SlideShare a Scribd company logo
1 of 41
I.      PENDAHULUAN

                                A. Latar Belakang

     Erosi tanah didefenisikan sebagai suatu peristiwa hilang atau terkikisnya
tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain, baik disebabkan oleh
pergerakan air, angin, dan es. Di daerah tropis seperti Indonesia, erosi terutama
disebabkan oleh air hujan (Rahim 2003).
     Menurut Arsyad (2000), erosi terjadi akibat interaksi kerja antara faktor
iklim, topografi, tanah, vegetasi, dan manusia. Faktor iklim yang paling
berpengaruh terhadap erosi adalah intensitas curah hujan. Kecuraman dan panjang
lereng merupakan faktor topografi yang berpengaruh terhadap debit dan kadar
lumpur. Faktor tanah yang mempengaruhi erosi dan sedimentasi yang terjadi
adalah: luas jenis tanah yang peka terhadap erosi, luas lahan kritis atau daerah
erosi dan luas tanah berkedalaman rendah.
     Untuk mengurangi laju erosi, sedimentasi, dan debit banjir (puncak)
diperlukan upaya penanggulangan, salah satunya melalui penggunaan lahan
secara optimal dalam mereduksi laju erosi, sedimentasi, dan debit puncak.
AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model) merupakan salah satu
model terdistribusi yang dapat memprediksi aliran permukaan (banjir), erosi, dan
sedimentasi dengan hasil yang baik (Galuda 1996) dan dapat digunakan untuk
melakukan simulasi penggunaan lahan yang optimal dalam mengurangi laju erosi,
sedimentasi, dan debit puncak. Dalam menganalisis menggunakan model AGNPS
diperlukan parameter-parameter masukan model, meliputi masukan data curah
hujan jangka pendek dan parameter biofisik.

                                   B. Tujuan

1. Mengetahui penggunaan model AGNPS sebagai model konservasi tanah dan
   air.
2. Mengetahui pendugaan erosi melalui model AGNPS di DTA Jeneberang Hulu
   Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan.




                                        1
II.   TINJAUAN PUSTAKA

a. Model AGNPS



                            2
Model AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution Model),
dikembangkan oleh Robert A. Young (1987) di North Central Soil Conservation
Research Laboratory, USDA-Agricultural Research Service, Morris, Minnesota.
Model ini merupakan sebuah program simulasi komputer untuk menganalisi
limpasan, erosi, sedimen, perpindahan hara dari pemupukan (Nitrogen dan
Phosfor) dan Chemical Oksigen Demand (COD) pada suatu areal. Model AGNPS
merupakan model terdistribusi dengan kejadian hujan tunggal (Wulandary 2004
dalam Sutiyono 2006).
      Pada model AGNPS karateristik DAS digambarkan dalam tingkatan sel.
Setiap sel mempunyai ukuran 2,5 acre (1,01 ha) hingga 40 acre (16,19 ha). Setiap
sel dibagi-bagi menjadi sel-sel yang lebih kecil untuk memperoleh resolusi yang
lebih rinci. Ukuran sel lebih kecil dari 10 acre direkomendasikan untuk DAS
dengan luas kurang dari 2000 acre (810 ha), sedangkan untuk DAS yang
luasannya lebih dari 2000 acre maka ukuran sel dapat berukuran 40 acre (Young
et al. 1990).
      Menurut Pawitan (1998) dalam Salwati (2004), model AGNPS merupakan
gabungan antar model terdistribusi (distributed) dan model sequential. Sebagai
model terdistribusi penyelesaian persamaan keseimbangan massa dilakukan
secara serempak untuk semua sel. Sedangkan model sequential, air dan cemaran
di telusuri dalam rangkaian aliran di permukaan lahan dan di saluran secara
berurutan.
      Kelebihan dari model AGNPS ini adalah : 1) memberikan hasil berupa
aliran permukaan, erosi, sedimentasi dan unsur-unsur hara yang terbawa dalam
aliran permukaan, 2) membuat skenario perubahan penggunaan lahan, 3)
menganalisis parameter yang digunakan untuk memberikan simulasi yang akurat
terhadap sifat-sifat DAS. Adapun kelemahan dari model AGNPS ini adalah : 1)
pendugaan aliran permukaan model tidak mengeluarkan output dalam bentuk
hidrograf, sehingga perbandingan antara hidrograf hasil prediksi dengan hidrograf
hasil pengukuran tidak bisa diperlihatkan, 2) waktu respon yang merupakan
indikator untuk menentukan kondisi biofisik DAS tidak dinyatakan dalam
keluaran model.


                                       3
b. Masukan Data Model AGNPS
     Masukan data dalam model AGNPS terdiri dari data inisial dan data tiap sel.
Masukan data berupa data inisial terdiri dari: 1) identitas DAS, 2) deskripsi DAS,
3) luas tiap sel, 4) jumlah sel, 5) curah hujan, dan 6) energi intensitas hujan
maximum 30 menit. Sedangkan masukan data tiap sel terdiri dari 21 parameter
yakni: 1) nomor sel, 2) nomor sel penerima, 3) arah aliran, 4) bilangan kurva
aliran permukaan, 5) kemiringan lereng, 6) faktor bentuk lereng, 7) panjang
lereng, 8) kelerengan saluran rata-rata, 9) koefisien kekasaran Manning, 10) faktor
erodibilitas tanah, 11) faktor pengolahan tanaman, 12) faktor teknik konservasi
tanah, 13) konstanta kondisi permukaan, 14) tekstur tanah, 15) indikator
penggunaan pupuk, 16) ketersediaan pupuk pada permukaan tanah, 17) point
source indicator 18) sumber erosi tambahan 19) faktor kebutuhan oksigen kimia,
20) indikator impoundment, 21) indikator saluran (Young et al. 1990).
c. Keluaran Model AGNPS
     Keluaran dalam AGNPS dapat berupa keluaran DAS dan keluaran tiap sel.
Keluaran DAS berupa : 1) volume aliran permukaan, 2) laju puncak aliran
permukaan, dan 3) total hasil sedimen. Sedangkan keluaran tiap sel dapat berupa
keluran hidrologi dan keluaran unsur hara. Keluaran hidrologi berupa : 1) volume
aliran permukaan, 2) debit puncak aliran permukaan, 3) aliran permukaan tiap sel,
4) hasil sedimen, 5) konsentrasi sedimen, 6) distribusi sedimen tiap partikel, 7)
erosi permukan, 8) erosi saluran, 9) jumlah deposisi, 10) nisbah pengayaan, 11)
nisbah pelepasan. Keluaran unsur hara berupa: 1) kandungan N dalam sedimen, 2)
konsentrasi N, 3) jumlah N dalam aliran permukaan, 4) kandungan P dalam aliran
permukaan, 5) konsentrasi P, 6) jumlah P dalam aliran permukaan, 7) konsentrasi
COD, dan 8) jumlah COD (Young et al. 1990).
d. Persamaan dalam Model AGNPS
     Beberapa persamaan yang digunakan dalam membangun model adalah
Young et al. (1990):
  1) Erosi tanah
     Persamaan yang digunakan adalah persamaan Wischmeier dan Scmith
(1978) dalam Young et al. (1990), yaitu :


                                        4
E = EI . K . L . S . C . P . SSF
keterangan:
E        = erosi (ton/acre)
EI       = energi intensitas hujan (feet.ton.inci/acre)
K        = erodibilitas tanah (ton.acre/acre.feet.ton.inci)
L        = faktor panjang lereng
S        = faktor kemiringan lereng
C        = faktor tanaman
P        = faktor pengelolaan tanah
SSF      = faktor bentuk permukaan tanah
            (seragam = 1, cembung = 1,3 dan cekung = 0,8)
    2) Limpasan permukaan
       Limpasan permukaan dihitung dengan menggunakan persamaan USDA
SCS (1972) dalam Young et al. (1990), yaitu:

                                     RF =

keterangan:
RF       = run off (inci)
RL       = hujan (inci)

S        = faktor penahan tanah =         – 10 (CN = Curve Number)

    3) Kecepatan aliran untuk limpasan permukaan
                                 Vo = 100.5 x log 10 (S1x100)-SSC
keterangan:
Vo       = kecepatan aliran untuk limpasan permukaan (feet/detik)
S1       = kemiringan lereng
SSC      = kondisi penutupan permukaan tanah
    4) Kecepatan aliran dalam saluran

                                Vc =            . Sc0,5 . Rh0,667

keterangan:
Vc       = kecepatan aliran dalam saluran (feet/detik)


                                                5
Sc       = kemiringan saluran
Rh       = radius hidrolik
    5) Debit aliran pada saluran
                                         Q = Ac . Vc
keterangan:
Q        = debit (cfs)
Ac       = potongan melintang saluran (square feet)
Vc       = kecepatan aliran dalam saluran (feet)
    6) Puncak limpasan

                  QP = 8,484 . A0,7 . Sc0,159 . RF0,824 A ^ 0,0166

keterangan:
QP       = puncak limpasan (cfs)
A        = luas areal (acre)
Sc       = kemiringan saluran
RF       = volume limpasan
Lc       = panjang saluran (feet)
    7) Sedimen
       Penelusuran sedimen dilakukan melalui pendekatan persamaan pemindahan
dan pengendapan (Young et al.1990):

                      Qs (X) = Qs (0) +             -

keterangan:
Qs(X) = debit sedimen di ujung hilir saluran (cfs)
Qs(0) = debit sedimen di ujung hulu saluran (cfs)
X        = jarak lereng bagian bawah (feet)
Lr       = panjang saluran (feet)
D(X) = laju pengendapan sedimen di titik X
W        = lebar saluran (feet)
e. Sistem Informasi Geografis
       Pada dasarnya, istilah sistem informasi geografis merupakan hubungan dari
tiga unsur pokok yaitu: sistem, informasi, dan geografis. Istilah informasi

                                                6
geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang
terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek
terletak di permukaan bumi, dan informasi mengenai keterangan-keterangan
(atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diberikan atau
diketahui (Prahasta 2002).
     Aronoff (1989) dalam Prahasta (2002), mendefinisikan SIG sebagai sistem
yang berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi
informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan,
dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan
karakteristik yang penting atau krisis untuk di analisis. Dengan demikian, SIG
merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam
menangani data yang bereferensi geografi yakni : a) masukan, b) memanajemen
data (penyimpanan dan pemanggilan data), c) analisis dan manipulasi data, d)
keluaran. SIG dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor
komputer sebagaimana lembaran peta dapat mempresentasikan dunia nyata di
kertas. Akan tetapi, SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibilitas dari pada
lembaran kertas.
     AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model) merupakan salah
satu metode pendugaan yang dapat memprediksi aliran permukaan (banjir), erosi
dan dapat digunakan untuk melakukan simulasi penggunaan lahan yang optimal
dalam mengurangi laju erosi, sedimentasi, dan debit puncak. Dalam menganalisis
menggunakan model AGNPS diperlukan parameter-parameter masukan model
meliputi masukan data curah hujan jangka pendek dan parameter biofisik.
Pengolahan data spasial dalam input data, manipulasi dan tampilan data model
AGNPS serta mengidentifikasi dan memetakan keluaran model AGNPS dapat
dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG).
                             III.   PEMBAHASAN

     Penelitian yang dilakukan oleh Devianto Tintian Londongsalu, mahasiswa
Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor adalah tentang pendugaan erosi, sedimentasi, dan debit
puncak pada DTA Jeneberang Hulu Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten

                                      7
Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan menggunakan model AGNPS. Penelitian ini
bertujuan mengetahui akurasi model AGNPS dalam menduga laju erosi,
sedimentasi, dan debit puncak menggunakan parameter input yang tersedia,
memperoleh bentuk penggunaan lahan optimal di DTA Jeneberang Hulu terhadap
pengurangan laju erosi, sedimentasi, dan debit puncak. Bahan yang digunakan
adalah data curah hujan harian, debit harian, sedimen harian selama 11 tahun, peta
digital topografi/kontur, peta digital penutupan lahan, peta digital jenis tanah, dan
peta digital jaringan sungai. Sedangkan alat yang digunakan adalah seperangkat
komputer dengan beberapa software, yaitu AGNPS versi 3.65.3, ArcView versi
3.2 + extension, Minitab 14, dan Microsoft Office, alat tulis, alat hitung dan alat
penunjang lainnya.
     Metode penelitian meliputi pengumpulan data dasar berupa peta penutupan
lahan, peta kontur, peta jenis tanah, peta jaringan sungai, dan data curah hujan,
pengolahan data curah hujan, transformasi proyeksi peta, pembuatan Daerah
Tangkapan Air (DTA), pembuatan grid sel model AGNPS, penurunan atribut-
atribut DTM, pembangkitan data masukan model AGNPS dengan SIG,
pemasukan data ke model AGNPS, analisis keluaran data model AGNPS,
pengujian validasi model AGNPS, analisis simulasi dan rekomendasi. Berikut
merupakan alur tahapan dari penelitian yang dilakukan, disajikan pada gambar 1.




                                         8
Gambar 1. Alur tahapan dari penelitian
   a. Pengolahan dan Analisis Data Curah Hujan.
     Dalam pendugaan volume, debit puncak aliran permukaan, erosi dan
sedimentasi dengan model AGNPS digunakan curah hujan harian dengan periode
ulang selama 25 tahun (Young et al. 1990). Karena keterbatasan data yang
tersedia, maka curah hujan yang digunakan merupakan curah hujan harian selama
5 tahun (2001-2005). Curah hujan harian tersebut diperoleh dari data hasil
pengukuran ARR (Automatic Rain Recorder) yang diperoleh dari Stasiun
Pengamat Aliran Sungai (SPAS) Malino. Hasil keluaran ARR tersebut selanjutnya
di kelompokkan berdasarkan harian dalam bulanan (Januari hingga Desember)
selama 5 tahun, sehingga diperoleh nilai curah hujan harian rata-rata dalam 12
bulan.
     Data curah hujan diuji korelasinya dengan debit aliran untuk mengetahui
ada-tidaknya hubungan curah hujan dengan debit aliran. Uji korelasi antara curah
hujan dengan debit aliran dengan menggunakan analisis regresi:


                                       9
Q = a CHb
keterangan:
Q          = debit aliran (m3/detik)
CH         = curah hujan (mm)
a dan b = konstanta
          Nilai energi hujan intensitas 30 menit untuk pendugaan volume, debit
puncak aliran permukaan, besarnya erosi dan sedimentasi diperoleh dengan
menggunakan persamaan Bols (1978) dalam Usmadi (2006), yaitu:

                                  EI30 =

keterangan:
EI30       = energi hujan intensitas selama 30 menit
R          = curah hujan harian (inches)
     b. Transformasi Proyeksi Peta
          Penyeragaman proyeksi semua peta harus dilakukan agar data spasial dari
semua peta dapat di overlay dan di analisis. Proyeksi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah UTM (Universal Transverse Mercator) dengan datum WGS
84 dan zone 50. Transformasi proyeksi peta dilakukan dengan menggunakan
software ArcView versi 3.2 dengan extension Projection Utility Wizard.
     c.     Pembuatan Daerah Tangkapan Air
Pembuatan daerah tangkapan air (DTA) dilakukan menggunakan software
ArcView versi 3.2. Tahapan pembuatan DTA sebagai berikut:
1. Melakukan penggabungan peta kontur terhadap dua sub DAS yang berbeda,
penggabungan tersebut menggunakan extention Geoprocessing Wizard. Hal
tersebut memungkinkan dalam pembentukan DTA yang berada di dua lokasi sub
DAS yang berbeda.
2. Membuat TIN (Triangulated Irregular Network) dari peta kontur hasil proses
penggabungan. Pembuatan TIN dilakukan dengan menggunakan extension
Spatial Analyst.
3. Selanjutnya TIN tersebut dilakukan gridding (convert to grid), sehingga
diperoleh model elevasi digital (DEM/Digital Elevation Model).


                                           10
4. DEM yang telah terbentuk selanjutnya dibuat DTA dengan outlet berupa
pertemuan antar sungai di Sub DAS Jeneberang. Pembuatan DTA dilakukan
dengan menggunakan extension AV-SWAT 2000 (Sumardi 2007). Penentuan
outlet hasil model dari AV-SWAT diusahakan berada di tepat posisi Stasiun
Pengamat Aliran Sungai (SPAS) atau berada di sekitar/berdekatan dengan lokasi
SPAS.
5. Secara otomatis hasil model akan menunjukkan DTA dengan luasan tertentu
beserta dengan sungai yang terbentuk dari hasil model.
   d. Pembuatan Grid Sel Model AGNPS
Tahapan dalam pembuatan grid sel model AGNPS menggunakan software
ArcView versi 3.2, yaitu :
1. DTA yang telah terbentuk, di overlay dengan peta kontur untuk mendapatkan
peta kontur seluas DTA.
2. Membuat TIN (Triangulated Irregular Network) dari peta kontur seluas DTA.
Pembuatan TIN dilakukan dengan menggunakan extension Spatial Analyst.
3. Selanjutnya TIN tersebut dilakukan gridding (convert to grid) dengan ukuran
grid 400 x 400 meter, sehingga diperoleh model elevasi digital (DEM/Digital
Elevation Model) dalam bentuk grid. Penentuan ukuran grid didasarkan pada luas
DTA dan luas maksimum model AGNPS. Luas DTA yang terbentuk memiliki
ukuran grid maksimum yang diperbolehkan dalam model AGNPS sebesar 40 acre
(16,91 ha).
4. DTA yang telah berbentuk grid selanjutnya diubah ke dalam bentuk point
dengan menggunakan extension Hydrologic Modelling v 1.1 (pour points as point
shape). Hasil dari proses tersebut disimpan dalam bentuk shapefile, sehingga
DTA menjadi grid-grid sel.
5. Pembentukan DTA dari hasil TIN akan membuat DTA semakin bertambah
luas. Oleh karena itu, dilakukan proses penghapusan grid yang tidak termasuk ke
dalam luasan DTA yang sebenarnya. Hasil dari penghapusan tersebut
mengakibatkan nomor grid menjadi tidak teratur. Oleh karena itu, perlu dilakukan
kembali perubahan ke dalam bentuk point sehingga DTA menjadi grid-grid seluas
dengan DTA yang sebenarnya.


                                       11
6. Hasil akhir grid DTA dilakukan penomoran berurutan dari kiri ke kanan dan
mulai dari atas ke bawah dengan ketentuan penomoran grid pada model AGNPS.
   e. Penurunan Atribut-atribut DTM
     Proses pemodelan SIG ini diawali dengan membuat sebuah analisis
permukaan yang biasa disebut Digital Terrain Model (DTM). Analisis permukaan
diperlukan karena informasi tambahan dapat diperoleh dengan pembuatan data
baru melalui Digital Elevation Model (DEM). Data elevasi biasa juga disebut
Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM) ataupun peta
kontur. Data ini bisa didapatkan dengan memetakan permukaan bumi, dengan
cara survei lapangan atau interpretasi dan pengolahan citra satelit (Remote
Sensing). DEM yang digunakan adalah DEM turunan dari Shuttle Radar
Topographic Mission (SRTM), buatan JetPropulsion Laboratory NASA. DEM ini
dihasilkan pada tahun 2000 dengan menggunakan Shuttle Space, dan SRTM
Indonesia masuk di Zona Eurasia (Anonimus 2005).
     Penurunan atribut-atribut Digital Terrain Model (DTM) bertujuan untuk
memberi gambaran tentang daerah kajian sebelum dilakukan analisis lebih lanjut.
Model Terain Digital (DTM) adalah model topografis tanah terbuka yang
memungkinkan pengguna memahami karakteristik terain yang mungkin
tersembunyi pada Model Permukaan Digital (DSM). DTM secara digital
menghilangkan vegetasi, bangunan, dan fitur budaya serta menyisakan terain di
bawahnya. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan aplikasi perangkat lunak
paten, penyuntingan manual, dan proses kontrol kualitas yang mengambil elevasi
terain berdasarkan pengukuran tanah terbuka yang ada pada data radar original
(Anonimus 2007).
     DTM (bersama dengan alat analisis permukaan) mendukung aplikasi seperti
pengembangan peta topografis. Ini juga merupakan komponen berharga dalam
analisis yang melibatkan berbagai karakteristik terain, seperti profil, potongan
melintang, garis pandang, aspek, dan kemiringan. DTM juga mendukung
pemodelan banjir, aplikasi pertanian, aplikasi PND, pemetaan internet, dan
aplikasi Advanced Driver Assistance System (ADAS).



