2. 1992
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel:
5. Pengenalan Gejala Klinis Tumor Otak – A. Chalim Muntasir
8. Gejala Psikiatrik Tumor Otak – Suwondo
12. Peran CT Sean pada Diagnosis Tumor Otak – Tri Astuti Wonoyudo
19. Diagnosis Tumor Otak dengan MRI – Arman Adel Abdullah
21. Histopatologi Tumor Otak – FX Eddy Gunawan Yusup
26. Peranan Radioterapi pada Neoplasma Susunan Saraf Pusat – R.
Susworo
30. Terapi Pembedahan Tumor Otak – Djoko Riadi
33. Biopsi Stereotaksi Tumor Otak – Ali Shahab
37. The Role of Occupational Therapy in Patient with Brain Tumor –
Martina V. Tobing
39. Rehabilitasi Pasien dengan Tumor Otak – PT Simatupang
44. Pengelolaan Nyeri pada Kanker Stadium Lanjut – MN Jenie
52. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala – Budi Riyanto W.
56. Lingkungan Sosial Pasien Ketergantungan Obat di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat dan di Inabah – Sudibyo Supardi, Rini
Sasanti Handayani, Max Joseph Herman
61. Pengalaman Praktek
62. Abstrak
64. RPPIK
Karya Sriwidodo
3. Tumor otak merupakan salah satu penyakit yang paling ditakuti manusia.
Betapa tidak; kita semua mengetahui bahwa otak merupakan organ sentral
yang sangat penting bagi kehidupan yang berguna; sementara orang bahkan
mengatakan bahwa manusia berbeda dari makhuk hidup lainnya terutama
karena fungsi otaknya. Dan tumor sampai saat ini merupakan jenis penyakit
yang belum dapat diatasi sepenuhnya oleh pengetahuan kedokteran, apalagi
bila temasuk jenis tumor yang ganas.
Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa diagnosis tumor otak selalu
merupakan vonis kematian bagi penderitanya; dewasa ini ilmu kedokteran
telah berkembang pesat, teknik diagnostik dan pengobatan terus menerus
disempurnakan, dan harapan hidup para penderitanya semakin meningkat.
Untuk lebih mengenali gejala klinis tumor otak sedini mungkin , sekaligus
memahami perangainya, maka beberapa waktu yang lalu Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Soebroto telah menyelenggarakan Simposium Tumor
Otak dengan PT Kalbe Farma sebagai sponsor tunggal. Dalam simpōsium ini
dibahas pule; cara-cara diagnosis, pengobatan - balk secara operasi maupun
cara-cara lainnya - dan tindakan rehabilitasi bagi para penderita tumor otak.
Simposium ini diadakan sebagai penyegar pengetahuan bagi para sejawat
agar tetap waspada terhadap kemungkinan penyakit ini, karena seperti juga
berlaku bagi penyakit lain pada umumnya, semakin dini penyakit diketahui,
semakin baik prognosisnya.
Selamat membaca.
Redaksi
Cermin 2 Dunia Kedokteran No. 77, 1992
4. Cermin
Dunia Kedokteran
1992
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
REDAKSI KEHORMATAN
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
– Prof. Dr. R.P. Sidabutar
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
– Prof. DR. B. Chandra
Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya.
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.
– Drg. I. Sadrach
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Jakarta
– DR. Arini Setiawati
Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta,
REDAKSI KEHORMATAN
KETUA PENGARAH
Dr Oen L.H
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PELAKSANA
Sriwidodo WS
TATA USAHA
Sigit Hardiantoro
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
Telp. 4892808
Fax. 4893549, 4891502
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
PENCETAK
PT Midas Surya Grafindo
– DR. B. Setiawan
– Drs. Oka Wangsaputra
– DR. Ranti Atmodjo
– Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSe.
– Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
– DR. Susy Tejayadi
PETUNJUK UNTUK PENULIS
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang
tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-nai
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai
dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca
yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang
ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya
dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor
sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari
kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted
to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174–9.
Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms
of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105
Jakarta 10002
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan
amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis
dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 3
5. English Summary
CT SEAN IN THE DIAGNOSIS OF
BRAIN TUMORS
Tri Astuti Wonoyudo
Department of Radiology, Gatot Soe-broto
Army General Hospital, Jakarta,
Indonesia
Computerized Tomography
Sean (CT Sean) has become an
important diagnostic tool, par-ticularly
in patients with brain
tumors. This technique has re-placed
older procedure such as
pneumoencephalography, and
more sensitive than conventional
tomography; although in some
cases, It must be further verified
by angiography, particularly in
tumors with abnormal vaseula-lure.
CT Sean has a high sensitivity
(80–98%) in detecting intracranial
mass lesions; it can give addi-tional
informations in order to
differentiate tumors from non-neoplastic
lesions, particularly
infarets or abeesses. Although
each tumor usually gives a rather
specific pattern in CT sean, the
exact diagnosis still awaits pa-thological
examinations.
Cermin Dunia Kedokt. 1992; 77: 12–8
brw
THE ROLE OF OCCUPATIONAL
THERAPY IN PATIENTS WITH BRAIN
TUMOR
Martina V. Tobing
Department of Rehabilitational Medicine,
Gatot Soebroto Army General Hospital,
Jakarta, Indonesia
Occupational therapy for
patients with brain tumor, either
before or after surgery, consists
mainly of improvement and
preservation of ADL skills. The goal
is to allow the patient as much
independence as possible and
thgrefore help him create a sense
of self-esteem, which will improve
the quality of life.
Essential to successful rehabili-tation
is an immediate start with
occupational therapy to prevent
contractures and atrophy, main-tain
self-care skills, and create a
positive attitude on life.
Cermin Duda Kedokt. 1992; 77: 37-8
mvf
MANAGEMENT OF ACUTE HEAD
INJURY
Budi Riyanto W.
Mental Organic Division, Bogor Mental
Hospital, Bogor, Indonesia
Head injury is one of the most
frequent case seen in acute
emergency ward in hospitals;
and with the increasing mobility
of people, those cases are
expected to be more prevalent
in the future.
Head Injury cases' have seve-ral
unique aspects, due to the
limited regeneration potentials
of neurons; and since the cases
were mainly consist of males in
productive age, the burden to
the community can be enermous.
The prompt and adequate
management in acute phase -
which consist of management of
vital functions, assessment of the
state of conseiousness and pre-vention
of complications– is very
crucial in order to prevent further
deterioration and late disability.
Cermin Dunia Kedokt. 1992; 77: 52-5
brw
In Skating over tin ice, our safety is in our speed
(Ralph Waldo Emerson)
Cermin 4 Dunia Kedokteran No. 77, 1992
6. Artikel
Pengenalan Gejala Klinis Tumor Otak
Dr. A. Chalim Ms
Departemen Neurologi RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta
PENDAHULUAN
Selama tahun 1988–1990 tereatat sejumlah 112 penderita
tumor otak berbagai jenis yang dirawat di RSPAD Gatot Soebroto
Jakarta. Sebagian dari penderita tumor otak tersebut memang
path mulanya ditemukan di klinik Neurologi karena umumnya
menunjukkan gejala-gejala yang sifatnya neurologis.
Di kalangan medis pada umumnya sudah dikenal trias
gejala tumor otak yaitu nyeri kepala, muntah dan ditemukannya
edema papil pada pemeriksaan fundus. Tetapi sebenarnya gejala
klinis tumor otak sering tidak sejelas itu, apalagi pada fase dini.
Tumor otak bisa memberikan gejala klinis beragam tergantung
kepada lokasi dan ukurannya. Gejala itu bisa khas, tapi bisa pula
kabur, sehingga bila kita tidak waspada bisa terkecoh dengan
dugaan yang keliru.
Tulisan ini dimaksudkan agar kita bisa mengenali gejala
tumor otak secara lebih dini dengan penekanan pada gejala
spesifiknya, khususnya berkaitan dengan lokasi tumornya.
GEJALA TUMOR OTAK
Tumor otak bisa mengenai segala.usia, tapi umumnya pada
usia dewasa muda atau pertengahan, jarang di bawah usia 10
tahun atau di alas 70 tahun. Sebagian ahli menyatakan insidens
pada laki-laki lebih banyak dibanding wanita, tapi sebagian lagi
menyatakan tak ada perbedaan insidens antara pria dan wanita.
Gejala umum yang terjadi disebabkan karena gangguan
fungsi serebral akibat edema otak dan tekanan intrakranial yang
meningkat. Gejala spesifik terjadi akibat destruksi dan kompresi
jaringan saraf, bisa berupa nyeri kepala, muntah, kejang,
penurunan kesadaran, gangguan mental, gangguan visual dan
sebagainya. Edema papil dan defisit neurologis lain biasanya
ditemukan pada stadium yang lebih lanjut.
Nyeri Kepala (Headache)
Nyeri kepala biasanya terlokalisir, tapi bisa juga menyeluruh.
Biasanya muncul pada pagi hari setelah bangun tidur dan ber-langsung
beberapa waktu, datang pergi (rekuren) dengan
interval tak teratur beberapa menit sampai beberapa jam. Se-rangan
semakin lama semakin sering dengan interval semakin
pendek. Nyeri kepala ini bertambah hebat pada waktu penderita
batuk, bersin atau mengejan (misalnya waktu buang air besar
atau koitus). Nyeri kepaia juga bertambah berat waktu posisi
berbaring, dan berkurang bila duduk.
Penyebab nyeri kepala ini diduga akibat tarikan (traksi)
pada pain sensitive structure seperti dura, pembuluh darah atau
serabut saraf.
Nyeri kepala merupakan gejala permulaan dari tumor otak
yang berlokasi di daerah lobus oksipitalis.
Muntah
Lebih jarang dibanding dengan nyeri kepala. Muntah biasa-nya
proyektil (menyemprot) tanpa didahului rasa mual, dan
jarang terjadi tanpa disertai nyeri kepala.
Edema Papil
Keadaan ini bisa terlihat dengan pemeriksaan funduskopi
menggunakan oftalmoskop. Gambarannya berupa kaburnya batas
papil, warna papil berubah menjadi lebih kemerahan dan pucat,
pembuluh darah melebar atau kadang-kadang tampak terputus-putus.
Untuk mengetahui gambaran edema papil seharusnya kita
sudah mengetahui gambaran papil normal terlcbih dahulu. Pe-nyebab
edema papil ini masih diperdebatkan, tapi diduga akibat
penekanan terhadap vena sentralis retinae. Biasanya terjadi bila
tumor yang lokasi atau pembesarannya menckan jalan aliran
likuor sehingga mengakibatkan bendungan dan terjadi hidro-
Disajikan dalam Simposium Tumor Otak, 20 Juli 1991 di RSPAD Gatot
Soebroto, Jakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 5
7. sefalus interim.
Kejang
Ini terjadi bila tumor berada di hemisfer serebri serta me-rangsang
korteks motorik. Kejang yang sifatnya lokal sukar
dibedakan dengan kejang akibat lesi otak lainnya, sedang kejang
yang sifatnya umum/general sukar dibedakan dengan kejang
karma epilepsi. Tapi bila kejang terjadi pertama kali pada usia
dekade III dari kehidupan harus diwaspadai kemungkinan ada-nya
tumor otak.
GEJALA TUMOR OTAK BERDASAR LOKASI
Tumor di lobus frontalis daerah prefrontal bisa memberikan
gejala gangguan mental sebelum munculnya gejala lainnya,
berupa perubahan perasaan, kepribadian dan tingkah laku serta
penderita merasakan perasaan selalu senang (euforia); jadi
menyerupai gejala psikiatris. Makin besar tumomya, gejala
gangguan mental ini semakin nyata dan kompleks. Afasia mo-torik
(gangguan bicara bahasa berupa hilangnya kemampuan
mengutarakan maksud) bisa terjadi bila tumor mengenai daerah
area Broca yang terletak di belahan kiri belakang. Reflck me-megang
(grasp reflex) juga khas untuk tumor di lobus frontalis
ini. Pada stadium yang lebih lanjut bisa terjadi gangguan pem-bauan
(anosmia), gangguan visual, gangguan keseimbangan
dalam berjalan, gangguan bola maw karena kelumpuhan saraf-nya
serta edema papil.
Tumor di daerah presentral bisa menimbulkan gejala kejang
fokal pada sisi kontralateral. Kelumpuhan motorik timbul bila
terjadi destruksi atau penekanan oleh tumor terhadap jalur
kortikospinal.
Tumor di kelenjar hipofisis akan memberikan gejala sesuai
dengan sel kelenjar endokrin yang terkena. Adenoma eosinofil
pada anak akan menyebabkan pertumbuhan raksasa, sehingga
lebih besar dan tinggi dibanding anak seumurnya. Sedang pada
orang dewasa akan menyebabkan pembesaran tangan, kaki,
jari-jari, mandibula, penebalan kulit dan lidah (akromegali).
Adenoma basofil menyebabkan penimbunan lemak di daerah
wajah, bahu, abdomen disertai pengecilan alat genital (distrofia
adiposogenitalis). Adenoma khromofob menyebabkan bertam-bahnya
berat badan dan menurunnya libido.
Tumor lobus temporalis bila berada di daerah unkus akan
menimbulkan gejala halusinasi pembauan dan pengecapan
(uncinate fits) disertai gerakan-gerakan bibir dan lidah (mengecap-ngecap).
Bila lesinya destruktif akan menimbulkan gangguan
pembauan dan pengecapan walau tidak sampai total. Tumor di
lobus temporal bagian media bisa menimbulkan gejala "seperti
pernah mengalami kejadian semacam ini sebelumnya" (deja vu).
