak Kumbayana kan? Anak dari guru para Pandawa dan
Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu sebagai orang sakti keturunan bidadari
selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku susulkan kamu kepada
pamanmu yang kurang ajar itu!”
Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang dibakar
kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang menyusul
keluar Adipati Karna telah sampai dipinggir arena.
Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna sedangkan Pandita Durna memegangi
anaknya. Aswatama. “Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada
sinuwun Prabu Duryudana. Kamu telah membuat malu bapakmu!”
Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan sembah.
“Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan hamba
menolaknya”.
“Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari
pandangan mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali sekali mendekat,
bila tidak aku panggil!”
Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai dan wajah
menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata bapaknya yang
berkaca kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati remuk.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 47
Aswatama telah kehilangan paman kesayangannya yang mengasuhnya dengan rasa
sayang bagai seorang ayah kandung, dan kehilangan kepercayaan sebagai seorang
prajurit negara.
<<< ooo >>>
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 48
Episode 9 : Ricuh juga di Kadilengeng
Diceritakan, yang ada didalam taman sari Astina. Taman yang bernama Kadilengeng.
Yang tengah duduk dibawah pohon Nagasari, duduk diatas batu yang tertata rapi,
itulah prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya, yang bernama
Dyah Banuwati atau Banowati.
Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup
menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada
cacatnya. Kulit kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati. Bila
berbicara ceriwis, namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan senyum
bibirnya, menampakkan aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita yang pandai
memadu padan busananya, maka tiadalah aneh, bila ia selalu menjadi buah bibir.
Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun banyak
yang terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia hingga kinipun,
sang Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang rambutnya ketika
tertiup angin bagai melambai-lambai merayu. Dadanya yang terlilhat padat berisi,
siapapun yang melihat akan terpesona karena Sang Dewi adalah wanita yang pandai
merawat diri dengan segala jejamuan yang menyebabkannya awet muda. Walau kini
sang dewi menginjak sudah setengah umur, namun tetap, kecantikannya bagai
berebut dengan sinar rembulan.
Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang Baratayuda
Jayabinangun.
Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang suami.
Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia menghaturkan sembah
sebelumnya, kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu.
“Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra disambutnya
sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum sandiwara, karena
selamanya sang dewi tak kan pernah mencintai Prabu Duryudana.
“Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram sejuknya
air pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya menghaturkan
sembah.
“Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 49
“Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku. Ketika aku
melangkah ke peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu tertimbun
dihatiku”.
Gb. 31 – Banowati
Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa rindunya. Bila
perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di hari-hari kemarin
yang melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu selama ini adalah
bayangan istri tercintanya.
Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis kepadanya. Tetapi
sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda bercengkerama
dengan Permadi, Arjuna muda, membekas dalam dihatinya. Sehingga kawin paksa
yang terjadi dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi menjadikan rasa penasaran yang
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 50
tak kunjung terlampiaskan dan membuahkan sebuah janji serta selingkuh
berkepanjangan.
“Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari tigapuluh tahun
dan sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu dimunculkan!” Tukas
sang dewi.
“Ya, terus terang saja . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam dadaku”.
Jawab Duryudana terus terang.
Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan.
“Aku hendak menanyakan beberapa hal. Pertama, sejak aku meninggalakan puraya
agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang ada di Kedaton ini ?”.
“Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan
pekerjaanya”.Banuwati menjawab singkat.
“Sukurlah . Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?” Pertanyaan basa-
basi terlontar dari mulut Prabu Duryudana.
“Tetep sehat-sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba, pastilah
tidak tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada ketenteraman
batin hamba, sinuwun”. Jawaban basa-basi membalas pertanyaan suaminya.
“Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya.
“Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?” Tanya Dewi Banuwati
ketika sang Prabu terdiam sejenak.
“Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan aku sendiri,
telah kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !” Ragu Prabu
Duryudana hendak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian mohon dibuat
terang saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung perumpamaan seperti itu
?”
“Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan mengatakan
kepadamu. Karana dalam hitungan, jangan-jangan setelah aku mengatakan berita
ini kepadamu, jangan sampai kanjeng ratu menjadi sakit bahkan meninggal. Kalau
hal ini yang terjadi lebih baik aku yang menggantikannmu. . . .” Prabu Duryudana
terdiam. Demikian juga istrinya yang makin penasaran, namun tetap memberikan
waktu bagi suaminya. Dengan lirih akhirnya coba memulai dengan cerita yang hendak
dipanjang-panjangkannya.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 51
“Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan anakmu
yang dikepung wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat. Tetapi apa
sebabnya, Lesmana yang selalu dalam pandangan mataku. Tanpa ijin dariku, ia maju
ke medan pertempuran” Kemudian Prabu Duryudana terdiam lagi.
“Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega membunuh
Lesmana, terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega terhadap
“anunya” sendiri” ! Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai-sampai ia
menyerempet menyebut nama selingkuhannya.
“Aku tidak mengerti” Pura pura tak mengerti Duryudana menjawab dengan tidak
senang.
“Anunya itu, artinya keponakannya sendiri” Banuwati berkilah sekenanya. Pikirnya,
diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia mengetahui benar, bahwa
Duryudana adalah tipe suami takut istri.
“Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan
Arjuna” Pelahan Duryudana memberi penjelasan
“Lalu siapa ?” Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu.
“Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di peperangan ia
mendekati Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop Ludira. Namun ia
kalah cepat, ia terkena pusaka Abimanyu. Hari itu anakmu gugur di medan
peperangan !!”.
Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget atau jatuh
pingsan, atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa yang
terjadi, ia cuma memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah sejenak
kemudian ia menyalahkan anak dan suaminya.
“Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya begitulah
jadinya !”.
Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia bergumam
“Dikabari anaknya mati bukannya sedih, susah, malah tidak kaget sama sekali . . .
. .”.
“Apakah susah dan sedih harus dipamerkan ? Kejadian seperti itu bukan salah
Lesmana tetapi salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan!” Jawab Banuwati
ketus.
“Salahku ada dimana?” Dikerasi istrinya, Duryudana melembek.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 52
“Paduka itu kurang waspada sinuwun”, kali ini ia menyalahkan suaminya.
“Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang, selain harus
menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas keselamatan semua,
tanggung jawab ada pada pundakku. Dan aku tidak menyangka, bahwa ia berani-
beraninya maju ke peperangan !”. Ia memberikan alasan.
“Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ” Kembali Banuwati
menyalahkan anaknya.
“Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini.
“Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa ?” Kembali Banuwati
mempertanyakan hal mengapa ia harus menyesal. “Bila ia tunduk dan patuh kepada
orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal. Hidupnya Lesmana kebanyakan
menambah nambah rasa malu, tak ada lain !”.
Kekesalan Banuwati mulai mengungkit-ungkit peristiwa lama.
“Berapa kali ia gagal menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak
memalukan orang tua…. ? Jadi anak kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih
sebenarnya ?!”
Tak mau berlarut-larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan perhatian.
“Tetapi ada sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang melebihi kebanggaan
itu. Matinya juga membawa kematian si Abimanyu !”.
Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah dengan
peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu kematian
Abimanyu malah menangis tersedu-sedu. Maka, setengah menggumam, ia
menumpahkan rasa herannya.
“Aneh sekali, aneh sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati, marah-
marah kepadaku, menyalahkan Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas, kamu
malah menangis sesenggrukan….. !”
Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana, Banuwati
menjawab disela-sela sedunya.
“Kalau Lesmana mati kan hanya saya dan paduka yang bersedih. Tetapi kalau
Abimanyu yang tewas pastilah banyak orang yang ikut merasakan sedihnya. Seperti
Arjuna, aku membayangkan betapa ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua
adalah Wara Subadra, ia telah kehilangan anak nya yang tunggal, belum lagi istri-
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 53
istrinya Siti Sundari dan Utari. Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana
rasanya dia.”
Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu bukan
perkaramu !. Abimanyu isrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !!
“Ternyata rasa cintamu itu telah berpaling . . . . ! “
Kali ini Prabu Duryudana yang marah-marah,“Siang malam tak ada gunanya aku
menyellimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar, makan aku
ladeni minum aku bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai jimat. Tetapi
apa yang terjadi, apakah dasarnya kamu memprihatinkan musuh ?”.
“Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati.
“Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana menyahut
sekenanya.
“Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun yang terjadi
justru sang Dewi yang meneruskan kalimatnya.
Makin tak senang , ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak mempunyai rasa
kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?”
“Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” yang diajak berdebat malah makin
galak.
“Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah saudara
tuanya. Kalau manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu gurunya,
itupun Pandawa berani membunuhnya !”.
“Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya satria tiga,
Seta, Utara dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi tumpangan
ketika ia telah selesai menjalankan pembuangannya selama duabelas tahun, menjadi
pengemis sudra. Dihidupi oleh orang Wirata, tetapi akhirnya ia membalasnya dengan
mengorbankan orang-orang yang telah berbuat baik. Itulah tandanya bahwa ia
adalah orang-orang yang terbuang sebenar-benarnya !”
“Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan tuannya
!”.
Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri.
“Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali ?” Disalahkan
para Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi Banuwati.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 54
Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi aku tidak mau kau
kalahkan !” beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri mendekati jendela.
Panas hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya sejuk angin.
“Hamba tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan telah
kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab
Banuwati dengan nada tinggi.
“Memang begitu !” kembali ketus jawaban Duryudana.
“Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri !” Jawab
Banuwati terus terang.
“Perkara yang mana ?” kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang tajam.
Makin meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani menyampaikan rasa
yang tersimpan dalam di lubuk hatinya.
“Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah sebuah
rahasia. Sudah lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak kuat lagi
menahannya. Saya mengatakannya sekarang juga !”.
“Tunggu apa lagi, katakan !” Duryudana mempersilakan istrinya kembali membuka
isi hatinya.
“Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau dalam
lubuk hati paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang bertahta di
Astina itu Pandawa atau Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu menagih haknya ?.
Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu membuat negara dari keringatnya sendiri,
Negara Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun tanah Astina. Tapi mereka
selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan dalih
permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa diusir
paksa, sehingga mereka menjadi manusia hutan selama bertahun tahun. Jadi yang
tipis rasa kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa ?!”
Bagai bendungan yang jebol, segala unek-unek ditumpahkan dihadapan suaminya.
Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang untuk terus terang.
“Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! Tetapi aku juga peduli !!” jawab
Duryudana tandas.
“Silakan sinuwun mengatakan !” kali ini Sang Dewi yang menantang.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 55
“Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun yang namanya
permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”.
“Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!” Saling
bantah makin seru.
“Mereeka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama mereka bergaul dengan
segala macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya disampaikan, berharap ia tak
diserang lagi.
Namun kembali ia dicecar pertanyaan.
“Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai sebelum itu ?”
“Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina !” Jengkel
Prabu Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut.
“Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak hendak
memuntahkannya. Sinuwun kalaupun kata-kataku sebagai istri, sebagai belahan
jiwa, tak ada satupun yang hendak diperhatikan, bila demikian halnya, silakan
hamba dikembalikan saja ke Mandaraka”. Tak lagi hendak berlarut larut bertengkar,
sang Dewi menantang.
“Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan istrinya..
“Daripada aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka paduka,
sekarang juga lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !.” jawab senang
Banuwati
“Kamu menantang ?!” gertak Prabu Duryudana.
“Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !”
Berbalik badan Banuwati hendak pergi dari hadapan suaminya. Tetapi langkahnya
tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa Prabu Duryudana dilengannya.
Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia mengendurkan
pegangannya. Katanya memelas.
“Mau kemana ?”
“Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya kembali ke
Mandaraka ?!” masih dengan setengah marah dan nada merajuk, Banuwati bertanya
balik.
Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 56
Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada di
istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah
kenyataannya, di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta
Prabu Duryudana mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan
keberadaan istri yang cantik molek itu.
Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah mencengkeram Sang
Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan cengkeraman, tangan
sentosa Duryudana . . . . .
<<< ooo >>>
(Bersambung)