                                      12
Resolusi spasial yang digunakan untuk penurunan atribut-atribut DTM
sebesar 400 x 400 meter. Hal ini dilakukan karena sekaligus membentuk dan
memberi grid/sel secara otomatis untuk masukan model AGNPS. Model AGNPS
memiliki keterbatasan dalam kapasitas jumlah sel yaitu maksimal sebanyak
1900grid/sel untuk setiap daerah kajian. Semakin kecil resolusi yang digunakan
maka data semakin akurat, namun harus juga memperhatikan tingkat kesulitannya
yang akan semakin besar apabila terlalu banyak grid/sel yang terbentuk sehingga
tidak efektif dalam pengoperasian model AGNPS.
     Penggunaan SIG dapat mempermudah dalam kegiatan pengelolaan daerah
aliran sungai (DAS). Sebagai contoh adalah penggunaan hydrologic modelling
dengan dukungan program ArcView Spatial Analyst yang memungkinkan untuk
menurunkan dan menganalisis beberapa parameter permukaan dari DTM yang
merupakan karateristik hidrologi dari daerah kajian. Analisis permukaan ini juga
diperlukan untuk mendukung pembentukan parameter-parameter masukan model
AGNPS secara komputasi sehingga data masukan model AGNPS akan lebih cepat
didapatkan dengan keakuratan yang baik. Atribut-atribut yang dapat diturunkan
dari DTM yang berkaitan dengan input model AGNPS dengan menggunakan
extension DEMAT, yaitu:
1. Slope, adalah keadaan suatu bentang areal/lahan dengan tingkat perubahan
kemiringan tertentu yang dinyatakan dalam persen atau derajat yang dapat
dihitung dengan dua metode, yaitu metode Zevenbergen dan Thorne (untuk
permukaan halus atau lebih datar) dan metode Horn (untuk permukaan kasar).
Untuk penelitian ini digunakan metode Horn karena sebagian besar lahan di Sub
DAS Jeneberang permukaannya kasar yang ditandai dengan bentuk lahan yang
cembung (bukit) dan cekung (lembah).
2. Curvature, yaitu bentuk permukaan untuk memahami proses aliran yang secara
umum dibagi 2, yaitu convex (cembung) dan concave (cekung).
3. Profile curvature, yaitu curvature suatu permukaan dalam arah kemiringan.
wilayah DTA Jeneberang Hulu didominasi oleh bentuk cembung (214 grid) dan
bentuk cekung (209 grid) dengan luas 1 grid sebesar 16 ha (400 x 400 meter). Hal
ini menunjukkan bahwa potensi pengikisan/erosi aliran cukup besar namun


                                       13
diimbangi oleh potensi pengendapan (deposit) yang cukup besar pada beberapa
titik kawasan.
      Kemudian dilakukan penurunan parameter permukaan yang merupakan
komponen hidrologi dan geomorfologi yang meliputi:
1. Flow direction (arah aliran), yaitu arah dimana air mengalir keluar dari grid/sel
tersebut. Dalam ArcView Spatial Analyst, keluaran dari arah aliran adalah grid
yang mempunyai nilai antara 1 sampai 128 yang akan mengalir dari sebuah
sel/grid khusus seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.




Gambar 4 Arah-arah aliran dari suatu sel khusus dinyatakan dengan angka 1-128.
      Grid DTM setelah penghilangan sink akan digunakan untuk menghasilkan
arah aliran selain arah aliran utama. Sink merupakan lembah yang sempit dimana
lebar lembah tersebut lebih kecil dari ukuran piksel itu sendiri dan tidak
menempati banyak sel. Keberadaan sink ini dapat mengganggu topologi aliran
karena aliran yang menuju sink tersebut. Sehingga untuk mendapatkan grid arah
aliran (flow direction) yang kontinyu, sink perlu dihilangkan. Arah aliran ini akan
dijadikan parameter masukan model AGNPS sebagai parameter aspek. Hal ini
dilakukan karena parameter aspek pada model AGNPS memiliki karateristik yang
serupa dengan karateristik arah aliran pada model SIG, seperti yang ditampilkan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai arah aliran antara hasil ArcView dengan masukan model AGNPS



                                        14
2. Flow accumulation (akumulasi aliran), yaitu grid yang menampung aliran dari
sel-sel dibelakangnya. Akumulasi aliran diturunkan dari grid arah aliran guna
menentukan mana dan berapa jumlah sel yang mengalir menuju grid/sel lain yang
menerima aliran tersebut. Grid-grid yang mempunyai akumulasi aliran yang tinggi
dapat diidentifikasikan sebagai sungai atau saluran. Untuk mengetahui akumulasi
aliran pada permukaan, nilai dari setiap sel mempresentasikan total nilai dari sel
yang mengalir ke dalam sel tersebut. Sel yang mempunyai akumulasi yang tinggi
adalah areal yang terkosentrasi aliran, seperti pada Gambar 5.




                 Gambar 5 Bentuk representasi akumulasi aliran.
3. Flow length (panjang aliran), yaitu panjang garis aliran yang terpanjang dalam
saluran air yang dihitung untuk setiap sel/grid.
4. Stream network (jaringan sungai), yaitu sistem jaringan sungai yang dapat
ditentukan dari hasil akumulasi aliran. Dalam sistem ini juga dapat ditentukan
ordo tiap segmen jaringan sungai dengan metode yang tersedia, yaitu teknik


                                         15
Schrave dan Strahler. Untuk penelitian ini jaringan sungai dapat ditentukan
melalui pengoperasian model AV-SWAT hasil turunan dari data DEM yang secara
otomatis akan membentuk jaringan sungai berdasarkan bentuk topografi/kontur,
seperti yang terlihat pada Gambar 6.




             Gambar 6 Peta jaringan sungai DTA Jeneberang Hulu.
   f. Pembangkitan Data Masukan Model AGNPS dengan SIG
     Pembangkitan data setiap sel sebagai masukan model AGNPS dilakukan
menggunakan software ArcView versi 3.2. Tahapan pembangkitan data setiap sel
yaitu peta kontur, peta jaringan sungai, peta jenis tanah dan peta penutupan lahan
di overlay dengan peta DTA yang telah terbentuk tadi dan dilakukan pemotongan
menggunakan extension Geoprocessing Wizard untuk memperoleh peta seluas
DTA. Selanjutnya dilakukan gridding (convert to grid) dengan resolusi 400 x 400
meter berdasarkan peta DEM (Digital Elevation Model) dan dilakukan
penambahan data-data atribut berupa nilai parameter masukan model AGNPS
yang sesuai dengan peta peta kontur, peta jaringan sungai, peta jenis tanah dan
peta penutupan lahan. Parameter-parameter masukan model AGNPS yang dapat
diturunkan dari peta-peta tadi, disajikan selengkapnya pada Gambar 7.




                                       16
Gambar 7 Analisis spasial dan pembangkitan data model AGNPS.
keterangan:
DEM = Digital Elevation Model               P    = Faktor konservasi tanah
SL    = Kemiringan lereng                   SCC = Konstanta kondisi permukaan
LS    = Panjang lereng                      n    = Koefisien kekasaran Manning
FD    = Arah aliran                         COD = Kebutuhan oksigen kimiawi
T     = Tekstur                             CI   = Indikator saluran
K     = Faktor erodibilitas tanah           CS   = Kemiringan saluran
CN = Bilangan kurva aliran permukaan        C    = Panjang saluran
C     = Faktor pengelolaan tanaman          DTA = Daerah tangkapan air
     1. Kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk lereng dan arah aliran
      Parameter masukan model AGNPS yang berupa kemiringan lereng, panjang
lereng, bentuk lereng dan arah aliran dapat diturunkan dari peta kontur. Parameter

                                       17
panjang lereng diukur dengan menggunakan peta kontur, sedangkan parameter
       kemiringan lereng, bentuk lereng dan arah aliran diturunkan dari data DEM. DEM
       merupakan suatu model yang mempresentasikan ketinggian muka bumi dengan
       format raster (resolusi 400 x 400 meter). Tahapan dalam pembangkitan data
       masukan parameter kemiringan lereng dan arah aliran sebagai berikut :
 i.       Pembuatan DEM dilakukan dengan cara mengubah peta kontur menjadi TIN,
          selanjutnya melakukan gridding (convert to grid) terhadap TIN dengan ukuran
          sel sesuai dengan luas grid model AGNPS yaitu sebesar 400 x 400 meter (16
          ha).
ii.       Data kemiringan lereng diperoleh dengan menggunakan metode Horn untuk
          permukaan yang kasar yang diperoleh dari data DEM dengan menggunakan
          extension DEMAT dengan satuan kemiringan lereng berupa persen. Dalam
          mengetahui besarnya kemiringan lereng setiap sel, maka data hasil
          perhitungan DEMAT diubah menjadi bentuk point dengan menggunakan
          extension Hydrologic Modelling v 1.1 (pour points as point shape).
iii.      Data panjang lereng (JL) diketahui melalui pengukuran secara manual
          berdasarkan peta kontur. Dengan bantuan grid yang telah terbentuk
          sebelumnya,     perhitungan      panjang    lereng   (JL)   menggunakan   prinsip
          Phytagoras. Untuk pengukuran panjang lereng digunakan persamaan:

                                             JL =

         keterangan:
         JL      = panjang lereng (feet)
         JD      = panjang lereng datar (pengukuran di peta kontur)
         Cos α         = cosinus kemiringan lereng (metode Horn)
iv.       Bentuk lereng diperoleh dari peta turunan DEM dengan menggunakan
          extension DEMAT (profile curvature). Bentuk lereng yang dihasilkan berupa
          seragam/datar yang bernilai 0, cekung bernilai negatif (-), dan cembung
          bernilai positif (+).
 v.       Arah aliran merupakan parameter yang sangat penting dalam model AGNPS.
          Arah aliran setiap sel diperoleh dari data DEM dengan menggunakan


                                                 18
extension Hydrologic Modelling v 1.1. Selanjutnya dilakukan pengkodean
   arah aliran sesuai dengan pengkodean arah aliran pada model AGNPS (angka
   1 hingga 8).
     Berdasarkan kondisi biofisik DTA Jeneberang Hulu, sebagian besar
topografinya landai (8-15 %). Hasil dari penurunan atribut DTM yang telah
dilakukan, kemiringan lereng menggunakan metode Horn menghasilkan rentang
kelerengan yang cukup jauh antara 1,732-79,006 %. Panjang lereng adalah jarak
bagian permukaan dari titik dimulainya aliran ke titik dimana aliran menjadi
terkosentrasi atau aliran memasuki saluran. Panjang lereng DTA Jeneberang Hulu
bervariasi dari 565,73-695,30 meter. Dalam masukan model berupa parameter
panjang lereng dilakukan penyesuaian dengan nilai maksimum model. Nilai
maksimum parameter panjang lereng dalam model AGNPS sebesar 999 feet
(304,5 m). Oleh karena itu, untuk sel-sel yang mempunyai panjang lereng yang
lebih dari 999 feet, maka masukan parameter panjang lereng sel-sel tersebut harus
999 feet. Untuk wilayah DTA Jeneberang Hulu yang memiliki panjang lereng
lebih besar 304,5 m maka semua sel memiliki panjang lereng sebesar 999 feet.
     Bentuk lereng didasarkan pada bentuk lahan secara rata-rata di dalam sel.
Nilai masukan model yang digunakan adalah 1 untuk bentuk seragam, 2 untuk
bentuk cekung, dan 3 untuk bentuk cembung. Untuk wilayah DTA Jeneberang
Hulu sebagian besar didominasi oleh bentuk cembung dan cekung, bentuk
seragam/datar tidak ditemukan oleh hasil penurunan atribut DTM.
   2. Tekstur dan faktor erodibilitas tanah
     Parameter masukan model AGNPS yang berupa tekstur tanah dan faktor
erodibilitas tanah diturunkan dari peta jenis tanah. Masing-masing jenis tanah
dilakukan penambahan data atribut berupa nilai erodibilitas tanah yang mengacu
pada hasil penelitian Puslitbang Pengairan (1966) dalam Triandayani (2004).
Masukan nilai tekstur model AGNPS disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Nilai masukan tekstur model AGNPS




                                       19
Tahapan dalam pembangkitan data masukan parameter tekstur tanah dan
faktor erodibilitas tanah sebagai berikut:
1. DTA yang telah terbentuk dari hasil model AV-SWAT di overlay dengan peta
jenis tanah untuk mendapatkan peta jenis tanah seluas DTA Jeneberang Hulu.
Dari peta jenis tanah ini diturunkan dua nilai parameter masukan AGNPS, yaitu
nilai erodibilitas tanah dan tekstur tanah untuk setiap jenis tanah. Kedua nilai
parameter tersebut di input dan di edit ke dalam atribut peta jenis tanah melalui
fasilitas query dan calculate pada ArcView.
2. Pembentukan grid (convert to grid) untuk peta jenis tanah seluas DTA yang
telah berisi kedua nilai parameter tadi dengan cara di overlay dengan peta DEM
sebagai dasar grid yang beresolusi 400 x 400 meter. Setelah itu diubah menjadi
format point, agar masing-masing grid memiliki nilai dari parameter tadi.
      Berdasarkan peta digital jenis tanah Sub DAS Jeneberang, jenis tanah yang
terdapat di DTA Jeneberang Hulu adalah Andosol Coklat yang terbentuk dari
bahan induk tufa vulkan masam dan alkali, Latosol Coklat Kekuningan dari bahan
induk tufa vulkan masam sampai intermedier, dan Komplek Latosol Coklat
Kemerahan dan Litosol dari bahan induk tufa dan batuan vulkan intermedier.
DTA Jeneberang Hulu didominasi oleh jenis tanah Andosol Coklat dengan luas
sebesar 5423,18 ha (79,70 %).
   3. Faktor pengelolaan tanaman, faktor tindakan konservasi tanah,
       koefisien kekasaran Manning, dan bilangan kurva aliran permukaan
      Data spasial dari peta penutupan lahan dapat digunakan untuk memperoleh
masukan parameter-parameter model AGNPS yaitu faktor pengelolaan tanaman
(C), faktor tindakan konservasi tanah (P), koefisien kekasaran Manning (n),
bilangan kurva aliran permukaan (CN), dan konstanta kondisi permukaan (SCC).



                                         20
Tahapan dalam pembangkitan data masukan beberapa parameter dari peta
      penutupan lahan sebagai berikut:
i.         DTA yang telah terbentuk dari hasil model AV-SWAT di overlay dengan peta
           penutupan lahan untuk mendapatkan peta penutupan lahan seluas DTA
           Jeneberang Hulu. Dari peta penutupan lahan ini diturunkan enam nilai
           parameter masukan AGNPS, yaitu faktor tindakan konservasi tanah, faktor
           pengelolaan tanaman, koefisien kekasaran Manning, bilangan kurva aliran
           permukaan, dan konstanta kondisi permukaan untuk setiap jenis pengggunaan
           lahan. Nilai-nilai parameter tersebut di input dan di edit ke dalam atribut peta
           penutupan lahan melalui fasilitas query dan calculate pada ArcView.
ii.        Pembentukan grid (convert to grid) untuk peta penutupan lahan seluas DTA
           yang telah berisi keenam nilai parameter tadi dengan cara di overlay dengan
           peta DEM sebagai dasar grid yang beresolusi 400 x 400 meter. Setelah itu
           diubah menjadi format point, agar masing-masing grid memiliki nilai dari
           parameter tadi. Nilai masukan faktor pengelolaan tanaman dan faktor tindakan
           konservasi tanah berdasarkan teknik konservasi yang dominan diterapkan ini
           diperoleh dari peta penutupan lahan wilayah DTA Jeneberang Hulu yang telah
           diubah dalam bentuk grid/sel dan secara spasial.
           4. Indikator saluran
             Parameter model AGNPS yang berupa indikator saluran diperoleh dari peta
      jaringan sungai yang di overlay dengan peta grid. Parameter yang menyertai
      parameter indikator saluran yaitu panjang saluran, bentuk saluran, kemiringan
      lereng saluran, dan kemiringan sisi saluran. Panjang saluran diukur berdasarkan
      panjang sungai pada masing-masing sel dan diubah dalam satuan feet. Parameter
      kemiringan saluran diasumsikan sebesar 50 % dari kemiringan lereng lahan,
      sedangkan kemiringan sisi saluran diasumsikan sebesar 10 % (Young et al.,
      1990). Tahapan dalam pembangkitan data masukan parameter dari peta jaringan
      sungai sebagai berikut:
      i.   DTA yang telah terbentuk dari hasil model AV-SWAT di overlay dengan peta
           jaringan sungai untuk mendapatkan peta jaringan sungai seluas DTA
           Jeneberang Hulu. Dari peta jaringan sungai ini diturunkan dua nilai parameter


                                               21
masukan AGNPS, yaitu panjang saluran dan bentuk saluran. Nilai-nilai
   parameter tersebut di input dan di edit ke dalam atribut peta penutupan lahan
   melalui fasilitas query dan calculate pada ArcView.
ii. Pembentukan grid (convert to grid) untuk peta jaringan sungai seluas DTA
   yang telah berisi kedua nilai parameter tadi dengan cara di overlay dengan
   peta DEM sebagai dasar grid yang beresolusi 400 x 400 meter. Setelah itu
   diubah menjadi format point, agar masing-masing grid memiliki nilai dari
   parameter tadi.
      Indikator saluran mengidentifikasikan ada tidaknya saluran serta jenis
saluran dalam wilayah DTA Jeneberang Hulu. Sungai utama di DTA Jeneberang
Hulu diasumsikan sebagai saluran perennial sedangkan anak-anak sungainya
diasumsikan sebagai saluran intermitten. Sebagai data masukan model AGNPS,
saluran perennial bernilai 7, saluran intermitten bernilai 6, dan yang tidak terdapat
saluran bernilai 1. Saluran perennial (saluran permanen) merupakan aliran yang
mengalir sepanjang tahun dengan debit yang lebih tinggi pada musim hujan dan
permukaan air tanah selalu berada di atas sungai. Sedangkan saluran intermitten
(saluran musiman) merupakan aliran air yang mengalir pada musim hujan saja
dan permukaan air tanah berada di atas dasar sungai hanya selama musim hujan
saja, sedangkan pada musim kemarau permukaan tersebut berada di bawah dasar
sungai (Seyhan 1990).
   5. Penggabungan atribut data masukan model AGNPS
      Atribut dari masing-masing parameter turunan peta kontur, peta jaringan
sungai, peta jenis tanah dan peta penutupan lahan yang telah diubah menjadi
format point selanjutnya digabung melalui fasilitas ArcView menggunakan
extension Geoprocessing Wizard (joined table). Hasil gabungan tersebut
berbentuk sebuah tabel atribut file point gabungan yang berisi semua parameter-
parameter masukan model AGNPS untuk setiap sel/grid.
   6. Parameter masukan model yang diasumsikan konstan
      Selain parameter tersebut dalam penelitian beberapa parameter masukan
model AGNPS diasmsikan konstan yaitu : 1) Indikator penggunaan pupuk, 2)



                                         22
Ketersediaan pupuk pada permukaan tanah, 3) Point source indicator, 4) Sumber
     erosi tambahan, dan 5) Indikator impoundment.
        g. Pemasukan Data ke Model AGNPS
          Dalam melakukan pemasukan data ke dalam model AGNPS, ada dua tahap
     yang dapat dilakukan, yaitu:
i.      Masukan data inisial model yang meliputi : nama DAS, luas dan jumlah
        sel/grid, curah hujan, dan energi intensitas hujan 30 menit. Ukuran sel yang
        digunakan dalam model yaitu 400 x 400 meter dengan luas sel sebesar 16 ha.
        Yang diperoleh dari hasil pembentukan grid DTM, dimana grid/sel DTM
        secara otomatis akan membentuk sesuai dengan keinginan resolusi yang
        dibutuhkan. Grid/sel ini juga dijadikan acuan dalam pembentukan parameter-
        parameter setiap sel masukan model AGNPS. Dari luasan 16 ha per sel
        menghasilkan sel model sebanyak 423 sel seperti yang terlihat pada Gambar 7.
        Sehingga DTA Jeneberang Hulu dengan luas 6804,72 ha, dalam sel model
        menjadi 6768 ha dan terjadi pengurangan luasan sebesar 36,74 ha (0,54 %).