Bisa juga terjadi gangguan kesadaran sesaat (misalnya selagi
penderita berjalan kaki) tapi tidak sampai terjatuh. Gangguan
cmosi berupa rasa takut/panik bisa juga muncul. Berkurangnya
pendengaran bisa terjadi pada tumor yang mengenai korteks di
bagian belakang lobus temporal. Tumor di hemisfer dominan
bagian belakang (area Wcrnicke) menimbulkan gejala afasia
sensoris, yaitu kehilangan kemampuan memahami maksud
pembicaraan orang lain. Tumor yang berkembang lebih lanjut
akan melibatkan jalur kortikospinal sehingga menyebabkan
kelumpuhan anggota badan sisi kontralateral. Bisa juga terjadi
herniasi dan menekan batang otak sehingga menyebabkan
gangguan pada beberapa saraf kranial, misalnya terjadi dilatasi
pupil sesisi yang menetap atau menghilangkan reflek kornea.
Tumor di lobus parietalis pada umumnya akan memberikan
gejala pelbagai bentuk gangguan sensoris. Lesi iritatif bisa
menimbulkan gejala parestesi (rasa tebal, kesemutan atau seperti
terkena aliran listrik) di satu lokasi, yang kemudian bisa me-nyebar
ke lokasi lainnya. Lesi destruktif akan menyebabkan
hilangnya berbagai bentuk sensasi, tapi jarang anestesi total.
Gangguan diskriminasi terhadap rangsang taktil, astereognosis
(tak bisa mengenali bentuk benda yang ditaruh di tangan) me-rupakan
bentuk-bentuk gejala yang sering timbul. Tumor yang
tumbuh ke arah lebih dalam bisa menimbulkan gejala hiperestesi,
seperti merasakan rangsang yang berlebih padahal rangsang
yang sebenarnya terjadi hanya ringan. Atau bisa juga mengenai
jalur optik (radiatio optica) sehingga timbul gangguan penglihat-an
sebagian.
Tumor pada girus angularis kiri bisa menimbulkan gejala
yang disebut aleksia (kehilangan kemampuan memahami kata-kata
tertulis). Sedang pada yang kanan menyebabkan gejala
berupa gangguan dalam menyadari adanya sisi sebelah dari
tubuh.
Tumor di lobus oksipitalis memberikan gejala awal ter-utama
nyeri kepala. Gejala khas yang muncul yaitu defek la-pangan
penglihatan sebagian. Lesi di hemisfer dominan bisa
menimbulkan gejala tidak mengenal benda yang dilihat (visual
object agnosia) dan kadang-kadang tidak mengenal warna
(agnosia warna), juga tidak mengenal wajah orang lain (pro-sopagnosia).
Tumor di daerah mesensefalon sering menekan jalur supra
nuklear dari nukleus n. III & IV sehingga menimbulkan gangguan
konyugasi bola mata. Juga terjadi dilatasi pupil sebelah mata
(anisokori) yang bereaksi negatif terhadap rangsang cahaya.
Tremor, nistagmus dan ataksia bisa terjadi bila jalur ke serebelum
ikut terlibat, dcmikian juga spastisitas anggota badan karena
terlibatnya jalur kortikospinal. Penekanan terhadap jalur aliran
likuor menimbulkan hidrosefalus sehingga nycri kepala ke-mudian
edema papil timbul.
Tumor di daerah pons dan medula oblongata biasanya
menimbulkan gejala fokal permulaan berupa paresis n. VI
unilateral sehingga bola mats tidak bisa melirik ke sisi lesi,
disertai diplopia (melihat dobel). Nycri kepala dan pusing
(vertigo) yang diperberat oleh rotasi kepala juga merupakan
gejala yang umum terjadi. Mengingat daerah ini merupakan
tempat beradanya Beberapa inti saraf kranial, maka akan
timbul pula beberapa gejala akibat disfungsi saraf kranial
tersebut. Hemiparesis alternans merupakan salah satu ciri lesi
di daerah ini.
Tumor di serebellum biasanya menyerang anak-anak.
Gejala yang menonjol pada fase awal berupa kenaikan tekanan
intrakranial akibat penekanan jalan likuor sehingga terjadi
hidrosefalus. Biasanya terjadi pula gangguan keseimbangan
Cermin 6 Dunia Kedokteran No. 77, 1992
8. dalam berdiri dan berjalan. Ini bisa diperiksa dengan menyuruh
penderita berdiri sambil menutup mata, penderita akan goyang
(test Romberg). Tumor serebelum di daerah lateral (hemisfer)
lebih menonjolkan gejala nistagmus yang nyata ke arah sisi
lesi, sedang bila tumor di daerah median tidak menunjukkan
nistagmus yang jelas. Juga ataksia lcbih menonjol pada anggota
badan sebelah sisi lesi.
PENUTUP
Dengan dikemukakannya berbagai gejala tumor otak di-harapkan
setidak-tidaknya kita menjadi lebih waspada akan
kemungkinan adanya tumor di dalam otak. Untuk konfirmasi
diagnostik lebih lanjut tentu dibutuhkan berbagai alat bantu
diagnostik seperti EEG, CT Sean atau MRI.
Masih banyak gejala klinis tumor otak lain yang sangat
komplek, yang secara keseluruhan belum mungkin untuk di-bicarakan
satu persatu dalam kesempatan ini. Beberapa bagian
lokasi otak di mana tumor otak bisa bersarang belum dibicarakan
gejala-gejalanya. Untuk lebih memperdalam gejala-gejala tumor
otak yang kompleks tersebut, dianjurkan untuk menelaah kem-bali
sumber-sumber kepustakaan yang ada.
KEPUSTAKAAN
1. Chusid JG. Correlative Ncuroanatomy and Functional Neurology 17th.ed.
California : Lange Med Publ, 1979.
2. De Jong RN. Neurologic Examination. 4th.cd. Hagerstown : I larper &
Row Pub], 1979.
3. Kennard C, Clifford RF. Physiological Aspects of Clinical Ncuro-
Ophthalmology, Year Book Medical Publisher, Inc., 1988.
4. Markam S. Neurologi Praktis. Jakarta : Kalman Book Service, 1975.
5. Merrit I1I1. A Textbook of Neurology. 6th.ed. Philadelphia : Lca &
Febigcr, 1979.
6. Walton SJ. Brain's Diseases of the Nervous System. 9th.ed. Oxford Uni-versity
Press, 1985.
7. Referat co-assisten Dep. Neurologi RSPAD Gatot Socbroto.
Cermin Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 7
9. Gejala Psikiatrik Tumor Otak
Dr. Suwondo
Departemen Kesehatan Jiwa RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta
PENDAHULUAN
Hampir semua insan akan merasa ngeri manakala sudah
ditetapkan diagnosis bahwa dirinya menderita tumor apalagi
tumor otak. Hal demikian tidaklah berlebihan karena hingga
saat ini belum juga ditemukan sistem pengobatan yang mujarab
untuk penyembuhan tumor secara tuntas; sehingga wajarlah jika
persepsi orang terhadap diagnosis tumor adalah identik dengan
menunggu datangnya kematian, yang pada umumnya sejak di-tegakkan
diagnosis sampai datangnya maut waktunya diper-kirakan
tidak akan lama lagi. Meskipun sudah disadari bahwa
maut pasti datang, namun sangatlah jarang orang yang siap
menghadapinya. Yang lazim terjadi peristiwa itu selalu me-rupakan
stressor bagi yang bersangkutan maupun keluarga
yang ditinggalkan.
Reaksi pasien dan keluarganya dalam menghadapi tumor
otak bermacam-macam, ada yang dengan tabah dan pasrah;
tetapi kebanyakan orang akan merasa sangat menderita tekanan
batin setelah mengetahui diagnosis dan gambaran perjalanan
penyakit itu.
Reaksi emosional tersebut perlu diketahui dalam rangka
menentukan sikap (approach) dari berbagai disiplin ilmu terkait
dalam menangani tumor otak secara bersama-sama, yang
menyangkut aspek organobiologik (fisik) psiko edukatif dan
sosio kultural. Hal ini penting karena aspek psikiatri tumor otak
dapat muncul dalam berbagai situasi, misalnya :
1. Adanya gejala psikiatri yang erat mendahului gejala klinis
yang lain.
2. Reaksi emosional setelah diagnosis adanya tumor.
3. Reaksi emosional pada tindakan (pra operasi).
4. Reaksi emosional pasea tindakan/post operasi dan rehabili-tasi.
5. Menghadapi pasien path stadium terminal.
6. Reaksi emosional dari keluarga dan lingkungan.
Dalam uraian berikut akan dibahas peran serta psikiatri dalam
menangani tumor otak; dalam hal diagnosis dini, terapi dan
rehabilitasi sera menghadapi pasien dalam stadium terminal.
TUMOR OTAK DAN KELAINAN PSIKIATRI
Tumor otak dapat timbul di berbagai bagian dari otak; di
jaringan otak, selaput otak, sistim. ventrikel, pleksus koroid,
glandula pinealis, hipofisis dan lain-lain. Tumor otak dapat
bersifat primer atau sekunder sebagai akibat metastasis dari
tumor di bagian lain.
Manifestasi klinis tumor otak tergantung dari beberapa
faktor, antara lain :
∗ Jenis dan sifat tumor
∗ Kecepatan pertumbuhan dan penyebaran
∗ Lokalisasi tumor
∗ Kecepatan kenaikan tekanan intrakranial.
Tumor ōtak paling sering mengakibatkan timbulnya ke-lainan
psikiatri baik secara langsung maupun tidak langsung.
Timbulnya gejala psikiatri biasanya akan terlihat lebih awal.
Kalau perjalanan penyakit demikian, maka tidak terlalu sulit
untuk mendeteksi tumor otak tersebut. Namun seringkali di-dapatkan
perjalanan penyakit yang sebaliknya, yaitu gejala
psikiatri muncul lebih dahulu sehingga tidak jarang pasien di-diagnosis
dan diterapi sebagai sehizophreniform, karena pada
kasus demikian memang tidak ditemukan gejala-gejala yang
nyata; atau kalau didapatkan gejala neurologis, penyakitnya
sudah semakin parah. Gejala psikiatri ini perjalanannya dapat
cepat atau pelan-pelan dan bervariasi cukup luas; sehingga tidak
dapat untuk pedoman dalam menentukan stadium tumor otak.
Disajikan dalam Simposiwn Tumor Otak, 20 Juli 1991 di RSPAD Gatot
Soebrōto, Jakarta.
*) Psikiater Departemen Keswa RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta
Cermin 8 Dunia Kedokteran No. 77, 1992
10. Dengan perkataan lain, kelainan psikiatri yang timbul pada
tumor otak yang tidak menunjukkan gejala neurologik yang jelas
perlu diwaspadakan. Pada kasus demikian perlu dilakukan
pemeriksaan CT Sean kepala dan penanganan selanjutnya.
PROBLEM PSIKIATRI PASIEN TUMOR OTAK
Pasien yang menderita tumor otak seringkali menghadapi
problem psikiatri yang berpengaruh pula terhadap keluarganya,
lingkungannya dan semua yang terkait dengannya. Aspek
psikiatri akan muncul setelah diketahui ada tumor otak, selama
dalam perawatan, pengobatan, rehabilitasi maupun saat meng-hadapi
stadium terminal.
Problem psikiatri yang timbul pada umumnya berkisar
pada permasalahan sebagai berikut :
1) Keadaan penyakitnya sendiri
2) Antisip'asi dari dokter yang merawatnya
3) Lasputaksasi (yang pada umumnya cukup lama)
4) Informasi mengenai diagnosis penyakit, terapi/operasi dan
pasea operasi serta rehabilitasi
5) Fungsi organ tubuh pasea operasi
6) Keadaan terminal.
Frekuensi problem pada pasien tumor otak (yang se-belumnya
bukan penderita gangguan jiwa) menurut Leponski :
1) Basic Stress Psychology yang berhubungan dengan diagno-sis,
perawatan dan rencana penanganan selanjutnya.
2) Komunikasi informatif tentang rencana tindakan (operasi)
dengan berbagai alternatif yang mungkin timbul.
3) Persiapan pre dan post operasi.
4) Pengertian psikodinamik mengenai hubungan antarapasien-dokter-
keluarga dan lingkungan.
Dengan mengetahui hal-hal tersebut diharapkan para
dokter yang menangani tumor akan memperhitungkan bahwa
kemungkinan akan dapat timbul kelainan psikiatri pada pasien
itu sendiri maupun keluarganya.
GEJALA PSIKIATRI TUMOR OTAK
Gejala psikiatri tumor otak variasinya cukup banyak, ber-beda-
beda bagi tiap-tiap pasien walaupun diagnosisnya sama,
bahkan pada seorang pasien seringkali gejalanya berubah-ubah
dari waktu ke waktu.
Karena gejala psikiatri ini tidak membentuk suatu sindrom
psikiatri yang khas maka kelakuan psikiatri yang timbul pada
tumor otak tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
tumor dan lokalisasinya. Namun demikian kalau dicurigai dapat
diperiksa lebih lanjut (misalnya CT Sean kepala) untuk me-yakinkan
diagnosis dan tindakan selan jutnya.
Gejala psikiatri yang sering timbul pada tumor otak antara
lain .
1) Gangguan fungsi intelek; yang paling menonjol ialah
menurunnya fungsi pertimbangan dan tata sosial pada umumnya.
Kelakuan ini tergantung pada jenis dan lokalisasi tumor serta
gambaran kepribadian premorbid.
2) Gangguan fungsi berbahasa; gejala ini biasanya mengabur-kan
gejala psikiatri lain namun justru pada kasus demikian
perlu diperiksa lebih teliti.
3) Hilangnya daya ingat; terutama atas peristiwa yang baru
saja terjadi, sedang peristiwa yang sudah lama kadang-kadang
masih diingat baik. Seringkali dapat muncul seperti sindrom
Korsakoff.
4) Gangguan emosi; pasien menjadi Icbih Ickas marah, atau
dapat pula dalam keadaan depresi.
5) Kemunduran taraf kecerdasan secara umum.
6) Gangguan orientasi.
7) Kelainan dan perubahan tingkah laku/kepribadian (per-sonality
changes).
8) Gejala-gejala neurologik yang samar.
