1. • Dalam kesusastraan Jawa Kuno ada dua jenis (genre) sastra yang dari
segi bentuk sangat berbeda satu dengan lainnya, yakni kakawin dan
parwa. Dari segi popularitas karya sastra kakawin jauh lebih populer
dibandingkan parwa. Penerimaan masyarakat terhadap kedua jenis
sastra ini sangat berbeda. Dalam masyarakat Bali hal ini tampak
dengan sangat jelas terutama dilihat dari aspek sastra dan kehidupan
masyarakat dalam berkesenian. Demikian pula di kalangan akademik,
mereka lebih banyak menaruh perhatian terhadap karya jenis
kakawin dibandingkan parwa
2. • Istilah parwa dalam studi sastra Jawa Kuno tidak hanya dikenakan
pada karya-karya sastra Jawa Kuno prosa yang diadaptasi (disadur)
dari epos Mahabharata tetapi juga meliputi pengertian semua bentuk
prosa (Jawa Kuno) yang mengandung cerita epik. Pengertian ini
didasarkan atas ditemukannya beberapa karya sastra prosa Jawa Kuno
yang bukan merupakan bagian dari epos Mahabharata.
• Dalam Korawasrama misalnya, disebutkan adanya dua karya sastra
prosa masing-masing Uttarakanda dan Agastyaparwa yang
dimaksudkan untuk mengacu pada epos Mahabharata pada hal kedua
karya ini bukan karya yang mengambilbabon secara langsung
(disadur-diadaptasi) dari sumber parwa yang ada dalam
Mahabharata.
3. • Epos Mahabharatayang dikenal dalam perbendahaarn sastra India disebut
juga Astadasaparwa karena terdiri atas delapan belas parwa. Inti pokok
cerita Mahabharata adalah perang saudara keturunan Bharata atau
Bharatayuddha. Karena itulah epos Mahabharata ini kadang-kadang juga
disebut Mahabharatayuddha (KuntaraWiryamartana, 1979 : 1).
Mahabharata adalah sebuah wiracarita India yang menurut anggapan
selama ini dikatakan dikarang oleh pujangga besar bhagawanWyasaatau
bhagawanKrsnaDwipayanaWyasa (Pendit, 1980 : XIV). Epos ini memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam proses penciptaan karya-karya sastra
Jawa Kuna di Indonesia baik karya dalam bentuk prosa (parwa Jawa Kuno)
maupun karya dalam bentuk puisi (kakawin).Kedelapan belas parwa yang
ada dalam Mahabharata (India) adalah sebagai berikut.
4. • Adiparwa yakni parwa pertama yang mengisahkan tentang
diselenggakannya upacara kurbanular oleh maharaja Janamejaya,
riwayat para naga, asal usul keturunan Bharata, silsilah para Pandawa
dan Korawa, kelahiran dan masa muda Pandawa dan Korawasampai
dengan perkawinan Arjuna dengan Subadra.
• Sabhaparwa yakni parwa kedua yang mengisahkan persidangan para
Korawa dan Pandawa sampai dengan pembuangan Pandawa ke
tengah hutan selama dua belas tahun setelah Yudistira kalah bermain
dadu melawan Korawa
5. • 3.Wanaparwa adalah parwa ketiga yang mengisahkan petualangan
Pandawa bersama DewiDrupadi di tengah hutan selama dalam masa
pembuangan, perkawinan Bima dengan Hadimbi yang akhirnya melahirkan
Gatotkaca.
• 4. Wirataparwa, parwa keempat yang mengisahkan persembunyian serta
penyamaranPandawa dan DewiDrupadi di negeri Wirata setelah masa
pembuangannya memasuki tahun ke-13.