                          Gambar 7 Masukan data inisial model.
          Curah hujan yang diamati adalah jumlah curah hujan harian rata-rata, yang
     merupakan curah hujan harian selama 12 bulan (hasil pengelompokan data CH
     selama 5 tahun). Contoh curah hujan harian rata-rata yang tertinggi terjadi pada
     tanggal 1 Januari sebesar 31,66 mm (1,25 inches) dengan nilai energi intensitas
     hujan 30 menit untuk kejadian hujan pada tanggal 1 Januari sebesar 25,894

                                           23
m.ton.cm/ha/jam. Contoh nilai curah hujan harian dan energi intensitas hujan 30
      menit (EI 30) yang tertinggi inilah yang akan digunakan dalam memprediksi
      besarnya volume aliran permukaan, debit puncak aliran permukaan, laju erosi dan
      sedimentasi.
ii.      Masukan data setiap sel model yang meliputi : penomoran sel, sel penerima,
         arah aliran, kemiringan lereng, panjang dan bentuk lereng, faktor erodibilitas
         (K) dan tekstur tanah, faktor pengelolaan tanaman (C), faktor tindakan
         konservasi tanah (P), bilangan kurva aliran permukaan (CN), koefisien
         kekasaran Manning (n), faktor kebutuhan Oksigen kimiawi (COD), konstanta
         kondisi permukaan (SCC), dan indikator saluran (panjang saluran dan
         kemiringan saluran), seperti yang ditampilkan pada Gambar 8.




                          Gambar 8 Masukan data setiap sel model.
           Penomoran sel dilakukan sesuai dengan prosedur model AGNPS yaitu
      dimulai dari ujung sebelah kiri atas menuju ke sel sebelah kanan dan dilanjutkan
      ke sel berikutnya secara berurutan ke bawah. Outlet sebagai tempat
      terkosentrasinya aliran merupakan sel yang terakhir dalam model berada pada sel
      nomor 169 dengan penggunaan lahan berupa hutan. Sel penerima merupakan sel
      yang menerima aliran permukaan dari sel yang terletak di atasnya, sedangkan arah
      aliran mengidentifikasikan arah aliran utama dalam sel. Yang perlu diperhatikan
      dalam menentukan arah aliran dan sel penerima yang akan menerima aliran
      tersebut, yaitu posisinya harus sesuai antara sel penerima dan arah aliran (aspek)

                                             24
karena hal ini sangat berpengaruh dalam pembentukan DAS dalam model
AGNPS.
     Masukan data yang tidak cocok antara kedua parameter ini akan
menghambat proses identifikasi dan pembentukan DAS secara grafis pada saat
proses pengecekan. Untuk sel outlet, nomor sel penerimanya adalah satu angka
lebih besar dari jumlah keseluruhan sel.
    h. Analisis Keluaran Model AGNPS
     Keluaran model AGNPS yang dianalisis yaitu keluaran model pada outlet
DTA Jeneberang Hulu dan setiap sel dengan kejadian hujan terbesar pada tanggal
1 Januari. Keluaran model tersebut berupa keluaran hidrologi dan keluaran
sedimen dalam bentuk grafik/gambar dan tabel. Keluaran hidrologi berupa
volume aliran permukaan dan debit puncak aliran permukaan. Sedangkan
keluaran sedimen berupa laju erosi, laju sedimentasi dan sedimen total. Keluaran
tersebut merupakan keluaran kondisi awal sebelum dilakukan simulasi.
    i. Pengujian Validasi Model AGNPS.
     Validasi model dilakukan dengan membandingkan debit puncak (Qp)
keluaran model dengan debit puncak hasil pengukuran di lapangan dan
membandingkan laju sedimentasi (Qs) keluaran model dengan laju sedimentasi
hasil pengukuran di lapangan. Pembandingan ini dilanjutkan dengan menghitung
besarnya nilai korelasi (R2) di antara parameter yang di validasi. Pengujian
validasi tersebut menggunakan persamaan model regresi linear sederhana
(Tiryana 2003), dimana peubah tidak bebasnya berupa data dari hasil pengukuran
di lapangan dan peubah bebasnya berupa data keluaran model. Hubungan antara
data lapangan dengan data keluaran model dinyatakan dalam bentuk persamaan
umum regresi sebagai berikut:
                                   Y=a+bX
keterangan:
Y      = Qp dan Qs pengukuran di lapangan
X      = Qp dan Qs keluaran model
a dan b = konstanta
    j. Analisis Simulasi dan Rekomendasi


                                           25
Dalam rangka untuk mengurangi bahaya erosi, sedimentasi, dan aliran
permukaan di DTA Jeneberang Hulu tersebut, maka diperlukan perubahan
terhadap lahan-lahan yang mempunyai tingkat erosi, sedimentasi dan aliran
permukaan yang tinggi dan produktifitas yang rendah. Oleh karena itu, dilakukan
simulasi dengan beberapa skenario perubahan penggunaan lahan dan melakukan
tindakan konservasi tanah dan air. Skenario tersebut yaitu:
1. Skenario I : mengubah penutupan lahan yang berupa tegalan/ladang dan semak
belukar menjadi vegetasi serupa hutan alam produksi dengan sistem silvikultur
tebang pilih di lahan DTA bagian atas (hulu) dan perkebunan karet pada lahan
bagian bawah. Jenis tanaman yang digunakan untuk membangun vegetasi serupa
hutan alam produksi TPTI adalah jenis yang cepat tumbuh dan bernilai tinggi
seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium), Gmelina
(Gmelina arborea), Kayu Afrika (Maesopsis eminii), Damar (Agathis dammara),
Eboni (Diospyros celebica) dan Mahoni (Sweitenia macrophylla). Parameter
masukan model penggunaan lahan pada skenario I disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario I




2. Skenario II : mengubah penutupan lahan yang berupa tegalan/ladang dan semak
belukar menjadi vegetasi serupa dengan hutan alam produksidengan sistem
silvikultur tebang pilih di lahan DTA bagian atas (hulu) dan kebun campuran di
lahan bagian bawahnya, dengan melakukan pembuatan teras tradisional.
Pembuatan vegetasi serupa hutan alam produksi TPTI sama seperti skenario I.
Perbedaan dengan Skenario I terletak pada pengelolaan kebun campuran
dilakukan yang dilakukan dengan sistem agroforestry. Penerapan sistem
agroforestry pada kebun campuran tersebut selain untuk mengurangi volume
aliran permukaan, debit puncak aliran permukaan, laju erosi permukaan, laju


                                        26
sedimentasi, dan sedimen total juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
sekitar dari hasil panen tanaman semusim dan tahunan. Tanaman tahunan yang
dapat dibudidayakan berupa berupa tanaman kehutanan dan tanaman buah-
buahan. Jenis tanaman kehutanan yaitu Sengon (Paraserianthes falcataria),
Akasia (Acacia mangium), Gmelina (Gmelina arborea), Kayu Afrika (Maesopsis
eminii), Damar (Agathis dammara) dan jenis lainnya. Tanaman buah-buahan yang
dapat dibudidayakan seperti kopi, kakao, rambutan (Nephelium lappaceum),
durian (Durio zibethinus), nangka (Arthocarpus heterophyllus), pisang (Musa sp.),
jambu biji (Psidium guajava), dan alpukat (Persea americana). Tanaman
semusim yang dipilih diantaranya kacang tanah (Arachis hypogaea), kedelai
(Glyeine max), singkong (Manihot esculenta), dan jagung (Zea mays). Parameter
masukan model penggunaan lahan pada skenario II disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario II




3. Skenario III : mengubah penutupan lahan yang berupa tegalan/ladang dan
semak belukar menjadi padang rumput semi permanen di lahan DTA bagian atas
(hulu) dan perkebunan karet di lahan bagian bawahnya. Padang rumput semi
permanen yang disimulasikan digunakan untuk penggembalaan ternak penduduk
dan pengembangan perkebunan karet sama seperti pada skenario I. Parameter
masukan model penggunaan lahan pada skenario III disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario III




4. Skenario IV : mengubah penutupan lahan yang berupa tegalan/ladang dan
semak belukar menjadi hutan alam yang berserasah banyak di lahan DTA bagian
atas (hulu) dan kebun campuran di lahan bagian bawahnya, dengan melakukan
pembuatan teras tradisional pada kebun campuran. Hutan alam yang


                                       27
disimulasikan berupa hutan lindung dan pengembangan kebun campuran sama
seperti pada skenario II. Parameter masukan model penggunaan lahan pada
skenario IV disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario IV




                       Karateristik Lokasi Penelitian
      Daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang secara administrasi berada dalam
Kabupaten Dati II Gowa, Propinsi Dati I Sulawesi Selatan. Terletak antara garis
50 05’ 00” – 50 35’ 00” LS dan antara 1190 20’ 00” – 1200 00’ 00” BT yang
berjarak ± 65 km dari Kodya Makassar dan berada pada ketinggian antara 600
mdpl – 2.800 mdpl. Sungai Jeneberang bersumber dari Gunung Bawakaraeng dan
Gunung Lompobattang, mempunyai ketinggian ± 2.833 mdpl. Arah utama
pengalirannya adalah ke barat pada bagian hulu dan ke barat daya pada bagian
tengah dan pada bagian hilir terpecah menjadi dua arah ke barat laut dan ke barat
daya. DAS Jeneberang terbagi lagi menjadi Sub DAS diantaranya Sub DAS
Jeneberang. Luas wilayah DTA Jeneberang Hulu sebesar 6.804,72 ha (19,87 %
dari luas total Sub DAS Jeneberang sebesar 34.238 ha). Mempunyai topografi
bervariasi mulai dari datar hingga sangat curam. DTA Jeneberang Hulu
didominasi oleh wilayah yang bertopografi landai dengan luas 2314,23 ha (34,03
%).




                                       28
Gambar 2. Peta kelas lereng DTA Jeneberang Hulu.




                 Gambar 3 Peta elevasi DTA Jeneberang Hulu.
     Berdasarkan peta digital jenis tanah Sub DAS Jeneberang, jenis tanah yang
terdapat di DTA Jeneberang Hulu adalah Andosol Coklat yang terbentuk dari
bahan induk tufa vulkan masam dan alkali, Latosol Coklat Kekuningan dari bahan
induk tufa vulkan masam sampai intermedier, dan Komplek Latosol Coklat
Kemerahan dan Litosol dari bahan induk tufa dan batuan vulkan intermedier.

                                     29
DTA Jeneberang Hulu didominasi oleh jenis tanah Andosol Coklat dengan luas
sebesar 5423,18 ha (79,70 %).
     Dari peta jenis tanah diturunkan nilai erodibilitas tanah pada DTA
Jeneberang Hulu, dimana yang terbesar yaitu pada jenis tanah Andosol Coklat
sebesar 0,278. Sedangkan nilai erodibilitas tanah yang terkecil yaitu pada jenis
tanah sebesar 0,075. Nilai erodibilitas tanah tersebut menunjukkan bahwa jenis
tanah Andosol Coklat paling mudah tererosi.




               Gambar 12 Peta jenis tanah DTA Jeneberang Hulu.
     Jaringan sungai (Gambar 5) memiliki pola drainase dendritik. Menurut Lee
(1988), pola drainase tersebut memiliki batuan yang relatif homogen, terletak di
daerah datar dan pola tersebut telah lazim di permukaan bumi dengan modifikasi-
modifikasi lokal. Sungai-sungai di DTA Jeneberang Hulu diasumsikan sebagai
saluran perennial untuk sungai utama dan sebagai saluran intermitten untuk anak-
anak sungai. Jaringan sungai yang telah dikonversi ke bentuk grid sel, memiliki
jumlah sel pada saluran perennial dan saluran intermitten masing-masing
sebanyak 184 dan 175 sedangkan sel yang tidak terdapat saluran sebanyak 64.
     Berdasarkan hasil analisis peta penutupan lahan Sub DAS Jeneberang, terlihat
bahwa penutupan lahan pada DTA Jeneberang Hulu terdiri dari lima penggunaan
lahan diantaranya semak belukar, sawah, pemukiman, tegalan/ladang, dan hutan
campuran. Sebagian besar DTA Jeneberang Hulu didominasi oleh penutupan lahan

                                      30
berupa hutan dengan luas sebesar 2868 ha (42,48 %). Berdasarkan BPS Kabupaten
Gowa dalam Angka tahun 2002 dalam BPDAS Jeneberang-Walanae, jumlah
penduduk Kabupaten Gowa berjumlah 401.317 jiwa.
     Berdasarkan data curah hujan harian rata-rata 5 tahun, wilayah DTA
Jeneberang Hulu menurut klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson termasuk tipe
iklim A dengan jumlah bulan basah 8 bulan dan 4 bulan kering dalam setahun.
Curah hujan rata-rata 2518,02 mm/tahun           dan suhu udara berkisar antara
180-210C. Curah hujan yang jatuh ke wilayah DTA Jeneberang Hulu
menghasilkan debit yang beragam, dimana debit rata-rata per tahun sebesar
154,32 m3/detik.
     Hubungan curah hujan dengan debit harian rata-rata selama 366 hari
disajikan dalam Gambar 14. Hubungan Curah hujan dengan debit membentuk
hubungan sebagai berikut:
                               Q = 0.159 CH0.68
dengan koefisien korelasi sebesar 0,901 dan koefisien determinasinya (R2) sebesar
81,2 %. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa kejadian curah hujan
berhubungan erat dengan kejadian debit aliran.




  Gambar 14 Dinamika curah hujan harian dengan debit DTA Jeneberang Hulu.
     Perhitungan menggunakan masukan curah hujan harian rata-rata selama 5
tahun (31,66 mm/hari) dengan nilai energi intensitas hujan 30 menit sebesar 25,89
m.ton.cm/ha/jam, diperoleh besarnya volume aliran permukaan di outlet sebesar
0,76 mm dan debit puncak aliran permukaan sebesar 3,20 m3/detik. Volume air
hujan yang menjadi aliran permukaan sebesar 2,29 %, sedangkan sisanya
mengalami infiltrasi, intersepsi, dan evapotranspirasi. Sebaran ruang volume



                                       31
aliran permukaan akibat kejadian hujan 31,66 mm/hari disajikan dalam Gambar
15.




Gambar 15 Peta penyebaran volume aliran permukaan DTA Jeneberang Hulu.
      Berdasarkan Gambar di atas, dapat dilihat penyebaran aliran permukaan
DTA Jeneberang Hulu setiap sel sebesar 0 – 4,32 mm dan berdasarkan sebaran
aliran permukaan di berbagai penutupan lahan dapat dilihat bahwa sel-sel yang
mempunyai aliran permukaan terkecil terdapat dalam sel dengan penutupan lahan
berupa hutan (vegetasi sedang hingga lebat) sebesar 7,11 mm. Sedangkan sel-sel
dengan penutupan lahan berupa sawah irigasi dan tegalan/lading mempunyai
aliran permukaan yang besar masing-masing sebesar 172,21 mm dan 167,64 mm.
      Berdasarkan hasil keluaran model, dengan nilai masukan curah hujan harian
rata-rata yang terbesar selama 5 tahun sebesar 31,66 mm dengan nilai energi
intensitas hujan 30 menit sebesar 25,89 m.ton.cm/ha/jam, diperoleh besarnya laju
erosi di outlet sebesar 29,03 ton/ha, laju sedimentasi sebesar 1,85 ton/ha dan
sedimen total sebesar 12577,2 ton.
Tabel 20 Keluaran sedimen model di outlet DTA Jeneberang Hulu




                                      32
Nilai Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) di DTA Jeneberang Hulu sebesar
6%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hanya 6% dari total erosi yang terjadi di
DTA Jeneberang Hulu yang masuk ke saluran dan menjadi sedimen. Sedangkan
sisanya sebesar 94% mengendap di tempat lain sebelum sampai ke saluran sungai.
Jenis partikel yang mempunyai nilai NPS tertinggi berupa partikel liat sebesar
64%. Hal tersebut disebabkan partikel liat mudah terdispersi oleh butiran-butiran
hujan dan memiliki berat jenis yang rendah, sehingga partikel liat mudah
terangkut dan menjadi sedimen. Sedangkan jenis partikel yang paling banyak
tererosi berupa agregat halus sebesar 16,55 ton/ha. Sebaran ruang laju erosi
permukaan akibat kejadian hujan 31,66 mm/hari.




    Gambar 17 Peta penyebaran laju erosi permukaan DTA Jeneberang Hulu.
     Berdasarkan Gambar 17, dapat terlihat penyebaran laju erosi permukaan
DTA Jeneberang Hulu setiap sel sebesar 0 – 520,33 ton/ha dan Tabel 21 dalam
rekapitulasi laju erosi permukaan di berbagai penutupan lahan dapat dilihat bahwa
sel-sel yang mempunyai laju erosi permukaan terkecil terdapat di sel dengan


                                       33
penutupan lahan berupa hutan 0,60 ton/ha. Sedangkan sel-sel dengan penutupan
lahan berupa tegalan/ladang mempunyai laju erosi permukaan yang sangat besar.
Sehingga dengan besarnya erosi harian dalam kurun waktu setahun yang terjadi
sebesar 1011,80 ton/ha/tahun, maka tingkat bahaya erosi yang terjadi di DTA
Jeneberang Hulu dikategorikan sangat berat. Hal ini dikarenakan tingkat bahaya
erosinya tergolong dalam kelas erosi lima (> 480 ton/ha/tahun) dan telah melebihi
batas toleransi erosi yang diperbolehkan (tolerable soil erosion) terjadi di DTA
Jeneberang Hulu sebesar 180 ton/ha/tahun (kelas erosi tiga).
     Sebaran ruang sedimen total akibat kejadian hujan 31,66 mm/hari dalam
bentuk spasial disajikan dalam Gambar di bawah ini.