Di samping gejala-gejala psikiatri yang timbul akibat
tumor otak, juga timbul reaksi dari pasien terhadap penyakit
tersebut antara lain :
1) Stres emosional meliputi terapi/perawatan dan prognosis-nya
serta problem biaya.
2) Sikap pasien terhadap tumor otak :
a) Menerima apa adanya (accepting the diagnosis).
b) Sedih dan bingung (apprehension ).
c) Acuh tak acuh dengan penyakitnya (apathy).
d) Berusaha mencari berbagai upaya penyembuhan.
e) Cemas menghadapi kematian.
3) Timbulnya keluhan fisik dan psikis yang umumnya berlatar
belakang pada rasa cemas, depresi dan penolakan terhadap
penyakitnya. Pada umumnya kelakuan psikiatri akan timbul
bila pasien mempunyai :
a) Perasaan berdosa dan bersalah yang tidak atau belum ter-selesaikan.
b) Kesadaran akan tugas yang belum selesai.
c) Kesempatan-kesempatan yang terbengkalai.
d) Cemas akan perpisahan.
e) Problema psikis yang belum terselesaikan.
Kelainan psikiatri dapat pula timbul setelah tindakan (ope-rasi)
terhadap tumor otak, misalnya :
1) Komplikasi psikiatri postoperatif yang berhubungan
dengan :
a) Tingkat anxietas pre operatif.
b) Harapan yang realistik/tidak realistik.
c) Sikap denial dari pasien.
2) Anxietas, kecemasan dan persepsi lingkungan.
3) Dependency; bahkan sering terjadi tingkah laku regresif
(regressive behaviour) baik fisik maupun emosional.
4) Reaksi depresi, murung, lesu, tak ada gairah hidup, merasa
berdosa, merasa mendapat kutukan, menyesali diri sendiri, ke-inginan
untuk bunuh diri.
5) Keluhan-keluhan hipokondriasis.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kelainan
psikiatri pada tumor otak timbul sebagai :
a) Gejala dari tumor yang dapat timbul lebih dini maupun
pada saat-saat Ian jut.
b) Reaksi pasien terhadap tumor.
c) Reaksi pasien terhadap rencana tindakan, pasea tindakan
dan problem finansial.
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 9
11. d) Komplikasi psikiatrik pasea operasi.
CONTOH KASUS (I)
Seorang laki-laki bernama Sy, umur 23 tahun, pendidikan
AKABRI tahun terakhir. Pasien anak ke 7 dari 10 bersaudara.
Sejak kecil diasuh oleh orang tuanya, hubungan dengan
saudara-saudaranya cukup baik. Riwayat pendidikan sejak SD
hingga AKABRI prestasinya baik, selalu mendapat ranking di
kelas. Sifatnya agak keras dibandingkan dengan saudaranya,
tetapi ia pandai bergaul walaupun dari fihak keluarga tidak ada
yang menjadi ABRI. Semenjak berada di tingkat terakhir
AKABRI, pasien mengeluh tidak dapat berkonsentrasi,
pikirannya suing kacau dan tingkah lakunya semakin aneh.
Pernah terjadi sewaktu latihan luar, tiba-tiba pasien bicaranya
kacau, tingkah lakunya anch, tidak selayaknya sebagai taruna
AKABRI dan dianggapnya karena kesurupan. Akhirnya pasien
dirawat di rumah sakit di bagian jiwa kira-kira 1 bulan. Untuk
tahun terakhir ini pasien tinggal kelas. Setelah mengikuti
pendidikan lagi prestasinya semakin menurun dan sekali-kali
menunjukkan keanehan.
Sewaktu dalam pendidikan penyakitnya kambuh lagi, se-lanjutnya
pasien dirawat lagi di rumah sakit dan oleh psikiater
setempat didiagnosis Skizofrenia. Selama dalam perawatan
kira-kira 6 bulan, respon terhadap terapi kurang begitu baik.
Hasil konsultasi dengan bagian Neurologi dan pungsi lumbal
semuanya tidak menemukan kelainan neurologis.
Pada tanggal 10-1-1986, pasien dirujuk ke RSPAD dengan
surat pengantar dan diagnosis Skizofrenia. Pasien datang dalam
keadaan sadar, dapat berjalan sendiri, menggunakan seragam
AKABRI tempi kurang memperhatikan tata tertib militer yang
biasanya ditaati sekali. Sikapnya acuh tak acuh, ekspresi wajah
tampak kosong, kontak psikis tidak adckuat, kadang-kadang
bicara sendiri. Orientasi terhadap waktu, tempat, personal tidak
jelas terganggu.
Hasil pemeriksaan neurologis, tidak jelas ada kelainan. EEG
dalam batas normal. Setelah 5 hari dalam perawatan di Bagian
Jiwa RSPAD, pasien menunjukkan adanya nystagmus dan
penglihatan merasa kurang terang.
Hasil konsultasi Bagian Mata dijawab; Gambaran fundus
ODS baik, ada nystagmus.
Hasil konsultasi ulang Bagian Neurologi didapat kesan
Observasi tumor hipofisis dan disarankan untuk CT Sean
kepala. Hasil CT Sean kepala tanggal 16-1-1989 : Neoplasma
daerah pineal dengan ukuran yaitu 5 x 4 x 5 cm yang meluas ke
supra sellar.
Selanjutnya pasien ditangani oleh bagian Bedah Saraf. Selama
dalam perawatan di Bedah Saraf pasien sempat dicutikan ke
daerah asalnya, sambil menunggu persiapan operasi. Kemudian
pasien dioperasi, dengan tindakan pembedahan V-P Shunt, dan
diagnosa akhir : Tumor ventrikel III dengan hidrosefalus.
CONTOH KASUS (II)
Pasien seorang laki-laki, umur 45 tahun, pangkat Serka.
Pada tanggal 15-12-1986, pasien dibawa berobat ke bagian
Psikiatri RSPAD Gatot Soebroto, karena bicaranya kacau,
marah-marah, suka telanjang (tidak malu sama sekali), buang
air kecil sembarangan dan di tempat umum, ingin pergi dari
rumah dan sukar dikendalikan. Keadaan ini dialaminya untuk
yang pertama kalinya. Sebelumnya pasien sifatnya peramah,
sangat sopan kepada siapa saja, rajin bekerja, tidak pemah
menēntang perintah atasan, rukun dengan teman sekerjanya.
Sebulan sebelum sakit, pasien sempat pergi membawa mobil
beserta keluarganya ke Garut dari Jakarta pulang balik.
Semenjak pulang dari Garut, itu pasien sering termenung,
kadang-kadang bicara sendiri, berani membolos dari dinas bahkan
pernah tidak mau melaksanakan perintah atasannya, serta tingkah
lakunya aneh. Oleh keluarga pasien dikira kesurupan, lalu di-bawa
ke dukun. Setelah kira-kira sebulan tidak ada kemajuan,
lalu dibawa ke bagian Jiwa RSPAD Gatot Soebroto.
Selama dalam perawatan di bagian Jiwa : Keadaan umum
kompos mentis, pakaian kurang teratur, dan pasien tidak mem-perhatikan
tata tertib militer sama sekali. Kontak psikis tidak
adekuat, bicara kacau, pasien minta dipegangi istrinya terus.
Pasien buang air kecil sembarangan, suhu badan 30°C, tensi 140/
80 mmHg.
Hasil konsultasi dengan bagian lain :
Interna : Observasi UTI dan DD/thypoid fever
Urologi : Nocturia ec psikogenik.
Neurologi : Suspek meningoencephalitais
EEG : dalam batas normal.
Selanjutnya pasien dipindah rawat di Bagian Neurologi.
CT Sean kepala : tanpa/dengan kontras menunjukkan gambaran
butterfly glioblastoma corpus callosum bagian interior.
DD/Astrocytoma.
Pasien meninggal setelah 21 hari perawatan, sebelum
tindakan pembedahan yang direncanakan setelah keadaan
umumnya membaik.
PEMBAHASAN
Dari kedua contoh kasus di atas, pasien dirujuk ke bagian
Jiwa dengan kesan suatu keadaan psikosis, dan sewaktu datang
belum menunjukkan kelainan neurologis yang nyata.
Perjalanan penyakit untuk kasus pertama lebih dari satu
tahun dalam perawatan psikiatrik, sedang kasus kedua hanya
sekitar satu bulan (yang dugaan semu sehingga dibawa ke dukun)
dan dibawa ke bagian Jiwa dengan kesan suatu psikosis.
Dari kedua kasus tersebut upaya untuk menegakkan
diagnosis adanya tumor serebri dilakukan dengan CT Sean
kepala karena pemeriksaan sebelumnya termasuk pemeriksaan
EEG tidak jelas menunjukkan adanya kelainan. Akhirnya pasien
meninggal di Bagian Bedah Saraf setelah dilakukan tindakan
operasi, sedang kasus kedua belum sempat dilakukan operasi
sudah meninggal.
Di sini jelas bahwa pasien tersebut datang dengan kelainan
psikiatrik, padahal sebenarnya ia juga menderita tumor intra
kranial yang tidak terdcteksi sejak dini.
Cermin 10 Dunia Kedokteran No. 77, 1992
12. KESIMPULAN
Telah diuraikan secara singkat aspek psikiatri tumor otak
dengan contoh kasus. Kelainan psikiatri akibat tumor otak dapat
limbul lebih dini dari kelainan klinik yang lain sehingga jika
kasus psikiatri dengan kecurigaan latar belakang tumor otak
perlu pemeriksaan Iebih cermat (misal CT Sean) agar penangan-an
tidak terlambat.
Meskipun ada kelainan psikiatri pada tumor otak namun
tidak merupakan sindrom klinik yang khas sehingga kelainan
tersebut tidak dapat untuk menentukan jenis dan lokalisasi
tumor.
Psikiatri dapat berperanserta dalam penanganan tumor otak
sejak penentuan diagnosis, perawatan, persiapan operasi, pasea
operasi dan rehabilitasi serta pada stadium terminal.
KEPUSTAKAAN
1. Goldman H. Organic Mental Disorders, Review of General Psichiatry,
Singapore: Maruzen Asia, 1984.
2. Haus P. When the Patient doesn't Die. General Hospital Psichiatry, Boston,
1988.
3. Kaplan III, Sadock BJ. Comprehensive Textbook of Psychiatry, V. Balti-more,
London: William and Wilkins Co, 1989.
4. Kolb LC. Psychological Factors Affecting Physical Condition. Modem
Clinical Psychiatry. 10th ed. London: WB. Saunders Co, 1982.
5. Ledenberg Marquerete, FMD. Psychooncology. Review of Comprehensive
Textbook of Psychiatry V. Baltimore, 1989.
6. Lucete FE. Strain J. Psychological Problem of the Patient with Head and
Neck Cancer, Comprehensive Management of Head and Neck Tumors,
Philadelphia: WB. Saunders Co., 1987.
7. Sehwartz SI. Psychiatry complication. Principles of Surgery 4th ed. Singa-pore:
MeGraw Hill International Book co, 1983.
8. Silvan Arieti. American Hand Book of Psychiatry, 2nd ed. vol. IV. USA:
Basic Book Inc. 1975.
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 11
13. Peran CT Sean pada
Diagnosis Tumor Otak
Dr. Tri Astuti Wonoyudo
Departemen Radiologi RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta
PENDAHULUAN
CT sudah menjadi prosedur diagnostik yang paling penting
dalam cvaluasi penderita yang diduga mengidap tumor intra-kranial.
Sensitifitas CT untuk mendeteksi dini masa intrakranial
khususnya neoplasma cukup tinggi (80% – 98%)(1,2,3,4). Karena
gambaran CT dari beberapa lesi intrakranial dapat menyerupai
satu sama lain seperti kata Kricheff "Everything can look like
everything", maka CT tidak selalu dapat membuat diagnosis
patologi secara tepat. Rangkaian pemeriksaan CT dapat mem-bantu
membedakan kondisi non-neoplastik, misalnya infark,
hematoma, lcsi vaskuler dari suatu neoplasma.
CT lebih sensitif daripada foto polos kranium dalam men-deteksi
kalsifikasi intrakranial; namun demikian pemeriksaan
foto polos kranium dan tomografi konvensional dapat me-lengkapi
dan memberikan informasi tambahan yang penting,
misalnya adanya perubahan karena erosi tulang yang khas.
Adanya perubahan pada tulang sangat penting di dalam menilai
regio seta tursika dan kanalis akustikus internus.
Angiografi penting sebagai prosedur tambahan dan pe-lengkap
untuk menentukan pola vaskuler yang abnormal dari
beberapa neoplasma, juga di dalam menentukan adanya lesi
vaskuler yang menyerupai neoplasma.
CT sudah menggantikan pemeriksaan dengan mengguna-kan
udara, misalnya pneumoensefalografi, kecuali pada diagno-sis
neurinoma akustik intrakanalikuler yang sangat kecil; lcsi
tersebut dapat ditentukan dengan air CT-cysternogram atau gas
meatografi(3,4,5).
KEKHASAN CT PADA DIAGNOSIS NEOPLASMA
INTRAKRANIAL
1. Lokasi yang khas
Lokasi tumor merupakan salah satu kekhasan CT yang
sangat membantu untuk mendcfcrensiasi diagnosis suatu neo-plasma.
Lokasi ekstraaksial adalah khas untuk tumor-tumor
jinak (sela tursika, sudut serebelopontin dan daerah di sekitar
duramater). Lokasi intraaksial di dalam substansi otak bagian
dalam biasanya khas untuk neoplasma ganas. (Gambar )
2. Usia penderita saat pertama kali menunjukkan gejala.
3. Absorpsi radiasi yang khas (density) sebelum dan sesudah
enhancement media kontras.
4. Komposisi tumor.
5. Konfigurasi tumor.
Tepi yang rata biasanya suatu tumor jinak, sedangkan tepi
yang ireguler dan berbatas tidak tegas biasanya suatu tumor
ganas.
