SlideShare a Scribd company logo
1 of 6
Raja Pamungkas

Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda. /
Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. / Prang ka Rajagaluh, él éh na
Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang
ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka Jawakapala, él éh na JawakapaJa.
Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. / Kitu, kawisésa ku
Demak deung ti Cirebon, pun.
Didalam akhir naskah, penulis Carita Parahyangan memberitakan tentang raja terakhir Pajajaran dan
bagaimana proses peperangan dilakukan sehingga seluruh wilayah Pakuan menjadi “Kawisesa oleh
Demak dan Cirebon”.
Kehancuran Pajajaran diakibatkan dua faktor, yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern disebabkan
oleh perilaku raja yang tidak peduli terhadap kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat, sedangkan faktor
eksteern disebabkan adanya serangan musuh yang bertubi-tubi, terutama yang dilakukan oleh pasukan
gabungan Banten dan Cirebon. Faktor ini menimbulkan rasa frustrasi dan ketakutan rakyat. Itulah
sebenarnya yang hendak di gambarkan oleh penulis Carita Parahyangan.
Penulis Carita Parahyangan mengupas tentang proses dialetika suatu kondisi masyarakat, sekalipun
diuraikan secara sederhana namun bagi para pemikir nampak adanya pemikiran dialektis tentang
bagaimana kehancuran suatu masyarakat itu terjadi.
Masalah Intern Pakuan
Penulis Carita Parahyang menguraikan, bahwa : jika suatu masa tidak mengalami kejahatan dan
kemaksiatan maka manusia akan berada di dalam masa yang sejahtera. Akan tetapi justru sebaliknya,
masa kaliyuga sudah sangat terasakan ketika masa Ratu Sakti, terutama ketika kejahatan dan kemaksiatan
dianggap biasa dan dilindungi penguasa, sehingga Pajajaran hanya tinggal menunggu masa Pralaya
(kehancuran, kiamat). Tentang analisa ini secara lengkap, sebagai berikut :
 Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga
sanghara, kreta, kreta. / Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké
lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda
wisayaniya, manurun aken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa
kilang.
Tahapan kehancuran Pajajaran diuraikan pada bab terdahulu, tentang Manurajasuna dan masa Kaliyuga,
tentunya mulai nampak pada masa Ratu Dewata, raja hanya mengejar kebahagiaan hidup melalui laku
tapa, batarak, kuru cileuh kentel peujit, melakukan pwah susu namun tidak peduli terhadap kehidupan
negara dan masyarakatnya.
Pada masa Ratu Dewata bertahta, kesempatan untuk melakukan pembangunan dan mengkonsolidasikan
masyarakat lebih besar dibandingkan pada masa Surawisesa, namun Surawisesa sudah meletakan dasardasar keamanan negara melalui perjanjian damai dengan Cirebon, Demak dan Banten. Sekalipun luas
yuridiksi negara sudah tidak seluas ketika Sri Baduga masih bertahta.
Kesempatan kedua nampak pada masa Ratu Sakti. Raja ini memiliki kesempatan yang luas untuk
mengembalikan wilayah Pajajaran yang telah direbut Cirebon, Demak dan Banten. Pada masa itu pasukan
Banten dan Kalapa sedang disibukan untuk menaklukan Pasuruan dan Panarukan, bahkan Sultan
Trenggono, Demak dan Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon terbunuh didalam huru hara Demak.
Proses selanjutnya tiba pada masa Nilakendra. Pada masa tersebut Pakuan sudah mulai membangun jalanjalan disekitar istana dan memperbaiki segala macam atribut istana, namun kejahatan dan kemaksiatan
sudah menyeruak keseantero negeri dan dianggap sesuatu yang biasa. Raja asyik mengejar kepuasaan
hidup melalui pendalaman ajaran yang jauh dari realitas hidup, seperti mensyahkannya mabuk-mabukan
sebelum melakukan ritual. Pada masa ini rakyat sudah frustasi dan dianggap sudah berada didalam masa
Kaliyuga.
Pada masa Ragamulya ia bertindak sebagai raja sekaligus pertapa, masa ini raja berkuasa tanpa mahkota
dan tanpa memiliki pasukan perang. Raja hanya tinggal meunggu waktu datangnya kehancuran yang
ditimbulkan musuh. Pada masa ini disebutkan masa Pralaya Pajajaran.
Banten melanggar Perjanjian
Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran – Cirebon.
Perjanjian tersebut dianggap hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Jika
kemudian Ia menyetujui, hal ini hanya karena ketaatannya kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.
Niat Hasanudin untuk menguasai pakuan dilakukan secara terselubung, dengan cara membentuk pasukan
khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika
merebut Surasowan. Dalam periode berikutnya, Belanda menyebut tambuh sangkane dengan istilah rover,
pengganggu ketertiban.
Hasanudin didalam ranji Pajajaran ia masih cicit Sri Baduga Maharaja dari Kawunganten, maupun dari
Susuhunan Jati. Kawunganten putra Surasowan dan Surasowan putra Sri Baduga Maharaja dari Kentring
