1. Raja Pamungkas
Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda. /
Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. / Prang ka Rajagaluh, él éh na
Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang
ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka Jawakapala, él éh na JawakapaJa.
Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. / Kitu, kawisésa ku
Demak deung ti Cirebon, pun.
Didalam akhir naskah, penulis Carita Parahyangan memberitakan tentang raja terakhir Pajajaran dan
bagaimana proses peperangan dilakukan sehingga seluruh wilayah Pakuan menjadi “Kawisesa oleh
Demak dan Cirebon”.
Kehancuran Pajajaran diakibatkan dua faktor, yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern disebabkan
oleh perilaku raja yang tidak peduli terhadap kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat, sedangkan faktor
eksteern disebabkan adanya serangan musuh yang bertubi-tubi, terutama yang dilakukan oleh pasukan
gabungan Banten dan Cirebon. Faktor ini menimbulkan rasa frustrasi dan ketakutan rakyat. Itulah
sebenarnya yang hendak di gambarkan oleh penulis Carita Parahyangan.
Penulis Carita Parahyangan mengupas tentang proses dialetika suatu kondisi masyarakat, sekalipun
diuraikan secara sederhana namun bagi para pemikir nampak adanya pemikiran dialektis tentang
bagaimana kehancuran suatu masyarakat itu terjadi.
Masalah Intern Pakuan
Penulis Carita Parahyang menguraikan, bahwa : jika suatu masa tidak mengalami kejahatan dan
kemaksiatan maka manusia akan berada di dalam masa yang sejahtera. Akan tetapi justru sebaliknya,
masa kaliyuga sudah sangat terasakan ketika masa Ratu Sakti, terutama ketika kejahatan dan kemaksiatan
dianggap biasa dan dilindungi penguasa, sehingga Pajajaran hanya tinggal menunggu masa Pralaya
(kehancuran, kiamat). Tentang analisa ini secara lengkap, sebagai berikut :
Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga
sanghara, kreta, kreta. / Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké
2. lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda
wisayaniya, manurun aken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa
kilang.
Tahapan kehancuran Pajajaran diuraikan pada bab terdahulu, tentang Manurajasuna dan masa Kaliyuga,
tentunya mulai nampak pada masa Ratu Dewata, raja hanya mengejar kebahagiaan hidup melalui laku
tapa, batarak, kuru cileuh kentel peujit, melakukan pwah susu namun tidak peduli terhadap kehidupan
negara dan masyarakatnya.
Pada masa Ratu Dewata bertahta, kesempatan untuk melakukan pembangunan dan mengkonsolidasikan
masyarakat lebih besar dibandingkan pada masa Surawisesa, namun Surawisesa sudah meletakan dasardasar keamanan negara melalui perjanjian damai dengan Cirebon, Demak dan Banten. Sekalipun luas
yuridiksi negara sudah tidak seluas ketika Sri Baduga masih bertahta.
Kesempatan kedua nampak pada masa Ratu Sakti. Raja ini memiliki kesempatan yang luas untuk
mengembalikan wilayah Pajajaran yang telah direbut Cirebon, Demak dan Banten. Pada masa itu pasukan
Banten dan Kalapa sedang disibukan untuk menaklukan Pasuruan dan Panarukan, bahkan Sultan
Trenggono, Demak dan Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon terbunuh didalam huru hara Demak.
Proses selanjutnya tiba pada masa Nilakendra. Pada masa tersebut Pakuan sudah mulai membangun jalanjalan disekitar istana dan memperbaiki segala macam atribut istana, namun kejahatan dan kemaksiatan
sudah menyeruak keseantero negeri dan dianggap sesuatu yang biasa. Raja asyik mengejar kepuasaan
hidup melalui pendalaman ajaran yang jauh dari realitas hidup, seperti mensyahkannya mabuk-mabukan
sebelum melakukan ritual. Pada masa ini rakyat sudah frustasi dan dianggap sudah berada didalam masa
Kaliyuga.
Pada masa Ragamulya ia bertindak sebagai raja sekaligus pertapa, masa ini raja berkuasa tanpa mahkota
dan tanpa memiliki pasukan perang. Raja hanya tinggal meunggu waktu datangnya kehancuran yang
ditimbulkan musuh. Pada masa ini disebutkan masa Pralaya Pajajaran.
Banten melanggar Perjanjian
Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran – Cirebon.