6. Multiplikasi.
Multiplikasi suatu tumor intraaksial biasanya suatu
metastasis(1,2).
I. NEOPLASMA SUPRATENTORIAL
A. MENINGIOMA
Pada umumnya terjadi di daerah yang banyak mengandung
granulatio arakhnoid yaitu zona parasagital, falk, lengkung
serebral, sphenoid ridge dan celah olfaktorius, Berlokasi ekstra-serebral
(ekstraaksial) dan berkapsel. Gambaran histologinya
jinak dan biasanya tidak residif sesudah ekstirpasi bedah yang
lengkap. CT dapat mendeteksi meningioma yang kecil 5 – 7 mm
dan biasanya tumor-tumor ini ditemukan secara kebetulan.
Gambaran CT :
Meningioma mempunyai gambaran yang agak khas tetapi
tidak cukup spesifik apabila diagnosis tanpa dilengkapi pe-meriksaan
angiografi dan eksplorasi bedah. Angiografi penting
untuk menentukan suplai pembuluh darah ke meningiomanya
Disajikan daimon Simposium Tumor Otak, 20 full 1991 di RSPAD Cato:
Soebroto, Jakarta
Cermin 12 Dunia Kedokteran No. 77, 1992
14. LATERAL CORPUS CEREBRAL
Ependymoma Astrocytoma Astrocytoma
Meningioma Glioblastoma Glioblastoma
Choroid plexus Lipoma Meningioma
Epidermoid tumor Oligodendrogliom
PINEAL REGION
Germinoma
Teratoma
Glioma
Pincocytoma
CEREBELLUM
Astrocytoma
Medulloblastoma (children)
Hemangioblastoma
THIRD VENTRICLE
Colloid cyst
Ependymoma
OPTIC CIIIASM
Astrocytoma
Meningioma
PITUITARY REGION
Adenoma
Craniopharyngioma
Meningioma
Germinoma
FOURTH VENTRICLE
Ependymoma
Choroid plexus papilloma
Dermoid tumor
Epidennoid cyst
BRAIN STEM
Astrocytoma
Glioblastoma
CEREBELLO-PONTINE ANGLE
Acoustic ncurinoma
Meningioma
Epidermoid cyst
Ependymoma
Arachnoid cyst
FORAMEN MAGNUM REGION
Meningioma
Neurofrbroma
Gambar : Lokasi tumor yang khas(1)
dan untuk menilai efek di sekitar struktur arteri dan venanya.
CT tanpa kontras :
• Kebanyakan meningioma memperlihatkan lesi hiperdens
yang homogen atau berbintik-bintik, bentuknya reguler dan
berbatas tegas. Bagian yang hiperdens dapat memperlihatkan
gambaran psammomatous calcifications.
• Kadang-kadang meningioma memperlihatkan komponen
hipodens yang prominen apabila disertai dengan komponen
kistik, nckrosis, dcgencrasi lipomatous atau rongga-rongga
CSF yang loculated.
• Sepertiga dari meningioma memperlihatkan gambaran
isodens yang biasanya dapat dilihat berbeda dari jaringan pa-renkim
di sekitamya dan, hampir semua lesi-lesi isodens ini
menyebabkan efck masa yang bermakna.
CT dengan kontras :
• Semua meningioma memperlihatkan enhancement kontras
yang nyata kecuali lesi-lesi dengan perkapuran. Pola enhance-ment
biasanya homogen tajam (intense) dan berbatas tegas.
Duramater yang berlanjut ke lesinya biasanya tebal, tanda
yang relatif spesifik karena bisa tampak juga pada glioma dan
metastasis.
• Di sekitar lesi yang menunjukkan enhancement, bisa disertai
gambaran hypodense semilunar collar atau berbentuk cincin.
• Meningioma sering menunjukkan enhancement heterogen
yang kompleks('.z.a,ea.e)
B. GLIOMA
Glioma merupakan neoplasma intraserebral (intraaksial)
yang maligna. Gambaran infiltrat tumornya berbatas ireguler,
tepinya bergerigi (jagged-edged border). Tumor-tumor supra-tentorial
dapat berasal dari dalam korteks serebri dan meng-adakan
ekstensi ke dalam korpus kalosum, basal ganglia atau
talamus. Gambaran patologi glioma bervariasi dalam derajat
kalsifikasi, nekrosis, perdarahan, pembentukan kista, neovaskuler
dan aplasia seluler di dalam individual gliomanya.
li
r
u
Neoplasma ini dapat diklasifikasikan sebagai astrositoma
gradasi rendah, astrositoma anaplastik atau glioblastoma multi-forme.
Klasifikasinya dipersulit oleh 2 problem. Ke satu, per-bedaan
regio dari suatu individual glioma dapat mempunyai per-bedaan
gambaran patologik yang khas. Ke dua, glioma dapat
memperlihatkan perubahan dengan waktu dan menjelma men-jadi
maligna.
Gambaran CT :
Biasanya meretleksikan suatu lesi infiltratif dan patologi
keganasan tumor yang khas.
1. Astrositoma Gradasi Rendah :
It • Dapat memperlihatkan gambaran hipodens dengan bentuk
yang iregulcr dan tepinya bergerigi. Astrositoma yang lain ber-bentuk
bulat atau oval dengan tepi yang tegas yang dapat disertai
a dengan kista. Adanya tumor kistik akan lebih nyata bila ditemu-
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 13
15. kan fluid level di dalam lesi atau adanya kebocoran kontras media
ke dalam tumornya. Kalsifikasi tampak path 8–10% dan efek
masa tampak pada 50%.
• Enhancement terlihat pada 50%, biasanya merata dan tidak
tajam.
2. Astrositoma Anaplastik :
• CT polos, tampak sebagai gambaran hipodens atau dcnsitas
campuran yang heterogen.
• Enhancement media kontras tampak pada 78%, dapat
berupa gambaran lesi yang homogen, nodulcr atau pola cincin
yang kompleks.
3. Glioblastoma Multiforme
• Gambaran CT bervariasi, hal ini merefleksikan gambaran
patologinya yang heterogen. Pola yang khas, lesi berdensitas
campuran yang heterogen atau hipodens, yang pada pemeriksa-an
paseakontras menunjukkan bentuk yang ireguler dengan
pola enhancement cincin yang ketebalannya bervariasi, dan
biasanya ada efek masa.
Adanya penebalan dan pelebaran dari septum pelusidum
yang tampak path enhanced sean sangat spesifik untuk nco-plasma
intraaksial. Hal ini tampak pada glioma dan metastasis
tetapi tidak tampak pada meningioma atau adenoma hipofisis.
Diagnosis Diferensial :
• Tanda khas glioma berupa lesi yang bentuknya ireguler,
berdensitas heterogen dengan enhancement cincin yang tebalnya
bervariasi biasanya dapat dibedakan dari suatu meningioma yang
bentuknya lebih reguler dan densitasnya lebih homogen (pada
pemeriksaan dengan media kontras).
• Bila lesinya tunggal, tidak selalu dapat dibedakan antara
glioma dari metastasis, limfoma atau sarkoma.
• Pada beberapa kasus, pola CT dari infark serebri dapat
menyerupai suatu glioma. Bila di ferensiasinya tidak dapat
dibuat pada CT polos, ulangan CT dapat dilakukan 7 – 10 hari
kemudian.
14
Hal-hal penting dalam diagnosis diferensial suatu infark
adalah :
— bentuknya reguler dibatasi vaskuler.
— efek masa kurang dibanding dengan glioma.
— pada umumnya menyebabkan gyral enhancement dan ja-rang
menunjukkan enhancement noduler atau cincin tipis di
bagian perifernya.
4. Thrombosed angioma.
CT menunjukkan gambaran lesi hiperdcns dengan per-kapuran-
perkapuran yang tersebar dan seringkali mempunyai
pola kurvilinier. Lesi ini seringkali tidak menunjukkan enhance-ment,
dapat juga memperlihatkan enhancement yang tubuler atau
serpiginous. Pola lebih lanjut adalah pembuluh darah yang
abnormal, efek masa yang minimal dan peicbaran ventrikuler
dan sisterna di dekatnya karena perubahan atrofi degenerasi
yang disebabkan oleh angioma(2,3,4,6,7,8,9,10).
C. METASTASIS
Metastasis intrakranial dilaporkan terjadi pada 20% – 30%
penderita dengan karsinoma sistemik. Metastasis intraserebral
pada umumnya berlokasi pada perbatasan substansia alba dan
grisea atau di dalam kortek superfisial. Nodul-nodul tumor
biasanya tersebar dan hanya sedikit yang disertai edema
peritumoral yang ekstensif di sekitarnya. Deposit-deposit
metastasis ini merupakan basil dari penyebaran hematogen yang
mengikuti distribusi aliran darah dan paling sering berlokasi
pada daerah arteria serebri media; 80% berlokasi supratentorial
dan 20% infratentorial; 35% soliter dan 65% lesi-lesi yang
multipel.
Metastasis intrakranial secara nyata dapat dideteksi oleh
CT bahkan pada diameter kurang dari 10 mm, lesi terkecil yang
dapat dideteksi adalah 5 mm.
Gambaran CT :
— Suatu lesi hipodens (disertai dengan edema peritumoral)
dan gambaran seperti daun pakis.
— Suatu nodul hiperdens kecil yang terletak perifer dan me-nunjukkan
enhancement pada pasea kontras.
— Suatu lesi hipodens (pada CT polos) dan enhancement
cincin yang kompleks pada pasea kontras. Gambaran ini dapat
identik dengan glioma.
— Suatu lesi kistik metastasis, berupa lesi hipodens bertepi
tegas dengan enhancement cincin di bagian perifernya. Lesi
kistik non-metastasis dapat memberikan gambaran yang
identik.
— Suatu lesi hiperdens tidak berkapur dengan enhancement
yang dens. Pola ini dapat menyerupai meningioma.
Hal yang penting adalah melakukan pemeriksaan dengan
media kontras pada semua kasus yang dicurigai suatu
metastasis intrakranial karena lesi-lesi metastasis seringkali
memperlihatkan gambaran isodens path CT polos. Pemeriksaan
kontras dengan double dose dan delayed sean (misalnya 1 jam
sesudah infus) dilakukan pada lesi-lesi yang tidak tampak pada
pemeriksaan biasa.
Dapat terjadi penderita dengan keluhan, pada permulaan
pemeriksaan CT masih negatif, tetapi pada ulangan pemeriksa-an
CT 2 minggu kemudian memperlihatkan lesinya. CT sangat
membantu mendeteksi suatu occult metastases pada suatu neo-plasma
bronkogenik primer. Pada penderita-penderita dengan
dugaan suatu metastasis, penting mengadakan evaluasi adanya
perubahan atau destruksi tulang. Lesi-lesi maligna lain yang
memberikan gambaran identik dengan metastasis adalah lim-foma,
sarkoma, plasmasitoma aura deposit leukemik(l.Z.".
D. TUMOR-TUMOR SUPRATENTORIAL YANG LAIN
1. Gliosis dengan penyebab yang tidak diketahui.
Hal ini dapat terlihat pada perubahan reaktifitas yang non-spesifik
dari suatu jaringan misalnya pasea bedah, trauma, neo-plasma,
infeksi, dan lesi-lesi demielinisasi. Gliosis reaktif dapat
terjadi pada bagian perifer dari neoplasmanya atau pada daerah
demielinisasinya yang terjadi spontan tanpa diketahui kausanya.
Gambaran CT :
• Suatu lcsi hipodens yang tidak menunjukkan enhancement.
• Suatu lesi berdensitas campuran dengan enhancement
noduler, cincin atau bentuk serpiginous.
Gambaran CT suatu lesi dapat berubah dengan meningginya
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992
16. enhancement kontras pada pemeriksaan berikutnya. Diagnosis
pasti hanya dapat ditentukan secara biopsi dan tidak diketahui
mengapa resolusi spontan dari keadaan ini dapat terjadi.
Diagnosis gliosis hanya dapat ditentukan secara bedah atau
nekropsi patologis.
2. Sarkoma Sel Retikulum :
Neoplasma ini biasanya terjadi pada penderita-penderita
dengan kelainan imunologi, dapat berupa lesi yang tunggal atau
ganda, berlokasi khas pada basal ganglia, talamus, korpus kalo-sum,
periventrikuler pada substansia alba dan vermis serebeli.
Gambaran CT :
Berupa lesi-lesi iso atau hiperdens, non-kalsifikasi dan
dengan enhancement noduler yang homogen.
3. Ependimoma
Epenaimoma pada hemisferium serebri dapat memperlihat-kan
gambaran kistik atau kalsifikasi. Biasanya memperlihatkan
enhancement kontras dengan densitas yang komplek, dan tidak
dapat dibedakan dari glioma yang lain.
4. Oligodendroglioma
Biasanya berlokasi di dalam hemisferium serebri. Tanda
patologi yang sangat khas adalah perkapuran peritumoral yang
padat.
Gambaran CT :
Perkapuran di bagian perifer, linear atau pola globuler yang
padat. Dapat mempunyai gambaran hipodens di bagian sentral
yang merupakan nekrosis sentral, pembentukan kista atau
degenerasi mukoid gelatinosa. Oligodcndroglioma biasanya
memperlihatkan enhancement yang lemah. Apabila ada per-ubahan
anaplastik, maka enhancement kontras yang intensif
dapat terlihat(2,4,8,).
II. NEOPLASMA YANG BERLOKASI DI GARIS
TENGAH
A. Neoplasma yang berdampingan dengan sela tursika
(Juxtasellar Neoplasms) :
Proses-proses patologik pada juxtasellar yang paling sering
adalah adenoma hipofisis, kraniofaringioma, meningioma dan
glioma pada traktus optikus anterior (anterior visual pathway).
Yang kurang sering tetapi penting secara klinik adalah ancurisma
dan teratoma-teratoma yang atipik. Karena penting menentukan
batasan suatu aneurisma juxtasellar, maka angiografi harus di-lakukan
pada semua penderita yang pemeriksaan CT nya
menunjukkan adanya lesi juxtasellar.