Manik Mayang Sunda. (Yoseph, hal. 282). Mungkin Hasanudin merasa berhak atas tahta Kerajaan
Pajajaran. Suatu hal yang patut diperhitungkan adanya kekhawatiran Hasanudin terhadap serangan
Pajajaran untuk mengembalikan Banten sebagai wilayah Pajajaran. Kekuasaan Hasanudin di Banten
diperoleh pasca menggulingkan ua nya, yakni Sang Arya Surajaya, hal ini sangat terkait erat dengan
ekspansi perdagangan para Saudagar islam waktu itu, mengingat sangat sulit dikatagorikan sebagai
penyebaran agama islam di Banten jika Sang Arya Surajaya pada masa itu sudah memeluk agama islam,
bahkan ayahnya pun, Sang Surasowan telah memeluk agama islam. Banten sebagai pelabuhan
perdagangan pada masa Arya Surajaya berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
Niat menyerang Pajajaran dilakukan pada masa pemerintahan Sang Ratu Dewata. Hasanudin dengan
pasukan tambuh sangkane langsung menyerang Pakuan, serangan itu disongsong pasukan Pakuan dialunalun Pakuan, sekarang alun-alun Empang. Dalam pertempuran itu, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan
Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda pihak Pajajaran.
Peperangan ini dicatat dalam Carita Parahyangan, isinya :
“datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung.
Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”. (Datang bencana dari laskar
musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet
dan Ratu Sanghyang).
Kemenangan pasukan Pajajaran lebih banyak ditopang oleh kesetiaan dan ketangguhan pasukan yang
pernah menjadi pengawal Surawisesa. Pada masa lalu pasukan tersebut telah mengalami lima berlas kali
pertemuan di front barat Citarum. Pasukan Hasanudin setelah gagal menyerang Pakuan, kemudian
mengundurkan diri, lalu melakukan serangan ke daerah utara, kemudian Sumedang, Ciranjang dan
Jayagiri. Serangan ini dimungkinkan untuk memancing konsentrasi pasukan Pajajaran agar keluar
meninggalkan benteng Pakuan.
Didaerah tersebut pasukan Banten banyak melakukan pengrusakan terhadap Kabuyutan dan para wiku
yang sangat dilindungi Pajajaran. Dimasa lalu dianggap sebagai Dangiang Sunda, banyak raja Sunda yang
mempertaruhkan harga diri negaranya di Kabuyutan, bahkan Darmasiksa memaklumkan, bahwa : “lebih
hina seorang raja dari kulit musang di tong sampah jika tidak mampu mempertahankan Kabuyutannya”.
Serangan Kedua
Pasca penyerangan pertama, Pakuan sudah tidak dapat mengkonsolidasikan pasukannya dengan baik,
mengingat rakyat sudah mulai frustasi melihat tingkah laku penguasanya, terutama ketika masa Ratu
Sakti.
Pada masa Nilakendra memang telah masuk pada masa Kaliyuga. Pada masa ini muncul kembali
serangan dari pasukan tambu sangkane menggempur ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia
meloloskan diri meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan wafatnya dan
dimana dipusarakannya. Mungkin ia meninggal di tengan hutan belantara dalam keadaan sengsara
sebatang kara. Peristiwa ini digambarkan didalam Carita Parahyangan, :
 “Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan Majaya kalah perang
dan ia tidak tinggal di Keraton).
Pakuan dipercayakan kepada semua pembesar yang tidak menyertainya dalam pelarian. Para pembesar
kerajaan Pajajaran dengan segala daya upaya mempertahankan keraton Pakuan Pajajaran. Berkat
perlindungan parit pertahanan dan benteng yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja, Pakuan dapat
diselamatkan.
Pengungsi dari Pakuan
Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian
penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan
Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan,
Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya, kemudian menetap di Sumedang.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton, ikut
mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya
Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung
Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang mencoba bertahan di Pakuan,
bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan Pakuan.
Walaupun sudah tidak berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali.
Pengusian lainnya kewilayah barat daya dipimpin oleh Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya
menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota,
sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adikadiknya untuk diselamatkan. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja
daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Dalam versi lainnya ada juga yang menyebutkan, bahwa
Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Pulasari waktu itu
sebagai Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana untuk mendekatkan diri
dengan Tuhan.
Menurut Iskandar (2005), Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat
kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus
kembali ketitik-asal (purbajati). Mungkin juga ia mengetahui melalui bacaan lontar, catatan tentang
Rajakasawa yang mengisahkan Karuhun (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan dorongan batin
yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan.
Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah patilasan (bekas)
pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua
Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun
130 Masehi.
Pajajaran Sirna
Pasca penyerangan Banten kali kedua ke Pakuan, tokoh penanda tangan perjanjian Pajajaran-Cirebon,
satu persatu menutup usianya, yakni Sanghiyang Surawisesa (raja Pajajaran), wafat lebih awal, pada
tahun 1535 M ; Susuhunan Jati, wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau
19 September 1568 M ; Fadillah Khan, yang menggantikan Susuhunan Jati, wafat, pada tahun 1570
Masehi ; dan Panembahan Hasanudin, wafat pada tahun 1570 Masehi.
Hasanudin digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf, putra dari pernikahannya dengan puteri
Indrapura. Panembahan Yusuf merasa tidak terikat dalam perjanjian damai Cirebon dengan Pajajaran, ia
pun tertarik untuk memperluas wilayah Banten, kemudian mempersiapkan serangannya dengan matang,
terutama setelah Hasanudin Gagal menghancurkan Pakuan untuk yang kedua kalinya. Penyerangan
tersebut dilakukan setelah sembilan tahun Panembahan Yusuf memegang tahta kerajaan Surasowan.
Serangan tersebut mendapat bantuan dari kerajaan Cirebon, sehingga disebut serangan besar-besaran ke
Pakuan.
Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten dalam bentuk pupuh Kinanti, :
 Nalika kesah punika / Ing sasih muharam singgih / Wimbaning sasih sapisan / Dinten ahad tahun
alif / Puningka sangkalanya / Bumi rusak rikih iki (Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan
muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong
satu).
Pakuan pasca ditinggalkan Nilakendra masih memiliki aktifitas seperti biasanya, namun memang sudah
tidak lagi digunakan sebagai persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki pertahanan
yang sangat kuat. Pakuan masih memiliki soliditas dan ketangguhan sisa-sisa prajurit Pajajaran yang
masih bermukim dibenteng.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang
sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan
membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng
Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan telah susah payah membangun kembali
kehidupannya, namun pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan
tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran
dibumi hanguskan.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
 Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki
ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun
1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Memburu Raja Nu Ngungsi
Para pengungsi yang menuju kearah barat daya berakhir di Pulasari. Mereka menyertakan Ragamulya. Di
pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia
bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati
Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan, untuk kemudian diserahkan kepada Prabu Geusan
Ulun.
Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota
Salakanagara. Namun dalam versi lain disebutkan, bahwa : Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim
digambarkan dalam suatu pemerintahan. Di Pulasari hanya sebagai wilayah Kabuyutan, daerah yang
dikeramatkan dan dilindungi negara. Hal tersebut digunakan pula oleh Ragamulya untuk mendekatkan
diri dengan Tuhan.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya
Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga, namun ia bukan raja
Sunda seperti leluhurnya dahulu, ia tidak memiliki perlengkapan perang, karena ia hanya hidup Ngaresi
dipengungsian.
Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya pada akhirnya harus menerima kodratnya, ia gugur di
Pulasari setelah di bantai dan diluluh lantakan penduduknya. Demikian catatan sejarah menuliskan, Prabu
Ragamulya Suryakancana gugur di Pulasari oleh pasukan Maulana Yusuf.
Lima abad setelahnya, setiap pengunjung Situs Purbakala Pulasari diberitahukan tentang adanya legenda
Kaduhejo. Konon pada masa lalu telah datang kedaerah ini seorang raja tanpa mahkota, yang wafat di
telasan pasukan Panembahan Yusuf. (***)
Sumber Bacaan :
 Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari
pasundan.homestead.com
 Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di
Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
 Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung,
Cet Kedua – 2005
 Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
 Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek
Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
 Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.