        Gambar 19 Peta penyebaran sedimen total DTA Jeneberang Hulu.
Tabel 22 Rekapitulasi sedimen total di berbagai penutupan lahan




     Berdasarkan Gambar 18, dapat terlihat penyebaran sedimen total DTA
Jeneberang Hulu setiap sel sebesar 0 – 16332,86 ton dan Tabel 22 dalam
rekapitulasi sedimen total di berbagai penutupan lahan dapat dilihat bahwa sel-sel
yang mempunyai sedimen total terkecil terdapat di sel dengan penutupan lahan


                                        34
berupa pemukiman, karena tidak adanya saluran sungai dan jumlahnya relative
sedikit. Sedangkan sel-sel dengan penutupan lahan berupa tegalan/lading
mempunyai sedimen yang besar. Sedimen total semakin besar di sel-sel yang
terdapat aliran sungai. Semakin ke hilir/menuju outlet, sedimen total di sel yang
mempunyai saluran sungai semakin meningkat.
     Untuk mengetahui apakah hasil prediksi model sama dengan hasil
pengamatan, maka dilakukan uji validasi. Model divalidasi dengan curah hujan
harian rata-rata selama 5 tahun (366 kejadian hujan). Uji validasi model dilakukan
dengan membandingkan debit puncak (Qp) keluaran model dengan debit puncak
hasil pengamatan dan membandingkan laju sedimentasi (Qs) keluaran model
dengan laju sedimentasi pengamatan.
     Dari hasil analisis korelasi dan regresi, diperoleh nilai korelasi (r) dari debit
puncak model (QpMod) terhadap debit puncak pengukuran di lapangan (QpLap)
sebesar 0,894. Sedangkan persamaan regresi dinyatakan sebagai berikut :
                              QpLap = 1,734 Qp Mod0,679
     Persamaan ini memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 79,8 %
dengan faktor koreksi sebesar 1,75. Hal ini menunjukkan bahwa debit puncak
model (QpMod) dengan debit puncak pengukuran di lapangan (QpLap) memiliki
hubungan keeratan 79,8 %, sehingga debit puncak model (QpMod) dapat
mewakili dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya di lapangan serta dapat
digunakan untuk menduga nilai debit puncak lapangan dalam simulasi
penggunaan lahan. Sama halnya dengan hasil analisis korelasi dan regresi laju
sedimentasi model (QsMod) dengan laju sedimentasi pengukuran di lapangan
(QsLap) memiliki nilai korelasi sebesar 0,726. Sedangkan persamaan regresi
dinyatakan sebagai berikut:
                              QsLap = 1,698 QsMod0,382
     Persamaan ini memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 77,4 %
dengan faktor koreksi sebesar 9,30. Hal ini menunjukkan bahwa laju sedimentasi
model (QsMod) dengan laju sedimentasi pengukuran di lapangan (QsLap)
memiliki hubungan keeratan 77,4 %, sehingga laju sedimentasi model (QsMod)
dapat mewakili dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya di lapangan serta dapat


                                         35
digunakan untuk menduga nilai laju sedimentasi lapangan dalam simulasi
penggunaan lahan.
     Simulasi dilakukan untuk memberikan alternatif dalam pemanfaatan lahan
seoptimal mungkin dalam mereduksi/mengurangi besarnya aliran permukaan, laju
erosi, dan sedimentasi di DTA Jeneberang Hulu. Salah satu alternatif tersebut
yaitu dengan melakukan perubahan penggunaan lahan dan menerapkan tindakan
konservasi tanah dan air (KTA) di lahan yang mempunyai aliran permukaan, laju
erosi, dan sedimentasi yang tinggi (tegalan/ladang) dan lahan yang mempunyai
produktifitas yang rendah (semak belukar). Total luas penutupan lahan di DTA
Jeneberang Hulu yang berupa tegalan/ladang dan semak belukar adalah 2768 ha
atau 40,9 % dari luas total DTA Jeneberang Hulu.
     Berdasarkan kondisi tersebut dan kaitannya dengan upaya penerapan model
dalam perencanaan pemanfaatan lahan di DTA Jeneberang Hulu, maka pada
penelitian ini dilakukan 4 skenario penggunaan lahan di tegalan dan semak
belukar yang berbeda. Pada skenario-skenario tersebut dilakukan perubahan pada
parameter penggunaan lahan dan melakukan tindakan konservasi pada lahanlahan
tersebut. Sedangkan parameter tanah diasumsikan tidak mengalami perubahan.
Dasar pemikiran skenario-skenario tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa
penutupan lahan yang akan disimulasikan dapat dipertahankan keberadaanya
hingga puluhan tahun dan memperbaiki kondisi DTA Jeneberang Hulu dalam hal
mengurangi aliran permukaan, laju erosi, dan sedimentasi.
1. Skenario I
     Berdasarkan dengan sebaran ruang penggunaan lahan hasil skenario I,
diperoleh hasil simulasi model pendugaan lapangan dalam Tabel 23 dengan
menggunakan curah hujan rata-rata tahunan, diperoleh besarnya debit puncak
aliran permukaan di outlet sebesar 41,04 m3/detik/tahun, laju erosi permukaan
sebesar 348,6 ton/ha/tahun dan laju sedimentasi sebesar 18,24 ton/ha/tahun. Hasil
simulasi menunjukkan debit puncak aliran permukaan berkurang 81,26 %, laju
erosi permukaan di outlet berkurang 79,43 %, dan laju sedimentasi berkurang
75,18 % dari nilai awal sebelum dilakukan simulasi. Nisbah pelepasan sedimen
(NPS) dalam skenario I sebesar 5,23 %, dimana nilai tersebut menunjukkan


                                       36
sebanyak 5,23 % dari total erosi yang terjadi di DTA tersebut sampai ke saluran
sungai dan menjadi sedimen sedangkan sisanya mengendap di tempat lain.
     Tabel 23 Hasil simulasi skenario I keluaran model




     Berdasarkan hasil tersebut di atas, skenario I kurang efektif untuk
diterapkan karena nilai laju erosi permukaan yang dihasilkan berdasarkan kelas
tingkat bahaya erosi masih tergolong kelas erosi empat dengan kategori berat
hingga sangat berat (180-480 ton/ha/tahun). Untuk penerapan hasil simulasi,
diusahakan agar tidak melebihi batas nilai erosi yang diperbolehkan (tolerable
soil erosion) terjadi sebesar <180 ton/ha/tahun. Sehingga masih membahayakan
kawasan yang berada di sekitarnya.
2. Skenario II
     Berdasarkan dengan sebaran ruang penggunaan lahan hasil skenario II,
diperoleh hasil simulasi model seperti disajikan dalam Tabel 24, yaitu besarnya
debit puncak aliran permukaan di outlet sebesar 41,04 m3/detik/tahun, laju erosi
permukaan sebesar 134,76 ton/ha/tahun dan laju sedimentasi sebesar 16,20 ton/ha/
tahun. Debit puncak aliran permukaan berkurang 81,26 %, besarnya laju erosi
permukaan di outlet berkurang 92,05 %, dan laju sedimentasi berkurang 77,95 %
dari nilai awal sebelum dilakukan simulasi. Nisbah pelepasan sedimen (NPS)
dalam skenario II sebesar 12,02 %, dimana nilai tersebut menunjukkan sebanyak
12,02 % dari total erosi yang terjadi di DTA tersebut sampai ke saluran sungai
dan menjadi sedimen sedangkan sisanya mengendap di tempat lain.
Tabel 24 Hasil simulasi skenario II keluaran model




     Berdasarkan data dalam Tabel di atas, simulasi untuk skenario II efektif
untuk diterapkan karena nilai laju erosi permukaan yang dihasilkan berdasarkan

                                       37
kelas tingkat bahaya erosi tergolong kelas erosi tiga dengan kategori sedang
(60-180 ton/ha/tahun). Untuk penerapan hasil simulasi tersebut, dapat dilakukan
karena nilai laju erosi permukaannya tidak melebihi batas nilai erosi yang
diperbolehkan (tolerable soil erosion) terjadi sebesar < 180 ton/ha/tahun.
Sehingga kawasan yang berada di sekitar terjadinya erosi tidak membahayakan.
3. Skenario III
     Berdasarkan sebaran ruang penggunaan lahan hasil skenario III, diperoleh
hasil simulasi model (Tabel 25) yaitu besarnya debit puncak aliran permukaan di
outlet sebesar 41,04 m3/detik/tahun, laju erosi permukaan sebesar 239,04
ton/ha/tahun dan laju sedimentasi sebesar 14,04 ton/ha/tahun. Debit puncak aliran
permukaan berkurang 81,26 %, besarnya laju erosi permukaan di outlet berkurang
85,90 %, dan laju sedimentasi berkurang 80,89 % dari nilai awal sebelum
dilakukan simulasi. Nisbah pelepasan sedimen (NPS) dalam skenario III sebesar
5,87 %, dimana nilai tersebut menunjukkan sebanyak 5,87 % dari total erosi yang
terjadi di DTA tersebut sampai ke saluran sungai dan menjadi sedimen sedangkan
sisanya mengendap di tempat lain.
Tabel 25 Hasil simulasi skenario III keluaran model AGNPS




     Berdasarkan data di atas, simulasi untuk skenario III tidak berbeda jauh
dengan skenario I, dimana hasilnya kurang efektif untuk diterapkan karena nilai
laju erosi permukaan yang dihasilkan berdasarkan kelas tingkat bahaya erosi
masih tergolong kelas erosi empat dengan kategori berat hingga sangat berat (180-
480 ton/ha/tahun). Begitupun dengan nilai erosi yang diperbolehkan (tolerable
soil erosion) terjadi melebihi dari batas nilai yang diperbolehkan terjadi sebesar
180 ton/ha/tahun. Sehingga masih membahayakan kawasan yang berada di
sekitarnya.
4. Skenario IV
     Berdasarkan sebaran ruang penggunaan lahan hasil skenario IV, diperoleh
hasil simulasi model (Tabel 26), yaitu besarnya debit puncak aliran permukaan di


                                       38
outlet sebesar 18,47 m3/detik/tahun, laju erosi permukaan sebesar 111,60
ton/ha/tahun dan laju sedimentasi sebesar 8,40 ton/ha/tahun. Debit puncak aliran
permukaan berkurang 91,57 %, laju erosi permukaan di outlet berkurang 93,42 %,
dan laju sedimentasi berkurang 88,57 % dari nilai awal sebelum dilakukan
simulasi. Nisbah pelepasan sedimen (NPS) dalam skenario IV sebesar 7,53 %,
dimana nilai tersebut menunjukkan sebanyak 7,53 % dari total erosi yang terjadi
di DTA tersebut sampai ke saluran sungai dan menjadi sedimen sedangkan
sisanya mengendap di tempat lain.
Tabel 26 Hasil simulasi skenario IV keluaran model




      Berdasarkan data di atas, simulasi untuk skenario IV memberikan hasil
terbaik karena nilai laju erosi permukaan yang dihasilkan berdasarkan kelas
tingkat bahaya erosi masih tergolong kelas erosi tiga dengan kategori sedang (60-
180 ton/ha/tahun). Begitupun dengan nilai erosi yang diperbolehkan (tolerable
soil erosion) terjadi tidak melebihi dari batas nilai yang diperbolehkan terjadi
sebesar 180 ton/ha/tahun. Sehingga nilai persentase pengurangannya lebih tinggi
dari skenario I, II, dan III serta sangat efektif untuk diterapkan karena nilai debit
puncak aliran permukaan, laju erosi permukaan, dan laju sedimentasi mengalami
penurunan yang besar. Apabila hutan alam yang dahulunya sudah ada dan tidak
ditebang oleh masyarakat untuk dijadikan ladang, maka fungsinya akan lebih baik
sebagai kawasan lindung khususnya untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi (longsor), dan sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan masyarakat. Namun, apabila dilihat dari segi waktu dan efisiensinya
skenario IV membutuhkan waktu sangat lama untuk terbangunnya hutan alam
hingga ratusan atau ribuan tahun.
      Alternatif   terbaik   dalam     mengubah     pemanfaatan      lahan    berupa
tegalan/ladang dan semak belukar adalah penerapan skenario II yang mengarah ke
skenario IV. Pemanfaatan lahan tegalan dan semak belukar di daerah hulu DTA
yang dapat membentuk penutupan lahan berupa vegetasi yang serupa dengan


                                         39
hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur tebang pilih dan di
daerah bawahnya (mendekati outlet) berupa kebun campuran dengan sistem
agroforestry sangat efektif dalam memperbaiki kondisi DTA Jeneberang Hulu
dari segi hidrologi maupun mengurangi laju erosi dan laju sedimentasi.
     Pembangunan lahan tegalan dan semak belukar untuk tewujudnya
penutupan lahan seperti pada skenario II dapat dilakukan dengan menerapkan
kombinasi sipil teknis (terasering) dengan penanaman tumbuhan penutup lahan
(cover crops) dan tahunan (pohon-pohon). Tumbuhan penutup lahan dan pohon
tahunan ditanam sedemikian rupa, sehingga pada saat tertentu dapat
menggantikan fungsi bangunan sipil teknis. Penggunaan lahan ini diusahakan
dengan meminimalkan gangguan sehingga dapat mengarah pada terbentuknya
formasi vegetasi seperti formasi hutan sekunder dan hutan alam.
     Untuk realisasi penerapan teknik konservasi tanah dan air menggunakan
teras tradisional dalam penggunaan lahan kebun campuran (agroforestry), perlu
adanya kerjasama antara pihak masyarakat dengan pihak pemerintah untuk lebih
memperhatikan tekniknya yang sesuai dengan kondisi biofisik. Sehingga bencana
banjir dan longsor di DTA Jeneberang Hulu dapat teratasi dan diminimalisir serta
mengurangi pendangkalan di saluran sungai dan di Bendungan Serbaguna Bili-bili
oleh tumpukan sedimen yang berupa pasir.




                                       40
IV.    KESIMPULAN

1. Model AGNPS dengan parameter input menggunakan data yang relative
   tersedia di Indonesia (hujan harian dan data sekunder fisik DAS) dalam
   menduga laju erosi, sedimentasi, dan debit puncak memberikan hasil lebih
   rendah dari data pengukuran lapangan (under estimation) sehingga
   memerlukan faktor koreksi.
2. Faktor koreksi untuk kasus DTA Jeneberang Hulu dapat menggunakan
   persamaan QpLap = 1,734 QpMod0,679, QsLap = 1,698 QsMod0,382.
3. Pemanfaatan lahan yang optimal dalam mengurangi debit puncak aliran
   permukaan, laju erosi permukaan, dan laju sedimentasi adalah dengan
   mempertahankan penggunan lahan yang ada sekarang kecuali tegalan dan
   semak belukar perlu dirubah kedalam bentuk penggunaan lahan yang
   menyerupai hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur
   tebang pilih atau hutan alam tidak terganggu di bagian hulu, sedangkan di
   bagian bawah yang relatif lebih datar menerapkan kebun campuran dengan
   sistem agroforestry.




                                    41

More Related Content

What's hot

4. metode konservasi tanah & air
4. metode konservasi tanah & air4. metode konservasi tanah & air
4. metode konservasi tanah & airdenotsudiana
 
Pengantar evaluasi lahan
Pengantar evaluasi lahanPengantar evaluasi lahan
Pengantar evaluasi lahanAqyu DenganMyu
 
05 hubungan air, tanah dan tanaman
05   hubungan air, tanah dan tanaman05   hubungan air, tanah dan tanaman
05 hubungan air, tanah dan tanamanKharistya Amaru
 
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografis (SIG)
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografis (SIG)Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografis (SIG)
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografis (SIG)Ahmad Dani
 
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah HidrologiMateri Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah HidrologiNurul Afdal Haris
 
Laporan Praktikum TI Semester 1: Digitasi Peta dg ArcGIS
Laporan Praktikum TI Semester 1: Digitasi Peta dg ArcGISLaporan Praktikum TI Semester 1: Digitasi Peta dg ArcGIS
Laporan Praktikum TI Semester 1: Digitasi Peta dg ArcGISLaras Kun Rahmanti Putri
 
Acara Perencanaan Sistem Teras.pdf
Acara Perencanaan Sistem Teras.pdfAcara Perencanaan Sistem Teras.pdf
Acara Perencanaan Sistem Teras.pdfZhafronsyaAlfarijNur
 
Mekanisme transportasi sedimen
Mekanisme transportasi sedimenMekanisme transportasi sedimen
Mekanisme transportasi sedimenNurIsniati
 
Praktikum Geomorfologi + software
Praktikum Geomorfologi + softwarePraktikum Geomorfologi + software
Praktikum Geomorfologi + softwareJihad Brahmantyo
 
KONSERVASI TANAH DAN AIR
KONSERVASI TANAH DAN AIRKONSERVASI TANAH DAN AIR
KONSERVASI TANAH DAN AIREDIS BLOG
 
Keterkaitan Sifat Fisika Kimia Biologi Tanah
Keterkaitan Sifat Fisika Kimia Biologi TanahKeterkaitan Sifat Fisika Kimia Biologi Tanah
Keterkaitan Sifat Fisika Kimia Biologi TanahFeisal Rachman Soedibja
 
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )Helmas Tanjung
 

What's hot (20)

4. metode konservasi tanah & air
4. metode konservasi tanah & air4. metode konservasi tanah & air
4. metode konservasi tanah & air
 
DIGITASI
DIGITASIDIGITASI
DIGITASI
 
Bentuk asal fluvial
Bentuk asal fluvialBentuk asal fluvial
Bentuk asal fluvial
 
Pengantar evaluasi lahan
Pengantar evaluasi lahanPengantar evaluasi lahan
Pengantar evaluasi lahan
 
Dasar Ilmu Tanah
Dasar Ilmu TanahDasar Ilmu Tanah
Dasar Ilmu Tanah
 
05 hubungan air, tanah dan tanaman
05   hubungan air, tanah dan tanaman05   hubungan air, tanah dan tanaman
05 hubungan air, tanah dan tanaman
 
Kesuburan tanah
Kesuburan tanahKesuburan tanah
Kesuburan tanah
 
Pengenalan ArcMap
Pengenalan ArcMapPengenalan ArcMap
Pengenalan ArcMap
 
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografis (SIG)
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografis (SIG)Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografis (SIG)
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografis (SIG)
 
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah HidrologiMateri Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
 
Laporan Praktikum TI Semester 1: Digitasi Peta dg ArcGIS
Laporan Praktikum TI Semester 1: Digitasi Peta dg ArcGISLaporan Praktikum TI Semester 1: Digitasi Peta dg ArcGIS
Laporan Praktikum TI Semester 1: Digitasi Peta dg ArcGIS
 
Acara Perencanaan Sistem Teras.pdf
Acara Perencanaan Sistem Teras.pdfAcara Perencanaan Sistem Teras.pdf
Acara Perencanaan Sistem Teras.pdf
 
Mekanisme transportasi sedimen
Mekanisme transportasi sedimenMekanisme transportasi sedimen
Mekanisme transportasi sedimen
 
Bab 7: Pemetaan dengan Kompas
Bab 7:   Pemetaan dengan KompasBab 7:   Pemetaan dengan Kompas
Bab 7: Pemetaan dengan Kompas
 
Erosi
ErosiErosi
Erosi
 
Praktikum Geomorfologi + software
Praktikum Geomorfologi + softwarePraktikum Geomorfologi + software
Praktikum Geomorfologi + software
 
KONSERVASI TANAH DAN AIR
KONSERVASI TANAH DAN AIRKONSERVASI TANAH DAN AIR
KONSERVASI TANAH DAN AIR
 
Keterkaitan Sifat Fisika Kimia Biologi Tanah
Keterkaitan Sifat Fisika Kimia Biologi TanahKeterkaitan Sifat Fisika Kimia Biologi Tanah
Keterkaitan Sifat Fisika Kimia Biologi Tanah
 
Sifat Biologi Tanah PPT
Sifat Biologi Tanah PPTSifat Biologi Tanah PPT
Sifat Biologi Tanah PPT
 
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )
 