Gambaran CT
Lesi-lesi infra dan juxtasellar tergantung alas ukuran dan
gambaran patologik yang khas dari lesi. Untuk pemeriksaan yang
lengkap, diperlukan penampang aksial dan koronal yang tipis
dari sela tursika dan sekitarnya (sinus kavcrnosus, sisterna
supraseler, sisterna intra pendunkularis, arteria karotis, ventrikel
III, sinus sfenoidalis, lobus frontalis dan temporalis). Untuk
visualisasi lesi-lesi besar yang mengadakan ckstensi ke dalam
sistema supraseler, sudah cukup dengan penampang aksial
tetapi untuk lesi-lesi yang kecil yang lokasinya predominan
intraselar (mikroadenoma hipofisis) diperlukan penampang-penampang
koronal untuk mencntukan kelenjar hipofisis dan
infundibulum.
Diagnosis masa intra seler ditentukan oleh beberapa pe-nemuan
:
– Pelebaran fosa hipofise dengan perubahan tulang.
– Tinggi kelenjar hipofise lebih dari 9 mm dengan konfigu-rasi
konveks ke atas (ukuran nyata pada penampang koronal).
– Pasea kontras menunjukkan enhancement intraseler yang
abnormal.
– Infundibulum hipofisis mengalami cicvasi dan distorsi.
Ekstensi supraseler dimanifestasikan oleh penemuan berupa
densitas yang abnormal atau enhancement di dalam sistema
supraseler.
Ekstensi juxtasellar :
– Ke lateral, enhancement yang asimetris dari sinus kaver-nosus
dan/atau pergeseran dari arteria karotis.
– Densitas atau enhancement yang abnormal di bagian
anterior atau di dalam lobus frontalis.
– Densitas yang abnormal di bagian posterior di dalam sis-terna
interpedunkuler atau pergeseran arteria basilaris ke kaudal.
– Densitas jaringan lunak yang abnormal di bagian inferior
di dalam sinus sfenoidalis dan erosi dari dasar sela.
1. Adenoma Hipofisis
Biasanya merupakan tumor solid. Pada 25% kasus disertai
dengan pembentukan kista, nekrosis, perdarahan atau per-kapuran.
Penampang-penamnpang yang tipis dari CT (koronal)
merupakan prosedur pelengkap untuk mendeteksi mikroade-noma
hipofisis pada penderita-penderita dengan tanda-tanda
hiperfungsi keicnjar hipofisis dan konfirmasi laboratorium.
Gambaran CT :
Suatu daerah hipodens fokal berlokasi di dalam sela tursika
yang meicbar dengan lengkungan konveks ke atas dari kelenjar
hipofisis. Makroadenoma hipofisis lebih dari 10 mm, biasanya
terlihat agak hiperdens, membulat atau oval dengan tepi yang
tajam menunjukkan enhancement kuat (dense homogen) dan
bertepi tajam. Bila adenoma hipofisis ini kistik maim dapat
memperlihatkan gambaran hipodens dengan enhancement
cincin di sekitarnya.
Perdarahan di dalam adenoma memperlihatkan suatu
bagian yang hiperdens tidak berkapur. Enhancement dapat
terlihat di dalam adenoma hipofisis di bagian yang tidak ber-darah(
1,2,4,11).
2. Kraniofaringioma
Seringkali mempunyai perbedaan penampilan dari ade-noma
hipofisis. Lebih sering berkapur. Lokasi biasanya path
supraseicr dengan obstruksi dini dari foramen intraventrikuler
yang menyebabkan hidrosefalus. Kraniofaringioma juga.dapat
tumbuh dari dasar ventrikel III atau lamina terminalis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 15
17. Gambaran CT
CT polos memperlihatkan densitas iso, hipo atau hiperdens
yang heterogen dan mempunyai tepi yang iregulcr. Enhancement
dapat terlihat di bagian tepi (peripheral rim) atau memper-lihatkan
pola cincin dens yang hcterogcn (menycrupai yang
terlihat pada glioma).
Kraniofaringioma kistika biasanya memperlihatkan lesi-lesi
hipodens yang membulat dengan enhancement cincin pe-fifer.
Gambaran ini dapat identik dengan :
– Adenoma pituitari kistika. Apabila kraniofaringioma tidak
terlihat pada ketebalan 10 mm, maka dibuat penampang-pe-nampang
yang lcbih tipis misalnya 4 mm.
– Meningioma juxtasellar biasanya tumbuh di dalam tuber-kulum,
sela atau planum sfenoidale. CT biasanya memper-lihatkan
gambaran speckled (salt and pepper appearance),
masa multilobulated yang hiperdens dan biasanya berlokasi di
bagian lateral dan anterior sela tursika. Meningioma ini
memperlihatkan gambaran dense dengan enhancement kontras
yang homogcn tetapi kadang-kadang disertai gambaran
hipodens tipis di sekitarnya. Pada regio juxtasellar selalu harus
dievaluasi secara hati-hati adanya hiperostosis tulang karena
meningioma.
– Glioma primer dapat tumbuh dari chiasma optikum, lebih
sering mengadakan ekstensi intrakranial melalui foramen
optikum atau dari regio hipotalamus.
Gambaran CT dari suatu glioma nervus optikus berupa
pembesaran nervus optikus berbentuk fusiform yang merata.
Ekstensi intrakranial melalui foramen optikum ke dalam sisterna
supraseicr dapat terlihat jelas dengan CT. Glioma chiasma dapat
terlihat sebagai lesi yang iso atau hiperdens, tidak berkapur,
menunjukkan enhancement, berbatas tegas. Hal ini dapat me-libatkan
sisterna supraseicr dan ventrikel III bagian anterior.
– Ancurisma juxtasellar, tidak dapat dideferensiasikan dari
neoplasma yang lain tanpa angiografi.
Gambaran CT tergantung was ukuran lesi, perkapuran
intraluminal, trombus mural, atau ukuran bloodpool intralumi-nal.
Ancurisma nontrombus terlihat isodens, bulat, menunjukkan
enhancement dens; sebagian dari aneurisma trombus menunjuk-kan
perkapuran pada dindingnya dengan beberapa enhancement
intraluminal(2,4,8,12).
III. NEOPLASMA YANG BERLOKASI INTRAVENTRI-KULER
A. Neoplasma-neoplasma Intraventrikuler Lateralis
Papiloma pleksus khoroidalis, meningioma, ependimoma
dan glioma merupakan neoplasma yang paling suing ditemu-kan.
Tumor-tumor ini menyebabkan hidrosefalus obstruktif dan
kemungkinan disertai dengan dilatasi lokal dari rongga ventrikel
yang berhubungan dengan tumomya dan hipertensi intrakranial.
Meningioma dan papiloma plcksus khoroidalis mencapai din-ding
ventrikel melalui pedikel, sedangkan glioma tidak mem-punyai
pedikel tetapi dapat mengadakan infiltrasi melalui
dinding ventrikel dan mencapai hemisfer serebri.
Cermin 16 Dunia Kedokteran No. 77, 1992
Gambaran CT
Memperlihatkan dilatasi ventrikel lateralis yang sangat jelas
di daerah yang berhubungan dengan tumor. Papiloma pleksus
khoroidalis dan meningioma memperlihatkan gambaran hiper-dens
berkapur (speckled in appearance) tetapi biasanya tidak
menunjukkan enhancement. Lesi intraventrikuler yang jarang
ditemukan adalah dermoid dan kista epidermoid yang dapat
memperlihatkan. gambaran hipodens (identik dengan likuor
serebrospinalis) dan jarang menunjukkan enhancement. Pada
lesi-lesi intravcntrikulcr hipodens, tumor dapat menycbabkan
hidrosefalus obstruktif tetapi batasnya sulit ditentukan sehingga
ventrikulogram metrisamid perlu dilakukan(1,2,4,8,13).
B. Neoplasma-neoplasma di bagian Anterior Ventrikel-III
Kista-kista koloid biasanya berasal dari bagian antero-superior
vcntrikel-III. Kista ini dapat menyumbat foramen inter-ventrikularis
dan menyebabkan hidrosefalus obstruktif.
Gambaran CT
Kista-kista koloid dapat memperlihatkan masa yang bulat
iso atau hiperdens pada foramen interventrikularis. Dapat terjadi
enhancement homogen yang ringan dari lesinya, tetapi setengah
dari lesi-lesi ini tidak menunjukkan enhancement. Penampang-penampang
koronal memperlihatkan pelebaran dari septum
pelusidum dan terpisahnya kornu anterior bagian inferior. Pada
kasus-kasus jarang, dimana kista-kista koloid ini isodens dan
non-enhancing, diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan
metrisamid sisternogram; namun demikian, pada kasus-kasus
yang sudah menyebabkan hidrosefalus, sulit untuk menentukan
diagnosis sebelum operasi(1,2,4,8).
C. Neoplasma-neoplasma di bagian Posterior Ventrikel-III
Neoplasma-neoplasma di bagian posterior ventrikel-III ter-masuk
: (1) tumor-tumor dari kelenjar pineal (pinealoma, pine-oblastoma);
(2) teratoma; dan (3) macam-macam tumor ter-masuk
glioma, metastasis, meduloblastoma dan meningioma.
Lesi-lesi non-neoplasma termasuk aneurisma vena galenik, kista
pada quadrigeminal plate, hematoma pada midbrain atau infark.
Penderita dengan tumor-tumor di bagian posterior ven-trikel-
III biasanya disertai tanda-tanda hipertensi intrakranial,
bila daerah quadrigeminal plate terkena maka akan terjadi pa-resis
dari gerakan bola mata ke atas dengan dilatasi dan reaksi
pupil yang jelek. Diagnosis tumor-tumor di bagian ventrikel-III
ini ditegakkan secara nyata dengan CT, namun demikian pe-nentuan
gambaran histopatologi yang persis biasanya tidak
mungkin ditentukan sebelum biopsi bedah.
Gambaran CT
Distorsi dan pergeseran (biasanya elevasi) dari ventrikel-III
(normal berbentuk konveks); dan distorsi dari sisterna kuadri-geminal,
sisterna ambiens atau sigma serebelaris superior.
Pinealoma dan teratoma memperlihatkan gambaran masa yang
multilobulated dengan perkapuran yang tersebar; glioma dan
metastasis biasanya tidak berkapur. Teratoma biasanya kurang
padat dibanding dengan pinealoma dan cenderung disertai
komponen kistik hipodens dan perkapuran. Pinealoma memper-
18. lihatkan suatu gambaran dens berkapur yang berukuran cukup
besar pads kelenjar pineal. Pada teratoma, jaringan kelenjar
pineal yang normal dapat terlihat tersebar di dalam neoplasma-nya.
Pinealoma dan teratoma memperlihatkan enhancement
homogen sedangkan glioma dan metastasis memperlihatkan
enhancement yang ireguler dan kompleks. Setiap pinealoma
dan teratoma memperlihatkan enhancement pads subependimal
dan sisterna(4,8).
IV. LESI-LESI FOSA POSTERIOR
Lesi-lesi ini dapat diklasifikasikan sebagai ekstraaksial
(berasal dari meninges yaitu meningioma dan berasal dari nerve
sheath yaitu neurinoma) atau intraaksial yang berasal dari
dalam batang otak, serebelum atau ventrikel-IV.
A. Tumor-tumor Ekstraaksial
Tumor-tumor ini paling sering berasal dari sudut serebelo-pontin
yaitu neurinoma akustik dan meningioma. Lesi-lesi lain
yaiw kista-kista (dermoid, epidermoid, subarakhnoid), meta-stasis,
aneurisma dan malformasi vaskuler. Meningioma juga
dapat berasal dari tentorium dan dapat mengadakan ekstensi ke
supra dan infratentorial.
Gambaran CT
Sesuai dengan diagnosis dari lesi infratentorial ekstraaksial
yaitu erosi tulang, pelebaran sistema yang berhubungan dengan
tumor, pergeseran batang otak dan struktur serebeler ke kontra-lateral,
bentuk lesi yang regular, bertepi tegas dan lesi ber-hubungan
dengan foramen magnum dan tentorium.
B. Lesi-lesi Intraaksial
Lesi-lesi intraaksial yang paling sering adalah neoplasma
serebeler (astrositoma, hemangioblastoma, metastasis), neo-plasma
intraventrikuler (meduloblastoma, ependimoma) dan
tumor-tumor batang otak.
Gambaran CT
Sesuai dengan diagnosis dari lesi intraaksial yaitu asimetri
dengan adanya penyempitan atau pergeseran dari sisterna basalis
yang ipsilateral terhadap tumor, tidak ada keabnormalan tulang,
bentuk lesi yang ireguler dan tepi lesi yang berbatas tidak tegas.
Tumor-tumor intraaksial di dalam ventrikel-IV yaitu medulo-blastoma,
ependimoma dan papiloma pleksus khoroidalis, ber-lokasi
di fosa posterior bagian sentral dan mengadakan ekspansi
lebih dari sekedar mendesak ventrikel-IV. Tumor-tumor sere-beler
dapat mendesak ventrikel-IV ke sisi kontralateral.
1. Lesi-lesi Batang Otak
Glioma paling banyak didapatkan pada anak-anak dan remaja,
glioma dan metastasis frekuensinya lebih kurang sama dengan
penderita-penderita dewasa. Tanda-tanda klinik berkembang
secara samar dengan tanda-tanda permulaan gangguan gait,
parese fasial dan diplopia karena parese nervus VI (abducens).
Bila tanda-tanda neurologi onsetnya akut, cenderung suatu brain-stem
telangiectasia daripada suatu glioma. Hipertensi intra-kranial
dan hidrosefalus obstruktif biasanya tidak terjadi pada
stadium awal tetapi pada stadium lanjut.
