2. 2000
http. www.kalbe.co.id/cdk
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
127. Daftar isi :
Kanker
Dan Antioksidan
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Terapi Kanker pada Tingkat Molekuler – Rochestry Sofyan
11. Penelitian Aktivitas Biologik Infus Benalu Teh (Scurulla atro-purpurea
Bl. Danser) terhadap Aktivitas Sistim Imun Mencit - M.
Wien Winarno, Dian Sundari, Budi Nuratmi
15. Daya Hambat Benalu Teh (Scurulla atropurpurea Bl. Danser)
terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu Mencit (Mus
musculus L.) C3H – Yun Astuti Nugroho, Budi Nuratmi, Suhardi
18. Aktivitas Antimutagenik dan Antioksidan Daun Puspa (Schima
wallichii Kort.) – Didi Jauhari Purwadiwarsa, Anas Subarnas,
Cucu Hadiansyah, Supriyatna
22. Pengaruh Perasan Daun Ngokilo (Gynura procumbens Lour. Merr.)
terhadap Aktivitas Sistim Imun Mencit Putih – Djoko Hargono, M.
Wien Winarno, Ayu Werawati
30. Radikal Bebas sebagai Prediktor Aterosklerosis pada Tikus Wistar
Diabetes Melitus – Zainal Musthafa, Gatot S. Lawrence, Arifin
Seweang
32. Peran Antioksidan dalam Penghambatan Aterosklerosis pada Tikus
Wistar Diabetes Melitus – Zainal Musthafa, Gatot S. Lawrence
34. Endotelin dan Penyakit Kardiovaskuler – Muhammad Natsir Akil
37. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru –
John MF Adam
41. Hubungan antara Waktu Kadaluwarsa Ampisilina dengan Daya
Hambat Pertumbuhan E. coli secara in vitro – Raharni, Sugeng
Riyanto, Koesniyo
45. Disolusi dan Penetapan Kadar Alopurinol Sediaan Generik dan
Sediaan dengan Nama Dagang – Sukmayati Alegantina, Ani
Isnawati, Kelik M. Arifin
49. Resistensi M. tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis Bahan
Baku dan Obat Generik di Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung – Hotman Sinaga, Idaningroem Sjahid, Monang
Siahaan, Ida Parwati Santoso
54. Abstrak
56. RPPIK
3. Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih akan
berkembang, antara lain karena patofisiologinya yang masih belum
banyak dipahami dan penanggulangannya yang masih belum optimal.
Artikel dalam edisi ini membahas masalah kanker pada tingkat dasar
disertai dengan beberapa penelitian dasar beberapa tumbuhan obat yang
mungkin dapat bermanfaat, dengan harapan dapat ditindaklanjuti
sehingga dapat dimanfaatkan secara klinis.
Masalah antioksidan juga disinggung dalam hubungannya dengan
proses degenerasi, dalam hal ini penyakit kardiovaskuler.
Artikel yang juga dapat dibaca di sini ialah beberapa penelitian
mengenai farmakokinetik beberapa obat, dan ternyata obat generik tidak
kalah mutunya dibandingkan dengan sediaan nama dagang.
Selamat membaca
Redaksi
2 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
4. 2000
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
REDAKSI KEHORMATAN
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
– Prof. DR. B. Chandra
Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya.
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.
– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo
Staf Ahli Menteri Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno
SKM, MScD, PhD.
Bagian Periodontologi,Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia, Jakarta
– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort
Laboratorium Ortodonti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,
Jakarta
– DR. Arini Setiawati
Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta,
DEWAN REDAKSI
KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PELAKSANA
Sriwidodo WS
TATA USAHA
Sigit Hardiantoro
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung
Enseval,
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
PENCETAK
PT Temprint
– Dr. B. Setiawan Ph.D – Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
Zahir MSc.
PETUNJUK UNTUK PENULIS
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang
tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan me-ngenai
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indo-nesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi
berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah
harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan
para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga
dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak mem-buat
sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang
ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat
sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi
nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai
keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai
untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut
sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan
dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Man-uscripts
Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh:
Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-organisms.
Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic phy-siology:
Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau
lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis
dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian
tempat kerja si penulis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 3
5. English Summary
THE INVESTIGATION ON ANTI-MUTAGENIC
AND ANTIOXIDANT
ACTIVITY OF SCHIMA WALLICHII
KORT. LEAVES
Didi Jauhari Purwadiwarsa, Anas
Subarnas, Cucu Hadiansyah,
Supriyatna
Department of Pharmacy and Biology,
Faculty of Mathematics and Physics,
Padjadjoran University, Bandung,
Indonesia
An investigation on antimuta-genic
and antioxidant activity of
the butanol fraction of Schima
wallichii Korth leaves has been
carried out. The experiment of an
in vivo antimutagenic activity using
a micronucleus test showed that
butanol fraction used orally de-creased
the frequency of micro-nucleated
polychromatic cell
erythrocytes (MNPCE) from the
bonemarrow smears of Swiss-
Webster male mice elevated by
cyclophosphamide at a dose of
50 mg/kg intraperitoneally. The
butanol fraction at a dose of
300 mg/kg decreased the
frequency of MNPCE by 10,5%
while at a dose of 600 mg/kg
decreased by 38,27%.
An in vitro antioxidant activity
using nitroblue tetrazolium (NBT)
method showed that butanol frac-tion
inhibited the reduction of NBT
by superoxide generated by the
xanthine oxidase system. The in-hibition
by butanol fraction at a
concentration of 200 μg/ml was
68,66% while at a concentration
of 400 μg/ml was 94,37%.
The result indicated that the
bu-tanol fraction had antimuta-genic
and antioxidant activities.
Cermin Dunia Kedokt. 2000; 127: 18-21
djp, as, ch, s
EFFECTS OF EXPIRED AMPICILLIN
PRODUCT ON THE GROWTH OF E.
COLI IN VITRO
Raharni*, Sugeng Riyanto**,
Koesniyo***
* Pharmacy Research and
Development Centre Health Re-search
and Development Cen-tre,
Department of Health,
Jakarta, Indonesia
** Faculty of Pharmacy, Gajah
Mada University, Yogyakarta
Indonesia
*** Faculty of Medicine. Gajah
Mada University, Yogyakarta,
Indonesia
The purpose of the study is to
determine the correlation between
the length of expiration date of
ampicillin products and the poten-cy
to inhibit E. coli growth, com-pared
to the standard ampicillin.
Using dilution method, Minimal
Inhibition Concentration (MIC) and
Minimal Bactericidal Concentra-tion
(MBC) of several different
expired ampicillin products
against E. coli are determined.
The results indicate that MIC
and MBC of the expired ampicillins
are lower than the standard ampi-cillin.
The longer the expiration date
of ampicillin have been passed
the smaller the potential against
the growth of E. coli.
Cermin Dunla Kedokt. 2000; 127: 41-4
rh, sr, ko
RESISTANCE OF M. TUBERCULOSIS
TO THE PURE AND THE GENERIC
ANTITUBERCULOSIS DRUGS IN THE
DEPARTMENT OF CLINICAL PA-THOLOGY,
FACULTY OF MEDICINE
PADJADJARAN UNIVERSITY/ DR.
HASAN SADIKIN GENERAL HOS-PITAL,
BANDUNG
Hotman Sinaga, Idaningroem
Sjahid, Monang Siahaan, Ida
Parwati Santoso
Department of Clinical Pathology,
Faculty of Medicine, Padjadjaran
University, Dr. Hasan Sadikin General
Hospital, Bandung, Indonesia
The inappropriate treatment of
tuberculosis may result in drug re-sistance
that is more difficult to
treat. Proper treatment should be
based on susceptibility test; but this
test is not easily performed and
also expensive. So it is necessary
to find cheaper and easier ob-tainable
reagent and method.
A comparative study on the sus-ceptibility
test on 50 isolated of M.
tuberculosis using pure and gene-ric
antituberculosis drugs as media
was carried out in the Department
of Clinical Pathology, Faculty of
Medicine, Padjadjaran University/
Hasan Sadikin General Hospital.
This study revealed that the
result was not significantly different
(p > 0,05) and both methods
have a 100% accuracy.
Generic antituberculosis drugs
can be used for the susceptibility
test of M. tuberculosis.
Cermln Dunla Kedokt. 2000; 127: 49-53
hs, is, ms, ips
4 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
6. Artikel
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Terapi Kanker
pada Tingkat Molekuler
Rochestry Sofyan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir - Batan, Jakarta
ABSTRAK
Dalam terapi kanker pada tingkat molekular, dikenal tiga kategori gen sebagai
target yaitu onkogen, gen supresor tumor dan gen yang mengatur replikasi dan repair
dari DNA. Kebanyakan kanker disebabkan oleh mutasi pada satu atau lebih dari ketiga
kategori gen tersebut. Tinjauan ini membahas masing-masing kategori gen dan aspek
biokimianya, serta menerangkan bagaimana obat anti kanker dapat diteruskan pada sel
dan bagaimana obat tersebut dapat menghentikan perkembangan sel kanker.
PENDAHULUAN
Sel kanker merupakan the outlaw cell karena tumbuh
secara tidak teratur, melanggar semua kaidah normal, tidak
peduli akan kontrol dalam perbanyakan, dan menggunakan
agendanya sendiri. Sifat lainnya adalah mempunyai kemampu-an
untuk bermigrasi dari tempatnya tumbuh ke jaringan di
dekatnya dan membentuk massa pada daerah baru di dalam
tubuh. Kanker terdiri atas sel ganas, menjadi lebih agresif dari
waktu ke waktu, dan menjadi letal apabila jaringan atau organ
yang diperlukannya untuk bertahan hidup, mengalami
gangguan. (Gambar 1).
Pada awalnya pengetahuan para ahli hanya terbatas pada
pengertian bahwa sifat yang membahayakan dari sel tumor
adalah dapat tumbuh dan menyebar secara tidak terkendali.
Khasiat suatu obat hanya dilihat dari dapat tidaknya meng-hambat
pembelahan sel, atau dengan cara menginjeksikan
senyawa kimia tersebut pada sel kanker hewan dan mengamati
terjadinya penciutan. Ternyata, beberapa senyawa yang me-nyerang
sel kanker juga dapat merusak jaringan sehat,
sehingga terjadi efek samping yang membahayakan kesehatan
penderita.
Dewasa ini, kelainan atau kerusakan secara molekular
yang mengubah sel normal menjadi sel ganas mulai jelas.
Beberapa kelainan disebabkan oleh terjadinya mutasi pada
kunci utama dari gen yang bertanggung jawab dalam
reproduksi sel. Mutasi tersebut mengubah kuantitas atau sifat
protein yang dikode oleh gen pengatur tumbuh dan selanjutnya
mengganggu fungsi pengontrol pembelahan sel. Melalui pe-ngetahuan
tentang adanya gen yang mengalami mutasi,
memungkinkan para peneliti di bidang farmasi dapat me-rancang
obat baru yang secara spesifik mampu menghambat
kerja gen yang mengalami mutasi. Obat semacam ini di-harapkan
akan dapat memulihkan sel dari keganasan menjadi
normal kembali, atau memutuskan rantai keganasan tanpa
membahayakan sel sehat. Sekalipun kebanyakan obat tersebut
baru dalam tahap uji awal, hasilnya memperlihatkan harapan
yang cukup menggembirakan.
Gambar 1. Pengendalian kanker pada tingkat molekular meliputi
repair dari DNA yang rusak, penghambatan dari protein
kunci pertumbuhan dan meningkatkan sensitivitas tumor
terhadap terapi konvensional seperti iradiasi (diambil dari
pustaka 1).
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 5
7. Dalam terapi kanker pada tingkat molekular, dikenal tiga
kategori gen sebagai target. Kategori pertama adalah onkogen,
yang menstimulasi perkembangan sel melalui daur sel (cell
cycle) yaitu serangkaian peristiwa meliputi pembesaran sel,
replikasi DNA dan pembelahan sel, serta pemindahan set gen
yang lengkap pada sel anak. Kategori lain adalah gen yang
membatasi perkembangan tersebut yang disebut sebagai gen
penekan atau supresor tumor. Kategori ketiga adalah kelompok
gen yang mengatur replikasi dan repair dari DNA. Kebanyak-an
tumor disebabkan oleh terjadinya mutasi pada satu atau
lebih dari ketiga kategori gen tersebut.
Tinjauan ini membahas masing-masing kategori gen dan
aspek biokimia yang terlibat. Selain itu, akan menerangkan
bagaimana obat antikanker dapat diteruskan pada sel dan
bagaimana obat tersebut dapat menghentikan perkembangan
sel kanker.
Onkogen: Mengaktifkan kanker
Onkogen adalah versi mutan dari gen normal, yang me-micu
pertumbuhan sel. Gen pada sel normal yang dapat
berubah menjadi onkogen aktif akibat mutasi, disebut proto
onkogen. Mutasi mampu mengubah proto onkogen menjadi
onkogen aktif. Perbedaan antara onkogen dan gen normal
kadang kala tidak terlihat. Protein mutan dari mana asal
onkogen muncul dapat berbeda hanya dengan satu asam amino
tunggal dari versi yang sehat. Jadi hanya dengan satu per-ubahan
tunggal telah dapat mengubah fungsi protein.
Kanker pada umumnya terjadi apabila terdapat mutasi
pada gen ras. Sekitar 20-30% dari kanker pada manusia
mengandung satu gen ras yang abnormal. Protein yang dikode
oleh gen ras (disebut sebagai protein ras) pada umumnya
bertindak sebagai tombol penyambung di dalam rangkaian
isyarat atau pesan yang memerintahkan sel untuk membelah,
sebagai respon dari pengiriman stimulasi pada gen ras dari luar
sel. Aktivasi terjadi pada rangkaian isyarat yang non aktif.