Similar to Model AGNPS

Teknik pengawetan tanah dan air
Teknik pengawetan tanah dan airTeknik pengawetan tanah dan air
Teknik pengawetan tanah dan airHelmas Tanjung
 
Model Konservasi Tanah dan Air oleh Helmas
Model Konservasi Tanah dan Air oleh HelmasModel Konservasi Tanah dan Air oleh Helmas
Model Konservasi Tanah dan Air oleh HelmasHelmas Tanjung
 
OLAN (PPT AHLI MADYA TEKNIK SUMBERDAYA AIR).ppt
OLAN (PPT AHLI MADYA TEKNIK SUMBERDAYA AIR).pptOLAN (PPT AHLI MADYA TEKNIK SUMBERDAYA AIR).ppt
OLAN (PPT AHLI MADYA TEKNIK SUMBERDAYA AIR).pptAuchyWijaya
 
Penyaliran Tambang
Penyaliran TambangPenyaliran Tambang
Penyaliran Tambangheny novi
 
Geologi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Geologi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)Geologi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Geologi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)Dasapta Erwin Irawan
 
Model Pengaruh Ketersediaan Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kelapa Sawit
Model Pengaruh Ketersediaan Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kelapa SawitModel Pengaruh Ketersediaan Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kelapa Sawit
Model Pengaruh Ketersediaan Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kelapa SawitEdizonJambormias2
 
Pertemuan ke 3 - Drainase Permukaan.pptx
Pertemuan ke 3 - Drainase Permukaan.pptxPertemuan ke 3 - Drainase Permukaan.pptx
Pertemuan ke 3 - Drainase Permukaan.pptxPIPITSPP1
 
Penerapan indraaja
Penerapan indraajaPenerapan indraaja
Penerapan indraajaKoko Harnoko
 
Topik 9 Kuliah-drainase permukaan-dkk
Topik 9 Kuliah-drainase permukaan-dkkTopik 9 Kuliah-drainase permukaan-dkk
Topik 9 Kuliah-drainase permukaan-dkkDedi Kusnadi Kalsim
 
375889254-Contoh-PPT-Seminar-Proposal.pptx
375889254-Contoh-PPT-Seminar-Proposal.pptx375889254-Contoh-PPT-Seminar-Proposal.pptx
375889254-Contoh-PPT-Seminar-Proposal.pptxseptiakusumaningrum1
 
Model aliran air tanah untuk memprediksi penyebaran
Model aliran air tanah untuk memprediksi penyebaran Model aliran air tanah untuk memprediksi penyebaran
Model aliran air tanah untuk memprediksi penyebaran Azmi Zouma
 
W-06_Hydrometry_of-River.pptx
W-06_Hydrometry_of-River.pptxW-06_Hydrometry_of-River.pptx
W-06_Hydrometry_of-River.pptxJassieNagisa
 
ba4cb_Modul_2__SURVAI_LAPANGAN__99_hal_ (1).ppt
ba4cb_Modul_2__SURVAI_LAPANGAN__99_hal_ (1).pptba4cb_Modul_2__SURVAI_LAPANGAN__99_hal_ (1).ppt
ba4cb_Modul_2__SURVAI_LAPANGAN__99_hal_ (1).pptmektanugj
 

Similar to Model AGNPS (20)

Teknik pengawetan tanah dan air
Teknik pengawetan tanah dan airTeknik pengawetan tanah dan air
Teknik pengawetan tanah dan air
 
Model Konservasi Tanah dan Air oleh Helmas
Model Konservasi Tanah dan Air oleh HelmasModel Konservasi Tanah dan Air oleh Helmas
Model Konservasi Tanah dan Air oleh Helmas
 
OLAN (PPT AHLI MADYA TEKNIK SUMBERDAYA AIR).ppt
OLAN (PPT AHLI MADYA TEKNIK SUMBERDAYA AIR).pptOLAN (PPT AHLI MADYA TEKNIK SUMBERDAYA AIR).ppt
OLAN (PPT AHLI MADYA TEKNIK SUMBERDAYA AIR).ppt
 
DRAINASE (1).ppt
DRAINASE (1).pptDRAINASE (1).ppt
DRAINASE (1).ppt
 
Penyaliran Tambang
Penyaliran TambangPenyaliran Tambang
Penyaliran Tambang
 
Geologi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Geologi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)Geologi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Geologi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
 
Model Pengaruh Ketersediaan Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kelapa Sawit
Model Pengaruh Ketersediaan Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kelapa SawitModel Pengaruh Ketersediaan Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kelapa Sawit
Model Pengaruh Ketersediaan Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kelapa Sawit
 
Pertemuan ke 3 - Drainase Permukaan.pptx
Pertemuan ke 3 - Drainase Permukaan.pptxPertemuan ke 3 - Drainase Permukaan.pptx
Pertemuan ke 3 - Drainase Permukaan.pptx
 
Erosi_dan_sedimentasi.pptx
Erosi_dan_sedimentasi.pptxErosi_dan_sedimentasi.pptx
Erosi_dan_sedimentasi.pptx
 
Laporan q
Laporan qLaporan q
Laporan q
 
Journal lahan basah
Journal lahan basahJournal lahan basah
Journal lahan basah
 
Penerapan indraaja
Penerapan indraajaPenerapan indraaja
Penerapan indraaja
 
Topik 9 Kuliah-drainase permukaan-dkk
Topik 9 Kuliah-drainase permukaan-dkkTopik 9 Kuliah-drainase permukaan-dkk
Topik 9 Kuliah-drainase permukaan-dkk
 
375889254-Contoh-PPT-Seminar-Proposal.pptx
375889254-Contoh-PPT-Seminar-Proposal.pptx375889254-Contoh-PPT-Seminar-Proposal.pptx
375889254-Contoh-PPT-Seminar-Proposal.pptx
 
Makalah_44 Metode matriks klasifikasi kemampuan lahan
Makalah_44 Metode matriks klasifikasi kemampuan lahanMakalah_44 Metode matriks klasifikasi kemampuan lahan
Makalah_44 Metode matriks klasifikasi kemampuan lahan
 
Model aliran air tanah untuk memprediksi penyebaran
Model aliran air tanah untuk memprediksi penyebaran Model aliran air tanah untuk memprediksi penyebaran
Model aliran air tanah untuk memprediksi penyebaran
 
Jurnal
JurnalJurnal
Jurnal
 
Presentasi Rosma
Presentasi RosmaPresentasi Rosma
Presentasi Rosma
 
W-06_Hydrometry_of-River.pptx
W-06_Hydrometry_of-River.pptxW-06_Hydrometry_of-River.pptx
W-06_Hydrometry_of-River.pptx
 
ba4cb_Modul_2__SURVAI_LAPANGAN__99_hal_ (1).ppt
ba4cb_Modul_2__SURVAI_LAPANGAN__99_hal_ (1).pptba4cb_Modul_2__SURVAI_LAPANGAN__99_hal_ (1).ppt
ba4cb_Modul_2__SURVAI_LAPANGAN__99_hal_ (1).ppt
 

More from Helmas Tanjung

Rancang bangun kolektor surya
 Rancang bangun kolektor surya Rancang bangun kolektor surya
Rancang bangun kolektor suryaHelmas Tanjung
 
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )Helmas Tanjung
 
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )Helmas Tanjung
 
Pengolahan Dan Klasifikasi Lahan Oleh Nurul Aulia (A1H009058)
Pengolahan Dan Klasifikasi Lahan Oleh Nurul Aulia (A1H009058)Pengolahan Dan Klasifikasi Lahan Oleh Nurul Aulia (A1H009058)
Pengolahan Dan Klasifikasi Lahan Oleh Nurul Aulia (A1H009058)Helmas Tanjung
 
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )Helmas Tanjung
 
Persentasi alat tanam benih (seeder)
Persentasi alat tanam benih (seeder)Persentasi alat tanam benih (seeder)
Persentasi alat tanam benih (seeder)Helmas Tanjung
 

More from Helmas Tanjung (6)

Rancang bangun kolektor surya
 Rancang bangun kolektor surya Rancang bangun kolektor surya
Rancang bangun kolektor surya
 
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )
 
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )
Menetukan Laju Erosi oleh Karina Dwidha P. ( A1H009043 )
 
Pengolahan Dan Klasifikasi Lahan Oleh Nurul Aulia (A1H009058)
Pengolahan Dan Klasifikasi Lahan Oleh Nurul Aulia (A1H009058)Pengolahan Dan Klasifikasi Lahan Oleh Nurul Aulia (A1H009058)
Pengolahan Dan Klasifikasi Lahan Oleh Nurul Aulia (A1H009058)
 
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )
Tanah Longsor oleh BAYYINATUN NABILAH ( A1H009006 )
 
Persentasi alat tanam benih (seeder)
Persentasi alat tanam benih (seeder)Persentasi alat tanam benih (seeder)
Persentasi alat tanam benih (seeder)
 