More Related Content

What's hot

Hikayat hang tuah
Hikayat hang tuahHikayat hang tuah
Hikayat hang tuah
Bakri Taba
 
Islamic kingdom in kalimatan island
Islamic kingdom in kalimatan islandIslamic kingdom in kalimatan island
Islamic kingdom in kalimatan island
Ayi Milanisti
 
Pelayaran yang penuh peristiwa
Pelayaran yang penuh peristiwaPelayaran yang penuh peristiwa
Pelayaran yang penuh peristiwa
open_kraken98
 
59 tahun aceh merdeka
59 tahun aceh merdeka59 tahun aceh merdeka
59 tahun aceh merdeka
Azmi Neve
 
Banjir darah di tegal kuru
Banjir darah di tegal kuruBanjir darah di tegal kuru
Banjir darah di tegal kuru
ORCHIDSIGN
 
Hikayat hang tuah
Hikayat hang tuahHikayat hang tuah
Hikayat hang tuah
Didamin
 
Hikayat Hang Tuah : Suatu Kajian
Hikayat Hang Tuah : Suatu KajianHikayat Hang Tuah : Suatu Kajian
Hikayat Hang Tuah : Suatu Kajian
nornadiya
 

What's hot (20)

ANTOLOGI SEJADAH RINDU : PROSA KLASIK
ANTOLOGI SEJADAH RINDU : PROSA KLASIKANTOLOGI SEJADAH RINDU : PROSA KLASIK
ANTOLOGI SEJADAH RINDU : PROSA KLASIK
 
Hikayat hang tuah
Hikayat hang tuahHikayat hang tuah
Hikayat hang tuah
 
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
Cerpen Sura & Baya Karya Oki Feri Juniawan (2013)
 
Komsas soalan 2 (c)
Komsas soalan 2 (c)Komsas soalan 2 (c)
Komsas soalan 2 (c)
 
Islamic kingdom in kalimatan island
Islamic kingdom in kalimatan islandIslamic kingdom in kalimatan island
Islamic kingdom in kalimatan island
 
Pelayaran yang penuh peristiwa
Pelayaran yang penuh peristiwaPelayaran yang penuh peristiwa
Pelayaran yang penuh peristiwa
 
Wanita aceh dalam pemerintahan
Wanita aceh dalam pemerintahanWanita aceh dalam pemerintahan
Wanita aceh dalam pemerintahan
 
59 tahun aceh merdeka
59 tahun aceh merdeka59 tahun aceh merdeka
59 tahun aceh merdeka
 
senopati pamungkas1
senopati pamungkas1senopati pamungkas1
senopati pamungkas1
 
Banjir darah di tegal kuru
Banjir darah di tegal kuruBanjir darah di tegal kuru
Banjir darah di tegal kuru
 
Ramalan jayabaya
Ramalan jayabayaRamalan jayabaya
Ramalan jayabaya
 
Prosa Tradisi Kepimpinan Melalui Teladan
Prosa Tradisi Kepimpinan Melalui TeladanProsa Tradisi Kepimpinan Melalui Teladan
Prosa Tradisi Kepimpinan Melalui Teladan
 
Ramalan Jayabaya (Tugas Sejarah Indonesia kelas 10)
Ramalan Jayabaya (Tugas Sejarah Indonesia kelas 10)Ramalan Jayabaya (Tugas Sejarah Indonesia kelas 10)
Ramalan Jayabaya (Tugas Sejarah Indonesia kelas 10)
 
Kepimpinan melalui teladan
Kepimpinan melalui teladanKepimpinan melalui teladan
Kepimpinan melalui teladan
 
Hikayat hang tuah
Hikayat hang tuahHikayat hang tuah
Hikayat hang tuah
 
Kerajaan hindu banjar
Kerajaan hindu banjarKerajaan hindu banjar
Kerajaan hindu banjar
 
Burung terbang dipipiskan lada
Burung terbang dipipiskan ladaBurung terbang dipipiskan lada
Burung terbang dipipiskan lada
 
Ceramah komsas 2016
Ceramah komsas 2016Ceramah komsas 2016
Ceramah komsas 2016
 
Kerajaan mataram islam
Kerajaan mataram islamKerajaan mataram islam
Kerajaan mataram islam
 
Hikayat Hang Tuah : Suatu Kajian
Hikayat Hang Tuah : Suatu KajianHikayat Hang Tuah : Suatu Kajian
Hikayat Hang Tuah : Suatu Kajian
 