Dengan tidak adanya pesan dari luar sel, protein ras akan tetap
dalarn keadaan tidak aktif (dalam posisi off). Protein ras yang
termutasi bertindak seperti tombol penekan yang selalu dalam
posisi on, sehingga secara kontinu memberi informasi yang
salah pada sel, yaitu menginstruksikannya untuk membelah
pada saat yang tidak seharusnya membelah. Dari pengamatan
ini dapat diperkirakan bahwa senyawa yang dapat memblok
aksi protein ras mutan mungkin efektif sebagai senyawa anti
kanker (senyawa pemblok semacam ini disebut antagonis).
Masalahnya adalah bagaimana protein ras mutan dapat diin-aktivasi.
Salah satu jawaban penting adalah apabila kita dapat
memahami bagaimana protein ras dibuat. Di awal pembentuk-annya,
molekul ras secara fungsional tidak aktif (immature).
Prekursor ini harus mengalami modifikasi secara biokimiawi
untuk menjadi mature sehingga menjadi aktif. Kemudian
protein ras menyerang bagian permukaan sel atau bagian luar
membran yang selanjutnya akan berinteraksi dengan protein
selular untuk menstimulasi pertumbuhan sel. Perubahan terjadi
pada salah satu ujung dari prekursor ras, tempat enzim bekerja
dalarn suatu daerah yang disebut sebagai box CAAX.
Modifikasi dapat terjadi dalam tiga tahap (Gambar 2). Tahap
yang paling kritis adalah tahap awal yang disebut sebagai step
farnesylation. Pada tahap ini 15 atom karbon ditambahkan
pada prekursor. Suatu enzim spesifik bernama farnesyl-transferase
mengkatalisis reaksi tersebut.
Gambar 2. Berawal dari protein ras yang tidak aktif (sebagai prekursor
yang tidak aktif). Pematangan (maturation) terjadi dalam
tiga tingkat. Sesaat setelah protein ras termodifikasi, protein
ras dapat berinteraksi dengan protein lain dan menstimulasi
pertumbuhan sel. Obat yang dapat menghambat reaksi
farnesylation sehingga mencegah protein ras menjadi aktif
dapat menghentikan sel tumor membelah (diambil dari
pustaka 1).
Salah satu strategi untuk memblok aktivitas protein ras
adalah menginhibisi enzim sehingga modifikasi dapat dicegah.
Para peneliti telah mencoba berbagai inhibitor. Pada kultur sel,
inhibitor memblok maturasi dari protein ras. Uji pada hewan
percobaan juga memberikan hasil yang menggembirakan, yang
memperlihatkan bahwa inhibitor farnesyltransferase mencegah
pembentukan tumor baru oleh protein ras yang abnormal.
Salah satu hal yang menguntungkan adalah inhibitor farnesyl-transferase
bekerjanya sangat spesifik. Obat ini tidak mem-pengaruhi
baik sel yang normal maupun sel yang ditrans-formasi
oleh onkogen lain. Dengan spesifisitas yang tinggi;
diharapkan bahwa efek sampingnya akan sangat minimal.
Beberapa dari inhibitor yang diberikan dengan dosis tertentu
telah dapat mengeliminasi preexisting atau bakal tumor. Pada
hewan percobaan terlihat bahwa inhibisi terjadi tanpa me-nyebabkan
toksisitas pada sel normal.
Daerah lain dari onkogen yang siap dijadikan sasaran zat
anti kanker adalah yang mengkode enzim protein kinase.
Beberapa jenis kanker yang gen kinasenya mengalami mutasi
ditemukan pada chronic myelogenous leukemia, kanker
payudara dan kanker kandung kencing. Pada sel yang normal,
protein kinase membantu mengatur proses-proses penting.
Salah satu aktivitasnya adalah mengirim isyarat atau pesan dari
membran sel ke inti sel; mengawali perkembangan sel melalui
siklus sel, dan mengontrol berbagai fungsi metabolik dari sel.
Protein kinase mengendalikan proses ini dengan cara
mengaktivasi protein lain dalam memberikan tanggapan pada
stimulan tertentu.
Kinase dapat memicu kanker melalui beberapa cara
sebagai berikut; terlalu banyak diproduksi, yang disebabkan
oleh mutasi pada daerah gen pengontrol, sebagai satu ke-mungkinan.
Dibandingkan dengan sel normal, sel tumor sering
kali memproduksi satu atau lebih kinase dalam jumlah banyak.
Jumlah yang terlalu banyak dapat memicu sel membelah diri
pada saat yang seharusnya stop. Bagian sel yang sering mem-
6 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
8. produksi kinase dalam jumlah berlebih pada jaringan kanker
adalah reseptor untuk faktor pertumbuhan epidermal atau
epidermal growth factor (EGF). Kinase dapat memberi kon-tribusi
untuk menjadi kanker apabila strukturnya abnormal.
Kebanyakan sel tumor mengandung protein kinase yang
karena mengalami kerusakan secara struktural, maka meng-alami
perubahan secara permanen. Karenanya dalam melang-sungkan
reaksi dapat menstimulasi sel untuk membelah secara
tidak normal. Beberapa contoh dari kinase yang bertindak
secara abnormal pada kanker tertentu adalah Abl, Src dan
Siklin (cyclin dependent) kinase.
Terbukti bahwa satu inhibitor dari satu atau lebih kinase
tersebut dapat berlaku sebagai senyawa anti kanker yang
efektif. Tujuannya adalah menemukan suatu obat yang dapat
membedakan satu kinase dengan yang lainnya. Beberapa dari
hampir 1000 protein kinase pada sel mamalia mempunyai
struktur yang hampir sama terutama dalam pusat aktif secara
biokimia (biochemically active region). Jadi, suatu inhibitor
dari setiap protein kinase tunggal dapat mengganggu aktivitas
yang lainnya, padahal kinase yang tidak bersangkutan sangat
penting untuk fungsi sel normal.
Sekalipun adanya anggapan tersebut, beberapa tahun
terakhir ini para peneliti di bidang farmasi telah mensintesis
dan menguji berbagai inhibitor kinase. Selain yang ditujukan
pada kinasenya sendiri, juga yang dapat menyerang pada tahap
genetik (mencegah disintesisnya kinase). Sebagaimana kita
ketahui, molekul m-RNA adalah kopi yang mobil (bergerak)
dari gen-gen dan secara fisik adalah template/cetakan dari
mana sel membentuk protein yang dikode oleh gen. Sebagai
contoh, adanya potongan atau snippets materi genetik anta-gonis
akan berinterfensi dengan m-RNA sel tumor dan
selanjutnya menghalangi pembentukan protein dalarn hal ini
pembentukan kinase .
Inhibitor kinase bekerja sangat selektif. Temuan pada
tabung reaksi secara in vitro menunjukkan bahwa inhibisi pada
target yang diharapkan 1000 kali lebih sering daripada pada
kinase yang bukan pasangannya. Lebih penting lagi penemuan
pada seluruh kultur sel, yang memperlihatkan bahwa beberapa
dari senyawa ini menginhibisi pertumbuhan dari sel kanker
yang mengandung gen kinase protein yang termutasi. Terlihat
pula bahwa beberapa diantaranya menghambat pertumbuhan
sel tomor pada hewan, suatu tanda bahwa senyawa tersebut
dapat bekerja pada tubuh manusia. Diharapkan bahwa bebe-rapa
antagonis protein kinase dapat segera tersedia untuk
pengobatan kanker pada manusia.
Gen Supresor Tumor
Kategori kedua dari gen yang turut berperan dalam
perkembangan kanker adalah gen-gen yang bila bekerja secara
normal dapat menekan perkembangan keganasan. Beberapa
kanker timbul sebagai akibat dari hilangnya atau tidak ber-fungsinya
secara sempurna kunci protein pengatur di mana gen
ini dikode. Dua dari protein supresor adalah pRB dan p53.
Protein pRB (RB diambil dari retinoblastoma) suatu jenis
tumor yang setiap gennya disebut RB yang pertama kali
diidentifikasi, membantu mengatur siklus sel. Bentuk aktif
pRB dapat bertindak sebagai penghambat replikasi DNA. Di
dalam setiap 40% kanker pada manusia, mutasi pada gen RB
menyebabkan setiap proteinnya menjadi tidak aktif. Sebagai
akibatnya sel membelah secara nonstop.
Molekul pengatur lain yang sangat penting adalah protein
p53. Sering juga disebut sebagai guardian atau pelindung dari
genome. Protein ini mencegah replikasi dari DNA yang rusak
pada sel normal dan mendorong penghancuran sendiri dari sel
yang mengandung DNA yang tidak normal. Molekul p53 yang
tidak normal akan membiarkan sel yang mengandung DNA
yang rusak untuk tetap bertahan padahal seharusnya mati, atau
melakukan replikasi padahal seharusnya berhenti. Sel yang
terganggu dan mengalami mutasi diturunkan pada keturunan-nya
dan selanjutnya mempunyai kesempatan untuk akumulasi
dan terjadi mutasi tambahan; yang membuka peluang untuk
membentuk tumor yang letal. Kebanyakan tumor pada
manusia, disebabkan oleh adanya cacat pada gen p53. Siklus
sel serta berbagai komponen yang dapat menyebabkan terjadi-nya
kanker dapat dilihat pada Gambar 3.
Strategi terapi apa yang dapat mengatasi kesalahan fungsi
dari gen RB dan p53. Beberapa pendekatan umum telah
dipertimbangkan. Secara konseptual yang paling penting
adalah mengganti gen yang rusak dengan yang normal (normal
counterpart). Mengacu kepada terapi gen, dilihat pada per-cobaan
pada kultur sel, hasilnya memberikan harapan.
Gen-gen RB dan p53 yang normal diintroduksikan pada sel
tumor, dapat menghambat pertumbuhan dari sel tersebut.
Sekarang para peneliti sedang merancang protokol untuk uji
klinis. Mereka berharap dapat memasukkan gen p53 yang
normal ke dalarn sel tumor manusia, serta secara giat mencari
berbagai metode untuk memasukkan atau mengirimkan gen
tersebut pada sel tumor. Diduga bahwa virus yang lemah dapat
membawa gen yang normal dan meneruskan hanya pada sel
tumor.Pendekatan dengan vektor virus ini masih baru dan
dihadapkan pada berbagai kesulitan. Tidak satupun dari vektor
virus tersebut yang dapat mendahului sistem imun, artinya sel
imun telah lebih dahulu membunuh virus, sebelum virus
pembawa gen p53 mendapat kesempatan untuk mencapai sel
tumor.
Menghadapi rintangan pada terapi gen, para onkolog
mempelajari supresor tumor selain juga menggali pendekatan
secara tradisional. Diperlukan pengkajian tentang pengaturan
produk gen termasuk serangkaian peristiwa berawal dari
Siklus sel
(a)
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 7
9. Reseptor faktor
pertumbuhan
Sel mamalia
(b)
Gambar 3. Siklus sel serta berbagai komponen yang dapat menyebab-kan
terjadinya kanker antara lain adalah reseptor faktor
pertumbuhan, protein ras dan enzim-enzim kinase (b).
Kekacauan/ketidak teraturan pada pRB dan p53 juga dapat
memicu pertumbuhan kanker. Perubahan-perubahan ter-sebut
dapat menyebabkan siklus sel (a) menjadi tidak
terkontrol (diambil dari pustaka 1).
kerusakan secara genetik di dalam sel dan kemudian
mengembangkan obat yang menghambat satu dari peristiwa
tersebut. Sebagai contoh pada jaringan sehat protein pRB
memblok aktivitas dari protein lain (bernama E2F), yang
apabila bebas akan memacu sintesis DNA. Tidak adanya
protein pRB karenanya dapat menyebabkan aktivitas E2F
menjadi tidak terkontrol dan menyebabkan pembelahan sel
menjadi tidak terkendali. Karenanya obat yang sanggup meng-inhibisi
E2F dapat menghentikan perkembangan tumor yang
disebabkan oleh peristiwa yang diawali oleh hilangnya protein
pRB.
Dewasa ini, para peneliti telah dapat mengetahui jalur
biokimia yang dikendalikan oleh gen RB, akan tetapi belum
jelas apakah hal yang sama berlaku untuk p53. Hingga
sekarang belum diketahui secara persis rantai molekular pada
peristiwa yang mengawali hilangnya gen p53. Sebagai akibat-nya
kebanyakan obat yang potensial ditujukan pada pemulihan
p53 belum dapat diidentifikasi. Harapan utama adalah inakti-vasi
protein dengan p53 menjadi kenyataan. Dari beberapa
penelitian secara in vitro terlihat bahwa fungsi normal dari p53
dapat dipulihkan dengan molekul kecil yang apabila ditempel-kan
pada mutan protein p53 yang tidak aktif dapat meng-aktifkannya
kembali. Apabila hal yang sama dapat dicapai
pada sel tumor, maka dapatlah diharapkan bahwa sel-sel ganas
dapat berhenti tumbuh atau mati, karena salah satu fungsi dari
p53 adalah untuk membuat sel yang tidak normal melakukan
Hubungan dengan
kanker Pendekatan terapi
Meningkatkan 20% dari
kanker payudara
- dihambat oleh antibodi
atau menginhibisi fungsi
biokimia dari reseptor
Diaktivasi oleh mutasi
pada 20-30% kanker
- menginhibisi
pematangan dari ras
Diaktivasi oleh kromosom
abnormal pada leukemia
myelogenous kronik
- inhibisi kinase atau
menghambat sintesis
dengan anti sense
Diaktivasi oleh mutasi
pada 2-5% kanker
- inhibisi enzim yang ber-peran
dalarn pathway
yang kritis
Mengalami mutasi atau
deleted pada 40% kanker
- perbaikan dengan terapi
gen atau menghambat
protein E 2F
Mutasi atau deleted pada
50% kanker
- perbaikan dengan terapi
gen atau membunuh sel
dengan adenovirus
penghancuran dirinya sendiri (Gambar 4). Kelayakan teknis
dari pendekatan ini cukup menjanjikan, akan tetapi kegunaan-nya
tidak spesifik, berlaku umum bagi berbagai jenis kanker
yang memiliki gen p53. Di beberapa laboratorium, berbagai
usaha sedang diteliti untuk menggali strategi ini.