5. Udyogaparwaparwa kelima yang mengisahkan usaha perdamaian yang
dilakukan Pandawa sesuai perjanjian pada saat Pandawaakan menjalankan
masa pembuangan ke tengah hutan selama dua belas tahun. Selain itu juga
diceritakan kemarahan PrabuKresna selaku penengah atau utusan Pandawa
yang merasa dihina oleh Korawa, juga berisi cerita tentang persiapan kedua
belah pihak antara Pandawa dan Korawa dalam menghadapi perang di
Kuruksetra
6. • 6. Bhismaparwa adalah parwa keenam yang mengisahkan dimulaianya perang
besar antara Pandawa dan Korawa dan diangkatnyaRsiBisma sebagai panglima
perang di pihak Korawa dan Drstadyumna di pihak Pandawa. Parwa ini diakhiri
dengan kisah yang sangat memalukan, robohnyaRsiBisma pada hari ke-7 oleh
busur panah Srikandi dan Arjuna yang ditembakan secara beruntun.
• 7. Dronaparwa, parwa ketujuh yang mengisahkan dinobatkannya maha guru
Drona (Dronacarya) sebagai panglima perang di pihak Korawa dan berakhir
dengan terbunuhnya Drona oleh Drstadyumna.
8. Karnaparwa, parwa kedelapan mengisahkan tentang dinobatkannyaKarna
sebagai panglima perang di pihak Korawa. Cerita ini diakhiri dengan
gugurnyaGatotkaca oleh senjata sakti yang dimiliki Karna dan terbunuhnya Karna
oleh Arjuna karena senjata sakti yang dimiliki Karna hanya dapat digunakan sekali
saja selebihnya tidak akan memiliki kekuatan sesuai sabda dewata agung yang
memberi anugrah kepadanya.
7. • 9. Salyaparwa, parwa kesembilan mengisahkan tentang
diangkatnyaPrabuSalya sebagai panglima perang di pihak Korawa
menggantikan Karna yang telah gugur. Cerita ini diakhiri dengan
gugurnyaPrabuSalya oleh Yudistira.
• 10. Sauptikaparwa, mengisahkan tentang terbunuhnya Panca Kumara putra
Dropadi dan terbunuhnya Drstadyumna dalam serangan tengah malam
yang dilakukan putra Drona, Aswatama. Berakhir dengan terbunuhnya
Aswatama oleh Arjuna.
• 11. Stripalapaparwa (Striparwa) mengisahkan tentang keluhkesah para istri
(janda) yang telah ditinggal oleh para suami dan anak-anak mereka akibat
kalah dalam perang. Juga melukiskan kesedihan yang teramat dalam
PrabuDrstarastra bersama permaisuriGandari karena ditinggal oleh seratus
putra serta cucunya akibat kalah dalam perang
8. • Santiparwa, mengisahkan kunjungan Pandawa kepada RsiBhisma yang saat
itu masih tergelatakberbantalkan busur panah di Kuruksetra. Kunjungan
Pandawa ini merupakan momen terakhir mereka bertemu dengan Bhisma.
Saat inilah Bhismamenyempatkan untuk memberikan petuah (tutur)
kepada para Pandawa walaupun berada dalam kondisi yang sangat lemah.
• 13. Anusanaparwa, berisi tentang lanjutan petuah-petuahBhisma kepada
Pandawa dan berakhir dengan mangkatnyaBhisma setelah tepat seratus
hari terbaringberalaskan busur panah.
• 14. Aswamedhikaparwa, mengisahkan tentang pelaksanaan upacara
kurban kuda (rajasuya) oleh Yudistira untuk memperoleh gelar
maharajadiraja.
9. • Asramaparwa (Asramawasanaparwa), mengisahkan usaha Pandawa
menghibur Raja Drstharastra dari kesedihan yang teramat dalam akibat
keseratus anaknya gugur dalam peperangan.Cerita berikutnya
mengisahkan perginyaDrstharastrauntuk bertapa ke tengah hutan bersama
Gandhari, Kunti dan Widura. Diakhiri oleh kisah terbakarnya mereka
berempat di tempat pertapaan.