More Related Content

What's hot

Kelompok 5 - Kerajaan Kediri
Kelompok 5 - Kerajaan KediriKelompok 5 - Kerajaan Kediri
Kelompok 5 - Kerajaan KediriX-MIPA1 SMANCIL
 
Lokasi titik akupresur untuk gangguan kesehatan umum 2 2
Lokasi titik akupresur untuk gangguan kesehatan umum 2 2Lokasi titik akupresur untuk gangguan kesehatan umum 2 2
Lokasi titik akupresur untuk gangguan kesehatan umum 2 2Yabniel Lit Jingga
 
Kelompok 3 (KERAJAAN TARUMANEGARA).pptx
Kelompok 3 (KERAJAAN TARUMANEGARA).pptxKelompok 3 (KERAJAAN TARUMANEGARA).pptx
Kelompok 3 (KERAJAAN TARUMANEGARA).pptxssuser113995
 
KERAJAAN BALI SEJARAH KELAS X
KERAJAAN BALI SEJARAH KELAS X KERAJAAN BALI SEJARAH KELAS X
KERAJAAN BALI SEJARAH KELAS X Awanda Gita
 
Makalah kerajaan mataram
Makalah kerajaan mataramMakalah kerajaan mataram
Makalah kerajaan mataramBridhaz Bravo
 
RPP Sejarah kelas X 18-19
RPP Sejarah kelas X 18-19RPP Sejarah kelas X 18-19
RPP Sejarah kelas X 18-19Ressa
 
Kerajaan kutai presentasi
Kerajaan kutai presentasiKerajaan kutai presentasi
Kerajaan kutai presentasiayuksri Rahayu
 
Dinasti isana di Jawa Timur
Dinasti isana di Jawa TimurDinasti isana di Jawa Timur
Dinasti isana di Jawa TimurMuhammad Rahman
 
Purnawarman, raja mendunia
Purnawarman, raja mendunia Purnawarman, raja mendunia
Purnawarman, raja mendunia Faried Mahfudz
 
Presentasi Sejarah SMA kelas X Kerajaan Mataram islam
Presentasi Sejarah SMA kelas X Kerajaan Mataram islamPresentasi Sejarah SMA kelas X Kerajaan Mataram islam
Presentasi Sejarah SMA kelas X Kerajaan Mataram islamMeileni Nurhayati
 
Sejarah kerajaan HINDU - BUDDHA di Indonesia
Sejarah kerajaan HINDU - BUDDHA  di Indonesia Sejarah kerajaan HINDU - BUDDHA  di Indonesia
Sejarah kerajaan HINDU - BUDDHA di Indonesia Shafa Fatin
 

What's hot (20)

Kelompok 5 - Kerajaan Kediri
Kelompok 5 - Kerajaan KediriKelompok 5 - Kerajaan Kediri
Kelompok 5 - Kerajaan Kediri
 
Majapahit
MajapahitMajapahit
Majapahit
 
Perang Diponegoro
Perang Diponegoro Perang Diponegoro
Perang Diponegoro
 
Lokasi titik akupresur untuk gangguan kesehatan umum 2 2
Lokasi titik akupresur untuk gangguan kesehatan umum 2 2Lokasi titik akupresur untuk gangguan kesehatan umum 2 2
Lokasi titik akupresur untuk gangguan kesehatan umum 2 2
 
Kelompok 3 (KERAJAAN TARUMANEGARA).pptx
Kelompok 3 (KERAJAAN TARUMANEGARA).pptxKelompok 3 (KERAJAAN TARUMANEGARA).pptx
Kelompok 3 (KERAJAAN TARUMANEGARA).pptx
 
KERAJAAN BALI SEJARAH KELAS X
KERAJAAN BALI SEJARAH KELAS X KERAJAAN BALI SEJARAH KELAS X
KERAJAAN BALI SEJARAH KELAS X
 
Kerajaan Demak
Kerajaan DemakKerajaan Demak
Kerajaan Demak
 
Makalah kerajaan mataram
Makalah kerajaan mataramMakalah kerajaan mataram
Makalah kerajaan mataram
 
Kerajaan Majapahit
Kerajaan MajapahitKerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit
 