Perjanjian tersebut dianggap hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Jika
kemudian Ia menyetujui, hal ini hanya karena ketaatannya kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.
Niat Hasanudin untuk menguasai pakuan dilakukan secara terselubung, dengan cara membentuk pasukan
khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika
merebut Surasowan. Dalam periode berikutnya, Belanda menyebut tambuh sangkane dengan istilah rover,
pengganggu ketertiban.
Hasanudin didalam ranji Pajajaran ia masih cicit Sri Baduga Maharaja dari Kawunganten, maupun dari
Susuhunan Jati. Kawunganten putra Surasowan dan Surasowan putra Sri Baduga Maharaja dari Kentring
Manik Mayang Sunda. (Yoseph, hal. 282). Mungkin Hasanudin merasa berhak atas tahta Kerajaan
Pajajaran. Suatu hal yang patut diperhitungkan adanya kekhawatiran Hasanudin terhadap serangan
Pajajaran untuk mengembalikan Banten sebagai wilayah Pajajaran. Kekuasaan Hasanudin di Banten
diperoleh pasca menggulingkan ua nya, yakni Sang Arya Surajaya, hal ini sangat terkait erat dengan
ekspansi perdagangan para Saudagar islam waktu itu, mengingat sangat sulit dikatagorikan sebagai
penyebaran agama islam di Banten jika Sang Arya Surajaya pada masa itu sudah memeluk agama islam,
3. bahkan ayahnya pun, Sang Surasowan telah memeluk agama islam. Banten sebagai pelabuhan
perdagangan pada masa Arya Surajaya berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
Niat menyerang Pajajaran dilakukan pada masa pemerintahan Sang Ratu Dewata. Hasanudin dengan
pasukan tambuh sangkane langsung menyerang Pakuan, serangan itu disongsong pasukan Pakuan dialunalun Pakuan, sekarang alun-alun Empang. Dalam pertempuran itu, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan
Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda pihak Pajajaran.
Peperangan ini dicatat dalam Carita Parahyangan, isinya :
“datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung.
Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”. (Datang bencana dari laskar
musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet
dan Ratu Sanghyang).
Kemenangan pasukan Pajajaran lebih banyak ditopang oleh kesetiaan dan ketangguhan pasukan yang
pernah menjadi pengawal Surawisesa. Pada masa lalu pasukan tersebut telah mengalami lima berlas kali
pertemuan di front barat Citarum. Pasukan Hasanudin setelah gagal menyerang Pakuan, kemudian
mengundurkan diri, lalu melakukan serangan ke daerah utara, kemudian Sumedang, Ciranjang dan
Jayagiri. Serangan ini dimungkinkan untuk memancing konsentrasi pasukan Pajajaran agar keluar
meninggalkan benteng Pakuan.
Didaerah tersebut pasukan Banten banyak melakukan pengrusakan terhadap Kabuyutan dan para wiku
yang sangat dilindungi Pajajaran. Dimasa lalu dianggap sebagai Dangiang Sunda, banyak raja Sunda yang
mempertaruhkan harga diri negaranya di Kabuyutan, bahkan Darmasiksa memaklumkan, bahwa : “lebih
hina seorang raja dari kulit musang di tong sampah jika tidak mampu mempertahankan Kabuyutannya”.
Serangan Kedua
Pasca penyerangan pertama, Pakuan sudah tidak dapat mengkonsolidasikan pasukannya dengan baik,
mengingat rakyat sudah mulai frustasi melihat tingkah laku penguasanya, terutama ketika masa Ratu
Sakti.
Pada masa Nilakendra memang telah masuk pada masa Kaliyuga. Pada masa ini muncul kembali
serangan dari pasukan tambu sangkane menggempur ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia
meloloskan diri meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan wafatnya dan
dimana dipusarakannya. Mungkin ia meninggal di tengan hutan belantara dalam keadaan sengsara
sebatang kara. Peristiwa ini digambarkan didalam Carita Parahyangan, :
“Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan Majaya kalah perang
dan ia tidak tinggal di Keraton).
Pakuan dipercayakan kepada semua pembesar yang tidak menyertainya dalam pelarian. Para pembesar
kerajaan Pajajaran dengan segala daya upaya mempertahankan keraton Pakuan Pajajaran. Berkat
perlindungan parit pertahanan dan benteng yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja, Pakuan dapat
diselamatkan.
