2. Ibadah umrah termasuk ibadah yang paling agung dan upaya mendekatkan diri kepada Allah
yang paling afdhal yang dengannya Allah SWT mengangkat derajat hamba-hamba-Nya dan
dengannya pula Allah menghapus kesalahan-kesalahan dari mereka.
Nabi saw. menganjurkannya baik melalui sabda dan perbuatannya. Rasulullah saw bersabda,
”Umrah (yang sekarang) sampai umrah (berikutnya) adalah penghapus dosa-dosa yang terjadi di
antara keduanya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:593 no:1773, Muslim II:983 no:1394, Tirmidzi
II:206 no:937, Nasa’i V:125 dan Ibnu Majah II:964 no:2888).
Dalam haditsnya yang lain, beliau bersabda, “Kerjakanlah berturut-turut antara haji dengan umrah,
karena sesungguhnya keduanya dapat menghapus kefakiran dan dosa-dosa, sebagaimana halnya
umpama tukang besi menghilangkan kotoran besi, emas dan kotoran perak.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no:2899, Tirmidzi II:153 no:807, dan Nasa’I V:115).
Rasulullah saw. pernah berumrah dan para sahabatnya pun pernah berumrah bersamanya ketika
Rasulullah saw. masih hidup dan sepeninggalan mereka berumrah lagi. (lihat Irsyadus Syar’i).
1. Rukun-Rukun Umrah
a. Ihram, yaitu niat hendak melakukan ibadah umrah.
3. Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya.” (’Aunul Ma’bud
VI:284 no:2186, Tirmidzi III:100 no:1698, Ibnu Majah II:1413 no:422, Nasa’i no:59).
b. Thawaf dan Sa’i.
Allah SWT menegaskan, “Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang
tua itu (Baitullah).” (Al-Hajj:29).
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar
Allah ……….” (Al-Baqarah:158).
Rasulullah saw. bersabda, “Bersa'ilah; karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas
kamu melakukan sa’i!” (Teks Arab dan takhrijnya telah dimuat pada pembahasan haji).
c. Mencukur atau Memendekkan rambut:
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa yang tidak membawa binatang
hadyu, maka hendaklah ia berthawaf di sekeliling Baitullah dan (melakukan sa’i) antara Shafa
dan Marwah, dan hendaklah memendekkan rambutnya serta bertahalullah.” (Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari III:539 no:1691, Muslim II:901 no:1227, ’Aunul Ma’bud V:237 no:1788, dan
Nasa’i V:151).
2. Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Umrah
Diwajibkan atas orang yang hendak berumrah memulai ihram untuk umrah dari miqat, bila ia
bertempat tinggal di daerah sebelum kawasan miqat. Jika ia berdomisili di daerah sesudah kawasan
miqat, maka ia harus memulai ihramnya dari tempat tinggalnya. Adapun bagi orang yang muqim di
daerah Mekkah, ia wajib keluar ke daerah halal, lalu memulai ihramnya dari sana, karena Nabi saw
pernah memerintahkan Aisyah ra berihram dari Tan’im. (Muttafaqun ‚alaih: Fathul Bari III:606
no:1784, Muslim II:880 no:1212,
Hal.517
‘Aunul Ma’but V:747 no:1979).
3. Waktu Umrah
Seluruh hari sepanjang tahun adalah waktu untuk melaksanakan umrah, hanya saja di bulan
Ramadhan lebih utama daripada bulan-bulan lainnya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw,
“Berumrah di bulan Ramadhan, (pahalanya) menyamai ibadah haji." (Shahih: Shahihul Mami’
no:4097, Tirmidzi II:208 no:943, dan Ibnu Ma’bud II:996 no:2993).
4. Boleh Melaksanakan Umrah Sebelum Menunaikan Ibadah Haji
4. Kesimpulan kebolehan ini didasarkan pada riwayat berikut:
Dari Ikrimah bin Khalid ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar r.a. perihal berumrah sebelum
menunaikan ibadah haji. Maka jawab Ibnu Umar r.a. pernah berumrah sebelum menunaikan ibadah
haji.” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:862, dan Fathul Bari III:598 no:1774).