RPP Sejarah kelas X 18-19
RPP Sejarah kelas X 18-19RPP Sejarah kelas X 18-19
RPP Sejarah kelas X 18-19
 
Kerajaan kutai presentasi
Kerajaan kutai presentasiKerajaan kutai presentasi
Kerajaan kutai presentasi
 
Kerajaan mataram islam
Kerajaan mataram islamKerajaan mataram islam
Kerajaan mataram islam
 
Kerajaan Majapahit
Kerajaan MajapahitKerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit
 
Kerajaan Medang
Kerajaan Medang Kerajaan Medang
Kerajaan Medang
 
Kerajaan majapahit
Kerajaan majapahitKerajaan majapahit
Kerajaan majapahit
 
Dinasti isana di Jawa Timur
Dinasti isana di Jawa TimurDinasti isana di Jawa Timur
Dinasti isana di Jawa Timur
 
Purnawarman, raja mendunia
Purnawarman, raja mendunia Purnawarman, raja mendunia
Purnawarman, raja mendunia
 
Resensi novel perang
Resensi novel perangResensi novel perang
Resensi novel perang
 
Presentasi Sejarah SMA kelas X Kerajaan Mataram islam
Presentasi Sejarah SMA kelas X Kerajaan Mataram islamPresentasi Sejarah SMA kelas X Kerajaan Mataram islam
Presentasi Sejarah SMA kelas X Kerajaan Mataram islam
 
Sejarah kerajaan HINDU - BUDDHA di Indonesia
Sejarah kerajaan HINDU - BUDDHA  di Indonesia Sejarah kerajaan HINDU - BUDDHA  di Indonesia
Sejarah kerajaan HINDU - BUDDHA di Indonesia
 

Similar to Baratayuda Perang menuai karma : Buku-2

Banjir darah di tegal kuru
Banjir darah di tegal kuruBanjir darah di tegal kuru
Banjir darah di tegal kuruORCHIDSIGN
 
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)Oki Feri Juniawan
 
Kerajaan pajajaran
Kerajaan pajajaran Kerajaan pajajaran
Kerajaan pajajaran Hulu Kujang
 
Xi ipa 4 kerajaan pajajaran
Xi ipa 4 kerajaan pajajaranXi ipa 4 kerajaan pajajaran
Xi ipa 4 kerajaan pajajaranAtika Fauziyyah
 

Similar to Baratayuda Perang menuai karma : Buku-2 (8)

Baratayuda 1
Baratayuda 1Baratayuda 1
Baratayuda 1
 
Banjir darah di tegal kuru
Banjir darah di tegal kuruBanjir darah di tegal kuru
Banjir darah di tegal kuru
 
Baratayuda 2
Baratayuda 2Baratayuda 2
Baratayuda 2
 
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
 
Kerajaan pajajaran
Kerajaan pajajaran Kerajaan pajajaran
Kerajaan pajajaran
 
Dilema Arjuna
Dilema ArjunaDilema Arjuna
Dilema Arjuna
 
Serat Tripama
Serat TripamaSerat Tripama
Serat Tripama
 
Xi ipa 4 kerajaan pajajaran
Xi ipa 4 kerajaan pajajaranXi ipa 4 kerajaan pajajaran
Xi ipa 4 kerajaan pajajaran
 

More from Pranowo Budi Sulistyo

More from Pranowo Budi Sulistyo (20)

Wayang - Dewa ruci
Wayang - Dewa ruciWayang - Dewa ruci
Wayang - Dewa ruci
 
Wayang - Shinta minulya
Wayang - Shinta minulyaWayang - Shinta minulya
Wayang - Shinta minulya
 
Wayang - Semar kuning
Wayang - Semar kuningWayang - Semar kuning
Wayang - Semar kuning
 
Wayang - Narasoma
Wayang - NarasomaWayang - Narasoma
Wayang - Narasoma
 
Waspada kelainan buang air besar anda
Waspada kelainan buang air besar andaWaspada kelainan buang air besar anda
Waspada kelainan buang air besar anda
 
Tips menghilangkan cegukan
Tips menghilangkan cegukanTips menghilangkan cegukan
Tips menghilangkan cegukan
 
Skinny jeans gaya tapi bahaya
Skinny jeans gaya tapi bahayaSkinny jeans gaya tapi bahaya
Skinny jeans gaya tapi bahaya
 
Sitting is killing you
Sitting is killing youSitting is killing you
Sitting is killing you
 
Pertolongan pertama serangan jantung
Pertolongan pertama serangan jantungPertolongan pertama serangan jantung
Pertolongan pertama serangan jantung
 
Melepas bra hindari kanker payudara
Melepas bra hindari kanker payudaraMelepas bra hindari kanker payudara
Melepas bra hindari kanker payudara
 
Manfaat air putih
Manfaat air putihManfaat air putih
Manfaat air putih
 
Kondisi mengerikan akibat sering merokok
Kondisi mengerikan akibat sering merokokKondisi mengerikan akibat sering merokok
Kondisi mengerikan akibat sering merokok
 
Kista ginjal
Kista ginjalKista ginjal
Kista ginjal
 
Ketika migrain menghadang
Ketika migrain menghadangKetika migrain menghadang
Ketika migrain menghadang
 
Hidung tersumbat tidak selalu flu
Hidung tersumbat tidak selalu fluHidung tersumbat tidak selalu flu
Hidung tersumbat tidak selalu flu
 
Gangguan bipolar
Gangguan bipolarGangguan bipolar
Gangguan bipolar
 
Gagal langsing karena produk diet
Gagal langsing karena produk dietGagal langsing karena produk diet
Gagal langsing karena produk diet
 
Diet tepat penderita asam urat
Diet tepat penderita asam uratDiet tepat penderita asam urat
Diet tepat penderita asam urat
 
Cegah kanker serviks
Cegah kanker serviksCegah kanker serviks
Cegah kanker serviks
 
Cara bijak memilih lemak
Cara bijak memilih lemakCara bijak memilih lemak
Cara bijak memilih lemak
 