• Mausalaparwa, mengisahkan kutukan Narada kepada keturunan Yadu agar
musnah oleh sebatang gada.
• 17. Prasthanikaparwa, mengisahkan perjalanan Pandawa ke gunung
Mahameru (Himalaya) untuk melakukan brastayoga (yoga pemusnahan).
Dalam yoga ini Dropadi, Arjuna, Sahadewa, Nakula dan Bima berturutturut
wafat. Hanya Yudistira dan seekor anjing yang mengikutinya yang ternyata
adalah BhataraDarma yang mampu masuk ke nirwana (surga) bersama
badan kasarnya.
10. • Swargarohanaparwa, adalah parwa terakhir yang mengisahkan
keadaan para Pandawa di neraka dan Korawa di
surga.Yudistiraterperanjat melihat keadaan saudara-saudaranya
seperti ini dan menilai ada perlakuan yang tidak adil terhadap
saudara-saudaranya. Semua ini disampaikan kepada para dewa dan
akhirnya berhasil mengubah keadaan neraka menjadi surga dan surga
menjadi neraka. Dengan demikian akhirnya Pandawa berhasil
mencapai surga (Pandawa masuk surga) dan Korawa berada di
neraka.
11. • Selain parwa-parwa dalamMahabharata masih ada beberapa parwa
lain yang namanya dijumpai di dalam beberapa manggala atau epilog
karya sastra kakawin. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu parwa-
parwa dimaksud bukan merupakan bagian dari parwa-parwa yang
ada dalam epos Mahabharata. Dalam konteks ini parwa-parwa
dimaksud umumnya diambil sebagai sumber penulisan karya sastra
kakawin oleh para kawi. Sebagai ilustrasi dapat diambil contoh
kakawinHariwangsa dan Krsnantaka.
ManggalakakawinHariwangsamemuat informasi yang sangat berharga
bagi pembaca tentang sumber yang digunakan sang kawi untuk
menyusun kakawin dimaksud, yakni bersumber dari
Hariwangsaparwa.
12. • Tan sangkewihikanmaranghulunapanmanggehkaciryantiwas,
puspanjalya ri jongJanardana juga nghing don iki tan waneh, hetunya
n Hariwangsaparwawangunentutenlalangwakena, cihnaningwinuruk-
wuruktekapirasri lung lango ring lango.
• Bukan karena hamba pandai, sesungguhnya hamba orang yang
bodoh, sebagai persembahan hamba ke hadapan Wisnu, itulah
tujuannya tiada lain, karena itulah Hariwangsaparwadigubah ke
dalam bentuk syair (kakawin), sebagai ciri masih tahap belajar pada
beliau yang ahli dalam bersyair.
13. • Dalam epilog kakawinKrsnantakasecara eksplisit sang kawi (pengarang)
menjelaskan tiga parwa yang digunakan sebagai sumber penulisan
sebagaimana tampak di dalam kutipan berikut.
• Nahantantyanikangkathasramawasasthanikamusalapurwasangkatha,
ndahyeka n ginawepalambanginiketsinahajakikukoluging rasa,
ngkaKrsnantaka nama kala nrpaKesawa n muliha ring kadewatan, ah
durankawasottama (ma)ngkawi-kawi n guyu-guyusukhaningwawahirat.
• Demikianlah cerita Asramawasa, PrastanikadanMausalaparwa (terdahulu),
yang digubahmenjadi syair kakawin dan tidak sesuai denga rasa,
Krsnantaka namanya sewaktu Sang Kesawa akan ke surga, mustahillah syair
yang jelek ini dapat menyenangkan hati sang raja.
