BE & GG, hendra martha fauzy, hapzi ali, ethics and business;tugas uts ; perilaku rumah sakit terhadap pasien ekonomi bawah , universitas mercu buana, 2017
BE & GG, hendra martha fauzy, hapzi ali, ethics and business;tugas uts ; perilaku rumah sakit terhadap pasien ekonomi bawah , universitas mercu buana, 2017
Be & gg, ade, hapzi ali, ethics and business, philosophical and business,...
Similar to BE & GG, hendra martha fauzy, hapzi ali, ethics and business;tugas uts ; perilaku rumah sakit terhadap pasien ekonomi bawah , universitas mercu buana, 2017
Similar to BE & GG, hendra martha fauzy, hapzi ali, ethics and business;tugas uts ; perilaku rumah sakit terhadap pasien ekonomi bawah , universitas mercu buana, 2017 (20)
BE & GG, hendra martha fauzy, hapzi ali, ethics and business;tugas uts ; perilaku rumah sakit terhadap pasien ekonomi bawah , universitas mercu buana, 2017
1. 1
KODE ETIK : PERILAKU RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN EKONOMI BAWAH
Hendra Martha Fauzy (55117110215)
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA
Fakultas Pasca Sarjana Program Studi Magister Manajamen
Universitas Mercu Buana Jakarta
2017
Abstract
Kegiatan bisnis perusahaan bertujuan utama mendapatkan laba. Rumah sakit
adalah perusahaan pemerintah ataupun swasta yang bergerak dipelayanan
kesehatan. Rumah sakit menjalankan perannya sebagai pelayan kesehatan,
berpedoman pada UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, secara garis besar
mengenai pedoman dan tata kelola rumah sakit. Dalam etika bisnis terdapat hal
yang mendasari alasan bisnis untuk berlaku etis yakni ajaran Tuhan YME,
kepentingan sosial dan pelaku bisnis yang benilai utama. Berdasarkan kode etik,
wajib bagi rumah sakit mengutamakan keselamatan pasien dibanding profit.
Key Words : Etika Bisnis, Rumah Sakit, Keselamatan Pasien
Introduction
Setiap tahun semakin tinggi standar pencapaian laba yang ditentukan
perusahaan dalam rapat tahunan kebijakan perusahaan baik itu rapat umum
pemegang saham (RUPS) maupun rapat internal pimpinan perusahaan. Peningkatan
laba memacu perusahaan untuk berbuat lebih dalam mencapai target tersebut.
Dengan setiap perusahaan menetapkan laba yang terus meningkat maka secara
langsung menciptakan sebuah persaingan antar perusahaan. Rumah sakit sebagai
bentuk usaha di bidang pelayanan kesehatan turut mengalami hal serupa dalam
persaingan usaha. Bentuk persaingan usaha pun tergolong persaingan sempurna
(perfect competition) dimana melibatkan banyak usaha yang sejenis di bidang
pelayanan kesehatan baik itu klinik, rumah sakit kecil maupun besar yang menyebar
disetiap wilayah terutama di kota-kota besar.
Di kota besar kebutuhan akan pemukiman, pendidikan, kesehatan tergolong
amat tinggi. Ditandai banyaknya pemukiman, sekolah dasar hingga perguruan tinggi
serta rumah sakit dan klinik yang banyak didirikan. Banyaknya fasilitas tersebut
mengindikasikan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Namun apakah pertumbuhan
penduduk yang tinggi tersebut diimbangi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang baik.
Berdasarkan BPS tahun 2016 pendapat perkapita masyarakat golongan
miskin Provinsi DKI Jakarta Rp. 510.359 (sebagai acuan kota besar yang sekaligus
ibukota negara), masyarakat ekonomi dengan pendapatan tersebut yang sangat
rentan akan perubahan ekonomi. Bila kita telaah lebih lanjut , angka pendapatan
2. 2
tersebut pun bersadarkan kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan dari sisi
pengeluaran. Rendahnya pendapatan perkapita masyarakat ekonomi bawah
menyebabkan prioritas akan kesejaheraan terutama kesehatan salah satunya
menjadi teraibaikan.
Kebutuhan akan pelayanan kesehatan menjadi amat vital akhir-akhir ini
dikarenakan biaya pengobatan yang amat mahal dan tidak terjangkau bagi banyak
masyarakat. Biaya yang layanan kesehatan yang terus meningkat merupakan sisi
positif bagi pemberi pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit. Bagi rumah
sakit pemerintah bisa dikatakan tidak berorientasi kepada profit namun bagi rumah
sakit swasta tentu profit amat diperlukan dalam menunjang operasional rumah sakit
serta laba yang didapat.
Isu di bidang kesehatan yang terjadi di Indonesia sering berkaitan antara
rumah sakit dengan pasien, dimana akar permasalahan terletak di kebijakan bisnis
rumah sakit dengan status ekonomi pasien. Dalam bisnis, memperoleh keuntungan
sebanyak mungkin merupakan tujuan utama dari rumah sakit namun di sisi pasien
keselamatan nyawa pasien adalah hal yang utama. Terjadi sebuah konflik
kepentingan antara kepentingan pasien dengan rumah sakit.
Masyarakat Ekonomi Bawah
Pengertian Masyarakat Menurut Definisi Para Ahli :
1. Pengertian masyarakat menurut definisi Paul B. Harton, yang mengatakan
pendapatnya bahwa pengertian masyarakat adalah sekumpulan manusia yang
secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama yang cukup lama, yang
mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan
sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu.
2. Pengertian masyarakat menurut definisi Abdul Syani mengatakan bahwa
pengertian masyarakat adalah berkumpul, bersama, hidup bersama dengan saling
berhubungan dan saling mempengaruhi.
3. Pengertian masyarakat menurut definisi Richard T. Schaefer dan Robert P. Lamm
mengatakan pendapatnya bahwa pengertian masyarakat adalah sejumlah besar
orang yang tinggal dalam wilayah yang sama, relatif independen dari orang-orang
di luar itu, dan memiliki budaya yang relatif sama.
4. Pengertian masyarakat menurut definisi Soerjono Soekanto yang mengatakan
bahwa pengertian masyarakat adalah proses terjadinya interaksi sosial, suatu
interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat
yaitu kontak sosial dan komunikasi.