Baratayuda Perang menuai karma : Buku-2

  • 1. Kata Pengantar Assalamu’alaikum Wr. Wb. Mungkin sudah banyak yang menulis buku tentang lakon perang Baratayuda yang sudah melegenda itu. Namun cerita yang dipadukan dengan kisah-kisah perang tersebut dalam Pedalangan dari beberapa dalang terkenal di negri ini, mungkin masih sangat jarang. Mas Patikrajadewaku adalah salah satu pengasuh dalam blog indonesiawayang.com (dulu wayangprabu.com) yang pemahaman akan cerita-cerita wayang cukup dalam. Meskipun bukan seorang seniman ataupun penulis, namun dari pengalaman dan pemahaman akan kiprah para dalang senior seperti almarhum Ki Nartosabdho, almarhum Ki Timbul Cermo Manggolo, almarhum Ki Hadi Sugito, almarhum Ki Sugino Siswocarita, Ki Manteb Sudharsono dan dalang-dalang lainnya, beliau dikarunia kelebihan dalam menuangkan cerita wayang seolah kita mendengar alunan suara dari rekaman pagelaran wayang. Kisah perang Baratayudha dalam buku ini, adalah tulisan Mas Patikrajadewaku yang telah dimuat secara serial di wayangprabu.com mulai 24 Juni 2010. Kisah yang sangat menarik dan disajikan dengan renyah sehingga dapat membuat kita terbawa seolah berada dalam arena padang Kurusetra. Melalui beberapa perbaikan penulisan, kami sajikan untuk Anda, khususnya para penggemar wayang dimanapun berada. Mudah-mudahan hal kecil ini dapat berguna bagi kita semua dan merupakan kontribusi nyata bagi upaya pelestarian dan pengembangan budaya wayang di Indonesia. Wassalam Bandung, 28 September 2013 Pranowo Budi Sulistyo indonesiawayang.com
  • 2. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 2 Daftar Isi Kata Pengantar .........................................................................1 Episode 5 : Akhir Perjalanan Sang Jahnawisuta ...................................3 Episode 6 : Rekadaya Durna, Sang Senapati Tua ................................ 12 Episode 7 : Lunaslah Janji Abimanyu.............................................. 23 Episode 8 : Ricuh di Bulupitu ....................................................... 34 Episode 9 : Ricuh juga di Kadilengeng ............................................ 48
  • 3. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 3 Episode 5 : Akhir Perjalanan Sang Jahnawisuta Gb. 15 – Akhir hidup Bisma (versi India) Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada sidang yang digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati Pendawa, Resi Seta. Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada kursi dampar kebesaran yang direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung istana Astina. “Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu !“ Dada Prabu Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa saat kemenangan akan segera datang. Lanjutnya “Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari telah berlangsung. Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit Pendawa yang akan dapat menandingi kesaktian paduka, Eyang!”
  • 4. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 4 “Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa siapapun yang mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang. Pada kenyataannya siapa yang dapat menandingi tokoh sepuh sakti mandraguna seperti Eyang Bisma ?!!” berkata lantang Prabu Duryudana, dengan mulut penuh dalam jamuan yang diselenggarakan malam itu menyambut kemenangan. Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari Negeri Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang dimulai serta, Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta semua yang hadir sepakat, bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan ditangan. Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh 1 Sang Jahnawi Suta menyahut “Ngger Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang harus dilalui. Walaupun banyak orang menganggap, kalau aku sebagai manusia sakti tanpa tanding, tetapi ada pepatah mengatakan, diatas langit masih ada langit. Jalan didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa ada dipundak kedua saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah dapat mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!.” Bisma melanjutkan “Apalagi, dibelakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang penjelmaan Wisnu yang sungguh waskita 2 dalam memberikan pemecahan berbagai masalah. Jadi tetaplah waspada!!” Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang Garuda Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni Prabu Salya di sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala serta Pandita Durna yang sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh serangan. Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit dan dilindungi oleh para raja telukan 3 , dibelakangnya Harya Dursasana siap pada daerah pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan menyusup kedalam. Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu Duryudana tidur mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati dan kenyangnya 1 Sabar, tenang 2 Awas, mampu melihat sesuatu yang samar 3 Taklukan
  • 5. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 5 perut. Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang molek jelita, Dewi Banuwati, yang segera dipondongnya keatas tilam rum. <<< ooo >>> Malam bertambah larut. Dalam malam tak ada yang dapat diceritakan selain sinar rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang temaram mampu membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang bagi pribadi lain akan menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas, sebagian lain menjadi murung. Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar dengan hati dan pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang gembira, suara itu bagaikan nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala pemukim hutan sekeliling Tegal Kurukasetra menggonggong dengan suara panjang membuat bulu roma berdiri, gerombolan liar itu tengah mengendus, kapan kiranya suasana menjadi aman bagi mereka untuk memulai pesta pora. Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak kembali siaga dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut tidak menjadi alasan bagi mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi prajurit linuwih yang mampu melewati hari-hari panjang dan sulit mengatasi musuh hingga saat ini, ternyata nyawa mereka masih tetap mengait pada raga. Bende beri 4 bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan irama pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam menggetarkan dada, berirama senada detak jantung yang mulai terpacu. Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan Randuwatangan atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang ditiru oleh prajurit Astina masih tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah paham dengan apa yang harus dilakukan setelah bertemu dengan Resi Bisma hari kemarin, masih menyimpan Wara Srikandi dibarisan tengah, yang sewaktu-waktu dipanggil untuk mengatasi kroda sang Dewabrata. Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama. Drestajumna, putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak lahir sebagai manusia yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi prajurit trengginas sesuai dengan perawakannya yang langsing sentosa. Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera Arjuna melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan anak panah 4 bêndhe: sejenis tetabuhan, sejenis gong kecil
  • 6. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 6 diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering diakhir musim kemarau panjang. Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh satu sama lain terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut. Gemuruh mengerikan. Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng. Dentangnya memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang semakin membakar semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan bercampur teriakan kesakitan prajurit yang roboh sebagai pecundang. Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di genggaman tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang gerakannya. Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati, membuat gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan dari Setyaki yang sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam membantai musuh dengan gada Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap itu. Tak terhitung banyaknya korban prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana seperti Durmuka, Citrawarman, Kanabayu, Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi. Bahkan kuda dan gajah tunggangan bergelimpangan. Juga kereta perang yang remuk tersabet gada kedua satria yang mengamuk dengan kekuatan tenaga yang menakjubkan. Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi Krepa, Adipati Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap kanan mengungsi dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang Resi Bisma. Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala dikaitkan pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju serangan. Bahkan Bima dibidik dengan panah sakti Cucukdandang yang mengakhiri krida Resi Seta sebagai senapati Pandawa. Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah sakti itu tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya serangan bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan. Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan. “Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk menyumbangkan jasa bagi kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar!” Prabu Kresna melambaikan tangannya kearah Wara Srikandi untuk berdiri lebih mendekat. “Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?!” Srikandi maju mendekat dengan segenap pertanyaan bergulung dibenaknya.
  • 7. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 7 “Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma menuju peristirahatannya yang terakhir” Prabu Kresna mengawali penjelasannya. “Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma . . .?! Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu untuk membuat kulit Eyang Bisma tergores sedikitpun..!” “Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya. . . . . !” Tersenyum Prabu Kresna melihat kebimbangan dalam hati Wara Srikandi. Gb. 16 – Wara Srikandi Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah diceritakan oleh suaminya, Arjuna, “Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan cerita asmara tak sampai dari Dewi Amba ketika Eyang Bisma masih bernama Dewabrata ?!” “Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang diharapkan dapat menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang Dewabrata?” “Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu !” Prabu Kresna masih sambil tertawa mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra.
  • 8. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 8 Tersipu Wara Srikandi dengan pujian yang dilontarkan oleh kakak iparnya. Hatinya menjadi sumringah oleh harapan dapat mengatasi kesulitan yang tengah dialami oleh keluarga suaminya, Arjuna. Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera dipegang lengan istrinya dan mengajaknya dengan lembut “Ayolah istriku, jangan lagi membuang waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh amukan Eyang Bisma.” Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang. <<< ooo >>> Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk menjemput kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi, Sarotama, pinjaman sang suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta Dewi Amba yang terhalang oleh hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti dengan cinta abadi di alam kelanggengan. Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran tersenyum. Dalam hatinya mengatakan “Inilah saatnya bagiku untuk bertemu dengan cinta sejatiku Dewi Amba sekaligus mengakhiri do’a ibundaku”. Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu dimintakan kepada Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang berumur panjang dan tidak mudah dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai pengganti atas pengorbanannya tidak mengusik keturunan ayahnya dengan Dewi Durgandini. Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru sakti Rama Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru sambil dengan diam-diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama berbulan- bulan tanpa henti. Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Dalam benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-gambar yang diputar ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan peristiwa perjalanan hidupnya itu baru saja terjadi. Ketika membuka matanya kembali, didepan matanya Wara Srikandi dengan senyum mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas anak panah. Berdebar gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi bagai senyum kekasih hatinya, Dewi Amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang Dewabrata bagaikan
  • 9. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 9 dilolosi otot bebayu dalam raganya. Memang demikian, ketika panah Sarutama yang tergenggam ditangan Srikandi, seketika perbawa Dewi Amba seakan melekat pada raganya. Tiada salahlah pandangan Resi Bisma saat ini. Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara Srikandi, maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh Dewi Amba. Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata panah Sang Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus jantungnya, rebah seketika di tanah berdebu Padang Kurusetra. Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana dan Prabu Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik adik mereka masing-masing, menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang merah darah yang membuncah. Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak, karena kedua raja ini memangku bersama raga pepunden mereka. <<< ooo >>> Gb. 17 – Resi Bisma menanti ajal dikelilingi Pandawa dan Kurawa “Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini. Lega rasa dalam dada ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan menyongsong raga rapuh, melupakan segala permusuhan dan peperangan menjadi terhenti” tersendat dan gemetar suara Resi Bisma kepada kedua cucu trah Barata.