Viewers also liked

Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1
Edi Awaludin
 
PowerPoint Delivery and Design Tips
PowerPoint Delivery and Design TipsPowerPoint Delivery and Design Tips
PowerPoint Delivery and Design Tips
blasko19
 
Wilson & the peace treaty 5
Wilson & the peace treaty 5Wilson & the peace treaty 5
Wilson & the peace treaty 5
gracewavro
 
Monica Makley Resume
Monica Makley ResumeMonica Makley Resume
Monica Makley Resume
Monica Makley
 

Viewers also liked (20)

Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1
 
Sports director performance appraisal
Sports director performance appraisalSports director performance appraisal
Sports director performance appraisal
 
PowerPoint Delivery and Design Tips
PowerPoint Delivery and Design TipsPowerPoint Delivery and Design Tips
PowerPoint Delivery and Design Tips
 
Arteriopatia coronaria-angina-de-pecho
Arteriopatia coronaria-angina-de-pecho Arteriopatia coronaria-angina-de-pecho
Arteriopatia coronaria-angina-de-pecho
 
Floor plans 2
Floor plans 2Floor plans 2
Floor plans 2
 
BExpoStephanie White Events
BExpoStephanie White EventsBExpoStephanie White Events
BExpoStephanie White Events
 
Arte clásico
Arte clásicoArte clásico
Arte clásico
 
Wilson & the peace treaty 5
Wilson & the peace treaty 5Wilson & the peace treaty 5
Wilson & the peace treaty 5
 
Porque os jovens profissionais da geração y estão infelizes
Porque os jovens profissionais da geração y estão infelizesPorque os jovens profissionais da geração y estão infelizes
Porque os jovens profissionais da geração y estão infelizes
 
Decreto n1366411
Decreto n1366411Decreto n1366411
Decreto n1366411
 
Workshop coordinator performance appraisal
Workshop coordinator performance appraisalWorkshop coordinator performance appraisal
Workshop coordinator performance appraisal
 
Lección 21
Lección  21Lección  21
Lección 21
 
The white chapel murder script
The white chapel murder scriptThe white chapel murder script
The white chapel murder script
 
Que es un wiki
Que es un wikiQue es un wiki
Que es un wiki
 
Lección 10
Lección 10Lección 10
Lección 10
 
Eventos navideños 2013
Eventos navideños 2013Eventos navideños 2013
Eventos navideños 2013
 
Monica Makley Resume
Monica Makley ResumeMonica Makley Resume
Monica Makley Resume
 
Lección 17
Lección 17Lección 17
Lección 17
 
Presentasi
PresentasiPresentasi
Presentasi
 
Lección 5
Lección 5Lección 5
Lección 5
 

Similar to Kerajaan pajajaran

Kelompok 5 xi ipa 4
Kelompok 5 xi ipa 4Kelompok 5 xi ipa 4
Kelompok 5 xi ipa 4
Purna Senda
 
Presentasi sejarah
Presentasi sejarahPresentasi sejarah
Presentasi sejarah
putrithio
 

Similar to Kerajaan pajajaran (20)

Kerajaan pajajaran
Kerajaan pajajaranKerajaan pajajaran
Kerajaan pajajaran
 
Kelompok 5 xi ipa 4
Kelompok 5 xi ipa 4Kelompok 5 xi ipa 4
Kelompok 5 xi ipa 4
 
Kerajaan pajajaran
Kerajaan pajajaranKerajaan pajajaran
Kerajaan pajajaran
 
Xi ipa 4 kerajaan pajajaran
Xi ipa 4 kerajaan pajajaranXi ipa 4 kerajaan pajajaran
Xi ipa 4 kerajaan pajajaran
 
Kerajaan pajajan dan bali
Kerajaan pajajan dan baliKerajaan pajajan dan bali
Kerajaan pajajan dan bali
 
Presentasi sejarah
Presentasi sejarahPresentasi sejarah
Presentasi sejarah
 
Kerajaan Pajajaran Kelompok 1.pptx
Kerajaan Pajajaran Kelompok 1.pptxKerajaan Pajajaran Kelompok 1.pptx
Kerajaan Pajajaran Kelompok 1.pptx
 
Kerajaan Pajajaran Kelompok 1.pptx
Kerajaan Pajajaran Kelompok 1.pptxKerajaan Pajajaran Kelompok 1.pptx
Kerajaan Pajajaran Kelompok 1.pptx
 