Gen-gen Pengontrol Repair DNA
Kategori gen ke tiga adalah yang mengontrol dan menjaga
integritas DNA, yang sering kali mengalami kerusakan pada
waktu replikasi. Tanpa mekanisme ini, terjadinya perubahan
pada sebuah gen yang seharusnya direparasi tidak terlaksana,
maka kerusakan akan diturunkan kepada keturunan berikutnya
sebagai mutasi yang permanen. Sesungguhnya sel tumor sering
kali mengandung kerusakan atau cacat pada proses repair
Gambar 4. Protein p53 menginstruksikan sel untuk memusnahkan diri
bila DNA mengalami kerusakan baik karena senyawa
polutan maupun radiasi. Bila protein p53 tidak normal,
tidak dapat menghentikan DNA pada proses replikasi. Cara
lain adalah dengan menggunakan sel virus, dimana virus
hanya berkembang pada sel tumor atau p53 yang tidak
normal, sehingga terjadi kematian dari sel tumor (diambil
dari pustaka 1).
8 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
10. DNA. Sebagai contoh, 10-20% dari kanker kolon pada
manusia mengalami mutasi pada gen-gen yang membantu
repair DNA (yaitu gen MLH, MSH2, PMS1 dan PMS2).
Gen lain yang berpartisipasi secara tidak langsung pada
repair DNA, pada kenyataannya mengalami mutasi pada gen
ini, dan keadaan semacam ini sering terjadi. Salah satu gen
tersebut adalah gen yang mengkode protein check point yang
memantau perkembangan sel melalui daur sel dan mencegah
tahapan berikutnya berlangsung, apabila tahap sebelumnya
tidak berjalan secara normal. Sebagai contoh apabila DNA
tidak dikopi secara akurat. Salah satu check point protein yang
penting adalah ATM dan sekali lagi p53 yang berfungsi.
Sel-sel tumor yang tidak mengandung baik gen ATM yang
normal maupun gen p53 tidak mempunyai mekanisme pe-ngontrol
semacam ini. Setiap DNA sibuk melakukan replikasi
sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya mutasi secara
random.
Seperti halnya dengan gen-gen supresor mutan tumor,
terapi gen dapat digunakan dalam mengganti gen yang hilang
atau gen yang mengkode repair dari DNA atau protein terkait
yang rusak. Pendekatan yang lebih radikal adalah membiarkan
beberapa tumor untuk mengalami mutasi sendiri untuk mati.
Sel tumor yang mengalami peningkatan kecepatan mutasi
dapat mengalami beberapa mutasi yang letal dan dapat
menyebabkan kematian dari sel anak. Tumor dapat menyebab-kan
hilangnya beberapa turunan selama beberapa dari mutasi
yang diperoleh memperbanyak sel yang survive dari turunan
tumor. Akan tetapi apabila terlalu banyak sel mutan yang
bergenerasi, kemungkinan tidak ada anakan sel tumor yang
dapat hidup. Salah satu jalan yang mendorong sel-sel kanker
untuk memproduksi sel anak yang tidak survive adalah dengan
jalan menginhibisi beberapa mekanisme check point secara
simultan. Nyatanya sel ragi yang DNA-nya dirusak dengan
cara iradiasi dengan sinar X, mengalami kematian pada dosis
yang relatif tinggi. Akan tetapi apabila satu dari gen check
point mengalami mutasi, ragi tersebut menjadi lebih sensitif
terhadap radiasi. Terbukti bahwa apabila dua atau lebih gen
check point mengalami mutasi pada waktu bersamaan, sel
menjadi hipersensitif terhadap radiasi; sekalipun dosisnya
kecil, telah dapat membunuh sel kanker.
Berdasarkan pengamatan tersebut, para onkolog meran-cang
obat yang dapat menginhibisi protein-protein check point.
Obat ini ditujukan untuk dapat bekerja pada sel tumor yang
cacat pada suatu gen check point (misalnya suatu mutan p53).
Dengan beberapa cacat seperti itu, sel kanker dapat mati atau
paling tidak kolaps sehingga mati secara mudah pada per-lakuan
berikutnya. Beberapa senyawa, pada pengamatan me-lalui
kultur jaringan memperlihatkan harapan, sekalipun untuk
uji klinis masih perlu menunggu sampai abad mendatang.
Selain dengan cara yang melibatkan pertumbuhan sel,
terapi molekular juga dapat ditujukan pada molekul penting
lainnya, beberapa dari cara terapi tersebut diharapkan telah
dapat digunakan dalam waktu empat tahun mendatang. Se-bagai
contoh adalah beberapa protein yang menjaga agar sel
tetap berada di suatu tempat pada tubuh manusia. Dengan
pengetahuan ini, para peneliti dapat menemukan obat seperti
inhibitor protease, yang dapat mencegah sel kanker mengalami
metastasis atau menyebar ke seluruh tubuh. Obat lain diusaha-kan
untuk mematikan telomerase, yaitu enzim yang dapat
membentuk kembali ujung dari kromosom yang mengalami
replikasi, sehingga dalam keadaan seperti ini sel kanker tidak
sanggup untuk tetap hidup. Senyawa seperti ini adalah
TNP-470, dapat menghambat pembentukan aliran darah baru
(angiogenesis) yang memasok makanan pada sel tumor.
Sekalipun target untuk berbagai obat yang dibicarakan
tadi menggambarkan kemajuan yang cukup meyakinkan dalam
biologi molekular tentang kanker, akan tetapi untuk sampai ke
kenyataan terapi diperlukan waktu. Terapi metode baru dengan
konsep tersebut, dapat mengatasi berbagai kekurangan dari
kemoterapi. Obat tersebut selain harus terlokasi pada target
kanker, juga harus terpenetrasi pada sel ganas dalam jumlah
yang memadai agar efektif. Tumor yang solid atau kompak
dan keras sulit ditembus oleh obat, dan tidak banyak saluran
darah yang mengalir jauh ke saluran tumor. Di pihak lain
beberapa obat tidak dapat secara mudah menuju sasaran tanpa
harus melewati pembuluh darah yang mensuplai makanan
pada jaringan tumor untuk kemudian menemukan jalan pada
jaringan kanker. Jadi jelas adanya toksisitas, efek samping dan
resistensi terhadap obat pada sel tumor.
Penemuan terakhir dalam berbagai bidang iptek dapat
digunakan untuk mempercepat penemuan berbagai obat baru.
Metode tersebut termasuk gen rekombinan untuk memproduk-si
senyawa baru antara lain menggunakan hewan yang direka-yasa
secara genetik untuk digunakan sebagai sistem model,
teknik kimia dam simulasi komputer. Sekalipun teknik ini
telah berkembang, masih diperlukan waktu sekitar sepuluh
tahun untuk realisasinya. Pada tahun pertama, kedua dan
ketiga diperlukan studi genetik dan biologi molekular untuk
dapat meyakinkan bahwa target benar-benar kritis pada
perkembangan kanker pada manusia. Setelah itu, penentuan
screening biokimiawi untuk menemukan senyawa penting,
yang memerlukan waktu satu atau dua tahun. Kemudian
pengoptimalan potensi ditinjau dari spesifitas dan farmako-kinetiknya.
Usaha ini dapat memakan waktu 3 – 5 tahun,
karena harus melalui sintesis beberapa ratus bahkan beberapa
ribu senyawa (obat). Pendekatan terutama ditujukan pada tiga
hal yaitu keamanan, kemanjuran dan dosis yang optimal.
Pendekatan molekular dalam terapi kanker dapat dilihat pada
Tabel 1.
PENUTUP
Penemuan cara pengobatan melalui pendekatan-pendekatan
tadi merupakan suatu cara yang tepat, akan tetapi
masih memerlukan penelitian dan jalan yang cukup panjang.
Obat yang menginhibisi protein kinase mulai memasuki uji
klinis pada awal tahun ini. Inhibitor farnesyltransferase dan
beberapa inhibitor kinase lainnya akan dapat diuji coba dalam
dua sampai empat tahun mendatang. Pendekatan dari terapi
gen adalah dengan cara menggantikan gen yang mengalami
mutasi dengan pasangannya atau counterpart-nya yang
normal. Pendekatan secara molekular ini harus jelas karakteris-tiknya.
Sel tumor yang mengalami beberapa cacat (multiple
molecular defect), nampaknya tetap memberikan respon
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 9
11. sekalipun hanya satu dari cacat itu yang mengalami perlakuan.
Karenanya pasien tidak perlu minum beberapa jenis obat
secara simultan untuk memperoleh manfaat yang optimal.
Sekalipun penelitian masih terus berlangsung, nampaknya di
masa mendatang terapi kanker akan lebih efektif dan kurang
toksik, dan yang lebih penting memberikan harapan hidup dan
kenyamanan yang lebih pada penderita.
KEPUSTAKAAN
1. Oliff A, Gibbs JB., Mc Cormick, F. New molecular targets for cancer
therapy. Scienti Am 1996; 275 (3) : 110-5.
2. Tjahjono. Deteksi dini kanker: Peran pemeriksaan sitologik dan
antisipasi era pasca genom. MKI 1999; 49 (7) : 278-90.
3. Szeinfeld D. At molecular level. Nuclear Active, August (1989); 50-2.
4. Frank LM, Teich NM. Introduction to cellular and molecular biology of
cancer: Oxford University Press., 2nd ed, 1998.
5. Hutchinson C, Glover DM. Cell cycle control, 1st ed., Oxford University
Press., 1993.
Tabel 1. Pendekatan Secara Molekular pada Terapi Kanker
Status Kanker Molekul Target Cara Terapi
Onkogen :
Kelainan pada
protein, ras atau
aktivitas kinase
- Protein ras
- Abl, reseptor EGF,
kinase Erb-B2 dan Src
- PKC-α, Raf dan siklin
dependen kinase
- Inhibitor farnesytransferase L-
744, 832; SCH 44342; BZA-
5B
- Inhibitor tirosin kinase tyrfos-tins
(RG 13020) lavendustins
(AG 957) quinazoline (PD
153035)
- Inhibitor antisense
- Inhibitor serine/threonine ki-nase:
olomousine: staulos-porine:
butirolaktone
Hilangnya gen
supresor tumor
- Gen-gen APC, AT,
DCC, RB dan p53
- Terapi gen untuk memulihkan
supresor gen ke fungsi normal
- Pemblokkan sintesis E2F de-ngan
senyawa antisen
Mekanisme repair
DNA yang tidak
normal
- Enzim mismatch
repair DNA: MSH2;
MLH; PMSl; PMS2
- Terapi gen untuk perbaikan
aktivitas enzim
- Inhibitor check point untuk
meningkatkan suseptibilitas
terhadap senyawa perusak
DNA
Tidak adanya
penuaan sel pada sel
tumor
- Telomerase - Inhibitor telomerase
Angiogenesis - Faktor pertumbuhan
FGF, VEGF
- Reseptor integrin
- TNP-470; suramin
- Antagonis αv, β3; α vβ5
Metastase - Metaloprotease
- Kolagenase
- Inhibitor protease
- Inhibitor kolagenase
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
12. HASIL PENELITIAN
Penelitian Aktivitas Biologik
Infus Benalu Teh (Scurulla
atropurpurea Bl. Danser) terhadap
Aktivitas Sistim Imun Mencit
M. Wien Winarno, Dian Sundari, Budi Nuratmi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian aktivitas biologik infusum benalu teh (Scurulla
atropurpurea (BI) Danser) terhadap aktivitas sistem imun pada mencit. Bahan yang
diteliti dalam bentuk infusum dengan dosis pemberian 15 mg, 75 mg, 150 mg, dan
1500 mg/100 gram bb. Sebagai pembanding digunakan akuades.
Infus diberikan secara oral, 1 kali sehari selama 7 hari berturut-turut, setelah
imunisasi dengan sel darah merah domba. Pengamatan meliputi berat limpa dan
pengukuran konsentrasi lg G. Selain itu dilakukan penentuan LD50 menggunakan
hewan tikus putih, dengan cara Thompson-Weil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian infusum benalu teh pada semua
dosis tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap berat limpa dan konsentrasi lg G
(P>0,01), tetapi pada pengamatan konsentrasi lg G setiap minggu, terlihat pola
perkembangan yang meningkat terutama pada dosis 150 mg/100 g bb. yaitu 97,0
mg/dl. Penghitungan LD50 mendapatkan nilai > 5 gram/kg bb, sehingga bahan dapat
digolongkan tidak beracun.
PENDAHULUAN
Pada saat ini pengembangan obat anti tumor atau anti-kanker
yang berasal dari tanaman banyak digalakkan, meng-ingat
bahan obat asal tanaman tersebut banyak terdapat di
Indonesia. Salah satu bahan obat asal tanaman tersebut adalah
Scurulla atropurpurea (BI) Danser yang biasanya dikenal
dengan nama benalu teh.
Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BI) Danser) adalah
tumbuhan yang hidupnya menumpang pada tumbuhan teh dan
menghisap makanan dari tumbuhan inang untuk kelangsungan
hidupnya. Tanaman ini digunakan oleh sebagian masyarakat
yang tinggal di daerah di Indonesia sebagai obat anti tumor
atau antikanker(1). Daun dan batang tanaman ini mengandung
senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin dan
tanin(2,3).
Di Eropa dan Amerika ada jenis tanaman misalnya Viscum
album L. yang dipakai untuk mengobati tumor atau kanker.
Penelitian yang pernah dilakukan tanaman tersebut bersifat
imunostimulator yaitu, melalui pengaktifan sel granulosit dan
makrofag, yang memberi sifat anti tumor(4), mungkin benalu
teh mempunyai sifat tersebut dengan mekanisme imuno-stimulator
yang lain yaitu meningkatkan konsentrasi lg G.