  • 10. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 10 “Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong aku dan mendukung ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak terhingga kepadaku”. Sambil sesekai nafasnya tersengal ia melanjutkan “Kalian berdua ada pada jalanmu masing-masing, teruskanlah peperangan ini, untuk membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa ini”. Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing-masing. Seakan tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat. “Lepaskan sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring”. Akhirnya mereka tersadar atas permintaan Resi Bisma kali ini. “Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu !!” perintah Prabu Duryudana gemetar. Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih ditangannya. Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata “Bukan itu ngger yang aku mau . . . Aku menghendaki bantal layaknya seorang prajurit di medan perang”. Kali ini Werkudara yang juga berdiri disisi raga eyangnya segera melompat tanpa diperintah. Ketika kembali ditangannya tergenggan beberapa potong gada patah dan pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala sang resi. Tersenyum Bisma merasa puas “Nah beginilah seharusnya bantal seorang prajurit . . . .!” Melotot jengkel Prabu Duryudana kepada Werkudara dengan pandangan kurang senang. Nafas satu demi satu mengalir dari hidung sang Resi Bisma, sebenar-bentar wajahnya menyeringai menahan sakit didadanya. Darah yang masih mengalir dari dadanya membuat cairan tubuhnya berkurang. Sekarang yang terasa adalah haus yang tak tertahankan. Terpatah-patah perintah Sang Resi kepada cucu-cucunya “Kerongkonganku kering, tolong aku diberi minum walau hanya setetes”. Melompat Prabu Duryudana tak hendak tertinggal langkah. Segera kembali kehadapan sang Senapati sepuh yang sedang meregang nyawa, dibawanya secawan anggur merah segar. “Eyang pasti akan hilang rasa hausnya kalau mau merasakan anggur mewah kerajaan”.
  • 11. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 11 Bangga Prabu Duryudana bersujud dihadapan eyangnya hendak meneteskan minuman. Sekali lagi kekecewaan Duryudana terpancar dari wajahnya ketika Resi Bisma kembali menolak pemberiannya. Habis kesabaran dua kali ditolak pemberiannya, dengan sugal 5 ia memerintahkan kepada adik-adiknya untuk meninggalkan raga sang resi dengan suara lantang, “Dursasana, Kartamarma, Citraksa dan kalian semua!! Tinggalkan orang tua yang sedang sekarat itu!! Tidak ada guna lagi kalian menunggu hingga ajalnya tiba.! Ayo semua kembali ke pakuwon masing masing . . . !” Prabu Kresna yang sedari tadi juga berada di tempat kejadian, segera membisikan sesuatu kepada Raden Arjuna, “Yayi, celupkan ujung anak panahmu Pasupati ke wadah kecil berisi air minum kuda perang, berikan kepada Eyangmu”. Tanpa sepatah kata bantahan, Arjuna mematuhi perintah kakak iparnya. Dipersembahkan air minum itu kepada Resi Bisma yang tersenyum meneguk air pemberian cucunya itu. Senyum untuk terakhir kali. Kidung layu-layu 6 berkumandang. Sementara itu, taburan bunga sorga para bidadari dari langit, mengalir bagaikan banjaran sari wewangian, mengantar kepergian satria pinandita sakti berhati bersih. Ia telah menjalani hidup dengan cara brahmacari, tidak akan menyentuh perempuan, demi kebahagiaan ayah dan ibunda tercintanya. Perjalanan hidup yang kontradiktif dengan jiwa yang bersemayam dalam raga yang berumur panjang. Sekarang segalanya telah berakhir dengan senyum. Bergandeng tangan dengan kekasih yang sangat memujanya selama ini, kekasih yang dengan sabar menanti kapan kiranya dapat bersatu tanpa halangan dari hukum dunia yang selama ini mengungkung mereka berdua, Dewi Amba dan Raden Dewabrata, hingga mereka berdua tak mampu bersatu didunia. Sekaranglah saat bahagia itu menjelang. <<< ooo >>> 5 Sugal = bengis 6 Berita kematian, kesedihan
  • 12. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 12 Episode 6 : Rekadaya Durna, Sang Senapati Tua Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam pandangan Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan kekhawatiran akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat Duryudana duduk tanpa berkata sepatahpun. Sebentar-sebentar mengelus dada, sebentar-sebentar memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap-usap keningnya yang berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah lebih jauh lagi, ia memaki-maki dewa didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat adil terhadapnya. Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya. “Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh bila terserang musuh”. Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan, “Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar, kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas 7 dan tak terhitung raja-raja serba 7 Pada nama nama ini, diceritakan, saat diadakan penimbangan bobot antara Pandawa dan Kurawa dengan tujuan siapa yang lebih berat akan diberi kekuasaan memerintah Negara Astina, atas akal-akalan Sangkuni. Sangkuni berpikir tidaklah Kurawa yang berjumlah seratus akan lebih ringan dari Pandawa yang hanya lima orang. Ketika para Kurawa sudah naik semua ke batang traju, semacam timbangan dengan sebatang gelagar panjang dengan satu poros ditengahnya kemudian Bondan Paksajandu, Werkudara muda, naik dengan gerakan tiba tiba sehingga banyak Kurawa yang terpental jauh keseberang lautan. Termasuk didalamnya nama-nama ini, yang akhirnya mereka berhasil di pengembaraannya dan menjadi raja disana.
  • 13. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 13 mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu. Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni, manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang berdirinya kekuatan Astina?” Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan parampara yang ada di balairung. Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air mukanya yang menjadi cerah. Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar Gb. 18 – Pandita Durna
  • 14. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 14 “Rama Prabu Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma, seakan-akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”. Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia melanjutkan “Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa ternyata disekelilingku masih banyak agul-agul sakti, terasa terang pikirku, terasa lapang dadaku !. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan semangat anakmu ini”. “Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk saja. Semua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”. Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi senapati pengganti. “Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa” Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri-seri. “Inilah yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kejayaan keluarga Kurawa”. “Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar. “Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”. “Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu-satunya adalah bagaimana kita melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk kemenangan kita”.
  • 15. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 15 Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan. “Sekarang bagaimana caranya?” kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya “Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana, Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”. Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan gelar?” Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidakpuasan yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini. ”Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari !” sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya. Wajah-wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ? Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar Gardapati mengajukan pertanyaan. “Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam. Pasti keduanya akan segera tewas”. <<< ooo >>>
  • 16. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 16 Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari. Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka. Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga menyebabkan tewasnya Resi Bisma. Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa. Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada Prabu Puntadewa. “Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini ?” “Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih baik kita mencebur sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta melanjutkan. ”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka “. “Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”. “Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai mengatur kekuatan langkah.
  • 17. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 17 Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya pertahankan” “Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”.Prabu Kresna mengingatkan. Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh. <<< ooo >>> Gb. 19 – Drestajumna (gaya Solo) Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak prajurit yang
  • 18. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 18 bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari-hari kemarin. Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna. Tandangnya trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran. Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana. Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuat terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura. Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara! Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar sakti. Kejar aku..!!” Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”. Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya menuju ketempat yang ditujunya. Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di Kurusetra. Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta
  • 19. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 19 Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa. Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit Gb. 20 – Prabu Gardapati “Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian tunggang langgang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah.
  • 20. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 20 Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu Kresna. “Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap Drestajumna memelas. “Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini” sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati. “Lho . . ! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna. Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah “Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah diberikan”. Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan, kakangmas”. “Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai dengan keadaan saat ini” Kresna membuka nalar Drestajumna. Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?” Sambar Drestajumna. “Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan <<< ooo >>> Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya sedang duduk bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu menunggui
  • 21. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 21 kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya. Disamping kiri kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi lain Dewi Utari yang tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang suami. “Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa gerangan yang akan terjadi” demikian keluh Utari kepada suaminya. “Utari, jangan dirasa-rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu. Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang” Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari. “Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda-tanda aku juga mau hamil kakang” Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan garis keturunan, eyang. “Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga mereka segera dikawinkan. Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati. “Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra”. Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik. Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka. Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru.
  • 22. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 22 “Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”. Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada istrimya, namun tangis keduanya malah bertambah-tambah. Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami. Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu. Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya. <<< ooo >>>