14. • Karakteristik Parwa Jawa Kuno
• Sastra parwayang ada dalam khasanah sastra Jawa Kunomerupakan prosa
yang diadaptasi dari parwa-parwa yang ada dalam perbendaharaan sastra
India yakni Mahabharata. Karena itu dalam beberapa hal antara parwa
Jawa Kuno dengan parwa yang ada dalam Mahabharata India masih
memperlihatkan kesamaan tidak saja pada teks atau isi tetapi juga dalam
bentuk penyajian. Salah satu ciri tradisional yang tampak dalam setiap teks
parwa Jawa Kuno adalah masih banyaknya dijumpai kutipan sloka asli
dalam bahasa Sanskerta sebagaimana diakui oleh Zoetmulder (1983 : 80).
Kutipan-kutipan dalam bentuk sloka dimaksud merupakan bagian-bagian
yang relevan dengan epos asli dalam bahasa Sanskerta.
15. • Kemungkinan kata-kata dalam bahasa Jawa Kuno yang mengikuti
kutipan-kutipan dalam bentuk sloka tersebut merupakan parafrase
atau transliterasi dari kutipan sloka bahasa Sanskerta sebagaimana
pernah dikatakan Zoetmulder (1983 : 103).
• Bagi penyadurparwa Jawa Kuno masalah seperti ini agaknya benar-
benar menjadi pemikiran.Paling tidak bila hanya menyertakan kutipan
sloka dalam bahasa Sanskerta tanpa menyertakan parafrase dalam
bentuk (bahasa) Jawa Kuno sebagai penghubung dirasakan jalan
cerita akan lebih sulit untuk diikuti.
16. • Mengenai tujuan atau motivasi disertakannya kutipan-kutipan sloka dalam
bahasa Sanskerta oleh penyadurparwa Jawa Kuno kemungkinan sangat
beragam. Salah satu kemungkinan tersebut pernah dilontarkan Gonda
(1932 : 21). Gonda memberikan komentar bahwa kemungkinan kutipan-
kutipan tersebut hanya semacam patokan untuk mempertahankan
hubungan teks asli dalam bahasa Sanskerta. Mengetahui hubungan teks
seperti ini menjadi hal yang sangat penting dalam studi kritik teks
(filologis). Seperti yang dikatakan Gonda, kutipan-kutipan sloka berbahasa
Sanskerta dalam teks parwa Jawa Kuno dapat menjadi salah satu petunjuk
yang sangat berarti dalam merunut hubungan kedua teks, antara teks
parwa Jawa Kuno dengan sumber aslinya dalam bahasa Sanskerta
manakala studi ini pada saatnya untuk dilaksanakan.
17. • Lain Gonda lain pula pandangan Supomo (1979). Dalam sebuah tulisannya
Supomodengan sangat jelas memberikan pendapat yang berbeda dalam
kasus ini. Kadang-kadang kutipan dalam bahasa Sanskerta yang dijumpai
pada setiap parwa Jawa Kuna memperlihatkan adanya perbedaan dengan
parwa-parwa asli dalam perbendaharaan sastra India (bahasa Sanskerta).
Perbedaan ini mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan penyadur
dalam perbendaharaan bahasa Sanskerta sehingga dalam mengutip sloka-
slokaSanskertasering mengalami kesalahan walaupun pengetahuan dalam
bahasa Jawa Kuno sangat baik. Karena itulah dalam setiap studi yang
menggunakan sastra parwa sebagai sumber kajian diperlukan 6 adanya
studi komparatif antara parwa Jawa Kuno dengan parwa asli dalam bahasa
Sanskerta.
18. • Secara umum dapat dikatakan bahwa teks-teks parwa dalam bahasa Jawa Kuno hampir
keseluruhan ditandai oleh adanya kutipan-kutipan slokaSanskerta. Kutipan-kutipan ini
memberi kesan parwa-parwa asli dalam bahasa Sanskerta diikuti secara ketat oleh
penyadur (penerjemah) bahasa Jawa Kuno terutama dari segi kerangka secara garis
besarnya. Bahkan berdasarkan atas hasil penelitian yang dilakukan Zoetmulder, tidak ada
tambahan berarti atau perubahan mendasar yang dilakukan penyadurparwa Jawa Kuno
dalam mengolah sumber asli parwaSanskerta India. Kesetiaan penyadur pada parwa asli
Sanskerta tercermin dari ungkapan yang dilontarkan dalam teks Wirataparwaseperti
berikut.