Gambaran CT
Batang otak ukurannya membesar, pendesakan ke arah
posterior dan distorsi dari ventrikel-IV, pendesakan ke arah
anterior dan distorsi dari sistema interpedunkularis serta distors
dari struktur-struktur di sekitar batang otak (sisterna kuadri
gemina, arteria basilaris dan arteria serebri posterior). Pada Cl
polos, regio batang otak dapat iso atau hipodens, dapat me
nunjukkan enhancement noduler atau cincin. Glioma biasanyt
tidak memperlihatkan perdarahan, perkapuran atau pemben
tukan kista; penderita dapat menunjukkan tanda-tanda klinil
tetapi CT tidak menunjukkan adanya kelainan. Maka apabil,
terdapat perburukan kelainan neurologinya, perlu pemeriksaar
CT segera.
2. Lesi-lesi Serebeler
Tumor-tumor ini dapat berasal dari dalam vermis atau di
dalam hemisfer serebeli. Gambaran klinik dari tumor-tumor
vermis di garis tengah adalah gait ataxia dan tekanan intrakranial
yang meninggi. Tumor-tumor pada hemisfer lateralis dapat me-nyebabkan
ipsilateral limb ataxia dan hidrosefalus obstruktif.
Lesi-lesi neoplastik termasuk astrositoma, metastasis, sarkoma,
hemangioblastoma; lesi-lesi non-neoplastik yang sering dijumpai
adalah abses, hematoma, infark, malformasi vaskuler dan gliosis
non-neoplastik. CT mempunyai kesensitifan yang tinggi di dalam
memperlihatkan adanya masa-masa serebeler, tetapi bagai-manapun
CT kurang sensitif di dalam menentukan gambaran
patologi yang persis dari lesinya, jadi CT mempunyai limitasi di
dalam menentukan diagnosa patologi. Angiografi penting untuk
menyingkirkan suatu hemangioblastoma atau malformasi vas-kuler
yang lain.
Gambaran CT
• Suatu densitas yang abnormal atau enhancement yang po-sitif
pada vermis atau hemisfer, pendesakan dan distorsi dari
ventrikel-IV, sisterna basalis tidak tampak dan tidak ada per-ubahan
tulang.
• Astrositoma serebeler mempunyai gambaran yang khas,
berupa lesi-lesi hipodens bulat atau oval dengan nodul kecil
hiperdens di bagian perifernya yang menunjukkan enhancement.
Pada astrositoma yang lain, lesi noduler di bagian perifer tidak
tampak sedangkan lesi hipodens tidak menunjukkan enhance-ment.
Astrositoma serebeler yang solid, pada CT polos memper-lihatkan
lesi berdensitas campuran heterogen. Dapat terjadi
enhancement dengan pola cincin yang kompleks.
• Hemangioblastoma dapat berupa masa solid atau kistik.
Lesi-lesi kistik tampak hipodens dengan enhancement cincin di
bagian puffer lesi nodulernya. Lesi solid memperlihatkan
densitas iso- atau hiperdens pada CT polos dan memperlihatkan
enhancement yang dense pasea pemberian media kontras.
• Metastasis dapat memperlihatkan beberapa pola gambaran
pada CT, namun demikian adanya lesi hipodens (bulat) dengan
ketebalan ring enhancement yang bervariasi, sugestif suatu
metastasis serebeler.
• Limfoma dan sarkoma sel retikulum dapat terlihat sebagai
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 17
19. lesi iso- atau hiperdens dan memperlihatkan enhancement no-duler.
Lesi ini sering tampak pada vermis serebeli sedangkan
lesi yang multipel tampak pada ganglion basalis, talamus dan
korpus kalosum.
3. Lesi-lesi pada ventrikel IV
18
Tumor-tumor ini cepat menyebabkan tanda-tanda tekanan
intrakranial tinggi karena hidrosefalus obstruktif. Meduloblas-toma
dan ependimoma merupakan tumor terbanyak, sedangkan
papiloma pleksus koroid kurang sering terjadi.
Gambaran CT
Lesi-lesi intraventrikuler di dalam fosa posterior, masa
hiperdens di garis tengah dengan halo hipodcns di sekitarnya;
ventrikel IV tidak tampak sebagai struktur berbentuk segitiga;
dan suatu lesi bulat hipodens di garis tengah yang menggambar-kan
pelebaran (expanded) ventrikel-IV.
4. Meduloblastoma berasal dari atap ventrikel-IV
Masa ini mengisi dan meluas ke dalam ventrikel-IV dan
dapat mengadakan ekspansi secara eksofitik ke dalam rongga
sisterna. Meduloblastoma merupakan tumor-tumor solid, jarang
memperlihatkan kista, perdarahan atau perkapuran.
Gambaran CT
• Suatu lesi yang agak hiperdens di garis tengah dengan dense
enhancement yang homogen, di sekitarnya ada cincin hipodens
yang menunjukkan adanya dilatasi ventrikel-IV.
• Pada penderita yang lebih tua, meduloblastoma desmoplas-tik
(sarkoma serebeler) terjadi di hemisfer serebeler lateral yang
tampak sebagai lesi dengan densitas campuran yang heterogen
dengan ring enhancement yang ketebalannya bervariasi.
5. Ependimoma tumbuh dari dasar ventrikel-IV
Secara patologi seringkali disertai komponen-komponen
kista, perkapuran dan perdarahan. Tumor dapat mengadakan
ekstensi secara eksofitik melalui resesus lateralis dari ventrikel-
IV ke dalam rongga-rongga sisternal.
Gambaran CT
Suatu lesi hipodens dengan regio perkapuran hiperdens baik
tunggal atau ganda. Regio-regio iso dan hipodens dapat memper-lihatkan
enhancement yang heterogen. Ventrikel-IV dilatasi di-sertai
dengan cincin hipodens di sekitar lesinya (1,2,4,6,7,8,14,15,16,17).
KESIMPULAN
1. CT sudah menjadi salah satu sarana neurodiagnostik yang
terpilih untuk mendiagnosis neoplasma intrakranial karena
mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
sarana neurodiagnostik konvensional yang tersedia.
2. CT mempunyai keterbatasan dalam menentukan diagnosis
patologi suatu neoplasma secara tepat tanpa angiografi dan
biopsi bedah, karena gambaran CT suatu neoplasma intrakranial
sering menyerupai satu sama lainnya.
3. CT mempunyai kemampuan yang akurat untuk menentukan
lokasi dan ekstensi suatu neoplasma; balk dengan potongan
aksial maupun koronal sehingga CT dapat membantu menen-tukan
lapangan penyinaran radioterapi dengan tepat.
4. CT merupakan suatu pemeriksaan yang mudah, sederhana
dan non-invasif sehingga CT sangat sesuai untuk follow-up dan
pengawasan hasil terapi bedah maupun radiasi pada neoplasma
intrakranial.
r
KEPUSTAKAAN
1. Grossman CB, Masdeu JC, Maravilla KR, Gonzalez CF. Intracranial
Neoplasma of the Adult, in: Head and Spine Imaging. John Wiley and
Sons, 1985; p. 225–281.
2. Kazner E, Wende S, Grumme T, Lankseh W; Stochdorph O. Computed
Tomography in Brain Tumors. In: Computed Tomography in Intracranial
Tumor, Differential Diagnosis and Clinical Aspects. Berlin, Heidelberg:
Springer – Verlag, 1982; p. 18–454.
3. Rothfus WE. Intracranial Mass. In: Manual Diagnostic Imaging. A Little
Borwn Spiral Manual, 1984; p. 52–55.
4. Weisberg LA. Intracranial Neoplasms. In: Symposium on Neuroimaging.
Neurologic Clinics. W.B. Saunders Co, 1984; p. 695–718.
5. Sutanto A. Pemeriksaan Tomografi dengan bantuan Komputer dalam
Diagnostik Neoplasma Intrakranial, satu tinjauan retrospektif pada 226
kasus, 1983.
6. George AE, Russell EJ, Kricheff H. White Matter Buckling : CT Sign of
Extraaxial Intracranial Mass, AJR 1980; 135: 1031–6.
7. hammock MK, Milhorat TH. Brain Tumors and Vaseular Disorders of the
Brain. In: Cranial Computed Tomography in Infancy and Childhood.
William & Wilkins, 1981; p. 163–290.
8. Weisberg LA, Nice C, Katz M. Progressive Neurological Deficit, Meta-static
Disease and Juxtasellar Region Abnormalities. In: Cerebral Com-puted
Tomography. A Text-Atlas. Second Edition. W.B. Saunders Co,
1984; p. 47–80, 158–173, 174–192.
9. Geehr RB, Dohrmann GJ, Rothman SLG. "Cireumseribed" Glioblastoma
Multiforme : the Role of Computed Tomography in Two Cases, AJR
1979; 132: 127–9.
10. Lee YY, Tassel PV. Intracranial Oligodcndrogliomas. AJR 1989; 152:
361–9.
11. Bonneville JF, Catlin F, Dietemann JL. Computed Tomography of the
Pituitary Gland. Berlin, Heidelberg: Springer-Verlag, 1986; p. 1–221.
12. Lanzieri CF, Sacher M, Som PM. CT Changes in the Septum Pellucidum
associated with Intraventricular Craniopharyngiomas, J Computer Assist-ed
Tomography, 1985; 9(3): 507–510.
13. Jelinek J, Smimiotopoulos JG, Parisi JE, Kanner M. Lateral Ventricular
Neoplasms of the Brain, AJR 1990; 15: 365–72.
14. Buetow P, Smimiotopoulos JG, Done S. Congenital Brain Tumors, AJR
1990; 155: 587-93.
15. Fitz CR. Neoplastic Diseases. in: Pathologic Cerebral Conditions in
Children. in: Head and Spine Imaging. John Wiley and Sons, 1985; p.
483–521.
16. Yamada H. Supratentorial and Infratentorial Cystic Lesions and Brain
Tumors. In: Pediatric Cranial Computed Tomography. Igaku – Shoin,
1983; p. 82–104 and 230–253.
17. Zimmerman RA, Bilaniuk LT, Bruno L, Rosenstock J. Computed Tomo-graphy
of Cerebellar Astrocytoma. AJR 1978; 130: 929–33.
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992
20. Diagnosis Tumor Otak dengan MRI
Dr Arman Adel Abdullah
Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia /
RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Bloch dan Pureell pada 1946 menemukan prinsip dasar MRI
yaitu inti atom (proton) akan bergetar dalam medan magnit.
Penemuan ini dikembangkan terus menerus oleh para ahli fisika
dan elektro sehingga pada tahun 1980 aplikasinya dalam ilmu
kedokteran dipakai secara besar-besaran terutama di negara yang
sudah maju seperti Amerika Serikat dan negara Eropa Barat dan
Jepang. Di Indonesia baru September 1990 untuk pertama kali
dilakukan di RSEM yang kemudian diikuti oleh RS Pertamina
dan Husada.
Dalam mendiagnosis suatu tumor otak, selain klinis, pe-ranan
radiologi sangat besar. Dahulu angiografi, kemudian CT
Sean dan terakhir MRI; terutama untuk tumor-tumor di daerah
fossa posterior, karena CT Sean sukar mendiagnosis tumor otak
akibat banyaknya artefak, sekalipun dengan kontras. Dengan
MRI suatu tumor dapat dengan jelas tervisualisasi melalui di
potongan 3 dimensi, sehingga memudahkan ahli bedah saraf
untuk dapat menentukan teknik operasi atau menentukan tumor
tersebut tidak dapat dioperasi mengingat risiko/komplikasi
yang akan timbul.
Melalui MRI, suatu jaringan menunjukkan sifat-sifat
karakteristik tertentu pada gambar Tl dan T2 maupun proton
density. Intensitas jaringan tersebut biasanya berbeda pada gam-bar
Tl dan T2, kecuali lemak, darah segar, kalsifikasi, maupun
peredaran darah yang cepat. Dengan melihatgambarTl maupun
T2 dapat ditentukan karakteristik suatu tumor apakah tumor
tersebut padat, kistik, ada perdarahan, kalsifikasi, nekrosis mau-pun
lemak dan lain-lain. Intensitas jaringan tersebut mulai dari
hipo, iso dan hiper intensitas terlihat jelas pada T1 dan T2.
Pada umumnya tumor otak path Tl mempunyai gambaran
hipo intensitas dan pada T2 menjadi hiper intensitas, bahkan
dengan adanya perbedaan intensitas tumor yang kurang di-bandingkan
udem perifokal pada T1 dan T2, dapat didiagnosis
suatu tumor seperti pada glioblastoma. Kalsifikasi tidak baik
dilihat dengan MRI, karena sedikit sekali mengandung air
sehingga baik pada T1 maupun T2 akan temp memberikan
gambaran hipo intensitas. Kalsifikasi lebih baik dilihat dengan
CT Sean. Udem perifokal yang biasa pada tumor memberikan
mass effect dapat dengan jelas sekali terlihat pada T1 hipo
intensitas sedangkan pada T2 menjadi hiperintensitas. Tumor
dengan perdarahan subakut dan kronik dapat dengan jelas dilihat
pada T1 hiperintensitas dan T2 tetap hiperintensitas (subakut);
sedangkan perdarahan akut lebih jelas dengan CT Sean daripada
MRI.
Tumor-tumor yang berasal dari saraf (sehwanoma, neuroma
dan neurinoma) serta tumor-tumor lokal (tumor hipofisis, chor-doma,
glomus tumor) sama sekali tidak mempunyai udem peri-fokal.
Tumor-tumor oligodendroglia sedikit mempunyai udem
perifokal maupun mass effect dan banyak mengandung kalsi-fikasi.