Tumor atau neoplasma adalah suatu pertumbuhan jaringan
baru yang tidak normal akibat pertumbuhan sel-sel baru yang
terus menerus tanpa kontrol dan tidak berfungsi bagi tubuh.
Secara garis besar tumor dapat digolongkan menjadi 2 jenis,
yaitu : tumor jinak (benigna) dan tumor ganas (maligna)(5,6).
Sampai sekarang penyakit kanker (tumor ganas) masih
merupakan masalah dalam bidang kesehatan di Indonesia,
dengan angka kematian yang terus meningkat, yaitu 1,4%
tahun 1972 menjadi 4,3% pada tahun 1986 dan 4,4% pada
tahun 1992(7,8,9).
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 11
13. Ada teori yang menyatakan dalam pembentukan antigen
tumor invivo dilibatkan respon imun humoral maupun seluler.
Respon antibodi terhadap tumor memerlukan bantuan efektor
imun yang lain seperti makrofag dan Natural Killer (NK).
Sampai saat ini belum ada bukti antibodi secara sendiri dapat
menghambat perkembangan atau pertumbuhan sel tumor,
kecuali bukti penelitian invitro terhadap beberapa jenis sel
tumor yang dapat dilisiskan oleh antibodi(10,11).
Imunoglobulin merupakan salah satu fraksi protein dalam
darah yang diproduksi sebagai reaksi terhadap berbagai rang-sang
antigenik yang diproduksi oleh limfosit B dan berperan
dalam kekebalan humoral. Kerja sama imunoglobulin dengan
sel NK terjadi karena sel NK memiliki reseptor Fc lg G. Bila
imunoglobulin G (lg G) mengikat antigen berupa protein pada
permukaan sel tumor yang disebabkan oleh virus, lg G melapisi
permukaan sel tumor, maka terjadi tumorosida. Peran lg G
sangat penting karena aktivitas sel NK terhadap antigen tumor
sangat rendah(10,11).
Tujuan penelitian ini untuk menambah dan melengkapi
informasi mengenai benalu teh sebagai obat tumor atau kanker
yaitu dengan melihat aktivitas lg G pada mencit putih dengan
metode Uji difusi gel kuantitatif.
BARAN DAN CARA
a. Bahan dan Alat Penelitian
1) Bahan
Tanaman atau bagian tanaman yang diteliti ialah herba
Scurulla atropurpurea (BI.) Danser., yang dikumpulkan dari
daerah Probolinggo Jawa Timur dan telah dideterminasi, di
Herbarium Bogoriensis, Bogor.
2) Percobaan Toksisitas akut (LD50)
• Tikus galur Sprague Dawley jenis kelamin jantan dan
betina dengan berat 150-180 gram (40 ekor).
• Natrium klorida
• Akuades
• Kapas steril
• Sonde lambung
3) Penelitian aktivitas sistem imun
• Mencit galur C3H jenis kelamin jantan dengan berat
18-23 gram (50 ekor)
• Akuades
• Buffer Saline Phosphat
• EDTA
• Lempeng agar imunodiffusion
• Immuno viewer
• Micrometer pipet
• Pipet tips
• Capillary tube dengan heparin
• Micro tube centrifuge
• Sonde lambung
b. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap dengan 10 pengulangan, untuk melihat peng-aruh
pemberian infusum benalu teh terhadap berat limpa pada
minggu ke 2. Rancangan petak terbagi (split spot) terdiri dari 2
faktor, melihat pengaruh pemberian infusum benalu terhadap
konsentrasi lg G, dari minggu 0 sampai minggu ke-2.
c. Cara Kerja
1) Pembuatan infus benalu teh
Pengolahan bahan tanaman benalu teh dengan cara di-keringkan
dengan sinar matahari dan dalam lemari pengering
dengan suhu tidak lebih dari 50° C sampai mendapatkan bobot
yang konstan. Bahan digiling dan diayak dengan menggunakan
ayakan Mesh 48, serbuk benalu dibuat infus sesuai Farmakope
Indonesia(12).
2) Pembuatan suspens antigen
Sel darah merah domba (SDMD), dipisahkan dari plasma
dengan pemusingan 1500 rpm. Plasma dikeluarkan kemudian
dilakukan pencucian dengan larutan buffer saline phosphat
(BSP) dengan pH 7,2. Pencucian dilakukan paling sedikit tiga
kali. Setelah pencucian selesai BSP dibuang, sehingga diper-oleh
suspensi SDMD 100%. Ke dalam suspensi SDMD 100%
ditambahkan PBS dengan volume yang sama, sehingga
didapatkan suspensi SDMD 50% menjadi 1% dengan
penambahan BSP.
3) Percobaan LD50 cara Thompson-Weil(13)
Tikus diberi dosis obat dalam bentuk infus dengan sonde
lambung. Dosis ditentukan dari percobaan pendahuluan dan
kematian diobservasi selama 2 minggu. Pada hari terakhir
pengamatan, semua hewan coba didekapitasi dan dilakukan
pemeriksaan makroskopik. Bila terdapat kelainan organ dalam,
dicatat dan diperiksa secara mikroskopik.
4) Penelitian aktivitas sistem imun
Lima puluh ekor mencit jantan galur C3H, dengan berat
badan 20-30 gram, dibagi secara acak menjadi 5 kelompok
diperlakukan dengan sepuluh ulangan (berdasarkan rumus
Federer). Kelompok I mendapatkan akuades dan suntikan sus-pensi
SDMD 1 % intraperitoneum; Kelompok II mendapatkan
infus dengan dosis 15 mg/100 g dan suntikan suspensi SDMD
1 %; Kelompok III mendapatkan infus dengan dosis 75 mg/100
dan suntikan suspensi SDMD 1 %; Kelompok IV mendapatkan
infus dengan dosis 150 mg/100 g dan suntikan suspensi SDMD
1%; Kelompok V mendapatkan infusum dosis 1500 mg/100 g
dan suntikan suspensi SDMD 1 %. Bahan percobaan diberikan
secara oral setiap hari, selama 7 hari dan tiap kelompok men-dapat
makanan dan minuman adlibitum. Satu minggu sebelum
bahan obat dan suntikan SDMD diberikan, dilakukan peng-ambilan
darah lewat vena orbitalis, kemudian diulang peng-ambilannya
1 minggu setelah pemberian obat dan 2 minggu
setelah pemberian obat pertama. Pemisahan serum darah di-lakukan
dengan cara disentrifus pada 3000 rpm selama 10
menit. Serum yang diperoleh langsung diukur kadar imunoglo-bulinnya
untuk penelitian(13).
d. Pengamatan
1) Pengukuran konsentrasi imunoglobulin G (lg G)
Ke dalam sumuran imunodifusi radial yang masing-masing
mengandung anti lg G mouse, dengan mikro pipet dimasukkan
5 μl serum. Pengukuran diameter presipitasi dilakukan pada
hari ketiga menggunakan alat immunoviewer(10).
2) Pengamatan berat limpa
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
14. Pada akhir percobaan mencit dibius dengan menggunakan
eter, dilakukan pembedahan dari bagian inguinal sampai
torakal untuk mengangkat limpa, sisa cairan yang menempel
pada organ dihisap dengan kertas saring. Berat limpa ditimbang
menggunakan timbangan analitik merk Sartorius.
e. Analisis data
1) Analisis data toksisitas akut (LD50 dilakukan menurut
metode Thompson-Weil dengan batas kepercayaan 95%.
2) Analisis data aktivitas sistem imun dilakukan :
• Bila data yang didapat distribusinya normal dilakukan
uji parametrik dengan anova 2 way(11,12).
• Bila data yang didapat distribusinya tidak normal di-lakukan
uji dengan Friedman dan dilanjutkan dengan
uji berganda(11,12).
HASIL PENELITIAN
1) Uji toksisitas akut (LD50)
Pemberian infusum benalu teh dengan dosis tertinggi yang
dapat diberikan pada tikus, selama 14 hari pengamatan, tidak
menimbulkan kematian ataupun tanda-tanda intoksikasi, serta
tidak menimbulkan perubahan tingkah laku maupun bobot
badan. Pengamatan makroskopik tidak menunjukkan adanya
penyimpangan morfologi pada organ hati, ginjal, limpa, paru
dan jantung. Dengan demikian didapatkan harga LD50 > 5
gram/kg bb, sehingga dapat digolongkan bahan termasuk
kategori tidak beracun(14).
2) Penelitian aktivitas sistem imun
a) Pengukuran konsentrasi Imunoglobulin G (lg G)
Pemberian infus benalu teh pada semua dosis, setelah
diimunisasi dengan sel darah merah domba terlihat kenaikan
konsentrasi lg G pada setiap minggunya (Tabel 1). Perhitungan
uji normalitas dan homogenitas kadar lg G hewan perlakuan
dan kontrol memperlihatkan distribusi normal dan sebaran
yang homogen. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan per-hitungan
analisis uji parametrik anova 2 way(14).
Pada uji statistik tersebut tidak terdapat perbedaan nyata
antar dosis perlakuan (P>0,01). Bila dilihat pola perkembangan
lg G minggu ke-0,1 dan 2 terdapat perbedaan sangat nyata pada
P<0,01. Pengujian dengan regresi Poli/nominal Orthogonal
terhadap pola perkembangan lg G minggu ke-0,1, dan 2 pada
dosis 15, 75, 1500 mg/100 g bb. dan akuades umumnya mem-punyai
pola perkembangan yang sama (regresi mendatar),
namun pada dosis 150 mg/100 g bb. menunjukkan pola
perkembangan yang meningkat (regresi linier) dengan
persamaan garis Y = 265,13 + 97X, dengan peningkatan kon-sentrasi
97,0 mg/dl (Gambar 1).
b) Berat limps
Pengukuran berat relatif limpa (berat limpa per bobot
badan akhir) disajikan dalam tabel 3. Bila dilihat kelompok per
kelompok, maka kelompok akuades menunjukkan berat relatif
limpa yang besar, yaitu 15,8 mg disusul Dosis 1, Dosis 2, Dosis
4 dan Dosis 3. Pada uji homogenitas dan normalitas mem-perlihatkan
data mempunyai distribusi tidak normal dan sebar-an
yang tidak homogen. Berdasarkan hal tersebut dilakukan uji
non-parametrik Krusal-Wallis dari uji statistik tersebut berat
relatif limpa dari 5 kelompok perlakuan tidak berbeda nyata
(P>0,05) (Tabel 2).
Tabel 1. Hasil pengukuran rata-rata konsentrasi 1gG (dalam mg/dl).
Dosis Waktu Rata-rata
Dl
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
452,0 ± 127,32
485,0 ± 87,23
527,7 ± 112,99
D2
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
472,7 ± 126,81
601,8 ± 183,25
523,2 ± 230,65
D3
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
366,7 ± 167,71
450,0 ± 117,52
560,7 ± 148,01
D4
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
435,6 ± 59,93
443,8 ± 100,39
452,2 ± 96,86
Akuades
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
429,9 ± 120,83
507,3 ± 153,16
500,3 ± 109,26
Keterangan :
D1 = Dosis infusum benalu teh 15 mg/100 g bb.
D2 = Dosis infusum benalu teh 75 mg/100 g bb.
D3 = Dosis infusum benalu teh 150 mg/100 g bb.
D4 = Dosis infusum benalu teh 1500 mg/100 g bb.
Akuades = akuades 0,3 ml/10 g bb.
Gambar 1. Persamaan regresi hubungan pemberian infus benalu teh
dosis 150 mg/100 g dengan peningkatan konsentrasi lgG.
PEMBAHASAN
Tanaman benalu teh (Scurulla atropurpurea (BI) Danser)
secara empirik digunakan untuk mengobati penyakit tumor atau
kanker. Aktifitasnya sebagai obat antitumor atau antikanker
mungkin secara tidak langsung yaitu rnelalui pengaktifan
sistem kekebalan tubuh dengan mengukur konsentrasi lgG.
Pemakaian bahan sebagai obat anti tumor atau kanker me-nimbulkan
dugaan bahwa bahan bersifat imunostimulator yaitu
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 13
15. Tabel 2. Berat relatif limpa mencit pada akhir percobaan.
Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jumlah Rata-rata
Dosis 1 0,186 0,055 0,061 0,089 0,199 0,313 0,258 0,154 0,073 0,088 147,6 14,8 ± 0,09
Dosis 2 0,082 0,500 0,209 0,278 0,970 0,940 0,570 0,580 0,075 0,081 108,1 10,8 ± 0,075
Dosis 3 0,052 0,084 0,058 0,082 0,100 0,068 0,096 0,073 0,045 0,055 71,2 7,1 ± 0,019
Dosis 4 0,151 0,075 0,070 0,069 0,137 0,070 0,248 0,052 0,090 0,055 101,7 10,1 ± 0,061
Akuades 0,056 0,064 0,089 0,060 0,205 0,148 0,061 0,051 0,043 0,022 158,4 15,8 ± 0,084
dapat meningkatkan konsentrasi lgG. Hasil pengujian pem-berian
infusum benalu teh pada semua dosis perlakuan tidak
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi lgG (P>0,01),
dengan pembanding akuades, tetapi pada dosis 150 mg/100 g.
bobot badan terjadi kecenderungan peningkatan konsentrasi
lgG. Sehingga dapat dikatakan infus benalu teh pada dosis
tersebut di atas dapat dikatakan bersifat imunostimulator yaitu
peningkatan konsentrasi lgG. Kemungkinan diantara senyawa-senyawa
imunostimulator. Wagner (1985) secara umum
menyebutkan golongan terpenoid, alkaloid atau polifenol mem-punyai
sifat imunostimulator.
Pengamatan terhadap berat relatif limpa, tidak terjadi
perubahan pada berat limpa pada semua dosis perlakuan,
sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan dari pengamatan
tersebut.
KESIMPULAN
Infusum benalu teh (Scurulla atropurpurea (Bl) Denser)
merupakan bahan yang tidak toksik dengan LD50>5 gram/kg
bobot badan.