5. Pengertian masyarakat menurut definisi John J. Macionis adalah orang-orang
yang berinteraksi dalam sebuah wilayah tertentu dan memiliki budaya bersama.
6. Pengertian masyarakat menurut definisi Gillin & Gillin mengatakan bahwa
pengertian masyarakat adalah kelompok manusia yang mempunyai kebiasaan
tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang diikat oleh bersamaan.
7. Pengertian masyarakat menurut definisi Harton haunt adalah suatu organisasi
manusia yang saling berhubungan.
3. 3
8. Pengertian masyarakat menurut Selo Sumardjan yang mengatakan bahwa
pengertian masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan.
Menurut Kamanto Sunarto, sejumlah ilmuwan sosial membedakan
masyarakat menjadi tiga kelas atau lebih yakni,
1. Kelas atas, kelas ini ditandai oleh besarnya kekayaan, pengaruh baik dalam
sektor-sektor masyarakat perseorangan ataupun umum, berpenghasilan tinggi,
tingkat pendidikan yang tinggi, dan kestabilan kehidupan keluarga.
2. Kelas menengah, kelas ini di tandai oleh tingkat pendidikan yang tinggi,
penghasilan dan mempunyai penghargaan yang tinggi terhadap kerja keras,
pendidikan, kebutuhan menabung dan perencanaan masa depan, serta mereka
dilibatkan dalam kegiatan komunitas.
3. Kelas bawah, kelas ini biasanya terdiri dari kaum buruh kasar, penghasilannya
pun relatif lebih rendah sehingga mereka tidak mampu menabung, lebih berusaha
memenuhi kebutuhan langsung daripada memenuhi kebutuhan masa depan,
berpendidikan rendah, dan penerima dana kesejahteraan dari pemerintah.
Dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat ekonomi bawah ialah kumpulan
masyarakat kelas bawah dimana status sosialnya dibedakan berdasarkan
penghasilan, kekayaan, pekerjaan dan pendidikan yang dimiliki oleh individu –
individu dari masyarakat tersebut.
Etika Bisnis
Secara etimologi (asal kata) etika berasal dari kata “ethicus” (Bahasa Latin)
dan “eticos” (Bahasa Yunani) yang memiliki makna “kebiasaan”. Menurut Harmon
Chaniago (2013) etika adalah nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat,
didasarkan pada kebiasaan mereka. Hal ini dipertegas oleh Barten dalam Gustina
(2008) “etika dapat diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral dalam suatu
masyarakat. Di sini terkandung arti moral atau moralitasseperti apa yang boleh
dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan yang pantas atau tidak, dan sebagainya.”
Dari beberapa definisi di atas mengenai etika, dapat kita tarik kesimpulan
bahwa etika adalah hal yang penuh dengan pandangan atau nilai yang dianut oleh
masyarakat, di mana dasar nilai itu dibangun dari kebiasaan yang mereka lakukan.
Membahas mengenai etika, maka kita akan masuk pada ranah kebiasaan yang
terjadi pada suatu masyarakat, etika akan berbicara mengenai benar atau salah.
Kebiasaan yang berlaku disuatu tempat biasanya mengacu pada adat istiadat,
norma, peraturan, budaya dan lainnya. Semakin seseorang sesuai dengan
kebiasaan setempat, maka dapat dikatakan ia semakin beretika di tempat yang
bersangkutan.
Bila kita lihat lebih jauh, ada perbedaan yang nyata antara etika dan etiket.
Etiket berasal dari Bahasa Prancis “Etiquette” yang berarti kartu undangan yang
dipakai oleh raja-raja prancis dalam mengadakan acara formal. Pada kartu
undangan tersebut tertera aturan yang harus diikuti bila akan menghadiri undangan
seperti: pakaian, dasi, tempat duduk dan sebagainya. Dalam perkembangannya
4. 4
etiket lebih menitik beratkan pada sikap dan perbuatan yang lebih real (applicative),
ia berbicara apa yang seharusnya dilakukan sesuai aturan yang ada. Dalam
wujudnya etiket dapat dilihat dari tata karma, sopan santun, norma, perbuatan,
kelakuan dan tindak tanduk. (Wursanto dalam Harmon, 2013).
Bisnis adalah kegiatan-kegiatan teratur melayani dalam suatu kebutuhan yang
bersifat umum (artinya: non personal) sambil memperoleh pendapatan (income)
(Pandji). Hal ini dipertegas Skinner dalam Pandji (2007) “bisnis adalah pertukaran
barang, jasa atau uang yang saling menguntungkan atau memberikan manfaat.
Sedangkan menurut arti dasarnya, bisnis memiliki makna sebagai the buying and
selling of goods and services. Sedangkan perusahaan bisnis adalah organisasi yang
terlibat dalam pertukaran barang, jasa, atau uang untuk menghasilkan keuntungan.”
Menurut Pandji (2007) etika bisnis adalah Etika (Ethics) yang menyangkut tata
pergaulan di dalam kegiatan-kegiatan bisnis. Bisnis adalah kegiatan-kegiatan teratur
yang melayani kebutuhan yang bersifat umum (artinya: non-personal) sambil
memeperoleh pendapatan (Income). Jika di dalam “pendapatan” itu dikalkulasikan
laba, maka bisnis tersebut bersifat komersial.
Etika adalah ilmu atau pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang
tidak baik untuk dijunjung tinggi atau untuk diperbuat (Ethics is the science of good
and bad). Jadi dapat kita tarik benang mewah bahwa etika bisnis adalah ilmu yang
menyangkut tata pergaulan di dalam kegiatan-kegiatan bisnis dimana etika bisnis
adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika
bisnis ini menyangkut moral, kontak sosial, hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan
aturan-aturan.
Pembentuk Nilai Etika
Menurut Mamduh (2003) etika individu dipengaruhi atau dibentuk oleh
beberapa hal :
1. Keluarga
Keluarga merupakan tempat tumbuhnya seorang individu, karena keluarga
mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan etika seorang individu. Individu
akan berperilaku mencontoh perilaku orang tuanya atau keluarga dekat, atau
berperilaku seperti yang disusruh oleh orang tuanya.