ZAT KONTRAS
Pada umumnya pemeriksaan MRI tanpa kontras sudah dapat
memvisualisasikan suatu massa. Akan tetapi pada tumor otak,
pemberian kontras sangat membantu suatu diagnosis. Dengan
kontras dapat dibedakan antara tumor dengan udem, jaringan
parut maupun sisa tumor bila sudah pernah dioperasi. Kontras
yang digunakan ialah Gadolinium DTPA (Diet hylene Triamine
Pentaacetic Acid) dengan dosis 0.2 mg/kgBB yang disuntikkan
intravena. Untuk perbandingan selalu dipakai parameter Tl
tanpa kontras dengan T1 dengan kontras. Pada umumnya se-
Dirajikan data. Simporirrn Tumor Otak, 20 Jdi 1991 di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 19
21. sudah pemberian kontras suatu tumor akan terjadi penyangatan
(enhancement).
ISTILAH PADA MRI
T1 : Longitudinal relaxation time
(mempunyai TR pendek dan TE yang pendek).
T2 : Tranversal relaxation time
(mempunyai TR panjang dan TE yang panjang).
TR : Repetition times
TE : Echo delay times
IR : Inversion recovery.
Proton density : bagian dari T2 (mempunyai TR panjang dan
TE yang pendek).
KENDALA PADA MRI
1. Alat mahal (biaya pemeriksaan tinggi).
2. Waktu pemeriksaan cukup lama.
3. Pasien yang mengandung metal tak dapat diperiksa (alat
pacu jantung, protese, clips).
4. Pasien emergency akibat kecelakaan lalu lintas tak dapat
diperiksa bila memakai alat pernafasan buatan/tabung 02.
5. Klaustrofobi (takut akan ruang sempit) perlu anestesi.
KESIMPULAN
Dengan MRI + kontras Gadolinium DTPA diagnosis tumor
otak dapat lcbih jelas (sensitivitasnya tinggi dibandingkan CT
Sean) baik untuk tumor supratentorial dan khusus fossa poste-rior.
Potongan dapat menghasilkan tiga dimensi sehingga me-mudahkan
ahli bedah saraf inencntukan teknik operasi.
KEPUSTAKAAN
1. Arran Adel Abdullah. Resonansi Magnctik. Radiologi Diagnostik, Balai
Penerbit FKUI Jakarta, 1989.
2. Kazner E, Wende S, Gmmme 'lip, Stochdorphg 0, Felik R, Claussen C.
Computer and Kemspintomographie lntrakranieller tumoren. Berlin,
Heidelberg: Springer Verlag, 1981.
3. IissnerJ, Seiderer M. Klinisehe Kemspintomographie, Stuttgart:
Ferdinand Enke Verlag, 1987.
4. Stark DD, Bradley WG. Jr. Magnetic Resonance Imaging. Washington
D.C: C.V. Mosby Company, 1988.
Cermin 20 Dunia Kedokteran No. 77, 1992
22. Histopatologi Tumor Otak
Dr. F.X. Eddy Gunawan Yusup
Departemen Patologi Anatomi
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta
PENDAHULUAN
Patologi susunan saraf pusat bersifat amat komplek karena
berbagai alasan, misalnya variabilitas struktur jaringan saraf
sendiri maupun karena pengaruh letak anatominya.
Diagnosis neuropatologis didacarkan atas analisis morfo-logi
dan analisis topografi, keduanya dibandingkan dengan data
klinik atau penemuan-penemuan pada otopsi selengkapnya.
Klasifikasi tumor susunan saraf yang lengkap adalah oleh
Zuilch (1979) Histological Typing of Tumours of the Central
Nervous System(1,2,3). Dikemukakan modifikasi kiasifikasi
histogenesis tumor glioma yang sederhana dari Bailey dan
Cushing(4), dan histopatologi dari meningioma.
Maksud dari makalah ini adalah mengemukakan histopato-logi
tumor glioma dan meningioma.
HISTOGENESIS
Untuk memahami pertumbuhan bangunan otak, hendaknya
dibayangkan bahwa pertumbuhan susunan saraf pusat terjadi
dalam bentuk pipa. Pada pipa tersebut dapat di lihat sebuah
dasar, atap dan dua dinding sisi yang mengelilingi sebuah
rongga yang terletak di tengah-tengah.
Susunan saraf pusat berkembang dari lempeng ektoderm
(neural plate), kemudian melengkung ke dalam sehingga terben-tuk
alur saraf (neural groove). Bagian kanan dan kiri alur saraf
disebut lipatan saraf (neural folds). Pada batas neuroektodermal
terdapat sel-sel yang disebut birai saraf (neural crest). Lipatan
saraf kemudian tumbuh ke arah medial sehingga saling bertemu
dan terjadi bumbung saraf (neural tube).
Gambar :
Notochord Somila
Dorsal root ganglion
G ,
Diagram penutupan neural tube, asal dari neural crest dan akar dorsal
ganglia. Irisan melintang alas dasar basil foto dari embryo 19 hart
(dikutip dari 5)
Dibacakan pada Simposium Tumor Otak, di RSPAD Gatot Soebroto, 30 Juli
1991.
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 21
23. Neural tube sebagai bangunan tunggal, akan berkembang
menebal, melipat dan sebagainya yang disebut vesikel serebral
primitif. Dari depan ke belakang akan terbentuk :
– Prosensefalon (otak bagian depan).
– Mesensefalon (otak bagian tengah).
– Rombensefalo,n (otak bagian belakang).
Sejalan dengan pembentukan vesikel serebral primitif, ter-jadi
pelekukan ke depan pada dua tempat, setinggi mesensefalon
dan rombensefalon bagian belakang. Pelekukan pertama disebut
fleksura sefalik dan yang kedua fleksura servikal.
Prosensefalon berdiferensiasi menjadi telensefalon dan
diensefalon. Telensefalon pada perkembangan selanjutnya akan
menjadi hemisferium dan lumennya akan menjadi ventrikel
lateral dan ventrikel III. Diensefalon akan berkembang menjadi
talamus, epitalamus dan hipotalamus. Mesensefalon tidak
banyak perubahan hanya batasnya lcbih nyata karena adanya
fleksura sefalik. Rombensefalon menjadi bangunan yang terdiri
dari dua bagian, bagian depan mesensefalon, yang nantinya
menjadi pons dan serebellum dan bagian belakang mielensefalon
yang akan menjadi medulla oblangata. Tabung neural di bagian
belakang mielensefalon berkembang menjadi medulla spinalis(5,6).
ANATOMI SUSUNAN SARAF PUSAT
Susunan saraf pusat terdiri dari otak besar (cerebrum),
batang otak, otak kecil (cerebellum) dan sumsum tulang be-lakang
(medulla spinalis) dan diliputi oleh selaput otak
(mening) yang terdiri atas bagian luarpakhimening (durameter)
dan bagian dalam leptomening.
Otak dipisahkan oleh fisura media menjadi dua hemisfer.
Permukaan lateral masing-masing hcmisfer dibedakan menjadi
lobus frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Otak mempunyai
sistem perhubungan, yaitu ventrikel. Ventrikel lateral masuk ke
dalam lobus frontal, temporal dan oksipital. Cairan serebrospinal
dibentuk setiap hari oleh plexus choroid pada ventrikel, melalui
ventrikel III dan IV terus ke subarachnoid dan medulla spinalis.
Otak diliputi oleh leptomening, membrana arachnoid dan pia-meter
dan bagian paling luar durameter. Durameter berlapis dua,
sebagai lapisan dalam periosteum dari tulang tengkorak, dan
pada garis tengah sebagai falx cerebri, pada fosa posterior ter-bentang
seperti tenda membentuk tentorium cerebri, memisah-kan
lobus oksipital dan serebellum. Aspek ventral dari otak
adalah batang otak dan serebellum, menutupi aspek posterior
(otak tengah) yaitu : pons dan medula oblongata yang mengeli-lingi
ventrikel IV.Otak mendapat darah dari a. carotis interna dan
a. vertebralis(7).
KLASIFIKASI
Klasifikasi merupakan pembagian dari suatu organ indi-vidu,
menjadi suatu grup, disusun secara sistematis berdasarkan
suatu prinsip serta selengkap mungkin. Dan yang paling penting
dapat bermanfaat untuk penelitian dan klinik(8). Klasifikasi tumor
susunan saraf pusat merupakan persoalan yang rumit dan sejak
lama menjadi persoalan dan perdebatan.
Banyak klasifikasi tumor susunan saraf pusat, perpaduan
dari semuanya telah dirangkum dalam klasifikasi WHO(2). Di sini
dikemukakan modifikasi klasifikasi histogenesis dari Bailey dan
Cushing(4). Klasifikasi glioma ini merupakan dasar terbesar dari
prinsip klasifikasi tumor susunan saraf pusat serta mengurangi
berbagai keruwetan dan keanckaragaman dari tumor ini. Dasar
dari modifikasi klasifikasi Bailey dan Cushing ini ialah per-sangkaan
migrasi dan difcrensiasi dari primitive lining cells dari
embryonic neural canal menjadi meduloblas yang bipotensial;
dapat menjadi seri neuronal (neuroblas dan neuron) atau men-jadi
seri glial melalui spongioblas akan menjadi astrosit atau
oligodcndrosit. Sel-sel yang melapisi kanal neural akan menjadi
sel ependimal yang matang. Dari sel-sel tersebut di atas bila
timbul keganasan diberi nama-nama sebagai berikut : me-duloblastoma,
neuroblastoma, ganglioneuroma (dari neuron
matur), astrositoma, oligodendrogliomadan ependimoma. Tumor-tumor
yang berasal dari sel glia disebut glioma.
Tabel 1. Histogenesis tumor neurocktodermal (modifikasi Bailey dan
Cushing)4
GLIOMA
Astrositoma
Merupakan tumor susunan saraf pusat yang paling sering
dijumpai. Pada orang dewasa tumbuh di hcmisfer serebri. Pada
anak-anak dan dewasa muda di serebelum, dan pada umumnya
kistik(9,10,11).
Astrositoma dibagi menjadi empat tingkatan, semuanya
bersifat invasif, tingkat (grade) 1 dan 2 banyak pada anak-anak,
tingkat (grade) 3 dan 4 90% pada orang tua(1,8,9), Kernohan dan
kawan-kawan berkesimpulan adanya hubungan yang erat antara
tingkatan (grading) dan prognosis penderita(1,2).
Astrositoma tingkat (grade) 1
Ada dua tipe astrosit, fibrilcr dan protoplasmik, maka ter-
Cermin 22 Dunia Kedokteran No. 77, 1992
24. dapat dua tipe astrositoma yaitu Astrositoma fibriler dan Mikroskopik
Astrositoma protoplasmik (jarang ditemukan). Dikenal tiga jenis :
Jenis Epitelial : terdiri atas sel-sel yang membentuk roset
sejati (Roset Flexner–Wintersteiner), kadang-kadang ditemukan
rongga-rongga yang dilapisi oleh sel kuboid atau torak yang
menyerupai ventrikel blepharoplas dapat dilihat dengan pe-ngecatan
PTAH (Rubinstein), jenis ini merupakan gambaran
khas yang sering dijumpai(2,4,6).
Makroskopik
Astrositoma fibriler berwama putih keabu-abuan sangat
padat dan pipih, tidak berbatas jelas, tepi tumor dapat dirasakan
dengan perabaan jari jari tangan, bila letaknya di serebelum
maka 2/3 selalu kistik dan umumnya kecil (mural model).
Astrositoma protoplasmik, lunak dan gelatinous. Batas lrbih
jelas, tampak spongiosa. Jenis Papiler : Sel-sel berstruktur papiler dengan stroma
myxomatous (myxopapillary ependymoma). Bentuk lain pa-Mikroskopik
pilloma plexus choroideus.
Jenis Seluler : Tumor dibentuk sel-sel ependim mengeliling
pembuluh darah, atau masa tanpa gambaran khas.
Sel tumor menyerupai astrosit normal, inti sedikit lebih
besar, kromatin kasar, sedikit pleomorfik, jumlahnya bertam-bah,
cabang-cabang lebih tebal dan banyak, berstruktur fibriler,
mitosis tidak ditemukan, tidak ditemukan datia tumor, tampak
proliferasi pembuluh darah tidal( disertai proliferasi endotel.
Oligodendroglioma
Pertama kali diberi nama oleh Bailey dan Cushing (1928);
merupakan tumor glioma terbanyak ketiga. 5% dari semua
tumor susunan saraf pusat. Dapat ditemukan pada semua usia
terbanyak pada dekade 4 dan 5. Sebagian besar tumor terletak
pada lobus frontal, tumbuh dominan pada substantia alba jarang
pada korteks serebri(2"),
Astrositoma tingkat (grade) 2
Sel-sel tumor lebih banyak dan lebih pleomorfik. Inti besar
sering dijumpai namun tidak dijumpai mitosis dan sel datia
tumor. Proliferasi pembuluh darah, nekrosis dan perdarahan
tidak ditemukan. Makroskopik
Astrositoma tingkat (grade) 3 dan 4 (glioblastoma multi-forme)
Tumor dapat mencapai ukuran besar, batas tumor nyata
warna abu-abu atau abu-abu pink. Sering lunak, 20% kistik di
tengah tumor, nekrosis jarang dijumpai. Kalsifikasi banyak
ditemukan, bila radiologik terlihat maka prognosisnya lebih
baik.
Merupakan 40–60% tumor glioma jaringan otak. Lokasi
terutama pada pons dan cerebrum dan 90% tumor ini pada usia
lanjut.
Meskipun astrositoma tingkat 4 sangat ganas, namun
jarang sekali metastasis keluar dari jaringan serebrospinal(19.12). Mikroskopik
Mempunyai perangai histologik yang khas, terdiri atas sel-sel
kecil yang rapat, stroma sedikit. Sel-sel dengan inti kecil,
bulat dan gelap menyerupai limfosit. Sering di jumpai gambaran
honeycomb, mitosis dan kalsifikasi.
Makroskopik
Pada tingkat 3 masih dapat dikenal sel-sel astrosit, tingkat 4
sudah sukar diindentifikasi, sangat pleomorfik, banyak mitosis
dan sel datia tumor, dapat dijumpai daerah nekrosis dan per-darahan.