Pengaruhnya terhadap konsentrasi lgG tidak berbeda nyata
antar dosis perlakuan (P>0,01), tetapi pada pengamatan kon-sentrasi
lgG tiap minggu terlihat pola perkembangan yang
meningkat, dengan peningkatan konsentrasi 97,0 mg/dl.
UCAPAN TERIMA KASIH
14
Ditujukan kepada Kepala Puslitbang Farmasi, Badan Litbangkes Depkes
RI. serta seluruh staf KPPOT yang telah memberikan saran dan bantuannya
sejak perencanaan sampai selesai penelitian.
KEPUSTAKAAN
1. Sudarman Mardisiswojo, Harsono Rajakmangun S. Cabe Puyang Warisan
Nenek Moyang. 2 Balai Pustaka Jakarta, Jakarta.
2. Chairul, dkk. Skrining Fitokimia dan Analisis Komponen Kimia ekstrak
batang Benalu Teh (Scurulla atropurpurea (Bl) Dans). Dibawakan dalam
Seminar Nasional ke-IX. Penggalian, Pelestarian, Pengembangan dan
Pemanfaatan Tumbuhan Obat : Secang dan Benalu. Yogyakarta, 21-22
September 1995.
3. IGP. Santa. Studi Kemotaksonomi-Farmakognasi Benalu Antikanker
(Scurulla atropurpurea (B1.) Denser & Dendophtroe pentandra (L) Miq.
Dibawakan dalam Seminar nasional ke-IX. Penggalian, Pelestarian,
Pengembangan den Pemanfaatan Tumbuhan Obat : Secang dan Benalu.
Yogyakarta, 21-22 September 1995.
4. Wagner, Hildebert. Immunostimulants of Fungi and Higher Plants, 1984.
5. Achmad Tjarta, Sutisna Himawan : Kumpulan Kuliah Patologi. Bag.
Patologi Anatomik FK. UI.
6. Departemen Kesehatan RI. Survei Kesehatan Rumah Tangga, 1972.
7. Departemen Kesehatan RI. Survei Kesehatan Rumah Tangga, 1986.
8. Departemen Kesehatan RI dan Biro Pusat Statistik. Survei Kesehatan
Rumah Tangga, 1992.
9. Abbas AK, Lictman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology
Saunders Co. Philladelphia, 1991.
11. Rott IM. Essential Immunology. Blackwell Science Publ. Oxford, 1991.
12. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia, 1979.
13. Mohamad Sadikin dkk. Vitamin A dan Imunitas : 3. Peningkatan Titer
Antibodies Tikus Anti Sel Darah Merah Domba oleh Pemberian Vitamin
A secara Oral, MKI 1995; 45 (7).
14. Sudjana. Metode Statistilk. Tarsito Bandung
Exercise the muscles well, but spare the nerves always
(Schopenhauer)
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
16. HASIL PENELITIAN
Daya Hambat Benalu Teh
(Scurulla atropurpurea Bl. Danser)
terhadap Proliferasi Sel Tumor
Kelenjar Susu Mencit
(Mus musculus L) C3 H
Yun Astuti Nugroho*, Budi Nuratmi*, Suhardi**
*Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
**Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK
Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) secara tradisional digunakan
untuk pengobatan penyakit kanker. Oleh karena itu untuk konfirmasi ilmiah khasiat
benalu teh sebagai antikanker telah dilakukan penelitian daya hambat infus benalu teh
terhadap proliferasi kelenjar susu mencit C3H.
Uji daya hambat terhadap proliferasi tumor kelenjar susu mencit C3H meng-gunakan
cara Pringgoutomo (1992). Bahan berupa infus diberikan per oral dengan
dosis 25; 250; 500 dan 750 mg/100 g bb, sebagai kontrol negatif adalah akuades.
Hasil penelitian menunjukkan infus benalu teh dapat menghambat pertumbuhan
tumor kelenjar susu Mus musculus L galur C3H, dan dosis 500 mg/ 100 g bb. me-rupakan
dosis paling efektif.
Kata kunci : Tanaman obat, Anti tumor, Scurulla atropupurea (BL) Danser, benalu teh
PENDAHULUAN
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun
penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang dan 10
tahun mendatang diperkirakan 9 juta meninggal akibat kanker.
Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terdapat 100 penderita
baru dari setiap 100.000 penduduk dan penyakit kanker men-duduki
urutan ke-3 penyebab kematian sesudah penyakit
jantung dan paru-paru(1,2).
Pengobatan kanker pada umumnya sama, yaitu salah satu
atau kombinasi dari operasi, penyinaran (radioterapi), obat
pembuluh sel kanker (sitostatika), meningkatkan daya tahan
tubuh dan pengobatan dengan hormon. Hasilnya tentu ter-gantung
dari keadaan pasien dan jenis kanker(3). Saat ini gagas-an
yang tengah dikembangkan dan digalakan penggunaannya
oleh pemerintah adalah upaya pengembangan tanaman obat.
Gagasan ini tertuang dalam Program Departmen Kesehatan,
khususnya Program Tanaman Obat Keluarga (TOGA) dan
Program Apotik Hidup(4).
Salah satu tanaman obat yang paling dikenal masyarakat
untuk mengobati penyakit kanker adalah benalu teh dan salah
satu jenis benalu teh tersebut adalah (Scurulla atropurpurea
(BL) Danser). Selain secara empirik dipakai masyarakat se-bagai
obat kanker, benalu teh terbukti secara in vitro dapat
menghambat tumor crown gall dan penelitian deteksi aktivitas
asparaginase dalam benalu teh dapat menghidrolisa asparagin.
Asparaginase adalah enzim katalisator yang berperan meng-hidrolisa
asparagin menjadi asam aspartat dan amonia. Dengan
demikian sel kanker kekurangan asparagin yang berakibat ke-matian
sel(3,5,6).
Kandungan kimia benalu teh antara lain alkaloid; flavo-
Dibawakan pada Seminar Sehari PERHIPBA, jakarta, 18 Februari 1999
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 15
17. noid; terpenoid; saponin; tanin dan dari ekstrak metanol ter-idenfifikasi
senyawa quercetin-7-rhamnoside; caffein; theo-phyline(
7,8).
Adanya data empirik dan beberapa data ilmiah maka telah
dilakukan Konfirmasi Ilmiah Keamanan dan Pemakaian Benalu
Teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) Sebagai Antikanker
Pada Mus musculus L galur C3H.
BAHAN
1) Bahan Percobaan
Tanaman benalu teh diperoleh dari Magelang Jawa Tengah
dan telah diidentifikasi di Herbarium Bogor. Bahan yang sudah
kering, dibuat serbuk, selanjutnya dibuat infus sesuai dengan
Farmakope Indonesia(9).
2) Hewan Percobaan
Penelitian menggunakan mencit (Mus musculus L) galur
C3H, jenis kelamin jantan bobot badan antara 18-25 gram ber-asal
dari Bagian patologi UI.
CARA KERJA
Transplantasi tumor dilakukan berdasarkan metoda
Pringgoutomo(10). Mencit donor dikorbankan dengan eter,
kemudian diletakkan terlentang pada alas gabus. Kulit yang
bertumor dibasahi alkohol 70% kemudian disayat dengan
gunting untuk mengeluarkan tumornya. Tumor diletakkan pada
cawan petri, kemudian jaringan tumor yang masih bagus,
dipotong untuk dibuat bubur, pada bubur tumor ditambahkan
NaCl 0,85%. Bubur tumor sebanyak 0,2 ml disuntikkan secara
subkutan di aksila kanan mencit menggunakan jarum trokar.
Pengamatan pertumbuhan tumor mulai dilakukan 1 hari setelah
trasplantasi tumor. Setelah masa laten, mencit dikelompokkan
menjadi 5 kelompok :
Kelompok I : Akuades
Kelompok II : Infus benalu teh dosis 25 mg/100 g bb
Kelompok III : Infus benalu teh dosis 250 mg/100 g bb
Kelompok IV : Infus benalu teh dosis 500 mg/100 g bb
Kelompok V : Infus benalu teh dosis 750 mg/100 g bb
Bahan diberikan per oral dengan sonde lambung selama 21
hari. Parameter yang diamati meliputi masa laten, bobot badan
dan volume tumor.
ANALISIS DATA
Untuk melihat ada/tidaknya efek infus benalu teh Scurulla
atropurpurea (BL) Danser) terhadap besar (volume) tumor
kelenjar susu mencit, data dianalisis dengan Kruskal-Wallis(11).
HASIL
Pengamatan bobot badan tidak menunjukkan adanya per-bedaan
(tabel 1). Masa laten untuk setiap mencit tidak sama
(tabel 2). Besar (volume) tumor terlihat adanya perbedaan
antara kelompok yang diberi akuades dan kelompok yang
diberi infus benalu teh (tabel 3).
PEMBAHASAN
Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 100
penderita kanker baru, dari setiap 100.000 penduduk. Kanker
memang telah menjadi salah satu menyebab utama kematian
usia produktif. Kanker timbul akibat pertumbuhan yang tidak
normal dari sebagian sel-sel jaringan tubuh yang berubah
menjadi sel-sel kanker dan sel-sel kanker ini suatu saat bisa
menyebar ke seluruh tubuh. Walaupun penyebabnya memang
belum dapat dipastikan tapi ada beberapa faktor penyebab yang
diduga dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker, seperti
bahan karsinogenik. Pengobatan kanker pada umumnya sama,
yaitu salah satu atau kombinasi dari operasi, penyinaran, obat
pembunuh sel kanker, meningkatkan daya tahan tubuh, dan
dengan obat tradisional baik dengan tanaman obat maupun
binatang(2).
Tabel 1. Bobot badan mencit (Mus musculus L) setelah pemberian
perlakuan selama 21 hari.
Nomor Bobot badan mencit setelah pemberian perlakuan
hewan A B C D E
1 17 23 20 20 21
2 21 24 20 20 20
3 20 23 21 21 25
4 20 22 23 22 25
5 21 20 27 24 21
6 20 21 22 22 23
7 20 20 23 22 24
8 20 24 20 22 21
9 19 23 22 24 23
10 19 21 24 22 22
Juml 197 221 222 219 225
Rata-rata 19,7 ± 1,15 22,1 ± 1,4 222 ± 2,2 2 1,9 ± 1,3 22,5 ± 1,7
Keterangan :
A. Akuades
B. Inf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb
C. Inf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb
D. Inf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb
E. Inf. Benalu teh dosis 750 mg/ 100 g bb
Tabel 2. Masa laten dari masing-masing mencit.
Nomor Masa laten dari masing-masing mencit pada kelompok
hewan A B C D E
1 6 6 7 6 5
2 6 7 7 6 6
3 6 7 6 6 5
4 7 7 7 6 7
5 6 6 6 6 6
6 6 6 6 5 6
7 7 6 6 7 6
8 7 6 6 7 7
9 6 6 6 6 6
10 6 6 5 7 6
Keterangan :
A. Akuades
B. Inf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb
C. Inf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb
D. Inf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb
E. Inf. Benalu (eh dosis 750 mg/ 100 g bb
Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) oleh
sebagian masyarakat diperdagangkan dan digunakan untuk
pengobatan penyakit kanker. Beberapa literatur dan hasil pe-nelitian,
benalu teh mempunyai kandungan kimia sterol triter-
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
18. penoid, flavonoid, saponin dan tanin(6,7). Pada skrining anti-kanker
ekstrak kloroform benalu teh dengan menggunakan
metode Brine Shrimp Lethality Test ternyata menunjukkan
hasil positif(12).
Bubur tumor yang ditransplantasikan pada mencit oleh
tubuh mencit resipien (inang) akan dikenali sebagai benda
asing, oleh karena itu sistem imun inang akan bereaksi terhadap
pertumbuhan tumor. Sistem imun setiap individu tidak sama
oleh karena itu setiap mencit resipien akan memberikan respon
yang berbeda.
Tabel 3. Volume tumor kelenjar susu mencit (Mus musculus L) setelah
pemberian perlakuan.
Nomor Volume tumor setelah pemberian perlakuan
hewan A B C D E
1 5,48 10,93 3,28 5,00 7,14
2 8,21 13,40 32,00 3,80 4,76
3 9,75 20,00 9,92 9,14 5,65
4 64,57 9,50 13,40 5,00 3,62
5 42,08 26,34 18,80 8,68 5,93
6 64,97 45,80 10,55 3,20 3,40
7 59,00 13,56 11,06 2,85 7,66
8 30,54 7,00 11,66 2,30 4,60
9 29,074 40,20 13,85 2,60 10,75
10 24,60 - 6,11 12,80 4,40
Juml 338,29 186,74 130,65 55,38 57,93
Rata-rata 33,82 20,74 13,06 5,53 5,79
Keterangan :
A. Akuades
B. lnf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb
C. lnf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb
D. lnf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb
E. lnf. Benalu teh dosis 750 mg/ 100 g bb
Tumor mulai berproliferasi setelah melewati masa laten,
proliferasi sel tumor diukur berdasarkan persentasi pertambah-an
volume tumor. Setelah masa laten mencit diberi infus benalu
teh secara oral setiap hari selama 21 hari. Pemberian infus
benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor
kelenjar susu.
Hasil uji Kruskal - Wallis data volume tumor menunjuk-kan
nilai Hc = 25,59, sedangkan H tabel = 9,48 berarti Ho
ditolak pada 0,05 dan 0,01. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan ada pengaruh bermakna infus benalu teh terhadap
proliferasi sel tumor kelenjar susu mencit galur C3H. Pada
umumnya bobot badan mencit berkurang tapi dari perhitungan
statistik terlihat bahwa kelompok mencit yang diberi infus
benalu teh ada beda nyata apabila dibanding kelompok akuades
(p=0,05). Kelompok mencit yang diberi infus benalu teh mes-kipun
mengalami penurunan bobot badan tapi penurunannya
masih lebih kecil apabila dibanding kelompok mencit yang
diberi akuades. Daya hambat infus benalu teh dimungkinkan
karena kandungan steroida, glikosida, triterpenoid dan saponin.