Kerajaan siliwangi
Kerajaan siliwangiKerajaan siliwangi
Kerajaan siliwangi
 
Majapahit
MajapahitMajapahit
Majapahit
 
Kerajaan pajajaran ready
Kerajaan pajajaran readyKerajaan pajajaran ready
Kerajaan pajajaran ready
 
Kerajaan mataram islam Sejarah Indonesia kelas X
Kerajaan mataram islam Sejarah Indonesia kelas XKerajaan mataram islam Sejarah Indonesia kelas X
Kerajaan mataram islam Sejarah Indonesia kelas X
 
Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram KunoKerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno
 
Kelompok 7
Kelompok 7Kelompok 7
Kelompok 7
 
Kerajaan padjajaran
Kerajaan padjajaranKerajaan padjajaran
Kerajaan padjajaran
 
Tugas sejarah rissa
Tugas sejarah rissaTugas sejarah rissa
Tugas sejarah rissa
 
Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan TarumanegaraKerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara
 
Fakta baru tentang gajah mada dan sumpah palapa
Fakta baru tentang gajah mada dan sumpah palapaFakta baru tentang gajah mada dan sumpah palapa
Fakta baru tentang gajah mada dan sumpah palapa
 
kerajaan kediri.docx
kerajaan kediri.docxkerajaan kediri.docx
kerajaan kediri.docx
 
Kerajaan Majapahit
Kerajaan MajapahitKerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit
 