2. Pengaruh Faktor Situasional
Siatuasi akan menentukan etika individu. Sebagai contoh, jika seseorang mencuri
barangkali mempunyai alasan karena ia membutuhkan uang tersebut karena
anakanya sakit. Meskipun nampaknya jalan yang diambil merupakan jalan pintas,
tetapi situasi semacam itu membantu memahami kenapa seseorang dapat
melakukan tindakan yang tidak etis.
3. Nilai, Moral, dan Agama.
Seseorang yang memprioritaskan sukses pribadi dan pencapaian tujuan keuangan
tentunya mempunyai perilaku yang lain dibandingkan mereka yang memprioritaskan
untuk menolong orang lain. Keputusan dan perilaku manajer seringkali dipengaruhi
oleh kepercayaanya.
5. 5
4. Pengalaman Hidup
Selama hidupnya, manusia mengalami banyak pengalaman baik maupun yang jelek.
Pengalaman tersebut merupakan proses yang normal dalam kehidupan seseorang.
Pengalaman tersebut akan membentuk etika seseorang. Sebagai contoh, seseorang
yang mencuri kemudian tidak tertangkap barangkali akan terdorong mencuri kembali
di masa mendatang. Sebaliknya, jika ia tertangkap dan dihukum, dapat membuatnya
jera untuk melakukan pencurian lagi.
5. Pengaruh Teman
Teman sebaya terutama akan berpengaruh terhadap pembentukan etika seseorang.
Contoh yang paling baik adalah masa anak-anak. Jika seorang anak berteman
dengan anak yang nakal, maka ada kecenderungan anak teresbut tertular nakal.
Demikian juga dengan teman pernainan pada waktu seorang individu menginjak
remaja. Jika lingkungan mempunyai standar etika yang tinggi, seorang individu akan
cenderung mempunyai etika yang tinggi juga.
Prinsip-Prinsip Etika dan Perilaku Bisnis
Menurut pendapat Michael Josephson dalam Pandji (2007), secara universal,
ada 10 prinsip etika yang mengarahkan perilaku, yaitu :
1. Kejujuran, yaitu penuh kepercayaan, tidak curang, dan tidak berbohong.
2. Integritas, yaitu memegang prinsip, melakukan kegiatan terhormat, tulus hati,
berani dan penuh pendirian, tidak bermuka dua, tidak berbuat jahat dan saling
percaya.
3. Memelihara janji, yaitu selalu menaati janji, patut dipercaya, penuh komitmen,
patuh.
4. Kesetiaan, yaitu hormat dan loyal kepada keluarga, teman, karyawan, dan negara;
jangan menggunakan atau memperlihatkan informasi yang diperoleh dalam
kerahasiaan; begitu juga dalam suatu konteks professional, jaga/lindungi
kemampuan untuk membuat keputusan professional yang bebas dan teliti, hindari
hal yang tidak pantas dan konflik kepentingan.
5. Kewajaran/Keadilan, yaitu berlaku adil dan berbudi luhur, bersedia untuk
mengakui kesalahan; dan memperlihatkan komitmen keadilan, persamaan perlakuan
individual dan toleran terhadap perbedaan, jangan bertindak melampaui batas atau
mengambil keuntungan yang tidak pantas dari kesalahan atau kemalangan orang
lain.
6. Suka membantu orang lain, yaitu saling membantu, barbaik hati, belas kasihan,
tolong menolong, kebersamaan, dan menghindari segala sesuatu yang
membahayakan orang lain.
7. Hormat kepada orang lain, yaitu menghormati martabat manusia, menghormati
kebebasan dan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi semua orang, bersopan
santun, jangan merendahkan diri seseorang, jangan memperlakukan seseorang dan
jangan merendahkan martabat orang lain.
6. 6
8. Kewarganegaraan yang bertanggung jawab, yaitu selalu mentaati hukum/aturan,
penuh kesadaran sosial, menghormati proses demokrasi dalam mengambil
keputusan.
9. Mengejar keunggulan, yaitu mengejar keunggulan dalam hal baik dalam
pertemuan personal maupun pertanggungjawaban professional, tekun, dapat
dipercaya/diandalkan, rajin dan penuh komitmen, melakukan semua tugas dengan
yang terbaik berdasar kemampuan, mengmbangkan, dan memperhahankan tingkat
kompetensi yang tinggi.
10. Dapat dipertanggung jawabkan, yaitu memilki tanggung jawab, menerima
tanggung jawab atas keputusan dan konsekuensinya, dan selalu mencari contoh.
Sementara Sonny Keraf dalam Sorta (2008) menyebutkan bahwa secara
umum ada lima prinsip etika bisnis, yaitu :
1. Prinsip Otonomi
2. Prisip Kejujuran
3. Prisip Keadilan
4. Prinsip Saling Menguntungkan, dan
5. Prinsip Integritas Moral.
Cara-cara Memepertahankan Standar Etika
Menurut Pandji (2007), ada beberapa cara untuk mempertahankan standar
etika, dianataranya adalah sebagai berikut :
1. Ciptakan kepercayaan perusahaan, kepercayaan perusahaan dalam menetapkan
nilai-nilai perusahaan yang berdasar tanggung jawab etika bagi stakeholders.
2. Kembangkan kode etik, kode etik merupakan suatu catatan tentang standar
tingkah laku dan prinsip-prinsip etika yang diharapkan perusahaan dan karyawan.
3. Jalankan kode etik secara adil dan konsisten, manajer harus mengambil tindakan
apabila merasa melanggar etika. Bila karyawan mengetahui, bahwa yang melanggar
etika tidak dihukum, maka kode etik menjadi tidak berarti apa-apa.
4. Lindungi hak perorangan, akhir dari semua keputusan setiap etika sangat
tergantung pada individu. Melindungi seseorang dengan kekuatan prinsip-prinsip
moral dan nilai-nilainya merupakan jaminan yang terbaik untuk menghindari
penyimpangan etika. Untuk membuat keputusan-keputusan etika seseorang harus
memiliki :
a. Komitmen etika, yaitu tekad seseorang untuk bertindak secara etis dan
melakukan sesuatu yang benar,
b. Kesadaran etika, yaitu kemampuan untuk merasakan implikasi etika dari
suatu situasi,
c. Kemampuan kompetensi, yaitu kemampuan untuk menggunakan suara
pikiran moral dan mengembangkan strategi pemecahan masalah secara
praktis.
7. 7
5. Adakan pelatihan etika, balai kerja merupakan alat untuk meningkatkan kesadaran
para karyawan.