Pengungsi dari Pakuan
Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian
4. penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan
Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan,
Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya, kemudian menetap di Sumedang.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton, ikut
mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya
Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung
Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang mencoba bertahan di Pakuan,
bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan Pakuan.
Walaupun sudah tidak berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali.
Pengusian lainnya kewilayah barat daya dipimpin oleh Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya
menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota,
sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adikadiknya untuk diselamatkan. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja
daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Dalam versi lainnya ada juga yang menyebutkan, bahwa
Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Pulasari waktu itu
sebagai Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana untuk mendekatkan diri
dengan Tuhan.
Menurut Iskandar (2005), Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat
kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus
kembali ketitik-asal (purbajati). Mungkin juga ia mengetahui melalui bacaan lontar, catatan tentang
Rajakasawa yang mengisahkan Karuhun (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan dorongan batin
yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan.
Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah patilasan (bekas)
pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua
Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun
130 Masehi.
Pajajaran Sirna
Pasca penyerangan Banten kali kedua ke Pakuan, tokoh penanda tangan perjanjian Pajajaran-Cirebon,
satu persatu menutup usianya, yakni Sanghiyang Surawisesa (raja Pajajaran), wafat lebih awal, pada
tahun 1535 M ; Susuhunan Jati, wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau
19 September 1568 M ; Fadillah Khan, yang menggantikan Susuhunan Jati, wafat, pada tahun 1570
Masehi ; dan Panembahan Hasanudin, wafat pada tahun 1570 Masehi.
Hasanudin digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf, putra dari pernikahannya dengan puteri
Indrapura. Panembahan Yusuf merasa tidak terikat dalam perjanjian damai Cirebon dengan Pajajaran, ia
pun tertarik untuk memperluas wilayah Banten, kemudian mempersiapkan serangannya dengan matang,
terutama setelah Hasanudin Gagal menghancurkan Pakuan untuk yang kedua kalinya. Penyerangan
tersebut dilakukan setelah sembilan tahun Panembahan Yusuf memegang tahta kerajaan Surasowan.
Serangan tersebut mendapat bantuan dari kerajaan Cirebon, sehingga disebut serangan besar-besaran ke
Pakuan.
5. Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten dalam bentuk pupuh Kinanti, :
Nalika kesah punika / Ing sasih muharam singgih / Wimbaning sasih sapisan / Dinten ahad tahun
alif / Puningka sangkalanya / Bumi rusak rikih iki (Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan
muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong
satu).
Pakuan pasca ditinggalkan Nilakendra masih memiliki aktifitas seperti biasanya, namun memang sudah
tidak lagi digunakan sebagai persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki pertahanan
yang sangat kuat. Pakuan masih memiliki soliditas dan ketangguhan sisa-sisa prajurit Pajajaran yang
masih bermukim dibenteng.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang
sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan
membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng
Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan telah susah payah membangun kembali
kehidupannya, namun pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan
tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran
dibumi hanguskan.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki
ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun
1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Memburu Raja Nu Ngungsi
Para pengungsi yang menuju kearah barat daya berakhir di Pulasari. Mereka menyertakan Ragamulya. Di
pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia
bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati
Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan, untuk kemudian diserahkan kepada Prabu Geusan
Ulun.
Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota
Salakanagara. Namun dalam versi lain disebutkan, bahwa : Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim
digambarkan dalam suatu pemerintahan. Di Pulasari hanya sebagai wilayah Kabuyutan, daerah yang
dikeramatkan dan dilindungi negara. Hal tersebut digunakan pula oleh Ragamulya untuk mendekatkan
diri dengan Tuhan.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya
Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga, namun ia bukan raja
Sunda seperti leluhurnya dahulu, ia tidak memiliki perlengkapan perang, karena ia hanya hidup Ngaresi
dipengungsian.
Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya pada akhirnya harus menerima kodratnya, ia gugur di
Pulasari setelah di bantai dan diluluh lantakan penduduknya. Demikian catatan sejarah menuliskan, Prabu
Ragamulya Suryakancana gugur di Pulasari oleh pasukan Maulana Yusuf.
6. Lima abad setelahnya, setiap pengunjung Situs Purbakala Pulasari diberitahukan tentang adanya legenda
Kaduhejo. Konon pada masa lalu telah datang kedaerah ini seorang raja tanpa mahkota, yang wafat di
telasan pasukan Panembahan Yusuf. (***)
Sumber Bacaan :
Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari
pasundan.homestead.com
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di
Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung,
Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek
Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.