Namun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut
sampai pada kesimpulan benalu teh memang berkhasiat sebagai
antikanker.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
Infus benalu teh dapat mengurangi pertambahan volume
tumor kelenjar susu mencit (Mus musculus L).
Saran :
Oleh karena kandungan kimia dari benalu teh adalah
golongan antioksidan maka disarankan untuk melakukan pene-litian
yang berhubungan dengan imunitas.
KEPUSTAKAAN
1. Soedoko R. Seminar dan Orientasi Penyakit Kanker Terpadu, Paripurna
dengan peran serta Masyarakat. Malang, 1994.
2. Wijayakusuma H. Kanker. Pos Kola, Oktober, 1995.
3. Tjokronegoro A. Etik Penelitian Obat Tradisional. Fakultas Kedokteran
UI. Jakarta, 1992.
4. Pratiwi DK. Daya Hambat Ekstrak Air Teh Hijau (Camelia sinensis (L)
Kuntze) Terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu Mencit (Mus
musculus L) Galur C3H. Jur. Biologi. FMIPA. UI, 1994.
5. Fanoka. Uji Pendahuluan Efek Antitumor Ekstrak Etanol beberapa (6)
Tanaman Menggunakan Cakram Kentang yang Diinokulasi dengan
Agrobacterium Tumifaciens. Skripsi. JF FMIPA. UI, 1990.
6. Nuraeni U. Deteksi Aktifitas Asparaginase dalam Daun Loranthus
globosus Roxb. Skripsi. FF. UGM, 1990.
7. Pasha IB. Penelitian Pendahuluan Kandungan Benalu Teh (Scurrula
atropurpurea (BL) Danser) Simposium Penelitian Tumbuhan Obat V.
Surabaya, 1996.
8. Kardono BS. Beberapa Senyawa terisolasi dari benalu Teh (Scurulla
parasitica L). Seminar POKJANAS TOI IX. Yogyakarta. 1995.
9. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia. Ed. III. Jakarta, 1979.
10. Pringgoutomo S. Trasplantasi Jaringan Tumor pada Mencit. Penuntun
Praktikum Patologi Anatomi. Bagian Anatomi. FK. UI. Jakarta, 1992.
11. Steel RGD, Toriee JH. Prinsip dan Prosedur statistik. Suatu pendekatan
biometrik. Terj dari Principles and Procedures Statistics, oleh Sumantri,
B. PT. Gramedia. Jakarta.
12. Leswara ND. Perbandingan Daya Antioksidan Beberapa Jenis Benalu
Menggunakan metoda Spektrofotometri. Seminar POKJANAS TOI. IX.
Yogyakarta, 1995.
LAMPIRAN
Grafik hubungan antara dosis dengan pertambahan besar tumor.
Gardening requires lots of water – most of it in the form
of perspiration
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 17
19. HASIL PENELITIAN
Aktivitas Antimutagenik
dan Antioksidan Daun Puspa
(Schima wallichii Kort.)
Didi Jauhari Purwadiwarsa*, Anas Subarnas*, Cucu Hadiansyah**, Supriyatna*
*Jurusan Farmasi, ** Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Padjadjaran, Bandung.
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai aktivitas antimutagenik dan antioksidan
fraksi butanol daun puspa (Schima wallichii Korth). Hasil pengujian aktivitas anti-mutagenik
secara in vivo dengan metode uji mikronukleus menunjukkan bahwa
pemberian fraksi butanol daun puspa secara oral mampu menurunkan frekuensi sel
eritrosit polikromatik bermikronukleus (MNPCE) dari apusan sumsum tulang paha
mencit jantan galur Swiss-Webster yang diinduksi dengan siklofosfamid dosis 50
mg/kg secara intraperitoneal. Fraksi butanol dosis 300 mg/kg mampu menurunkan
frekuensi MNPCE sebesar 10,51% sedangkan pada dosis 600 mg/kg memberikan
penurunan sebesar 38,27%.
Pada pengujian aktivitas antioksidan secara in vitro dengan metode NBT, fraksi
butanol daun puspa mempunyai penghambatan reduksi NBT oleh superoksida yang
dihasilkan dari reaksi enzimatis xantin dengan bantuan xantin oksidase. Nilai peng-hambatan
reduksi NBT oleh fraksi butanol daun puspa adalah 68,66% pada konsentrasi
200 μg/ml dan 94,37% pada konsentrasi 400 μg/ml.
Dari hasil pengujian tersebut diperoleh kesimpulan fraksi butanol daun puspa
mempunyai aktivitas antimutagenik dan antioksidan.
PENDAHULUAN
Mutasi merupakan perubahan yang terjadi pada gen atau
pada kromosom. Mutasi dapat dikaitkan dengan timbulnya
beragam kelainan, termasuk penyakit kanker. Selain dapat
terjadi secara spontan, mutasi juga dapat diinduksi oleh ber-bagai
faktor seperti radiasi, senyawa kimia tertentu, dan virus.
Faktor-faktor penginduksi mutasi dikenal sebagai mutagen(1,2).
Salah satu indikator terjadinya mutasi adalah adanya
mikronukleus. Mikronukleus merupakan hasil mutasi dari kro-mosom
utuh yang patah dan kemudian tampak sebagai nukleus
berukuran kecil di dalam suatu sel. Mikronukleus mudah di-amati
pada sel polikromatik eritrosit. Jumlah sel eritrosit
polikromatik bermikronukleus menunjukkan tingkat kerusakan
genetik dalam sistem eritropoitik suatu makhluk hidup(3).
Banyaknya pengunaan bahan-bahan kimia untuk berbagai
keperluan mengakibatkan peningkatan pencemaran bahan-bahan
kimia berbahaya ke dalam lingkungan hidup. Penelitian
toksikologi memberikan informasi bahwa sebagian besar bahan
kimia yang ada bersifat mutagenik(1,4). Meskipun tubuh kita
sudah dilengkapi berbagai mekanisme pertahanan terhadap
mutagen, peningkatan paparan terhadap bahan-bahan kimia
tersebut dapat meningkatkan peluang terjadinya mutasi. Oleh
karena itu diperlukan suatu zat yang dapat mengurangi risiko
terjadinya mutasi oleh mutagen(5,6).
Dugaan keterlibatan oksigen reaktif dalam terjadinya
mutasi terutama dalam bentuk radikal bebas akhir-akhir ini
makin mendapat perhatian para peneliti. Radikal bebas merupa-kan
sebutan terhadap molekul yang mempunyai elektron yang
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
20. tidak berpasangan pada kulit terluarnya, sehingga bersifat
sangat reaktif dan dapat merusak komponen-komponen sel, ter-masuk
asam deoksiribonukleat (DNA) (7). Beberapa laporan
menyebutkan bahwa suatu antioksidan, yaitu senyawa yang
dapat menetralkan radikal bebas juga mempunyai aktivitas
antimutagenik(5,8,9).
Upaya pencarian zat antimutagenik banyak dilakukan ter-hadap
bahan alam, juga dari tumbuhan. Puspa (Schima
wallichii Korth) merupakan salah satu tumbuhan tropis
Indonesia(10) dan termasuk tumbuhan pakan primata. Ekstrak
metanol daun puspa dilaporkan mempunyai aktivitas anti-promosi
tumor dan antimutagenik(12).
Sebagai kelanjutan dari hasil penelitian tersebut, dalam
rangka usaha mengisolasi senyawa aktif antimutagenik serta
untuk mengetahui kemungkinan adanya aktivitas antioksidan;
maka dilakukan penelitian yang terfokus pada pengujian akti-vitas
antimutagenik dan antioksidan fraksi butanol daun puspa.
BAHAN DAN METODE
Hewan Percobaan
Mencit (Mus musculus) putih jantan galur Swiss-Webster
didapat dari Laboratorium Struktur dan Perkembangan Hewan
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, usia 7-9
minggu, berat 22,5 - 27,5 gram, kandang plastik dengan alas
sekam (4-6 ekor). Suhu ruang hewan percobaan 23-25 °C,
kelembaban 70-85%, dan cahaya diatur dengan regulator 12
jam terang dan 12 jam gelap. Pakan mencit berupa pelet-789
dan minuman dari air ledeng yang masing-masing diberikan
secara ad libitum.
Bahan Kimia
Bahan kimia yang dipakai dalam penelitian ini adalah
fraksi butanol dari ekstrak metanol daun puspa (Hutan
Pangandaran, Ciamis), Siklofosfamid (Wako Pure Chemical
Industries, Ltd. Jepang).
Fraksi butanol pada pengujian aktivitas antimutagenik di-suspensikan
dengan PGA (1% b/v) dalam akuades, sedangkan
pada pengujian aktivitas antioksidan dilarutkan dalam DMSO.
Siklofosfamid dilarutkan dalam larutan NaCl fisiologis.
Ekstraksi dan Fraksinasi
Serbuk daun puspa (650 gram) diekstraksi dengan metanol
(3x24 jam), dan ekstrak metanol kemudian dipartisi dengan
campuran etil asetat - air (3 : 1). Lapisan air diekstraksi dengan
n-butanol sehingga diperoleh lapisan air dan lapisan n-butanol.
Lapisan n-butanol kemudian diuapkan hingga diperoleh fraksi
butanol kering yang akan dipakai dalam pengujian.
Uji Mikronukleas - dengan penginduksi siklofosfamid
Pengujian aktivitas antimutagenik menggunakan metode
uji mikronukleus(3) dengan modifikasi. Perlakuan diberikan dua
kali sesuai dengan cara Ghaskadbi dkk. (5)
Mencit dipuasakan dahulu selama kurang lebih 18 jam.
Setelah pemberian suspensi fraksi butanol secara oral (sebagai
kontrol diberikan suspensi PGA tanpa fraksi butanol), siklo-fosfamid
(50 mg/kg bb., i.p.) disuntikkan pada mencit 30 menit
kemudian. Setelah 24 jam mencit diberi lagi suspensi fraksi
butanol dan siklofosfamid dengan dosis yang sama. Enam jam
setelah pemberian siklofosfamid yang kedua, mencit dibunuh
dengan cara dislokasi leher dan dibedah untuk diambil kedua
tulang pahanya.
Sumsum tulang diaspirasi dengan semprit yang berisi NaCl
fisiologis, selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 1000 rpm
selama sepuluh menit. Sebagian supernatan yang dihasilkan di-buang
dengan menggunakan pipet pasteur, sisanya dibuat pre-parat
apusan pada kaca objek yang kemudian dikeringkan
selama dua hari pada suhu kamar.
Preparat ini diwarnai dengan pewarna Giemsa menurut
cara Gollapudi & Kamra (1979)(13). Dari preparat tersebut
diamati jumlah sel eritrosit polikromatik bermikronukleus
(MNPCE) di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali,
untuk setiap 1000 sel eritrosit polikromatik (PCE). Penghitung-an
dilakukan oleh dua orang dan setiap kelompok perlakuan
menggunakan lima ekor mencit.
Data dianalisis dengan analisis variansi, dan sebaran t-
Student untuk menguji perbedaan antara dua rata-rata.
Uji NBT - sistim xantin/xantin oksidase
Pengujian aktivitas antioksidan menggunakan metode
Nitroblue Tetrazolium (NBT) dengan kit pereaksi SOD seperti
yang telah dilakukan oleh Murakami dkk. (1996). Kit tersebut
mengandung lima pereaksi (Rl-R5). Rl mengandung buffer
fosfat 0,1 M dengan pH 8, xantin 0,40 mmol/1 dan zat pem-bentuk
warna nitroblue tetrazolium (NBT) dengan kadar 0,24
mmol/l. R2 mengandung enzim xantin oksidase 0,049 unit/ml.
R3 mengandung buffer fosfat 0,1 M dengan pH 8 yang
digunakan untuk melarutkan enzim. R4 merupakan pereaksi
kontrol yang mengandung buffer fosfat 0,1 M pH 8. Sedangkap
R5 adalah penghenti reaksi yang mengandung natrium dodesil
sulfat 69 mmol/1.
Fraksi butanol dibuat sebagai larutan persediaan (LP)
dengan konsentrasi 16 dan 32 mg/ml. Enzim dalam R2 diencer-kan
dengan R3 dengan perbandingan 1:100 (RE). Disediakan
empat kelompok tabung Effendorf (TI - T4) dan dilakukan
prosedur pengujian sebagai berikut, pada suhu di bawah 10 °C.
T1 (sampel) diisi 12,5 ml LP, 250 ml R1, dan 250 ml RE. 72
(blanko) diisi 12,5 ml DMSO, 250 ml R1, dan 250ml RE. T3
(sampel-blanko) diisi 12,5 ml LP, 250 ml R1, dan 250 ml R4.
T4 (blanko-blanko) diisi 12,5 ml DMSO, 250 ml R1, dan 250
ml R4. Keempat tabung Effendorf tersebut serta R5 diinkubasi
pada penangas air dengan suhu 37 °C selama 20 menit. Kemu-dian
dilakukan pengukuran serapan cahaya dengan spektro-fotometer
pada panjang gelombang 560 nm. Pengujian tersebut
dilakukan tiga kali.
Data dinilai dengan menggunakan rumus persen peng-hambatan
reduksi NBT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efek fraksi butanol daun puspa terhadap frekuensi
MNPCE
Seperti terlihat pada Tabel l atau Gambar 1, rata-rata
frekuensi MNPCE permil PCE pada kontrol, fraksi butanol
dosis 300 dan 600 mg/kg masing-masing adalah 74,2 ± 13,08;
66,4 ± 13,20; dan 45,8 ± 13,66. Dengan demikian pemberian
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 19
21. fraksi butanol daun puspa dosis 300 dan 600 mg/kg masing-masing
memberikan penurunan frekuensi MNPCE sebesar
10,51% dibandingkan. terhadap kontrol. Dari hasil analisis
statistik, dosis 600 mg/kg memberikan efek yang signifikan
(p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa fraksi butanol daun
puspa dapat menghambat efek mutagenik dari siklofosfamid.