6. Lakukan audit etika secara periodic, audit merupakan cara yang terbaik untuk
mengevaluasi efektivitas sistem etika. Hasil evaluasi tersebut akan memberikan
suatu sinyal kepada karyawan bahwa etika bukan sekedar iseng.
7. Pertahankan standar yang tinggi tentang tingkah laku, jangan hapus aturan. Tidak
ada seorangpun yang dapat mengatur etika dan moral. Akan tetapi manajer bisa saja
membolehkan orang untuk mengetahui tingkat penampilan yang mereka harapkan.
Standar tingkah laku sangat penting untuk menekankan bahwa betapa pentignya
etika dalam organisasi. Setiap karyawan harus mengetahui bahwa etika tidak bisa
dinegoisasi atau ditawar-tawar.
8. Hindari contoh etika yang tercela setiap saat. Etika diawali dari atasan, atasan
harus memberi contoh dan menaruh kepercayaan kepada bawahannya.
9. Ciptakan budaya yang menekankan komunikasi dua arah. Komunikasi dua arah
sangat penting, yaitu untuk menginformasikan barang dan jasa yang kita hasilkan
dan untuk menerima aspirasi untuk perbaikan perusahaan.
10. Libatkan karyawan dalam mempertahankan standar etika. Para karyawan diberi
kesempatan untuk memebrikan umpan balik tentang bagaimana standar etika
dipertahankan.
Keselamatan Pasien
Patient safety secara harfiah merujuk pada keselamatan pasien. Dengan
rumusan tersebut, maka patient safety seharusnya ditujukan untuk menciptakan dan
memberikan keselamatan bagi pasien. Secara konseptual, patient safety selalu
dikaitkan dengan salah satu risiko dalam rumah sakit, yang merupakan bagian dari
risiko klinis (clinical risk). Yang dinamakan dengan risiko klinis adalah semua isu
yang dapat berdampak terhadappencapaian pelayanan pasien yang bermutu
tinggi,aman dan efektif. Jenis risiko klinis ini disebut dengan patient care-related
risks.
Patient safety atau keselamatan pasien di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UURS). Dalam ketentuan Pasal 2
UURS tersebut dinayatakan dengan tegas bahwa penyelenggaraanrumah sakit
harus didasarkan pada keselamatan pasien. Sedangkan dalam Pasal 3 UURS
dikatakan bahwa pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan antara lain
untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien di rumah sakit,
dan memberikan kepastian hukum kepada pasien Rumah Sakit. Ketentuan
mengenai keselamatan pasien sendiri diatur dalam Pasal 43 UURS. Ketentuan Pasal
43 ayat (1) UURS menyatakan bahwa “Rumah Sakit wajib menerapkan
standar keselamatan pasien.” PenjelasanPasal 43 ayat (1) UURS menjabarkan
ketentuan tersebut dengan menentukan bahwa “Yang dimaksud dengan
keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu Rumah Sakit yang
memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk di dalamnya asesmen
risiko, identifikasi, dan manajemen risiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan
solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Dalam ketentuan
8. 8
selanjutnya dikatakan bahwa standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui
pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam
rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.Yang dimaksud dengan
insiden keselamatan pasien adalahkesalahan medis (medical error), kejadian yang
tidak diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near miss). Selanjutnya Rumah
Sakit melaporkan kegiatan tersebut kepada komite yang membidangi keselamatan
pasien yang ditetapkan oleh Menteri. Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat
secara anonim dan ditujukan untuk mengkoreksi sistem dalam rangkameningkatkan
keselamatan pasien. Ketentuan lebih lanjut mengenai standarkeselamatan
pasien dikatakan akan diatur dengan Peraturan Menteri.
Jika diperhatikan ketentuan tersebut dalam UURS, tidak ada satu
ketentuanpun yang secara konkrit memberikan perlindungan keselamatan bagi
pasien. Semua proses yang dinamakan standar keselamatan hanya dibuat untuk
kepentingan rumah sakit dengan segala macam bentuk dan wujud pelaporan,
analisis dan penurunan angka kejadian di kemudian hari. Tidak ada satupun
ketentuan yang mewajibkan rumah sakit untuk melakukan suatu tindakan atau
perbuatan yang secara konkrit memberika perlindungan bagi pasien sebagai wujud
keselamatan pasien.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/Menkes/PER/VII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Permenkes
1691) yang diharapkan dapat memberikan uraian dan penjabaran lebih rinci
terntang upaya konkrit perlindungan keselamatan pasien secara langsung ternyata
juga tidak memberikan pengaturan sama sekali.
Menurut Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit terdapat tujuh
standar keselamatan pasien tersebu. Salah satunya adalah Hak pasien. Terhadap
hak pasien, terdapat standar dan kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
Standar :
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang
rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak
Diharapkan.
Kriteria :
1. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
2. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
3. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara
jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan
terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan.
Rumusan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit tersebut
adalah satu-satunya ketentuan yang mengatur mengenai Hak Pasien atas
Keterbukaan Informasi bagi pasien dalam bentuk informasi yang berkaitan dengan
kejadian tidak diharapkan. Lebih jauh dari itu tidak ada suatu pengaturan atau
penjabaran lebih lanjut mengenai bentuk atau wujud keterbukaan informasi tersebut,
dan tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai sanksi tidak dilakukannya
keterbukaan informasi tersebut. Alhasil, sampai sekarang ini masih sangat banyak
rumah sakit yang tidak melaksanakan fungsi keterbukaan informasi dalam patient
safety, padahal keterbukaan informasi bagi pasien adalah salah satu pilar utama,
9. 9
bahkan pertama dalam pelaksanaan patient safety. Justru kerahasiaan yang lebih
banyak dikemukakan oleh rumah sakit. Berlindung di bawah topeng kerahasiaan
hanya akan memperburuk hubungan antara pasien dan rumah sakit. Maksud
kerahasiaan adalah agar data pasien tidak dibaca oleh orang atau pihak yang tidak
berwenang untuk melindungi pasien; dan bukan untuk melarang pasien mengetahui
semua informasi medis dari pasien tersebut. Rumusan bahwa Rekam Medis adalah
milik rumah sakit adalah rumusan yang menyesatkan dari UURS. Perlindungan
keselamatan pasien justru tidak tercapai dengan ketentuan tersebut. Pasien dan
rumah sakit seolah-olah dihadapkan bukan sebagai hubungan kepercayaan yang
berfokus pada keterbukaan informasi; tetapi lebih pada hubungan yang bersifat
“antagonis”.