Kerajaan pajajaran

  • 1. Raja Pamungkas Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda. / Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. / Prang ka Rajagaluh, él éh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka Jawakapala, él éh na JawakapaJa. Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. / Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon, pun. Didalam akhir naskah, penulis Carita Parahyangan memberitakan tentang raja terakhir Pajajaran dan bagaimana proses peperangan dilakukan sehingga seluruh wilayah Pakuan menjadi “Kawisesa oleh Demak dan Cirebon”. Kehancuran Pajajaran diakibatkan dua faktor, yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern disebabkan oleh perilaku raja yang tidak peduli terhadap kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat, sedangkan faktor eksteern disebabkan adanya serangan musuh yang bertubi-tubi, terutama yang dilakukan oleh pasukan gabungan Banten dan Cirebon. Faktor ini menimbulkan rasa frustrasi dan ketakutan rakyat. Itulah sebenarnya yang hendak di gambarkan oleh penulis Carita Parahyangan. Penulis Carita Parahyangan mengupas tentang proses dialetika suatu kondisi masyarakat, sekalipun diuraikan secara sederhana namun bagi para pemikir nampak adanya pemikiran dialektis tentang bagaimana kehancuran suatu masyarakat itu terjadi. Masalah Intern Pakuan Penulis Carita Parahyang menguraikan, bahwa : jika suatu masa tidak mengalami kejahatan dan kemaksiatan maka manusia akan berada di dalam masa yang sejahtera. Akan tetapi justru sebaliknya, masa kaliyuga sudah sangat terasakan ketika masa Ratu Sakti, terutama ketika kejahatan dan kemaksiatan dianggap biasa dan dilindungi penguasa, sehingga Pajajaran hanya tinggal menunggu masa Pralaya (kehancuran, kiamat). Tentang analisa ini secara lengkap, sebagai berikut :  Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta, kreta. / Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké
  • 2. lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda wisayaniya, manurun aken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang. Tahapan kehancuran Pajajaran diuraikan pada bab terdahulu, tentang Manurajasuna dan masa Kaliyuga, tentunya mulai nampak pada masa Ratu Dewata, raja hanya mengejar kebahagiaan hidup melalui laku tapa, batarak, kuru cileuh kentel peujit, melakukan pwah susu namun tidak peduli terhadap kehidupan negara dan masyarakatnya. Pada masa Ratu Dewata bertahta, kesempatan untuk melakukan pembangunan dan mengkonsolidasikan masyarakat lebih besar dibandingkan pada masa Surawisesa, namun Surawisesa sudah meletakan dasardasar keamanan negara melalui perjanjian damai dengan Cirebon, Demak dan Banten. Sekalipun luas yuridiksi negara sudah tidak seluas ketika Sri Baduga masih bertahta. Kesempatan kedua nampak pada masa Ratu Sakti. Raja ini memiliki kesempatan yang luas untuk mengembalikan wilayah Pajajaran yang telah direbut Cirebon, Demak dan Banten. Pada masa itu pasukan Banten dan Kalapa sedang disibukan untuk menaklukan Pasuruan dan Panarukan, bahkan Sultan Trenggono, Demak dan Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon terbunuh didalam huru hara Demak. Proses selanjutnya tiba pada masa Nilakendra. Pada masa tersebut Pakuan sudah mulai membangun jalanjalan disekitar istana dan memperbaiki segala macam atribut istana, namun kejahatan dan kemaksiatan sudah menyeruak keseantero negeri dan dianggap sesuatu yang biasa. Raja asyik mengejar kepuasaan hidup melalui pendalaman ajaran yang jauh dari realitas hidup, seperti mensyahkannya mabuk-mabukan sebelum melakukan ritual. Pada masa ini rakyat sudah frustasi dan dianggap sudah berada didalam masa Kaliyuga. Pada masa Ragamulya ia bertindak sebagai raja sekaligus pertapa, masa ini raja berkuasa tanpa mahkota dan tanpa memiliki pasukan perang. Raja hanya tinggal meunggu waktu datangnya kehancuran yang ditimbulkan musuh. Pada masa ini disebutkan masa Pralaya Pajajaran. Banten melanggar Perjanjian Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran – Cirebon. Perjanjian tersebut dianggap hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Jika kemudian Ia menyetujui, hal ini hanya karena ketaatannya kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati. Niat Hasanudin untuk menguasai pakuan dilakukan secara terselubung, dengan cara membentuk pasukan khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika merebut Surasowan. Dalam periode berikutnya, Belanda menyebut tambuh sangkane dengan istilah rover, pengganggu ketertiban. Hasanudin didalam ranji Pajajaran ia masih cicit Sri Baduga Maharaja dari Kawunganten, maupun dari Susuhunan Jati. Kawunganten putra Surasowan dan Surasowan putra Sri Baduga Maharaja dari Kentring Manik Mayang Sunda. (Yoseph, hal. 282). Mungkin Hasanudin merasa berhak atas tahta Kerajaan Pajajaran. Suatu hal yang patut diperhitungkan adanya kekhawatiran Hasanudin terhadap serangan Pajajaran untuk mengembalikan Banten sebagai wilayah Pajajaran. Kekuasaan Hasanudin di Banten diperoleh pasca menggulingkan ua nya, yakni Sang Arya Surajaya, hal ini sangat terkait erat dengan ekspansi perdagangan para Saudagar islam waktu itu, mengingat sangat sulit dikatagorikan sebagai penyebaran agama islam di Banten jika Sang Arya Surajaya pada masa itu sudah memeluk agama islam,
  • 3. bahkan ayahnya pun, Sang Surasowan telah memeluk agama islam. Banten sebagai pelabuhan perdagangan pada masa Arya Surajaya berada di bawah kekuasaan Pajajaran. Niat menyerang Pajajaran dilakukan pada masa pemerintahan Sang Ratu Dewata. Hasanudin dengan pasukan tambuh sangkane langsung menyerang Pakuan, serangan itu disongsong pasukan Pakuan dialunalun Pakuan, sekarang alun-alun Empang. Dalam pertempuran itu, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda pihak Pajajaran. Peperangan ini dicatat dalam Carita Parahyangan, isinya : “datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”. (Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang). Kemenangan pasukan Pajajaran lebih banyak ditopang oleh kesetiaan dan ketangguhan pasukan yang pernah menjadi pengawal Surawisesa. Pada masa lalu pasukan tersebut telah mengalami lima berlas kali pertemuan di front barat Citarum. Pasukan Hasanudin setelah gagal menyerang Pakuan, kemudian mengundurkan diri, lalu melakukan serangan ke daerah utara, kemudian Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri. Serangan