Tabel 1. Nilai rata-rata sel eritrosit polikromatik yang mengandung
mikronukleus (MNPCE) untuk seluruh kelompok perlakuan.
Perlakuan Dosis PCE MNPCE
MNPCE permil
PCE
Rata-rata ± SD
Kontrol - 000 371 74,2 ± 13,08
Fraksi butanol 300 5000 332 66,4 ± 13,20
Fraksi butanol 600 5000 229 45,8 ± 13,66*
* Signifikan, dibandingkan terhadap kontrol (p<0,05)
Tabel 2. Nilai penghambatan reduksi NBT pada pengujian aktivittis
antioksidan berdasarkan serapan cahaya (A) rata-rata dari
blanko (B1), blanko-blanko (B1-B1), sampel (S), dan sampel-blanko
(S-B1) pada panjang gelombang (λ) 560 nm.
Serapan cahaya rata-rata
Konsentrasi fraksi pada 1560 nm
butanol (μg/ml) AB1 AB1-B1 AS AS-B1
Persentase
penghambatan
reduksi NBT
200 0,2840 0,1117 0,217 0,1630 68,66%
400 0,2840 0,1117 0,1647 0,1550 94,37%
Gambar 1. Grafik nilai rata-rata frekuensi sel eritrosit polikromatik ber-mikronukleus
(MNPCE) untuk seluruh kelompok perlakuan
pada pengujian aktivitas antimutagenik. (*Signifikan, diban-dingkan
terhadap kontrol (P<0,05)
Menurut Czyzewska & Mazur (1995)(15) siklofosfamid
menginduksi pembentukan mikronukleus melalui metabolit
aktifnya yang bersifat pengalkilasi, yaitu mustard fosforamida,
akrolein, dan 4-hidroksisiklofosfamid. Senyawa pengalkilasi
tersebut dapat berikatan dengan berbagai gugus fungsi kom-ponen
sel, termasuk terhadap basa-basa DNA. Selain itu dapat
juga terjadi peristiwa pindah silang (cross-linkung) DNA.
Reaksi reaksi tersebut antara lain mengakibatkan patahan rantai
DNA yang diduga menyebabkan terjadinya patahan kromosom
dan dapat terlihat sebagai mikronukleus. Metabolisme siklo-fosfamid
juga dilaporkan menyebabkan peningkatan radikal
anion superoksida dan hidroksil(16) yang mungkin ikut berperan
dalam menginduksi pembentukan mikronukleus. Senyawa aktif
antimutagenik yang terdapat pada fraksi butanol daun puspa ini
belum diketahui secara pasti, diduga termasuk ke dalam se-nyawa
fenolik yang mekanisme aktivitas antimutageniknya
mungkin berkaitan dengan aktivitas antioksidan(12).
Gambar 2. Grafik nilai penghambatan reduksi NBT pada pengujian
aktivitas antioksidan.
Efek fraksi butanol daun puspa terhadap reduksi NBT
Seperti terlihat pada Tabel 2 atau Gambar 2, fraksi
butanol daun puspa pada konsentrasi 200 dan 400 mg/ml mem-punyai
nilai persentase penghambatan reduksi NBT oleh super-oksida
dari reaksi enzimatis xantin dengan bantuan xantin
oksidase masing-masing sebesar 68,66° dan 94,37%. Hasil ini
menunjukkan bahwa fraksi butanol daun puspa mempunyai
aktivitas antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian mikronukleus secara in vivo
dan pengujian NBT secara in vitro, diambil kesimpulan bahwa
fraksi butanol daun puspa mempunyai aktivitas antimutagenik
dan antioksidan.
KEPUSTAKAAN
1. Moutschen, J. Introduction to Genetic Toxicology. New York : John
Wiley & Son; 1985.
2. Mulyadi. Kanker, Karsinogen, Karsinogenesis dan Antikanker. Edisi I.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana; 1996.
3. Schmid, W. The micronucleus test. Mutation Res. 1975; 31, 9-15.
4. Wild, D. Cytogenetic effects in the mouse of 17 chemical mutagens and
carcinogens evaluated by the micronucleus test 1978; 56 : 319-27.
5. Ghaskadbi, S., Rajmachikar S, Agate C, Kapadi AH., Vaidya VG.
Modulation of cyclophosphamide mutagenicity by vitamin C in the vivo
rodent micronucleus assay. Teratogenesis, Carcinog. Mutagen 1992; 12,
11-3.
6. Kong Z, Liu Z, Ding B. Study on the antimutagenic effect of pine needle
extract. Mutation Res. 1995; 347, 101-4.7.
7. Halliwell B. Free radicals, antioxidants, and human disease : curiosity,
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
22. cause, or consequence? Lancet, 1994; 344 : 721-4 13. Gollapudi B, Kamra OP. Application of a simple Giemsa-staining method
8. Shiraki M, Hara Y, Osawa T, Kumon H, Nakayama T, Kawakishi S. in the micronucleus test. Mutation Res. 1979; 64, 45-6.
Antioxidative and antimutagenic effect of theaflavin from black tea.
Mutation Res. 1994; 323 ; 29-34.
14. Murakami A, Ohura S, Nakamura Y, Koshimizu K, Ohigashi H. I’-
acetoxychawicol acetate, a superoxide anion generation inhibitor,
potently inhibits tumor promotion by 12-O-tetradecanoylphorbol - 13
-acetate in ICR mouse skin. Omcology 1996; 53 : 389-91.
9. Rompelberg CJM, Stenhuis WH, de Vogel N, van Osenbruggen WA,
Schouten A, Verhagen H. Antimutagenicity of eugenol in the rodent bone
marrow micromucleus test. Mutation Res. 1995; 346 : 69-75. 15. Czyzewska A, Mazur L. Supressing effect or WR-2721 on micronuclei
induced by cyclophosphamide in mice. Teratogenesis, Carcinog. Mutagen
1995; 15 : 109-14.
10. Heyne K. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Jakarta: Yayasan
Sarana Wana Jaya. 1987; 1367.
11. Koshimizu K, Murakami A. Hayashi H,Ohigashi H, Subarnas A,
Gurmaya KJ, Ali AM. Biological activities of edible and medicinal plant
from Indonesia and Malaysia 1998; submission,to publication.
16. Ramu K, Perry CS, Ahmed T, Pakenham G, Kehrer JP. Studies on the
basis for the toxicity of acrolein mercapturates. Toxicol. Appl.
Pharmacol, 1996; 140 : 487-98.
12. Pramana N. Aktivitas Antimutagenik Ekstrak Metanol Daun Puspa
(Schima wallicihii Korth.) dan Fraksi-fraksinya dengan uji Mikronukleus
pada Tikus Wistar. Skripsi. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas
Padjadjaran Bandung 1998.
17. Wagner H, Lacaille-Dubois MA. Recent pharmacological results on
bioflavonoids. In S. Antus, M. Gabor & K. Vetschera (Eds) : Flavonoids
and bioflavonoids. Vienna : 9th Hungarian Bioflavonoids Symposium
1995; 53-7.
70% terumbu-karang di Indonesia rusak
40% rusak berat.
Tinggal sekitar 7% yang masih sangat bagus.
Semua karena :
- ketidak tahuan manusia dan
- kerakusan ulah manusia !
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 21
23. HASIL PENELITIAN
Pengaruh Perasan Daun Ngokilo
(Gynura procumbens Lour. Merr.)
terhadap Aktivitas
Sistim Imun Mencit Putih
Djoko Hargono*, M. Wien Winarno*, Ayu Werawati**
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
** Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila, Jakarta.
PENDAHULUAN
Indonesia kaya akan tumbuh-tumbuhan, yang berdasarkan
pengalaman telah dimanfaatkan oleh nenek moyang kita sejak
zaman dahulu kala untuk memenuhi keperluan hidupnya,
antara lain untuk obat. Sampai saat inipun pemanfaatan
tumbuhan obat sebagai obat tradisional masih dilakukan di
samping obat-obat modern, bahkan ada kecenderungan
meningkat (Depkes RI, 1983). Hal ini terlihat nyata sekali di
daerah pedesaan, terlebih lebih daerah terpencil yang jauh dari
fasilitas kesehatan modern, hingga untuk memenuhi
keperluannya akan obat mereka menggunakan bahan-bahan
nabati yang banyak terdapat di pekarangan sekeliling tempat
tinggalnya, yang kemudian diramu sendiri di rumah masing-masing,
sehingga dengan biaya yang relatif murah keperluan
obat untuk pelayanan kesehatannya dapat dipenuhi. Dengan
demikian dapat membantu meringankan beban hidupnya,
karena pemanfaatan tumbuhan untuk obat dapat dilakukan
dengan cara yang sederhana, misalnya dengan memanfaatkan
bahan segar yang dikonsumsi sebagai ulam atau lalap.
Dalam rangka pemerataan dan perluasan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, sebagaimana dinyatakan dalam
GBHN 1988 bangsa Indonesia bertekad untuk meningkatkan
peranan tumbuh-tumbuhan obat. Karenanya upaya penggalian,
penelitian dan pengembangan pemanfaatan tumbuhan obat
perlu ditingkatkan terus. Hal itu mungkin direalisasikan,
mengingat di Indonesia terdapat kurang lebih 40.000 jenis
tumbuhan dan baru 1.000 jenis yang telah dimanfaatkan
sebagai obat.
Dari informasi yang berhasil dikumpulkan, diketahui
bahwa salah satu tumbuhan obat yang telah banyak digunakan
oleh masyarakat secara turun temurun adalah daun Ngokilo
atau daun Sambungnyawa [Gynura procumbens (Lour.) Merr.]
untuk menurunkan kadar kolesterol darah, mengobati diabetes,
mengobati tumor, penyakit hati (lever) sakit uluhati, wasir,
kurap atau terkena bisa ular. Salah satu prinsip pengobatan
dengan obat alam yang tengah berkembang saat ini adalah
melalui peningkatan sistem imunitas. Jika penyakit tersebut
adalah penyakit yang dapat dikategorikan penyakit infeksi,
maka sistem imun dapat membunuh penyebab penyakit
melalui mekanisme tidak langsung dengan peningkatan per-tahanan
seluler. Agar sistem imun tumbuh dapat melawan
penyebab penyakit maka aktivitas sistem imun penderita perlu
ditingkatkan.
Dalam kaitan ini telah dilakukan penelitian terhadap
perasan daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour.) Merr.]
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sistem imunitas
mencit putih.
PERUMUSAN MASALAH
Perlu dibuktikan ada atau tidaknya pengaruh perasan daun
Ngokilo segar dengan pemberian secara oral kepada mencit
putih terhadap sistem imunitasnya.
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perasan
daun Ngokilo segar yang diberikan secara oral kepada mencit
putih dapat mempengaruhi sistem imunitasnya.
Hipotesis
Pemberian perasan daun Ngokilo segar secara oral kepada
mencit putih bersamaan dengan penyuntikan antigen dapat
meningkatkan sistem imunitasnya.
Manfaat penelitian
Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adapah
diperolehnya informasi ilmiah tentang pemanfaatan perasan
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
24. daun Ngokilo segar secara oral pada mencit putih untuk
meningkatkan aktivitas sistem imunitasnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan asal
1) Klasifikasi tumbuhan(1)
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Magnoliophytina (Angiospermae)
Classis : Magnoliatae (Dicotyledoneae)
Subclassis : Sympetalae
Ordo : Asterales
Familia : Asteraceae
Genus : Gynura
Species : Gynura procumbens (Lour.) Merr.
2) Sinonim(2)
Sinonim : Cacalia procumbens Lour.
Cacalia satmentosa B1.
Gynura sarmentosa (B1.) DC.
3) Pertelaan tumbuhan(2,3)
Tumbuhan ini merupakan terna, memanjat atau menjalar,
panjang 1-6 m, jika dimemarkan memberikan bau aromatik.
Batang tumbuh ke atas, di kaki batang terbentuk akar, batang
bersegi, agak berdaging, bercabang, berwarna keunguan dan di
bagian ujung tidak berbulu atau berbulu jarang. Daun tunggal,
bentuk bunder panjang, ujung meruncing. Bunga berwarna
jingga, kuning kemudian coklat kemerahan.
4) Kandungan kimia
Daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour.) Merr.] me-ngandung
senyawa-senyawa aromatik yang tersusun dari
unsur-unsur kalium, kalsium, magnesium dan fosfor. Pada
skrining fitokimia diketahui bahwa daun Ngokilo mengandung
pula senyawa-senyawa organik, yakni senyawa karbohidrat,
senyawa pereduksi, lendir, flavonoid, steroid, triterpenoid dan
protein(4). Di samping itu dari penelitian terdahulu diketahui
bahwa daun Ngokilo mengandung pula enzima asparaginase(5).
5) Manfaat dan kegunaan(3,6)
Manfaat dan kegunaan daun Ngokilo antara lain adalah
untuk obat penurun kadar kolesterol darah, diabetes, tumor,
penyakit hati (lever), sakit ulu hati, wasir, kurap atau
menetralkan bisa ulat yang mengenai tubuh.
6) Toksisitas akut (LD50)
Berdasarkan penelitian sebelumnya(7) dengan mengguna-kan
label dan rumus Weil C.S. dapat diperoleh nilai LD50
calon obat (perasan daun Ngokilo) tersebut, yakni 44770
mg/kg berat badan, dengan kisaran dosis antara 21615 mg/kg
berat badan sampai 92730 mg/kg berat badan.