Model AGNPS

  • 1. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Erosi tanah didefenisikan sebagai suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain, baik disebabkan oleh pergerakan air, angin, dan es. Di daerah tropis seperti Indonesia, erosi terutama disebabkan oleh air hujan (Rahim 2003). Menurut Arsyad (2000), erosi terjadi akibat interaksi kerja antara faktor iklim, topografi, tanah, vegetasi, dan manusia. Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah intensitas curah hujan. Kecuraman dan panjang lereng merupakan faktor topografi yang berpengaruh terhadap debit dan kadar lumpur. Faktor tanah yang mempengaruhi erosi dan sedimentasi yang terjadi adalah: luas jenis tanah yang peka terhadap erosi, luas lahan kritis atau daerah erosi dan luas tanah berkedalaman rendah. Untuk mengurangi laju erosi, sedimentasi, dan debit banjir (puncak) diperlukan upaya penanggulangan, salah satunya melalui penggunaan lahan secara optimal dalam mereduksi laju erosi, sedimentasi, dan debit puncak. AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model) merupakan salah satu model terdistribusi yang dapat memprediksi aliran permukaan (banjir), erosi, dan sedimentasi dengan hasil yang baik (Galuda 1996) dan dapat digunakan untuk melakukan simulasi penggunaan lahan yang optimal dalam mengurangi laju erosi, sedimentasi, dan debit puncak. Dalam menganalisis menggunakan model AGNPS diperlukan parameter-parameter masukan model, meliputi masukan data curah hujan jangka pendek dan parameter biofisik. B. Tujuan 1. Mengetahui penggunaan model AGNPS sebagai model konservasi tanah dan air. 2. Mengetahui pendugaan erosi melalui model AGNPS di DTA Jeneberang Hulu Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. 1
  • 2. II. TINJAUAN PUSTAKA a. Model AGNPS 2
  • 3. Model AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution Model), dikembangkan oleh Robert A. Young (1987) di North Central Soil Conservation Research Laboratory, USDA-Agricultural Research Service, Morris, Minnesota. Model ini merupakan sebuah program simulasi komputer untuk menganalisi limpasan, erosi, sedimen, perpindahan hara dari pemupukan (Nitrogen dan Phosfor) dan Chemical Oksigen Demand (COD) pada suatu areal. Model AGNPS merupakan model terdistribusi dengan kejadian hujan tunggal (Wulandary 2004 dalam Sutiyono 2006). Pada model AGNPS karateristik DAS digambarkan dalam tingkatan sel. Setiap sel mempunyai ukuran 2,5 acre (1,01 ha) hingga 40 acre (16,19 ha). Setiap sel dibagi-bagi menjadi sel-sel yang lebih kecil untuk memperoleh resolusi yang lebih rinci. Ukuran sel lebih kecil dari 10 acre direkomendasikan untuk DAS dengan luas kurang dari 2000 acre (810 ha), sedangkan untuk DAS yang luasannya lebih dari 2000 acre maka ukuran sel dapat berukuran 40 acre (Young et al. 1990). Menurut Pawitan (1998) dalam Salwati (2004), model AGNPS merupakan gabungan antar model terdistribusi (distributed) dan model sequential. Sebagai model terdistribusi penyelesaian persamaan keseimbangan massa dilakukan secara serempak untuk semua sel. Sedangkan model sequential, air dan cemaran di telusuri dalam rangkaian aliran di permukaan lahan dan di saluran secara berurutan. Kelebihan dari model AGNPS ini adalah : 1) memberikan hasil berupa aliran permukaan, erosi, sedimentasi dan unsur-unsur hara yang terbawa dalam aliran permukaan, 2) membuat skenario perubahan penggunaan lahan, 3) menganalisis parameter yang digunakan untuk memberikan simulasi yang akurat terhadap sifat-sifat DAS. Adapun kelemahan dari model AGNPS ini adalah : 1) pendugaan aliran permukaan model tidak mengeluarkan output dalam bentuk hidrograf, sehingga perbandingan antara hidrograf hasil prediksi dengan hidrograf hasil pengukuran tidak bisa diperlihatkan, 2) waktu respon yang merupakan indikator untuk menentukan kondisi biofisik DAS tidak dinyatakan dalam keluaran model. 3
  • 4. b. Masukan Data Model AGNPS Masukan data dalam model AGNPS terdiri dari data inisial dan data tiap sel. Masukan data berupa data inisial terdiri dari: 1) identitas DAS, 2) deskripsi DAS, 3) luas tiap sel, 4) jumlah sel, 5) curah hujan, dan 6) energi intensitas hujan maximum 30 menit. Sedangkan masukan data tiap sel terdiri dari 21 parameter yakni: 1) nomor sel, 2) nomor sel penerima, 3) arah aliran, 4) bilangan kurva aliran permukaan, 5) kemiringan lereng, 6) faktor bentuk lereng, 7) panjang lereng, 8) kelerengan saluran rata-rata, 9) koefisien kekasaran Manning, 10) faktor erodibilitas tanah, 11) faktor pengolahan tanaman, 12) faktor teknik konservasi tanah, 13) konstanta kondisi permukaan, 14) tekstur tanah, 15) indikator penggunaan pupuk, 16) ketersediaan pupuk pada permukaan tanah, 17) point source indicator 18) sumber erosi tambahan 19) faktor kebutuhan oksigen kimia, 20) indikator impoundment, 21) indikator saluran (Young et al. 1990). c. Keluaran Model AGNPS Keluaran dalam AGNPS dapat berupa keluaran DAS dan keluaran tiap sel. Keluaran DAS berupa : 1) volume aliran permukaan, 2) laju puncak aliran permukaan, dan 3) total hasil sedimen. Sedangkan keluaran tiap sel dapat berupa keluran hidrologi dan keluaran unsur hara. Keluaran hidrologi berupa : 1) volume aliran permukaan, 2) debit puncak aliran permukaan, 3) aliran permukaan tiap sel, 4) hasil sedimen, 5) konsentrasi sedimen, 6) distribusi sedimen tiap partikel, 7) erosi permukan, 8) erosi saluran, 9) jumlah deposisi, 10) nisbah pengayaan, 11) nisbah pelepasan. Keluaran unsur hara berupa: 1) kandungan N dalam sedimen, 2) konsentrasi N, 3) jumlah N dalam aliran permukaan, 4) kandungan P dalam aliran permukaan, 5) konsentrasi P, 6) jumlah P dalam aliran permukaan, 7) konsentrasi COD, dan 8) jumlah COD (Young et al. 1990). d. Persamaan dalam Model AGNPS Beberapa persamaan yang digunakan dalam membangun model adalah Young et al. (1990): 1) Erosi tanah Persamaan yang digunakan adalah persamaan Wischmeier dan Scmith (1978) dalam Young et al. (1990), yaitu : 4
  • 5. E = EI . K . L . S . C . P . SSF keterangan: E = erosi (ton/acre) EI = energi intensitas hujan (feet.ton.inci/acre) K = erodibilitas tanah (ton.acre/acre.feet.ton.inci) L = faktor panjang lereng S = faktor kemiringan lereng C = faktor tanaman P = faktor pengelolaan tanah SSF = faktor bentuk permukaan tanah (seragam = 1, cembung = 1,3 dan cekung = 0,8) 2) Limpasan permukaan Limpasan permukaan dihitung dengan menggunakan persamaan USDA SCS (1972) dalam Young et al. (1990), yaitu: RF = keterangan: RF = run off (inci) RL = hujan (inci) S = faktor penahan tanah = – 10 (CN = Curve Number) 3) Kecepatan aliran untuk limpasan permukaan Vo = 100.5 x log 10 (S1x100)-SSC keterangan: Vo = kecepatan aliran untuk limpasan permukaan (feet/detik) S1 = kemiringan lereng SSC = kondisi penutupan permukaan tanah 4) Kecepatan aliran dalam saluran Vc = . Sc0,5 . Rh0,667 keterangan: Vc = kecepatan aliran dalam saluran (feet/detik) 5
  • 6. Sc = kemiringan saluran Rh = radius hidrolik 5) Debit aliran pada saluran Q = Ac . Vc keterangan: Q = debit (cfs) Ac = potongan melintang saluran (square feet) Vc = kecepatan aliran dalam saluran (feet) 6) Puncak limpasan QP = 8,484 . A0,7 . Sc0,159 . RF0,824 A ^ 0,0166 keterangan: QP = puncak limpasan (cfs) A = luas areal (acre) Sc = kemiringan saluran RF = volume limpasan Lc = panjang saluran (feet) 7) Sedimen Penelusuran sedimen dilakukan melalui pendekatan persamaan pemindahan dan pengendapan (Young et al.1990): Qs (X) = Qs (0) + - keterangan: Qs(X) = debit sedimen di ujung hilir saluran (cfs) Qs(0) = debit sedimen di ujung hulu saluran (cfs) X = jarak lereng bagian bawah (feet) Lr = panjang saluran (feet) D(X) = laju pengendapan sedimen di titik X W = lebar saluran (feet) e. Sistem Informasi Geografis Pada dasarnya, istilah sistem informasi geografis merupakan hubungan dari tiga unsur pokok yaitu: sistem, informasi, dan geografis. Istilah informasi 6
  • 7. geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi, dan informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui (Prahasta 2002). Aronoff (1989) dalam Prahasta (2002), mendefinisikan SIG sebagai sistem yang berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau krisis untuk di analisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi yakni : a) masukan, b) memanajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), c) analisis dan manipulasi data, d) keluaran. SIG dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor komputer sebagaimana lembaran peta dapat mempresentasikan dunia nyata di kertas. Akan tetapi, SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibilitas dari pada lembaran kertas. AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model) merupakan salah satu metode pendugaan yang dapat memprediksi aliran permukaan (banjir), erosi dan dapat digunakan untuk melakukan simulasi penggunaan lahan yang optimal dalam mengurangi laju erosi, sedimentasi, dan debit puncak. Dalam menganalisis menggunakan model AGNPS diperlukan parameter-parameter masukan model meliputi masukan data curah hujan jangka pendek dan parameter biofisik. Pengolahan data spasial dalam input data, manipulasi dan tampilan data model AGNPS serta mengidentifikasi dan memetakan keluaran model AGNPS dapat dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). III. PEMBAHASAN Penelitian yang dilakukan oleh Devianto Tintian Londongsalu, mahasiswa Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor adalah tentang pendugaan erosi, sedimentasi, dan debit puncak pada DTA Jeneberang Hulu Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten 7
  • 8. Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan menggunakan model AGNPS. Penelitian ini bertujuan mengetahui akurasi model AGNPS dalam menduga laju erosi, sedimentasi, dan debit puncak menggunakan parameter input yang tersedia, memperoleh bentuk penggunaan lahan optimal di DTA Jeneberang Hulu terhadap pengurangan laju erosi, sedimentasi, dan debit puncak. Bahan yang digunakan adalah data curah hujan harian, debit harian, sedimen harian selama 11 tahun, peta digital topografi/kontur, peta digital penutupan lahan, peta digital jenis tanah, dan peta digital jaringan sungai. Sedangkan alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan beberapa software, yaitu AGNPS versi 3.65.3, ArcView versi 3.2 + extension, Minitab 14, dan Microsoft Office, alat tulis, alat hitung dan alat penunjang lainnya. Metode penelitian meliputi pengumpulan data dasar berupa peta penutupan lahan, peta kontur, peta jenis tanah, peta jaringan sungai, dan data curah hujan, pengolahan data curah hujan, transformasi proyeksi peta, pembuatan Daerah Tangkapan Air (DTA), pembuatan grid sel model AGNPS, penurunan atribut- atribut DTM, pembangkitan data masukan model AGNPS dengan SIG, pemasukan data ke model AGNPS, analisis keluaran data model AGNPS, pengujian validasi model AGNPS, analisis simulasi dan rekomendasi. Berikut merupakan alur tahapan dari penelitian yang dilakukan, disajikan pada gambar 1. 8
  • 9. Gambar 1. Alur tahapan dari penelitian a. Pengolahan dan Analisis Data Curah Hujan. Dalam pendugaan volume, debit puncak aliran permukaan, erosi dan sedimentasi dengan model AGNPS digunakan curah hujan harian dengan periode ulang selama 25 tahun (Young et al. 1990). Karena keterbatasan data yang tersedia, maka curah hujan yang digunakan merupakan curah hujan harian selama 5 tahun (2001-2005). Curah hujan harian tersebut diperoleh dari data hasil pengukuran ARR (Automatic Rain Recorder) yang diperoleh dari Stasiun Pengamat Aliran Sungai (SPAS) Malino. Hasil keluaran ARR tersebut selanjutnya di kelompokkan berdasarkan harian dalam bulanan (Januari hingga Desember) selama 5 tahun, sehingga diperoleh nilai curah hujan harian rata-rata dalam 12 bulan. Data curah hujan diuji korelasinya dengan debit aliran untuk mengetahui ada-tidaknya hubungan curah hujan dengan debit aliran. Uji korelasi antara curah hujan dengan debit aliran dengan menggunakan analisis regresi: 9
  • 10. Q = a CHb keterangan: Q = debit aliran (m3/detik) CH = curah hujan (mm) a dan b = konstanta Nilai energi hujan intensitas 30 menit untuk pendugaan volume, debit puncak aliran permukaan, besarnya erosi dan sedimentasi diperoleh dengan menggunakan persamaan Bols (1978) dalam Usmadi (2006), yaitu: EI30 = keterangan: EI30 = energi hujan intensitas selama 30 menit R = curah hujan harian (inches) b. Transformasi Proyeksi Peta Penyeragaman proyeksi semua peta harus dilakukan agar data spasial dari semua peta dapat di overlay dan di analisis. Proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah UTM (Universal Transverse Mercator) dengan datum WGS 84 dan zone 50. Transformasi proyeksi peta dilakukan dengan menggunakan software ArcView versi 3.2 dengan extension Projection Utility Wizard. c. Pembuatan Daerah Tangkapan Air Pembuatan daerah tangkapan air (DTA) dilakukan menggunakan software ArcView versi 3.2. Tahapan pembuatan DTA sebagai berikut: 1. Melakukan penggabungan peta kontur terhadap dua sub DAS yang berbeda, penggabungan tersebut menggunakan extention Geoprocessing Wizard. Hal tersebut memungkinkan dalam pembentukan DTA yang berada di dua lokasi sub DAS yang berbeda. 2. Membuat TIN (Triangulated Irregular Network) dari peta kontur hasil proses penggabungan. Pembuatan TIN dilakukan dengan menggunakan extension Spatial Analyst. 3. Selanjutnya TIN tersebut dilakukan gridding (convert to grid), sehingga diperoleh model elevasi digital (DEM/Digital Elevation Model). 10
  • 11. 4. DEM yang telah terbentuk selanjutnya dibuat DTA dengan outlet berupa pertemuan antar sungai di Sub DAS Jeneberang. Pembuatan DTA dilakukan dengan menggunakan extension AV-SWAT 2000 (Sumardi 2007). Penentuan outlet hasil model dari AV-SWAT diusahakan berada di tepat posisi Stasiun Pengamat Aliran Sungai (SPAS) atau berada di sekitar/berdekatan dengan lokasi SPAS. 5. Secara otomatis hasil model akan menunjukkan DTA dengan luasan tertentu beserta dengan sungai yang terbentuk dari hasil model. d. Pembuatan Grid Sel Model AGNPS Tahapan dalam pembuatan grid sel model AGNPS menggunakan software ArcView versi 3.2, yaitu : 1. DTA yang telah terbentuk, di overlay dengan peta kontur untuk mendapatkan peta kontur seluas DTA. 2. Membuat TIN (Triangulated Irregular Network) dari peta kontur seluas DTA. Pembuatan TIN dilakukan dengan menggunakan extension Spatial Analyst. 3. Selanjutnya TIN tersebut dilakukan gridding (convert to grid) dengan ukuran grid 400 x 400 meter, sehingga diperoleh model elevasi digital (DEM/Digital Elevation Model) dalam bentuk grid. Penentuan ukuran grid didasarkan pada luas DTA dan luas maksimum model AGNPS. Luas DTA yang terbentuk memiliki ukuran grid maksimum yang diperbolehkan dalam model AGNPS sebesar 40 acre (16,91 ha). 4. DTA yang telah berbentuk grid selanjutnya diubah ke dalam bentuk point dengan menggunakan extension Hydrologic Modelling v 1.1 (pour points as point shape). Hasil dari proses tersebut disimpan dalam bentuk shapefile, sehingga DTA menjadi grid-grid sel. 5. Pembentukan DTA dari hasil TIN akan membuat DTA semakin bertambah luas. Oleh karena itu, dilakukan proses penghapusan grid yang tidak termasuk ke dalam luasan DTA yang sebenarnya. Hasil dari penghapusan tersebut mengakibatkan nomor grid menjadi tidak teratur. Oleh karena itu, perlu dilakukan kembali perubahan ke dalam bentuk point sehingga DTA menjadi grid-grid seluas dengan DTA yang sebenarnya. 11
  • 12. 6. Hasil akhir grid DTA dilakukan penomoran berurutan dari kiri ke kanan dan mulai dari atas ke bawah dengan ketentuan penomoran grid pada model AGNPS. e. Penurunan Atribut-atribut DTM Proses pemodelan SIG ini diawali dengan membuat sebuah analisis permukaan yang biasa disebut Digital Terrain Model (DTM). Analisis permukaan diperlukan karena informasi tambahan dapat diperoleh dengan pembuatan data baru melalui Digital Elevation Model (DEM). Data elevasi biasa juga disebut Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM) ataupun peta kontur. Data ini bisa didapatkan dengan memetakan permukaan bumi, dengan cara survei lapangan atau interpretasi dan pengolahan citra satelit (Remote Sensing). DEM yang digunakan adalah DEM turunan dari Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM), buatan JetPropulsion Laboratory NASA. DEM ini dihasilkan pada tahun 2000 dengan menggunakan Shuttle Space, dan SRTM Indonesia masuk di Zona Eurasia (Anonimus 2005). Penurunan atribut-atribut Digital Terrain Model (DTM) bertujuan untuk memberi gambaran tentang daerah kajian sebelum dilakukan analisis lebih lanjut. Model Terain Digital (DTM) adalah model topografis tanah terbuka yang memungkinkan pengguna memahami karakteristik terain yang mungkin tersembunyi pada Model Permukaan Digital (DSM). DTM secara digital menghilangkan vegetasi, bangunan, dan fitur budaya serta menyisakan terain di bawahnya. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan aplikasi perangkat lunak paten, penyuntingan manual, dan proses kontrol kualitas yang mengambil elevasi terain berdasarkan pengukuran tanah terbuka yang ada pada data radar original (Anonimus 2007). DTM (bersama dengan alat analisis permukaan) mendukung aplikasi seperti pengembangan peta topografis. Ini juga merupakan komponen berharga dalam analisis yang melibatkan berbagai karakteristik terain, seperti profil, potongan melintang, garis pandang, aspek, dan kemiringan. DTM juga mendukung pemodelan banjir, aplikasi pertanian, aplikasi PND, pemetaan internet, dan aplikasi Advanced Driver Assistance System (ADAS). 12
  • 13. Resolusi spasial yang digunakan untuk penurunan atribut-atribut DTM sebesar 400 x 400 meter. Hal ini dilakukan karena sekaligus membentuk dan memberi grid/sel secara otomatis untuk masukan model AGNPS. Model AGNPS memiliki keterbatasan dalam kapasitas jumlah sel yaitu maksimal sebanyak 1900grid/sel untuk setiap daerah kajian. Semakin kecil resolusi yang digunakan maka data semakin akurat, namun harus juga memperhatikan tingkat kesulitannya yang akan semakin besar apabila terlalu banyak grid/sel yang terbentuk sehingga tidak efektif dalam pengoperasian model AGNPS. Penggunaan SIG dapat mempermudah dalam kegiatan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Sebagai contoh adalah penggunaan hydrologic modelling dengan dukungan program ArcView Spatial Analyst yang memungkinkan untuk menurunkan dan menganalisis beberapa parameter permukaan dari DTM yang merupakan karateristik hidrologi dari daerah kajian. Analisis permukaan ini juga diperlukan untuk mendukung pembentukan parameter-parameter masukan model AGNPS secara komputasi sehingga data masukan model AGNPS akan lebih cepat didapatkan dengan keakuratan yang baik. Atribut-atribut yang dapat diturunkan dari DTM yang berkaitan dengan input model AGNPS dengan menggunakan extension DEMAT, yaitu: 1. Slope, adalah keadaan suatu bentang areal/lahan dengan tingkat perubahan kemiringan tertentu yang dinyatakan dalam persen atau derajat yang dapat dihitung dengan dua metode, yaitu metode Zevenbergen dan Thorne (untuk permukaan halus atau lebih datar) dan metode Horn (untuk permukaan kasar). Untuk penelitian ini digunakan metode Horn karena sebagian besar lahan di Sub DAS Jeneberang permukaannya kasar yang ditandai dengan bentuk lahan yang cembung (bukit) dan cekung (lembah). 2. Curvature, yaitu bentuk permukaan untuk memahami proses aliran yang secara umum dibagi 2, yaitu convex (cembung) dan concave (cekung). 3. Profile curvature, yaitu curvature suatu permukaan dalam arah kemiringan. wilayah DTA Jeneberang Hulu didominasi oleh bentuk cembung (214 grid) dan bentuk cekung (209 grid) dengan luas 1 grid sebesar 16 ha (400 x 400 meter). Hal ini menunjukkan bahwa potensi pengikisan/erosi aliran cukup besar namun 13
  • 14. diimbangi oleh potensi pengendapan (deposit) yang cukup besar pada beberapa titik kawasan. Kemudian dilakukan penurunan parameter permukaan yang merupakan komponen hidrologi dan geomorfologi yang meliputi: 1. Flow direction (arah aliran), yaitu arah dimana air mengalir keluar dari grid/sel tersebut. Dalam ArcView Spatial Analyst, keluaran dari arah aliran adalah grid yang mempunyai nilai antara 1 sampai 128 yang akan mengalir dari sebuah sel/grid khusus seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4 Arah-arah aliran dari suatu sel khusus dinyatakan dengan angka 1-128. Grid DTM setelah penghilangan sink akan digunakan untuk menghasilkan arah aliran selain arah aliran utama. Sink merupakan lembah yang sempit dimana lebar lembah tersebut lebih kecil dari ukuran piksel itu sendiri dan tidak menempati banyak sel. Keberadaan sink ini dapat mengganggu topologi aliran karena aliran yang menuju sink tersebut. Sehingga untuk mendapatkan grid arah aliran (flow direction) yang kontinyu, sink perlu dihilangkan. Arah aliran ini akan dijadikan parameter masukan model AGNPS sebagai parameter aspek. Hal ini dilakukan karena parameter aspek pada model AGNPS memiliki karateristik yang serupa dengan karateristik arah aliran pada model SIG, seperti yang ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai arah aliran antara hasil ArcView dengan masukan model AGNPS 14