  • 23. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 23 Episode 7 : Lunaslah Janji Abimanyu Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna. “Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !” sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya. Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya, “Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua-orang tua kami” “Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru” Perintah sang uwa “Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk ditempatkan pada garda depan” Pinta Abimanyu “Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna. “Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !” Demikian putusan Sang Senapati. Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar-kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi. Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki penunggangnya untuk
  • 24. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 24 menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara, Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas. Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu. Walaupun tidak mempan, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan. Gb. 21 – Bambang Sumitra (gaya Solo) Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala.
  • 25. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 25 Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah. Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna. Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara. Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa. Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing-masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah bagai dipedayai. Kelihatanlah kekuatan masing-masing pihak, tak lama kemudian. Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya. Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.
  • 26. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 26 Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi. Gb. 22 – Dewi Utari Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan sudah terjadi. “Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !” kata-kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.
  • 27. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 27 Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia mengatakan, “Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”. Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal-akalannya, “Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?” “Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!” Sangkuni mengamini. “Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus-teruskan, maka akan kalah kita. Minta pendapatnya nak angger Adipati !” Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu. “Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati Basukarna sekenanya. “Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini” Durna mulai membuka strategi. “Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut. “Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita” Pandita Durna menjelaskan strateginya. “Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing” Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang. Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.
  • 28. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 28 Gb. 23 – Siti Sundari Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu: “Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan. “Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan” Bangga Abimanyu. Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya
  • 29. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 29 punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari lukanya. Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan. “Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi” Tutur Adipati Karna. Terkekeh-kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan. Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju menyongsong serangan. “Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”. Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya masih tetap tegar. Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi-tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu. Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti halnya untaian melati menghiasi pinggang. Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan
  • 30. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 30 kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek 8 ! Gb. 24 – Lesmana Mandrakumara Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun. 8 Gending pengiring penganten pada pesta perkawinan
  • 31. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 31 Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya. Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarojakusuma, putra Prabu Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara. Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa. Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya. “E . . e . . e . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”. Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain-main, ia maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya. Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir, sang prajurit muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya. Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka masing masing.
  • 32. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 32 Gb. 25 – Abimanyu Ranjap Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi. Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu.
  • 33. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 33 Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma negara yang gugur, di lepas siang . Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. <<< ooo >>>
  • 34. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 34 Episode 8 : Ricuh di Bulupitu Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing jauh keluar arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari senapati pengatur perang, Drestajumna. Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria menghindar dari tantangan musuh. Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi perasaan bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan. Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi sebetulnya tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding itu. Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan Wersaya tanah yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah menjadi pasir lumpur yang menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin mereka tenggelam. Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam. “Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara-saudaramu, bicaralah kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul ayahmu ke Candradimuka menggantikannya jadi kerak neraka itu”. Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah itu, ketika atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana menaiki lembu Andini, tunggangan Batara Guru. “Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan mengenangmu sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna menyahut dengan gerakan hati-hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur makin menyeretnya tenggelam. Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan batinnya. Perjuangan menempuh kesulitan dalam alur hidupnya telah menjadikannya kokoh luar dalam. Maka ketika sedang terjepit seperti ini tak lah ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol dikerahkan untuk mendorongnya keluar dari seretan lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil melompat keluar dari pasir berlumpur maka
  • 35. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 35 Gardapati yang lengah segera digebuk dengan Gada Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak Kurawa. Gb. 26 – Werkudara Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat. Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan meminjam tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan sengit kembali terjadi, namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh diatas Wersaya. Dengan tidak membuang waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan tewasnya Wersaya diujung keris Kyai Kalanadah.
  • 36. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 36 Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari induknya, dan mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan menemukan suasana duka mendalam yang terjadi di pesanggrahan Randuwatangan. Gb. 27 – Arjuna Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah meninggalkan peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia. Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu Kresna, duduk dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan air mata bagai hendak terkuras dari kedua matanya. Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga suami istri belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah mendadak seperti dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore seperti mendung yang menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu.
  • 37. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 37 <<< ooo >>> Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang menjelang sore itu karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan keheningan itu menjadikannya helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu-satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar mandir, kemudian duduk kembali. Sebentar-sebentar ia mengelus dada dan bergumam dengan suara tidak jelas. Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang-orang disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah gugur, maka tiada satupun yang berani membuka mulutnya. Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga. Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana-mana dengan kenangan terhadap pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya menjadi bagai lumpuh. Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil nama pamannya. “Paman Harya Sangkuni!” Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan kejadian yang telah berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan terhadap dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan peperangan. Namun ditegarkan hatinya ia menjawab. “Daulat sinuwun memanggil hamba “ “Ini siang atau malam?” Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak dada Sangkuni terasa terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya. “Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan mempertanyakan waktu, ini siang atau malam, “ Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana mengeluarkan isi pikirannya.
  • 38. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 38 “Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para Kurawa, Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang manusia adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya bila bukan itu yang sedang terjadi, yang salah bukan para dewa.” “Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang menyelonong untuk meminta kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya adalah supaya membuat gelap jagad saya, seperti yang disandang sekarang ini”. Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan. “Anak lelaki yang hanya satu, satria Sarujabinangun, Lesmana Mandrakumara yang siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah selesai Baratayuda Jayabinangun akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati mbahudenda 9 di dunia, di negara Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi sebelumnya, cucu andika, gugur dalam peperangan”. “Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan kiri”. Sejenak sang Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia sampaikan berjejalan untuk segera dilepaskan dari sesak didadanya. “Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia diberi wenang mepunyai cita-cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada yang berusaha melewati cara dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya dengan cara laku tapa. Diumpamakan mereka tidak takut berjalan dalam lelayaran luasnya samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi kemuliaan yang hanya untuk kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup. Buatku, yang membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti keturunanku, supaya besok aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan cara menang dalam perang Baratayuda”. Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba-tiba menjadi ketus. “Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik! “Yang terjadi adalah, para orang tua hanya yang ikut mengayom dalam kemuliaanku diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang tidak ikut dalam repotnya penandang ! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya ngayom kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa memperoleh perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya mereka mengerti bahwa mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan perang 9 cakrawati: jagad bundêr, bau-dhêndha: kuwasa bangêt.
  • 39. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 39 dalam Baratayuda. Tetapi semuanya tidak ada nyatanya, semua hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang dirembug siang malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau tidak dilakukan tidaklah ada nyatanya !’ “Apakah harus saya sendiri yang melangkah kedalam peperangan menyerang para Pandawa”. Gb. 28 – Prabu Duryudana Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya dialirkan dihadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu yang sedang hadir dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk diam. Mereka terlihat memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan segala unek unek yang terpendam didadanya. Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali melingkup sidang, ia membuka mulutnya.