…siratasriDharmawangsa teguh anantawikramangaraniraumilwamanggala imangjawaken
byasamatha…. „
beliau Sri Dharmawangsateguh namanya turut menjadimanggaladalam
mengalihbahasakan karya-karya yang terkandung dalam batin Byasa ke dalam bahasa Jawa
(Kuno)‟.
19. • Sengaja dalam konteks ini dikatakan mengalihbahasakan karya-karya
yang terkandung dalam “batin Byasa” karena sebagaimana yang kita
ketahui selama ini BagawanByasa dikenal sebagai penulis
Astadasaparwa atau Mahabharata, yakni sebuah kisah kepahlawanan
yang sampai saat ini dikenal tidak saja di kalangan masyarakat
nusantara tetapi dunia. Dari epos inilah kemudian banyak ditiru oleh
para Yogi atauKawi selama masa Hindu-Jawa untuk mengubah karya-
karya adiluhung seperti kakawin.
20. • Sastra Parwa bukanlah karya yang dilihat dari aspek mutu dapat dianggap
sejajar dengan karya sastra kakawin sebagaimana telah dijelaskan
terdahulu. Dalam teks-teks parwa tidak ada satu pun ungkapan yang
menggambarkan bagaimana penerjemah (baca: penyadur) mengolah
bahasa atau kata-kata yang dapat memberi bobot tersendiridari teks-teks
yang digubahsebagaimana halnya pada hampir sebagian besar dijumpai
pada teks-teks kakawin. Walaupun demikian, dari segi pandangan sejarah
kesusastraan Jawa Kuno patut dicatat teks-teks parwa sebagai karya prosa
naratif yang sifat utamanya lebih banyak mengutamakan kesederhanaan.
Secara fungsional kutipan-kutipan sloka asli (bahasa Sanskerta) pada teks-
teks parwa Jawa Kuno sebenarnya dapat dianggap semacam patokan untuk
mempertahankan hubungan teks asli guna memudahkan merunut atau
mengecek pada bagian mana kutipan dimaksud diambi
21. • Beberapa Pandangan Adanya Parwa Jawa Kuno Berdasarkan data
kepustakaan yang adadari delapan belas parwayang ada dalam
Mahabharata dalam perbendaharaan sastra Indiayang sampai kepada
kita dalam bentuk parwa berbahaa Jawa Kuno diperkirakan hanya
sembilan parwa. Kesembilan parwa tersebut antara lain Adiparwa,
Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bismaparwa,
Asramawasaparwa, Mausalaparwa, Prastanikaparwa dan
Swargarohanaparwa.
22. • Komentar para peneliti mengenai jumlah sastra parwa Jawa Kuno yang ada
sangat beragam. Mereka pada umumnya mempertanyakan apakah hanya
sembilan parwa yang disadur atau diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno
atau kedelapan belas parwa dalam Mahabharata India sudah disadur dalam
bahasa Jawa Kuno tetapi dalam perjalanan sejarah hanya masih dijumpai
sembilan parwa sedangkan parwa-parwa lainnya telah hilang.
• Prof. Berg dalam KidungSundayana memperkirakan seluruh parwa yang terdapat
dalam perbendaharaan sastra India (Mahabharata) telah disadur atau
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno tetapi dalam perjalanan sejarah
kesusastraan kunaIndoanesia beberapa bagiannya telah hilang. Sementara
Pigeaud dalam Literature of Javavol 1 (1967) dengan tegas menolak pendapat
yang pernah disampaikan Prof. Berg dengan mengatakan tidak mungkin
kedelapan belas parwa yang ada dalam Mahabharatadialihbahasakan ke dalam
bahasa Jawa Kuno karena memang parwa-parwa dalam Mahabharata hanya
sebagian saja yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno.