Ependimoma Meduloblastoma Nama diberikan oleh Bailey dan Cushing (1925). Tumor
ini khas sekali karena selalu ditemukan pada garis tengah sere-bellum
pada bayi dan anak-anak(11,12).
Merupakan tumorglioma kedua terbanyak. Sel-sel ependim
normal terdapat melapisi kanal vcntrikel, kanal pusat dari
medulla spinalis, ventrikulus terminalis dari konus medularis
medulla spinalis dan sedikit di hemisfer serebri. Maka di tempat
tersebutlah ependimoma ditemukan; 40% supratentorium, 60%
infratentorium. Pada infratentorium hampir selalu di garis tengah
dari dasar atau atap dari vcntrikel. 60% dari glioma medulla
spinalis adalah ependimoma. Tumor ini banyak ditemukan pada
anak-anak dan dewasa mudaw.12)
Makroskopik
Tumor berbatas tegas, selalu pada garis tengah atau vermis
serebellum, dapat menekan atau invasif ke ventrikel IV, menim-bulkan
hidrosefalus internal. Tumor ini cireumseribed tidak
berkapsul, warna putih keabu-abuan dan sangat lunak, jarang
berbentuk kistik, nekrosis banyak dijumpai. Karena mudah ter-lepas
dan invasif ke ventrikel IV, maka dapat ditemui pada cair-an
serebrospinal dan bermetastasis lugs melalui ruang sub-arachnoid.
Sifatnya ganas sekali dan radiosensitif.
Makroskopik
Ependimoma intrakranial dapat tumbuh besar sebelum
menimbulkan gejala, batas tumor kurang nyata, yang di medulla
spinalis sebagian berkapsul, ini memudahkan untuk pengangkat-an.
Tumor warna abu-abu pink, agak tipis, granola. Kista di-temukan
pada ependimoma serebral, sedangkan yang di fosa
posterior jarang. Keadaan ini merupakan kebalikan dari
astrositoma. Kalsifikasi bisa dijumpai(11,12).
Mikroskopik
Sangat seluler, stroma hampir tidak dijumpai. Sel-sel pleo-morfik,
bentuk klasik sel-selnya kecil-kecil tersusun sebagai
sheets atau trabeculae, sering dijumpai formasi pseudorosette.
Mitosis banyak dijumpai.
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 23
25. MENINGIOMA
Nomenklatur dan Sitogenesis
Meningioma berasal dari sel-sel yang terdapat pada lapisan
mening serta dcrivat-dcrivatnya. Di antara sel-sel mening itu
belum dapat dipastikan sel mana yang membentuk tumor, tetapi
terdapat hubungan erat antara tumor ini dengan villi arachnoid.
Tumbuhnva meningioma kebanvakan di temnat ditemukan
banyak villi arachnoid. Dari observasi yang dilakukan Mallary
(1920) dan didukung Penfield (1923), didapatkan suatu konsep
bahwa sel yang membentuk tumor ini ialah fibroblast, sehingga
mereka menycbutnya arachnoid fibroblast atau meningeal
fibroblastoma(14).
Ahli patologi pada umumnya lcbih menyukai label histologi
dari pada label anatomi untuk suatu tumor. Namun istilah
meningioma yang diajukan Cushing (1922) ternyata dapat di-terima
dan didukung oleh Bailey dan Bucy (1931)(13,14) Orville
Bailey (1940) mengemukakan bahwa sel-sel arachnoid berasal
dari neural crest, sel-sel arachnoid disebut Cap cells; pendapat
ini didukung Harstadius (1950), bermula dari unsur ektoderm(13,14),
Zuich tetap menggolongkan meningioma ke dalam tumor me-sodermal.
Kejadian, Umur dan Jenis Kelamin
Meningioma dapat dijumpai pada semua umur, namun pa-ling
banyak pada usia pertengahan. Meningioma intrakranial
merupakan 15–20% dari semua tumor primer di regio ini(1,13).
Meningioma juga bisa timbul di sepanjang kanalis spinalis, dan
frekuensinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tumor
lain yang tumbuh di regio ini(12,13).
Di rongga kepala, meningioma banyak ditemukan pada
wanita dibanding pria (2 : 1), sedangkan pada kanalis spinalis
lebih tinggi lagi (4 : 1)(1,12,13). Meningioma pada bayi lebih
banyak pada priat'l.
Gambaran Makroskopik
Meningioma intrakranial banyak ditemukan di regio para-sagital,
selanjutnya di daerah permukaan konveks lateral dan
falx cerebri. Di kanalis spinalis meningioma lcbih sering me-nempati
regio torakal. Pertumbuhan tumor ini mengakibatkan
tekanan hebat pada jaringan sekitamya, namun jarang menyebuk
ke jaringan otak. Kadang-kadang ditemukan fokus-fokus kalsi-fikasi
kecil-kecil yang berasal dari psammoma bodies, bahkan
dapat ditemukan pembentukan jaringan tulang baru.
Klasifikasi Histologi
Gambaran mikroskopik meningioma amat bervariasi, ma-cam-
macam klasifikasi diusulkan, namun Orville Bailey
(1940) menganggap klasifikasi meningioma tidak diperlukan.
Pandangan ini didasarkan secara biologis karma variasi-variasi
histologis tersebut tidak banyak kaitannya dengan perangai bio-logi
kelompok tumor init' 13,'4>
Klasifikasi menurut Kernohan dan Sayre, yaitu (1) Me-ningioma
meningotheliomatosa (syncytial, endothclimatous).
(2) Meningioma fibroblastik dan (3) Meningioma angioblastik.
Yang terakhir ada yang menggolongkan sebagai haemangiope-risitoma.
Tipe transisional atau tipe campuran digolongkan ke
dalam kelompok meningioma meningotheliomatosa(13).
Meningioma meningotheliomatosa
Terdiri atas sel-sel uniform, berinti bulat atau oval, me-ngandung
satu/dua nuklcoii yang nyata, sedangkan membran
sel tidak jelas, sebagian dari kelompok-kelompok sel tersebut
tersusun dalam lobulus-lobulus membentuk massa yang solid.
Jaringan ikat pada batas-batas lobulus. Whorls dan psammoma
bodies juga merupakan gambaran khas tumor ini.
Meningioma ftbroblastik
Terdiri alas sel-sel pipih yang membentuk berkas-berkas
yang sating beranyaman, kadang-kadang dengan bagian-bagian
menyerupai struktur palisade. Sol-sel tersebut mirip dengan
fibroblast, namun inti sel identik dengan inti sel meningioma
meningiomatosa. Adanya serabut retikulin yang berlebihan dan
serabut kolagen yang menjadi pemisah antara sel pada
meningioma tipe ini, merupakan tanda yang khas.
Meningioma angioblastik
Terdiri alas sel-sel tersusun padat, batas-batas sitoplasma
tidak jelas, inti sel tersusun rapat. Sel-sel tersebut umumnya
menempel pada dinding kapiler, namun kapiler-kapiler tersebut
sebagian mengalami dilatasi, sebagian lagi kompresi, sehingga
sukar untuk diidentifikasi. Bailey dkk. (1928) beranggapan bahwa
sel-sel tumor ini berasal dari elemen dinding pembuluh darah.
Beberapa penulis melaporkan bahwa meningioma angioblastik
lebih sering kambuh.
RINGKASAN
Telah dikemukakan histopatologi tumor otak yang sering
dijumpai. Patologi susunan saraf pusat bersifat amat kompleks,
diperlukan penanganan berbagai disiplin ilmu agar didapatkan
diagnosis Berta tindakan yang tepat
KEPUSTAKAAN
1. Leestma JE. Brain tumor. Am. J. Pathol 1980; 100(1).
2. Zuich KJ. Histological Typing of Tumours of the Central Nervous
System. Geneva: WHO, 1979.
3. Esiri MM, Oppenheimer DR. Diagnostic neuropathology. London: Black-well
Seient Pub!, 1989, 171-224.
4. Treip CS. A Colour atlas of neuropathology. London: Wolfe Medical
Publication Ltd, 1978, 151-86.
5. William C, Barrett JR. Development of brain and spinal cord. In: Neuro-pathology.
(Ed) Tedesehi CG. Boston: Litle Brown and Co, 170, 3-8.
6. Sidharta P, Dewanto G. Susunan Saraf Pusat. Jakarta: Dian Rakyat,1986,
41-7.
7. Regato JA, Spjut 11J. Cancer. Diagnosis, treatment and prognosis. St
Louis: Mosby, 1977, 131-56.
8. Butner AB, Brooks WH, Natshy MG. Classification and biology of brain
tumors. In: Neurological Surgery. Julian R, Youmans JR. (eds.) Philadel-phia:
Saunders, 1973, 2659-93.
9. Cobb CA. Youmans JR. Glial and neuronal tumors of the brain in adult.
In: Neurological Surgery. Julian R, Youmans JR. (eds.) Philadelphia:
Saunders, 1973, 2759-2823.
10. Hoffman I-li. Supratentorial brain tumor in children. In: Neurological
Surgery. Julian R, Youmans JR. (eds.) Philadelphia: Saunders, 1973,
2702-30.
26. 11. Humphreys RP.Posterior cranial fossa brain tumor in children. In: Neuro-logical
Surgery. Julian R, Youmans JR. (eds.) Philadelphia: Saunders,
1973, 2733–57.
13. Maccarty CS, Pupgras DG, Ebersold MJ. Meningeal tumors of the brain.
In: Neurological Surgery. Julian R, Youmans JR. (eds.) Philadelphia:
Saunders, 1973, 2936–66.
12. Kemohan JW, Sayre GP. Tumor of the central nervous system. A.F.I.P.
Washington, 1952.
14. Anwar IIR. Aktivitas fosfatase basa pada meningioma, suatu studi enzym
histokimia. Disertasi. FK. Undip Semarang, 1984.
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 25
27. Peranan Radioterapi pada
Neoplasma Susunan Saraf Pusat
DR. R. Susworo
Bagian Radiologi/Unit Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusūmo
Bagian Radiologi RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta
PENDAHULUAN
Radioterapi merupakan salah satu metoda pengobatan pada
penatalaksanaan tumor-tumor ganas di samping metoda lain
seperti pembedahan dan khemo serta imunoterapi. Berbeda hal-nya
dengan pembedahan maka radioterapi merupakan sarana
pengobatan yang relatif masih baru, dan sampai saat ini pengem-bangan
ilmu ini masih berlangsung terus sejalan dengan kemaju-an
di bidang teknologi dengan diciptakannya berbagai sarana
radiasi yang lebih canggih beserta sarana pembantunya. Semua
upaya ini terutama bertujuan untuk memperoleh dosis semaksi-mal
mungkin pada tumor, tetapi seminimal mungkin pada ja-ringan
(sekitamya) sehingga akan diperoleh kematian tumor
tanpa meninggalkan efek samping yang terlalu banyak.
PENATALAKSANAAN RADIASI TUMOR OTAK
Pengobatan terpilih tumor otak adalah ekstirpasi radikal(1)
namun apabila hal ini tidak dapat dilakukan maka dekompresi
merupakan hal yang harus dikerjakan semaksimal mungkin.
Selanjutnya radiasi diberikan sebagai pengobatan ajuvan setelah
dilakukan pengangkatan tumor tersebut. Tindakan ajuvan ini
dilakukan pada astrositoma (derajat keganasan II, III,IV), epen-dimoma,
oligodcndroglioma, kraniofaringioma, serta kordoma.
Pada kasus-kasus yang tidak lagi resektabel atau tidak layak
operasi ataupun menolak operasi maka radioterapi harus ber-peran
sebagai modalitas tunggal. Kasus ini terjadi pada tumor-tumor
yang letaknya sentral, pada batang otak,ventrikel 3, pada
metastasis otak yang multipel.
Sebagai terapi kombinasi maka radioterapi pada pengobatan
tumor-tumor intrakranial dilakukan setelah pembedahan (radiasi
pasea bedah), yakni bertujuan untuk mengeradikasi sisa-sisa sel
tumor yang masih tertinggal baik secara mikroskopik dan bila
mungkin juga untuk tumor yang masih tampak.
Untuk mencegah terjadinya udem yang mikroskopik pada
parenkim otak yang dapat menambah tinggi tekanan intra-kranial
maka dianjurkan pemberian kortikosteroid dosis tinggi.
Dosis radiasi ditentukan oleh jenis histologik, respons ter-hadap
radiasi, lokasi anatomik dan toleransi jaringan sehat di
sekitarnya. Luas lapangan radiasi ditentukan oleh ekstensi tumor
dan daerah-daerah potensial, seperti halnya radiasi elektif yang
dianjurkan diberikan pada meduloblastoma.
Usia merupakan faktor penting pada anak-anak usia muda,
pada umumnya tumor ini lebih sensitif, tetapi tingkat toleransi-nya
juga rendah.
Teknik radiasi seluruh otak (So; whole brain) serta sebagian
otak (parsial) atau hanya lokal pada lesi yang tampak, sampai saat
ini masih tetap kontroversial.
Berbagai upaya harus dilakukan pada pengobatan radiasi
tumor otak untuk memperoleh basil yang paling optimal, antara
lain :
• Mengetahui letak tumor (prabedah) secara tepat terhadap
titik-titik anatomi intrakranial tertentu.
Sebelum ada CT Scan, maka pemeriksaan radiologik dengan
kontras (angiografi serebral) merupakan satu-satunya sarana,
pada saat ini dengan CT Scan dapat diketahui dengan tepat selain
lokasi juga volume tumor sehingga dapat ditetapkan volume
target radiasi. Pemeriksaan yang kurang invasif sifatnya ini juga
sangat bermanfaat dalam menilai hasil pengobatan.
• Penggunaan simulator.
Simulator adalah sarana pembantu pada radioterapi yang
berfungsi untuk meniru (to simulate) alat radiasi yang sebenar-
Dibacakan pada Simposium Tumor Otak, RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, 30
lull 1991.
Cermin 26 Dunia Kedokteran No. 77, 1992