  • 40. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 40 “Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna. Saya yang sanggup menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”. Krepa memperkenalkan kembali keberadaannya dalam sidang. Setelah diawasinya semua yang menghadap di Bulupitu, ia melanjutkan. “Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya dengan persaudaraan ku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita bernama Kerpi. Karena kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana. Karena paduka menjadikannya sebagai penasihat Kurawa, saya juga tidak akan ketinggalan. Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi datang ke Astina karena terdorong oleh gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba tidaklah terpisah dari saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang terjadi, ada kalanya bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan. Ikut memperlindungi raga saya yang tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina telah menjadi glagah alang alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang Baratayda Jaya Binangun”. Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali Krepa dengan percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya. “Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau muda, saya terkodrat jadi lelaki. Sekali lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah berbekal keberanian. Dan bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan sinuwun menanyakan”. Krepa memancing. “Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”. Penasaran, Prabu Duryudana menyahut. “Bicaralah Krepa, akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan dengan telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”. Mendapat angin, Krepa makin percaya diri. “Sukurlah, apakah sebabnya bila saya berbekal keberanian. Berapa lama manusia hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya diumpamakan cuma mampir minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa memilih negara yang lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Tetapi memang dari awal hamba sudah memilihnya, walaupun menjadi gagang keringpun akan aku lakukan”.
  • 41. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 41 “Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan sepenuh hati tak akan memperoleh nama harum, namun para orang yang sebaliknya, mengabdi dengan setengah hati, itu adalah terserah mereka sendiri”. “Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa raga dari atas pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”. “Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk membuktikan, sebab perang Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu orang yang telah didapuk menjadi pengatur perang”. Gb. 29 – Resi Krepa Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu Duryudana memotong. “Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya kurang tepat?!”. Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar.
  • 42. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 42 “Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan hitung hitungan waktu, kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi karena saya hanya ikut merasakan kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar? Karena saya mengabdi ke Astina belumlah selama yang lain!”. “Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih lama dan yang juga mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya”. “Maksud paman Krepa?” Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan jumawa Krepa memandangnya dengan sedikit memancing. Kerpa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya, “Bibit disini ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut orang tuanya, bebetnya, keadaannya hanyalah orang biasa , sekarang bobotnya mempunyai jabatan tinggi karena dalam jabatannya ia adalah telah diberi gelar senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam menata negara. Tidak kurang kurang paduka telah memberkatinaya setinggi langit, dan meluberinya segala kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut namanya”. “Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh karena kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka sinuwun. Lagi pula dia sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya dialah seseorang turun dewa yang memberi kecerahan siang”. “Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu hamba Lesmana Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya berdiam diri. Tidaklah ia memberikan pemecahan masalah yang membuat beban yang paduka sandang menjadi ringan. Orang itu hanya membutakan mata, menulikan terlinga. Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya adalah condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan kepada teman, tetapi condongnya adalah mengayomi lawan”. “Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya adalah masih saudara tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali sekali menindak orang yang bersalah. Sekali sekali hendaknya sinuwun menindak orang yang membuat kekuatan Kurawa menjadi ringkih!”. Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna. Ia tidak syak lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa Krepa. Dibiarkannya ia mengoceh dihadapan adik iparnya.
  • 43. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 43 Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana, menjadi khawatir dengan kata kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan suasana. “Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur berkobar. “Mengapa diumpamakan begitu?” Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan keadaan yang terjadi mempertanyakan. “Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga ikut duduk bersama sinuwun”. Kemudian sambung Durna memohon. “Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara dengan adik ipar saya resi Krapa”. “Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat persatuan Kurawa silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana. “Krapa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi jangan hendaknya untuk meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara, tetapi kata katamu hendaknya membuat dingin suasana. Berkatalah dengan dasar air kesabaran”. Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya. Yang dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan. “Kalau api yang kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman. Kalau yang terbakar hanya sebagian saja tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar adalah seluruh keluarga besar, merambat kepada para pembesar, tidak urung akan merambat kepada semua rakyat!” “Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu menjadi perhatian para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana para pejabat berlaku. Para pejabat seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil. Semua harus bisa menjadi contoh!” “Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah Krapa! Kamu datang ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa. Tetapi aku yang membawa. Datang ke Astina kamu diberi jabatan sebagai penasihat. Disini aku mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi hendaknya kamu cabut. Sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi! Karena itu jangan biasakan memanaskan suasana, karena disini suasananya sudah terlanjur menjadi makin panas !”.
  • 44. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 44 “Sumbanglah para Kurawa dengan ide-ide yang bermanfaat agar semua menjadi tenteram sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!” Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang dikenal berhati batu itu. “Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang melangkah di samudra pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap menemukan emas sebakul, namun yang diharap adalah setetes air pengobat dahaga.” Prabu Duryudana menyahut mengamini. Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan tinggi hati. “Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata-kata yang telah aku sampaikan aku cabut kembali maka betapa malunya aku”. “Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti halnya hamba melepaskan anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak panah tadi”. Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai batas ledakan didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana. “Mohon maaf yayi prabu Duryudana”. Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu Duryudana malah berkata dengan nada memelas. “Kakang Prabu kami minta pengayoman” “Apa dasarnya”. Jawab Karna. “Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”. Kembali Duryudana berusaha meredam kemarahan kakak iparnya. “Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud memecah barang yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila kemarahan yang terpendam ini tidak tersalurkan dalam ledakan didada, maka tindakan yang aku lakukan mejadi ngawur. Tidak aku salahkan bila sementara orang yang tega memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti ini”. Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan.
  • 45. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 45 Kaget setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi kesempatan membela diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur. Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka Kaladete dari warangka, tanpa ragu dipotong leher Krepa. Tewas seketika. 10 Geger para Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu. Semua tidak menyangka kejadian yang sangat cepat akan membawa korban. Gb. 30 – Aswatama 10 Catatan: Versi lain, menyebutkan Krepa tidak dibunuh Adipati Karna, namun hanya diusir Prabu Duryudana bersamaan dengan Aswatama.
  • 46. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 46 Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita Durna Kumbayana. dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang paman Arya Krepa. Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia melompat mendekati Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan menggelundungnya kepala orang pandir yang nyinyir menyindir dirinya. Aswatama memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai dipukul dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun-ubun. Merah menyala dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan sudut bibir yang bergetar. Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga wora wari. “Karna bila kamu memang lelaki jantan ini Aswatama yang akan sanggup berhadapan dengan saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman Krepa dengan tidak memberi kesempatan membela diri”. Berdiri Aswatama dengan berkacak pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya. Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama. “Heh Aswatama! Kamu anak Kumbayana kan? Anak dari guru para Pandawa dan Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu sebagai orang sakti keturunan bidadari selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku susulkan kamu kepada pamanmu yang kurang ajar itu!” Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang dibakar kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang menyusul keluar Adipati Karna telah sampai dipinggir arena. Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna sedangkan Pandita Durna memegangi anaknya. Aswatama. “Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu Duryudana. Kamu telah membuat malu bapakmu!” Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan sembah. “Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan hamba menolaknya”. “Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari pandangan mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali sekali mendekat, bila tidak aku panggil!” Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai dan wajah menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata bapaknya yang berkaca kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati remuk.
  • 47. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 47 Aswatama telah kehilangan paman kesayangannya yang mengasuhnya dengan rasa sayang bagai seorang ayah kandung, dan kehilangan kepercayaan sebagai seorang prajurit negara. <<< ooo >>>
  • 48. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 48 Episode 9 : Ricuh juga di Kadilengeng Diceritakan, yang ada didalam taman sari Astina. Taman yang bernama Kadilengeng. Yang tengah duduk dibawah pohon Nagasari, duduk diatas batu yang tertata rapi, itulah prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya, yang bernama Dyah Banuwati atau Banowati. Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada cacatnya. Kulit kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati. Bila berbicara ceriwis, namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan senyum bibirnya, menampakkan aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita yang pandai memadu padan busananya, maka tiadalah aneh, bila ia selalu menjadi buah bibir. Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun banyak yang terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia hingga kinipun, sang Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang rambutnya ketika tertiup angin bagai melambai-lambai merayu. Dadanya yang terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat akan terpesona karena Sang Dewi adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala jejamuan yang menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah setengah umur, namun tetap, kecantikannya bagai berebut dengan sinar rembulan. Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang Baratayuda Jayabinangun. Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang suami. Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia menghaturkan sembah sebelumnya, kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu. “Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra disambutnya sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum sandiwara, karena selamanya sang dewi tak kan pernah mencintai Prabu Duryudana. “Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram sejuknya air pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya menghaturkan sembah. “Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti.