5. Melaksanakan Umrah Berulang Kali (Lihat Irsyadus Sari)
Nabi saw. melaksanakan ibadah umrah sebanyak empat kali dalam rentan waktu empat tahun,
dalam setiap safar beliau tidak pernah melakukan umrah lebih dari satu kali, dan begitu juga para
sahabatnya ra.. Tidak pernah sampai informasi akurat kepada kami, bahwa ada seorang dari
kalangan mereka pernah melakukan umrah dua kali dalam satu kali safar, baik pada waktu
Rasulullah saw. masih hidup maupun sesudah beliau wafat. Kecuali ketika Aisyah r.a. datang bulan
pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi maka Rasulullah saw memerintah saudara Aisyah
yang bernama Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar Aisyah ke daerah Tan’im agar ia memulai
ihram untuk umrah dari sana, karena ia menyangka bahwa umrah yang dilakukan berbarengan
dengan haji, maka akan batal, sehingga kemudian ia menangis. Maka Rasulullah saw mengizinkan
Aisyah melakukan umrah lagi demi memenangkan jiwanya.
Umrah yang dilaksanakan Aisyah ini sebagai pengkhususan baginya, karena belum didapati satu dalil
dari seorang sabahat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia pernah melakukan
umrah setelah sebelumnya melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im,
sebagaimana yang telah dilakukan Aisyah ra. Andaikata para sahabat mengetahui bahwa perbuatan
Aisyah tersebut disyari’atkan juga buat mereka setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji, niscaya
banyak sekali riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu. Imam Asy-Syaukani rahimahullah
mengatakan, ”Nabi saw. tidak pernah berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah
halal, kemudian masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dipraktekkan
banyak orang-orang sekarang. Padahal tak satupun yang sah yang menerangkan ada seorang
sabahat melakukan yang demikian itu.”
Sebagaimana tidak didapati riwayat yang sah yang menerangkan bahwa ada sebagian sahabat yang
melaksanakan umrah berulang kali setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji, maka tidak ada
pula riwayat dari mereka yang menjelaskan bahwa mereka menunaikan ibadah umrah berulang kali
pada seluruh hari di sepanjang tahun. Mereka menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah umrah
secara individu-individu dan ada pula yang secara berkelompok, mereka mengerti bahwa umrah
adalah ziarah untuk melakukan thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shara dan Marwah, mereka
mengetahui juga dengan yakin bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i.
Maka daripada mereka menyibukkan dirinya dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan
amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah sebelumnya, maka yang lebih utama
mereka melakukan thawaf di sekeliling Baitullah. Dan, sudah dimaklumi bahwa waktu yang tersita
dari orang yang pergi ke Tan’im untuk memulai ihram untuk umrah yang baru dapat ia manfa’atkan
mengerjakan thawaf dengan ratusan kali keliling Ka’bah.
Thawus rahimahullah menyatakan, ”Orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im,
aku tidak tahu apakah mereka akan diadzab. Karena mereka meninggalkan thawaf di Baitullah dan
5. pergi ke Tan’im yang berjarak empat mil, kemudian kembali lagi ke Mekkah yang kalau digunakan
melakukan thawaf maka mampu melaksanakan thawaf sebanyak dua ratus kali. Jadi jelas sekali,
bahwa thawaf di Baitullah jauh lebih afdhal daripada jalan-jalan yang tidak memiliki dasar pijakan
yang kuat.
Jadi, pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan umrah berulang kali, inilah yang
ditunjukkan oleh sunnah Nabawiyah yang bersifat ’amaliyah dan ditopang oleh fi’il, perbuatan pun
sahabat ra. Padahal Nabi kita ’alihissalam pernah memerintah kita agar mengikuti sunnah Beliau dan
sunnah para khalifahnya sepeninggalan beliau. Yaitu Beliau saw. bersabda, ”Hendaklah kalian
berpegang teguh sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing
sepeninggalku; hendaklah kalian mengigit dengan gigi gerahammu!” (Sunnah Abu Daud II:398
no:4607, Ibnu Majah II:16 no:42 dan 43, Tirmidzi V:43 no:2673, Ahmad VI:26, Takhrij hadits oleh
Penterj).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.
Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 515 - 520.
1. Syarat Thawaf
6. Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Thawaf di (sekeliling) Baitullah adalah seperti
shalat, melainkan kalian sewaktu thawaf boleh berbicara, maka barangsiapa yang berbicara pada
waktu itu, janganlah berbicara, kecuali yang baik.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:121, Tirmidzi II:217
no:267, Shahih Ibnu Khuzaimah IV:222 no:2739, Shahih Ibnu Hibban 247 no:998, Sunar Darimi I:374
no:1854, Mustadrak Hakim I:459 dan Baihaqi V:85).