23. • Zoetmulder di dalam Kalangwan(1983) memberikan pandangan yang cukup luas
terhadap permasalahan ini dibandingkan pendapat-pendapat yang telah dikutip
sebelumnya. Dalam pandangan Zoetmulderparwa-parwa Jawa Kuno yang ditemukan
dalam perbendaharaan sastra Jawa Kuno adalah sebagai bukti tingginya perhatian raja
Darmawangsa Teguh di Jawa Timur dalam bidang sastra Hindhu.Disadurnyaparwa-
parwaSanskerta dalam Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno adalah merupakan
bagian dari suatu “proyek yang komprehensif” untuk mengalihbahasakanparwa-
parwaSanskerta India ke dalam bahasa Jawa Kuno. Proyek dimaksud kemungkinan
dimaksudkan untuk menyadur semua parwa yang terdapat dalam perbendaharaan sastra
India (Sanskerta) tetapi pada tahap pertama proyek dimaksud baru diarahkan pada
parwa pertama (Adhiparwa) sampai dengan parwa keenam (Bhismaparwa). Agaknya
setelah proyek tahap pertama selesai program berikutnya terhenti karena satu dan lain
hal. Selanjutnya proyek pada tahap berikutnya dilanjutkan kembali tetapi hanya meliputi
empat parwa terakhir mulai parwa ke-15 (Asramawasanaparwa) sampai parwa ke-18
(Swargarohanaparwa). Permasalahannya adalah, mengapa proyek dimaksud dilanjutkan
mulai parwa ke-15 tidak dimulai dari parwa ke-7 (Dronaparwa).
24. • Diambilnya parwa ke-15 (Asramawasanaparwa) sampai dengan parwa ke18
(Swargarohanaparwa) barangkali dimaksudkan untuk melengkapi karya
sastra kakawin yang telah ada sebelumnya yakni kakawinBharatayuddha.
KakawinBharatayuddha sejauh ini secara garis besar isinya dinilai sebagai
ringkasan kisah Mahabharata yang dikenal dalam perbendaharaan sastra
India. Sebagaimana diketahui kakawin ini dari segi isi kurang lebih hampir
sama dengan isi parwa ke-5 (Udyogaparwa) sampai dengan parwake-10
(Sauptikaparwa). Sementara parwa ke-11 (Striparwa) yang berisi
keluhkesahpara istri (janda) yang telah ditinggal suaminya akibat kekalahan
dalam perang Bharatayuddhasampai dengan parwa ke14
(Aswamedhaparwa), yakni kisah tentang diselenggarakannya upacara
kurban kuda (rajasuya) oleh Yudistira untuk memperoleh gelar
maharajadirajakemungkinan dari segi isi dinilai kurang penting oleh
penyadur.
25. • Waktu Penulisan Untuk mengetahui kedudukan dari teks-teks parwa
dalam konteks keseluruhan parwa Jawa Kuno maka perlu diketahui
dalam periode kapan teks-teks tersebut ditulis. Pada bagian-bagian
pendahuluan dari tiga parwa bagian pertama (adhiparwa,
wirataparwa dan Bhismaparwa) dan juga dalam konteks pembahasan
Uttarakanda (kanda terakhir dari tujuh kanda dalam
RamayanaWalwiki) terdapat satu petunjuk penting tentang waktu
penulisan parwa-parwa tersebut. Terutama dalam teks Wirataparwa
terdapat keterangan yang sangat berarti bila kita hendak memberikan
penafsiran kapan kira-kira parwa tersebut dijawakan.