ini dimungkinkan untuk memancing konsentrasi pasukan Pajajaran agar keluar meninggalkan benteng Pakuan. Didaerah tersebut pasukan Banten banyak melakukan pengrusakan terhadap Kabuyutan dan para wiku yang sangat dilindungi Pajajaran. Dimasa lalu dianggap sebagai Dangiang Sunda, banyak raja Sunda yang mempertaruhkan harga diri negaranya di Kabuyutan, bahkan Darmasiksa memaklumkan, bahwa : “lebih hina seorang raja dari kulit musang di tong sampah jika tidak mampu mempertahankan Kabuyutannya”. Serangan Kedua Pasca penyerangan pertama, Pakuan sudah tidak dapat mengkonsolidasikan pasukannya dengan baik, mengingat rakyat sudah mulai frustasi melihat tingkah laku penguasanya, terutama ketika masa Ratu Sakti. Pada masa Nilakendra memang telah masuk pada masa Kaliyuga. Pada masa ini muncul kembali serangan dari pasukan tambu sangkane menggempur ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia meloloskan diri meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan wafatnya dan dimana dipusarakannya. Mungkin ia meninggal di tengan hutan belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara. Peristiwa ini digambarkan didalam Carita Parahyangan, :  “Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton). Pakuan dipercayakan kepada semua pembesar yang tidak menyertainya dalam pelarian. Para pembesar kerajaan Pajajaran dengan segala daya upaya mempertahankan keraton Pakuan Pajajaran. Berkat perlindungan parit pertahanan dan benteng yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja, Pakuan dapat diselamatkan. Pengungsi dari Pakuan Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian
  • 4. penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya, kemudian menetap di Sumedang. Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang. Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang mencoba bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan Pakuan. Walaupun sudah tidak berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali. Pengusian lainnya kewilayah barat daya dipimpin oleh Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adikadiknya untuk diselamatkan. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Dalam versi lainnya ada juga yang menyebutkan, bahwa Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Pulasari waktu itu sebagai Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Menurut Iskandar (2005), Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ketitik-asal (purbajati). Mungkin juga ia mengetahui melalui bacaan lontar, catatan tentang Rajakasawa yang mengisahkan Karuhun (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan dorongan batin yang ia miliki sebagai pewaris darah raja. Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah patilasan (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi. Pajajaran Sirna Pasca penyerangan Banten kali kedua ke Pakuan, tokoh penanda tangan perjanjian Pajajaran-Cirebon, satu persatu menutup usianya, yakni Sanghiyang Surawisesa (raja Pajajaran), wafat lebih awal, pada tahun 1535 M ; Susuhunan Jati, wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M ; Fadillah Khan, yang menggantikan Susuhunan Jati, wafat, pada tahun 1570 Masehi ; dan Panembahan Hasanudin, wafat pada tahun 1570 Masehi. Hasanudin digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf, putra dari pernikahannya dengan puteri Indrapura. Panembahan Yusuf merasa tidak terikat dalam perjanjian damai Cirebon dengan Pajajaran, ia pun tertarik untuk memperluas wilayah Banten, kemudian mempersiapkan serangannya dengan matang, terutama setelah Hasanudin Gagal menghancurkan Pakuan untuk yang kedua kalinya. Penyerangan tersebut dilakukan setelah sembilan tahun Panembahan Yusuf memegang tahta kerajaan Surasowan. Serangan tersebut mendapat bantuan dari kerajaan Cirebon, sehingga disebut serangan besar-besaran ke Pakuan.
  • 5. Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten dalam bentuk pupuh Kinanti, :  Nalika kesah punika / Ing sasih muharam singgih / Wimbaning sasih sapisan / Dinten ahad tahun alif / Puningka sangkalanya / Bumi rusak rikih iki (Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong satu). Pakuan pasca ditinggalkan Nilakendra masih memiliki aktifitas seperti biasanya, namun memang sudah tidak lagi digunakan sebagai persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki pertahanan yang sangat kuat. Pakuan masih memiliki soliditas dan ketangguhan sisa-sisa prajurit Pajajaran yang masih bermukim dibenteng. Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan telah susah payah membangun kembali kehidupannya, namun pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan. Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :  Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M). Memburu Raja Nu Ngungsi Para pengungsi yang menuju kearah barat daya berakhir di Pulasari. Mereka menyertakan Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan, untuk kemudian diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Namun dalam versi lain disebutkan, bahwa : Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Di Pulasari hanya sebagai wilayah Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan dan dilindungi negara. Hal tersebut digunakan pula oleh Ragamulya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga, namun ia bukan raja Sunda seperti leluhurnya dahulu, ia tidak memiliki perlengkapan perang, karena ia hanya hidup Ngaresi dipengungsian. Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya pada akhirnya harus menerima kodratnya, ia gugur di Pulasari setelah di bantai dan diluluh lantakan penduduknya. Demikian catatan sejarah menuliskan, Prabu Ragamulya Suryakancana gugur di Pulasari oleh pasukan Maulana Yusuf.
  • 6. Lima abad setelahnya, setiap pengunjung Situs Purbakala Pulasari diberitahukan tentang adanya legenda Kaduhejo. Konon pada masa lalu telah datang kedaerah ini seorang raja tanpa mahkota, yang wafat di telasan pasukan Panembahan Yusuf. (***) Sumber Bacaan :  Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com  Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.  Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005  Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.  Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.  Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.