Tidak dapat disangkal bahwa patient safety melibatkan empat domain,
yaitu(1) orang-orang yang menerima pelayanan kesehatan, (2) orang-orang yang
memberikan pelayanan kesehatan, (3) sistem aksi terapeutik, dan (4) metode serta
elemen yang ada dalam setiap domain tersebut. Dalam konteks ini jelaslah jika
patient safety harus berhasil maka orang-orang yang menerima pelayanan
kesehatan atau yang secara umum dinamakan pasien harus tahu dilibatkan di
dalamnya. Tidak mungkin suatu sistem patient safety dapat berjalan dengan baik jika
pasien tidak dilibatkan di dalamnya. Salah satu proses atau cara melibatkan pasien
adalah dengan prinsip keterbukaan (transparansi). Yang dinamakan dengan
transparansi adalah keingingan dan kemampuan untuk jujur dalam melakukan suatu
tindakan tertentu. Dalam konteks patient safety adalah kejujuran kepada pasien,
yang sudah harus dimulai sejak pasien pertama kali mendapatkan pelayanan
kesehatan. Transparansi ini harus berjalan dua arah dan tidak hanya satu arah.
Pasien harus jujur pada pemberi pelayanan kesehatan, demikian juga sebaliknya,
termasuk didalamnya jika terjadi kesalahan medis (medical error), kejadian yang
tidak diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near miss). Dengan terjadinya
keterbukaan, maka kepercayaan antara pasien dan pemberi layanan kesehatan
termasuk fasilitas pemberi pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit menjadi lebih
tinggi. Segala sesuatu hal selanjutnya akan diselesaikan secara bersama-sama.
Budaya saling menyalahkan (blaming culture) pun tidak akan sempat berkembang.
Dari sudut pandang etika, patient autonomy memberikan hak kepada pasien
untuk mengetahui apa yang akan dan telah terjadi kepadanya sehingga pasien dapat
mengambil keputusan yang tepat tanpa harus menyalahkan siapapun juga. Dari
sudut pandang pasien, keterbukaan mengenai fakta, langkah yang diambil,
keterbukaan sikap serta perilaku pemberi layanan kesehatan, termasuk manajemen
rumah sakit, termasuk langkah-langkah pencegahan di kemudian hari. Makin banyak
yang disembunyikan dari pasien, makin takut pasien tersebut berhubungan dengan
pelayanan kesehatan.
Dengan demikian seperti rumusan kata-katanya yang secara harfiah merujuk
pada keselamatan pasien, dengan pasien sebagai subjeknya yang harus
diselamatkan, maka sudah seharusnyalah jika patient safety jangan sampai hanya
menjadi jargon dengan segala macam pencatatan dan pelaporan yang pada
akhirnya hanya akan menjadi catatan di atas kertas yang tidak pernah memberikan
manfaat langsung pada pasien, namun alih-alih untuk mencegah terjadinya hal
serupa di kemudian hari. Penerapan patient safety saat ini memang masih jauh dari
pemahaman tentang makna sesungguhnya daripatient safety. Seperti dikatakan
sebelumnya tidak adanya sanksi yang dapat dikenakan pada rumah sakit yang
melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan patient safet turut memperburuk
10. 10
pelaksanaan patient safety di Indonesia. Untuk itu pemberian sanksi yang lebih tegas
bagi rumah sakit maupun tenaga kesehatan yang bekerja dalam rumah sakit yang
tidak melaksanakan patient safety procedure, khususnya dalam pemberian
keterbukaan informasi dengan baik dan benar sangatlah diperlukan. (sumber :
Gunawan Widjaja, kompasiana, 2015)
Methods
Rumah sakit adalah salah saru organisasi kesehatan yang dengan segala
fasilitas kesehatannya diharapkan dapat membantu pasien dalam meningkatkan
kesehatan dan mencapai kesembuhan baik fisik, psikis maupun sosial. Menurut
Taylor (1995) tujuan perawatan tidak hanya memulihkan kesehatan pasien secara
fisik tetapi sedapat mungkin diupayakan menjaga kondisi emosi dan jasmani pasien
menjadi nyaman. Namun kemajuan yang pesat dalam teknologi medis belum diiringi
dengan kemajuan yang sama pada aspek-aspek kemanusiaan dari perawatan
pasien (Prokop, Bradley, Burish, Anderson, & Fox, 1991). Proses perawatan di
rumah sakit seringkali mengabaikan aspek-aspek psikologis sehingga menimbulkan
berbagai permasalahan psikologis bagi pasien yang salah satunya adalah
kecemasan. Kecemasan ini timbul akibat dari perilaku yang tidak etis bagi pasien
yang rata-rata berada di kelas ekonomi bawah.
Berdasarkan metode observasi yang dilakukan berdasarkan kasus yang
terjadi dimasyarakat dan diangkat oleh media massa diantaranya :
1. Mother and baby Indonesia, memberitakan :
Ayu Tria Desiani, 7, meninggal di ICU RS Harapan Kita, Jakarta Barat, pada
27 Desember 2012 lalu akibat penyakit leukemia yang dideritanya. Bocah itu
meninggal dunia lantaran ruangan ICU yang digunakannya digunakan sebagai lokasi
syuting sebuah sinetron stripping yang disiarkan sebuah stasiun televisi lokal. Para
kru film tersebut bahkan bebas keluar masuk ruangan yang seharusnya steril.
Peralatan mereka yang berserakan, tentu menggangu pasien yang berada di
ruangan tersebut. Saat itu, Ayu mengalami koma, jantungnya berhenti, sehingga
mengharuskan dirinya untuk dipompa dengan alat. Namun, setengah jam kemudian,
Ayu meninggal dunia. Ayu merupakan putri dari karyawan sebuah kantor berita di
Jakarta.