Sistem pertahanan tubuh(8,9)
Sejak lahir individu sudah dilengkapi dengan dua jenis
sistem pertahanan, sehingga tubuh dapat mempertahankan
keutuhannya dari berbagai gangguan yang datang dari luar
maupun dari dalam tubuh (Gambar 1).
a) Sistem imun nonspesifik
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh ter-depan
dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme,
karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen,
sedang sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk
SISTEM IMUN
NON SPESIFIK
FISIK LARUT SELULER
*Biokimia
Asam lambung
Lisozim
Laktoterin
Asam neuraminik
*Humoral
Komplemen
Interferon
CRP
Fagosit
Kulit Sel NK
Selaput
lendir
SPESIFIK
HUMORAL SELULAR
Sel B Sel T
Gambar 1. Sistem Pertahanan Tubuh (Baratawidjaja, 1988)
mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan
responnya. Sistem tadi disebut nonspesifik karena tidak
ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Komponen-komponen
sistem imun nonspesifik terdiri atas :
1) Pertahanan fisik/mekanik
Sistem pertahanan fisik/mekanik ini melibatkan kulit,
selaput lendir, silia saluran napas, proses batuk dan bersin
untuk mencegah masuknya berbagai kuman patogen kedalam
tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput
lendir yang rusak antara lain oleh asap rokok, akan mening-gikan
resiko infeksi.
2) Pertahanan biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar
sebaseus kulit, telinga, spermin dalam semen mengandung
bahan yang berperanan dalam pertahanan tubuh secara
biokimiawi. Asam hidroklorida dalam lambung, lisozim dalam
keringat, ludah, air mata dan air susu dapat melindungi tubuh
terhadap berbagai kuman gram positif dengan jalan meng-hancurkan
dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung
laktoferin dan asam neuroaminat yang mempunyai sifat
antibakterial terhadap E. coli dan Staphylococcus.
b) Sistem imun spesifik
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun
spesifik mempunyai kemampaun untuk mengenal benda yang
dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali
muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik,
sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila
sel sistem imun tersebut berpapasan kembali dengan benda
asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan
dikenal lebih cepat den kemudian dihancurkan olehnya.
Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menghancurkan
benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini
disebut spesifik. Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa
bantuan sistem imun nonspesifik. Untuk menghancurkan
benda asing yang berbahaya bagi badan; tetapi pada umumnya
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 23
25. terjalin kerjasama yang baik antara antibodi-komplemen
fagosit dan antara sel T-makrofag.
1) Sistem imun spesifik humoral
Sel B merupakan sel-sel yang berdeferensiasi dalam
sumsum tulang, jaringan limfoid sekunder yaitu meliputi
limfonodus, limpa da nodulus limfatikus yang terletak di
sepanjang saluran pernafasan, pencernaan dan urogenital,
tepatnya dalam lamina propria saluran ini. Adanya rangsangan
antigen dan dengan bantuan sel T, sel B akan berkembang
menjadi sel plasma dan membentuk antibodi.
2) Sistem imun spesifik selular
Sel T mengalami perkembangan dan pematangan dalam
organ timus. Dalam timus, sel T mulai berdeferensiasi dan
memperoleh kemampuan untuk menjalankan fungsi farmako-logi
tertentu. Berdasarkan perbedaan fungsi dan kerjanya, sel T
dibagi dalam beberapa subpopulasi, yaitu sel T sitotoksik (Tc),
sel T penindas atau supresor (Ts) dan sel T penolong (Th).
Perbedaan ini tampak pula pada permukaan sel-sel tersebut.
3) Makrofag atau “Antigen Presenting Cell” (APC)
Kerja sel-sel APC dipengaruhi oleh Macrophage Activat-ing
Factor (MAF), interferon gamma dan Interleukin-3 (IL-3)
yang dihasilkan oleh sek T. Faktor-faktor ini bersifat sitolitik
terhadap sel-sel APC. Sel-sel APC merupakan sel-sel yang
berinti tunggal dari seri-seri monosit makrofag yang ber-peranan
penting dalam menimbulkan respon imun.
Rangsangan antigen akan meningkatkan kerja sel T
penolong (Th) untuk merangsang bekerjanya sel B. Sel B
kemudian akan berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk
sel plasma yang kemudian akan menghasilkan antibodi.
c) Antibodi
Antibodi adalah imunoglobulin (Ig) yang merupakan
golongan protein yang dibetuk oleh sel plasma yang berasal
dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen.
Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat
antigen sejenis yang baru lainnya.
Bila protein serum tersebut dipisahkan dengan cara
elektroliferesis, maka imunoglobulin ditemukan terbanyak
dalam fraksi globulin gamma, meskipun ada beberapa imuno-globulin
yang juga ditemukan dalam fraksi globulin alfa dan
beta.
Dua fragmen imunoglobulin yang identik disebut Fab
yang merupakan bagian imunoglobulin yang mengikat antigen
serta bereaksi dengan determinan antigen dan hapten. Bagian
tunggal imunoglobulin disebut Fc oleh karena mudah di-kristalkan
(c = crystalible).
Imunoglobulin G (IgG) merupakan komponen utama
imunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadar-nya
dalam serum sekitar 13 mg/mL, merupakan 75% dari
semua imunoglobulin. IgG dan komplemen bekerja saling
membantu sebagai opsonin pada pemusnahan antigen.
IgG juga berperanan pada imunitas selular, karena dapat
merusak antigen selular melalui interaksi dengan sistem
komplemen atau melalui efek sitolitik killer cell (sel K),
eosinofil, neutrofil, yang semuanya mengandung reseptor
untuk Fc dari IgG. Sel K merupakan efektor antibody
dependent cellular cytotoxicity cell (ADCC).
ADCC tidak hanya merusak sel tunggal, tetapi juga
mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma. Peranan
efektor ADCC ini penting pada penghancuran kanker, pe-nolakan
transplan dan penyakit autoimun, sedang ADCC
melalui neutrofil dan eosinofil berperan pada infestasi parasit.
Kadar IgG meninggi pada infeksi penyakit kronis dan penyakit
autoimun.
d) Limpa
Limpa adalah organ imun sekunder yang berperan penting
dalam pertahanan tubuh spesifik. Terdapat hubungan yang erat
antara perubahan ukuran limpa pada kasus-kasus imunologik
yang kemudian diikuti dengan peningkatan jumlah limfosit.
Sesuai dengan pernyataan bahwa adanya pembesaran ukuran
limpa disebabkan oleh kerja limpa yang lebih berat dalam
memproduksi sel-sel limfosit.
RANCANGAN PENELITIAN
A) Determinasi tumbuhan
Tumbuhan yang akan diuji dideterminasi di Herbarium
Bogoriense, Balitbang Botani, Puslitbang Biologi, LIPI Bogor.
Determinasi dilakukan untuk mendapatkan klasifikasi dan
nama tumbuhan yang tepat.
B) Bahan percobaan adalah daun Ngokilo yang dikumpul-kan
dari kebun Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
(Balittro) Bogor. Digunakan daun segar yang berwarna hijau
dan dibersihkan dari bahan organik asing serta kotoran lainnya
dengan cara pencucian dengan air, kemudian diangin-anginkan
di udara sampai tidak terlihat sisa-sisa air di permukaan daun.
C) Penyediaan dan persiapan hewan coba
Digunakan hewan coba mencit putih galur DDY (Deutsch
Democratic Yokohama), jantan, berat badan 25-35 g, diperoleh
dari Bagian Perhewanan Pusat Pemeriksaan Obat dan Makan-an
(PPOM).
Sebelum penelitian dilakukan, masing-masing hewan
dipelihara selama satu minggu untuk penyesuaian diri terhadap
lingkungan, menyeragamkan makanannya dan diamati ke-sehatannya.
Selama pemeliharaan bobot hewan coba diperiksa
dan dinilai sehat untuk percobaan jika selama pemeliharaan
bobot hewan coba tersebut tetap atau bertambah serta perilaku-nya
normal.
D) Analisis karakteristik bahan uji (daun Ngokilo)
1) Pemeriksaan makroskopik
Pengamatan pada analisis makroskopik meliputi 2 hal
pokok, yakni ukuran dan ciri ciri khas bahan uji.
2) Pemeriksaan organoleptik
Pemeriksaan ini dilakukan terhadap warna, rasa dan bau
bahan uji.
3) Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan ini dilakukan terhadap penampang melintahg
daun Ngokilo melalui ibu tulang daunnya serta serbuk daun
Ngokilo yang telah dikeringkan untuk mengetahui fragmen-fragmen
pengenalnya, seperti rambut penutup, rambut
kelenjar, hablur kalsium oksalat, tipa stomata dan tipe berkas
pengangkut.
4) Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui gambaran
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000
26. kromatogram kandungan kimia daun Ngokilo.
E) Penelitian Aktivitas Sistem Imun
Untuk penelitian aktivitas sistem imun ini dilakukan:
1) Pengamatan bobot badan hewan coba
Selama dilakukan penelitian setiap minggu dilakukan
pengamatan bobot badan hewan coba untuk mengetahui
apakah metabolisme hewan coba dipengaruhi oleh sediaan uji
yang digunakan atau tidak. Di samping itu pengamatan bobot
badan hewan coba itu untuk mengetahui juga apakah
perlakuan yang dilakukan, yakni pengambilan darah setiap
minggu dapat mempengaruhi bobot badan hewan coba.
2) Pembacaan titer antibodi terhadap SDMD
Hewan coba diimunisasi dengan SDMD (sel darah merah
domba) dengan cara penyuntikan intra peritoneal, 1 jam
kemudian perasan segar daun Ngokilo diberikan per oral
kepada mencit selama 7 hari berturut-turut. Pengukuran titer
antibodi terhadap SDMD dilakukan dengan Hemaglutinasi
test. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 3 minggu
berturut-turut.
Antibodi adalah Imunoglobulin yang merupakan golongan
protein yang dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari
proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Titer
antibodi yang tinggi menunjukkan bahwa sediaan uji dapat
meningkatkan sistem imun.
3) Pengamatan berat relatif limpa
Berat relatif limpa (berat limpa/bobot akhir badan mencit)
diukur dengan penimbangan pada neraca Sartorius di akhir
perlakuan. Pengamatan ini dilakukan, karena kerja limpa yang
lebih berat dalam memproduksi sel-sel limfosit diperkirakan
dapat memperbesar ukuran limpa.
F) Analisis data
Pengolahan data secara statistik untuk mengetahui
perbedaan masing-masing perlakuan dengan melakukan uji
sebagai berikut:
a. Bila data distribusinya normal dan homogen, dilakukan uji
Anova.
b. Bila data distribusinya tidak normal dan homogen,
digunakan uji non parametrik Kruskall-Wallis.
ALAT, BAHAN DAN METODE
A) Bahan untuk penelitian aktivitas sistem imun dan hewan
coba :
1. Sediaan uji : perasan segar daun Ngokilo
2. Hewan coba : mencit putih, jantan, galur DDY, berat
badan 25-35 g
3. Antigen : sel darah merah domba (SDMD) diperoleh
dari Laboratorium Patologi Klinik FKUI, Jakarta. Jarak
rambat Pereaksi Deteksi.
4. Larutan Phosphate Buffered Saline (PBS): terdiri dari
larutan A dan larutan B. Larutan A : Larutan NaH2P04.
H20 1,38 g/L dan NaCl 8,3 g/L. Larutan B : Larutan
NaH2P04. 1,42 g/L dan NaCl 8,5g/L. 280 mL. Larutan A
ditambahkan pada 720 Larutan B untuk mendapatkan
Larutan PBS dengan pH = 7,2.
5. Eter untuk pembius mencit.
6. Aquadest
7. Alkoho1 96%.
B) Bahan untuk pemeriksaan mikroskopik
1. Air 2. Kloralhidrat LP 3. Floroglusin LP 4. HCI LP
C) Bahan untuk pemeriksaan mikroskopik
1. Lempeng silika gel 60 GF 254 2. zat warna II LP 3. Metil
etil keton 4. Aluminium klorida P 5. Metanol P 6. Etil asetat P
7. Asam formiat P
D) Alat
1. Kandang mencit
2. Juicer (alat bantu peras) merk “National”
3. Timbangan hewan merk “Fuji”
4. Timbangan analitik merk “Sartorius”
5. Micrometer pipet merk Eppen dorf 20-200L
6. Heparin Capiller Tube
7. Pipet tips
8. Microcentrifuge tube 1,5 cc
9. Drope plate
10. Syringe 1 cc; 5 cc
11. Sonde 12. Kain penyaring
13. Gelas ukur
14. Beaker glass
15. Alat-alat bedah ringan
16. Meja bedah
17. Sungkup pembiusan
18. Kapas
19. Tangas air
20. Mikroskop
21. Chamber
E) Metode pemeriksaan KLT
Lempeng : Silika Gel 60 GF 254
Penyari : Metanol P
Jumlah totolan : 20 uL
Cairan elusi : Etil asetat-etil metil keton-asam formiat (60
- 30 - 4)
Jarak rambat : 15 cm
Pereaksi : Aluminium klorida
Deteksi : Sinar biasa
Sinar ultra violet 366 run
Larutan cuplikan : 20 L perasan segar daun Ngokilo diuapkan
di atas tangas sampai kering pada suhu 60° C. Tambahkan 10
mL metanol, panaskan di atas tangas air selama 10 menit,
dinginkan, saring, cuci endapan dengan metanol, pekatkan di
atas tangas air hingga diperoleh 5 mL filtrat.
F) Metode penelitian aktivitas sistem imun
1) Penyiapan simplisia uji dan hewan coba
a. Penyiapan simplisia
Kumpulkan daun tumbuhan Ngokilo [Gynura procumbens
(Lour.) Men.] yang telah dideterminasi. Gunakan daun segar
yang berwarna hijau dan berukuran sedang. Bersihkan dari
bahan organik asing dan kotoran lainnya dengan cara mencuci
dengan air beberapa kali. Tiriskan dan angin-anginkan di udara
terbuka hinga bebas dari air cucian. Daun telah siap untuk
pengujian.
b. Adaptasi hewan coba
Adaptasi terlebih dahulu mencit terhadap lingkungan
Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 25