  • 49. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 49 “Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku. Ketika aku melangkah ke peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu tertimbun dihatiku”. Gb. 31 – Banowati Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa rindunya. Bila perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di hari-hari kemarin yang melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu selama ini adalah bayangan istri tercintanya. Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis kepadanya. Tetapi sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda bercengkerama dengan Permadi, Arjuna muda, membekas dalam dihatinya. Sehingga kawin paksa yang terjadi dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi menjadikan rasa penasaran yang
  • 50. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 50 tak kunjung terlampiaskan dan membuahkan sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan. “Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari tigapuluh tahun dan sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu dimunculkan!” Tukas sang dewi. “Ya, terus terang saja . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam dadaku”. Jawab Duryudana terus terang. Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan. “Aku hendak menanyakan beberapa hal. Pertama, sejak aku meninggalakan puraya agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang ada di Kedaton ini ?”. “Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan pekerjaanya”.Banuwati menjawab singkat. “Sukurlah . Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?” Pertanyaan basa- basi terlontar dari mulut Prabu Duryudana. “Tetep sehat-sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba, pastilah tidak tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada ketenteraman batin hamba, sinuwun”. Jawaban basa-basi membalas pertanyaan suaminya. “Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya. “Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?” Tanya Dewi Banuwati ketika sang Prabu terdiam sejenak. “Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan aku sendiri, telah kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !” Ragu Prabu Duryudana hendak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian mohon dibuat terang saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung perumpamaan seperti itu ?” “Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan mengatakan kepadamu. Karana dalam hitungan, jangan-jangan setelah aku mengatakan berita ini kepadamu, jangan sampai kanjeng ratu menjadi sakit bahkan meninggal. Kalau hal ini yang terjadi lebih baik aku yang menggantikannmu. . . .” Prabu Duryudana terdiam. Demikian juga istrinya yang makin penasaran, namun tetap memberikan waktu bagi suaminya. Dengan lirih akhirnya coba memulai dengan cerita yang hendak dipanjang-panjangkannya.
  • 51. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 51 “Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan anakmu yang dikepung wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat. Tetapi apa sebabnya, Lesmana yang selalu dalam pandangan mataku. Tanpa ijin dariku, ia maju ke medan pertempuran” Kemudian Prabu Duryudana terdiam lagi. “Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega membunuh Lesmana, terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega terhadap “anunya” sendiri” ! Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai-sampai ia menyerempet menyebut nama selingkuhannya. “Aku tidak mengerti” Pura pura tak mengerti Duryudana menjawab dengan tidak senang. “Anunya itu, artinya keponakannya sendiri” Banuwati berkilah sekenanya. Pikirnya, diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia mengetahui benar, bahwa Duryudana adalah tipe suami takut istri. “Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan Arjuna” Pelahan Duryudana memberi penjelasan “Lalu siapa ?” Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu. “Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di peperangan ia mendekati Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop Ludira. Namun ia kalah cepat, ia terkena pusaka Abimanyu. Hari itu anakmu gugur di medan peperangan !!”. Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget atau jatuh pingsan, atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa yang terjadi, ia cuma memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah sejenak kemudian ia menyalahkan anak dan suaminya. “Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya begitulah jadinya !”. Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia bergumam “Dikabari anaknya mati bukannya sedih, susah, malah tidak kaget sama sekali . . . . .”. “Apakah susah dan sedih harus dipamerkan ? Kejadian seperti itu bukan salah Lesmana tetapi salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan!” Jawab Banuwati ketus. “Salahku ada dimana?” Dikerasi istrinya, Duryudana melembek.
  • 52. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 52 “Paduka itu kurang waspada sinuwun”, kali ini ia menyalahkan suaminya. “Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang, selain harus menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas keselamatan semua, tanggung jawab ada pada pundakku. Dan aku tidak menyangka, bahwa ia berani- beraninya maju ke peperangan !”. Ia memberikan alasan. “Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ” Kembali Banuwati menyalahkan anaknya. “Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini. “Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa ?” Kembali Banuwati mempertanyakan hal mengapa ia harus menyesal. “Bila ia tunduk dan patuh kepada orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal. Hidupnya Lesmana kebanyakan menambah nambah rasa malu, tak ada lain !”. Kekesalan Banuwati mulai mengungkit-ungkit peristiwa lama. “Berapa kali ia gagal menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak memalukan orang tua…. ? Jadi anak kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya ?!” Tak mau berlarut-larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan perhatian. “Tetapi ada sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang melebihi kebanggaan itu. Matinya juga membawa kematian si Abimanyu !”. Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah dengan peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu kematian Abimanyu malah menangis tersedu-sedu. Maka, setengah menggumam, ia menumpahkan rasa herannya. “Aneh sekali, aneh sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati, marah- marah kepadaku, menyalahkan Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas, kamu malah menangis sesenggrukan….. !” Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana, Banuwati menjawab disela-sela sedunya. “Kalau Lesmana mati kan hanya saya dan paduka yang bersedih. Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak orang yang ikut merasakan sedihnya. Seperti Arjuna, aku membayangkan betapa ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua adalah Wara Subadra, ia telah kehilangan anak nya yang tunggal, belum lagi istri-
  • 53. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 53 istrinya Siti Sundari dan Utari. Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana rasanya dia.” Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu bukan perkaramu !. Abimanyu isrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !! “Ternyata rasa cintamu itu telah berpaling . . . . ! “ Kali ini Prabu Duryudana yang marah-marah,“Siang malam tak ada gunanya aku menyellimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar, makan aku ladeni minum aku bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai jimat. Tetapi apa yang terjadi, apakah dasarnya kamu memprihatinkan musuh ?”. “Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati. “Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana menyahut sekenanya. “Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun yang terjadi justru sang Dewi yang meneruskan kalimatnya. Makin tak senang , ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?” “Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” yang diajak berdebat malah makin galak. “Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah saudara tuanya. Kalau manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu gurunya, itupun Pandawa berani membunuhnya !”. “Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya satria tiga, Seta, Utara dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi tumpangan ketika ia telah selesai menjalankan pembuangannya selama duabelas tahun, menjadi pengemis sudra. Dihidupi oleh orang Wirata, tetapi akhirnya ia membalasnya dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbuat baik. Itulah tandanya bahwa ia adalah orang-orang yang terbuang sebenar-benarnya !” “Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan tuannya !”. Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri. “Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali ?” Disalahkan para Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi Banuwati.
  • 54. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 54 Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi aku tidak mau kau kalahkan !” beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri mendekati jendela. Panas hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya sejuk angin. “Hamba tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan telah kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab Banuwati dengan nada tinggi. “Memang begitu !” kembali ketus jawaban Duryudana. “Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri !” Jawab Banuwati terus terang. “Perkara yang mana ?” kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang tajam. Makin meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani menyampaikan rasa yang tersimpan dalam di lubuk hatinya. “Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah sebuah rahasia. Sudah lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak kuat lagi menahannya. Saya mengatakannya sekarang juga !”. “Tunggu apa lagi, katakan !” Duryudana mempersilakan istrinya kembali membuka isi hatinya. “Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau dalam lubuk hati paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang bertahta di Astina itu Pandawa atau Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu menagih haknya ?. Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu membuat negara dari keringatnya sendiri, Negara Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun tanah Astina. Tapi mereka selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan dalih permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa diusir paksa, sehingga mereka menjadi manusia hutan selama bertahun tahun. Jadi yang tipis rasa kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa ?!” Bagai bendungan yang jebol, segala unek-unek ditumpahkan dihadapan suaminya. Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang untuk terus terang. “Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! Tetapi aku juga peduli !!” jawab Duryudana tandas. “Silakan sinuwun mengatakan !” kali ini Sang Dewi yang menantang.
  • 55. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 55 “Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun yang namanya permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”. “Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!” Saling bantah makin seru. “Mereeka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama mereka bergaul dengan segala macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya disampaikan, berharap ia tak diserang lagi. Namun kembali ia dicecar pertanyaan. “Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai sebelum itu ?” “Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina !” Jengkel Prabu Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut. “Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak hendak memuntahkannya. Sinuwun kalaupun kata-kataku sebagai istri, sebagai belahan jiwa, tak ada satupun yang hendak diperhatikan, bila demikian halnya, silakan hamba dikembalikan saja ke Mandaraka”. Tak lagi hendak berlarut larut bertengkar, sang Dewi menantang. “Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan istrinya.. “Daripada aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka paduka, sekarang juga lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !.” jawab senang Banuwati “Kamu menantang ?!” gertak Prabu Duryudana. “Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !” Berbalik badan Banuwati hendak pergi dari hadapan suaminya. Tetapi langkahnya tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa Prabu Duryudana dilengannya. Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia mengendurkan pegangannya. Katanya memelas. “Mau kemana ?” “Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya kembali ke Mandaraka ?!” masih dengan setengah marah dan nada merajuk, Banuwati bertanya balik.
  • 56. Baratayuda – indonesiawayang.com Hlm 56 Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada di istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah kenyataannya, di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta Prabu Duryudana mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan keberadaan istri yang cantik molek itu. Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah mencengkeram Sang Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan cengkeraman, tangan sentosa Duryudana . . . . . <<< ooo >>> (Bersambung)