Putri Rahmadania, 2, mengalami gangguan sistem pernapasan. Namun, ia
harus ditolak berobat di rumah sakit karena faktor kemiskinan. Menurut orangtua
Putri, Agus, ia sempat mendapat rujukan dari Puskesmas untuk membawa Putri ke
sebuah rumah sakit yang lebih besar. Namun, rumah sakit tersebut menolaknya
dengan alasan tidak memiliki alat. Setelah itu, ia mencoba membawa Putri ke RS
Hasan Sadikin, Bandung. Namun, Agus malah disuruh membawa Putri kembali ke
rumah sakit sebelumnya.
Revan Adiyaksa Andi Amir Balita berusia 1 tahun 3 bulan ini meninggal akibat
muntaber pada 26 Juni 2013 lalu setelah 4 rumah sakit di Makassar menolak
merawat bayi dari keluarga pemegang kartu Jamkesda. Setelah 2 hari derita
muntabernya, orangtua Revan memutuskan membawanya ke rumah sakit.
Bukannya mendapat perawatan, ia malah ditolak. Satu rumah sakit beralasan tak
bisa merawat karena Revan sudah kritis. Tiga lainnya menolak dengan alasan
11. 11
ruangan penuh. Akibat terlambat ditangani, kondisi Revan memburuk hingga
akhirnya meninggal.
Naila, bayi berusia dua bulan ini meninggal di pangkuan ibunya pada 30
Oktober 2013. Naila meninggal karena terlambat mendapat pertolongan saat akan
berobat di RSU Lasinrang, Pinrang. Saat itu, Naila sudah mengalami kesulitan
napas. Namun, perawat di rumah sakit tersebut menolak memberi pelayanan karena
berkas keterangan sebagai warga miskin yang dibawa orangtua Naila belum
lengkap. Naila meninggal di pangkuan Sang Ibu saat ayahnya tengah berdebat
dengan petugas di loket rumah sakit.
Siti Fatimah, saat datang ke rumah sakit, Siti Fatimah, 8, sudah tak berdaya di
gendongan Sang Ibu, Maisaroh. Ketika Maisaroh ingin mendaftarkan anaknya
menjadi pasien penyakit polio, ia ditolak dengan alasan kartu Jamkesmas miliknya
sudah tidak berlaku, sehingga Maisaroh harus membayar biaya perawatan Siti di luar
kartu Jamkesmas. Ia mencoba memperpanjang masa berlaku kartu, tetapi masa
perpanjangan kartu ternyata sudah berakhir. Sebagai ibu, Maisaroh hanya bisa
pasrah.
2. Sindonews.com pada Minggu, 19 Juni 2016 - 23:59 WIB memberitakan :
Bogor , kasus orang miskin yang dipersulit pihak rumah sakit saat berobat hingga
kini masih kerap terjadi. Salah satunya adalah Sry Mulyani, pasien Rumah Sakit (RS)
Mary, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat ini sempat ditahan selama empat hari oleh pihak
RS. Dikarenakan tak bisa melunasi biaya pengobatan setelah mengalami keguguran.
Sebagai seorang buruh yang memiliki pendapatan pas-pasan, Yuda (suami)
mengaku, tak bisa membayar tagihan perawatan sang istri secara kontan.
Result And Discussion
Pelanggaran Kode Etik Rumah Sakit
Berdasarkan observasi dari informasi yang didapat melalui media elektronik
masih banyak rumah sakit yang menelantarkan pasien dikarenakan faktor
adminitrasi dalam hal ini biaya. Sikap keengganan rumah sakit dalam menangani
pasien kurang mampu ditunjukan berupa sikap penolakan dan mempersulit akses
pelayanan kesehatan kepada pasien.
Penolakan dan mempersulit pasien merupakan pelanggaran kode etik rumah
sakit serta prosedur pelayanan rumah sakit dimana seharusnya sesuai UU No. 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada pasal 2 dan 3 menyebutkan :
Pasal 2
“Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada
nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak
dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta
mempunyai fungsi sosial”.
12. 12
Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan
b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit
c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit;
dan d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber
daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Selain melanggar UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit sikap penolakan dan
mempersulit pasien juga melanggar Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI),
dimana menerangkan :
Pasal 3
“Rumah sakit harus mengutamakan pelayanan yang baik dan bermutu secara
berkesinambungan serta tidak mendahulukan urusan biaya”.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut seharusnya rumah sakit
memahami bahwasannya menelantarkan serta mengabaikan pasien untuk
mendapatkan akses pelayanan kesehatan merupakan tindakan melanggar hukum.
Selain itu juga tindakan diskrimintif pasien terhadap pasien golongan tidak mampu
mencerminkan sikap rumah sakit yang memetingkan keuntungan semata tanpa
menghiraukan kode etik rumah sakit yang telah ditetapkan bersama.
Perbaikan Kualitas Pelayanan Pasien
Perilaku rumah sakit dengan menolak dan mempersulit pasien memperoleh
pelayanan kesehatan guna keselamatan nyawa pasien tersebut dikarenakan biaya
sungguh tidak dapat ditoleransi selain membahayakan jiwa pasien, rumah sakit telah
melanggar kode etik dari sudut pandang moral dikarenakan cara rumah sakit
mencapai tujuan bisnisnya tidak berperilaku sesuai moral/hati nurani. Kegiatan bisnis
yang dijalakan, kebijakan yang diambil serta interaksi sosial dengan masyarakat
sangat tidak sesuai dengan norma norma dengan mengutamakan profit diatas
segalanya.
Selain kebijakan rumah sakit yang menjadi sorotan publik, sikap dan layanan
rumah sakit juga penting untuk dievaluasi dengan mengenali kualitas pelayanan
rumah sakit dari penampilan gedung dan peralatan yang dimiliki rumah sakit,
profesionalitas kerja para personil rumah sakit, efisiensi dan efektivitas pelayanan
serta tingkat kepuasan pasien.
Paling utama adalah kepuasan pasien, dimana ditentukan oleh keseluruhan
rangkaian pelayanan, mulai dari pelayanan administrasi, tim kesehatan (dokter,
perawat, dan tenaga medis lainnya), penyediaan makanan, obat-obatan, serta
sarana dan peralatan, fasilitas dan lingkungan fisik rumah sakit. Pada dasarnya,
justru ketidakpuasan pasien seringkali dikemukakan terkait dengan sikap dan
perilaku petugas rumah sakit.