  • 15. 2. Flow accumulation (akumulasi aliran), yaitu grid yang menampung aliran dari sel-sel dibelakangnya. Akumulasi aliran diturunkan dari grid arah aliran guna menentukan mana dan berapa jumlah sel yang mengalir menuju grid/sel lain yang menerima aliran tersebut. Grid-grid yang mempunyai akumulasi aliran yang tinggi dapat diidentifikasikan sebagai sungai atau saluran. Untuk mengetahui akumulasi aliran pada permukaan, nilai dari setiap sel mempresentasikan total nilai dari sel yang mengalir ke dalam sel tersebut. Sel yang mempunyai akumulasi yang tinggi adalah areal yang terkosentrasi aliran, seperti pada Gambar 5. Gambar 5 Bentuk representasi akumulasi aliran. 3. Flow length (panjang aliran), yaitu panjang garis aliran yang terpanjang dalam saluran air yang dihitung untuk setiap sel/grid. 4. Stream network (jaringan sungai), yaitu sistem jaringan sungai yang dapat ditentukan dari hasil akumulasi aliran. Dalam sistem ini juga dapat ditentukan ordo tiap segmen jaringan sungai dengan metode yang tersedia, yaitu teknik 15
  • 16. Schrave dan Strahler. Untuk penelitian ini jaringan sungai dapat ditentukan melalui pengoperasian model AV-SWAT hasil turunan dari data DEM yang secara otomatis akan membentuk jaringan sungai berdasarkan bentuk topografi/kontur, seperti yang terlihat pada Gambar 6. Gambar 6 Peta jaringan sungai DTA Jeneberang Hulu. f. Pembangkitan Data Masukan Model AGNPS dengan SIG Pembangkitan data setiap sel sebagai masukan model AGNPS dilakukan menggunakan software ArcView versi 3.2. Tahapan pembangkitan data setiap sel yaitu peta kontur, peta jaringan sungai, peta jenis tanah dan peta penutupan lahan di overlay dengan peta DTA yang telah terbentuk tadi dan dilakukan pemotongan menggunakan extension Geoprocessing Wizard untuk memperoleh peta seluas DTA. Selanjutnya dilakukan gridding (convert to grid) dengan resolusi 400 x 400 meter berdasarkan peta DEM (Digital Elevation Model) dan dilakukan penambahan data-data atribut berupa nilai parameter masukan model AGNPS yang sesuai dengan peta peta kontur, peta jaringan sungai, peta jenis tanah dan peta penutupan lahan. Parameter-parameter masukan model AGNPS yang dapat diturunkan dari peta-peta tadi, disajikan selengkapnya pada Gambar 7. 16
  • 17. Gambar 7 Analisis spasial dan pembangkitan data model AGNPS. keterangan: DEM = Digital Elevation Model P = Faktor konservasi tanah SL = Kemiringan lereng SCC = Konstanta kondisi permukaan LS = Panjang lereng n = Koefisien kekasaran Manning FD = Arah aliran COD = Kebutuhan oksigen kimiawi T = Tekstur CI = Indikator saluran K = Faktor erodibilitas tanah CS = Kemiringan saluran CN = Bilangan kurva aliran permukaan C = Panjang saluran C = Faktor pengelolaan tanaman DTA = Daerah tangkapan air 1. Kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk lereng dan arah aliran Parameter masukan model AGNPS yang berupa kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk lereng dan arah aliran dapat diturunkan dari peta kontur. Parameter 17
  • 18. panjang lereng diukur dengan menggunakan peta kontur, sedangkan parameter kemiringan lereng, bentuk lereng dan arah aliran diturunkan dari data DEM. DEM merupakan suatu model yang mempresentasikan ketinggian muka bumi dengan format raster (resolusi 400 x 400 meter). Tahapan dalam pembangkitan data masukan parameter kemiringan lereng dan arah aliran sebagai berikut : i. Pembuatan DEM dilakukan dengan cara mengubah peta kontur menjadi TIN, selanjutnya melakukan gridding (convert to grid) terhadap TIN dengan ukuran sel sesuai dengan luas grid model AGNPS yaitu sebesar 400 x 400 meter (16 ha). ii. Data kemiringan lereng diperoleh dengan menggunakan metode Horn untuk permukaan yang kasar yang diperoleh dari data DEM dengan menggunakan extension DEMAT dengan satuan kemiringan lereng berupa persen. Dalam mengetahui besarnya kemiringan lereng setiap sel, maka data hasil perhitungan DEMAT diubah menjadi bentuk point dengan menggunakan extension Hydrologic Modelling v 1.1 (pour points as point shape). iii. Data panjang lereng (JL) diketahui melalui pengukuran secara manual berdasarkan peta kontur. Dengan bantuan grid yang telah terbentuk sebelumnya, perhitungan panjang lereng (JL) menggunakan prinsip Phytagoras. Untuk pengukuran panjang lereng digunakan persamaan: JL = keterangan: JL = panjang lereng (feet) JD = panjang lereng datar (pengukuran di peta kontur) Cos α = cosinus kemiringan lereng (metode Horn) iv. Bentuk lereng diperoleh dari peta turunan DEM dengan menggunakan extension DEMAT (profile curvature). Bentuk lereng yang dihasilkan berupa seragam/datar yang bernilai 0, cekung bernilai negatif (-), dan cembung bernilai positif (+). v. Arah aliran merupakan parameter yang sangat penting dalam model AGNPS. Arah aliran setiap sel diperoleh dari data DEM dengan menggunakan 18
  • 19. extension Hydrologic Modelling v 1.1. Selanjutnya dilakukan pengkodean arah aliran sesuai dengan pengkodean arah aliran pada model AGNPS (angka 1 hingga 8). Berdasarkan kondisi biofisik DTA Jeneberang Hulu, sebagian besar topografinya landai (8-15 %). Hasil dari penurunan atribut DTM yang telah dilakukan, kemiringan lereng menggunakan metode Horn menghasilkan rentang kelerengan yang cukup jauh antara 1,732-79,006 %. Panjang lereng adalah jarak bagian permukaan dari titik dimulainya aliran ke titik dimana aliran menjadi terkosentrasi atau aliran memasuki saluran. Panjang lereng DTA Jeneberang Hulu bervariasi dari 565,73-695,30 meter. Dalam masukan model berupa parameter panjang lereng dilakukan penyesuaian dengan nilai maksimum model. Nilai maksimum parameter panjang lereng dalam model AGNPS sebesar 999 feet (304,5 m). Oleh karena itu, untuk sel-sel yang mempunyai panjang lereng yang lebih dari 999 feet, maka masukan parameter panjang lereng sel-sel tersebut harus 999 feet. Untuk wilayah DTA Jeneberang Hulu yang memiliki panjang lereng lebih besar 304,5 m maka semua sel memiliki panjang lereng sebesar 999 feet. Bentuk lereng didasarkan pada bentuk lahan secara rata-rata di dalam sel. Nilai masukan model yang digunakan adalah 1 untuk bentuk seragam, 2 untuk bentuk cekung, dan 3 untuk bentuk cembung. Untuk wilayah DTA Jeneberang Hulu sebagian besar didominasi oleh bentuk cembung dan cekung, bentuk seragam/datar tidak ditemukan oleh hasil penurunan atribut DTM. 2. Tekstur dan faktor erodibilitas tanah Parameter masukan model AGNPS yang berupa tekstur tanah dan faktor erodibilitas tanah diturunkan dari peta jenis tanah. Masing-masing jenis tanah dilakukan penambahan data atribut berupa nilai erodibilitas tanah yang mengacu pada hasil penelitian Puslitbang Pengairan (1966) dalam Triandayani (2004). Masukan nilai tekstur model AGNPS disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Nilai masukan tekstur model AGNPS 19
  • 20. Tahapan dalam pembangkitan data masukan parameter tekstur tanah dan faktor erodibilitas tanah sebagai berikut: 1. DTA yang telah terbentuk dari hasil model AV-SWAT di overlay dengan peta jenis tanah untuk mendapatkan peta jenis tanah seluas DTA Jeneberang Hulu. Dari peta jenis tanah ini diturunkan dua nilai parameter masukan AGNPS, yaitu nilai erodibilitas tanah dan tekstur tanah untuk setiap jenis tanah. Kedua nilai parameter tersebut di input dan di edit ke dalam atribut peta jenis tanah melalui fasilitas query dan calculate pada ArcView. 2. Pembentukan grid (convert to grid) untuk peta jenis tanah seluas DTA yang telah berisi kedua nilai parameter tadi dengan cara di overlay dengan peta DEM sebagai dasar grid yang beresolusi 400 x 400 meter. Setelah itu diubah menjadi format point, agar masing-masing grid memiliki nilai dari parameter tadi. Berdasarkan peta digital jenis tanah Sub DAS Jeneberang, jenis tanah yang terdapat di DTA Jeneberang Hulu adalah Andosol Coklat yang terbentuk dari bahan induk tufa vulkan masam dan alkali, Latosol Coklat Kekuningan dari bahan induk tufa vulkan masam sampai intermedier, dan Komplek Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol dari bahan induk tufa dan batuan vulkan intermedier. DTA Jeneberang Hulu didominasi oleh jenis tanah Andosol Coklat dengan luas sebesar 5423,18 ha (79,70 %). 3. Faktor pengelolaan tanaman, faktor tindakan konservasi tanah, koefisien kekasaran Manning, dan bilangan kurva aliran permukaan Data spasial dari peta penutupan lahan dapat digunakan untuk memperoleh masukan parameter-parameter model AGNPS yaitu faktor pengelolaan tanaman (C), faktor tindakan konservasi tanah (P), koefisien kekasaran Manning (n), bilangan kurva aliran permukaan (CN), dan konstanta kondisi permukaan (SCC). 20
  • 21. Tahapan dalam pembangkitan data masukan beberapa parameter dari peta penutupan lahan sebagai berikut: i. DTA yang telah terbentuk dari hasil model AV-SWAT di overlay dengan peta penutupan lahan untuk mendapatkan peta penutupan lahan seluas DTA Jeneberang Hulu. Dari peta penutupan lahan ini diturunkan enam nilai parameter masukan AGNPS, yaitu faktor tindakan konservasi tanah, faktor pengelolaan tanaman, koefisien kekasaran Manning, bilangan kurva aliran permukaan, dan konstanta kondisi permukaan untuk setiap jenis pengggunaan lahan. Nilai-nilai parameter tersebut di input dan di edit ke dalam atribut peta penutupan lahan melalui fasilitas query dan calculate pada ArcView. ii. Pembentukan grid (convert to grid) untuk peta penutupan lahan seluas DTA yang telah berisi keenam nilai parameter tadi dengan cara di overlay dengan peta DEM sebagai dasar grid yang beresolusi 400 x 400 meter. Setelah itu diubah menjadi format point, agar masing-masing grid memiliki nilai dari parameter tadi. Nilai masukan faktor pengelolaan tanaman dan faktor tindakan konservasi tanah berdasarkan teknik konservasi yang dominan diterapkan ini diperoleh dari peta penutupan lahan wilayah DTA Jeneberang Hulu yang telah diubah dalam bentuk grid/sel dan secara spasial. 4. Indikator saluran Parameter model AGNPS yang berupa indikator saluran diperoleh dari peta jaringan sungai yang di overlay dengan peta grid. Parameter yang menyertai parameter indikator saluran yaitu panjang saluran, bentuk saluran, kemiringan lereng saluran, dan kemiringan sisi saluran. Panjang saluran diukur berdasarkan panjang sungai pada masing-masing sel dan diubah dalam satuan feet. Parameter kemiringan saluran diasumsikan sebesar 50 % dari kemiringan lereng lahan, sedangkan kemiringan sisi saluran diasumsikan sebesar 10 % (Young et al., 1990). Tahapan dalam pembangkitan data masukan parameter dari peta jaringan sungai sebagai berikut: i. DTA yang telah terbentuk dari hasil model AV-SWAT di overlay dengan peta jaringan sungai untuk mendapatkan peta jaringan sungai seluas DTA Jeneberang Hulu. Dari peta jaringan sungai ini diturunkan dua nilai parameter 21
  • 22. masukan AGNPS, yaitu panjang saluran dan bentuk saluran. Nilai-nilai parameter tersebut di input dan di edit ke dalam atribut peta penutupan lahan melalui fasilitas query dan calculate pada ArcView. ii. Pembentukan grid (convert to grid) untuk peta jaringan sungai seluas DTA yang telah berisi kedua nilai parameter tadi dengan cara di overlay dengan peta DEM sebagai dasar grid yang beresolusi 400 x 400 meter. Setelah itu diubah menjadi format point, agar masing-masing grid memiliki nilai dari parameter tadi. Indikator saluran mengidentifikasikan ada tidaknya saluran serta jenis saluran dalam wilayah DTA Jeneberang Hulu. Sungai utama di DTA Jeneberang Hulu diasumsikan sebagai saluran perennial sedangkan anak-anak sungainya diasumsikan sebagai saluran intermitten. Sebagai data masukan model AGNPS, saluran perennial bernilai 7, saluran intermitten bernilai 6, dan yang tidak terdapat saluran bernilai 1. Saluran perennial (saluran permanen) merupakan aliran yang mengalir sepanjang tahun dengan debit yang lebih tinggi pada musim hujan dan permukaan air tanah selalu berada di atas sungai. Sedangkan saluran intermitten (saluran musiman) merupakan aliran air yang mengalir pada musim hujan saja dan permukaan air tanah berada di atas dasar sungai hanya selama musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau permukaan tersebut berada di bawah dasar sungai (Seyhan 1990). 5. Penggabungan atribut data masukan model AGNPS Atribut dari masing-masing parameter turunan peta kontur, peta jaringan sungai, peta jenis tanah dan peta penutupan lahan yang telah diubah menjadi format point selanjutnya digabung melalui fasilitas ArcView menggunakan extension Geoprocessing Wizard (joined table). Hasil gabungan tersebut berbentuk sebuah tabel atribut file point gabungan yang berisi semua parameter- parameter masukan model AGNPS untuk setiap sel/grid. 6. Parameter masukan model yang diasumsikan konstan Selain parameter tersebut dalam penelitian beberapa parameter masukan model AGNPS diasmsikan konstan yaitu : 1) Indikator penggunaan pupuk, 2) 22
  • 23. Ketersediaan pupuk pada permukaan tanah, 3) Point source indicator, 4) Sumber erosi tambahan, dan 5) Indikator impoundment. g. Pemasukan Data ke Model AGNPS Dalam melakukan pemasukan data ke dalam model AGNPS, ada dua tahap yang dapat dilakukan, yaitu: i. Masukan data inisial model yang meliputi : nama DAS, luas dan jumlah sel/grid, curah hujan, dan energi intensitas hujan 30 menit. Ukuran sel yang digunakan dalam model yaitu 400 x 400 meter dengan luas sel sebesar 16 ha. Yang diperoleh dari hasil pembentukan grid DTM, dimana grid/sel DTM secara otomatis akan membentuk sesuai dengan keinginan resolusi yang dibutuhkan. Grid/sel ini juga dijadikan acuan dalam pembentukan parameter- parameter setiap sel masukan model AGNPS. Dari luasan 16 ha per sel menghasilkan sel model sebanyak 423 sel seperti yang terlihat pada Gambar 7. Sehingga DTA Jeneberang Hulu dengan luas 6804,72 ha, dalam sel model menjadi 6768 ha dan terjadi pengurangan luasan sebesar 36,74 ha (0,54 %). Gambar 7 Masukan data inisial model. Curah hujan yang diamati adalah jumlah curah hujan harian rata-rata, yang merupakan curah hujan harian selama 12 bulan (hasil pengelompokan data CH selama 5 tahun). Contoh curah hujan harian rata-rata yang tertinggi terjadi pada tanggal 1 Januari sebesar 31,66 mm (1,25 inches) dengan nilai energi intensitas hujan 30 menit untuk kejadian hujan pada tanggal 1 Januari sebesar 25,894 23
  • 24. m.ton.cm/ha/jam. Contoh nilai curah hujan harian dan energi intensitas hujan 30 menit (EI 30) yang tertinggi inilah yang akan digunakan dalam memprediksi besarnya volume aliran permukaan, debit puncak aliran permukaan, laju erosi dan sedimentasi. ii. Masukan data setiap sel model yang meliputi : penomoran sel, sel penerima, arah aliran, kemiringan lereng, panjang dan bentuk lereng, faktor erodibilitas (K) dan tekstur tanah, faktor pengelolaan tanaman (C), faktor tindakan konservasi tanah (P), bilangan kurva aliran permukaan (CN), koefisien kekasaran Manning (n), faktor kebutuhan Oksigen kimiawi (COD), konstanta kondisi permukaan (SCC), dan indikator saluran (panjang saluran dan kemiringan saluran), seperti yang ditampilkan pada Gambar 8. Gambar 8 Masukan data setiap sel model. Penomoran sel dilakukan sesuai dengan prosedur model AGNPS yaitu dimulai dari ujung sebelah kiri atas menuju ke sel sebelah kanan dan dilanjutkan ke sel berikutnya secara berurutan ke bawah. Outlet sebagai tempat terkosentrasinya aliran merupakan sel yang terakhir dalam model berada pada sel nomor 169 dengan penggunaan lahan berupa hutan. Sel penerima merupakan sel yang menerima aliran permukaan dari sel yang terletak di atasnya, sedangkan arah aliran mengidentifikasikan arah aliran utama dalam sel. Yang perlu diperhatikan dalam menentukan arah aliran dan sel penerima yang akan menerima aliran tersebut, yaitu posisinya harus sesuai antara sel penerima dan arah aliran (aspek) 24
  • 25. karena hal ini sangat berpengaruh dalam pembentukan DAS dalam model AGNPS. Masukan data yang tidak cocok antara kedua parameter ini akan menghambat proses identifikasi dan pembentukan DAS secara grafis pada saat proses pengecekan. Untuk sel outlet, nomor sel penerimanya adalah satu angka lebih besar dari jumlah keseluruhan sel. h. Analisis Keluaran Model AGNPS Keluaran model AGNPS yang dianalisis yaitu keluaran model pada outlet DTA Jeneberang Hulu dan setiap sel dengan kejadian hujan terbesar pada tanggal 1 Januari. Keluaran model tersebut berupa keluaran hidrologi dan keluaran sedimen dalam bentuk grafik/gambar dan tabel. Keluaran hidrologi berupa volume aliran permukaan dan debit puncak aliran permukaan. Sedangkan keluaran sedimen berupa laju erosi, laju sedimentasi dan sedimen total. Keluaran tersebut merupakan keluaran kondisi awal sebelum dilakukan simulasi. i. Pengujian Validasi Model AGNPS. Validasi model dilakukan dengan membandingkan debit puncak (Qp) keluaran model dengan debit puncak hasil pengukuran di lapangan dan membandingkan laju sedimentasi (Qs) keluaran model dengan laju sedimentasi hasil pengukuran di lapangan. Pembandingan ini dilanjutkan dengan menghitung besarnya nilai korelasi (R2) di antara parameter yang di validasi. Pengujian validasi tersebut menggunakan persamaan model regresi linear sederhana (Tiryana 2003), dimana peubah tidak bebasnya berupa data dari hasil pengukuran di lapangan dan peubah bebasnya berupa data keluaran model. Hubungan antara data lapangan dengan data keluaran model dinyatakan dalam bentuk persamaan umum regresi sebagai berikut: Y=a+bX keterangan: Y = Qp dan Qs pengukuran di lapangan X = Qp dan Qs keluaran model a dan b = konstanta j. Analisis Simulasi dan Rekomendasi 25
  • 26. Dalam rangka untuk mengurangi bahaya erosi, sedimentasi, dan aliran permukaan di DTA Jeneberang Hulu tersebut, maka diperlukan perubahan terhadap lahan-lahan yang mempunyai tingkat erosi, sedimentasi dan aliran permukaan yang tinggi dan produktifitas yang rendah. Oleh karena itu, dilakukan simulasi dengan beberapa skenario perubahan penggunaan lahan dan melakukan tindakan konservasi tanah dan air. Skenario tersebut yaitu: 1. Skenario I : mengubah penutupan lahan yang berupa tegalan/ladang dan semak belukar menjadi vegetasi serupa hutan alam produksi dengan sistem silvikultur tebang pilih di lahan DTA bagian atas (hulu) dan perkebunan karet pada lahan bagian bawah. Jenis tanaman yang digunakan untuk membangun vegetasi serupa hutan alam produksi TPTI adalah jenis yang cepat tumbuh dan bernilai tinggi seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium), Gmelina (Gmelina arborea), Kayu Afrika (Maesopsis eminii), Damar (Agathis dammara), Eboni (Diospyros celebica) dan Mahoni (Sweitenia macrophylla). Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario I disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario I 2. Skenario II : mengubah penutupan lahan yang berupa tegalan/ladang dan semak belukar menjadi vegetasi serupa dengan hutan alam produksidengan sistem silvikultur tebang pilih di lahan DTA bagian atas (hulu) dan kebun campuran di lahan bagian bawahnya, dengan melakukan pembuatan teras tradisional. Pembuatan vegetasi serupa hutan alam produksi TPTI sama seperti skenario I. Perbedaan dengan Skenario I terletak pada pengelolaan kebun campuran dilakukan yang dilakukan dengan sistem agroforestry. Penerapan sistem agroforestry pada kebun campuran tersebut selain untuk mengurangi volume aliran permukaan, debit puncak aliran permukaan, laju erosi permukaan, laju 26
  • 27. sedimentasi, dan sedimen total juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar dari hasil panen tanaman semusim dan tahunan. Tanaman tahunan yang dapat dibudidayakan berupa berupa tanaman kehutanan dan tanaman buah- buahan. Jenis tanaman kehutanan yaitu Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium), Gmelina (Gmelina arborea), Kayu Afrika (Maesopsis eminii), Damar (Agathis dammara) dan jenis lainnya. Tanaman buah-buahan yang dapat dibudidayakan seperti kopi, kakao, rambutan (Nephelium lappaceum), durian (Durio zibethinus), nangka (Arthocarpus heterophyllus), pisang (Musa sp.), jambu biji (Psidium guajava), dan alpukat (Persea americana). Tanaman semusim yang dipilih diantaranya kacang tanah (Arachis hypogaea), kedelai (Glyeine max), singkong (Manihot esculenta), dan jagung (Zea mays). Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario II disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario II 3. Skenario III : mengubah penutupan lahan yang berupa tegalan/ladang dan semak belukar menjadi padang rumput semi permanen di lahan DTA bagian atas (hulu) dan perkebunan karet di lahan bagian bawahnya. Padang rumput semi permanen yang disimulasikan digunakan untuk penggembalaan ternak penduduk dan pengembangan perkebunan karet sama seperti pada skenario I. Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario III disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario III 4. Skenario IV : mengubah penutupan lahan yang berupa tegalan/ladang dan semak belukar menjadi hutan alam yang berserasah banyak di lahan DTA bagian atas (hulu) dan kebun campuran di lahan bagian bawahnya, dengan melakukan pembuatan teras tradisional pada kebun campuran. Hutan alam yang 27