Maka, manakala thawaf disamakan dengan shalat dalam beberapa hal, maka ia memiliki sejumlah
persyaratan:
a. Suci dari hadats besar dan kecil
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw. ”Allah tidak akan menerima shalat (yang dilaksanakan)
tanpa bersih (sebelumnya).” (Redaksi hadits dan takhrijnya sudah pernah dimuat dalam pembahasan
wudlu).
dan sabda beliau kepada Aisyah r.a. yang datang bulan ketika sedang menunaikan ibadah haji,
”Laksanakanlah apa yang dilaksanakan oleh seorang yang haji, kecuali *satu hal+ janganlah engkau
thawaf di Baitullah sehingga engkau mandi bersih (dari haidh).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari
III:504 no.1650, dan Muslim II:873 no:117 dan 1211).
b. Menutup aurat
Allah SWT berfirman, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid." (Al-A'raaf: 31)
Dan berdasarkan hadits Rasulullah saw, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
pernah mengutusnya pada waktu memimpin ibadah yang telah diperintahkan Rasulullah saw.
sebelum haji wada’, pada hari Nahar *tanggal 10 Dzhulhijjah, pent.+ bersama sejumlah sahabat untuk
menyampaikan kepada masyarakat luas larangan dari beliau: Setelah tahun ini, tidak boleh (lagi) ada
orang musyrik yang menunaikan ibadah haji dan tidak boleh (pula) melakukan thawaf dengan
telanjang bulat di Baitullah. (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I:477 no:369, Muslim II:982 no:1347,
’Aunul Ma’bud V:421 no:1930, dan Nasa’i V:234).
c. Melakukan thawaf tujuh kali putaran sempurna, karena Nabi saw. melakukannya tujuh kali
putaran, sebagaimana yang ditegaskan Ibnu Umar ra, ”Datang ke Mekkah, lalu thawaf di Baitullah
tujuh kali putaran dan shalat dibelakang maqam Ibrahim dua raka’at, melakukan sa’i antara Shafa
dan Marwah sebanyak tujuh kali; dan sungguh pada diri Rasulullah saw. itu terdapat suri tauladan
yang baik bagi kalian”. Dengan demikian perbuatan, Rasulullah saw. ini sebagai penjelasan bagi
firman Allah Ta’la, ”Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah)." (Al-Hajj:29).
Jika seseorang yang menunaikan manasik haji sengaja meninggalkan sebagian dari tujuh putaran,
walaupun sedikit, maka tidak cukup baginya, dan ia harus menyempurnakannya. Jika dia ragu-ragu
maka peganglah bilangan yang paling sedikit sehingga dia yakit.
7. d. Memulai thawaf dari Hajar Aswad dan berakhir di situ juga, dengan menempatkan Baitullah
berada di sebelah kiri. Hal ini berdasarkan pada pernyataan Jabir r.a., ”Tatkala Rasulullah saw. tiba di
Mekkah, beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menjamahnya, kemudian berjalan di sebelah
kanannya, lalu berlia lari-lari kecil tiga kali putaran [pertama, pent.] dan berjalan biasa empat kali
putaran.”
jadi, andaikata seseorang melakukan thawaf, sementara Baitullah berada di sebelah kanannya, maka
tidak sah thawafnya.
e. Hendaknya thawaf dilakukan di luar Baitullah. Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah mereka
melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua (Baitullah)." (Al-Hajj:29).
Firman Allah di atas meliputi seluruh thawaf. Kalau ada orang yang thawaf di Hijr Isma’il, maka
tidak sah thawafnya, karena Nabi saw menegaskan, "Hijr Isma’il termasuk Baitullah." (Shahih:
Irwa-ul Ghalil:1704)
f. Harus berurutan langsung [tidak diselingi oleh pekerjaan lain, pengoreksi], karena Nabi saw.
melakukannya demikian dan Rasulullah saw. bersabda, "Ambillah dariku manasik hajimu."
(Shahih: Irwa-ul Ghalil:1704).
Jika terhenti sejenak untuk berwudlu’, atau untuk shalat fardhu yang telah dikumandangkan
iqamahnya, atau untuk istirahat sejenak, maka tinggal melanjutkan kekurangannya. Namun jika
terputus dalam waktu yang cukup lama, maka hendaklah ia memulai lagi dari awal.
2. Syarat-Syarat Sa’i
Untuk sahnya sa’i ada sejumlah persyaratan:
a. Sa’i dilakukan sesudah melakukan thawaf
b. Harus tujuh kali putaran
c. Dimulai dari bukit Shafa dan diakhir di bukit Marwah.
d. Hendaknya sa’i dilakukan di lokasi sa’i *mas’a+, yaitu jalan yang memanjang antara bukit Shafa
dan Marwah. Begitulah Nabi saw. mengerjakannya. Di samping itu, beliau bersabda, ”Ambillah
dariku manasik hajimu.”
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.
Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 494 -- 497.