13. 13
Kualitas Dan Kepuasan Pasien Kunci Keberhasilan Rumah Sakit
Sikap dan perilaku seperti keterlambatan dalam pelayanan, dokter susah
ditemui, tenaga dokter kurang komunikatif dan informatif, proses perawatan yang
lama, dan beragam aspek pelayanan lainnya di rumah sakit, termasuk pula
ketertiban dan kebersihan lingkungan rumah sakit. Maka penting untuk
memperhatikan perilaku, tutur sapa, serta keramahan petugas dalam memberikan
pelayanan pada pasien. Kemudahan untuk mendapatkan informasi dan komunikasi
juga mempengaruhi persepsi kepuasan pasien. Bahkan tak jarang dijumpai,
meskipun pasien atau keluarganya merasa hasil yang didapat tak sesuai dengan
harapan mereka, namun mereka merasa puas karena dilayani dengan sikap dan
perilaku yang dinilai menghargai perasaan dan martabat mereka.
Kualitas pelayanan rumah sakit yang mengutamakan kualitas sangat
diperlukan guna memperbaiki citra rumah sakit yang enggan menerima pasien
ekonomi bawah. Dengan pelayanan yang baik maka pasien merasa puas dan
terbantu tanpa melihat hasil yang didapat karena baik pasien dan keluarga pasien
merasa dilayani dengan baik.
Dalam penelitian yang dilakukan Solichah Supartiningsih (2016) dalam jurnal
“Kualitas Pelayanan an Kepuasan Pasien Rumah Sakit: Kasus Pada Pasien Rawat
Jalan” di Rumah Sakit Sarila Husada Sragen, hasil analisis menunjukkan bahwa
variabel keandalan (reliability) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan pasien rumah sakit Sarila Husada Sragen pada pasien Rawat Jalan. Hal
ini dapat diartikan jika kemampuan dalam memberikan pelayanan dengan segera
dan memuaskan serta sesuai dengan apa yang dijanjikan meningkat maka kepuasan
pasien rumah sakit Sarila Husada Sragen pada pasien Rawat Jalan akan meningkat
pula.
Peranan Pemerintah Dalam Pembinaan Dan Pengawasan Rumah Sakit
Arah Pembinaan dan Pengawas
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menentukan
bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap rumah sakit dengan melibatkan organisasi profesi, asosiasi
perumahsakitan, dan organisasi kemasyarakatan lainnya sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing.
Pembinaan dan pengawasan tersebut diarahkan untuk:
1. Pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat;
2. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan;
3. Keselamatan pasien;
4. Pengembangan jangkauan pelayanan; dan
5. Peningkatan kemampuan kemandirian rumah sakit.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, menurut Pasal 54 ayat (3) UU Rumah Sakit, mengangkat tenaga pengawas
sesuai dengan kompetensi dan keahliannya. Tenaga pengawas tersebut menurut
14. 14
Pasal 54 ayat (4), melaksanakan pengawasan yang bersifat teknis medis dan teknis
perumahsakitan.
Yang dimaksud dengan pengawasan teknis medis adalah audit medis. Yang
dimaksud dengan pengawasan teknis pemumahsakitan adalah audit kinerja rumah
sakit. Audit medis dan audit kinerja menurut Pasal 39 ayat (1) UU Rumah Sakit,
harus dilakukan dalam penyelenggaraan rumah sakit.
Menurut Pasal 39 ayat (3) audit kinerja dan audit medis sebagaimana
dimaksud di atas dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Berbeda dengan
ketentuan Pasal 54 ayat (4), Pasal 39 ayat (4) UU Rumah Sakit menentukan audit
kinerja eksternal dapat dilakukan oleh tenaga pengawas. Menurut Pasal 39 ayat (4)
audit kinerja rumah sakit secara eksternal oleh tenaga pengawas bersifat opsional,
karena digunakan kata “dapat” sebelum kata “dilakukan. ”Sedangkan menurut Pasal
54 ayat (4), tenaga pengawas memang diangkat untuk melaksanakan audit medis
dan audit kinerja rumah sakit.
Tindakan Administratif
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dapat mengambil tindakan administratif berupa:
1. Teguran;
2. Teguran tertulis; dan/atau
3. Denda dan pencabutan izin.
Tindakan administratif yang dapat diambil oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bersifat alternatif akumulatif. Artinya Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dapat mengambil salah satu di antara tindakan yang dapat diambil, atau kombinasi di
antara tindakan-tindakan yang dapat diambil.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pembinaan dan Pengawasan Non Teknis
Pembinaan dan pengawasan non teknis perumahsakitan yang melibatkan
unsur masyarakat dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Pembinaan dan
pengawasan secara internal dilakukan oleh Dewan Pengawas Rumah Sakit.
Sedangkan pembinaan dan pengawasan secara eksternal dilakukan oleh Badan
Pengawas Rumah Sakit Indonesia.
Dewan Pengawas Rumah Sakit yang merupakan suatu unit non struktural
yang bersifat independen dan bertanggung jawab kepada pemilik rumah sakit dan
dapat dibentuk oleh pemilik rumah sakit. Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah
sakit terdiri dari unsur pemilik rumah sakit, organisasi profesi, asosiasi
perumahsakitan, dan tokoh masyarakat. Keanggotaan dewan Pengawas Rumah
sakit berjumlah maksimal 5 orang, terdiri dari 1 orang ketua merangkap anggota, dan
4 orang anggota.
15. 15
Tugas Dewan Pengawas Rumah Sakit adalah:
1. Menentukan arah kebijakan rumah sakit.
2. Menyetujui dan mengawasi pelaksanaan rencana strategis.
3. Menilai dan menyetujui pelaksanaan rencana anggaran.
4. Mengawasi pelaksanaan kendali mutu dan kendali biaya.
5. Mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien.
6. Mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban rumah sakit.
7. Mengawasi kepatuhan penerapan etika rumah sakit, etika profesi, dan peraturan
perundang-undangan.
Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia (BPRSI) melakukan pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU Rumah Sakit. BPRSI
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan bertanggung jawab kepada Menteri
Kesehatan. BPRSI merupakan unit organisasi non struktural pada Kementerian
Kesehatan dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.
Keanggotaan BPRSI berjumlah maksimal 5 orang, terdiri dari satu orang
ketua merangkap anggota dan 4 orang anggota. Keanggotaan BPRSI terdiri dari
unsure pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh
masyarakat. BPRSI dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh sekretariat yang
dipimpin oleh seorang sekretaris. Biaya untuk pelaksanaan tugas BPRSI dibebankan
kepada APBN.