  • 28. disimulasikan berupa hutan lindung dan pengembangan kebun campuran sama seperti pada skenario II. Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario IV disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Parameter masukan model penggunaan lahan pada skenario IV Karateristik Lokasi Penelitian Daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang secara administrasi berada dalam Kabupaten Dati II Gowa, Propinsi Dati I Sulawesi Selatan. Terletak antara garis 50 05’ 00” – 50 35’ 00” LS dan antara 1190 20’ 00” – 1200 00’ 00” BT yang berjarak ± 65 km dari Kodya Makassar dan berada pada ketinggian antara 600 mdpl – 2.800 mdpl. Sungai Jeneberang bersumber dari Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang, mempunyai ketinggian ± 2.833 mdpl. Arah utama pengalirannya adalah ke barat pada bagian hulu dan ke barat daya pada bagian tengah dan pada bagian hilir terpecah menjadi dua arah ke barat laut dan ke barat daya. DAS Jeneberang terbagi lagi menjadi Sub DAS diantaranya Sub DAS Jeneberang. Luas wilayah DTA Jeneberang Hulu sebesar 6.804,72 ha (19,87 % dari luas total Sub DAS Jeneberang sebesar 34.238 ha). Mempunyai topografi bervariasi mulai dari datar hingga sangat curam. DTA Jeneberang Hulu didominasi oleh wilayah yang bertopografi landai dengan luas 2314,23 ha (34,03 %). 28
  • 29. Gambar 2. Peta kelas lereng DTA Jeneberang Hulu. Gambar 3 Peta elevasi DTA Jeneberang Hulu. Berdasarkan peta digital jenis tanah Sub DAS Jeneberang, jenis tanah yang terdapat di DTA Jeneberang Hulu adalah Andosol Coklat yang terbentuk dari bahan induk tufa vulkan masam dan alkali, Latosol Coklat Kekuningan dari bahan induk tufa vulkan masam sampai intermedier, dan Komplek Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol dari bahan induk tufa dan batuan vulkan intermedier. 29
  • 30. DTA Jeneberang Hulu didominasi oleh jenis tanah Andosol Coklat dengan luas sebesar 5423,18 ha (79,70 %). Dari peta jenis tanah diturunkan nilai erodibilitas tanah pada DTA Jeneberang Hulu, dimana yang terbesar yaitu pada jenis tanah Andosol Coklat sebesar 0,278. Sedangkan nilai erodibilitas tanah yang terkecil yaitu pada jenis tanah sebesar 0,075. Nilai erodibilitas tanah tersebut menunjukkan bahwa jenis tanah Andosol Coklat paling mudah tererosi. Gambar 12 Peta jenis tanah DTA Jeneberang Hulu. Jaringan sungai (Gambar 5) memiliki pola drainase dendritik. Menurut Lee (1988), pola drainase tersebut memiliki batuan yang relatif homogen, terletak di daerah datar dan pola tersebut telah lazim di permukaan bumi dengan modifikasi- modifikasi lokal. Sungai-sungai di DTA Jeneberang Hulu diasumsikan sebagai saluran perennial untuk sungai utama dan sebagai saluran intermitten untuk anak- anak sungai. Jaringan sungai yang telah dikonversi ke bentuk grid sel, memiliki jumlah sel pada saluran perennial dan saluran intermitten masing-masing sebanyak 184 dan 175 sedangkan sel yang tidak terdapat saluran sebanyak 64. Berdasarkan hasil analisis peta penutupan lahan Sub DAS Jeneberang, terlihat bahwa penutupan lahan pada DTA Jeneberang Hulu terdiri dari lima penggunaan lahan diantaranya semak belukar, sawah, pemukiman, tegalan/ladang, dan hutan campuran. Sebagian besar DTA Jeneberang Hulu didominasi oleh penutupan lahan 30
  • 31. berupa hutan dengan luas sebesar 2868 ha (42,48 %). Berdasarkan BPS Kabupaten Gowa dalam Angka tahun 2002 dalam BPDAS Jeneberang-Walanae, jumlah penduduk Kabupaten Gowa berjumlah 401.317 jiwa. Berdasarkan data curah hujan harian rata-rata 5 tahun, wilayah DTA Jeneberang Hulu menurut klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson termasuk tipe iklim A dengan jumlah bulan basah 8 bulan dan 4 bulan kering dalam setahun. Curah hujan rata-rata 2518,02 mm/tahun dan suhu udara berkisar antara 180-210C. Curah hujan yang jatuh ke wilayah DTA Jeneberang Hulu menghasilkan debit yang beragam, dimana debit rata-rata per tahun sebesar 154,32 m3/detik. Hubungan curah hujan dengan debit harian rata-rata selama 366 hari disajikan dalam Gambar 14. Hubungan Curah hujan dengan debit membentuk hubungan sebagai berikut: Q = 0.159 CH0.68 dengan koefisien korelasi sebesar 0,901 dan koefisien determinasinya (R2) sebesar 81,2 %. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa kejadian curah hujan berhubungan erat dengan kejadian debit aliran. Gambar 14 Dinamika curah hujan harian dengan debit DTA Jeneberang Hulu. Perhitungan menggunakan masukan curah hujan harian rata-rata selama 5 tahun (31,66 mm/hari) dengan nilai energi intensitas hujan 30 menit sebesar 25,89 m.ton.cm/ha/jam, diperoleh besarnya volume aliran permukaan di outlet sebesar 0,76 mm dan debit puncak aliran permukaan sebesar 3,20 m3/detik. Volume air hujan yang menjadi aliran permukaan sebesar 2,29 %, sedangkan sisanya mengalami infiltrasi, intersepsi, dan evapotranspirasi. Sebaran ruang volume 31
  • 32. aliran permukaan akibat kejadian hujan 31,66 mm/hari disajikan dalam Gambar 15. Gambar 15 Peta penyebaran volume aliran permukaan DTA Jeneberang Hulu. Berdasarkan Gambar di atas, dapat dilihat penyebaran aliran permukaan DTA Jeneberang Hulu setiap sel sebesar 0 – 4,32 mm dan berdasarkan sebaran aliran permukaan di berbagai penutupan lahan dapat dilihat bahwa sel-sel yang mempunyai aliran permukaan terkecil terdapat dalam sel dengan penutupan lahan berupa hutan (vegetasi sedang hingga lebat) sebesar 7,11 mm. Sedangkan sel-sel dengan penutupan lahan berupa sawah irigasi dan tegalan/lading mempunyai aliran permukaan yang besar masing-masing sebesar 172,21 mm dan 167,64 mm. Berdasarkan hasil keluaran model, dengan nilai masukan curah hujan harian rata-rata yang terbesar selama 5 tahun sebesar 31,66 mm dengan nilai energi intensitas hujan 30 menit sebesar 25,89 m.ton.cm/ha/jam, diperoleh besarnya laju erosi di outlet sebesar 29,03 ton/ha, laju sedimentasi sebesar 1,85 ton/ha dan sedimen total sebesar 12577,2 ton. Tabel 20 Keluaran sedimen model di outlet DTA Jeneberang Hulu 32
  • 33. Nilai Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) di DTA Jeneberang Hulu sebesar 6%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hanya 6% dari total erosi yang terjadi di DTA Jeneberang Hulu yang masuk ke saluran dan menjadi sedimen. Sedangkan sisanya sebesar 94% mengendap di tempat lain sebelum sampai ke saluran sungai. Jenis partikel yang mempunyai nilai NPS tertinggi berupa partikel liat sebesar 64%. Hal tersebut disebabkan partikel liat mudah terdispersi oleh butiran-butiran hujan dan memiliki berat jenis yang rendah, sehingga partikel liat mudah terangkut dan menjadi sedimen. Sedangkan jenis partikel yang paling banyak tererosi berupa agregat halus sebesar 16,55 ton/ha. Sebaran ruang laju erosi permukaan akibat kejadian hujan 31,66 mm/hari. Gambar 17 Peta penyebaran laju erosi permukaan DTA Jeneberang Hulu. Berdasarkan Gambar 17, dapat terlihat penyebaran laju erosi permukaan DTA Jeneberang Hulu setiap sel sebesar 0 – 520,33 ton/ha dan Tabel 21 dalam rekapitulasi laju erosi permukaan di berbagai penutupan lahan dapat dilihat bahwa sel-sel yang mempunyai laju erosi permukaan terkecil terdapat di sel dengan 33
  • 34. penutupan lahan berupa hutan 0,60 ton/ha. Sedangkan sel-sel dengan penutupan lahan berupa tegalan/ladang mempunyai laju erosi permukaan yang sangat besar. Sehingga dengan besarnya erosi harian dalam kurun waktu setahun yang terjadi sebesar 1011,80 ton/ha/tahun, maka tingkat bahaya erosi yang terjadi di DTA Jeneberang Hulu dikategorikan sangat berat. Hal ini dikarenakan tingkat bahaya erosinya tergolong dalam kelas erosi lima (> 480 ton/ha/tahun) dan telah melebihi batas toleransi erosi yang diperbolehkan (tolerable soil erosion) terjadi di DTA Jeneberang Hulu sebesar 180 ton/ha/tahun (kelas erosi tiga). Sebaran ruang sedimen total akibat kejadian hujan 31,66 mm/hari dalam bentuk spasial disajikan dalam Gambar di bawah ini. Gambar 19 Peta penyebaran sedimen total DTA Jeneberang Hulu. Tabel 22 Rekapitulasi sedimen total di berbagai penutupan lahan Berdasarkan Gambar 18, dapat terlihat penyebaran sedimen total DTA Jeneberang Hulu setiap sel sebesar 0 – 16332,86 ton dan Tabel 22 dalam rekapitulasi sedimen total di berbagai penutupan lahan dapat dilihat bahwa sel-sel yang mempunyai sedimen total terkecil terdapat di sel dengan penutupan lahan 34
  • 35. berupa pemukiman, karena tidak adanya saluran sungai dan jumlahnya relative sedikit. Sedangkan sel-sel dengan penutupan lahan berupa tegalan/lading mempunyai sedimen yang besar. Sedimen total semakin besar di sel-sel yang terdapat aliran sungai. Semakin ke hilir/menuju outlet, sedimen total di sel yang mempunyai saluran sungai semakin meningkat. Untuk mengetahui apakah hasil prediksi model sama dengan hasil pengamatan, maka dilakukan uji validasi. Model divalidasi dengan curah hujan harian rata-rata selama 5 tahun (366 kejadian hujan). Uji validasi model dilakukan dengan membandingkan debit puncak (Qp) keluaran model dengan debit puncak hasil pengamatan dan membandingkan laju sedimentasi (Qs) keluaran model dengan laju sedimentasi pengamatan. Dari hasil analisis korelasi dan regresi, diperoleh nilai korelasi (r) dari debit puncak model (QpMod) terhadap debit puncak pengukuran di lapangan (QpLap) sebesar 0,894. Sedangkan persamaan regresi dinyatakan sebagai berikut : QpLap = 1,734 Qp Mod0,679 Persamaan ini memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 79,8 % dengan faktor koreksi sebesar 1,75. Hal ini menunjukkan bahwa debit puncak model (QpMod) dengan debit puncak pengukuran di lapangan (QpLap) memiliki hubungan keeratan 79,8 %, sehingga debit puncak model (QpMod) dapat mewakili dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya di lapangan serta dapat digunakan untuk menduga nilai debit puncak lapangan dalam simulasi penggunaan lahan. Sama halnya dengan hasil analisis korelasi dan regresi laju sedimentasi model (QsMod) dengan laju sedimentasi pengukuran di lapangan (QsLap) memiliki nilai korelasi sebesar 0,726. Sedangkan persamaan regresi dinyatakan sebagai berikut: QsLap = 1,698 QsMod0,382 Persamaan ini memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 77,4 % dengan faktor koreksi sebesar 9,30. Hal ini menunjukkan bahwa laju sedimentasi model (QsMod) dengan laju sedimentasi pengukuran di lapangan (QsLap) memiliki hubungan keeratan 77,4 %, sehingga laju sedimentasi model (QsMod) dapat mewakili dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya di lapangan serta dapat 35
  • 36. digunakan untuk menduga nilai laju sedimentasi lapangan dalam simulasi penggunaan lahan. Simulasi dilakukan untuk memberikan alternatif dalam pemanfaatan lahan seoptimal mungkin dalam mereduksi/mengurangi besarnya aliran permukaan, laju erosi, dan sedimentasi di DTA Jeneberang Hulu. Salah satu alternatif tersebut yaitu dengan melakukan perubahan penggunaan lahan dan menerapkan tindakan konservasi tanah dan air (KTA) di lahan yang mempunyai aliran permukaan, laju erosi, dan sedimentasi yang tinggi (tegalan/ladang) dan lahan yang mempunyai produktifitas yang rendah (semak belukar). Total luas penutupan lahan di DTA Jeneberang Hulu yang berupa tegalan/ladang dan semak belukar adalah 2768 ha atau 40,9 % dari luas total DTA Jeneberang Hulu. Berdasarkan kondisi tersebut dan kaitannya dengan upaya penerapan model dalam perencanaan pemanfaatan lahan di DTA Jeneberang Hulu, maka pada penelitian ini dilakukan 4 skenario penggunaan lahan di tegalan dan semak belukar yang berbeda. Pada skenario-skenario tersebut dilakukan perubahan pada parameter penggunaan lahan dan melakukan tindakan konservasi pada lahanlahan tersebut. Sedangkan parameter tanah diasumsikan tidak mengalami perubahan. Dasar pemikiran skenario-skenario tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa penutupan lahan yang akan disimulasikan dapat dipertahankan keberadaanya hingga puluhan tahun dan memperbaiki kondisi DTA Jeneberang Hulu dalam hal mengurangi aliran permukaan, laju erosi, dan sedimentasi. 1. Skenario I Berdasarkan dengan sebaran ruang penggunaan lahan hasil skenario I, diperoleh hasil simulasi model pendugaan lapangan dalam Tabel 23 dengan menggunakan curah hujan rata-rata tahunan, diperoleh besarnya debit puncak aliran permukaan di outlet sebesar 41,04 m3/detik/tahun, laju erosi permukaan sebesar 348,6 ton/ha/tahun dan laju sedimentasi sebesar 18,24 ton/ha/tahun. Hasil simulasi menunjukkan debit puncak aliran permukaan berkurang 81,26 %, laju erosi permukaan di outlet berkurang 79,43 %, dan laju sedimentasi berkurang 75,18 % dari nilai awal sebelum dilakukan simulasi. Nisbah pelepasan sedimen (NPS) dalam skenario I sebesar 5,23 %, dimana nilai tersebut menunjukkan 36
  • 37. sebanyak 5,23 % dari total erosi yang terjadi di DTA tersebut sampai ke saluran sungai dan menjadi sedimen sedangkan sisanya mengendap di tempat lain. Tabel 23 Hasil simulasi skenario I keluaran model Berdasarkan hasil tersebut di atas, skenario I kurang efektif untuk diterapkan karena nilai laju erosi permukaan yang dihasilkan berdasarkan kelas tingkat bahaya erosi masih tergolong kelas erosi empat dengan kategori berat hingga sangat berat (180-480 ton/ha/tahun). Untuk penerapan hasil simulasi, diusahakan agar tidak melebihi batas nilai erosi yang diperbolehkan (tolerable soil erosion) terjadi sebesar <180 ton/ha/tahun. Sehingga masih membahayakan kawasan yang berada di sekitarnya. 2. Skenario II Berdasarkan dengan sebaran ruang penggunaan lahan hasil skenario II, diperoleh hasil simulasi model seperti disajikan dalam Tabel 24, yaitu besarnya debit puncak aliran permukaan di outlet sebesar 41,04 m3/detik/tahun, laju erosi permukaan sebesar 134,76 ton/ha/tahun dan laju sedimentasi sebesar 16,20 ton/ha/ tahun. Debit puncak aliran permukaan berkurang 81,26 %, besarnya laju erosi permukaan di outlet berkurang 92,05 %, dan laju sedimentasi berkurang 77,95 % dari nilai awal sebelum dilakukan simulasi. Nisbah pelepasan sedimen (NPS) dalam skenario II sebesar 12,02 %, dimana nilai tersebut menunjukkan sebanyak 12,02 % dari total erosi yang terjadi di DTA tersebut sampai ke saluran sungai dan menjadi sedimen sedangkan sisanya mengendap di tempat lain. Tabel 24 Hasil simulasi skenario II keluaran model Berdasarkan data dalam Tabel di atas, simulasi untuk skenario II efektif untuk diterapkan karena nilai laju erosi permukaan yang dihasilkan berdasarkan 37
  • 38. kelas tingkat bahaya erosi tergolong kelas erosi tiga dengan kategori sedang (60-180 ton/ha/tahun). Untuk penerapan hasil simulasi tersebut, dapat dilakukan karena nilai laju erosi permukaannya tidak melebihi batas nilai erosi yang diperbolehkan (tolerable soil erosion) terjadi sebesar < 180 ton/ha/tahun. Sehingga kawasan yang berada di sekitar terjadinya erosi tidak membahayakan. 3. Skenario III Berdasarkan sebaran ruang penggunaan lahan hasil skenario III, diperoleh hasil simulasi model (Tabel 25) yaitu besarnya debit puncak aliran permukaan di outlet sebesar 41,04 m3/detik/tahun, laju erosi permukaan sebesar 239,04 ton/ha/tahun dan laju sedimentasi sebesar 14,04 ton/ha/tahun. Debit puncak aliran permukaan berkurang 81,26 %, besarnya laju erosi permukaan di outlet berkurang 85,90 %, dan laju sedimentasi berkurang 80,89 % dari nilai awal sebelum dilakukan simulasi. Nisbah pelepasan sedimen (NPS) dalam skenario III sebesar 5,87 %, dimana nilai tersebut menunjukkan sebanyak 5,87 % dari total erosi yang terjadi di DTA tersebut sampai ke saluran sungai dan menjadi sedimen sedangkan sisanya mengendap di tempat lain. Tabel 25 Hasil simulasi skenario III keluaran model AGNPS Berdasarkan data di atas, simulasi untuk skenario III tidak berbeda jauh dengan skenario I, dimana hasilnya kurang efektif untuk diterapkan karena nilai laju erosi permukaan yang dihasilkan berdasarkan kelas tingkat bahaya erosi masih tergolong kelas erosi empat dengan kategori berat hingga sangat berat (180- 480 ton/ha/tahun). Begitupun dengan nilai erosi yang diperbolehkan (tolerable soil erosion) terjadi melebihi dari batas nilai yang diperbolehkan terjadi sebesar 180 ton/ha/tahun. Sehingga masih membahayakan kawasan yang berada di sekitarnya. 4. Skenario IV Berdasarkan sebaran ruang penggunaan lahan hasil skenario IV, diperoleh hasil simulasi model (Tabel 26), yaitu besarnya debit puncak aliran permukaan di 38
  • 39. outlet sebesar 18,47 m3/detik/tahun, laju erosi permukaan sebesar 111,60 ton/ha/tahun dan laju sedimentasi sebesar 8,40 ton/ha/tahun. Debit puncak aliran permukaan berkurang 91,57 %, laju erosi permukaan di outlet berkurang 93,42 %, dan laju sedimentasi berkurang 88,57 % dari nilai awal sebelum dilakukan simulasi. Nisbah pelepasan sedimen (NPS) dalam skenario IV sebesar 7,53 %, dimana nilai tersebut menunjukkan sebanyak 7,53 % dari total erosi yang terjadi di DTA tersebut sampai ke saluran sungai dan menjadi sedimen sedangkan sisanya mengendap di tempat lain. Tabel 26 Hasil simulasi skenario IV keluaran model Berdasarkan data di atas, simulasi untuk skenario IV memberikan hasil terbaik karena nilai laju erosi permukaan yang dihasilkan berdasarkan kelas tingkat bahaya erosi masih tergolong kelas erosi tiga dengan kategori sedang (60- 180 ton/ha/tahun). Begitupun dengan nilai erosi yang diperbolehkan (tolerable soil erosion) terjadi tidak melebihi dari batas nilai yang diperbolehkan terjadi sebesar 180 ton/ha/tahun. Sehingga nilai persentase pengurangannya lebih tinggi dari skenario I, II, dan III serta sangat efektif untuk diterapkan karena nilai debit puncak aliran permukaan, laju erosi permukaan, dan laju sedimentasi mengalami penurunan yang besar. Apabila hutan alam yang dahulunya sudah ada dan tidak ditebang oleh masyarakat untuk dijadikan ladang, maka fungsinya akan lebih baik sebagai kawasan lindung khususnya untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi (longsor), dan sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan masyarakat. Namun, apabila dilihat dari segi waktu dan efisiensinya skenario IV membutuhkan waktu sangat lama untuk terbangunnya hutan alam hingga ratusan atau ribuan tahun. Alternatif terbaik dalam mengubah pemanfaatan lahan berupa tegalan/ladang dan semak belukar adalah penerapan skenario II yang mengarah ke skenario IV. Pemanfaatan lahan tegalan dan semak belukar di daerah hulu DTA yang dapat membentuk penutupan lahan berupa vegetasi yang serupa dengan 39
  • 40. hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur tebang pilih dan di daerah bawahnya (mendekati outlet) berupa kebun campuran dengan sistem agroforestry sangat efektif dalam memperbaiki kondisi DTA Jeneberang Hulu dari segi hidrologi maupun mengurangi laju erosi dan laju sedimentasi. Pembangunan lahan tegalan dan semak belukar untuk tewujudnya penutupan lahan seperti pada skenario II dapat dilakukan dengan menerapkan kombinasi sipil teknis (terasering) dengan penanaman tumbuhan penutup lahan (cover crops) dan tahunan (pohon-pohon). Tumbuhan penutup lahan dan pohon tahunan ditanam sedemikian rupa, sehingga pada saat tertentu dapat menggantikan fungsi bangunan sipil teknis. Penggunaan lahan ini diusahakan dengan meminimalkan gangguan sehingga dapat mengarah pada terbentuknya formasi vegetasi seperti formasi hutan sekunder dan hutan alam. Untuk realisasi penerapan teknik konservasi tanah dan air menggunakan teras tradisional dalam penggunaan lahan kebun campuran (agroforestry), perlu adanya kerjasama antara pihak masyarakat dengan pihak pemerintah untuk lebih memperhatikan tekniknya yang sesuai dengan kondisi biofisik. Sehingga bencana banjir dan longsor di DTA Jeneberang Hulu dapat teratasi dan diminimalisir serta mengurangi pendangkalan di saluran sungai dan di Bendungan Serbaguna Bili-bili oleh tumpukan sedimen yang berupa pasir. 40
  • 41. IV. KESIMPULAN 1. Model AGNPS dengan parameter input menggunakan data yang relative tersedia di Indonesia (hujan harian dan data sekunder fisik DAS) dalam menduga laju erosi, sedimentasi, dan debit puncak memberikan hasil lebih rendah dari data pengukuran lapangan (under estimation) sehingga memerlukan faktor koreksi. 2. Faktor koreksi untuk kasus DTA Jeneberang Hulu dapat menggunakan persamaan QpLap = 1,734 QpMod0,679, QsLap = 1,698 QsMod0,382. 3. Pemanfaatan lahan yang optimal dalam mengurangi debit puncak aliran permukaan, laju erosi permukaan, dan laju sedimentasi adalah dengan mempertahankan penggunan lahan yang ada sekarang kecuali tegalan dan semak belukar perlu dirubah kedalam bentuk penggunaan lahan yang menyerupai hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur tebang pilih atau hutan alam tidak terganggu di bagian hulu, sedangkan di bagian bawah yang relatif lebih datar menerapkan kebun campuran dengan sistem agroforestry. 41