26. • Keterangan tersebut didapatkan ketika cerita Wirataparwa diakhiri dengan
ulasan oleh Waisampayana kepada raja Janamejaya tentang pahala yang
dapat diperoleh bila membaca cerita ini. Ulasan ini dituangkan dalam
bentuk wawancara seorang raja (Janamejaya) dengan seorang brahmin
(Waisampayana) tentang manfaat akhir dari membaca cerita ini.Dalam
wawancara tersebut raja menanyakan berapa lama waktu yang diperlukan
untuk mendengarkan pembacaan cerita tersebut agar manfaat yang
diperoleh nantinya dapat optimal. Dalam konteks inilah sang Brahmin
mengatakan, kita mulai membaca cerita ini pada hari ke-15 bulan gelap di
bulan Asuji, pada hari tunglekliwon, Buda wuku Pahang dalam tahun 918
penanggalan saka. Dan sekarang adalah mawulu, wage,
wrespatiwukumadangkunganpada hari ke-14 paro terang di bulan kartika.
27. • Bila keterangan di atas dijadikan pegangan dalam menafsirkan
digubahnyaWirataparwa ke dalam bahasa Jawa Kuno maka berarti waktu
digubahnya adalah pada tahun 996 penanggalan masehi, kurang lebih pada
akhir abad ke-10. Bila demikian muncul pertanyaan, bagaimana
dengaparwa-parwa yang lainnya seperti adhiparwa, bhismaparwa dan juga
Uttarakanda)? Pertanyaan ini dapat dikembalikan pada keterangan yang
dijumpai pada bagian awal dari ke-4 parwa tersebut di mana keempatnya
ada menyebutkan nama raja sebagai “sponsor” dalam
penggubahanparwaSanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno, yakni Sri
Dharmawangsa Teguh AnantawikramaTunggadewa. Bila nama ini kita
anggap sebagai raja yang “mensponsori” bagi digubahnyaparwa-parwa
tersebut ke dalam bahasa Jawa Kuno maka dapat dikatakan Adiparwa,
Bhismaparwa dan Uttarakandadigubah pada waktu yang sama dengan
Wirataparwa.
28. • Mengenai Adiparwa yang merupakan parwa pertama dari delapan belas
parwa dalam Mahabharata (dalam artian parwa yang lebih dulu dari
Wirataparwa) agaknya tidak masuk akal seandainya Adiparwa ditulis atau
digubah ke dalam bahasa Jawa Kuno setelah Wirataparwa. Sangat berbeda
dengan keberadaan empat parwa pendek yang menyajikan cerita bagian
akhir dari kisah Mahabharata seperti Asramaparwa, Mausalaparwa,
PrastanikaparwadanSwargarohanaparwa. Keempat parwa ini tidak
didahului dengan kata pengantar walaupun bahasanya Jawa Kuno dan
bukan bahasa Jawa Pertengahan, tetapi dari segi gaya bahasa memberi
kesan parwa-parwa ini digubah lebih kemudian (belakangan) dibandingkan
parwa-parwa yang telah dibicarakan terdahulu.
29. PENUTUP
• Epos Mahabharata atau yang dikenal dengan sebutan astadasaparwa dalam
kehidupan sastra nusantara banyak dijadikan sumber inspirasi oleh para pujangga
kakawin dalam proses penciptaan karya sastra kakawin. Parwa-parwa yang ada di
dalam Mahabharata memiliki kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat
Hindu di Bali karena dianggap sebagai kitab suci WedaSmerti. Dengan
kedudukannya seperti ini keberadaan parwa-parwa dalamMahabharata menjadi
bagian yang amat penting dalam kehidupan masyarakat di Bali karena nilai-niali
yang terkandung di dalamnya banyak dijadikan pedoman dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam bidang kesenian karya-karya sastra Jawa Kuna dalam
bentuk parwamenjadi hal yang sangat penting karena senantiasa dijadikan
sebagai sumber inspirasi oleh para seniman dalam proses penciptaan karya-karya
seni mereka baik seni pertunjukan, seni lukis maupun seni ukir. Semua ini
menunjukkan bahwa kedudukan dan fungsi parwa-parwa dalam Mahabharata
sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di Bali