BPRSI bertugas:
1. Membuat pedoman tentang pengawasan rumah sakit untuk digunakan oleh Badan
Pengawas Rumah Sakit Provinsi (BPRSP);
2. Membentuk sistem pelaporan dan sistem informasi yang merupakan jejaring dari
BPRSI dan BPRSP; dan
3. Melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada
Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan.
Di Tingkat Provinsi Dapat Dibentuk BPRSP
BPRSP dapat dibentuk di tingkat Provinsi oleh Gubernur dan bertanggung
jawab kepada Gubernur. BPRSP merupakan unit organisasi non struktural pada
Dinas Kesehatan Provinsi dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.
Keanggotaan BPRSP berjumlah maksimal 5 orang, terdiri dari satu orang
ketua merangkap anggota dan 4 orang anggota. Keanggotaan BPRSP terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh
masyarakat. Biaya untuk pelaksanaan tugas tugas BPRSP dibebankan kepada
APBD.
BPRSP bertugas:
1. Mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien di wilayahnya.
2. Mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban rumah sakit di wilayahnya.
16. 16
3. Mengawasi penerapan etika rumah sakit, etika profesi, dan peraturan perundang-
undangan.
4. Melakukan pelaporan hasil pengawasan kepada BPRSI.
5. Melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada
Pemerintah Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan.
6. Menerima pengaduan dan melakukan upaya penyelesaian sengketa derngan cara
mediasi.
Meskipun tugas BPRSP begitu penting, namun pembentukannya diserahkan
kepada masing-masing Gubernur. Undang-undng tidak mewajibkan pembentukan
BPRSP, tetapi membuka peluang bagi Gubernur untuk membentuknya. Ketentuan
lebih lanjut mengenai BPRSI dan BPRSP diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(sumber:www.jamsosindonesia.com, pembinaan dan pengawasan rumah sakit,
2016)
Conclusion And Recomendation
Rumah sakit merupakan pusat pelayanan kesehatan yang secara kode etik
dan pedoman UU NO. 49 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit wajib melayani pasien
dalam kondisi apapun. Namun dalam prakteknya masih banyak rumah sakit yang
menolak dan menghambat pelayanan medis pasien dikarenakan faktor biaya.
Kebijakan rumah sakit dengan mengutamakan biaya demi profit merupakan unsur
pelanggaran kode etik serta undang-undang.
Selain biaya, kualitas dan pelayanan pasien pun sering tidak mementingkan
mutu, padahal mutu kualitas dan pelayanan merupakan unsur penting kepuasaan
pasien. Ketidakpuasan pasien atas mutu dan kualitas pelayanan menimbulkan
kecemasan akan keselamatan pasien yang semestinya tidak terjadi karena telah
dijamin oleh negara melalui undang-undang.
Peran negara sangat dibutuhkan dalam menjamin keselamatan warga negara
dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai yang telah diatur. Disini kehadiran
negara sangat dibutuhkan baik sebagai regulator kebijakan, pengawas serta
pengadil. Selain sanksi yang tegas bagi rumah sakit yang melanggar, negara juga
wajib memberikan pengarahan yang informatif baik kepada rumah sakit maupun
pasien dalam proses pelayanan kesehatan sehingga masing – masing pihak paham
akan kewajiban dan hak yang melekat.
17. 17
Daftar Pustaka
Anogara, Pandji, 2007. Pengantar Bisnis Pengelolaan Bisnis Dalam Era Globalisasi,
Rineka Cipta, Jakarta.
Chaniago, Harmon, 2013. Manajemen Kantor Kontemporer. Bandung: Akbar Limas
Perkasa CV.
Dwi, 2016.http://umum-pengertian.blogspot.co.id/2016/05/pengertian-masyarakat-
secara-umum.html (08 Oktober 2017, jam 21.15)
Hanafi, Mamduh M, 2003. Manajemen, Yogyakarta: Akademi Manajemen Perushaan
YKKL.
https://www.motherandbaby.co.id/article/2013/12/15/1270/Pasien-Miskin-Dapat-
Pelayanan-Buruk (15 Oktober 2017, jam 14.30)
https://metro.sindonews.com/read/1118034/170/pasien-miskin-di-bogor-ditahan-
rumah-sakit (15 Oktober 2017, jam 14.35)
https://manajemenrumahsakit.net/2015/05/sikap-dan-perilaku-petugas-rumah-sakit-
kunci-kepuasan-pasien. (15 Oktober 2017, jam 16.00)
Kongres PERSI VIII, 2000. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia, Jakarta.
Kurniawati, Hanie, 2015. Literatur Review : Pentingkah Etika Bisnis Bagi
Perusahaan, Politeknik Negeri Bandung, Bandung.
Martabat, 2016. Pembinaan dan Pengawasan Rumah Sakit, jamsosindonesia.com.
Nurlita, Hadjam, 2002. Kecemasan Pasien Rawat Inap Ditinjau dari Persepsi
Tentang Layanan Keperawatan di Rumah Sakit, Universitas Gajah Mada,
Yogjakarta.
Republik Indonesia, 2009. Undang Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit, Lembar Negara RI Tahun 2009, No.5072, Seketariat Negara, Jakarta.
Keraf, A Sonny, 1998. Etika Bisnis (Tuntutan Dan Relevansinya). Yogyakarta:
Kanisius.
Sunarto, Kamanto, 1993. Pengantar Sosiologi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta.
Supartiningsih, Solichah, 2017. Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah
Sakit : Kualitas Pelayanan an Kepuasan Pasien Rumah Sakit: Kasus Pada
Pasien Rawat Jalan, Universitas Muhamadiyah Yogjakarta, Yogjakarta.
Taylor, S. E ,1995. Health psychology. Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Prokop, C. K., Bradley, L. A. J Burish, T. G., Anderson, K. 0., & Fox, 1. E, 1991.
Health psychology: Clinical methods and research. New York: McMillan Inc.
Widjaja, Gunawan, 2015. https://www.kompasiana.com/gunawanwidjaja/patient-
safety-kepentingan-rumah-sakit-atau-pasien_55778eefa623bd765215be54.
(15 Oktober 2017, jam 14.15)